Anda di halaman 1dari 8

97 Persen Remaja Indonesia Pernah Akses Pornografi

Begitu juga di kalangan siswa. Dari 2.818 siswa, 60 persennya pernah melihat tayangan yang tidak
senonoh itu.

"Pornografi berdampak buruk bagi perkembangan otak anak," kata Ketua Komisi Nasional
Perlindungan Anak Seto Mulyadi dalam acara bertajuk 'gathering parenting' di Kota Bogor, Jawa
Barat, Selasa (11/10/2016).

Menurut Kak Seto, sapaan akrabnya, pornografi merupakan perilaku menyimpang yang terjadi pada
anak-anak yang kurang mendapatkan pengawasan dan perhatian orang tua maupun guru.

Ia menyebutkan perilaku menyimpang terjadi pada anak karena aktivitas yang tidak terkontrol,
dikarenakan orang tua yang terlalu sibuk, tidak ada komunikasi dan tuntutan terlalu tinggi, kekerasan
pada anak, tidak tahu potensi anak, ambisi orang tua dan guru serta diskriminasi.

"Perilaku menyimpang pada anak melakukan bully, tawuran, perkosaan, pencurian, narkoba,
pembunuhan, perampokan, seks bebas, kabur dari rumah dan pornografi," kata Kak Seto.

Ia menyebutkan saat ini para orangtua sedang berlomba dengan predator seksual anak yang berkeliaran
di luar, jika keluarga tidak menjadi surga bagi anak-anak untuk tumbuh dengan nyaman.

"Perlu komunikasi efektif terkait psikoseksual. Pornografi berdampak buruk bagi perkembangan otak
anak," imbuhnya.

Kak Seto mengatakan anak diarahkan untuk belajar tidak hanya ilmu matematika dan pelajaran
lainnya, tetapi juga perlu diajarkan pendidikan moral, etika, dan agama.

"Perlu diingat semua anak unik, otentik, tidak tergantikan. Tidak masalah anak lemah matematika
tetapi unggul di bidang lain," katanya.

Kak Seto mengatakan orang tua harus belajar agar dapat mendidik anak dengan baik, membaca buku
psikologi pertumbuhan anak.

"Jadi orang tua jangan mudah terpancing emosi, kalau emosi datang alihkan melakukan kerjaan lain
seperti membersihkan kamar mandi," kata psikolog anak ini.
Kak Seto tampil dalam seminar orang tua yang diikuti ratusan guru dan juga orang tua se-Kota Bogor.
Dengan cara yang khas seperti mendongeng, Kak Seto menyampaikan cara mendidik anak yang baik
bagi orang tua dan guru.

Ia menitikberatkan terciptanya sekolah dan rumah ramah anak serta mendorong orang tua dan guru
yang kreatif.

"Orang tua dan guru yang krearif menghasilkan anak yang kreatif pula," kata Kak Seto. (Antara)
Hati-hati, Remaja Rentan Alami Lima Kondisi Ini

Kepala remaja dipenuhi dengan pikiran abstrak, tapi tak tahu kemana arahnya.
Suara.com - Memasuki masa remaja, anak-anak akan mengalami perubahan fisik maupun hormonal
yang pada gilirannya turut mempengaruhi perilaku mereka. Menurut psikolog remaja, Elizabeth
Santosa, periode remaja dapat juga disebut 'storm period' di mana anak-anak akan merasakan
perubahan mood yang tak menentu namun tak diketahui penyebab pastinya.
"Kepala mereka penuh dengan pikiran abstrak tapi tidak tahu kemana arahnya. Oleh karena itu remaja
sangat rentan mengalami beberapa kondisi yang menunjukkan bahwa mereka belum matang," ujar
perempuan yang akrab disapa Lizie ini pada temu media yang dihelat Unilever di Jakarta, Kamis
(15/12/2016).
Lima kondisi tersebut sebagai berikut:
1. Argumentatif
Remaja menurut Lizie identik dengan sifat suka melawan dan kritis baik dari cara bertutur kata
maupun tindakan. Hal ini menurut Lizie terjadi karena fungsi kognitif remaja belum sempurna
sehingga membuat mereka suka berdebat dengan siapapun termasuk orangtuanya.
Kondisi ini, tambah dia, tak perlu terlalu dikhawatirkan oleh orangtua. Lizie justru mengimbau agar
orangtua memiliki wawasan yang luas untuk memberi penjelasan pada anak secara logis.
"Orangtua jangan mau kalah, harus tahu bahasa yang remaja gunakan. Tapi jangan gunakan gaya
bahasa yang otoriter, berargumen-lah seperti teman, tapi ada batasan yang perlu dijaga," tambah dia.
2. Labil
Ciri kedua ini kerap pula disebut ababil atau ABG labil. Lizie menyebut bahwa masa remaja yang
merupakan peralihan membuat anak sibuk mencari informasi dari berbagai sumber, namun karena
psikologis dan kognitif yang belum matang, para remaja kerap bimbang dengan keputusannya.
"Kemarin bilang mau jadi Chef, eh besoknya ganti cita-cita lagi. Sebenarnya ini normal karena remaja
itu masanya mencari. Namun orangtua harus hati-hati karena mereka rentan didekati dengan orang
yang tidak benar dan bisa mempengaruhi ke arah negatif," tambah Lizie.
3. Memikirkan penampilan
Memasuki masa remaja, anak laki-laki maupun perempuan mulai memperhatikan penampilannya.
Mereka merasa bahwa orang lain memperhatikan perubahan apapun pada penampilannya meski
kenyataannya tidak.
Hal ini menurut Lizie dapat mengantarkan remaja pada tingkat depresi yang tinggi. Meski memiliki
tubuh yang kurus, remaja perempuan merasa tubuhnya gemuk usai mengonsumsi makanan berlemak.
Ketakutan akan komentar orang lain terhadap dirinya dapat membuat remaja stres hingga bunuh diri.
4. Nekat
Ketidakstabilan suasana hati yang dialami remaja, membuat mereka nekat melakukan hal-hal yang
cenderung berbahaya bagi dirinya sendiri. Itu sebabnya, kata Lizie, tak sedikit anak-anak yang menjadi
pelaku kekerasan, pelecehan, dan bullying karena merasa tertantang untuk melakukan sesuatu yang tak
biasa.
5. Menyukai hal-hal praktis
Remaja di era digital ini, kata Lizie, berbeda dengan remaja pada era belasan tahun lalu. Hal ini, lanjut
dia, dipengaruhi perkembangan teknologi yang memudahkan hidup manusia.
Namun jika tak bijak dalam menerima perkembangan teknologi. Hal ini mengubah pola pikir dan
perilaku remaja yang mengarah pada hal yang praktis.
"Orangtua saja inginnya praktis kan, transaksi sekarang apa-apa via online. Remaja juga begitu.
Apalagi semuanya sekarang bisa diperoleh via gadget. Disinilah orangtua harus mengawasi agar
remaja tidak kelewat batas dalam menggunakan teknologi," pungkas Lizie.
Ajak Remaja Hidup Lebih Sehat, Biasakan dengan Olahraga Lari

TEMPO.CO, Jakarta - Lari memang salah satu olahraga yang sudah sangat populer saat ini. Namun
olahraga lari lebih banyak dilakukan oleh masyarakat yang sudah bekerja. "Anak remaja di Sekolah
Menengah Atas lebih suka olahraga basket atau olahraga yang lain," kata Division Head of Corporate
Communications & Community Development Combiphar B. Dewinta Hutagaol dalam acara Combi
Run Academy 2019 di Ciawi, Bogor 23 Maret 2019.

Dewinta mengatakan ada baiknya para remaja ini diperkenalkan teknik berlari dengan benar. "Lari itu
dasar semua olahraga," katanya.

Untuk itu, Combiphar membuat Program Intensif Bootcamp Combi Run Academy 2019. “Krusialnya
usia remaja dalam membentuk generasi Indonesia yang lebih sehat, Combi Run Academy menjadi
salah satu upaya nyata Combiphar dalam merangkul anak-anak muda Indonesia untuk semakin peduli
pada kesehatan diri melalui olahraga lari," kata Dewinta.

Kegiatan yang sudah memasuki tahun kedua ini fokus dalam pelatihan intensif seputar teori dan
praktik lari agar siswa-siswi SMA peserta mendapatkan manfaat optimal dari olahraga ini. "Salah
satunya untuk menghindari ancaman sindrom metabolik,” kata Dewinta.

Indonesia memiliki prevalensi cukup tinggi terhadap sindrom metabolik, yaitu kumpulan faktor risiko
kesehatan yang bila tidak segera ditangani bisa berakibat fatal. Beberapa masalah sindrom metabolik
itu adalah peningkatan tekanan darah, kadar gula darah tinggi, lemak berlebih di sekitar pinggang,
serta rendahnya HDL atau kolesterol “baik”.

Pubertas menjadi periode rawan munculnya sindrom ini. Dengan mempelajari informasi tentang lari
secara benar dan rutin, didukung pola asupan yang sehat dalam program Combi Run Academy 2019
ini, efektif mengantisipasi timbulnya sindrom metabolik.

Prevalensi sindrom metabolik di Indonesia mencapai 23 persen . Riset Kesehatan Dasar 2018
menggambarkan beberapa kondisi kesehatan yang terkait sindrom ini; antara lain jumlah obesitas usia
dewasa yang meningkat dari 14,8 persen pada Riskesdas 2013 menjadi 21,8 persen lima tahun
kemudian. Prevalensi hipertensi dari 25,8 persen naik ke 34,1 persen dalam waktu lima tahun sejak
2013. Peningkatan prevalensi diabetes melitus juga meningkat dari 6,9 persen pada 2013 menjadi
menjadi 8,5 persen pada 2018.

Gaya hidup malas bergerak dan konsumsi asupan tak sehat pun memiliki dampak besar dalam
peningkatan masalah sindrom metabolik ini. Terbukti, data Riskesdas 2018 menyebutkan 33,5 persen
penduduk Indonesia ternyata belum cukup beraktivitas fisik, sementara 95 persen masing kurang
mengonsumsi sayur dan buah. Temuan lain bahkan menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negara
di Asia Pasifik yang paling menggemari camilan. Mayoritas masyarakat Indonesia pun lebih memilih
keripik, biskuit, roti atau kue, ketimbang kudapan sehat .

Dengan beragam keadaan tersebut, sindrom metabolik bisa semakin berpotensi mengancam
masyarakat Indonesia - tak terkecuali kalangan remaja. Medical Expert Combiphar Sandi Perutama
Gani mengatakan pada masa pubertas, tubuh mengalami perubahan hormon secara pesat yang dapat
mempengaruhi kemunculan sindrom metabolik. Bila tak segera disadari, dampaknya bisa membawa
perubahan besar dalam tubuh.

Tranformasi gaya hidup yang signifikan, yaitu cukup beraktivitas fisik dan mengonsumsi makanan
sehat secara teratur, perlu segera diaplikasikan guna menghindari sindrom metabolik pada remaja.
"Lari menjadi salah satu kegiatan fisik yang direkomendasikan bagi kalangan usia muda untuk
menjaga keseimbangan metabolisme tubuh,” kata Sandi.
Perubahan besar yang bisa terjadi dalam tubuh remaja bila penanda sindrom metabolik tidak segera
ditangani antara lain pengerasan pembuluh arteri (Arteriosclerosis), penurunan fungsi ginjal, bahkan
resistensi inslusin – yaitu ketika sel tubuh tidak dapat mengolah gula darah dengan sempurna .

Pelatihan Combi Run Academy 2019 ini, berlangsung dua hari satu malam di Bogor, enam puluh
siswa-siswi dan 15 guru dari 15 sekolah setingkat SMA di Jakarta berkumpul untuk mendapatkan
pembelajaran langsung dari IndoRunners, komunitas penggemar olahraga lari independen terbesar
Indonesia.

Dalam pelatihan ini, peserta tidak hanya mendapat penajaman ilmu praktik berlari, tapi juga pengayaan
materi pendukung. Salah satunya adalah informasi tambahan tentang pola asupan yang tepat dan
perilaku sehat lain dalam keseharian. Di samping itu, siswa-siswi peserta juga akan mendapatkan
pembekalan social media training agar para peserta terlibat aktif meneruskan ilmu dan pengalaman
yang mereka dapatkan melalui berbagai platform media sosial yang mereka miliki. "Kami berharap
akan semakin banyak remaja yang bersemangat menjalankan pola hidup sehat,” kata Dewinta.

Pelatihan intensif juga melibatkan guru-guru yang nantinya akan berperan sebagai trainer bagi siswa
perwakilan sekolah. Program Train for Trainer ini juga bisa para guru manfaatkan untuk
memaksimalkan materi olahraga di kurikulum sekolah mereka.

Program Director Combi Run Academy dan pendiri komunitas lari IndoRunners, Yasha Chatab
menambahkan timnya sangat antusias berkolaborasi dengan Combiphar dalam menjalankan pelatihan
intensif ini. Sesi bootcamp menghadirkan suasana yang berbeda dan memungkinkan para peserta
untuk lebih fokus meningkatkan kemampuan berlarinya. "Lebih dari itu, para peserta juga
berkesempatan berkumpul dengan sesama peminat olahraga lari sehingga bisa lebih termotivasi untuk
berprestasi, terutama menghadapi fase kompetisi nanti,” kata Yasha Chatab.
Waspada Remaja Bunuh Diri, Kenali Tanda-tandanya

TEMPO.CO, Jakarta - Seorang gadis mengejutkan para dokter di rumah Rumah Sakit Umum Daerah
R Syamsudin SH, Kota Sukabumi, Jawa Barat, karena meminta untuk disuntik mati. Alasannya sangat
sepele, ia baru saja putus cinta. Setelah mendengarkan ceritanya, dokter menyimpulkan bahwa gadis
itu tengah mengalami depresi hingga ingin bunuh diri.

Kasus bunuh diri di banyak negara, termasuk Indonesia, semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Menurut data WHO, angka bunuh diri di Indonesia pada 2010 sebesar 1,8 per 100 ribu jiwa atau
sekitar 5.000 orang per tahun. Tapi angka itu naik pada 2012 menjadi 4,3 per 100 ribu jiwa atau sekitar
10 ribu per tahun. Dan secara global, setiap tahunnya lebih dari 800 ribu orang meninggal akibat
bunuh diri atau satu kematian setiap 40 detik.

Remaja termasuk golongan yang rentan melakukan bunuh diri. Sebuah studi yang dilakukan
Vanderbilt University, Amerika Serikat, yang diterbitkan tahun lalu melaporkan adanya kenaikan dua
kali lipat anak-anak usia sekolah yang dirawat di rumah sakit karena pemikiran atau upaya bunuh diri.
Studi itu dilakukan dari 2018-2015. Dan, dua pertiga anak-anak dirawat itu adalah perempuan.

Menurut Mayo Clinic, banyak remaja yang berusaha bunuh diri karena kondisi kesehatan mental.
Mereka kesulitan mengatasi tekanan sebagai remaja, seperti hal-hal yang berhubungan dengan
penolakan, kegagalan, putus cinta, dan kekacauan keluarga. Mereka juga belum mengetahui bahwa
bunuh diri bukan solusi untuk masalah sementara seperti itu.

Seorang remaja berpotensi melakukan bunuh diri hanya karena hal-hal tertentu, seperti depresi, konflik
dengan sahabat atau keluarga, kekerasan seksual, bullying, terekspos kasus bunuh diri keluarga atau
teman, atau masalah dengan alkohol dan obat-obatan.

Meski kadang mengejutkan, kecenderungan untuk melakukan bunuh diri sebenarnya bisa dilihat dari
perilaku sehari-hari. Misalnya berbicara atau menulis tentang bunuh diri, mood yang tidak stabil,
peningkatan konsumsi alkohol dan obat-obatan, dan merasa terjebak atau tidak memiliki harapan pada
situasi tertentu.

Tanda-tanda lainnya adalah rutinitas yang berubah termasuk pola makan dan tidur, melakukan
tindakan yang berisiko, memberikan barang-barangnya tanpa alasan yang jelas, dan mengalami
perubahan kepribadian atau merasa cemas dan gelisah yang berlebihan.

Jangan pernah mengabaikan tanda-tanda kecenderungan bunuh diri pada remaja. Hal yang bisa
dilakukan orang tua adalah membantu remaja melewati masa-masa sulit itu dengan beberapa cara.
Salah satunya adalah memberi perhatian, Dengarkan apa yang dikatakan anak dan perhatikan
perilakunya. Jangan pernah mengabaikan ancaman bunuh diri saat remaja mengalami melodrama.

Lalu, jangan biarkan ia sendiri. Dorong anak remaja untuk menghabiskan waktu bersama teman dan
keluarga. Dan jangan lupa terapkan gaya hidup sehat seperti mengatur pola makan, olahraga, dan tidur
teratur.

Jika menemukan tanda-tanda bunuh diri, rencanakan perawatan yang tepat untuknya. Ingatkan dia
bahwa mungkin perlu waktu untuk merasa lebih baik, bantu ia mengikuti anjuran dokternya. Hal lain
adalah mendorongnya berpartisipasi dalam kegiatan yang dapat membangun kembali kepercayaan
dirinya.

Anda mungkin juga menyukai