DAN
PERLINDUNGAN ANAK
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap orang dilahirkan berbeda. Tidak ada manusia yang benar-benar sama meskipun
mereka kembar. Perbedaan tersebut dapat terjadi pada kondisi fisik dan non-fisik. Merupakan
hal wajar jika setiap orang berbeda dalam hal seperti warna kulit, bentuk jasmani, minat,
potensi atau kecerdasan. Oleh karena itu dalam kehidupan sehari-hari disamping individu
yang secara fisik tidak normal sering kita jumpai, yang sering dkenal sebagai penyandang
cacat. Masalah penyandang cacat bukan merupakan masalah kecil, terutama di negara seperti
Indonesia. Karena permasalahan yang dihadapi meliputi segala aspek hidup dan kehidupan
seperti pendidikan, kesehatan, dan ketenagakerjaan. Pemerintah melalui Departemen Sosial
telah berupaya meningkatkan kesejahteraan sosial penyandang cacat masih dirasakan kurang
memenuhi harapan semua pihak termasuk penyandang cacat sendiri. Hal ini terjadi karena
adanya berbagai kendala yang kita hadapi. Kendala utamanya sering kita hadapi adalah sikap
sabagian besar masyarakat kita yang belum sepenuhnya mendukung dan memberikan
kesempatan yang sama pada penyandang cacat, hal ini ditambah lagi oleh ketidaktahuan
masyarakat, orang tua dan keluarga dalam menghadapi dan memahami tentang kecacatan itu
sendiri.
Di Indonesia sekarang ini populasi penyandang cacat secar kuantitas cenderung
meningkat dan diperkirakan akan terus meningkat karena bebagai sebab seperti, kecelakan
lalu lintas, kecelakan di pabrik (tempa kerja), efek samping dari obat-obatan, gizi yang buruk,
gaya hidup dan sebagainya. Berbagai permasalahan yang ada, seperti kurangnya perhatian
masyarakat terhadao pelayana dan rehabilitas penyandang cacat, terbatasnya fasilitas untuk
tempat pelayanan dan rehabilitas, terbatasnya tenaga professional pelayanan dan rehabilitas
sosial pelayanan cacat dan rendahnya pendidikan dan ekonomi masih dirasakan oleh sebagian
besar penyandang cacat.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, kata cacat dapat diartikan dalam berbagai makna,
seperti:
1). Kekurangan yang menyebabkan mutunya kurang baik atau kurang sempurna
(yang terdapat pada badan, benda, batin atau akhlak).
2). Lecet (kerusakan, noda) yang menyebabkan keadaannya menjadi kurang baik (
kurang sempurna).
3). Cela atau aib.[3]
Dari pengertian tersebut dapat diperhatikan bahwa kata cacat dalam Bahasa Indonesia selalu
dikonotasikan dengan kemalangan, penderitaan atau hal yang patut disesali atau dikasihani.
Anggapan ini dengan sendirinya memberikan opini publik bahwa penyandang cacat dalam
Bahasa Inggris disebut disabled person itu adalah orang yang lemah dan tak berdaya.
B. Jenis-jenis Kecacatan
Terdapat perbedaan antara cacat mental dengan sakit mental, sakit jiwa, atau sakit
ingatan. Perbadaan antara cacat mental dengan sakit mental:
Dalam bahasa Inggris sakit mental disebut metal illness yaitu merupakan kegagalan
dalam membina kepribadian dan tingkah laku.
Sedangkan cacat mental dalam bahasa Inggris adalah mentally retarded atau metal
retardation merupakan ketidakmampuan memecahkan persoalan disebabkan karena
kecerdasan (inteligensinya) kurang berkembang serta kemampuan adaptasi perilakunya
terhambat.
Perbadaan antara cacat mental dengan sakit jiwa:
Cacat mental bermula dan berkembang pada masa perkembangan, yaitu sejak lahir
sampai kira-kira usia 18tahun.
Sakit jiwa dapat menyerang setiap saat, kapan saja. Namun sekalipun sakit jiwa dan
cacat mental berbeda, tidak mustahil jika anak cacat mental mengalami sakit jiwa.
Klasifikasi cacat mental ada tiga yaitu:
Pengelompokan pada umumnya berdasarkan pada taraf intelegensinya, yang terdiri
dari terbelakang ringan, dan berat. Kemampuan inteligensi anak cacat mental kebanyakan
diukur dengan tes Stanford Binet dan Skala Weschler (WISC).
Secara umum diketahui beberapa faktor yang diketahui menjadi penyebab terjadinya
kerusakan pendengaran yang berdampak pada gangguan berbicara ( cacat ganda ), yaitu
sebagai berikut:
a. Masa Prenatal
1) Genetik herediter
2) non genetik,seperti gangguan pada masa kehamilan (inveksi oleh bakteri atau
virus:TORCG, campak, parotis), kelainan struktur anatomi (misalnya akibat obat-obatan
ototoksis, atresiaiang telinga, aplaisia oklea), dan kekuragan zat gizi.
b. Masa perinatal
Prematuritas lebih rendah (kurang 2.500 gram) tindakan dengan alat pada proses
kelahiran dan anoksia otak merupakan faktor resiko terjadinya cacat ganda.
c.Masa postnatal
adanya inveksi bakterial atau virus, campak, infeksi otak, pendarahan pada telinga
tengah dan trauma temporal dapat menyebabkan tuki konduktif yang dapat menyebabkan
gangguan bicara.[6]
C. Karakteristik Kecacatan
D. Dampak Kecacatan
e. Masalah Vokasional
Kecacatan yang diderita seseorang dapat mengakibatkan gangguan kemampuan fisik
untuk melakukan sesuatu seperti ketrampilan tertentu, karena mereka kehilangan satu
atau lebih anggota badannya, sehingga mengganggu aktivitasnya.
2). Bagi Keluarga
Keluarga yang mempunyai anak cacat tubuh, sebagian ayah dan ibunya ada yang
merasa malu, akibatnya anak tersebut tidak dimasukkkan sekolah, tidak boleh bergaul. Kasih
sayang yang sepertinya diharapkan olah anak-anak pada umumnya tidak diperoleh, sehingga
anak tersebut tidak dapat berkembang kemampuan dan kepribadiannya. Seringkali keluarga
merasa terbebani jika memilki anak cacat.
Pandangan Buruk
Bias Islam atas “orang normal” dapat kita temukan pada banyak hukum-hukum
agama, yang selalu menomorduakan “orang difabel”. Seperti untuk menjadi imam shalat,
menjadi pemimpin negara dan seterusnya. Jadi, ada banyak kuasa dalam pemahaman Islam.
Salah satunya kuasa yang paling akaut adalah kuasa “orang normal”. Dalam agama Islam ada
yang menyatakan tidak boleh bermuka masam terhadap “orang buta” atau tidak normal.
Tetapi banyak atribut-atribut lain yang lebih menguntungkan “orang-orang normal” seperti
ibadah haji, shalat, dam ibadah tubuh lainya. Memang terdapat ajaran shalat boleh duduk,
berbaring bahkan tiduran karena sebuah alasan atau halangan. Namun lebih menekankan
pada bediri duduk hanya keringanan. Setiap kelonggaran adalah tidak formal, ridal ideal atau
pengecualian.
Doktrin-doktrin Islam yang berkaitan dengan negara dalam Kitab Mawadhi “Ahkamu
Asshulthoniyah”, merupakan suatu contoh yang menekankan bahwa pemimpin yang baik
dalam Islam adalah laki-laki yang tidak mengindap ketunaan atau kecacatan khususnya indra.
Alasan ini seringkali dijadikan alasan oleh kalangan muslim fundamentalis untuk menentang
Gus Dur yang tuna netra itu sebagai presiden. Ini pula yang menjadi permasalahan tentang
hewan kurban yang tidak boleh cacat. Sebab “kecacatan” adalah masalah yang buruk sekali
bagi orang arab saat itu.
Pandangan Baik
Sekalipun banyak nilai-nilai Islam yang syarat dengan normalisme, akan tetapi ada
banyak pula unsur-unsur perubahan dan nilai emansipatoris untuk menempatkan difabel
sebagai bagian dari masyarakat. Seperti dalam Q.S. Abasa: “ Dia (Muhammad) bermuka
masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya........”. Ayat ini turun
sebagai peringatan atas Nabi Muhammad. Ketika Nabi sedang asyik menjamu beberapa tamu
dari pembesar-pembesar Quraiys. Kemudian datang seorang sahabat tuna netra bernama
Abdullah bin Umi Maktum ingin bertemu dan bertatap muka dengan Nabi SAW untuk
belajar banyak tentang agama Islam. Akan tetapi, Muhammad bermuka masam dan
mengabaikan tuna netra tersebut dan kemudian turun surat tersebut sebagai peringatan.
Dalam sebuah hadits juga diceritakan bahwa Rosulullah suatu hari ditemui oleh
seorang tuna netra yang menanyakan akankah dia harus pergi ke masjid untuk shalat jamaah
sedang dia tidak mempunyai orang yang akan mengantarkan untuk ke masjid. Rosul pun
membolehkan bahwa dia tidak harus ke masjid. Kemudian Nabi menanyakan apakah dia
mendengar suara adzan dari masjid dan orang itu menjawa bahwa dia mendengar suara
adzan. Mengetahui kondisi ini, Nabi menganjurkan tuna netra tersebut untuk ke masjid.
Sekalipun tuna netra, Muhammad tudak membedakannya, memang dia mampu
melakukannya
Dalam Al-Qur’an ada “pengecualian” bagi difabel. Sebagaimana tertuang dalam Q.S.
Al-Fath: 17. “Tiada dosa atas orang-orang buta, dan atas orang-orang pincang, dan atas
orang-orang yang sakit (apabila tidak ikut perang), dan barang siapa yang taat pada Allah
dan Rasul-Nya, maka Allah akan memasukkan ke dalam surga, yang mengalir dibawahnya
sungai-sungai, dan barang siapa yang berpaling maka niscaya akan diadzab dengan adzab
yang amat pedih”.
Berbagai argumen yang terselip dalam ayat-ayat Al-Qur’an tersebut menunjukkan
bahwa islam berusaha mengalihkan pandangan difabel dari yang sebelumnya berhak dibunuh
dan tidak berguna menjadi bagian dari orang-orang yang harus dihargai. Difabel adalah
bagian dari orang-orang lemah yang harus ditolong dan dikasihani. Sekalipun banyak usaha
untuk mengarahkan Islam menjadi lebih inklusif akan tetapi uiumnya postulat-postulat agama
tersebut memandang difabel sebagai bagian dari orang-orang lemah yang perlu mendapatkan
uluran tangan.
Pendekatan medis yang didasari asumsi “penyakit sembuh maka masalah hilang”,
pada kenyataannya tidak dapat menyelasaikan permasalahn penyandang cacat. Hal ini antara
lain disebabkan impairment sebagai penyebab kecacatan tidak selalu dapat disembuhkan dan
bahkan menetap sepanjang umur orang yang bersangkutan. Pendekatan rehabilitas pun tidak
sepenuhnya salah, namun harus diperhatikan faktor tertentu, seperti impairment bersifat
sementara. Masalah penyandang cacat timbul oleh karena adanya interaksi dari akibat
impairment dan faktor-faktor lingkungan.
Dalam UU No. 4/ 1997 tentang Penyandang Cacat adalah gambaran dari pelaksanaan
model sosial yang menegaskan bahwa penyandang cacat merupakan bagian masyarakat
Indonesia yang juga memeliki kedudukan, hak, kewajiban, dan peran yang sama. Mereka
juga mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan
penghidupan. Pada pasal 6 dijelaskan bahwa setiap penyandang cacat berhak memperoleh:
a) Pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan derajat kecacatan, pendidikan,
dan kemampuannya.
b) Pendidikan pasa semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan.
c) Perlakuan yang sama untuk berperan untuk dalam pembangunan dan menikmati hasil-
hasilnya.
d) Aksebilitas dalam rangka kemandiriannya.
e) Rehabilitas, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.
f) Hak yang sama untuk menumbuh kembangkan bakat, kemampuan, dan kehidupan
sosialnya, terutama bagi penyandang cacat dalam lingkungan keluarga dan
masyarakat. ( Jurnal Media Informasi Penelitian Kesejaheraan Sosial No.156 )
Melalui pelindungan hukum hak-hak warga negara penyandang cacat, akan dapat terlaksana
bersama dan pertisipasi penuh penyandang cacat dalam berbagai aspek hidup dan kehidupan.
Sayangnya, kebutuhan warga negara penyandang cacat dalam perspektif pembuat kebijakan
selalu dipandang menjadi kebutuhan “spesial” atau dalam bentuk progam spesial. Misalnya,
penyediaan aksesibilitas fisik dianggap sebagai kebutuhab yang bersifat khusus, padahal
setiap orang menggunakannya.
Penyandang cacat adalah seseorang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental
sehingga dapat menggangunya dalam melakukan kegiatan dalam berinteraksi dengan orang
lain dalam masyarakat dan mereka akan cenderung mengurung diri.
Masalah kecacatan termasuk dalam masalah sosial yang harus diselesaikan sehingga
mereka dapat mencapai taraf kesejahteraan sosial dan kembalinya fungsi sosialnya yaitu
interaksi dengan orang lain di lingkungannya. Dalam usaha kesejahteraan sosial penyandang
cacat adalah dengan model individu yaitu dengan rehabilitas sosial dan vokasional dan
dengan model sosial yaitu dengan mengembalikan kesempatan dan hak dalam segala aspek
kehidupannya dalam masyarakat.