Referat Forensik Selesai
Referat Forensik Selesai
PENDAHULUAN
1
kepada pihak yang berwajib. Namun dilain pihak, seorang dokter harus
menyimpan rahasia kedokterannya sesuai dengan Sumpah Dokter, Kode Etik
Kedokteran Indonesia, dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 10
tahun 1966. Sebagai tenaga medis, seringkali hal tersebut menjadikan suatu
dilema etik. Dalam situasi demikian, apakah kita melaporkan pasien ke pihak
berwajib mengingat tindak pidana, bagaimana dengan kewajiban dokter dalam
menyimpan rahasia kedokteran dan bagaimana perlindungan hukum bagi seorang
dokter apabila membantu pasien abortus ilegal dengan komplikasi.
Berdasarkan permasalahan diatas, maka perlu dilakukan pembahasan
mengenai tindakan yang seharusnya dan tidak seharusnya dilakukan dalam
menghadapi kasus demikian. Tujuannya yang tidak lain yaitu untuk memberikan
informasi terutama kepada petugas medis dalam kondisi dilema etik.
1.2 Permasalahan
Bagaimana seharusnya sikap seorang dokter bila menerima seorang pasien
yang telah melakukan abortus ilegal namun datang dengan komplikasi?
2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Abortus
Dari aspek kedokteran forensik yang diartikan dengan keguguran atau
abortus adalah pengeluaran hasil konsepsi pada stadium perkembangan sebelum
masa kehamilan yang lengkap tercapai 38-40 minggu (Ilmu Kedokteran Forensik
UNAIR) . Sedangkan menurut arti klinis yaitu berhentinya/keluarnya hasil
konsepsi sebelum usia 20 minggu yang mengakibatkan kematian janin. Apabila
janin lahir selamat (hidup) sebelum usia 38 minggu namun setelah 20 minggu
maka kelahiran ini disebut sebagai prematur.
Klasifikasi abortus secara garis besar terbagi atas abortus dengan penyebab
wajar( abortus spontanea) dan abortus yang sengaja dibuat (abortus provokatus).
Abortus spontan dapat terjadi karena kelainan uterus, ovarium, penyakit sistemik
ibu, hormonal, rhesus faktor, dan instabilitas psikogenik. Abortus provokatus
terbagi lagi menjadi 2 yaitu abortus provokatus medicinalis dan abortus
provokatus kriminalis. Pada referat ini akan lebih membahas mengenai abortus
provokatus kriminalis dan medikolegalnya.
3
a. Vagal reflek
b. Emboli udara (± 10cc)
c. Perdarahan
d. Keracunan Anestesi
2. Delayed (beberapa saat setelah tindakan abortus)
a. Septicaemia (alat-alat kotor/kontaminasi dari anus)
b. Pyaemia
c. General Peritonitis
d. Toxemia
e. Tetanus
f. Perforasi uterus dan viscer abdomen
g. Emboli lemak (penyemprotan lisol)
3. Remote (lama sekali setelah tindakan abortus)
a. Jaundice
b. Renal failure
c. Bacterial endocarditis
d. Pneumonia, emphysema
e. Meningitis
b. Abortus ditinjau dari segi hukum di Indonesia
Sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia, setiap usaha untuk
mengeluarkan hasil konsepsi sebelum masa kehamilan yang lengkap tercapai
adalah suatu tindakan pidana, apapun alasannya. Dalam Undang-Undang No 36
tahun 2009 tentang kesehatan, abortus tetap dilarang. Abortus hanya dibolehkan
berdasarkan indikasi kedaruratan medis yang dapat dideteksi sejak usia dini
kehamilan dan kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma
psikologi bagi korban perkosaan.
Sebelum dan sesudah tindakan abortus harus dilakukan konseling oleh
konselor yang bersertifikat sesuai Undang-Undang No.36 tahun 2009 pasal 75.
Dalam undang-undang ini juga disebutkan abortus boleh dilakukan yaitu sebelum
usia 6 minggu dihitung dari HPHT, dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
memiliki keterampilan dan kewenangan bersertifikat, mendapat persetujuan dari
4
ibu hamil yang bersangkutan, dengan izin suami (kecuali korban perkosaan), dan
penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan menteri.
Selain itu, UU no.36 tahun 2009 pasal 77 berisi bahwa pemerintah wajib
melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi tidak bermutu, tidak aman, dan
tidak bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan
perundang-undangan.
Sanksi yang dapat diberikan pada pelaku aborsi diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 299, pasal 346, 347, pasal 348,
pasal 349 dan pasal 535 serta dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 36
tahun 2009 tentang kesehatan pasal 75, pasal 76, pasal 77, pasal 203 dan pasal
204. Selain itu dokter juga wajib menghormati setiap hidup insani mulai dari saat
pembuahan sesuai dengan sumpah dokter.
5
lapangan pemeriksaan, pengobatan dan/atau perawatan, dan orang lain yang
ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.
Menurut Peraturan Pemerintah RI No.32 tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan pasal 2, tenaga kesehatan terdiri dari: tenaga medis, tenaga
keperawatan, tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga gizi,
tenaga keterapian fisik, dan tenaga keteknisian medis.
Kewajiban menyimpan rahasia kedokteran juga terdapat dalam lafal
sumpah dokter yang berbunyi: ”Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan
merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan karena
keilmuan saya sebagai dokter”.
6
mengemukakan bahwa:” perlu dipertimbangkan adanya asas profesional dan asas
subsider dalam menggunakan hak tolaknya”.
Azas profesional menghendaki adanya pertimbangan-pertimbangan mana
yang lebih utama. Apakah dokter akan memberkikan kesaksian yang berarti
membuka rahasia atau pekerjaannya ataukah ia akan menyimpan rahasia yang
lebih diutamakannya. Dalam mengambil keputusan, aliran ini akan selalu
mempertimbangkan setiap persoalan kasuistis.
Azas subsider yakni menyangkut masalah pemilihan tindakan apa yang
harus dilakukan seorang dokter sebelum ia terpaksa melepaskan kewajibannya
untuk menyimpan rahasia. Sebab kalau ini yang menjadi pilihannya, ia harus
sudah memperhitungkan resiko yang mungkin dihadapi berupa sanksi pidana atau
lainnya karena diadukannya ke pengadilan oleh yang merasa dirugikan akibat
dibukanya rahasia oleh dokter. Bila demikian halnya, dokter supaya siap
menghadapinya dengan memberikan alasan-alasannya yang dapat membenarkan
perbuatannya (fait justifactier) atau yang dapat menghapuskan kesalahannya (fait
de’excuse).
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), terdapat pasal-
pasal yang mengatur hal-hal tersebut diatas, yaitu:
KUHP pasal 48:
“Tidak boleh dihukum barangsiapa melakukan perbuatan karena terdorong
oleh daya paksa.”
KUHP pasal 50:
“Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan kepentingan
undang-undang, tindak pidana”.
KUHP pasal 51:
“Tidak boleh dihukum barang siapa melakukan perbuatan atau
menjalankan perintah jabatan yang diberikan pembesar yang berhak”.
7
2. Sanksi perdata
KUH Perdata pasal 1365, 1366, dan 1367
3. Sanksi administratif
Diatur dalam undang-undang nomor 6 tahun 1963 pasal 11
4. Sanksi sosial
Sanksi datangnya dari masyarakat itu sendiri.
8
BAB 3. PEMBAHASAN
9
Seorang dokter wajib menyimpan rahasia kedokteran. Dalam situasi
dimana dokter melalui suatu daya paksa diminta untuk membuka rahasia
kedokteran, maka dokter tersebut tidak dikenakan sanksi seperti yang tercantum
pada KUHP pasal 48. Selain itu juga terdapat dalam pasal 50 KUHP yang
menyebutkan bahwa “Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan
kepentingan undang-undang, tidak dipidana”. Rahasia kedokteran juga dibuka
apabila digunakan untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan
aparat penegak hukum dalam rangka menegakkan hukum, permintaan pasien
sendiri, atau ketentuan peraturan perundang-undangan sesuai dengan pasal 5
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.36 tahun 2012. Sehingga
pada kasus demikian, seorang dokter berhak melaporkan kepada pihak yang
berwajib sesuai dengan pasal 108 ayat 1 KUHAP, tanpa harus takut sanksi
membuka rahasia kedokteran dan tuntutan balik dari terdakwa/tersangka karena
terlindungi oleh pasal 50 KUHP dan pasal 5 Permenkes No.36 tahun 2012.
Banyak kasus aborsi yang berakhir dengan komplikasi yang tak jarang
membahayakan nyawa wanita pelaku aborsi. Tak jarang dokter adalah profesi
yang dimintai pertolongan saat terjadi komplikasi aborsi seperti perdarahan
ataupun perforasi uterus. Ketakutan bahwa dirinya akan dituduh membantu proses
aborsi atau bahkan pelaku aborsi, ketakutan bahwa jika dirinya tidak menolong,
maka akan dituduh menelantarkan pasien. Jika seorang pelaku/korban abortus
provakatus kriminalis dengan komplikasi seketika seperti perdarahan akibat sisa
konsepsi yang tidak dikeluarkan secara sempurna, maka berdasarkan Pasal 51 UU
No. 29 tahun 2004 seorang dokter wajib melakukan pertolongan darurat atas
dasar peri kemanusiaan. Selaim itu juga terdapat dalam sumpah dokter Indonesia
pertama yaitu Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan
perikemanusiaan. Berdasarkan pasal 58 UU No.36 2009 ayat 2: Tuntutan ganti
rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan
yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan
seseorang dalam keadaan darurat. Seorang dokter yang mengabaikan pasien dan
tidak memberikan pertolongan sehingga pasien tersebut meninggal maka dapat
dijerat pasal 359 KUHP tentang malpraktek yang berbunyi “ Barangsiapa karena
10
salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima
tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun”. Berdasarkan paparan dari
pasal-pasal yang disebutkan diatas, maka seyogyanya seorang dokter yang
dimintai pertolongan oleh wanita yang mengalami abortus provokatus kriminalis
dengan komplikasi seketika yang mengancam jiwa, haruslah menolong pasien
tersebut sesuai dengan kompetensi dan keahliannya.
11
BAB 4. KESIMPULAN
12
DAFTAR PUSTAKA
13