Anda di halaman 1dari 9

2) Pengemasan kembali informasi (Information Repackaging)

Penulis / guru tidak ,enulis buku ajar sendiri, tetapi memanfaatkan buku – buku tenks
dan informasi yang telah ada di pasaran untuk dikemas kembali menjadi buku ajar
yang memenuhi karakteristik buku ajar yang baik. Buku ajar atau informasi yang
sudah ada dikumpulkan berdasarkan kebutuhan (sesuai dengan kompetisi, silabus dan
RPP/SAP), kemudian disusun kembali dengan gaya bahasa yang sesuai, Selain itu
juga diberi tambahan keterampilan atau kompetisi yang akan dicapai, latihan, tes
formatif, dan umpan balik.

3) Peataan informasi (Compilation)

Cara ini mirip dengan cara kedua, tetapi dalam penataan informasi tidak ada
perubahan yang dilakukan terhadap buku ajar yang diambil dari buku teks, jurnal
ilmiah, artikel, dan lain-lain. Dengan kata lain, materi-materi tersebut dipilih, dipilah
dan disusun berdasarkan kompetisi yang akan di capai dan silabus yang hendak
digunakan.

e. Pemampaatkan Buku Ajar Didalam Kelas

Pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan buku ajar pada dasarnya


menggunakan sistem belajar secara individual. Namun dapat pula digunakan pada sistem
pembelajaran klasikal. Jika pembelajaran bersifat individual maka siswa akan belajar dari
buku ajar satu ke buku ajar berikutnya sesuai dengan kecepatannya masing-masing.
Mengingat kecepatan masing-masing siswa tidak sama, maka perjalanannya belajarnya dati
hari ke hari, jarak antara siswa yang pandai dengan siswa yang lamban makin lama makin
besar. Teknik ini akan mudah bila di suatu kelas siswanya sedikit, namun jika jumlah siswa
dalam suatu kelas jumlahnya banyak, dan juga mata pelajaran yang di pelajarinnya
jumlahnya banyak maka pelaksanaan pembelajarannya menjadi lebih rumit.

Pembelajaran dengan sistem buku ajar jika diterapkan untuk pembelajaran secara
klasikal, maka siswa akan belajar dalam waktu bersamaan dan untuk melanjutkan ke buku
ajar berikutnya juga dapat bersamaan. Kepada siswa-siswa yang selesainya lebih cepat dai
pada teman-temannya, maka siswa tersebut akan memperoleh buku ajar pengayaan untuk di
pelajarinnya dalam sisa waktu yang tersedia. Kemudian setelah itu dilakukan evaluasi yang
dapat dikerjakan secara individual maupun secara klasikal.
3. Model Pengembangan Buku Ajar

Proses pengembangan produk pembelajaaran diperlukan perencanaan dan


perancangan pembelajaran yang baik. Pengembangan produk bahan ajar berupa buku ajar
menggunakan model pengembangan prosedural dick & carrey (2005) dengan langkah-
langkah sebagai berikut :

1 4 5 6 7 8

10

Gambar 2. Model Dick and Carrey

Keterangan :

1. Mengidentifikasi kebutuhan instruksional dan menulis tujuan instruksional umum


2. Melakukan analisis instruksional
3. Mengidentifikasi perilaku dan karakteristik peserta didik
4. Merumuskan tujuan TIK
5. Menyusun alat penilaian hasil belajar
6. Menyusun strategi instruksional
7. Mengembangkan bahan instruksional
8. Menyusun desain dan melaksanakan evaluasi formatif
9. Merevisi bahan instruksional
10. Mendesain dan melaksanakan evaluasi sumatif

a. Mengidentifikasi kebutuhan innstruksional dan menulis tujuan instruksinal


umum.nKebutuhan adalah kesenjangan keadaan saat ini dibandingkan dengan keadaan
yang diharapkan atau seharusnya. Dengan perkataan lain, setiap keadaan yang kurang
dari seharusnya adanya kebutuhan. Apabila kesenjangan itu besar atau dikhawatirkan
dapat menimbulkan akibat yang signifikan, makaa perlu diperioritaskan untuk diatasi.
Kebutuhan seperti itu disebut masalah. Ada tiga kelompok orang yang dapat dijadikan
sumber informasi dalam mengidentifikasi kebutuhan instruksional, yaitu : (1) peserta
didik; (2) masyarakat, termasuk orang tua dan pihak lain yang akan menggunakan
lulusan seperti pengelola pendidikan tingkat selanjutnya dan pemerintah dan (3)
pendidik, termasuk pengajar dan pengelola program pendidikan yang tentu mempunyai
pengalaman dan referensi yang cukup tentang bentuk program pembelajaran yang
sesuai bagu peserta didik dan pengguuna lulusan. Dari kegiatan mengidentifikasi
kebutuhan instruksional diperolah jawaban bahwa penyelesaian masalah kesenjangan
antara keadaan saat ini dengan yang diharapkan adalah penyelenggaraan pembelajaran.
Tujuannya adalah tercapainya kompetensi yang tidak pernah dipelajari atau belum
dilakukan dengan baik oleh peserta didik. Kompetensi yang diharapkan itu bersifat
umum atau tinggi sekali. Ia merupakan hasil belajar yang diharapkan dapat dikuasai
peserta didik setelah menyelesaikan kegiatan instruksional. Hasil belajar ini disebutt
tujuan instruksional umum. Dalam penulisan tujuan instruksional uumum (TIU)
tersebut masing-masing terdiri dari emat bagian diantaranya : (1) orang yang belajar;
(2) istilah yang digunakan adalah “akan dapat” bukan dapat atau sudah dapat karena
tujuan itu dirumuskan sebelum peserta didik mulai belajar; (3) kata kerja dalam tujuan
instruksional haruslah berbentuk kata kerja aktif dan dapat diamati; dan (4) tujuan
insttruksional mengandung objek.
b. Melakukan analisis instruksional. Analisis instruksional adalah proses menjabarkan
kompetensi umum menjadi subkompetensi, kompetensi dasar atau kompetensi khusus
yang tersusun secara logis dan sistematik. Kegiatan tersebut dimaksudkan untuk
mengidentifikasi daftar subkompetensi yang lain menuju kompetensi umum. Dengan
melakukan analisis instruksional, akan tergambar susunan subkompetensi dari yang
paling awal sampai yang paling akhir. Jumlah dan susunan subkompetensi tersebutt
akan memberikan keyakinan kepada pengajar bahwa kompetensi umum yang tercantum
dalam TIU dapat dicapai secara efektif dan efisien. Dengan perkataan lain, melalui
tahap pencapaian serangkaian subkompetensi, peserta didik akan mencapai kompetensi
umum. Daftar subkompetensi khusus yang telah tersusun secara sistematik menuju
kompetensi umum itu laksana jalan yang paling singkat yang akan dilalui peserta didik
untuk mencapai tujuannya dengan baik. Hasil analisis instruksional adalah peta
subkompetensi yang menunjukkan susunan subkompetensi yang paling dasar sampai
kompetensi yang paling tinggi seperti dirumuskan dalam TIU. Namun, peta
subkompetensi ini belum menunjukkan kompetensi awal yang telah dikuasai oleh
peserta didik sebelum mengikuti pembelajaran. Untuk melakukan penyusunan seluruh
subkompetensi atau kompetensi dasar tersebut dengan benar pendesain instruksional
perlu memahami empat macam stuktur kompetensi, yaitu: (1) hirarkis (hierarchical);
(2) prosedural (procedural); (3) pengelompokkan (cluster); dan (4) kombinasi
(combination).
c. Mengidentifikasi perilaku dan karakteristik peserta didik. Ada tiga macam sumber yang
dapat memberikan informasi kepada pendesain instruksional, yaitu: (1) peserta didik
atau calon peserta didik; (2) orang-orang yang mengetahui kemampuan peserta didik
atau calon peserta didik dari dekat seperti guru atasannya dan (3) pengelola program
pendidikan yang biasa mengajarkan mata pelajaran tesebut. Ada beberapa teknik
pengumpulan data yang dapat digunakan dalam mengidentifikasi kebutuhan
instruksional, yaitu: kuesioner, interviu, dan observasi, serta tes. Teknik tersebut dapat
pula digunakan untuk mengidentfikasi perilaku awal peserta didik. Pihak yang
memberikan informasi diminta untuk mengidentifikasi seberapa jauh tingkat
penguasaan peserta didik atau caloon peserta didik dalam setiap kompetensi darsar
melalui skala penilaian (rating scales). Selain mengidentifikasi perilaku awal peserta
didik, pendesain insttruksional perlu pula mengidentifikasi karakteristik peserta didik
yang berhubungan dengan keperluan proses desain instruksional. Karakteristik awal
adalah ciri peserta didik sebelum mengikuti pembelajaran. Ciri tersebut diperkirakan
dapat mempengaruhi tingkat keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran sehingga
perlu diperhitungkan dalam proses desain instruksional. Karakteristik peserta didik
berikut ini perlu dipertimbangkan dalam proses desain instruksional, yaitu: (1) motivasi
belajar eksternal atau internal, sebagai dasar memilih strategi pembelajaran motivasi
bagi peserta didik; (2) akses terhadap sumber belajar yang relevan dengan materi
pembelajaran, sebagai landasan untuk menentukan rujukan bahan pembelajaran yang
perlu dipelajari; (3) kebiasaan belajar mandiri dan disiplin dalam waktu mengatur
belajar, untuk dijadikan bahan pertimbangan saat menugaskan pekerjaan-pekerjaan
rumah; (4) akses terhadap saluran komunikasi dan media teknologi informasi untuk
dijadikan pertimbangan dalam penggunaan bimbingan secara online; (5) kebiasaan dan
kemampuan belajar dan berpikir tentang penerapan materi yang dipelajarinya dalam
pekerjaan atau kehidupan sehari-hari, sebagai landasan untuk merancang pemberian
contoh-contoh praktis sebagai bagiann dari presentasi dan uraian; dan (6) domisili/
tempat tinggal bila diukur dengan jarak tempuh ke pusat kegiatan belajar untuk
dipertimbangkan dalam merancang kegiatan belajar tambahan dalam lingkungan
pendidikan. Informasi yang dikumpulkan perlu dibatasi pada karakteristik peserta didik
yang berhubungan langsung dengan proses belajarnya sehingaa ada manfaat langsung
dalam proses desain instruksional.
d. Merumuskan tujuan TIK. Tujuan instruksional khusus terjemahan dari specific
instructional objective. Literatur asing menyebutnya pula sebagai objective, atau
enabling objective, untuk membedakannya general instructional objective, goal atau
terminal objective, yang berarti tujuan instruksional umum (TIU) atau tujuan
instruktional akhir. Dalam program Applied Approach (AA) yang telah digunakan di
perguruan tinggi di seluruh Indonesia TIK disebut sasaran belajar (Sasbel). Tujuan
instruksional khusus (TIK) antara lain digunakan untuk menyusun tes. Karena itu, TIK
harus mengandung unsur-unsur yang dapat memberikan petunjuk kepada penyusun tes
agar ia dapat mengembangkan tes yang benar-benar dapat mengukur perilaku yang
terdapat di dalamnya. Unsur-unsur itu dikenal dengan ABCD yang berasal dari empat
kata sebagai berikut : (1) A = Audience (peserta didik yang akan belajar); (2) B =
behavior (perilaku yang spesifik yang akan dimunculkan oleh peserta didik setelah
selesai proses belajarnya dalam pelajaran tersebut); (3) C = Condition (kondisi yang
berarti batasan yang dikenakan kepada peserta didik atau alat yang digunakan peserta
didik pada saat ia dites) dan (4) D = Degree (tingkat keberhasilan peserta didik dalam
mencapai perilaku tersebut)..
e. Menyusun alat penilaian hasil belajar. Alat penilaian hasil belajar yang seharusnya
disusun adalah mengukur tingkat pencapaian peserta didik dalam kompetensi yang
terdapat dalam tujuan instruksional. Hasil pencapaian peserta didik ini juga merupakan
petunjuk akan tingkat keberhasilan sistem instruksional yang digunakan. Adapun jenis
alat penilaian hasil belajar yang akan dikembangkan, ada prinsip yang harus dipegang
teguh, yaitu: pertama-tama alat penilaian itu berisikan TIU dan TIK. Di samping itu,
sedikitnya ada tiga persyaratan pokok yang harus dipenuhi alat penilaian yang baik,
yaitu, validitas, reliabilitas dan kepraktisan penggunannya. Linn dan Miller (2005)
menyampaikan bahwa : “Instructional Goal (s) and Objectives as Foundation for
Assessment. (p.45) ... The most essential of these are : “Validity, reliability, and
usability” (p.68). Untuk menyusun alat penilaian hasil belajar perlu melakukan
langkah-langkah seperti berikut: (1) menentukan maksud penilaian; (2) membuat tabel
spesifikasi; (3) merakit test; (4) menulis petunjuk; (5) menulis kunci jawaban; (6)
menguji coba kualitas teknik tes; (7) menganalisis hasil uji coba; (8) merevisi tes; (9)
menguji coba tes soal yang sudah diperbaiki untuk melihat validitas dan reliabilitasnya.
f. Menyusun strategi instruksional. Strategi instruksional adalah pendekatan dalam
mengelola isi dan proses instruksional secara komprehensif untuk mencapai satu atau
sekelompok tujuan instruksional. Dalam strategi instruksional terdapat tigga komponen
penting sebagai berikut: (1) tujuan pembelajaran yang berisi kompetensi yang
diharapkan dicapai peserta didik pada akhir pembelajaran; (2) isi atau materi
pembelajaran dengan urutan yang sesuai dengan urutan tujuan pembelajaran; dan (3)
pendekatan dalam mengelola pembelajaran yang melibatkan urutan kegiatan
pembelajaran dan sistem peluncuran yang merupakan pengintegrasian metode, media
dan alat, serta alokasi waktu belajar. Komponen utama dalam strategi instruksional
meliputi urutan kegiattan instruksional, garis besar isi instruksional dan sistem
peluncuran yang terdiri dari metode instruksional, media dan alat instruksional serta
alokasi waktu. Seluruh komponen tersebut terintegrasi dan berfungsi bersama dalam
bentuk strategi pembelajaran untuk mencapai tujuan instruksional.
g. Mengembangkan bahan instruksional. Pada dasarnya bentuk kegiatan instruksional ada
tiga macam sehingga melahirkan tiga bentuk bahan instruksional. Pertama, pengajar
sebagai fasilitator dan peserta didik belajar mandiri dengan menggunnakan bahan
instruksional mandiri yang didesain secara khusus. Kedua, pengajar sebagai penyaji
bahan instruksional yang dipilihnya dengan menggunakan bahan instruksional
kompilasi. Ketiga, pengajarr sebagai fasilitator dan atau penyaji bahan instruksional
dengan menggunakan kombinasi dua bentuk bahan instruksional, yaitu bahan
instruksional mandiri dan bahan kompilasi. Setiap bentuk kegiatan instruksiobal di atas
membutuhkan bahan instruksional yang berbeda.
h. Menyusun desain dan melaksanakan evaluasi formatif. Scriven menyatakan bahwa
evaluasi adalah suatu proses menentukan manfaat, harga dan nilai dari suatu dan
evaluasi adalah produk dari proses tersebut. Dengan kata lain, evaluasi adalah produk
dari proses menentukan manfaat dan nilai dari sesuatu. Produk ini berbentuk temuan-
temuan yang ditulis dalam bentuk laporan. Scriven membedakan dua macam evaluasi,
yaitu evaluasi formatif dan evaluasi sumatif. Evaluasi formatif dimaksudkan untuk
membantu pengembangan dan perbaikan program. Oleh karena itu, evaluasi formatif
dimaksudkan untuk memperoleh masukan tentang hal-hal yang harus diperbaiki dalam
suatu objek, proyek atau program. Idealnya pendesain istruksional melakukan empat
tahap evaluasi formatif, yaitu: (1) review oleh ahlii di luar tim pendesain instruksional;
(2) evaluasi satu-satu (one-to-one evaluation); (3) evaluasi kelompok kecil dan (4) uji
coba lapangan.
i. Merevisi bahan instruksional. Bahan-bahan instruksional yang dianggao tidak perlu
naka harus di hapus, diperbaiki atau tidak dilanjutkan sama sekali.
j. Mendesain dan melaksanakan evaluasi sumatiff. Evaluasi sumatif adalah proses
menilai suatu objek, dalam hal ini sistem instruksional, hasil proses desain
instruksional. Bila ternyata sama efektifnya dengan yang lama, kedua sistem
instruksional itu dapat digunakan secara bersamaan. Dalam keadaan seperti itu setiap
sekolah dibolehkan memilih menggunakan saah satu diantaranya. Sebaliknya, bila
terbukti bahwa sistem instruksional yang lama secara signifikan lebihh efektf dari yang
baru, pengelola pendidikan dapat memutuskan menggunakan sistem instruksional yang
baru. Keputusan seperti itu merupakan ciri pokok hasil evaluasi sumatif. Bila diketahui
bahwa sistem instruksional yang baru lebih efektif daripada yang lama, seperti
instruksional yang baru tersebut terus dipertahankan.

Perencanaan dari pengembangan buku ajar dilakukan dengan langkah menggunakan


model pengembangan Dick and Carey seperti berikut:

a. Rumusan tujuan instruksional umum (TIU) buku ajarr yang dikembangkan adalah
peserta didik akan dapat menerapkan konsep dan prinsip dasar.
b. Analisis instruksionalnya seperti gambar 3 dibawah ini.
Gambar 3. Analisis Instruksional Materi

c. Perilaku dan karakteristik peserta didik. Dari data yang diperoleh dilapangan buku ajar
ini disusun bagi peserta didik yang sudah duduk di SMA kelas X semester genap.
d. Rumusan tujuan TIK nya. Jika peserta didik menggunakan buku ajar dalam kegiatan
belajarnya akan dapat menerapkan materi sebagai prinsip dasar untuk
e. Alat penilaian hasil belajar yang digunakan adalah tes objektif yang

Tabel 2. Kisi-kisi

Anda mungkin juga menyukai