Anda di halaman 1dari 13

BAB 1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Abortus Provokatus Criminalis (APC) merupakan pengguguran
kandungan yang memiliki tujuan selain daripada untuk menyelamatkan atau
menyembuhkan yang mengandung unsur kriminalis. Kurang lebih 40% dari
semua kasus abortus adalah APC. Secara hukum APC merupakan mutlak
tindakan pidana. Di Indonesia ketentuan mengenai aborsi diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUH Perdata) dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
Selain itu tercantum dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Lafal Sumpah
Dokter Indonesia. Meskipun peraturan hukum mengenai aborsi sangatlah jelas,
namun aborsi ilegal tetap saja dilakukan.
Banyak cara untuk melakukan APC yaitu dengan kekerasan mekanik
misalnya olahraga berlebihan, memberikan tekanan abdomen berlebihan atau
secara kimiawi/obat-obatan seperti obat uterotonika. Aborsi yang dilakukan
secara ilegal dan tidak sesuai prosedur selain tindakan yang melanggar hukum,
juga akan menimbulkan masalah atau komplikasi kesehatan. Angka kematian
akibat aborsi mencapai sekitar 11 % dari angka kematian ibu hamil dan
melahirkan di Indonesia mencapai 390 per 100.000 kelahiran hidup, sebuah angka
yang cukup tinggi bahkan untuk ukuran Asia maupun dunia.Oleh karena itu,
tidaklah jarang para pelaku aborsi mendatangi tempat sarana kesehatan untuk
mencari pertolongan akibat komplikasi aborsi tersebut misalkan perdarahan
postpartum.
Secara hukum pasien yang telah melakukan tindakan aborsi secara ilegal
merupakan tindakan mutlak pidana. Sering dijumpai pada suatu kasus dimana
seorang wanita yang mengalami perdarahan akibat aborsiilegal datang ke tempat
sarana kesehatan untuk mendapatkan pertolongan. Dalam hal ini kita dihadapkan
dalam situasi yang sulit. Berdasarkan pasal 108 ayat 1 Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP), setiap orang yang mengalami dan/atau
mengetahui telah terjadinya suatu tindakan pidana wajib untuk melaporkannya

1
kepada pihak yang berwajib. Namun dilain pihak, seorang dokter harus
menyimpan rahasia kedokterannya sesuai dengan Sumpah Dokter, Kode Etik
Kedokteran Indonesia, dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 10
tahun 1966. Sebagai tenaga medis, seringkali hal tersebut menjadikan suatu
dilema etik. Dalam situasi demikian, apakah kita melaporkan pasien ke pihak
berwajib mengingat tindak pidana, bagaimana dengan kewajiban dokter dalam
menyimpan rahasia kedokteran dan bagaimana perlindungan hukum bagi seorang
dokter apabila membantu pasien abortus ilegal dengan komplikasi.
Berdasarkan permasalahan diatas, maka perlu dilakukan pembahasan
mengenai tindakan yang seharusnya dan tidak seharusnya dilakukan dalam
menghadapi kasus demikian. Tujuannya yang tidak lain yaitu untuk memberikan
informasi terutama kepada petugas medis dalam kondisi dilema etik.

1.2 Permasalahan
Bagaimana seharusnya sikap seorang dokter bila menerima seorang pasien
yang telah melakukan abortus ilegal namun datang dengan komplikasi?

2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Abortus
Dari aspek kedokteran forensik yang diartikan dengan keguguran atau
abortus adalah pengeluaran hasil konsepsi pada stadium perkembangan sebelum
masa kehamilan yang lengkap tercapai 38-40 minggu (Ilmu Kedokteran Forensik
UNAIR) . Sedangkan menurut arti klinis yaitu berhentinya/keluarnya hasil
konsepsi sebelum usia 20 minggu yang mengakibatkan kematian janin. Apabila
janin lahir selamat (hidup) sebelum usia 38 minggu namun setelah 20 minggu
maka kelahiran ini disebut sebagai prematur.
Klasifikasi abortus secara garis besar terbagi atas abortus dengan penyebab
wajar( abortus spontanea) dan abortus yang sengaja dibuat (abortus provokatus).
Abortus spontan dapat terjadi karena kelainan uterus, ovarium, penyakit sistemik
ibu, hormonal, rhesus faktor, dan instabilitas psikogenik. Abortus provokatus
terbagi lagi menjadi 2 yaitu abortus provokatus medicinalis dan abortus
provokatus kriminalis. Pada referat ini akan lebih membahas mengenai abortus
provokatus kriminalis dan medikolegalnya.

a. Abortus provokatus kriminalis


Kurang lebih 40% dari semua kasus abortus adalah abortus provokatus
kriminalis (APC). Pelaku APC biasanya adalah wanita bersangkutan,
dokter/tenaga medis, dan orang lain yang bukan tenaga medis yang karena alasan
tidak menghendaki adanya kehamilan seorang wanita. APC sering terjadi/patut
dicurigai pada wanita yang diluar pernikahan (belum menikah atau hamil dengan
pria bukan suaminya) dan kehamilan yang tidak dikehendaki (sudah banyak anak
atau karena faktor ekonomi). Cara melakukan APC dapat dilakukan dengan
kekerasan mekanik dan kekerasan kimiawi/obat-obatan. Aborsi dapat
menimbulkan komplikasi-komplikasi baik yang terjadi seketika, beberapa saat
ataupun dalam jangka waktu lama sejak dilakukannya aborsi provokatus
kriminalis. Komplokasi-komplikasi yang dapat terjadi pada abortus provokatus
kriminalis antara lain sebagai berikut:
1. Immediate (seketika)

3
a. Vagal reflek
b. Emboli udara (± 10cc)
c. Perdarahan
d. Keracunan Anestesi
2. Delayed (beberapa saat setelah tindakan abortus)
a. Septicaemia (alat-alat kotor/kontaminasi dari anus)
b. Pyaemia
c. General Peritonitis
d. Toxemia
e. Tetanus
f. Perforasi uterus dan viscer abdomen
g. Emboli lemak (penyemprotan lisol)
3. Remote (lama sekali setelah tindakan abortus)
a. Jaundice
b. Renal failure
c. Bacterial endocarditis
d. Pneumonia, emphysema
e. Meningitis
b. Abortus ditinjau dari segi hukum di Indonesia
Sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia, setiap usaha untuk
mengeluarkan hasil konsepsi sebelum masa kehamilan yang lengkap tercapai
adalah suatu tindakan pidana, apapun alasannya. Dalam Undang-Undang No 36
tahun 2009 tentang kesehatan, abortus tetap dilarang. Abortus hanya dibolehkan
berdasarkan indikasi kedaruratan medis yang dapat dideteksi sejak usia dini
kehamilan dan kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma
psikologi bagi korban perkosaan.
Sebelum dan sesudah tindakan abortus harus dilakukan konseling oleh
konselor yang bersertifikat sesuai Undang-Undang No.36 tahun 2009 pasal 75.
Dalam undang-undang ini juga disebutkan abortus boleh dilakukan yaitu sebelum
usia 6 minggu dihitung dari HPHT, dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
memiliki keterampilan dan kewenangan bersertifikat, mendapat persetujuan dari

4
ibu hamil yang bersangkutan, dengan izin suami (kecuali korban perkosaan), dan
penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan menteri.
Selain itu, UU no.36 tahun 2009 pasal 77 berisi bahwa pemerintah wajib
melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi tidak bermutu, tidak aman, dan
tidak bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan
perundang-undangan.
Sanksi yang dapat diberikan pada pelaku aborsi diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 299, pasal 346, 347, pasal 348,
pasal 349 dan pasal 535 serta dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 36
tahun 2009 tentang kesehatan pasal 75, pasal 76, pasal 77, pasal 203 dan pasal
204. Selain itu dokter juga wajib menghormati setiap hidup insani mulai dari saat
pembuahan sesuai dengan sumpah dokter.

2.2 Rahasia Kedokteran


Rahasia kedokteran adalah segala sesuatu yang harus dirahasiakan
mengenai apa yang diketahui dan didapatkan selama menjalani praktek lapangan
kedokteran, baik yang menyangkut masa sekarang maupun yang sudah lampau,
baik pasien tersebut masih hidup maupun sudah meninggal. Ketentuan diatur
dalam Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1966 pasal 1, pasal 2, dan pasal 3.
Rahasia meliputi rahasia pekerjaan dan rahasia jabatan. Rahasia pekejaan
merupakan segala sesuatu yang dirahasiakan berdasarkan lafal sumpah yang
diucapkan sewaktu menerima gelar dokter. Rahasia jabatan adalah segala sesuatu
yang diketahui dan harus dirahasiakan berdasarkan lafal sumpah yang diucapkan
pada waktu diangkat sebagai pegawai negeri. Rahasia yang dimaksudkan ini yaitu
rahasia yang bersifat eksplisit (permintaan khusus untuk dirahasiakan) dan
implisit(tanpa permintaan khusus).

a. Pihak yang wajib menyimpan rahasi kedokteran


Pihak yang diwajibkan menyimpan rahasia kedokteran menurut Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1966 tentang wajib simpan
rahasia kedokteran pasal 3, yang diwajibkan menyimpan rahasia kedokteran
adalah tenaga kesehatan, mahasiswa kedokteran, murid yang bertugas dalam

5
lapangan pemeriksaan, pengobatan dan/atau perawatan, dan orang lain yang
ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.
Menurut Peraturan Pemerintah RI No.32 tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan pasal 2, tenaga kesehatan terdiri dari: tenaga medis, tenaga
keperawatan, tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga gizi,
tenaga keterapian fisik, dan tenaga keteknisian medis.
Kewajiban menyimpan rahasia kedokteran juga terdapat dalam lafal
sumpah dokter yang berbunyi: ”Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan
merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan karena
keilmuan saya sebagai dokter”.

b. Hal-hal yang perlu dirahasiakan


Dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui mengenai
pasiennya yang telah diatur dalam Peaturan Pemerintah nomor 10 tahun 1966
pasal 1. Segala sesuatu yang dimaksud yaitu segala fakta yang didapatkan dalam
pemeriksaan penderita, intepretasinya untuk menegakkan diagnosis dan
melakukan pengobatan, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
dengan alat-alat kedokteran dan sebagaimana, juga termasuk fakta-fakta yang
dikumpulkan oleh pembantu-pembantunya.

c. Kapan dokter dapat membuka rahasia kedokteran


Terdapat dua aliran dikalangan kedokteran:
1. Pendirian yang mutlak
Rahasia jabatan harus dipegang teguh tanpa ada alternatif lain apapun
konsekuensinya.
2. Pendirian yang nisbi atau relatif
Golongan nisbi atau relatif pada dewasa ini merupakan teori yang banyak
diikuti dan dapat dikatakan diikuti secara umum. Tetapi hal ini tidak berarti
penerapannya dalam praktek dan persesuaian pendapat, karena teori ini dalam
prakteknya sering kali mendatangkan konflik moril dan kesulitan-kesulitan lain
dalam masalah yang komplek. Sehubungan dengan itu maka Profesor Sudarto, SH

6
mengemukakan bahwa:” perlu dipertimbangkan adanya asas profesional dan asas
subsider dalam menggunakan hak tolaknya”.
Azas profesional menghendaki adanya pertimbangan-pertimbangan mana
yang lebih utama. Apakah dokter akan memberkikan kesaksian yang berarti
membuka rahasia atau pekerjaannya ataukah ia akan menyimpan rahasia yang
lebih diutamakannya. Dalam mengambil keputusan, aliran ini akan selalu
mempertimbangkan setiap persoalan kasuistis.
Azas subsider yakni menyangkut masalah pemilihan tindakan apa yang
harus dilakukan seorang dokter sebelum ia terpaksa melepaskan kewajibannya
untuk menyimpan rahasia. Sebab kalau ini yang menjadi pilihannya, ia harus
sudah memperhitungkan resiko yang mungkin dihadapi berupa sanksi pidana atau
lainnya karena diadukannya ke pengadilan oleh yang merasa dirugikan akibat
dibukanya rahasia oleh dokter. Bila demikian halnya, dokter supaya siap
menghadapinya dengan memberikan alasan-alasannya yang dapat membenarkan
perbuatannya (fait justifactier) atau yang dapat menghapuskan kesalahannya (fait
de’excuse).
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), terdapat pasal-
pasal yang mengatur hal-hal tersebut diatas, yaitu:
KUHP pasal 48:
“Tidak boleh dihukum barangsiapa melakukan perbuatan karena terdorong
oleh daya paksa.”
KUHP pasal 50:
“Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan kepentingan
undang-undang, tindak pidana”.
KUHP pasal 51:
“Tidak boleh dihukum barang siapa melakukan perbuatan atau
menjalankan perintah jabatan yang diberikan pembesar yang berhak”.

d. Sanksi bila membuka rahasia kedokteran


1. Sanksi pidana diatur dalam
KUHP pasal 112 dan KUHP pasal 322

7
2. Sanksi perdata
KUH Perdata pasal 1365, 1366, dan 1367
3. Sanksi administratif
Diatur dalam undang-undang nomor 6 tahun 1963 pasal 11
4. Sanksi sosial
Sanksi datangnya dari masyarakat itu sendiri.

2.3 Aspek Medikolegal Pelayanan Gawat Darurat


Peraturan Perundang-Undangan yang berkaitan dengan pelayanan gawat
darurat adalah UU No.23 /1992 tentang Kesehatan. Peraturan Menteri Kesehatan
No.585/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis, dan Peraturan Menteri
Kesehatan No.159b/1988 tentang Rumah Sakit.
Pengaturan Penyelenggaraan Pelayanan Gawat Darurat
Ketentuan tentang pemberian pertolongan dalam keadaan gawat darurat
telah tegas diatur dalam pasal 51 UU No.29/2004 tentang praktik kedokteran,
dimana seorang dokter wajib melakukan pertolongan darurat atas dasar
perikemanusiaan. Selanjutnya walaupun dalam UU No.23/1992 tentang kesehatan
tidak disebutkan istilah pelayanan gawat darurat namun secara tersirat upaya
penyelenggaraan pelayanan tersebut sebenarnya merupakan hak setiap orang
untuk memperoleh derajat kesehatan yang optimal (pasal 4). Selanjutnya pasal 7
mengatur bahwa Pemerintah bertugas menyelenggarakan upaya kesehatan yang
merata dan terjangkau oleh masyarakat termasuk fakir miskin, orang terlantar, dan
kurang mampu.

8
BAB 3. PEMBAHASAN

Abortus provokatus kriminalis adalah tindakan yang melanggar hukum


dan merupakan tindakan pidana sesuai dengan Undang-Undang No.36 tahun
2009. Terdapat sanksi tegas bagi pelaku abortus provokatus kriminalis baik
wanita hamil yang menginginkan abortus, pelaksana abortus, penyedia sarana dan
semua komponen yang terlibat dalam pelaksanaan abortus provokatus kriminalis
baik seperti yang tercantum pada KUHP pasal 299, 346, 535. Berdasarkan pasal
108 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP): ”setiap orang
yang mengalami, melihat, menyaksikan, dan atau menjadi korban peristiwa yang
merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan
kepada penyelidik dan atau penyidik baik lesan maupun tertulis”. Dalam KUHAP
pasal 108 ayat 3, “Setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya
yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana
wajib segera melaporkan hal itu kepada penyelidik atau penyidik”.
Dokter adalah salah satu profesi yang memiliki etika dalam pelaksanaan
tugas dan kewajibannya. Setiap tindakan dokter selalu didasarkan etika, norma,
dan peraturan yang berlaku bagi profesinya. Salah satu kewajiban seorang dokter
seperti yang tertuang pada PP No.10 tahun 1966 pasal 1 adalah menyimpan
rahasia kedokteran. Dan bagi dokter yang dengan sengaja membuka rahasia
kedokteran dapat dikenakan sanksi seperti yang dijelaskan pasal 322 ayat 1.
Kewajiban menyimpan rahasia kedokteran juga terdapat dalam lafal sumpah
dokter yang berbunyi: ”Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan merahasiakan
segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan karena keilmuan saya
sebagai dokter”. Bila demikian, bagaimana sikap seorang dokter jika dihadapkan
pada suatu kasus dimana dia menerima pasien APC dengan komplikasi seketika?
Apakah dia harus melaporkan kasus tersebut kepada pihak berwajib? Ketakutan
jika dirinya melaporkan kasus tersebut kepada penyidik akan dituduh membuka
rahasia kedokteran, ketakutan jika dirinya tidak melaporkan kasus tersebut,
dirinya akan dituduh mengabaikan apalagi jika dokter tersebut sebagai pegawai
negeri sipil.

9
Seorang dokter wajib menyimpan rahasia kedokteran. Dalam situasi
dimana dokter melalui suatu daya paksa diminta untuk membuka rahasia
kedokteran, maka dokter tersebut tidak dikenakan sanksi seperti yang tercantum
pada KUHP pasal 48. Selain itu juga terdapat dalam pasal 50 KUHP yang
menyebutkan bahwa “Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan
kepentingan undang-undang, tidak dipidana”. Rahasia kedokteran juga dibuka
apabila digunakan untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan
aparat penegak hukum dalam rangka menegakkan hukum, permintaan pasien
sendiri, atau ketentuan peraturan perundang-undangan sesuai dengan pasal 5
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.36 tahun 2012. Sehingga
pada kasus demikian, seorang dokter berhak melaporkan kepada pihak yang
berwajib sesuai dengan pasal 108 ayat 1 KUHAP, tanpa harus takut sanksi
membuka rahasia kedokteran dan tuntutan balik dari terdakwa/tersangka karena
terlindungi oleh pasal 50 KUHP dan pasal 5 Permenkes No.36 tahun 2012.
Banyak kasus aborsi yang berakhir dengan komplikasi yang tak jarang
membahayakan nyawa wanita pelaku aborsi. Tak jarang dokter adalah profesi
yang dimintai pertolongan saat terjadi komplikasi aborsi seperti perdarahan
ataupun perforasi uterus. Ketakutan bahwa dirinya akan dituduh membantu proses
aborsi atau bahkan pelaku aborsi, ketakutan bahwa jika dirinya tidak menolong,
maka akan dituduh menelantarkan pasien. Jika seorang pelaku/korban abortus
provakatus kriminalis dengan komplikasi seketika seperti perdarahan akibat sisa
konsepsi yang tidak dikeluarkan secara sempurna, maka berdasarkan Pasal 51 UU
No. 29 tahun 2004 seorang dokter wajib melakukan pertolongan darurat atas
dasar peri kemanusiaan. Selaim itu juga terdapat dalam sumpah dokter Indonesia
pertama yaitu Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan
perikemanusiaan. Berdasarkan pasal 58 UU No.36 2009 ayat 2: Tuntutan ganti
rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan
yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan
seseorang dalam keadaan darurat. Seorang dokter yang mengabaikan pasien dan
tidak memberikan pertolongan sehingga pasien tersebut meninggal maka dapat
dijerat pasal 359 KUHP tentang malpraktek yang berbunyi “ Barangsiapa karena

10
salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima
tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun”. Berdasarkan paparan dari
pasal-pasal yang disebutkan diatas, maka seyogyanya seorang dokter yang
dimintai pertolongan oleh wanita yang mengalami abortus provokatus kriminalis
dengan komplikasi seketika yang mengancam jiwa, haruslah menolong pasien
tersebut sesuai dengan kompetensi dan keahliannya.

11
BAB 4. KESIMPULAN

Berdasarkan paparan dari pasal-pasal yang disebutkan diatas, maka


seyogyanya seorang dokter yang dimintai pertolongan oleh wanita yang
mengalami abortus provokatus kriminalis dengan komplikasi seketika yang
mengancam jiwa, haruslah menolong pasien tersebut sesuai dengan kompetensi
dan keahliannya dan tidak akan disalahkan atas tindakannya.
Seorang dokter yang juga merupakan warga atau pegawai negeri sipil wajib
melaporkan kepada penyidik jika mengetahui tindak pidana, dan dibolehkan
membuka rahasia kedokteran sesuai dengan peraturan.

12
DAFTAR PUSTAKA

Hoediyanto., Hariadi, A. 2012. Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik Dan


Medikolegal. Edisi Ketujuh. Surabaya: Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga.
Herkutanto. 2007. Aspek Medikolegal Pelayanan Gawat Darurat. Ilmu
Kedokteran Forensik dan Medikolegal FKUI. Maj.Kedokt.Indos.
Vol.57(2):37-40.
Sinaga, Banhard. 2012. Kitab Saku KUHP dan KUHAP Lengkap dengan
Penjelasan dan Revisinya. Jakarta: Marshindo Publishing.
Hanafiah, J., Amir, A. 2011. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Edisi 4.
Jakarta: EGC.

13

Anda mungkin juga menyukai