a. Ulama Hanafiah berpendapat bahwa rahin tidak boleh memanfaatkan barang tanpa izin murtahin, begitu pula murtahin tidak boleh memanfaatkannya tanpa seizin rahin. Pendapat ini senada dengan pendapat ulama Hanabilah. b. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa jik barang yang digadaikan sudah berada ditangan murtahin, rahin mmempunyai hak memanfaatkannya. c. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa rahin dibolehkan untuk memanfaatkan barang jika tidak menyebabkan barang yang digadaikan berkurang, tidak perlu meminta izin , seperti mengendarainya, menempatinya dan lain-lain. Akan tetapi jika menyebabkan barang berkurang, seperti sawah atau kebun, rahin harus meminta izin kepada murtahin1. 2. Pemanfaatan murtahin atas barang yang digadaikan a. Ulama Hanafiah berpendapat murtahin tidak boleh memanfaatkan barang yang digadaikan sebab dia hanya berhak mengusainya dan tidak boleh memanfaatkannya. b. Ulama Malikiyah membolehkan murtahin memanfaatkan barang yang digadaikan jika diizinkan oleh rahin atau disyaratkan ketika akad dan barang tersebut barang yang dapat diperjualbelikan serta ditentukan waktunya secara jelas.Pendapat ini hampir senada dengan pendapat ulama Safi’iyah.
Menurut Sabiq, akad gadai bertujuan untuk meminta kepercayaan dan
menjamin hutang, bukan mencari keuntungan dan hasil. Tindakan memanfaatka barang adalah tak ubahnya seperti qiradh yang mengalirkan manfaat, dan setiap bentuk qiradh yang mengalirkan manfaat adalah riba. Keadaan qiradh yang mengandung unsur riba ini, jiak barang yang digadaikan bukan berbentuk binatang yang bisa ditunggangi atau binatang ternak yang 1 Anshori, Abdul Ghofur, Gadai Syariah di Indonesia, Konsep, Implementasi dan Institusionalisasi, (Yogyakarta: Gadjah Mada Press, 2005), hlm:43 bisa diambil susunya. jika berbentuk binatang ternak, murtahin boleh memanfaatkan sebagai imbalannya memberi makanbinatang tersebut. Murtahin boleh memanfaatkan binatang yang bisa ditunggangi seperti unta, kuda, keledai dan lain sebagainya. Murtahin juga dapat mengambil susu sapi, kambing dan lain sebagainya.
Pengertian ini didasarkan pada dalil:
1. Dari As-Sya’bi, dari Abu Hurairah dari Nabi SAW. bersabda:
“susu binatang perah boleh diambil jika ia sebagai barang yang digadaikan dan diberi nafkah (oleh murtahin), boleh menunggangi binatang yang diberi nafkah (oleh murtahin) jika barang itu menjadi barang gadaian. Orang yang menunggangi dan mengambil susu wajib memberi makan/nafkah.” (HR.Bukhari, Abu Daud, At-Tirmizi dan Ibnu Majah). 2. Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, beliau bersabda: “boleh menunggangi binatang gadaian yang ia beri makan, begitu juga boleh mengambil susu binatang gadaian jika ia memberi makan” (HR.Al- Jama’ah kecuali Muslim dan An-Nasa’i). Menurut dalil yang lain: “Jika binatang itu sebagai barang gadaian, maka murtahin boleh menungganginya dan binatang ternak boleh diminum susunya. Kewajibanyang menunggangi dan mengambil susunya adalah memberi makan.” (HR.Ahmad) Secara garis besar, apabila murtahin telah memberi makan, murtahin berhak menunggangi dan memerah susu hewan ternak tersebut sesuai dengan besarnya biaya yang ia keluarkan untuk hewan ternak tersebut. Artinya murtahin tidak memanfaatkannya lebih banyak daripada biaya yang ia keluarkan untuk hewan tersebut. Sedangkan jika murtahin tidak memberi makan kepada hewan ternak yang dijadikan marhun, maka segala sesuatu yang dihasilkan dari binatang ternak tersebut termasuk dalam barang gadaian karena manfaat barang gadaian adalah milik rahin.