Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

KECACATAN DALAM PMKS

DINAS SOSIAL, PEMBERDAYAAN PEREMPUAN

DAN

PERLINDUNGAN ANAK
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Penyandang Masalah kesejahteraan Sosial ( PMKS ) adalah seseorang, keluarga, atau


kelompok masyarakat yang karena suatu hambatan, kesulitan atau gangguan, tidak dapat
melaksanakan fungsi sosialnya, sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhan hidupnya (
jasmani, rohani, dan sosial) secara memadai dan wajar. Dalam UU Kesejahteraan sosial
pasal 5 ayat 2, Penyandang Masalah kesejahteraan Sosial ( PMKS ) terdiri dari tujuh
kelompok, yaitu:
1. Kemiskinan.
2. ketelantaran.
3. kecacatan.
4. Keterpencilan.
5. Ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku.
6. Korban bencana.
7. Korban kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi.
Dalam hal ini, akan membahas salah satu dari PMKS tersebut yaitu kecacatan.

Setiap orang dilahirkan berbeda. Tidak ada manusia yang benar-benar sama meskipun
mereka kembar. Perbedaan tersebut dapat terjadi pada kondisi fisik dan non-fisik. Merupakan
hal wajar jika setiap orang berbeda dalam hal seperti warna kulit, bentuk jasmani, minat,
potensi atau kecerdasan. Oleh karena itu dalam kehidupan sehari-hari disamping individu
yang secara fisik tidak normal sering kita jumpai, yang sering dkenal sebagai penyandang
cacat. Masalah penyandang cacat bukan merupakan masalah kecil, terutama di negara seperti
Indonesia. Karena permasalahan yang dihadapi meliputi segala aspek hidup dan kehidupan
seperti pendidikan, kesehatan, dan ketenagakerjaan. Pemerintah melalui Departemen Sosial
telah berupaya meningkatkan kesejahteraan sosial penyandang cacat masih dirasakan kurang
memenuhi harapan semua pihak termasuk penyandang cacat sendiri. Hal ini terjadi karena
adanya berbagai kendala yang kita hadapi. Kendala utamanya sering kita hadapi adalah sikap
sabagian besar masyarakat kita yang belum sepenuhnya mendukung dan memberikan
kesempatan yang sama pada penyandang cacat, hal ini ditambah lagi oleh ketidaktahuan
masyarakat, orang tua dan keluarga dalam menghadapi dan memahami tentang kecacatan itu
sendiri.
Di Indonesia sekarang ini populasi penyandang cacat secar kuantitas cenderung
meningkat dan diperkirakan akan terus meningkat karena bebagai sebab seperti, kecelakan
lalu lintas, kecelakan di pabrik (tempa kerja), efek samping dari obat-obatan, gizi yang buruk,
gaya hidup dan sebagainya. Berbagai permasalahan yang ada, seperti kurangnya perhatian
masyarakat terhadao pelayana dan rehabilitas penyandang cacat, terbatasnya fasilitas untuk
tempat pelayanan dan rehabilitas, terbatasnya tenaga professional pelayanan dan rehabilitas
sosial pelayanan cacat dan rendahnya pendidikan dan ekonomi masih dirasakan oleh sebagian
besar penyandang cacat.

B. Rumusan Masalah

1. Apa definisi penyandang cacat?


2. Apa jenis-jenis kecacatan?
3. Apa karakteristik dari kecacatan?
4. Apa dampak dari kecacatan?
5. Bagaimana pandangan islam terhadap kecacatan?
6. Apa keterkaitan antara kecacatan dengan kesejahteraan sosial?
7. Bagaimana metode yang digunakan pekerja sosial untuk menangani masalah kecacatan?

C. Tujuan

1. Untuk dapat mengetahui definisi penyandang cacat.


2. Untuk dapat mengetahui jenis-jenis kecacatan.
3. Untuk dapat mengetahui karakteristik dari kecacatan.
4. Untuk dapat mengetahui dampak dari kecacatan.
5. Untuk dapat mengetahui pandangan Islam terhadap kecacatan.
6. Untuk dapat mengetahui keterkaitan antara kecacatan dengan kesejahteraan sosial.
7. Untuk dapat mengetahui metode yang digunakan pekerja sosial untuk menangani
masalah kecacatan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Penyandang Cacat

UU No. 4/ 1997 tentang Penyandang Cacat, pasal 1 menyebutkan bahwa “


Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental,
yang dapat mengganggu atau merupakan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan
secara selayaknya, yang terdiri dari: penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental,
serta penyandang cacat fisik dan mental (ganda)”.[1]

Organisasi Kesehatan se-Dunia (WHO) memberikan definisi kecacatan ke dalam tiga


kategori, yaitu:
a. Impairment
Suatu kehilangan atau ketidaknormalan baik psikologis, fisiologis maupun kelainan
struktur atau fungsi anatomis.
b. Disability
Suatu ketidakmampuan melaksanakan suatu aktivitas/ kegiatan tertentu sebagaimana
layaknya orang normal yang disebabkan oleh kondisi impairment yang berhubungan
dengan usia dan masyarakat dimana seseorang berada.
c. Handicap
Kesulitan atau kesukaran dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat baik
dibidang sosial ekonomi maupun psikologi yang dialami oleh seseorang yang
disebabkan oleh ketidaknormalan psikis, fisiologis maupun tubuh dan
ketidakmampuannya melaksanakan kegiatan hidup secara normal.[2]

Menurut Kamus Bahasa Indonesia, kata cacat dapat diartikan dalam berbagai makna,
seperti:
1). Kekurangan yang menyebabkan mutunya kurang baik atau kurang sempurna
(yang terdapat pada badan, benda, batin atau akhlak).
2). Lecet (kerusakan, noda) yang menyebabkan keadaannya menjadi kurang baik (
kurang sempurna).
3). Cela atau aib.[3]
Dari pengertian tersebut dapat diperhatikan bahwa kata cacat dalam Bahasa Indonesia selalu
dikonotasikan dengan kemalangan, penderitaan atau hal yang patut disesali atau dikasihani.
Anggapan ini dengan sendirinya memberikan opini publik bahwa penyandang cacat dalam
Bahasa Inggris disebut disabled person itu adalah orang yang lemah dan tak berdaya.

B. Jenis-jenis Kecacatan

1). Cacat Fisik


Cacat fisik adalah anggota tubuh yang tidak lengkap oleh karena bawaan dari lahir,
kecelakaan, maupun akibat penyakit yang menyebabkan terganggunya mobilitas yang
bersangkutan. Perubahan fisik pada anak sangat berpengaruh terhadap proses mental dan
pergaulan anak. Perubahan dan perkembangan fisik anak yang optimal berpengaruh pada
kemampuannya beradaptasi dan berkembang terhadap lingkungan disekitarnya. Semantara
anak-anak dengan cact fisik mungkin tidak mengalami ketidakpercayaan diri yang akhirnya
berpengaruh besar pada pembentukan konsep dirinya. Karena diri memberikan identitas
individu tersebut, serta menentukan keberhasilannya dalam interaksi sosial dan adaptasi
dengan lingkungannya.

Bentuk-bentuk cacat fisik yaitu:


a. Cacat yang disebabkan oleh kecelakaan
Anak yang mengalami gangguan ini sering merasa tertekan karena merasa bahwa ia
berbeda dari teman-temannya. Ia akan kesulitan menangkap informasi yang ada, kesulitan
untuk mentransformasi informasi atau pengetahuan baru untuk masuk kadalam sistem saraf
otaknya, serta sering kali membutuhkan bantuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan
sekitar. Semua kesulitannya ini pada akhirnya akan membuatnya merasa terasing dan
menghambat perkembangan sosialnya.

b. Cacat yang dibawa dari kandungan


Seorang bayi yang lahir dengan keadaan berkepala besar,yang telah divonis dokter
kanker otak, tentu keadaanya lebih buruk dari pada cacat fisik yang sudah dijelaskan diatas.
Seorang anak yang mengalami gangguan seperti ini tidak hanya akan mempengaruhi proses
berfikirnya tetapi sangat menghambat pertumbuhan fisiknya. Dengan pertumbuhan fisik yang
tidak normal ini seorang anak tidak akan menggunakan alat inderanya atau organ tubuhnya
secara maksimal, karena setiap aktivitasnya mengalami keterbatasan yang disebabkan tidak
stabilnya proses kerja otak kanan dan otak kiri.
Cara berfikir anak ini membutuhkan waktu yang lama untuk mencapai kedewasaan.
Anak-anak seperti ini juga mengalami kesulitan berinteraksi dengan oramg lain di luar
lingkungan keluarga karena keterbatasan fisik yang membatasi ruang geraknya. Walaupun
anak-anak ini memiliki daya fikir yang terhambat, tetapi mereka masih memiliki kapasitas
emosional yang dapat membantu dalam berkomunikasi dan memahami perasaan orang lain.

2). Cacat Mental


Cacat mental adalah seseorang yang perkembangan mentalnya (IQ) tidak sejalan
dengan pertumbuhan biologis atau usianya dan adanya penurunan fungsi intelektual (diukur
dengan test IQ standar) dan gangguan fungsi umum.

Menurut Maramis penyebab retaldasi mental atau kecacatan mental adalah:


 Keturunan ( retardasi mental genetic ).
 Mungkin juga tidak diketahui (retaldasi mental simplex ).[4]
Anak cacat mental bermacam-macam, ada yang disertai dengan buta warna, kerdil
badan, kepala panjang, bau badan tertentu, dan sebagainya. Mereka semua mempunyai
persamaan yaitu kurang cerdas dan kurang terhambat dalam menyesuaikan diri dengan
lingkungannya juka dibandingkan dengan teman sebayanya. Mereka mempunyai ciri-ciri
khas dan tingkat mental yang berbeda-beda yang dibagi menjadi 3 yaitu: ringan, sedang dan
berat.

Terdapat perbedaan antara cacat mental dengan sakit mental, sakit jiwa, atau sakit
ingatan. Perbadaan antara cacat mental dengan sakit mental:
 Dalam bahasa Inggris sakit mental disebut metal illness yaitu merupakan kegagalan
dalam membina kepribadian dan tingkah laku.
 Sedangkan cacat mental dalam bahasa Inggris adalah mentally retarded atau metal
retardation merupakan ketidakmampuan memecahkan persoalan disebabkan karena
kecerdasan (inteligensinya) kurang berkembang serta kemampuan adaptasi perilakunya
terhambat.
Perbadaan antara cacat mental dengan sakit jiwa:
 Cacat mental bermula dan berkembang pada masa perkembangan, yaitu sejak lahir
sampai kira-kira usia 18tahun.
 Sakit jiwa dapat menyerang setiap saat, kapan saja. Namun sekalipun sakit jiwa dan
cacat mental berbeda, tidak mustahil jika anak cacat mental mengalami sakit jiwa.
Klasifikasi cacat mental ada tiga yaitu:
Pengelompokan pada umumnya berdasarkan pada taraf intelegensinya, yang terdiri
dari terbelakang ringan, dan berat. Kemampuan inteligensi anak cacat mental kebanyakan
diukur dengan tes Stanford Binet dan Skala Weschler (WISC).

a. Cacat Mental Ringan


Cacat mental ringan disebut juga debil. Kelompok ini memiliki IQ antara 68-52
menurut Binet, sedangkan menurut Skala Weschler (WISC) memiliki IQ 69-55. Mereka
masih dapat belajar membaca, menulis, dan berhitung sederhana. Namun pada umumnya
anak cacat mental ringan tidak mampu melakukan penyesuaian sosial secara independen dan
anak ini tidak mengalami gangguan fisik. Mereka secara fisik tampak seperti anak normal.
Oleh karena itu agak sulit membedakan secar fisik antara anak cacat mentalv dengan anak
normal.Kecerdasan berfikir seseorang cacat mental ringan paling tinggi sama dengan
kecerdasan anak normal usia 12 tahun.

b. Cacat Mental Sedang


Cacat mental sedang disebut juga imbesil. Kelompok ini memiliki IQ 51-36 berdasarkan
skala Binet sedangkan menurut Skala Weschler IQ 54-40. Anak cacatmental sedang masih
memperoleh kecakapan dalam berkomunikasi selama masa anak usia dini. Walaupun agak
terlambat. Anak dapat mengurus atau merawat diri sendiri dengan pelatihan intensif. Mereka
dapat memperoleh manfaat latihan kecakapan sosial dan pekerjaan namun tidak dapat
menguasai kemampuan akademik seperti: membaca, menulis, dan menghitung. Akan tetapi
mereka masih dapat bepergian di lingkungan yang sudah dikenalnya. Pada umur dewasa
mereka baru mencapai kecerdasan yang sama dengan anak umur 7 atau 8 tahun.

c. Cacat Mental Berat


Cacat mental berat disebu juga idiot. Klompok ini dapat dibedakan lagi antara
anak cacat mental berat dengan sangat berat. Cacat mental berat (Severe) memiliki IQ antara
32-20 menurut skala Binet dan antara 39-25 menurut skala Weschler (WISC). Anak cacat
mental sangat berat (Profound) memiliki iq dibawah 19 menurut slaka Biner dan 24 menurut
skala Wischler. Anak cacat mental berat memerlukan bantuan perawatan secara total dalam
hal berpakaian, mandi, makan, dll. Hampir semua anak cacat mental berat dan sengan berat
menyandang cacat ganda. Seperti anak cacat mental mengalami lumpuh karena cacat otak,
tuli, dll. Pada umumnya mereka tidak dapat membedakan mana yang berbahaya dan yang
tidak berbahaya, tidak mungkin berpartisifasi dengan lingkungan di sekitarnya, dan jika
sedang berbicara maka kat-kata ucapannya sangat sederhana. Kecerdasan seorang anak cacat
mental berat dan sangat berat hanya dapat berkembang paling tinggi seperti anak normal
yang berumur 3 atau 4 tahun. [5]

3). Cacat Fisik dan Mental ( Ganda )


Adalah merupakan keadaan dimana terjadi kerusakan atau difungsi perkembangan
pendengaran yang bersifat sensori neural yang diikuti kerusakan perkembangan bahasa atau
komunikasi. Gangguan pendegaran pada usia berapapun dapat terjadi, kendati hanya
gangguan pendengaran denagn derajat ringan sekalipun dapat mengakibatkan timbulnya
permasalahan pada kemampuan berbicara penfguasaan bahasa dan belajar.

Secara umum diketahui beberapa faktor yang diketahui menjadi penyebab terjadinya
kerusakan pendengaran yang berdampak pada gangguan berbicara ( cacat ganda ), yaitu
sebagai berikut:
a. Masa Prenatal
1) Genetik herediter
2) non genetik,seperti gangguan pada masa kehamilan (inveksi oleh bakteri atau
virus:TORCG, campak, parotis), kelainan struktur anatomi (misalnya akibat obat-obatan
ototoksis, atresiaiang telinga, aplaisia oklea), dan kekuragan zat gizi.
b. Masa perinatal
Prematuritas lebih rendah (kurang 2.500 gram) tindakan dengan alat pada proses
kelahiran dan anoksia otak merupakan faktor resiko terjadinya cacat ganda.
c.Masa postnatal
adanya inveksi bakterial atau virus, campak, infeksi otak, pendarahan pada telinga
tengah dan trauma temporal dapat menyebabkan tuki konduktif yang dapat menyebabkan
gangguan bicara.[6]

C. Karakteristik Kecacatan

1). Aspek Fisik


 Hambatan untuk melakukan suatu aktivitas sehari-hari.
 Terbatasnya untuk melakukan kegiatan fisik.
 Ketidaknormalan bentuk fisik.
2). Aspek Psikis
 Kurang percaya diri.
 Mengisolasi diri.
 Mudah marah, tersinggung.
 Pesimistis.
3). Aspek Sosial
 Kemampuan bergaul bebas.
 Relasi sosial cenderung inklusif atau tertutup.
 Intergasi sosial cenderung menunggu.
4). Aspek Vokasional
Kesempatan kerja menjadi terbatas.

D. Dampak Kecacatan

1). Bagi Penyandang Cacat


a. Masalah fisik
Kecacatn yang diderita seseorang dapat mengakibatkan gangguan kemampuan fisik
untuk melakukan perbuatan atau gerak tertentu yang berhubungan dengan kegiatan
hidup sehari-hari.
b. Masalah Psikologis
Akibat kecacatan mengganggu kejiwaan atau mental seseorang, sehingga menjadi
rendah diri atau sebaliknya menghargai dirinya terlalu berlebihan, mudah tersinggung,
kadang-kadang agresif, pesimistis, labil, sulit mengambil keputusan, dll.
c. Masalah Sosial Ekonomi
Masalah sosial ekonomi tergambar dengan adanya kehiduan penyandang cacat tubuh
yang pada umumnya berada dibawah garis kemiskinan. Hal ini disebabkan oleh
rendahnya pendapatan.
d. Masalah Pendidikan
Karena kecacatan fisiknya, hal ini sering menimbulkan kesulitan khususnya anak
umur sekolah. Mereka memerlukan perhatian khusus baik dari orang tua maupun guru
sekolah. Sebagian besar, kesulitan ini juga menyangkut antar tempat tinggal ke
sekolah serta kesulian mempergunakan alat-alat sekolah.

e. Masalah Vokasional
Kecacatan yang diderita seseorang dapat mengakibatkan gangguan kemampuan fisik
untuk melakukan sesuatu seperti ketrampilan tertentu, karena mereka kehilangan satu
atau lebih anggota badannya, sehingga mengganggu aktivitasnya.
2). Bagi Keluarga
Keluarga yang mempunyai anak cacat tubuh, sebagian ayah dan ibunya ada yang
merasa malu, akibatnya anak tersebut tidak dimasukkkan sekolah, tidak boleh bergaul. Kasih
sayang yang sepertinya diharapkan olah anak-anak pada umumnya tidak diperoleh, sehingga
anak tersebut tidak dapat berkembang kemampuan dan kepribadiannya. Seringkali keluarga
merasa terbebani jika memilki anak cacat.

3). Bagi Masyarakat


Masyarakat yang memiliki warga yang menderita cacat akan turut terganggu
kehidupannya, selama penyandang cacat belum dapat berdiri sendiri dan selalu
menggantungkan dirinya pada orang lain.

E. Pandangan Islam Terhadap Kecacatan

Pandangan Buruk

Bias Islam atas “orang normal” dapat kita temukan pada banyak hukum-hukum
agama, yang selalu menomorduakan “orang difabel”. Seperti untuk menjadi imam shalat,
menjadi pemimpin negara dan seterusnya. Jadi, ada banyak kuasa dalam pemahaman Islam.
Salah satunya kuasa yang paling akaut adalah kuasa “orang normal”. Dalam agama Islam ada
yang menyatakan tidak boleh bermuka masam terhadap “orang buta” atau tidak normal.
Tetapi banyak atribut-atribut lain yang lebih menguntungkan “orang-orang normal” seperti
ibadah haji, shalat, dam ibadah tubuh lainya. Memang terdapat ajaran shalat boleh duduk,
berbaring bahkan tiduran karena sebuah alasan atau halangan. Namun lebih menekankan
pada bediri duduk hanya keringanan. Setiap kelonggaran adalah tidak formal, ridal ideal atau
pengecualian.

Doktrin-doktrin Islam yang berkaitan dengan negara dalam Kitab Mawadhi “Ahkamu
Asshulthoniyah”, merupakan suatu contoh yang menekankan bahwa pemimpin yang baik
dalam Islam adalah laki-laki yang tidak mengindap ketunaan atau kecacatan khususnya indra.
Alasan ini seringkali dijadikan alasan oleh kalangan muslim fundamentalis untuk menentang
Gus Dur yang tuna netra itu sebagai presiden. Ini pula yang menjadi permasalahan tentang
hewan kurban yang tidak boleh cacat. Sebab “kecacatan” adalah masalah yang buruk sekali
bagi orang arab saat itu.

Pandangan Baik

Sekalipun banyak nilai-nilai Islam yang syarat dengan normalisme, akan tetapi ada
banyak pula unsur-unsur perubahan dan nilai emansipatoris untuk menempatkan difabel
sebagai bagian dari masyarakat. Seperti dalam Q.S. Abasa: “ Dia (Muhammad) bermuka
masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya........”. Ayat ini turun
sebagai peringatan atas Nabi Muhammad. Ketika Nabi sedang asyik menjamu beberapa tamu
dari pembesar-pembesar Quraiys. Kemudian datang seorang sahabat tuna netra bernama
Abdullah bin Umi Maktum ingin bertemu dan bertatap muka dengan Nabi SAW untuk
belajar banyak tentang agama Islam. Akan tetapi, Muhammad bermuka masam dan
mengabaikan tuna netra tersebut dan kemudian turun surat tersebut sebagai peringatan.

Dalam sebuah hadits juga diceritakan bahwa Rosulullah suatu hari ditemui oleh
seorang tuna netra yang menanyakan akankah dia harus pergi ke masjid untuk shalat jamaah
sedang dia tidak mempunyai orang yang akan mengantarkan untuk ke masjid. Rosul pun
membolehkan bahwa dia tidak harus ke masjid. Kemudian Nabi menanyakan apakah dia
mendengar suara adzan dari masjid dan orang itu menjawa bahwa dia mendengar suara
adzan. Mengetahui kondisi ini, Nabi menganjurkan tuna netra tersebut untuk ke masjid.
Sekalipun tuna netra, Muhammad tudak membedakannya, memang dia mampu
melakukannya

Dalam Al-Qur’an ada “pengecualian” bagi difabel. Sebagaimana tertuang dalam Q.S.
Al-Fath: 17. “Tiada dosa atas orang-orang buta, dan atas orang-orang pincang, dan atas
orang-orang yang sakit (apabila tidak ikut perang), dan barang siapa yang taat pada Allah
dan Rasul-Nya, maka Allah akan memasukkan ke dalam surga, yang mengalir dibawahnya
sungai-sungai, dan barang siapa yang berpaling maka niscaya akan diadzab dengan adzab
yang amat pedih”.
Berbagai argumen yang terselip dalam ayat-ayat Al-Qur’an tersebut menunjukkan
bahwa islam berusaha mengalihkan pandangan difabel dari yang sebelumnya berhak dibunuh
dan tidak berguna menjadi bagian dari orang-orang yang harus dihargai. Difabel adalah
bagian dari orang-orang lemah yang harus ditolong dan dikasihani. Sekalipun banyak usaha
untuk mengarahkan Islam menjadi lebih inklusif akan tetapi uiumnya postulat-postulat agama
tersebut memandang difabel sebagai bagian dari orang-orang lemah yang perlu mendapatkan
uluran tangan.

F. Keterkaitan Kecacatan dengan Kesejahteraan Sosial

Usaha kesejahteraan sosial mengacu pada program, pelayanan dan berbagai


kegiatan yang secara konkret (nyata) berusaha menjawab kebutuhan ataupun masalah
yang dihadapi anggota masyarakat. Usaha kesejahteraan sosial itu sendiri dapat
diarahkan pada individu; keluarga; kelompok; ataupun komunitas. Berdasarkan hal di
atas dapat dirasakan bahwa kesejaheraan sosial tidaklah bermakna bila tidak diterapkan
dalam bentuk usaha kesejahteraan sosial yang nyata menyangkut kesejahteraan
masyarakat.

Dari terminologi tersebut terlihat bahwa usaha kesejahteraan sosial seharusnya


merupakan upaya yang konkret (nyata) baik ia bersifat langsung (direct service) ataupun
tidak langsung (indirect service), sehingga apa yang dilakukan dapat dirasakan sebagai upaya
yang benar-benar ditujukan untuk menangani masalah ataupun kebutuhan yang dihadapi
warga masyarakat.
Kecacatan sering menyebabakan gangguan dan kendala bagi para penyandangnya,
apa lagi bila dikaitkan dengan masalah sosiallain, seperti kemiskinan, menjadikan ini
semakin mengganggu dan mempengaruhi aktivitas fisik, kepercayaan, harga diri, dan
interaksi sosial para penyandang cacat dengan masysrakat dan lingkungan sekitar. Data
Pusdati Departemen Sosial tahun 2004 dan 2008 memperlihatkan jumlah penandang cacat
sebanyak 1,8 juta jiwadan 1,2 juta jiwa.

Menurut Undang-Undang No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, penyandang


cacat didefinisikan sebagai orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat
mengganggu dan menjadi rintangan serta hambatan baginya untuk melakukan aktivitas
keseharian secara selayaknya. Para penyandang cacat juga menghadapi kondisi lain, seperti
terbatasnya sarana dan prasarana pelayanan sosial, minimnya aksesibilitas pelayanan umum
yang dapat mempermudah kehidupan penyandang cacat, pendidikan dan kesehatan, serta
pelayanan lainnya yang dibutuhkan oleh penyandang cacat. Hal itu mengakibatkan hak dasar
mereka untuk tumbuh kembang dan berkreasi sebagaimana manusia yang sempurna menjadi
terkendala.[7]
G. Metode Untuk Menangani Kecacatan

1). Individual Model/ Model Medis


Model yang digunakan dalam kebijakan masalah penyandang cacat sangat ditentukan
oleh bagaimana permasalahan tersebut dikonseptualisasikan. Di atas telah diebutkan bahwa,
kecacatan dipahami sebagai ketidakmampuan seseorang dalam melakukan aktivitas yang
dianggap normal/ layak akibat impairment yang dialaminya. Selanjutnya, pemahaman ini
berimplikasi terhadap model pemecahan masalah penyandang cacat. Model yang digunakan
salama ini didasari penggunaan strategi medis atau yang disebut juga strategi individual
karena fokusnya pada individu penyandang cacat. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan
konsep rehabilitas pada program-program yang ditujukan kepada penyandang cacat dan
pembentukan organisasi pelayanan yang diperunukkan bagi penyandang cacat.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998 Tentang Upaya


Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang cacat, disebutkan bahwa rehabilitasi
pelatihan dimaksudkan agar penyandang cacat dapat memiliki keterampilan kerja sesuai
dengan bakat dan kemampuannya. Berdasarkan ketentuan tersebut perlu dilakukan
berbagai upaya, untuk mengembangkan potensi yang ada pada diri penyandang cacat
sebagai pemenuhan hak dan kewajiban penyandang cacat. Salah satunya adalah
program rehabilitasi sosial dan vokasional. Rehabilitasi sosial dan vokasional yang
dalam kegiatannya mempergunakan pendekatan pekerjaan sosial yaitu menekankan
bahwa membantu penyandang cacat mengatasi masalahnya melalui peningkatan dan
pemanfaatan potensi yang ada pada diri penyandang cacat dan menghubungkan sumber
di sekitarnya. Hal ini didasari asumsi bahwa ketidaknormalan fungsi atau kerusakan
struktur anatomi dapat disembuhkan (dihilangkan), maka seseorang akan dapat
melakukan aktivitas dengan layak atau normal. Menurut metode ini, kecacatan yang
disebabkan oleh impairment adalah suatu kondisi yang bisa disenbuhkan. Hal ini
melihat kondisi individu sebagai sesuatu yang fleksibel atau dapat diubah, semantara
lingkungan dimana seseorang itu berada dilihat sebagai suatu yang tidak mungkin
berubah. Dengan kata lain, penyandang cacat dituntut untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungannya.

Pendekatan medis yang didasari asumsi “penyakit sembuh maka masalah hilang”,
pada kenyataannya tidak dapat menyelasaikan permasalahn penyandang cacat. Hal ini antara
lain disebabkan impairment sebagai penyebab kecacatan tidak selalu dapat disembuhkan dan
bahkan menetap sepanjang umur orang yang bersangkutan. Pendekatan rehabilitas pun tidak
sepenuhnya salah, namun harus diperhatikan faktor tertentu, seperti impairment bersifat
sementara. Masalah penyandang cacat timbul oleh karena adanya interaksi dari akibat
impairment dan faktor-faktor lingkungan.

Konsep yang dipergunakan untuk mendefinisikan penyandang cacat tersebut,


berpengaruh pula terhadap pembentukan organisasi pelayanan yang dimaksudkan bagi
penyandang cacat. Misalnya, Unit Pelayanan Penyandang Cacat Tubuh, Unit Pelayanan
Penyandang Cacat Netra atau organisasi Untuk kesejahteraan Penyandang cacat mental.
Seperti, Balai Basar Rehabilitas Sosial Bina Daksa (BBRSBD) Unit Pelaksanaan Teknis
(UPT) di bawah Direktor Jendral Pelayanan dan Rehabilitas sosial yang melaksanakan dan
rehabilitasi sosial, resosialisasi, penyaluran, dan bimbingan lanjut bagi penyandang cacat
tubuh agar mampu berperan dalam kehidupan bermasyarakat, rujukan nasional, pengkajian,
dan penyiapan standart pelayanan, pemberian informasi dan koordinasi.[8]

2). Sosial Model


Meskipun model individu adalah model kebijakan penanganan masalah penyandang
cacat yang digunakan banyak negara di dunia, namun sejak lebih dua dasawarsa yang lalu
diakui bahwa faktor-faktor di luar individu, seperti lingkungan fisik dan non fisik juga dapat
menyebabkan seseorang menjadi penyandang cacat. Untuk mengakomodasi faktor di luar
individu tersebut, diperlukan kebijakan untuk hal tersebu dan inilah yang mendasari
timbulnya model sosial.

Dalam UU No. 4/ 1997 tentang Penyandang Cacat adalah gambaran dari pelaksanaan
model sosial yang menegaskan bahwa penyandang cacat merupakan bagian masyarakat
Indonesia yang juga memeliki kedudukan, hak, kewajiban, dan peran yang sama. Mereka
juga mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan
penghidupan. Pada pasal 6 dijelaskan bahwa setiap penyandang cacat berhak memperoleh:
a) Pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan derajat kecacatan, pendidikan,
dan kemampuannya.
b) Pendidikan pasa semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan.
c) Perlakuan yang sama untuk berperan untuk dalam pembangunan dan menikmati hasil-
hasilnya.
d) Aksebilitas dalam rangka kemandiriannya.
e) Rehabilitas, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.
f) Hak yang sama untuk menumbuh kembangkan bakat, kemampuan, dan kehidupan
sosialnya, terutama bagi penyandang cacat dalam lingkungan keluarga dan
masyarakat. ( Jurnal Media Informasi Penelitian Kesejaheraan Sosial No.156 )

Model sosial umumnya bernjak dari pemikiran bahwa, hambatan-hambatan yang


berasal dari luar lingkungan, yang disebabkan ketidakmampuan seseorang yang mengalami
impairment dalam melakukan aktivitas sehari-hari, terjadi karena lingkungan tidak
megkomodasi kebutuhan warga negara penyandang cacat. Misalnya, arsitektur bangunan
didesain dalam bentuk berundak-undak sehingga pengguna kursi roda tidak dapat masuk atau
menggunakan bangunan tersebut. Dengan kata lainada pengabaian terhadap hak-hak
penyandang cacat (diskriminasi), dan oleh sebab itu hak-hak penyandang cacat harus
dilindungi.

Melalui pelindungan hukum hak-hak warga negara penyandang cacat, akan dapat terlaksana
bersama dan pertisipasi penuh penyandang cacat dalam berbagai aspek hidup dan kehidupan.
Sayangnya, kebutuhan warga negara penyandang cacat dalam perspektif pembuat kebijakan
selalu dipandang menjadi kebutuhan “spesial” atau dalam bentuk progam spesial. Misalnya,
penyediaan aksesibilitas fisik dianggap sebagai kebutuhab yang bersifat khusus, padahal
setiap orang menggunakannya.

Penciptaan progam-progam khusus atau kebijakan yang diperuntukkan khusus bagi


penyandang cacat memang bermanfaat. Namun terbataa tujuan jangka pendek, karena
biasanya program atau kebijakan itu bersifat temporer ( tergantung pada goog will dari
pejabat berwenang dan pada kesediaan dana).
BAB III
KESIMPULAN

Kecacatan adalah salah satu Penyandang Masalah kesejahteraan Sosial ( PMKS )


yaitu seseorang, keluarga, atau kelompok masyarakat yang karena suatu hambatan, kesulitan
atau gangguan, tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya, sehingga tidak dapat terpenuhi
kebutuhan hidupnya ( jasmani, rohani, dan sosial) secara memadai dan wajar.

Penyandang cacat adalah seseorang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental
sehingga dapat menggangunya dalam melakukan kegiatan dalam berinteraksi dengan orang
lain dalam masyarakat dan mereka akan cenderung mengurung diri.

Masalah kecacatan termasuk dalam masalah sosial yang harus diselesaikan sehingga
mereka dapat mencapai taraf kesejahteraan sosial dan kembalinya fungsi sosialnya yaitu
interaksi dengan orang lain di lingkungannya. Dalam usaha kesejahteraan sosial penyandang
cacat adalah dengan model individu yaitu dengan rehabilitas sosial dan vokasional dan
dengan model sosial yaitu dengan mengembalikan kesempatan dan hak dalam segala aspek
kehidupannya dalam masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai