Anda di halaman 1dari 60

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired
Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan salah satu penyakit
mematikan di dunia yang menjadi wabah internasional sejak pertama
kehadirannya (Arriza, Dewi, Dkk,2011). Penyakit ini merupakan penyakit
menular yang disebabkan oleh infeksi virus Human Immunodeficiency
Virus (HIV) yang menyerang sistem kekebalan tubuh (Kemenkes, 2015).
Penyakit HIV dan AIDS menyebabkan penderita mengalami
penurunan ketahanan tubuh sehingga sangat mudah untuk terinfeksi
berbagai macam penyakit lain (Kemenkes, 2015). Meskipun telah ada
kemajuan dalam pengobatannya, namun infeksi HIV dan AIDS
masih merupan masalah kesehatan yang penting di dunia ini (Smeltzer
dan Bare, 2015).
Proporsi orang yang terinfeksi HIV, tetapi tidak mendapat
pengobatan anti HIV dan akhirnya akan berkembang menjadi AIDS
diperkirakan mencapai lebih dari 90%. Karena tidak adanya pengobatan
anti HIV yang efektif, Case Fatality Rate dari AIDS menjadi sangat tinggi,
kebanyakan penderita di negara berkembang (80-90%) mati dalam 3
sampai 5 tahun sesudah di diagnosa terkena AIDS (Kunoloji, 2012).
Penyebaran HIV tidak mengenal umur, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, dan daerah tempat tinggal
penderitanya (Tangadi,1996 & Budiharto,1997 dalam Desima,2013).
Laporan dari Joint United Nations Programme on HIV and AIDS atau
UNAIDS pada tahun 2015 terdapat 2,1 juta infeksi HIV baru diseluruh
dunia, yang banyak tersebar di wilayah afrika dan asia. Data ini menambah
total penderita HIV menjadi 36.7 juta dan penderita AIDS sebanyak 1,1
juta orang (UNAIDS, 2016).
Laporan perkembangan HIV AIDS dari Direktorat Jendral
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit atau Ditjen P2P Kementrian

1
Kesehatan RI pada tanggal 18 Mei 2016 menyebutkan bahwa di Indonesia
dari bulan Januari sampai dengan Maret 2016 jumlah HIV yang dilaporkan
sebanyak 7.146 orang dan AIDS sebanyak 305 orang. Rasio perbandingan
antara laki-laki dan perempuan yaitu 2:1 (Ditjen P2P Kementrian
Kesehatan RI, 2016).
Total angka kejadian kasus AIDS yang dilaporkan di Sumatra Barat
dari tahun 2009 sampai dengan bulan Maret 2016 yaitu 1.192 kasus,
dimana komulatif Case Rate nya yaitu 21,59%. Jumlah infeksi HIV yang
dilaporkan dari provinsi, pada tahun 2011 ada 132 kasus, pada tahun 2012
133 kasus, tahun 2013 ada 222 kasus, tahun 2014 ada 321 kasus, tahun
2015 ada 243 kasus, dan sampai bulan Maret 2016 ada 28 kasus (Ditjen P2P
Kementrian Kesehatan RI, 2016).
Dari data yang ada kasus HIV AIDS mengalami trend peningkatan
setiap tahunnya. Untuk cara penularan kasus AIDS di tahun 2013
faktor resiko tertinggi sudah beralih dari NAPZA suntik ke heteroseksual
yaitu sebesar 59%. Dalam 5 tahun sebelumnya penularan melalui
narkoba suntik adalah faktor resiko utama kasus HIV AIDS di Sumatra
Barat. Sumatra Barat bahkan pernah menduduki rangking 5 kasus HIV
AIDS dari narkoba suntik (Profil Kesehatan Provinsi Sumatra Barat Tahun
2013).
Infeksi HIV menular melalui cairan genitalia (sperma dan cairan
vagina) penderita dan masuk ke orang lain melalui jaringan epitel sekitar
uretra, vagina dan anus akibat hubungan seks bebas tanpa kondom,
heteroseksual atau homoseksual. Ibu yang menderita HIV/AIDS sangat
beresiko menularkan HIV ke bayi yang dikandung jika tidak ditangani
dengan kompeten (Nursalam.2011).
Menurut laporan Direktur Jendral Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit atau Ditjen P2P Kementrian Kesehatan RI tahun 2016 presentase
faktor resiko HIV tertinggi adalah hubungan seks beresiko pada
heteroseksual (47%), Lelaki Seks Lelaki atau LSL (25%) dan penggunaan
jarum suntik tidak steril pada penasun (3%). Sedangkan untuk
presentase faktor resiko AIDS tertinggi adalah hubungan seks

2
beresiko pada heteroseksual (73,8%), Lelaki Suka Lelaki atau LSL (10%),
penggunaan jarum suntik tidak steril pada penasun (5,2%), dan perinatal
(2,6%). Berdasarkan data yang diperoleh dari ruang Ambun Suri lantai III
HIV/AIDS merupakan salah satu dari 10 penyakit terbanyak dan menempati
urutan nomor 8 tahun 2018.
Orang yang terinfeksi HIV atau mengidap AIDS biasa disebut dengan
ODHA. Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) beresiko mengalami Infeksi
Oportunistik atau IO. Infeksi Oportunistik adalah infeksi yang terjadi
karena menurunnya kekebalan tubuh seseorang akibat virus HIV. Infeksi ini
umumnya menyerang ODHA dengan HIV stadium lanjut. Infeksi
Oportunistik yang dialami ODHA dengan HIV stadium lanjut menyebabkan
gangguan berbagai aspek kebutuhan dasar, diantaranya gangguan
kebutuhan oksigenisasi, nutrisi, cairan, kenyamanan, koping, integritas
kulit dan sosial spritual. Gangguan kebutuhan dasar ini bermanifestasi
menjadi diare, nyeri kronis pada beberapa anggota tubuh, penurunan
berat badan, kelemahan, infeksi jamur, hingga distres dan depresi
(Nursalam,2011).
Penurunan imunitas membuat ODHA rentan terkena penyakit
penyerta, menurut hasil laporan Direktur jendral Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit atau Ditjen P2P tahun 2016 ada beberapa penyakit
penyerta yang biasa menyertai AIDS diantaranya, Tuberkulosis,
Taksoplasmosis, Diare, Kandidiasi, Dermatitis, PCP atau pneumonia
pneumocystis, Harpes simplex, Herpes zooster, Limfadenopati generalisata
persisten.
Perawat memiliki tugas memenuhi kebutuhan dan membuat status
kesehatan ODHA meningkat melalui asuhan keperawatan. Asuhan
keperawatan merupakan suatu tindakan atau proses dalam praktik
keperawatan yang diberikan secara langsung kepada pasien untuk
memenuhi kebutuhan objektif pasien, sehingga dapat mengatasi masalah
yang sedang dihadapinya. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti
tertarikuntuk membahas tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan
HIV AIDS di ruang Ambun Suri Lantai III RSUD Dr Achmad Mochtar

3
Bukittinggi.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui gambaran asuhan keperawatan pada pasien dengan
HIV AIDS di ruang Ambunsuri Lantai III RSUD Dr Achmad Mochtar
Bukittinggi.
2. Tujuan Khusus
Setelah menyelesaikan makalah ini diharapkan mahasiswa mampu:
a. Melakukan pengkajian terhadap pasien dengan HIV AIDS
b. Menegakkan diagnosa keperawatan pada pasien dengan HIV AIDS
berdasarkan prioritas
c. Membuat rencana keperawatan pada pasien dengan HIV AIDS
berdasarkan diagnosa yang telah ditegakkan
d. Mengimplementasikan rencana keperawatan yang telah
direncanakan pada pasien dengan HIV AIDS
e. Melakukan evaluasi terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilakukan pada pasien dengan HIV AIDS

C. Manfaat
1. Bagi Lahan
Untuk menambah pengetahuan perawat di ruang Ambunsuri Lantai
III RSUD Dr Achmad Mochtar dalam memberikan pelayanan kesehatan
pada pasien dengan HIV AIDS sesuai dengan asuhan keperawatan yang
tepat dan benar.
2. Bagi Pasien
Untuk memberikan informasi pada klien dan keluarga di ruang Ambunsuri
Lantai III RSUD Dr Achmad Mochtar tentang pengobatan pada pasien dengan
HIV AIDS.
3. Bagi Mahasiswa
Untuk menambah wawasan kepada mahasiswa Profesi Ners
STIKes Fort De Kock mengenai asuhan keperawatan yang tepat pada
pasien dengan HIV AIDS.

4
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. KONSEP HIV AIDS


1. Pengertian

Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan


penyakit kekurangan sistem imun yang disebabkan oleh retrovirus HIV
tipe 1 atau HIV tipe 2 (Copstead dan Banasik, 2012). Infeksi HIV adalah
infeksi virus yang secara progresif menghancurkan sel-sel darah putih
infeksi oleh HIV biasanya berakibat pada kerusakan sistem kekebalan
tubuh secara progresif, menyebabkan terjadinya infeksi oportunistik dan
kanker tertentu (terutama pada orang dewasa) (Bararah dan Jauhar.
2013). Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu
kumpulan kondisi klinis tertentu yang merupakan hasil akhir dari infeksi
oleh HIV (Sylvia & Lorraine, 2012).
Definisi Kasus Surveilans untuk infeksi HIV dari CDC menurut
Sylvia dan Lorraine (2012) yaitu: Kriteria yang direvisi pada tahun 2000
untuk pelaporan tingkat nasional, mengombinasikan infeksi HIV dan
AIDS dalam satu definisi kasus. Pada orang dewasa , remaja, atau anak
berusia 18 bulan atau lebih, definisi kasus surveilans infeksi HIV dipenuhi
apabila salah satu kriteria laboratorium positif atau dijumpai bukti klinis
yang secara spesifik menunjukkan infeksi HIV dan penyakit HIV berat
(AIDS).
Bukti laboratorium untuk infeksi HIV mencangkup reaksi positif
berulang terhadap uji-uji penapisan antibodi yang dikonfirmasi dengan uji
suplementer (misal,ELISA, dikonfirmasi dengan uji Western blot) atau
hasil positif atau laporan terdeteksinya salah satu uji nonantibodi atau
virologi HIV: uji antigen p24 HIV dengan pemeriksaan netralisis,
biakan virus HIV, deteksi asam nukleat (RNA atau DNA) HIV
(misalnya, reaksi berantai polimerase atau RNA HIV-1 plasma, yang
berinteraksi akibat terpajan pada masa perinatal).
Kriteria klinis mencangkup suatu diagnosa infeksi HIV yang

5
didasarkan pada daftar kriteria laboratorium yang tercatat dalam rekam
medis oleh dokter atau penyakit-penyakit yang memenuhi kriteria yang
tercakup dalam definisi kasus untuk AIDS. Kriteria untuk definisi kasus
AIDS adalah :
a. Semua pasien yang terinfeksi oleh HIV dengan :
1) Hitungan sel T CD4+ <200/μI atau
2) Hitungan sel T CD4+ <14% sel T total, tanpa memandang
kategori klinis, simtomatik atau asimtomatik
b. Adanya infeksi-infeksi oportunistik terkait HIV, seperti :
1. Kondidiasis bronkus, trakea, atau paru
2. Kondidiasis esofagus
3. Kanker serviks, invasif
4. Koksidioidomikosis, diseminata atau ekstraparu
5. Kriptokokus, ekstraparu
6. Kriptosporidiosis, usus kronik (lama sakit lebih dari 1 bulan)
7. Penyakit sitomegalovirus (selain di hati,limpa, atau kelenjer
getah bening)
8. Retnitis sitomegalovirus (disertai hilangnya penglihatan)\
9. Ensafalopati, terkait HIV
10. Harpes simpleks; ulkus (-ulkus kronik lebijh dari 1 bulan;
atau bronkitis, pneumonitis, esofagitis
11. Histoplasmosis, diseminata atau ekstraparu
12. Isosporiasis, usus kronik (lama sakit lebih dari 1 bulan)
13. Sarkoma Kaposi (SK)
14. Limfoma, Burkitt (atau ekivalen)
15. Limfoma, imunoblastik (atau yang ekivalen)
16. Limfoma, primer, otak
17. Mycobacterium avium complex atau Mycobacterium
kansasi, diseminata atau ektra paru
18. Mycobacterium tuberkulosis, semua tempat, paru-paru atau
ekstraparu
19. Mycobacterium, spesies lain atau spesies yang belum
teridentifikasi, diseminata atau ekstraparu
20. Pneumonia, rekuren
21. Leukoensefalopati multifokus progresif

6
22. Septikemia salmonela, rekuren
23. Toksoplasmosis otak
24. Sindrom pengurusan yang disebabkan oleh HIV

2. Penyebab
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) disebabkan oleh
Human Immunodeficiency Virus (HIV), suatu retrovirus pada manusia
yang termasuk dalam keluarga lentivirus (termasuk pula virus
imunodefisinsi pada kucing, virus imunodefisiensi pada kera, visna virus
pada domba, dan virus anemia infeksiosa pada kuda). Dua bentuk HIV
yang berbeda secara genetik, tetapi berhubungan secara antigen, yaitu
HIV-1 dan HIV-2 yang telah berhasil diisolasi dari penderita AIDS.
Sebagian besar retrovirus, viron HIV-1 berbentuk sferis dan
mengandung inti berbentuk kerucut yang padat elektron dan dikelilingi
oleh selubung lipid yang berasal dari membran se penjamu. Inti virus
tersebut mengandung kapsid utama protein p24, nukleokapsid protein p7
atau p9, dua sirina RNA genom, dan ketiga enzim virus (protease, reserve
trancriptase, dan integrase). Selain ketiga gen retrovirus yang baku ini,
HIV mengandung beberapa gen lain (diberi nama dengan tiga huruf,
misalnya tat, rev, vif, nef, vpr dan vpu) yang mengatur sintetis serta
perakitan partikel virus yang infeksius. (Robbins dkk, 2011).
Menurut Nursalam dan Kurniawati (2011) virus HIV menular
melalui enam cara penularan, yaitu :
a. Hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS
Hubungan sesual secara vaginal, anal dan oral dengan penderita
HIV tanpa perlindungan bisa menularkan HIV. Selama
hubungan seksual berlangsung, air mani, cairan vagina, dan darah
yang dapat mengenai selaput lendir, penis, dubur, atau muluh sehingga
HIV yang tedapa dalam cairan tersebut masuk ke aliran darah
(PELEKSI,1995 dalam Nursalam,2007 ). Selama berhubungan juga
bisa terjadi lesi mikro pada dinding vagina, dubur dan mulut yang bisa
menjadi jalan HIV untuk masuk ke aliran darah pasangan seksual.
b. Ibu pada bayinya

7
Penularan HIV dari ibu bisa terjadi pada saat kehamilan (in
utero). Berdasarkan laporan CDC Amerika, prevalensi penularan HIV
dari ibu ke bayi adalah 0.01% sampai 7%. Bila ibu baru terinfeksi HIV
dan belum ada gejala AIDS, kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak
20% sampai 35%, sedangkan gejala AIDS sudah jelas pada ibu
kemungkinan mencapai 50% (PELKESI,1995 dalam Nursalam, 2007).
Penularan juga terjadi selama proses persalinan melalui tranfusi
fetomaternal atau kontak antara kulit atau membran mukosa bayi
dengan darah atau sekresi maternal saat melahirkan.(Lili V, 2004 dalam
Nursalam, 2007). Semakin lam proses melahirkan, semakin besar
resiko penularan. Oleh karena itu, lama persalinan bisa dipersingkat
dengan operasi sectio caesaria (HIS dan STB,2000 dalam Nursalam,
2007). Transmisi lain terjadi selam periode post partum melaui ASI.
Resiko bayi tertular melalui ASI dai Ibu yang positif sekitar 10%
c. Darah dan produk darah yang tercemar HIV/AIDS
Sangat cepat menular HIV karena virus langsung masuk ke
pembuluh darah dan menyebar ke seluruh tubuh.
d. Pemakaian alat kesehatan yang tidak steril
Alat pemeriksaan kandungan seperti spekulum, tenakulum,
dan alat-alat lain yang menyentuh darah, cairan vagina atau air
mani yang terinveksi HIV dan langsung digunakan untuk orang lain
yang tidak terinfeksi HIV, dan langsung digunakan untuk orang lain
yang tidak terinfeksi HIV bisa menular HIV
e. Alat-alat untuk menoreh kulit
Alat tajam dan runcing seperti jarum, pisau, silet, menyunat
seseorang, membuat tato, memotong rambut, dan sebagainya bisa
menularkan HIV sebab alat tersebut mungkin dipakai tanpa disterilkan
terlebih dahulu.
f. Menggunakan jarum suntik secara bergantian
Jarum suntik yang digunakan di fasilitas kesehatan,
maupun yang digunakan oleh para pengguna narkoba (Injecting Drug
User-IDU) sangat berpotensi menularkan HIV. Selain jarun suntik,

8
pada para pemakai IDU secara bersama-sama juga menggunakan
tempat penyampur, pengaduk, dan gelas pengoplos obat, sehingga
berpotensi tinggi untuk menularkan HIV. HIV tidak menular melalui
peralatan makan, pakaian, handuk, sapu tangan, hidup serumah dengan
penderita HIV/AIDS, gigitan nyamuk, dan hubungan sosial yang lain.

3. Patofisiologi
Menurut Robbins, Dkk (2011) Perjalanan infeksi HIV paling baik
dipahami dengan menggunakan kaidah saling memengaruhi antara HIV
dan sistem imun. Ada tiga tahap yang dikenali yang mencerminkan
dinamika interaksi antara virus dan penjamu. (1) fase akut pada tahap
awal; (2) fase kronis pada tahap menengah; dan (3) fase krisis, pada
tahap akhir.
Fase akut menggambarkan respon awal seseorang dewasa
yang imunokompeten terhadap infeksi HIV. Secara klinis, hal yang
secara khas merupakan penyakit yang sembuh sendiri yang terjadi
pada 50% hingga 70% dari orang deawasa selama 3-6 minggu setelah
infeksi; fase ini ditandai dengan gejala nonspesifik yaitu nyeri
tenggorokan, mialgia, demam, ruam, dan kadang-kadang meningitis
aseptik. Fase ini juga ditandai dengan produksi virus dalam jumlah
yang besar, viremia dan persemaian yang luas pada jaringan limfoid
perifer, yang secara khas disertai dengan berkurangnya sel T CD4+.
Namum segera setelah hal itu terjadi, akan muncul respon imun yang
spesifik terhadap virus, yang dibuktikan melalui serokonversi (biasanya
dalam rentang waktu 3 hingga 17 minggu etelah pejanan) dan muali
munculnya sel T sitoksik CD8+ yang spesifik terhadap virus. Setelah
viremia mereda, sel T CD4+ kembali mendekati jumlah normal.
Namun, berkurangnya virus dalam plasma bukan merupakan penanda
berakhirnya replikasi virus, yang akan terus berlanjut di dalam
makrofag dan sel T CD 4+ jaringan.
Fase kronis, pada tahap menengah, menunjukkan tahap
penahanan relatif virus. Pada fase ini, sebagian besar sistem imun

9
masih utuh, tetapi replikasi virus berlanjut hingga beberapa tahun.
Pada pasien tidak menunjukkan gejala ataupun menderita
limfadenopati persisten, dan banyak penderita yang mengalami infeksi
oportunistik “ringan” seperti ariawan (Candida) atau harpes zoster
selama fase ini replikasi virus dalam jaringan limfoid terus berlanjut.
Pergantian virus yang meluas akan disertai dengan kehilangan sel
CD4+ yang berlanjut. Namun, karena kemampuan regenerasi sistem
imun besar, sel CD4+ akan tergantikan dalam jumlah yang besar.
Oleh karena itu penurunan sel CD4+ dalam darah perifer hanyalah
hal yang sederhana. Setelah melewati periode yang panjang dan
beragam, pertahanan penjamu mulai berkurang, jumlah sel CD4+ mulai
menurun, dan jumlah sel CD4+ hidup yang terinfeksi oleh HIV
semakin meningkat. Limfadenopati persisten yang disertai dengan
kemunculan gejala konstitusional yang bermakna (demam, ruam,
mudah lelah) mencerminkan onset adanya dekompensasi sistem imun,
peningkatan replikasi virus, dan onset fase “krisis”.
Tahap terakhir, fase krisis, ditandai dengan kehancuran
ppertahanan penjamu yang sangat merugikan peningkatan viremia
yang nyata, serta penyakit klinis. Para pasien khasnya akan mengalami
demam lebih dari 1 bulan, mudah lelah, penurunan berat badan, dan
diare. Jumlah sel CD4+ menurun dibawah 500 sel/μL. Setelah adanya
interval yang berubah-ubah, para pasien mengalami infeksi
oportunistik yang serius, neoplasma sekunder, dan atau manifestasi
neurologis (disebut dengan kondisi yang menentukan AIDS), dan
pasien yang bersangkutan dikatakan telah menderita AIDS yang
sesungguhnya. Bahkan jika kondisi lazim yang menentukan AIDS
tidak muncul, pedoman CDC yang digunakan saat ini menentukan
bahwa seseorang yang terinfeksi HIV dengan jumlah sel CD4+ kurang
atau sama dengan 200/μL sebagai pengidap AIDS.

4. Respon Tubuh Terhadap Perubahan Fisiologis


Menurut Burnner dan Suddarth (2013) Manifestasi klinis

10
penyakit AIDS menyebar luas dan pada dasarnya dapat mengenai
setiap sistem organ. Penyakit yang berkaitan dengan infeksi HIV dan
penyakit AIDS terjadi akibat infeksi, malignasi dan atau efek
langsung HIV pada jaringan tubuh, pembahasan berikutini dibatasi
pada manifestasi klinis dan akibat infeksi HIV berat yang paling sering
ditemukan.
a. Respiratori
Pneumonia Pneumocytis carini. Gejala nafas yang
pendek, sesak nafas (dispnea), batuk-batuk, nyeri dada dan
demam akan menyertai berbagai infeksi oportunistik seperti yang
disebabkan oleh Mycobacterium avium intracellulare (MAI),
sitomegalovirus (CMV) dan Legionella. Walaupun begitu, infeksi
yang paling sering ditemukan pada penderita AIDS adalah
Pneumonia Pneumocytis Carinii (PCP) yang merupakan penyakit
oportunistik pertama yang dideskripsikan berkaitan dengan
AIDS.
Gambaran klinik PCP pada pasien AIDS umumnya tidak
begitu akut bila dibandingkan dengan pasien gangguan kekebalan
karena keadaan lain. Periode waktu antara awitan gejala dan
penegakan diagnosis yang benar bisa beberapa minggu hingga
beberapa bulan. Penderita AIDS pada mulanya hanya
memperlihatkan tanda-tanda dan gejala yang tidak khas seperti
demam, menggigil, batuk non produktif, nafas pendek, dispnea
dan kadang-kadang nyeri dada. Konsentrasi oksigen dalam darah
arterial pada pasien yang bernafas dengan udara ruangan dapat
mengalami penurunan yang ringan; keadaan ini menunjukkan
keadaan hipoksemia minimal. Bila tidak diatasi, PCP akan
berlanjut dengan menimbulkan kelainan paru yang signifikan dan
pada akhirnya, kegagalan pernafasan.
Penyakit kompleks Kompleks Mycobacterium avium
(MAC; Mycobacterium avium Complex) yaitu suatu kelompok
baksil tahan asam, biasanya menyebabkan infeksi pernafasan
kendati juga sering dijumpai dalam traktus gastrointerstinal,

11
nodus limfatik dan sumsum tulang. Sebagian pasien AIDS
sudah menderita penyakit yang menyebar luas ketika
diagnosis ditegakkan dan biasanya dengan keadaan umum yang
buruk.
Berbeda dengan infeksi oportunistik lainnya, penyakit
tuberkulosis (TB) cenderung terjadi secara dini dalam perjalanan
infeksi HIV dan biasanya mendahului diagnosa AIDS. Dalam
stadium infeksi HIV yang lanjut, penyakit TB disertai dengan
penyebaran ke tempat-tempat ekstrapulmoner seperti sistem saraf
pusat, tulang, perikardium, lambung, peritoneum dan skrotum.
b. Gastrointerstinal
Manifestasi gastrointerstinal penyakit AIDS mencangkup
hilagnya selera makan, mual, vomitus, kondisiasis oral, serta
esofagus, dan diare kronis. Bagi pasien AIDS, diare dapat
membawa akibat yang serius sehubungan dengan terjadinya
penurunan berat badan yang nyata (lebih dari 10% berat badan),
gangguan keseimbnagan cairan dan elektrolit, ekskoriasis kulit
perianal, kelemahan dan ketidakmampuan untuk melaksanakan
kegiatan yang biasa dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
c. Kanker
Sarkoma Kaposi yaitu kelainan malignasi yang berkaitan
dengan HIV yang paling sering ditemukan merupakan penyakit
yang melibatkan lapisan endotel pembuluh darah dan
limfe.Kaposi yang berhubungan dengan AIDS memperlihatkan
penyakit yang lebih agresif dan beragam yang berkisar mulai dari
lesi kutaneus setempat hingga kelainan yang menyebar dan
mengenai lebih dari satu sistem organ. Lesi Kutaneus yang dapat
timbul pada setiap bagian tubuh biasanya bewarna merah
mudah kecoklatan hingga ungu gelap. Lesi dapat datar atau
menonjol dan dikelilingi oleh ekimosis (bercak-bercak
perdarahan) serta edema.
Lokasi dan ukuran beberapa lesi dapat menimbulkan statis

12
aliran vena, limfadema serta rasa nyeri. Lesi ulserasi akan
merusak integritas kulit dan meninggalkan ketidaknyamanan
pasien serta kerentanannya terhadap infeksi.
Limfoma Sel-B merupakan malignansi paling sering kedua
yang terjadi diantara pasien-pasien AIDS. Limfoma yang
berhubungan dengan AIDS cenderung berkembang diluar
kelenjer limfe; limfoma ini paling sering dijumpai pada otak,
sumsum tulang dan traktus gastrointerstinal.
d. Neurologik
Ensefalopati HIV disebut juga sebagai kompleks demensia
AIDS. Hiv ditemukan dengan jumlah yang besar dalam otak
maupun cairan serebrospinal pasien-pasien ADC (AIDS dementia
complex). Sel-sel otak yang terinfeksi HIV didominasi olehsel-
sel CD4 + yang berasal dari monosit/magrofag. Infeksi HIV
diyakini akan memicu toksin atau limfokin yang mengakibatkan
disfungsi seluler atau yang mengganggu atau yang mengganggu
fungsi neurotransmiter ketimbang menyebabkan kerusakan
seluler. Keadaanini berupa sindrom klinis yang ditandai oleh
penurunan progresif pada fungsi kognitif, prilaku dan motorik.
Tanda tanda dan gejalanya yang samar-samar serta sulit
dibedakan dan kelelahan, depresi atau efek terapi yang
merugikan terhadap infeksi dan malignansi.
Manifestasi dini mencangkup gangguan daya ingat, sakit
kepala, kesulitan berkonsentrasi, konfusi progresif, pelambatan
psikomotorik, apatis dan ataksia. Stadium lanjutmencangkup
ganggua kognitif global kelambatan dalam respon verbal,
gagguan afektif seperti pandangan yang kosong,hiperrefleksi
paraparesis spastik, psikologis, halusiansi, tremor, inkontenensia,
serangan kejang, mutisme dan kematian. Infeksi jamur
Criptococcus neoformans merupakan infeksi opotunistik paling
sering keempat yang terdapat di antara pasien-pasien AIDS
dan penyebab infeksi paling sering ketiga yang menyebabkan

13
kelainan neurologik. Meningitis kriptokokus ditandai dengan
gejala seperti demam/panas, sakit kepala, keadaan tidak enak
badan (melaise), kaku kuduk, mual, vormitus, perubahan status
mental, dan kejang-kenjang.
Leukoensefalopati Multifokal Progresif (PML) merupakan
kelainan sistem saraf pusat dengan demielinisasi yang
disebabkan oleh virus J.C. Manifestasi klinis dapat dimulai
dengan konfusi mental dan mengalami perkembangan cepat yang
akhirnya mencakup gejala kebutaan, afasia, paresis, (paraliasis
ringan) serta kematian.
Kelemahan neurologik lainnya berupa neuropati perifer
yang berhubungan dengan HIV diperkirakan merupakan
kelainan demielinisasi dengan disertai rasa nyeri serta patirasa
pada ekstremitas, kelemahan, penurunan rekfleks tendon yang
dalam, hipotensi ortostatik dan impontensi.
e. Struktur integrumen
Manifestasi kulit menyertai infeksi HIV dan infeksi
oportunistik serta malignansi yang mendampinginya, Infeksi
oportunistik seperti harpes zoster dan harpes simpleks akan
disertai dengan pembentukan vesikel yang nyeri yang merusak
integritas kulit. Moloskum kontagiosum merupakan infeksi virus
yang ditandai oleh pembentukan plak yang disertai deformitas.
Dermatitis seboreika akan disertai ruam yang difus, bersisik
dengan indurasi yang mengenai kulit kepala serta wajah.
Penderita AIDS juga dapat memperlihatkan folokulasi
menyeluruh yang disertai dengan kulit yang kering dan
mengelupas atau dengan dermatitis atropik seperti ekzema atau
psoriasis. Hingga 60% enderita yang diobati dengan
trimetroprimsulfametoksazol (TMP/SMZ) untuk mengatasi
pneumonia pneumocytis carinii akan mengalami ruam yang
berkaitan dengan obat dan berupa preuritus yang disertai
pembentukan papula serta makula bewarna merah muda.
Terlepas dari penyebab ruam ini pasien akan mengalami

14
ganggua rasa nyaman dan menghadapi peningkatan resiko untuk
menderita infeksi tambahan, akibat rusaknya keutuhan kulit.

5. Penatalaksanaan
Menurut Burnnner dan Suddarth (2013) Upaya penanganan
medis meliputi beberapa cara pendekatan yang mencangkup
penanganan infeksi yang berhubungan dengan HIV serta malignansi,
penghentian replikasi virus HIV lewar preparat antivirus, dan
penguatan serta pemulihan sistem imun melalui pengguanaan preparat
immunomodulator. Perawatan suportif merupakan tindakan yang
penting karena efek infeksi HIV dan penyakit AIDS yang sangat
menurunkan keadaan umum pasien; efek tersebut mencangkup
malnutrisi, kerusakan kulit, kelemahan dan imobilisasi dan perubahan
status mental. Penatalaksanaan HIV AIDS sebegai berikut :
a. Obat-obat untuk infeksi yang berhubungan dengan HIV infeksi
Infeksi umum trimetroprime-sulfametokazol, yang
disebut pula TMP- SMZ (Bactrim,septra), merupakan preparat
antibakteri untuk mengatasi berbagai mikroorganisme yang
menyebabkan infeksi. Pemberian secara IV kepada pasien-pasien
dengan fungsi gastrointerstinal yang normal tidak memberikan
keuntungan apapun. Penderita AIDS yang diobati dengan TMP-
SMZ dapat mengalami efekyang merugikan dengan insiden
tinggi yang tidak lazim terjadi, seperti demam, ruam,
leukopenia, trombositopenia dengan ganggua fungsi renal.
Pentamidin, suatu obat anti protozoa, digunakan sebagai preparat
alternatif untuk melawan PCP. Jika terjadi efek yang
merugikan atau jika pasien tidak memperlihatkan perbaikan
klinis ketika diobati dengan TMP-SMZ, petugas kesehatan dapat
merekomendasikan pentamidin.
Kompleks Mycobacterium avium, terapi kompleks
Mycobacterium avium complex (MAC) masih belum ditentukan
dengan jelas dan meliputi penggunaan lebih dari satu macam obat

15
selam periode waktu yang lama. Meningitis, Terpi primer yang
muthakhir untuk meningitis kriptokokus adalah amfoterisin B IV
dengan atau tanpa flusitosin atau flukonazol (Diflucan). Keadaan
pasien harus dipantau untuk endeteksi efek yang potensial
merugikan dan serius dari amfoterisin B yang mencangkup
reaksi anafilaksik, gangguan renal serta hepar, gangguan
keseimbangan elektrolit, anemia, panas dan menggigil. Retinitis
Sitomegalovirus, Retinitis yang disebabkan oleh sitomegalovirus
(CMV;cytomegalovirus) merupan penyebab utama kebutaan
pada penderita penyakit AIDS.
Foskarnet (Foscavir), yaitu peparat lain yang digunakan
mengobati retinitis CMV, disuntikkan intravena setiap 8 jam
sekali selama 2 hingga 3 minggu. Reaksi merugikan yang lazim
terjadi pada pemberian foskarnet adalah nefrotoksisitas yang
mencangkup gagal ginjal akut dan gangguan keseimbangan
elektrolit yang mencangkup hipokalasemia, hiperfosfatemia serta
hipomagnesemia. Semua keadaan ini dapat membawa kematian.
Efek merugikan lainnya yang lazim dijumpai adaah serangan
kejang-kejang, gangguan gastrointerstinal, anemia, flebitis, pada
tempat infus dan nyeri punggung bawah.
Keadaan lain, Asiklovir dan foskarnat kini digunakan untuk
mengobati infeksi ensefalitis yang disebabkan oleh harpes
simpleks atau harpes zoster. Pirimetamin (Daraprim) dan
Sulfadiazin atau klindamisin (Cleosin HCL) digunakan untuk
pengobatan maupun terapi supresif seumur hidup bagiinfeksi
Toxoplasmosis gondi. Infeksi kronis yang membandel oleh
kondendidasi (trush) atau lesi esofagus diobati dengan
Ketokonazol atau flukonazol.

b. Penatalaksanaan Diare Kronik


Terapi dengan oktreotid asetat (sandostain), yaitu suatu

16
analog sintetik somatostatin, ternyata efektif untuk mengatasi
diare yang berat dan kronik. Konsentrasi reseptor somatosin yang
tinggi ditemukan dalam traktus gastrointerstinal maupun jaringan
lainnya. Somatostain akan menghambat banyak fungsi fisologis
yang mencangkup motalisis gastrointerstinal dan sekresi-
interstinal air serta elektrolit.

c. Penatalaksanaan Sindrom Pelisutan


Penatalaksanaan sindrom pelisutan mencangkup
penanganan penyebab yang mendasari infeksi oportunitis
sistematik maupun gastrointerstinal. Malnutrsi sendiri akan
memperbesar resiko infeksi dan dapat pula meningkatkan insiden
infeksi oportunistis. Terapi nutrisi bisa dilakukan mulai dari diet
oral dan pemberian makan lewat sonde (terapi nutriasi
enternal) hingga dukungan nutrisi parenteral jika diperlukan.

d. Penanganan keganasan
Penatalaksanaan sarkoma Kaposi biasanya sulit karena
sangat beragamnya gejala dan sistem organ yang terkena.Tujuan
terapinya adalah untuk mengurangi gejala dengan memperkecil
ukuranlesi pada kulit, mengurangi gangguan rasa nyaman yang
berkaitan dengan edema serta ulserasi, dan mengendalikan gejala
yang berhubungan dengan lesi mukosa serta organ viseral.
Hinngga saat ini, kemoterapi yang paling efektif tampaknya
berupa ABV (Adriamisin, Bleomisin, dan Vinkristin).

e. Terapi Antiretrovirus
Saat ini terdapat empat preparat antiretrovirus yang
sudah disetujui oleh FDA untuk pengobatan HIV, keempat
preparat tersebut adalah; Zidovudin, Dideoksinosin ,
dideoksisitidin dan Stavudin. Semua obat ini menghambat kerja
enzim reserve transcriptase virus dan mencegah virus reproduksi

17
virus HIV dengan cara meniru salah satu substansi molekuler
yang digunakan virus tersebut untuk membangun DNA bagi
partikel-partikel virus baru. Dengan mengubah komponen
struktural rantai DNA, produksi virus yang baru akan dihambat.

f. Inhibitor Protase
Inhibitor protase merupakan obat yang menghambat kerja
enzim protase, yaitu enzim yang dibutuhkan untuk replikasi virus
HIV dan produksi virion yang menular. Inhibisi protase HIV-1
akan menghasilkan partikel virus noninfeksius dengan penurunan
aktivitas enzim reserve transcriptase.

g. Perawatan pendukung
Pasien yang menjadi lemah dan memiliki keadaan
umum yang menurun sebagai akibat dari sakit kronik yang
berkaitan dengan HIV memerlukan banyak macam perawatan
suportif. Dukungan nutrisi mungkin merupakan tindakan
sederhana seperti membantu pasien dalam mendapatkan atau
mempersiapkan makanannya. Untuk pasien dengan gangguan
nutrisi yang lanjut karena penurunan asupan makanan, sindrome
perlisutan atau malabsobsi saluran cerna yang berkaitan dengan
diare, mungkin diperlukan dalam pemberian makan lewat
pembuluh darah seperti nutrisi parenteral total. Gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit yang terjadiakibat mual,
Vomitus dan diare hebat kerapkali memerlukan terapi
pengganti yang berupa infus cairan serta elektrolit. Lesi pada
kulit yang berkaitan dengan sarkoma kaposi, ekskoriasi kulit
perianal dan imobilisasi ditangani dengan perawatan kulit yang
seksama dan rajin; perawatan ini mencangkup tindakan
membalikkan tubuh pasien secara teratur, membersihkan dan
mengoleskan salep obat serta menutup lesi dengan kasa steril.
Gejala paru seperti dispnea dan napas pendek mungkin

18
berhubungan dengan infeksi, sarkoma kaporsi serta keadaan
mudah letih. Pasien-pasien ini mungkin memerlukan terapi
oksigen, pelatihan relaksasi dan teknik menghemat tenaga.
Pasien dengan ganggguan fungsi pernafasan yang berat
pernafasan yang berat dapat membutuhkan tindakan ventilasi
mekanis. Rasa nyeri yang menyertai lesi kulit, kram perut,
neuropati perifer atau sarkoma kaposi dapat diatasi dengan
preparat analgetik yang diberikan secara teratur selama 24 jam.
Teknik relaksasi dan guded imagery (terapi psikologi dengan
cara imajinasi yang terarah) dapat membantu mengurangi rasa
nyeri dan kecemasan pada sebagian pasien.

h. Terapi nutrisi
Menurut Nursalam (2011) nutrisi yang sehat dan
seimbang diperlukan pasien HIV AIDS untuk mempertahankan
kekuatan, meningkatkan fungsi sistem imun, meningkatkan
kemampuan tubuh, utuk memerangi infeksi, dan menjaga orang
yang hidup dengan infeksi HIV AIDS tetap aktif dan produktif.
Defisiensi vitamin dan mineral bisa dijumpai pada orang dengan
HIV, dan defisiensi sudah terjadi sejak stadium dini walaupun
pada ODHA mengonsumsi makanan dengan gizi berimbang.
Defisiensi terjadi karena HIV menyebabkan hilangnya nafsu
makan dan gangguan absorbsi szat gizi. Untuk mengatasi
masalah nutrisi pada pasien HIV AIDS, mereka harus
diberikan makanan tinggi kalori, tinggi protein, kaya vitamin dan
mineral serta cukup air.

i. Manfaat konseling dan VCT pada pasien HIV


Menurut Nursalam (2011) konseling HIV/AIDS merupakan
dialog antara seseorang (klien) dengan pelayanan kesehatan
(konselor) yang bersifat rahasia, sehingga memungkinkan orang
tersebut mampu menyesuaikan atau mengadaptasi diri dengan

19
stres dan sanggup membuat keputusan bertindak berkaitan
dengan HIV/AIDS.

Konseling HIV berbeda dengan konseling lainnya, walaupun


keterampilan dasar yang dibutuhkan adalah sama. Konseling HIV
menjadi hal yang unik karena:
1. Membutuhkan pengetahuan yang luas tentang infeksi menular
seksual(IMS) dan HIV/AID
2. Membutuhkan mengenai praktik seks yang bersifat pribadi
3. Membutuhkan pembahasan tentang keamatian atau proses
kematian
4. Membutuhkan kepekaan konselor dalam menghadapi
perbedaan pendapat dan nilai yang mungkin sangat
bertentangan dengan nilai yang dianut oleh konselor itu sendiri.
5. Membutuhkan keterampilan pada saat memberikan hasil HIV
positif
6. Membutuhkan keterampilan dalam menghadapi kebutuhan
pasangan maupun anggota keluarga klien

Menurut Nursalam (2011) tujuan konseling HIV yaitu :


1. Mencegah penularan HIVdengan cara mengubah prilaku.
Untuk mengubah prilaku ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS)
tidak hanya membutuhkan informasi belaka, tetapi jauh lebih
penting adalah pemberian dukungan yang dapat menumbuhkan
motivasi mereka, misalnya dalam prilaku seks aman, tidak
berganti-ganti jarum suntik, dan lain-lain.
2. Meningkatkan kualitas hidup ODHA dalam segala aspek baik
medis, psikologis, sosial, dan ekonomi. Dalam hal ini
konseling bertujuan untuk memberikan dukungan kepada ODHA
agar mampu hidup secara positif.

Voluntary Conseling Testing atau VCT adalah suatu


pembinaan dua arah atau dialog yang berlangsung tak terputus
antara konselor dan kliennya dengantujuan untuk mencegah
penurlaran HIV, memberikan dukungan moral, informasi, serta

20
dukungan lainnya kepada ODHA, keluarga, dan lingkungannya
(Nursalam, 2011).
Tujuan VCT yaitu sebagai upaya pencegahan HIV/AIDS,
upaya untuk mengurangi kegelisahan, meningkatkan presepsi/
pengetahuan mereka tentang faktor-faktor resiko penyebab seseorang
terinfeksi HIV, dan upaya pengembangan perubahan prilaku,
sehingga secara dini mengarahkan menuju ke program pelayanan dan
dukungan termasuk akses terapi antiretroviral, serta membantu
mengurangi stigma dalam masyarakat (Nursalam, 2011).

B. Konsep Asuhan Keperawatan Pada HIV AIDS


Asuhan keperawatan bagi penderita penyakit AIDS merupakan
tantangan yang besar bagi perawat karena setiap sistem organ berpotensi
untuk menjadi sasaran infeksi ataupun kanker. Disamping itu, penyakit
ini akan dipersulit oleh komplikasi masalah emosional, sosial dan etika.
Rencana keperawatan bagi penderita AIDS harus disusun secara individual
untuk memenuhi kebutuhan masing-masing pasien (Burnner & Suddarth,
2013).
Pengkajian pada pasien HIV AIDS meliputi :

1. Pengkajian

a. Identitas Klien
Meliputi : nama, tempat/ tanggal lahir, jenis kelamin, status kawin, agama,
pendidikan, pekerjaan, alamat, diagnosa medis, No. MR
b. Keluhan utama
Dapat ditemukan pada pasien AIDS dengan manifestasi respiratori
ditemui keluhan utama sesak nafas. Keluhan utama lainnya ditemui pada
pasien HIV AIDS yaitu, demam yang berkepanjangan (lebih dari 3 bulan),
diare kronis lebih dari satu bulan berulang maupun terus menerus,
penurunan berat badan lebih dari 10%, batuk kronis lebih dari 1 bulan,
infeksi pada mulut dan tenggorokan disebabkan oleh jamur Candida
Albicans, pembengkakan kelenjer getah bening diseluruh tubuh,

21
munculnya Harpes zoster berulang dan bercak-bercak gatal diseluruh
tubuh.
c. Riwayat kesehatan sekarang
Dapat ditemukan keluhan yang biasanya disampaikan pasien HIV AIDS
adalah : pasien akan mengeluhkan napas sesak (dispnea) bagi pasien yang
memiliki manifestasi respiratori, batuk-batuk, nyeri dada dan demam,
pasien akan mengeluhkan mual, dan diare serta penurunan berat badan
drastis.
d. Riwayat kesehatan dahulu
Biasanya pasien pernah dirawat karena penyakit yang sama. Adanya
riwayat penggunaan narkotika suntik, hubungan seks bebas atau
berhubungan seks dengan penderita HIV/AIDS, terkena cairan tubuh
penderita HIV/AIDS.
e. Riwayat kesehatan keluarga
Biasanya pada pasien HIV AIDS adanya anggota keluarga yang
menderita penyakit HIV/AIDS. Kemungkinan dengan adanya orang tua
yang terinfeksi HIV. Pengkajian lebih lanjut juga dilakukan pada riwayat
pekerjaan keluarga, adanya keluarga bekerja di tempat hiburan malam,
bekerja sebagai PSK (Pekerja Seks Komersial).
f. Pola aktivitas sehari-hari (ADL)
1) Pola presepsi dan tata laksanaan hidup sehat
Biasanya pada pasien HIV/AIDS akan menglami perubahan atau
gangguan pada personal hygiene, misalnya kebiasaan mandi, ganti
pakaian, BAB dan BAK dikarenakan kondisi tubuh yang lemah,
pasien kesulitan melakukan kegiatan tersebut dan pasien biasanya
cenderung dibantu oleh keluarga atau perawat.
2) Pola Nutrisi
Biasanya pasien dengan HIV/AIDS mengalami penurunan nafsu
makan, mual, muntah, nyeri menelan, dan juga pasien akan
mengalami penurunan BB yang cukup drastis dalam waktu singkat
(terkadang lebih dari 10% BB).
3) Pola Eliminasi
Biasanya pasien mengalami diare, fases encer, disertai mucus
berdarah.

22
4) Pola Istirahat dan tidur
Biasanya pasien dengan HIV/AIDS pola istirahat dan tidur
mengalami gangguan karena adanya gejala seperi demam dan
keringat pada malam hari yang berulang. Selain itu juga didukung
oleh perasaan cemas dan depresi pasien terhadap penyakitnya.
5) Pola aktivitas dan latihan
Biasanya pada pasien HIV/AIDS aktivitas dan latihan mengalami
perubahan. Ada beberapa orang tidak dapat melakukan
aktifitasnya seperti bekerja. Hal ini disebabkan mereka yang menarik
diri dari lingkungan masyarakat maupun lingkungan kerja, karena
depresi terkait penyakitnya ataupun karena kondisi tubuh yang lemah.
6) Pola presepsi dan konsep diri
Pada pasien HIV/AIDS biasanya mengalami perasaan marah, cemas,
depresi, dan stres.
7) Pola sensori kognitif
Pada pasien HIV/AIDS biasanya mengalami penurunan pengecapan,
dan gangguan penglihatan. Pasien juga biasanya mengalami
penurunan daya ingat, kesulitan berkonsentrasi, kesulitan dalam
respon verbal. Gangguan kognitif lain yang terganggu yaitu bisa
mengalami halusinasi.
8) Pola hubungan peran
Biasanya pada pasien HIV/AIDS akan terjadi perubahan peran yang
dapat mengganggu hubungan interpersonal yaitu pasien merasa malu
atau harga diri rendah.
9) Pola penanggulangan stres
Pada pasien HIV AIDS biasanya pasien akan mengalami cemas,
gelisah dan depresi karena penyakit yang dideritanya. Lamanya
waktu perawatan, perjalanan penyakit, yang kronik, perasaan tidak
berdaya karena ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis
yang negatif berupa marah, kecemasan, mudah tersinggung dan lain-
lain, dapat menyebabkan penderita tidak mampu menggunakan
mekanisme koping yang kontruksif dan adaptif.
10) Pola reproduksi seksual
Pada pasaaien HIV AIDS pola reproduksi seksualitas nya

23
terganggu karena penyebab utama penularan penyakit adalah melalui
hubungan seksual.
11) Pola tata nilai dan kepercayaan
Pada pasien HIV AIDS tata nilai keyakinan pasien awal nya
akan berubah, karena mereka menggap hal menimpa mereka sebagai
balasan akan perbuatan mereka. Adanya perubahan status
kesehatan dan penurunan fungsi tubuh mempengaruhi nilai dan
kepercayaan pasien dalam kehidupan pasien, dan agama merupakan
hal penting dalam hidup pasien.
12) Pemeriksaan Fisik

a. Gambaran Umum : ditemukan pasien tampak lemah.


b. Kesadaran pasien : Compos mentis cooperatif, sampai
terjadi penurunan tingkat kesadaran, apatis, samnolen, stupor
bahkan coma.
c. Vital sign
TD : Biasanya ditemukan dalam batas normal
Nadi : Terkadang ditemukan frekuensi nadi meningkat
Pernafasan :Biasanya ditemukan frekuensi pernafasan
meningkat
Suhu :Biasanya ditemukan Suhu tubuh menigkat karena
demam.
d. BB : Biasanya mengalami penurunan (bahkan hingga 10% BB) TB
: Biasanya tidak mengalami peningkatan (tinggi badan tetap)
e. Kepala : Biasanya ditemukan kulit kepala kering karena dermatitis
seboreika
f. Mata : Biasanya ditemukan konjungtiva anemis, sclera tidak
ikhterik, pupil isokor, reflek pupil terganggu.
g. Hidung : Biasanya ditemukan adanya pernafasan cuping hidung.
h. Gigi dan Mulut: Biasanya ditemukan ulserasi dan adanya bercak-
bercak putih seperti krim yang menunjukkan kandidiasi.
i. Leher : kaku kuduk ( penyebab kelainan neurologic karena infeksi
jamur Cryptococcus neoformans), biasanya ada pembesaran
kelenjer getah bening,
j. Jantung : Biasanya tidak ditemukan kelainan
k. Paru-paru : Biasanya terdapat yeri dada, terdapat retraksi
dinding dada pada pasien AIDS yang disertai dengan TB, Napas

24
pendek (cusmaul), sesak nafas (dipsnea).
l. Abdomen : Biasanya terdengar bising usus yang Hiperaktif
m. Kulit : Biasanya ditemukan turgor kulit jelek, terdapatnya
tanda-tanda lesi (lesi sarkoma Kaposi
n. Ekstremitas : Biasanya terjadi kelemahan otot, tonus otot
menurun, akral dingin.

2. Diagnosis Keperawatan Yang Mungkin Muncul


a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan spasme
jalan nafas, proses infeksi
b. Nyeri kronis berhubungan dengan gangguan imunitas
c. Defisit nutrisi berhubungan dengan kurangnya faktor psikologi
(keengganan untuk makan)
d. Hipovolemia berhubungan dengan kekurangan intake cairan
e. Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit (infeksi)
f. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan
perubahan status nutrisi
g. Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan
tubuh sekunder : imunonusupresi (SDKI, 2017)

25
3. Rencana Asuhan Keperawatan
Diagnosa
No SLKI SIKI AKTIFITAS KEPERAWATAN
Keperawatan
1. Bersihan jalan nafas Tujuan : Bersihan jalan 1. Manajemen Jalan Observasi :
napas meningkat Napas 1. Monitor pola napas (frekuensi,
tidak efektif b/d
kedalaman, usaha napas)
spasme jalan nafas, Kriteria Hasil : 2. Monitor bunyi napas tambahan(gurgling,
1. Produksi sputum mengi, wheezing, ronki kering)
proses infeksi
menurun 3. Monitor sputum(jumlah,warna, aroma)
2. Frekuensi napas
membaik Terapeutik :
3. Pola napas membaik 1. Pertahankan kepatenan jalan napas
dengan head-tilt dan chin lift
2. Posisikan semifowler atau fowler
3. Berikan minum hangat
4. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
5. Berikan oksigen jika perlu

Edukasi :
1. Anjurkan asupan cairan 2000 ml / hari
,jika tidak kontra indikasi
2. Ajarkan teknik batuk efektif

Kolaborasi :
1. Kolaborasi dalam pemberian ekspektoran,
mukolitik

26
b. Latihan Batuk Observasi :
Efektif 1. Identifikasi kemampuan batuk
2. Monitor adanya retensi sputum
3. Monitor tanda dan gejala infeksi saluaran
napas
4. Monitor input dan output cairan (jumlah
dan karaketeristik)

Terapeutik :
1. Atur posisi semifowler/ fowler
2. Pasang perlak dan bengkok di pangkuan
pasien

Edukasi :
1. Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif
2. Anjurkan tarik napas dalam melalui
hidung selama 4 detik, ditahan selama 2
detik, kemudian dikeluarkan dari mulut
dengan bibir mencucu (dibulatkan)
selama 8 detik
3. Anjurkan mengulangi tarik napas dalam
hingga 3 kali
4. Ajarkan batuk dengan kuat langsung
setelah tarik napas dalam yang ke 3

Kolaborasi :
1. Kolaborasi dalam pemberian mukolitik
atau ekspektoran, jika perlu

27
c. Pemantauan Observasi :
Respirasi 1. Monitor frekuensi, irama, kedalaman
dan upaya napas
2. Monitor pola napas (bradipnea,
takipnea, hiperventilasi, kussmaul)
3. Monitor kemampuan batuk efektif
4. Monitor adanya sumbatan jalan napas
5. Palapasi kesimetrisan ekspansi paru
6. Auskultasi bunyi napas
7. Monitor nilai AGD
8. Monitor hasil x-ray torak

Terapeutik :
1. Atur interval pemantauan respirasi
sesuai kondisi pasien
2. Dokumentasikan hasil pemantauan

Edukasi :
1. Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
Informasikan hasil pemantauan, jika
perlu

2. Nyeri kronis b/d Tujuan : 1. Manajemen nyeri Observasi


1. Kontrol nyeri 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
gangguan imunitas
meningkat frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
2. Tingkat nyeri menurun 2. Identifikasi skala nyeri
3. Identifikasi respon nyeri non verbal

28
Kriteria hasil : 4. Identifikasi faktor yang memperberat
1. Melaporkan nyeri dan memperingan nyeri
terkontrol 5. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan
2. Dukungan orang tentang nyeri
terdekat meningkat 6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap
3. Keluhan nyeri menurun respon nyeri
4. Meringis menurun 7. Identifikasi pengaruh nyeri pada
5. Anoreksia menurun kualitas hidup
6. Nafsu makan membaik 8. Monitor keberhasilan terapi
7. Pola tidur membaik komplementer yang sudah diberikan
9. Monitor efek samping penggunaan
analgetik

Terapeutik :
1. Berikan teknik non farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri (hipnosis,
akupresur, terapi musik, aromaterapy,
teknik imajinasi terbimibng, kompres
hangat /dingin, terapi bermain)
2. Kontrol lingkungan yang memperberat
rasa nyeri (suhu ruangan,
pencahayaan,kebisingan)
3. Fasilitasi istirahat dan tidur
4. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri
dalam pemilihan strategi meredakan
nyeri

29
Edukasi :
1. Jelaskan penyebab, periode dan pemicu
nyeri
2. Jelaskan strategi meredakan nyeri
3. Anjurkan memonitor nyeri secara
mandiri
4. Anjurkan menggunakan analgetik
secara tepat
5. Anjurkan teknik non farmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri

Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian analgetik, jika
perlu

3. Defisit nutrisi b/d Tujuan : status nutrisi Manajemen Nutrisi Observasi :


membaik 1. Identifikasi status nutrisi
faktor psikologi
2. Identifikasi alergi dan intoleransi
(keengganan untuk Kriteria hasil : makanan
1. Posri makanan yang 3. Identifikasi makanan yang disukai
makan)
dihabiskan 4. Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis
meningkat nutrien
2. Berat badan 5. Identifikasi perlunya pengguanan
membaik selang NGT’
3. Nafsu makan 6. Monitor asupan makanan
membaik 7. Monitor berat badan
4. Membran mukosa 8. Monitor hasil pemeriksaan labor
membaik

30
Terapeutik :
1. Lakukan oral higiene sebelum makan
jika perlu
2. Fasilitasi menentukan pedomaan diit
3. Sajiikan makan secara menarik dan
suhu yang sesuai
4. Berikan makanan tinggi serat untuk
mencegah konstipasi
5. Berikan makanan TKTP
6. Berikan suplemen makanan jika perlu

Edukasi :
1. Anjurkan posisi duduk, jika mampu
2. Ajarkan diet yang diprogramkan

Kolaborasi ;
1. Kolaborasi pemberian medikasi
sebelum makan
2. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
menentukan jumlah kalori dan jenis
nutrien yang dibutuhkan

31
BAB III
TINJAUAN KASUS

3.1 PENGKAJIAN
I. Identitas Diri
Nama : Tn.R
Umur : 25 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Status Perkawinan : Belum kawin
Agama : Islam
Suku : Minang
Pendidikan : Sarjana
Pekerjaan : Pegawai BUMN
Lama Bekerja : ± 3 Tahun
Alamat : Tilatang Kamang Agam Sumatera Barat

Tanggal masuk RS : 16 Maret 2019


Tanggal pengkajian : 23 Maret 2019
Sumber informasi : Pasien, Status, keluarga dan petugas
No MR : 416417

Keluarga terdekat yang dapat segera dihubungi


Nama : Tn Syarifudin
Umur : 54 tahun
Pendidikan : SMA
Alamat : Tilatang Kamang Aagam Sumatera Barat
Hubungan dengan klien : Orang Tua

II. Status kesehatan saat ini


a. Keluhan utama
Orang Tua Klien Mengatakan Klien demam semenjak 1
minggu SMRS, demam turun naik, meningkat pada malam hari dan
menurun pada siang hari. Klien mengalami mual dan muntah sejak 1
minggu SMRS, muntah 5 kali sehari, disertai darah dan lendir.
Nafsu makan menurun sejak 1 minggu SMRS, sangat lemah, Ibu
klien mengatakan anaknya tampak pucat saja, klien mengatakan
tidak nafsu makan karena sesak nafas, hanya makan 2-3 sendok saja,
klien mengalami penurunan berat badan 7 kg, klien mengatakan
lidah terasa pahit, klien mengatakan malas untuk makan,
Batuk 2 bulan SMR, Sesak Nafas sejak 2 bulan yang lalu, sesak
bertambah jika sedang batuk. klien mengatakan tenggorokan klien
terasa banyak sputum tapi susah untuk dikeluarkan, batuknya terasa
tidak maksimal, sesak nafas meningkat saat duduk, badan klien
terasa sangat letih, dada kiri klien terasa sangat nyeri seperti di
tusuk-tusuk, skala nyeri klien 4-5, nyeri klien meningkat saat klien
batuk, sputum terkadang ada bercak darah, saat klien berhasil

32
mengeluarkan sputum, sputum tampak sangat banyak dan tampak
ada bebercak darah. Klien tampak sangat sulit untuk batuk, klien
tampak gelisah, badan klien letih dan lemah, RR 30 x/mnt, bunyi
nafas ronchi (+), tampak adanya penggunaan otot bantu pernafasan,
tampak retraksi dinding dada (+).
klien mengatakan tidak cukup tidur di malam hari, klien
mengatakan badannya terasa letih, lelah, posisi tidur klien sering
semi fowler, klien tampak meringis, , TD: 100/60 mmHg, N: 100
x/mnt. Hemoglobin: 14,7 gr/ dl, konjungtiva anemis, wajah tampak
pucat, capilary refill > 3 detik. BB klien sekarang: 45 kg, membran
mukosa klien pucat, bising usus (+), porsi makan tampak hanya
habis ± 1/4 porsi. CD4 Absolut: 27, CD4 % : 13, CD8 Absolut :
1,549, CD 8 %: 74,65

b. Factor pencetus
Selama tinggal di jakarta sebelumnya klien pernah berprilaku seks
bebas ( LSL ).
c. Lamanya keluhan, daerah keluhan, frekuensi keluhan
Klien mengatakan sudah di diagnosa oleh dokter TB paru sejak 2
bulan yang lalu, daerah keluhan dibagian thorak terlebih nyeri di
dada sebelah kiri nyeri meningkat pada saat batuk atau sesak nafas.
Klien menolak berbicara tentang masa lalunya. Diagnosa IO sudah
diketahui sejak klien tinggal di Jakarta.
d. Factor yang memperberat
Nafsu makan menurun dan intake nutrisi klien kurang
e. Upaya yang dilakukan untuk mengatasinya
Minum obat secara teratur, tidak merokok, tidur dalam posisi semi
fowler untuk mengurangi sesak nafas dan rasa nyeri pada dada.
f. Diagnosa medis
IO + TB Paru dalam Pengobatan

III. Riwayat kesehatan yang lalu


a. Penyakit yang pernah dialami
Nama Penyakit Waktu Dirawat/Tidak
Kelin pernah dirawat sebelummya - -
di Jakarta dengan keluhan mual,
muntah, demam., klien tidak
memiliki riwayat penyakit lainnya

b. Riwayat alergi
Tipe : Tidak ada
Reaksi : tidak ada
Tindakan : Tidak ada
c. Kebiasaan merokok / kopi / obat-obatan / alcohol / lain-lain
Klien tidak merokok, klien juga tidak minum kopi, Minum alkohol

d. Obat-obatan

33
Nama Obat Dosis Indikasi kontraindikasi Efek samping
OAT 3x1 Tuberkulosis  Penyakit hati  Mual dan
yang yang akut muntah
disebabkan  Epilepsi  sakit perut
oleh  Ganggua  heartburn
mycobacteriu fungsi ginjal  diare
m tuberculosis gangguan  nyeri otot
psikis dan sendi
 sakit kepala
 ruam dan
gatal
 mengantuk
 pusing
 sensasi
berputar-
putar
 dengung di
telinga
 kesemutan
PCT 1 x 1 tab  Antipiretik/  Pasien yang  Mual muntah
analgesik memiliki  Gagal ginjal
 Menurunkan riwayat
demam hipersensitif
 Meredakan  Gangguan
sakit kepala, fungsi hati dan
sakit gigi, ginjal
dan nyeri
ringan
Curcuma 3 x 1 tab  anoreksia  hipersensitif  mual ringan
 penyakit atau alergi  iritasi
kuning terhadap lambung atau
 amenore kndungan nyeri ulu hati
 penyumbatan suplemen

saluran  tidak baik


empedu dikonsumsi

 pemeliharaan ibu hamil atau

fungsi hati ibu menyusui


Kotri F 1x1  menangani  Pasien yang  nafsu makan
infeksi mengalami turun
bakteri hipersensitif  muntah
 infeksi terhadap  pusing
saluran kotrimoksazol berputar
34
kemih  Ibu menyusui  kejang
 otitis media  Gangguan  neuropati
 bronkitis kalium,  eritema
kronis gangguan multiformis
eksaserbasi fungsi renal  hiperkalemia
akut  Anemia  ruam
 pneumocytis megaloblastik  mual
Cara mendapatkannya : pemberianakibat
pneumonia dirumah sakit
e. Pola nutrisi  meningitis defisiensi
 Sehat skala nyeri klien 4-5
Berat badan / bakterial
tinggi badan :asam
52 kgfolat
/160 cm
Frekuensi makan  :Infeksi
3x /hari
Makanan yang disukai : tidak ada yang spesifik
Makanan yang tidak disukai :streptococustidak ada yang spesifik
Makanan pantang :dan
Tidak ada
demam
 Sakit
Berat badan / tinggi badan : ±reumatik
45 kg /160 cm
Frekuensi makan : Kolitis
3x/ hari tapi hanya 2-4 sendok
Makanan yang disukai : tidak ada yang spesifik
Makanan yang tidak disuka : tidak Defisiensi
ada yang spesifik
Makanan pantangan : tidak ada yang spesifik
glikosa
Nafsu makan : kurang
Alasan : Sesak nafas, lidah terasa pahit,
Fluconazole 1 x 1  infeksi jamur  hipersensiitif  sakit kepala
malas makan.
Perubahan berat (orofaringeal pada : Turun 7 nyeri
badan 2 bulan terakhir kg perut
f. Pola Eliminasi
dan fluconazol/  perubahan
 Sehat
1) Buang Airkandidiasis
Besar obat golongan pada indra
Frekuensi : 1x /hari Waktu : pagi
esofagus) triazole pengecap
Warna : kuning Konsentrasi : lembek
 untuk
Penggunaan pencahar : tidak lainnya
ada  diare
2) Buang Air Kecil
 gangguan hati
Frekuensipengobatan
: 5-7x/hari
Warna candida
: kuning muda dan yang
 Sakit
1) Buang Air dalam sedang terapi
Besar
Frekuensi saluran
: 1 x / 2 hari Waktu : pagi
terfenadin/aste
Warna : kuning Konsentrasi : lembek
Penggunaankemih,pencahar : tidakmizolada
2) Buang Air peritonitis,
Kecil  pasien yang
Frekuensi : 5-7x /hari
dan : kuning
infeksi sedang
Warna
g. Pola tidur dan istirahat
candida menggunakan
 Sehat
1) Waktu tidursistemik obat golongan
(jam) : tidak menentu, klien suka begadang
SSRI teman
dengan teman- seperti
2) Lama tidur / hari : 6-7 jam/hari fluoxetine atau
3) Kebiasaan pengantar tidur : tidak ada
4) Kebiasaan saat tidur : sertraline
tidak ada
Ondansentr 5)3 xKesulitan
1 dalam hal tidur : Penderita
Penanggulan tidak ada  Sakit kepala
on  Sakit gan mual dan gangguan  Konstipasi
1) Waktu tidur (jam) : tidak menentu, malam / siang
2) Lama tidurmuntah
/ hari : hanya 3-5 gagal
jam perginjal
hari  Rasa panas
3) Kebiasaan pengantar tidur : tidak ada
atau hati pada kepala
4) Kebiasaan saat tidur : tidur dengan posisi semi Fowler
5) Kesulitan dalam hal tidur : nyeri
Lanjut usia
pada dada kiri,dan
sesak nafas
epigasterium
dan batuk yang mengganggu
h. Pola aktivitas dan latihan
 Seds d diare
1) Kegiatan dalam pekerjaan
Klien merupakan karyawan bank swasta di Jakarta
2) Olahraga
Klien biasanya tidak ada berolahraga
3) Kegiatan di waktu luang
Tidak ada yang begitu spesifik, kegiatan yang paling sering

35
main HP
4) Kesulitan / keluhan dalam hal
Pergerakan tubuh : klien terbaring lemah, ADL klien dilakukan
Dengan bantuan orang tua
Mandi / menggunakan pakaian : dibantu oleh orang tua klien
Berdandan : dibantu orang tua klien
Berhajat : dibantu oleh orang tua klien
Sesak nafas setelah melakukan aktivitas : iya
Mudah merasa kelelahan : iya
i. Pola bekerja
Jenis pekerjaan : Karyawan Karyawan Bank Swasta di Jakarta
Lama bekerja : ± 2 tahun
Jumlah jam kerja : ± 8 Jam sehari

IV. Riwayat Keluarga


Orang tua klien mengatakan tidak ada keluarganya yang menderita
penyakit yang sama dengan klien. Klien mengatakan tidak ada keluarga
yang memiliki riwayat penyakit DM, HT, asma atau penyakit keturunan
lainnya.

V. Pola Kognitif / persepsi


a. Tingkat kesadaran : Composmetis
Orientasi klien masih baik, klien mengenali orang tua dan teman
temannya, klien mengetahui kalau klien sedang di rawat di rumah
sakit, klien tahu sekarang tahun 2019.
b. Nyeri : ada
Klien mengalami nyeri dada sebelah kiri, nyeri meningkat jika
batuk dan mengalami sesak nafas, skala nyeri 4-5.
Manajemen nyeri yang digunakan: klien tidur dengan posisi semi
fowler
c. Sensori
 Telinga / pendengaran
Normal, tidak ada kerusakan, pendengaran masih bagus, klien
tidak memakai alat bantu dengar, tidak ada tinnitus
 Mata / penglihatan
Normal, tidak ada kerusakan, klien tidak memakai lensa kontak,
klien tidak memakai kacamata, tidak ada katarak, tidak ada
glaucoma
 Hidung / penghidu
Normal, tidak ada kerusakan
 Lidah / pengecapan
Normal, tidak ada kerusakan, hanya saja klien merasa yang
dimakan terasa pahit karena penurunan selera
 Kulit / sentuhan
Normal, tidak ada kerusakan
 Baal / hilang rasa
Normal, tidak ada kerusakan
 Vertigo : klien tidak mengalami gejala-gejala vertigo
 Gangguan wicara : tidak ada
 Kesulitan belajar : tidak ada

36
VI. Toleransi koping terhadap stress / persepsi / konsep diri
a. Focus utama perhatian klien sejak dirawat
Klien dan keluarga berharap dapat segera sembuh. Saat ini
sebagian ADL klien dibantu oleh ibunya.
b. Kehilangan yang terjadi pada masa lalu
Kehilangan nenek dan kakeknya
c. Deskripsi perilaku non verbal
Klien enggan saat diajak berkomunikasi, kadang menutupi
wajahnya saat komunikasi.
d. Status emosional : stabil
e. Adanya pengalaman yang membuat stress : ada
f. Yang dilakukan untuk relaksasi : tidur
g. Adanya kelompok pendukung / konseling
Saat ini kelompok pendukung yang sangat berpengaruh bagi klien
adalah orang tuanya
h. Apakah kelompok pendukung berguna ?
Tentu saja, untuk menyamangati klien agar sabar dalam
menghadapi penyakitnya..

VII. Pola Peran Hubungan


Pekerjaan : Karyawan Bank Swasta
Orang yang paling mendukung saat ini : Orang Tuanya
Status perkawinan : Belum kawin
Tinggal bersama : kost sendiri di Jakarta
Perasaan keluarga terhadap hospitalisasi : keluarga merasa sedih,
dan berharap klien bisa segera sembuh

VIII. Pola Kepercayaan – nilai


Agama : Islam
Apakah penyakit mempengaruhi praktek spiritual ?
Klien tidak melaksanakan sholat selama dirumah dan di rumah sakit.

IX. Pola Seksual Reproduksi


Pemeriksaan lebih mendalam tidak dilakukan, tidak ada kelainan
eksternal

X. Pemeriksaan Fisik
1) Kepala
 Inspeksi
Bentuk kepala klien normal, rambut berwarna hitam, tidak ada
pembengkakan, wajah simetris, tidak ada ketombe
 Palpasi
Tidak ada pembengkakan, tidak ada nyeri tekan
2) Mata
 Inspeksi
Struktur eksternal mata klien baik, pupil isokor, mata simetris
antara kiri dan kanan, konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik,
edema palpebra tidak ada.
 Palpasi
Tidak ada teraba masa, tidak ada pembengkakan
3) Hidung

37
 Inspeksi
Bagian luar tampak normal, batang hidung simetris, tidak ada
pembengkakan, tidak ada seckret, tidak ada perdarahan,
penciuman baik, tidak ada pernapasan cuping hidung
 Palpasi
Tidak ada nyeri tekan, tidak ada teraba massa/pembengkakan
4) Telinga
 Inspeksi
Bentuk lubang telinga normal, simetris antara kiri dan kanan,
tidak ada serumen yang berlebihan, tidak ada perdarahan,
pendengaran klien baik
 Palpasi
Tidak ada pembengkakan

5) Mulut
 Inspeksi
Bentuk mulut normal, simetris atas dan bawah, mukosa pucat,
bibir kering, ada sariawan, tidak ada pembengkakan
 Palpasi
Tidak ada pembengkakan
6) Leher
 Inspeksi
Bentuk normal, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada
distensi vena jugularis
 Palpasi
Tidak ada pembengkakan, tidak ada nyeri tekan
7) Dada
a. Paru-paru
 Inspeksi
Bentuk dada normal, retraksi dinding dada (+), adanya
penggunaan otot bantu pernapasan, RR : 30x/mnt,
pengembangan paru simetris antara kiri dan kanan, tidak ada
pembengkakan
 Palpasi
Tidak ada nyeri tekan, tidak ada teraba massa, taktil premitus
sama pada paru kiri dan paru kanan
 Perkusi
Sonor pada kedua lapang paru
 Auskultasi
Pernapasan cepat, ada bunyi nafas tambahan: ronchi (+)
b. Jantung
 Inspeksi
Ictus cordis tidak terlihat pada RIC V mid clavicula dada kiri,
bekas operasi jantung tidak ada
 Palpasi

38
Ictus cordis tidak teraba, tidak ada nyeri tekan, tidak ada
pembengkakan
 Perkusi : Sonor
 Auskultasi
Irama jantung teratur, bunyi jantung lup dup, N: 100x/mnt
8) Abdomen
 Inspeksi
Bentuk simetris, tidak ada asietes, tidak ada lesi, tidak ada bekas
operasi, tidak ada ditensi abdomen
 Auskultasi : Bising usus (+) meningkat
 Palpasi
Tidak terdapat nyeri tekan, hepar dan lien tidak teraba
 Perkusi: Timpani
9) Ekstremitas
 Inspeksi
Bentuk simetris, tidak ada fraktur, tidak ada deformitas, pada
tangan kiri terpasang infus NaCl : 0.9%
 Palpasi
Tidak ada nyeri tekan, tidak ada benjolan, tidak tampak bekas
luka kecelakaan
 Kekuatan otot
5555 5555
5555 5555

XI. Keadaan Umum


a. Kesan umum
Baik, namun terkadang meringis karena nyeri, sering murung, menutup
wajah
b. Wajah
Ekspresi wajah tampak sedih
c. Bentuk badan
Bentuk badan klien kurus
d. Bicara
Bicara klien jelas, namun pelan dan lemah
e. Pakaian
Pakaian klien bersih dan tidak berbau

XII. Sirkulasi
a. Nadi perifer : 100x/mnt
b. Distensi vena jugularis : tidak ada
c. Pengisian kapiler : > 3 detik
d. Edema : tidak ada edema
XII. Neurologi
a. Tingkat kesadaran : compos mentis
b. GCS : 15 E4M6V5

XIII. Data Penunjang


a. EKG

39
Synus rhytim
b. Ro Thorak
Pembesaran jantung, pnemoni bilateral
c. Laboratorium
Tanggal Data yang ditemukan Nilai Normal
26/ 2/2019 CD4 Absolut : 27 404 – 1.612
16/3/2019 CD 8 Absolut : 1.549 220 – 1.129
VCT Test antibodi : Reaktif Non Reaktif
Hemoglobin : 14,4 g/dl 13,0 – 16,0 (g/dl)
Eritrosit : 503 10 6 /ul 4,5 – 5,5 (106/ul)
Hematokrit : 41,7 % 40,0 – 48,0 (%)
Leukosit : 6,983/ul 5,0 – 10,0 (103/ul)
Trombosit : 183 103/ul 150 – 400 (103/ul)
SGOT : 302 6-41 U/L
SFOT : 397 6-40 U/L
Ureum : 24 mg/dl 15 – 43 (mg/dl)
Kreatinin : 1,0 mg/dl 0,8 – 1,3 (mg/dl)
Klirens kreatinin : 124,43
ml/menit
Fungsi ginjal : 88,88 %
Kreatinin darah :1,0 mg/dl
Kreatinin urine : 94,8 mg/dl

XIV. DATA FOKUS


 Data Subjektif
- Klien mengatakan di tenggorokannya terasa banyak dahak tapi
susah untuk dikeluarkan
- Klien mengatakan batuknya terasa tidak maksimal
- Klien mengatakan nafas sesak dan sesak nafas meningkat saat
duduk
- Klien mengatakan badannya terasa sangat letih
- Klien mengatakan dada kiri klien terasa sangat sakit seperti
ditusuk-tusuk
- Klien mengatakan nyeri di dada meningkat saat batuk
- Klien mengatakan terkadang dahaknya bebercak darah
- Klien mengatakan lebih nyaman jika posisi tidur menekuk
badannya
- Klien mengatakan tidak cukup tidur di malam hari
- Klien mengatakan tidak nafsu makan karena sesak nafas
- Ibu klien mengatakan klien hanya makan 2-3 sendok saja

40
- Orang tua klien mengatakan klien sering menolak saat disuapi
makanan
- Klien mengatakan sejak sakit BB klien turun 7 kg
- Klien mengatakan lidah terasa pahit
- Klien mengatakan malas untuk makan
- Klien mengatakan badannya terasa sangat lemah
- Orang klien mengatakan anaknya.tampak pucat saja
 Data Objektif
- Sputum tampak sangat banyak dan tampak ada bercak darah
- Klien tampak sangat sulit untuk batuk
- Klien tampak sedih
- Tubuh klien tampak letih dan lemah
- RR : 30 x/mnt
- Bunyi nafas ronchi (+)
- Tampak adanya penggunaan otot bantu pernafasan
- Tampak retraksi dinding dada (+)
- Klien tampak meringis
- skala nyeri klien 4-5
- Posisi tidur klien sering semi fowler
- TD: 100/90 mmHg, N: 100 x/mnt
- BB klien sekarang: 45 kg
- Membran mukosa pucat
- Bising usus (+)
- Porsi makan tampak hanya habis ± 1/4 porsi
- Klien tampak enggan disuapi makan
- Wajah tampak pucat
- Capilary refill > 3 detik

XV. ANALISA DATA


NO DATA ETIOLOGI MASALAH
1 Data Subjektif : spasme jalan bersihan jalan nafas
- Klien mengatakan di nafas, proses tidak efektif
tenggorokannya terasa banyak infeksi ( D.0149 )
dahak tapi susah untuk dikeluarkan
- Klien mengatakan batuknya terasa
tidak maksimal
- Klien mengatakan nafas sesak dan
sesak nafas meningkat saat duduk
- Klien mengatakan badannya terasa
sangat letih
Data Objektif :

41
- Sputum tampak sangat banyak dan
tampak ada bercak darah
- Klien tampak sangat sulit untuk
batuk
- Klien tampak gelisah
- Tubuh klien tampak letih dan lemah
- RR : 30 x/mnt
- Bunyi nafas ronchi (+)
- Tampak adanya penggunaan otot
bantu pernafasan
- Tampak retraksi dinding dada (+)

2 Data Subjektif : Gangguan Nyeri kronis


- Klien mengatakan dada kiri klien Imunitas ( D 0078 )
terasa sangat sakit seperti ditusuk-
tusuk
- Klien mengatakan nyeri di dada
meningkat saat batuk
- Klien mengatakan terkadang
dahaknya bebercak darah
- Klien mengatakan lebih nyaman
jika posisi semi fowler
- Klien mengatakan tidak cukup tidur
di malam hari
Data Objektif :
- Klien tampak meringis
- skala nyeri klien 4-5
- Posisi tidur klien seringsetengah
duduk
- TD: 100/90 mmHg, N: 100 x/mnt
- Nafsu Makan klien berkurang

3 Data Subjektif : Faktor Defisit Nutrisi.


- Klien mengatakan tidak nafsu Psikologis : ( D.0019 )
makan karena sesak nafas Keengganan
- Ibu klien mengatakan klien hanya untuk makan
makan 2-3 sendok saja
- Ibu klien mengatakan klien sering
menolak saat disuapi makanan
- klien mengatakan sejak sakit BB
nya sudah turun 7 kg

42
- Klien mengatakan lidah terasa pahit
- Klien mengatakan malas untuk
makan
Data Objektif :
- BB klien sekarang: 45 kg
- Membran mukosa pucat
- Bising usus (+)
- Porsi makan tampak hanya habis ±
1/4 porsi
- Klien tampak enggan disuapi
makanan

43
XII. Patofisiologi

Individu yg terinfeksi
Individu yg terinfeksi HIV/AIDS TB

Imunocompromised
Batuk, bersin,
tertawa, berbicara
Mycobacterium TBC

Terhirup dan termakan

Masuk jalan napas

Tinggal di Alveoli

MK : nyeri Kronik
sintesa & pelepasan zat pyrogen Inflamasi

hipotalamus PMN (leukosit dan makrofag)

sesak
termoregulator Penumpukan eksudat

MK : Jalan nafas tidak


hipermetabolisme demam Pneumonia akut efektif

Anoreksia, mual, granuloma Obstruksi takipnea


jalan nafas
muntah

massa jaringan fibrosa


Penurunan berat
badan
nekrosis Fistula bronkopleura

Membentuk jaringan keju

MK : Defisit Nutrisi
nekrosis kaseosa

kalsifikasi pencairan fokus GHON (lesi primer paru)

bahan keju lepas ke bronkus Kompleks GHON

kavitas
sembuh Limfohematogen

Peradangan aktif ulserasi pemb.darah paru

Tuberkulosis hematogen
millier hemoptoe

44
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan spasme jalan nafas,
proses infeksi
2. Nyeri kronis berhubungan dengan gangguan Imunitas
3. Defisit nutrisi berhubungan dengan faktor psikologi : Keengganan untuk
makan.

45
4. Rencana Asuhan Keperawatan
Diagnosa
No SLKI SIKI AKTIVITAS KEPERAWATAN
Keperawatan
1. Bersihan jalan nafas Tujuan : Bersihan jalan 1. Manajemen Jalan Observasi :
napas meningkat Napas 4. Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman,
tidak efektif b/d
usaha napas)
spasme jalan nafas, Kriteria Hasil : 5. Monitor bunyi napas tambahan(gurgling,
4. Produksi sputum mengi, wheezing, ronki kering)
proses infeksi
menurun 6. Monitor sputum(jumlah,warna, aroma)
5. Frekuensi napas
membaik Terapeutik :
6. Pola napas membaik 6. Pertahankan kepatenan jalan napas dengan
head-tilt dan chin lift
7. Posisikan semifowler atau fowler
8. Berikan minum hangat
9. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
10. Berikan oksigen jika perlu

Edukasi :
3. Anjurkan asupan cairan 2000 ml / hari ,jika
tidak kontra indikasi
4. Ajarkan teknik batuk efektif

Kolaborasi :
2. Kolaborasi dalam pemberian ekspektoran,
mukolitik

48
a. Latihan Batuk Observasi :
Efektif 5. Identifikasi kemampuan batuk
6. Monitor adanya retensi sputum
7. Monitor tanda dan gejala infeksi saluaran
napas
8. Monitor input dan output cairan (jumlah dan
karaketeristik)

Terapeutik :
3. Atur posisi semifowler/ fowler
4. Pasang perlak dan bengkok di pangkuan
pasien

Edukasi :
5. Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif
6. Anjurkan tarik napas dalam melalui hidung
selama 4 detik, ditahan selama 2 detik,
kemudian dikeluarkan dari mulut dengan
bibir mencucu (dibulatkan) selama 8 detik
7. Anjurkan mengulangi tarik napas dalam
hingga 3 kali
8. Ajarkan batuk dengan kuat langsung setelah
tarik napas dalam yang ke 3

Kolaborasi :
2. Kolaborasi dalam pemberian mukolitik
atau ekspektoran, jika perlu

49
b. Pemantauan Observasi :
Respirasi 9. Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan
upaya napas
10. Monitor pola napas (bradipnea, takipnea,
hiperventilasi, kussmaul)
11. Monitor kemampuan batuk efektif
12. Monitor adanya sumbatan jalan napas
13. Palapasi kesimetrisan ekspansi paru
14. Auskultasi bunyi napas
15. Monitor nilai AGD
16. Monitor hasil x-ray torak

Terapeutik :
3. Atur interval pemantauan respirasi sesuai
kondisi pasien
4. Dokumentasikan hasil pemantauan

Edukasi :
2. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
Informasikan hasil pemantauan, jika perlu

2. Nyeri kronis b/d Tujuan : 2. Manajemen nyeri Observasi


3. Kontrol nyeri 10. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
gangguan imunitas
meningkat frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
4. Tingkat nyeri 11. Identifikasi skala nyeri
menurun 12. Identifikasi respon nyeri non verbal
13. Identifikasi faktor yang memperberat dan
Kriteria hasil : memperingan nyeri

50
8. Melaporkan nyeri 14. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan
terkontrol tentang nyeri
9. Dukungan orang 15. Identifikasi pengaruh budaya terhadap
terdekat meningkat respon nyeri
10.Keluhan nyeri 16. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas
menurun hidup
11. Meringis menurun 17. Monitor keberhasilan terapi komplementer
12.Anoreksia menurun yang sudah diberikan
13.Nafsu makan 18. Monitor efek samping penggunaan
membaik analgetik
14.Pola tidur membaik
Terapeutik :
5. Berikan teknik non farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri (hipnosis,
akupresur, terapi musik, aromaterapy,
teknik imajinasi terbimibng, kompres
hangat /dingin, terapi bermain)
6. Kontrol lingkungan yang memperberat
rasa nyeri (suhu ruangan,
pencahayaan,kebisingan)
7. Fasilitasi istirahat dan tidur
8. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri
dalam pemilihan strategi meredakan nyeri

Edukasi :
6. Jelaskan penyebab, periode dan pemicu
nyeri
7. Jelaskan strategi meredakan nyeri

51
8. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
9. Anjurkan menggunakan analgetik secara
tepat
10. Anjurkan teknik non farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri

Kolaborasi :
2. Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

3. Defisit nutrisi b/d Tujuan : status nutrisi Manajemen Nutrisi Observasi :


membaik 1. Identifikasi status nutrisi
faktor psikologi
2. Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
(keengganan untuk Kriteria hasil : 3. Identifikasi makanan yang disukai
5. Posri makanan 4. Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis
makan)
yang dihabiskan nutrien
meningkat 5. Identifikasi perlunya pengguanan selang
6. Berat badan NGT’
membaik 6. Monitor asupan makanan
7. Nafsu makan 7. Monitor berat badan
membaik 8. Monitor hasil pemeriksaan labor
8. Membran mukosa
membaik
Terapeutik :
7. Lakukan oral higiene sebelum makan jika
perlu
8. Fasilitasi menentukan pedomaan diit
9. Sajiikan makan secara menarik dan suhu
yang sesuai

52
10. Berikan makanan tinggi serat untuk
mencegah konstipasi
11. Berikan makanan TKTP
12. Berikan suplemen makanan jika perlu

Edukasi :
3. Anjurkan posisi duduk, jika mampu
4. Ajarkan diet yang diprogramkan

Kolaborasi ;
3. Kolaborasi pemberian medikasi sebelum
makan
4. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
menentukan jumlah kalori dan jenis
nutrien yang dibutuhkan

53
CATATAN PERKEMBANGAN
NO Tgl/Jam/DX IMPLEMENTASI EVALUASI TTD
1 Sabtu 1. Mengatur posisi klien untuk memaksimalkan ventilasi: Jam 17.30
23/03/2019 posisi 45° S:
2. Mengajarkan klien teknik batuk efektif: posisi duduk - Tn. R mengatakan masih belum bisa
DX I bersandar dengan leher sedikit menekuk, lakukan tarik batuk secara maksimal
10-17.30 nafas dalam, pada tarikan nafas ke-4, tahan nafas dan - Tn. R mengatakan nafas masih sesak
lakukan batuk 2 kali, kemudian keluarkan nafas perlahan O:
melalui mulut, pada tarikan nafas ke-5 lakukan batuk - RR : 30 x/mnt
bersamaan dengan mengeluarkan nafas, kencangkan otot - Bunyi nafas : ronchi (+)
perut saat batuk, ulangi 5-10 kali lakukan 3-4 kali sehari. - Penggunaan otot bantu pernapasan (+)
3. Memberikan klien minum air putih hangat: ± 6 gelas dari - Retraksi dinding dada (+)
pagi sampai sore - Klien lebih nyaman dengan posisi semi
4. Memberikan oksigen: 3 liter /menit fowler, jika duduk sesak nafas
5. Melakukan auskultasi suara nafas dan mencatat adanya meningkat
suara nafas tambahan A : Masalah ketidakefektifan bersihan
6. Memonitor respirasi klien per 2 jam sekali jalan nafas belum teratasi
7. Mengististirahatkan klien P : Intervensi dipertahankan

54
DX II 1. Melakukan pengkajian nyeri secara komprehensif yaitu: 17.30
10. – 17.30 lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor S:
- Tn. R mengatakan nyeri di dada bagian
presipitasi
kiri, nyeri meningkat saat batuk dan
2. Mengobservasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan rasanya seperti di tusuk-tusuk, nyeri
klien kadang hilang timbul
- Tn. R mengatakan tidur dengan
3. Menggunakan teknik komunikasi terapeutik untuk menekuk tubuh bisa sedikit
mengetahui pengalaman nyeri klien mengurangi nyerinya
4. Mengontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri O:
- Klien tampak meringis
seperti suhu ruangan dan kebisingan: meminta istri klien - Skala nyeri: 4-5
untuk mengipasi klien agar tidak merasa gerah, meminta - TD: 120/80 mmHg, N: 94 x/mnt, RR:
30 x/mnt
keluarga untuk membatasi tamu
- Klien tampak lebih nyaman tidur
5. Mengajarkan klien teknik non farmakologi untuk dengan posisi menekuk tubuhnya
mengurangi nyeri: teknik nafas dalam, menganjurkan A : Masalah nyeri belum teratasi
P : Intervensi dipertahankan
klien untuk bercerita dengan istrinya saat nyeri datang
untuk mengalihkan perhatian
6. Mengevaluasi keefektifan control nyeri setelah melakukan
teknik non farmakologi
7. Memantau tanda-tanda vital: TD, RR dan N siang dan
sore hari
8. Mengistirahatkan klien

55
DX III 1. Mengkaji adanya alergi makanan 17.30
07.30-17.30 2. Memonitor interaksi klien dan keluarga selama makan S:
- Orang klien mengatakan suaminya
3. Memonitor kulit kering dan adanya perubahan pigmentasi
hanya makan 3 sendok
4. Memonitor kadar Hemoglobin - klien mengatakan BB turun 5 kg 2
5. Memonitor turgor kulit bulan terakhir
- Orang tua klien mengatakan klien
6. Memonitor kekeringan, rambut kusam, dan rambut mudah masih malas makan
patah - Tn. R mengatakan lidah masih terasa
pahit
7. Memonitor mual dan muntah - Tn. E mengatakan tidak ada merasa
8. Memonitor pucat, kemerahan, dan kekeringan jaringan mual
konjungtiva
O:
9. Memonitor intake nuntrisi - Diet: MBTKTP
10. Menganjurkan klien makan sedikit tapi sering - Porsi makan klien tampak hanya habis
¼ porsi
11. Menganjurkan klien memakan makanannya selagi hangat
- Turgor kulit baik, kulit kering
- Konjungtiva anemis
- Membran mukosa pucat
- Hemoglobin: 14,4 g/dl
A : Masalah ketidakseimbangan nutrisi:
kurang dari kebutuhan tubuh belum teratasi
P : Intervensi dipertahankan

56
2 Sabtu, 1. Mengatur posisi klien untuk memaksimalkan ventilasi: Jam 17.30
24/03/2019 posisi 45° S:
2. Menganjurkan klien untuk melakukan batuk efektif setiap - Tn. R mengatakan hari ini sesak
DX I kali ingin batuk sesuai dengan yang sudah diajarkan nafasnya berkurang
07.30 – 17.30 3. Memberikan klien minum air putih hangat: ± 6 gelas dari - Tn. R mengatakan masih sulit untuk
pagi sampai sore batuk
4. Memberikan oksigen: 3 liter /menit O:
5. Melakukan auskultasi suara nafas dan mencatat adanya - RR : 24 x/mnt
suara nafas tambahan - Bunyi nafas : ronchi (+)
6. Memonitor respirasi klien per 2 jam sekali - Penggunaan otot bantu pernapasan (+)
7. Mengistirahatkan klien - Retraksi dinding dada (+)
- Klien lebih nyaman dengan posisi semi
fowler, jika duduk sesak nafas
meningkat
A : Masalah ketidakefektifan bersihan jalan
nafas belum teratasi
P : Intervensi dipertahankan

57
DX II 1. Mengobservasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan 17.30
07.30-17.30 klien S:
- Tn. R mengatakan nyeri di dada bagian
2. Mengontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri
kiri masih sering terasa
seperti suhu ruangan dan kebisingan: meminta istri klien - Tn. R mengatakan masih tidur dengan
untuk mengipasi klien agar tidak merasa gerah, meminta menekuk tubuh untuk mengurangi
nyerinya
keluarga untuk membatasi tamu O:
3. Mendampingi klien untuk melakukan teknik nafas dalam - Klien tampak meringis
- Skala nyeri: 4-5
saat nyeri atau meminta klien bercerita dengan istrinya
- TD: 100/70 mmHg, N: 90 x/mnt, RR:
saat nyeri datang untuk mengalihkan perhatian 24 x/mnt
4. Mengevaluasi keefektifan control nyeri setelah melakukan - Klien tampak lebih nyaman tidur semi
fowler
teknik non farmakologi
A: Masalah nyeri belum teratasi
5. Memantau tanda-tanda vital: TD, RR dan N siang dan P : Intervensi dipertahankan
sore hari
6. Mengistirahatkan klien
7. Memberikan analgetik untuk mengurangi nyeri: MST 1x1

58
DX III 1. Memonitor interaksi klien dan keluarga selama makan 17.30
07.30-17.30 2. Memonitor kulit kering S:
- Ibu klien mengatakan anaknya makan 5
3. Memonitor kadar Hemoglobin
sendok
4. Memonitor turgor kulit - Istri klien mengatakan suaminya masih
5. Memonitor mual dan muntah malas makan
- Tn. R mengatakan lidah masih terasa
6. Memonitor pucat, kemerahan, dan kekeringan jaringan pahit
konjungtiva - Tn. R mengatakan tidak ada merasa
mual
7. Memonitor intake nuntrisi
8. Menganjurkan klien makan sedikit tapi sering O:
9. Menganjurkan klien memakan makanannya selagi hangat - Porsi makan klien tampak hanya habis
¼ porsi
- Turgor kulit baik, kulit kering
- Membran mukosa puca
A : Masalah ketidakseimbangan nutrisi:
kurang dari kebutuhan tubuh belum teratasi
P :Intervensi dipertahankan

59
3 Minggu, 1. Mengatur posisi klien untuk memaksimalkan ventilasi: Jam 17.30
24/03/2019 posisi 45° S:
DX I 2. Menganjurkan klien untuk melakukan batuk efektif setiap - Tn. R mengatakan hari ini sesak
07.30 – 17.30 kali ingin batuk sesuai dengan yang sudah diajarkan nafasnya berkurang
3. Memberikan klien minum air putih hangat: ± 6 gelas dari - Tn. R mengatakan sudah lebih bisa
pagi sampai sore batuk maksimal dan mengeluarkan
4. Memberikan oksigen: 3 liter /menit dahaknya
5. Melakukan auskultasi suara nafas dan mencatat adanya O:
suara nafas tambahan - RR : 24 x/mnt
6. Memonitor respirasi klien per 2 jam sekali - Bunyi nafas : ronchi (+)
7. Mengistirahatkan klien - Penggunaan otot bantu pernapasan (+)
- Retraksi dinding dada (+)
- Klien lebih nyaman dengan posisi semi
fowler, jika duduk sesak nafas
meningkat
- Klien tampak sudah mampu untuk
batuk maksimal
A : Masalah ketidakefektifan bersihan jalan
nafas belum teratasi
P : Intervensi dipertahankan

60
DX II 1. Mengobservasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan 17.30
klien S:
07.30-17.30 - Tn. R mengatakan nyeri di dada hanya
2. Mengontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri
pagi ini terasa
seperti suhu ruangan dan kebisingan: meminta istri klien - Ibu klien mengatakan suaminya sudah
untuk mengipasi klien agar tidak merasa gerah, meminta mulai tidur telentang

keluarga untuk membatasi tamu O:


3. Mendampingi klien untuk melakukan teknik nafas dalam - Klien tampak lebih tenang
- Skala nyeri: 2
saat nyeri atau meminta klien bercerita dengan istrinya - TD: 120/80 mmHg, N: 92 x/mnt, RR:
saat nyeri datang untuk mengalihkan perhatian 24 x/mnt
4. Mengevaluasi keefektifan control nyeri setelah melakukan A : Masalah nyeri belum teratasi
P : Intervensi dipertahankan
teknik non farmakologi
5. Memantau tanda-tanda vital: TD, RR dan N siang dan
sore hari
6. Mengistirahatkan klien
7. Memberikan analgetik untuk mengurangi nyeri: MST 1x1

61
DX III 1. Memonitor interaksi klien dan keluarga selama makan 17.30
07.30-17.30 2. Memonitor kulit kering S:
- Ibu klien mengatakan anaknya makan
3. Memonitor kadar Hemoglobin
habis ½ porsi tapi di angsur-angsur
4. Memonitor turgor kulit - Tn. R mengatakan lidah masih terasa
5. Memonitor mual dan muntah pahit
- Tn. R mengatakan tidak ada merasa
6. Memonitor pucat, kemerahan, dan kekeringan jaringan mual
konjungtiva
O:
7. Memonitor intake nuntrisi
- Porsi makan klien tampak habis ½
8. Menganjurkan klien makan sedikit tapi sering porsi
9. Menganjurkan klien memakan makanannya selagi hangat - Turgor kulit baik, kulit kering
- Konjungtiva anemis
- Membran mukosa pucat
- Hemoglobin: 12,3 g/dl
A : Masalah belum teratasi
P : Intervensi dipertahankan

62

Anda mungkin juga menyukai