Anda di halaman 1dari 27

Presentasi Kasus

Seorang Wanita 61 Tahun dengan Sepsis

OLEH :
dr. Annisa Rizkia Fitri

PENDAMPING :
dr. Edwin
dr. Harry

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT UMUM PALANG BIRU GOMBONG
KEBUMEN
2016

1
Topik : Sepsis
Tanggal Kasus : 14 Maret 2016 Presenter : dr. Annisa Rizkia Fitri
Tanggal Presentasi : 16 Juli 2016 Pendamping : dr. Edwin & dr. Harry
Tempat Presentasi : Ruang Pertemuan RS Palang Biru Gombong
Obyektif Presentasi :
 Keilmuan  Keterampilan  Penyegaran  Tinjauan Pustaka
 Diagnostik  Manajemen  Masalah  Istimewa
 Neonatus  Bayi  Anak  Remaja  Dewasa  Lansia  Bumil
 Deskripsi : Seorang wanita 61 tahun datang ke Instalasi Gawat Darurat RS Palang
Biru Gombong dengan penurunan kesadaran sejak ±2 jam SMRS.
 Tujuan : Mengetahui penatalaksanaan pada pasien sepsis.
Bahan Bacaan  Tinjauan Pustaka  Riset  Kasus  Audit
Cara Membahas  Diskusi  Presentasi dan Diskusi  Email  Pos
Data Pasien Identitas : Ny. S / 61 tahun / P Nomor Registrasi : 080254
Nama Klinik Rumah Sakit Palang Biru Gombong, Kebumen, Jawa Tengah
Data Utama Untuk Bahan Diskusi
1. Anamnesis (Alloanamnesis)
Keluhan Utama : BAB cair
Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang dengan penurunan kesadaran sejak ±2
jam SMRS. Sebelumnya pasien hanya mengeluhkan badannya lemas, namun tetap
beraktivitas seperti biasa.
2. Riwayat Penyakit Dahulu : pasien belum pernah sakit serupa sebelumnya, riwayat
DM (+) tidak terkontrol
3. Riwayat Penyakit Keluarga: sakit gula, darah tinggi, sakit jantung disangkal
4. Riwayat Pengobatan : (-)
5. Riwayat Kebiasaan : merokok, minum alkohol disangkal
6. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
Kesadaran E1M4V2

2
Gizi kesan baik, BB : 65 kg
b. Vital Sign
TD : 60/palpasi mmHg
HR : 120 x/menit (teraba kuat, isian cukup, reguler)
RR : 20 x/menit (reguler)
S : 39,3oC (peraksiler)
c. Kepala
Normocephal
d. Mata
Conjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
e. Hidung
Epistaksis (-/-)
f. Mulut
Mukosa basah (-), sianosis (-), gusi berdarah (-)
g. Thoraks
Simetris (+), retraksi (-)
h. Cor
Iktus cordis tidak tampak, iktus cordis tidak kuat angkat, bunyi jantung I-II
intensitas normal, reguler, bising (-)
i. Pulmo
Pengembangan dada kanan=kiri, fremitus raba sulit dievaluasi, perkusi
sonor/sonor, suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)
j. Abdomen
Dinding perut sejajar dinding dada, turgor kulit normal, bising usus menurun 1-
2x per menit, timpani (+), supel, hepar dan lien tidak teraba
k. Ekstremitas
Oedem Akral dingin
- - + +
- - + +

3
7. Diagnosis
1. Observasi Penurunan Kesadaran
2. Syok Hipovolemik
8. Penatalaksanaan
1. IVFD RL loading 1000 cc  cek 5. Pasang DC
ulang tekanan darah 6. Lab (Hb, AL, Cr, GDS)
2. Injeksi Lapixime 2 x 1 gram (iv) 7. Rawat Sp.PD
3. Infus Paracetamol 2 x 1 flash
4. Injeksi Citicolin 2 x 250 mg (iv)
10. Prognosis
Ad vitam : dubia
Ad sanam : dubia
Ad fungsionam : dubia

FOLLOW UP
1. Tanggal : 14 Maret 2016 (20.40)
S : Penurunan kesadaran
O : Kesadaran : E1M4V2
Tekanan darah : 60/palpasi mmHg
Abdomen : bising usus menurun
Ekstremitas:
Akral dingin
+ +
+ +
A : Syok Septik
P : 1. IVFD RL loading 500 cc  cek ulang tekanan darah
2. Injeksi Lapixime 2 x 1 gram (iv)
3. Infus Paracetamol 2 x 1 flash
4. Injeksi Citicolin 2 x 250 mg (iv)
2. Tanggal : 14 Maret 2016 (21.40)

4
S : Penurunan kesadaran
O : Kesadaran : E1M5V4
Tekanan darah : 80/50 mmHg
Ekstremitas:
Akral dingin
+ +
+ +
A : Observasi Penurunan Kesadaran
Syok Hipovolemik
P : 1. IVFD RL loading 1000 cc (kedua)
2. IVFD D5% + Dopamin 16 tpm  observasi vital sign
3. Rawat IPI
3. Tanggal : 14 Maret 2016 (22.40)
S : Penurunan kesadaran
O : Kesadaran : E1M5V4
Tekanan darah : 74/48 mmHg
Pulmo : SDV (+/+), Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
Ekstremitas:
Akral dingin
+ +
+ +
Leukosit : 32.000 /ul
Hemoglobin : 13 g%
Creatinin : 2,3 mg/dl
GDS : 176 mg/dl
A : Syok Septik dd/ CRF
P : 1. IVFD RL loading 500 cc  selanjutnya 40 tpm
2. IVFD D5% + Dopamin 20 tpm  observasi vital sign
3. Injeksi Lapixime stop
4. Injeksi Ceftazidime 2 x 1 gram (iv)

5
5. Injeksi Dexamethasone 2 x 1 ampul
4. Tanggal : 15 Maret 2016 (07.00)
S : Penurunan kesadaran
O : Kesadaran : E1M5V4
Tekanan darah : 145/100 mmHg
Suhu : 39oC
Pulmo : SDV (+/+), Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
A : SIRS
P : 1. IVFD RL 30-40 tpm
2. IVFD D5% + Dopamin stop
3. Infus Paracetamol 3 x 1 flash
4. Injeksi Ranitidin 3 x 50 mg (iv)
5. Injeksi Dexamethasone 4 x 1 ampul
6. Lab (Micros, Ur, Cr)
7. EKG
5. Tanggal : 16 Maret 2016
S : Penurunan kesadaran
O : Kesadaran : E3M5V3
Tekanan darah : 160/80 mmHg
Suhu : 38,1oC
Pulmo : SDV (+/+), Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
Abdomen : bising usus menurun
Ureum : 59 mg/dl
Creatinin : 1,2 mg/dl
Leukosit : 28.000 /ul
EKG : Iskemik Inferior

6
A : SIRS
PJI
P : 1.Injeksi Ceftazidime stop
2. Injeksi Ranitidine stop
3. Infus Cravit 1 x 1 flash
4. Injeksi Topazol 1 x 1 ampul (iv)
5. Po ISDN 3 x 1 tab
6. Po Clopidogrel 1 x 1 tab
7. Lab (Dengue blot, Widal)
6. Tanggal : 18 Maret 2016
S : Pusing, lemas
O : Kesadaran : E4M6V5
Tekanan darah : 167/94 mmHg
Pulmo : SDV (+/+), Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
Abdomen : bising usus (+)
DBIgG (-)
DBIgM (-)
Widal – Typhi H (-)
Widal – Typhi O (-)
Widal – Paratyphi AH 1/200

7
Widal – Paratyphi AO (-)
A : SIRS
PJI
Demam Typhoid
P : 1. Injeksi Mikasin 2 x 0,5 gram (iv)
7. Tanggal : 20 Maret 2016
S : Demam, nyeri perut
O : Kesadaran : E4M6V5
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Suhu : 37,1oC
Pulmo : SDV (+/+), Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
Abdomen : bising usus (+), nyeri tekan (+)
A : SIRS
PJI
Demam tifoid
P : 1.Pindah ruang perawatan biasa
2. Ganti DC
3. Terapi lanjut
8. Tanggal : 22 Maret 2016
S : Sesak nafas, badan menggigil
O : Kesadaran : E4M5V4
SiO2 : 93% dengan O2 5 lpm
Tekanan darah : 170/100 mmHg
Suhu : 38,6oC
Pulmo : SDV (+/+), Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
Abdomen : bising usus (+), nyeri tekan (+)
A : SIRS
PJI
Demam tifoid
P : 1. Pasang NRM 10 lpm

8
2. Lab (Micros, Malaria)
9. Tanggal : 23 Maret 2016
S : Demam, gelisah, tidak bisa makan, obat tidak masuk
O : Kesadaran : E3M5V3
SiO2 : 98% dengan O2 10 lpm
Tekanan darah : 160/90 mmHg
Suhu : 38,5oC
Pulmo : SDV (+/+), Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
Abdomen : bising usus (+), nyeri tekan (+)
Leukosit : 14.900 /ul
Trombosit : 132.000 /ul
Malaria (-)
A : Sepsis
PJI
Demam tifoid
P : 1. Pasang NGT
2. Infus Cravit stop
3. Injeksi Ronem 2 x 1 gram (iv)
4. Lab (Dengue blot)
10. Tanggal : 24 Maret 2016
S : Demam
O : Kesadaran : E3M5V3
SiO2 : 98% dengan O2 10 lpm
Tekanan darah : 130/90 mmHg
Suhu : 39oC
Pulmo : SDV (+/+), Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
Abdomen : bising usus (+)
DBIgG (+)
DBIgM (-)
A : Sepsis

9
PJI
Demam tifoid
DHF
P : 1. IVFD Precopar 24 tpm
2. Infus Metronidazole 2 x 500 mg
11. Tanggal : 25 Maret 2016 (10.00)
S : Penurunan kesadaran
O : Kesadaran : E2M5V2
SiO2 : 84-85% dengan O2 10 lpm
Tekanan darah : 130/90 mmHg
Suhu : 40,6oC
HR : 140x / menit
Pulmo : SDV (+/+), Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
Abdomen : bising usus (+)
A : Sepsis
PJI
Demam tifoid
DHF
P : 1. IVFD Precopar  ganti IVFD D5% + Dopamin 20 tpm
2. Injeksi Methyl Prednisolone 2 x 62,5 mg
12. Tanggal : 25 Maret 2016 (16.45)
S : Apneu
O : Arteri carotis (-)  RJP  arteri carotis (-)
reflek cahaya (-/-)
pupil midriasis maksimal (+/+)
A : Sepsis
PJI
Demam tifoid
DHF
P : Pasien dinyatakan meninggal dunia  Edukasi keluarga

10
SEPSIS

A. Definisi
Sepsis didefinisikan sebagai munculnya infeksi bersama dengan
manifestasi sistemik infeksi. Sepsis berat didefinisikan sebagai sepsis
ditambah disfungsi organ atau hipoperfusi jaringan yang disebabkan sepsis.
Hipotensi akibat sepsis didefinisikan sebagai tekanan sistol <90mmHg atau
MAP <70mmHg atau penurunan tekanan sistol >40mmHg atau kurang dari
dua standar deviasi di bawah tekanan sistol normal sesuai usia tanpa penyebab
hipotensi lainnya. Syok septik didefinisikan sebagai hipotensi persisten akibat
sepsis meskipun resusitasi cairan yang adekuat. Hipoperfusi jaringan akibat
sepsis didefinisikan sebagai hipotensi yang disebabkan oleh infeksi,
peningkatan laktat, atau oliguria.

B. Etiologi
Berbagai macam kuman seperti bakteri, virus, parasit, atau jamur dapat
menyebabkan infeksi berat yang mengarah ke terjadinya sepsis.

Suspected Source of Sepsis

Skin/Soft Urinary
Lung Abdomen CNS
Tissue Tract

Streptococcus Streptococcus
Streptococcus
pyogenes pneumoniae
pneumoniae Escherichia
Staphylococcus Neiserria
Major Haemophilus Escherichia coli
aureus meningitidis
Community influenzae coli Klebsiella sp.
Clostridium sp. Listeria
Acquired Legionella Bacteroides Enterobacter
Polymicrobial monocytogenes
Pathogens sp. fragilis sp.
infections Escherichia
Chlamydia Proteus sp.
Aerobic gram coli
pneumoniae
negative bacilli Haemophilus

11
Pseudomonas influenzae
aeruginosa
Anaerobes
Staphylococcus
sp.

Aerobic Pseudomonas
Aerobic
gram aeruginosa
Staphylococcus gram
Major Aerobic gram negative Escherichia
aureus negative
Nosocomial negative bacilli coli
Aerobic gram bacilli
pathogens bacilli Anaerobes Klebsiella sp.
negative bacilli Enterococcus
Candida Staphylococcus
sp.
sp. sp

C. Patofisologi
Sepsis merupakan hasil interaksi antara mikroorganisme beserta
produknya dengan respon yang dilepaskan faktor pejamu (sitokin dan
mediator lain). Respon pejamu ini merupakan mekanisme dasar yang
dibangun untuk melindungi tubuh dari bahaya, namun pada sepsis responnya
berlebih, dengan efek negatif, mengarah ke disfungsi organ dan sering
mengakibatkan kematian. Kuatnya pertahanan pejamu tergantung pada jumlah
mikroorganisme yang menginvasi, tapi hal ini sangat dipengaruhi variabilitas
tiap individu yang membangun tingkat respon terhadap inflamasi.
1. Respon sistemik awal
Stimulus yang menyebabkan respon pejamu dapat dari
mikroorganisme itu sendiri atau produknya : endotoksin (dari Gram
negatif), peptidoglikan, asam lipotekoat (dari Gram positif), atau toksin
bakteri spesifik lainnya.
Produk mikrobial ini mengawali efek dan reaksi yang luas, yang
melibatkan sistem yang berbeda dari tubuh. Dua perubahan yang penting

12
adalah pelepasan sitokin dari sistem inflamasi dan abnormalitas dalam
koagulasi (aktivasi koagulasi, inhibisi fibrinolisis dan aktivasi platelet).

Reaksi yang luas dari sistem kompleks terangsang kemudian, termasuk


aktivasi sitem komplemen, PAF (Platelet Activating Factors), metabolik
asam arakidonat, jenis oksigen reaktif, nitrit oksida. Terjadi pula siklus
inflamasi dan koagulasi yang hebat, dengan iskemia, kerusakan sel, dan
akhirnya disfungsi organ dan kematian.
Mekanisme dimana produk mikrobial menyebabkan lepasnya mediator
telah diketahui. Produk mikrobial tersebut dikenali oleh reseptor sel sepert
CD14 atau Toll-like receptors(TLRs). Contohnya, endotoksin
(lipopolisakarida LPS) berikatan dengan LPS-binding protein (LPB) yang
spesifik di plasma, dan komplek LPS-LPB berikatan dengan reseptor
membran makrofag, CD14, yang akan menampakkan LPS ke sinyal
reseptor transduser di membran, TLR 4. Ikatan ini akan mengaktivasi
faktor inti K-B (NF-KB) dengan pengaktifan makrofag sekunder dan
pelepasan sitokin. Untuk kuman Gram positif, rangkaian ini mungkin
sama, meskipun belum jelas.
2. Rangkaian inflamasi
Rangkaian inflamasi diperantarai oleh sitokin, yang merupakan
turunan makrofag, peptida immunoregulator yang menargetkan reseptor
organ agar berespon terhadap jejas maupun infeksi. Sitokin dapat
dikategorikan menjadi proinflamasi atau antiinflamasi.

13
Sitokin proinflamasi diwakili oleh tumor necrosis factor (TNF),
Interleukin (IL-1, IL-6 dan IL8). Sitokin ini menyebabkan adhesi dinding
endotelial leukosit, merangsang pelepasan protease dan metabolit asam
arakidonat, dan mengaktivasi jalur koagulasi.
Sitokin antiinflamasi termasuk IL-10, reseptor TNF, antagonis reseptor
IL-1 (IL-1 RA). Mereka menyebabkan mekanisme feedback negatif untuk
reaksi inflamasi dan reaksi koagulasi, mengahsilkan compensatory anti-
inflammatory response syndrome (CARS) dengan menghambat TNF, IL-6,
limfosit T dan fungsi makrofag, yang memperbesar aksi dari reaktan fase
akut dan imunoglobulin. Jika terjadi ketidakseimbangan antara SIRS dan
CARS, homeostasis akan terganggu. Jika SIRS lebih dominan, maka
hasilnya mungkin sepsis / severe sepsis / syok septik. Jika CARS yang
lebih mendominasi, sistem imun dapat tertekan, sehingga pasien diragukan
hidup – dengan ancaman infeksi. Akhirnya, dapat terjadi hipoperfusi dari
organ mayor, hasil akhirnya berupa multiple organ dysfunction syndrome
(MODS).

14
Rangkaian terjadinya sepsis menggambarkan keseimbangan antara pasukan
proinflamasi (SIRS) dan antiinflamasi (CARS). TNF = Tumor Necrosis Factor ; IL =
interferon ; PAI = Plasminogen activator inhibitor.

15
D. Diagnosis
Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), ditandai dengan ≥2
gejala sebagai berikut:
1. Suhu >38°C atau <36°C
2. Heart rate >90/menit
3. Respiratory rate >20/menit atau PaCO2 <32 mm Hg
4. Leukosit >12 000/mm3 atau <4000/mm3 atau >10% sel imatur

Kriteria Diagnosis Sepsis


1. Variabel Umum
a. Demam (> 38.3°C)
b. Hipotermia (suhu < 36°C)
c. Heart rate > 90/menit atau lebih dari dua sd di atas normal sesuai usia
d. Takipneu
e. Perubahan status mental
f. Edema yang signifikan atau balance cairan > 20 mL/kg selama 24 jam
g. Hiperglikemia >140 mg/dL tanpa diabetes

2. Variabel Inflamasi
a. Leukositosis (WBC count > 12.000 µL–1)
b. Leukopenia (WBC count < 4000 µL–1)
c. WBC normal dengan > 10% sel imatur
d. Plasma C-reactive protein lebih dari dua sd di atas nilai normal
e. Plasma procalcitonin lebih dari dua sd di atas nilai normal

3. Variabel Hemodinamik
a. Hipotensi Arterial (SBP < 90 mmHg, MAP < 70 mmHg, atau
penurunan SBP > 40 mmHg pada dewasa atau lebih dari dua sd di
bawah nilai normal sesuai usia

4. Variabel Disfungsi Organ

16
a. Hipoksemia Arterial (Pao2/Fio2 < 300)
b. Oliguria akut (urin output < 0.5 mL/kg/jam selama minimal 2 jam
setelah pemberian resusitasi cairan yang adekuat)
c. Peningkatan Creatinine > 0.5 mg/dL
d. Koagulasi abnormal (INR > 1.5 atau aPTT > 60 detik)
e. Ileus (tidak adanya bising usus)
f. Trombositopenia (platelet count < 100,000 µL–1)
g. Hiperbilirubinemia (plasma total bilirubin > 4 mg/dL)

5. Variabel Perfusi Jaringan


a. Hiperlaktatemia (> 1 mmol/L)
b. Penurunan capillary refill time

Sepsis Berat
1. Hipotensi akibat sepsis
2. Laktat di atas batas tertinggi nilai laboratorium normal
3. Urin output < 0.5 mL/kg/jam selama lebih dari 2 jam setelah resusitasi
cairan adekuat
4. Acute lung injury dengan PaO2/FIO2 < 250 tanpa pneumonia sebagai
sumber infeksi
5. Acute lung injury dengan PaO2/FIO2 < 200 dengan pneumonia sebagai
sumber infeksi
6. Creatinine > 2.0 mg/dL
7. Bilirubin > 2 mg/dL
8. Platelet count < 100,000 µL
9. Koagulopati (international normalized ratio > 1.5 atau aPTT > 60 detik)

E. Manajemen Terapi

1. Resusitasi Awal

17
a. Resusitasi pada pasien dengan hipotensi akibat sepsis (dilakukan pada
pasien hipotensi persisten setelah water challenge test atau laktat ≥ 4
mmol/L). Target terapi pada 6 jam pertama resusitasi adalah :
1) Central venous pressure 8–12 mm Hg
2) Mean arterial pressure (MAP) ≥ 65 mm Hg
3) Urin output ≥ 0.5 mL/kg/jam
4) Central venous (superior vena cava) pressure (CVP) 8-12 mmHg
b. Pada pasien dengan peningkatan laktat target resusitasi hingga nilai
laktat normal.

2. Screening Sepsis

18
19
3. Diagnosis
a. Kultur bakteri sebelum pemberian antibiotic setidaknya 2 set kultur
(aerob dan non aerob).
b. Gunakan 1,3 beta-D-glucan assay bila curiga candidiasis sebagai
penyebab infeksi.

4. Terapi antimikroba
a. Berikan antibiotic intravena dalam 1 jam pertama.
b. Antibiotik spektrum luas : 1 atau 2 antibiotik yang sensitif untuk pola
kuman yang ada di RS. Pemberian antibiotik harus dievaluasi setiap
hari.
c. Gunakan procalcitonin level rendah atau biomarker sejenis dan
hentikan pemberian antibiotik spektrum luas pada pasien yang
mengarah ke sepsis tapi tidak ada bukti infeksi.
d. Pemberian terapi kombinasi pada pasien neutropenic dengan sepsis
berat dan pada pasien resisten antibiotik. Untuk pasien dengan infeksi
berat yang berhubungan dengan gangguan nafas dan syok septic,
kombinasi terapi dengan beta-lactam dan aminoglikosid atau
fluoroquinolon untuk P. aeruginosa bacteremia. Kombinasi beta-
lactam dan macrolide untuk pasien syok septik dari infeksi bakteri
Streptococcus pneumoniae.
e. Pemberian kombinasi terapi empirik tidak boleh lebih dari 3-5 hari.
f. Durasi pemberian terapi 7-10 hari, bisa lebih lama pada pasien dengan
respon klinis lambat, bakteremia S. aureus; immunodefisiensi,
termasuk neutropenia.
g. Terapi antiviral harus segera diberikan pada pasien sepsis berat atau
syok septik yang murni disebabkan oleh virus.
h. Antimikroba tidak boleh diberikan pada pasien dengan inflamasi berat
tanpa penyebab infeksi.

5. Source Control

20
a. Diagnosis dari infeksi harus didapatkan sesegera mungkin, dan
intervensi pada penyebab infeksi dilakukan selama 12 jam pertama
setelah diagnosis tegak, bila memungkinkan.

6. Pencegahan Infeksi
a. Dekontaminasi oral dan dekontaminasi pencernaan harus diselidiki
sebagai metode untuk mengurangi kejadian ventilator-associated
pneumonia.
b. Oral chlorhexidine glukonat digunakan sebagai bentuk dekontaminasi
orofaringeal untuk mengurangi risiko ventilator-associated pneumonia
pada pasien ICU dengan sepsis berat .

7. Terapi Cairan untuk Sepsis Berat


a. Kristaloid adalah pilihan untuk cairan awal dalam resusitasi pada
sepsis berat dan syok septik.
b. Jangan gunakan hidroksietil untuk resusitasi cairan dari sepsis berat
dan syok septik.
c. Albumin dalam resusitasi cairan dari sepsis berat dan syok septik
ketika pasien memerlukan sejumlah besar kristaloid .
d. Resusitasi cairan awal pada pasien hipoperfusi jaringan akibat sepsis
yang dicurigai hipovolemia dapat diberikan minimal 30 mL/kg
kristaloid.
e. Water challenge test dapat dilakukan ketika pemberian terapi cairan
untuk mengetahui apakah ada peningkatan hemodinamik.

8. Vasopressor
a. Terapi vasopressor awal untuk target mean arterial pressure (MAP) 65
mmHg.
b. Norepinephrine (NE) adalah pilihan pertama vasopressor.
c. Epinephrine (dapat ditambahkan atau menggantikan norepinephrine)
ketika diperlukan untuk perumatan tekanan darah yang adekuat.

21
d. Vasopressin 0.03 unit/menit dapat ditambahkan pada NE dengan
maksud untuk meningkatkan MAP atau menurunkan dosis NE.
e. Low dose vasopressin tidak direkomendasikan sebagai pemberian
tunggal pada hipotensi akibat sepsis.
f. Dopamine sebagai alternatif vasopressor hanya diberikan pada pasien
tertentu (misal pada pasien dengan resiko rendah takiaritmia dan
bradikardi relatif maupun absolute).
g. Phenylephrine tidak direkomendasikan kecuali bila (a) NE
menyebabkan aritmia, (b) cardiac output seharusnya naik dan tekanan
darah persisten rendah, (c) terapi terakhir ketika kombinasi vasopressor
dan low dose vasopressin gagal mencapai target MAP target.
h. Low-dose dopamine tidak boleh diberikan untuk perlindungan pada
ginjal.

9. Terapi Inotropik
a. Percobaan infus dobutamin hingga 20 mikrogram/kg/menit bisa
ditambahkan pada vasopressor untuk (a) disfungsi myocard, atau (b)
tanda-tanda hipoperfusi, untuk mencapai volume intravascular dan
MAP yang adekuat.

10. Kortikosteroid
a. Jangan gunakan hidrokortison (iv) untuk terapi syok septik bila
resusitasi cairan dan terapi vasopressor bisa mengembalikan
keseimbangan hemodinamik. Bila tidak tercapai, gunakan
hidrokortison tunggal 200 mg (iv) per hari.
b. Jangan gunakan stimulasi ACTH untuk mengidentifikasi pasien syok
septik mana yang seharusnya mendapatkan hidrokortison.
c. Hidrokortison diberikan secara tapering off ketika vasopressor tidak
lagi dibutuhkan.
d. Kortikosteroid tidak perlu diberikan pada pasien sepsis tanpa syok.
e. Ketika diberikan hidrokortison, gunakan aliran secara kontinu.

22
11. Pemberian Transfusi Darah
a. Berikan PRC bila Hb < 7gr/dl untuk mencapai Hb 7-9 gr/dl. Kadar Hb
lebih tinggi diperlukan pada keadaan iskemik myocard, hipoksemia
berat, perdarahan akut, penyakit jantung sianotik, atau asidosis laktat.
b. Jangan gunakan eritropoetin untuk terapi anemia pada sepsis dan Fresh
Frozen Plasma bila tidak ada perdarahan dan tindakan invasif.
c. Jangan gunakan antithrombin.
d. Berikan trombosit :
1) bila trombosit <10,000/mm3 tanpa perdarahan
2) bila trombosit < 20,000/mm3 pada pasien dengan resiko tinggi
perdarahan
3) bila trombosit ≥50,000/mm3 untuk pembedahan dan terapi invasif.

12. Immunoglobulin
a. Tidak direkomendasikan.

13. Selenium
a. Tidak direkomendasikan.

14. Ventilasi Mekanik pada Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)


akibat Sepsis
a. Target volume tidal volume 6 mL/kg diprediksi dari berat badan pasien
dengan ARDS akibat sepsis.
b. Posisi pronasi digunakan pada pasien ARDS akibat sepsis dengan rasio
Pao2/Fio2 ≤ 100 mm Hg.
c. Ventilasi mekanik dilakukan secara rumatan dengan elevasi 30-45
derajat untukk menghindari resiko aspirasi dan mencegah ventilator-
associated pneumonia.
d. Terapi konservatif dipilih dibandingkan terapi cairan untuk pasien
ARDS akibat sepsis yang tidak terbukti hipoperfusi jaringan.

23
e. Bila tidak ada indikasi spesifik seperti bronkospasme jangan gunakan
beta 2-agonists untuk terapi ARDS akibat sepsis.

15. Sedasi, Analgetik, dan Neuromuscular blockade pada Sepsis


a. Sedasi secara kontinu atau intermitten pada pasien sepsis dengan
ventilasi mekanik.
b. Neuromuscular blocking agents (NMBAs) bisa dicegah pada pasien
sepsis tanpa ARDS dengan resiko neuromuscular blockade
berkelanjutan diikuti diskontinuitas.
c. Pemberian NMBA jangka pendek tidak lebih dari 48 jam pada pasien
ARDS akibat sepsis dan Pao2/Fio2 < 150 mm Hg.

16. Pengendalian Gula Darah


a. Target pengendalian gula darah pada sepsis < 110 mg/dl.
b. Gula darah harus dimonitor setiap 1-2 jam sampai nilai gula darah dan
pemberian insulin stabil dan dilanjutkan setiap 4 jam.

17. Terapi Renal Replacement


a. Hemodialisis intermitten maupun kontinu dilakukan pada pasien
dengan sepsis berat dan acute renal failure.
b. Gunakan terapi secara kontinu untuk manajemen balance cairan pada
pasien dengan hemodinamik tidak stabil.

18. Terapi Bikarbonat


a. Jangan gunakan terapi natrium bikarbonat untuk meningkatkan
hemodinamik atau menurunkan terapi vasopressor pada pasien asidosis
laktat dengan pH ≥7,15.

19. Profilaksis Deep Vein Thrombosis


a. Pasien dengan sepsis berat menerima terapi profilaksis untuk
mencegah tromboemboli vena.

24
b. Pasien sepsis yang memiliki kontraindikasi penggunaan heparin (misal
trombositopenia, koagulopati berat, perdarahan aktif, ICH) tidak
mendapatkan terapi profilaksis medikamentosa namun mendapatkan
terapi profilaksis mekanik seperti stoking kompresi.

20. Profilaksis Stress Ulcer


a. Gunakan H2 blocker atau PPI pada pasien sepsis berat atau syok septic
yang memiliki resiko perdarahan.
b. Pasien tanpa faktor resiko tidak perlu diberikan profilaksis.

21. Nutrisi
a. Nutrisi oral atau enteral untuk melengkapi gula darah dalam 48 jam
pertama sejak diagnosis tegak.
b. Hindari pemberian kalori pada seminggu pertama, selanjutnya beri
dengan dosis rendah(hingga 500 kalori/hari).
c. Berikan glukosa intravena dan nutrisi enteral dibandingkan hanya
nutrisi parenteral total saja.
d. Berikan nutrisi dari suplemen immunomodulating yang tidak spesifik.

22. Target Terapi


a. Diskusikan target terapi dan prognosis pada pasien dan keluarganya.
b. Tentukan target terapi tidak lebih dari 72 jam sejak pasien dirawat di
ICU.

F. Komplikasi

Multiple Organ Failure


DIC FDP≥ 1:40 atau D-dimers ≥2,0 dengan
rendahnya
platelet
Memanjangnya waktu:

25
- protrombin
- partial thromboplastin
- Perdarahan

Respiratory Distress Syndrome Hipoksemia

Acute Renal Failure Kreatinin > 2,0 ug/dl


Na. Urin 40 mmol/L
Kelainan prerenal sudah disingkirkan

Hepatobilier disfunction Bil.>34 umol/L (2,0 mg/dL)


Harga alk. Fosfatase, SGOT, SGPt dua
kali harga normal

Central Nervous System Disfunction GCS < 15

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Singer M, Deutschman CS, Seymour CW, Shankar-Hari M, Annane D,


Bauer M, et al. The Third International Consensus Definitions for Sepsis
and Septic Shock (Sepsis-3). JAMA. 2016 Feb 23. 315 (8):801-10
2. Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A, Annane D, Gerlach H, Opal SM, et
al. Surviving sepsis campaign: international guidelines for management of
severe sepsis and septic shock:2012. Crit Care Med. 2013 Feb. 41 (2):580-
637
3. Djillali Annane. Corticosteroids for severe sepsis: an evidence-based guide
for physicians. Annals of Intensive Care. 2011. 1:7
4. Gourang P. Patel, Robert A. Balk. Systemic Steroids in Severe Sepsis and
Septic Shock. Crit Care Med. 2012 Jan 15. 185 (2):133-139.

27

Anda mungkin juga menyukai