BAB I
KEBIJAKAN AKUNTANSI PELAPORAN KEUANGAN
KEMENTERIAN AGAMA
A. Prinsip-Prinsip Umum
Laporan Keuangan Kementerian Agama (LKKA) adalah bentuk
pertanggungjawaban Kementerian Agama atas pelaksanaan APBN
berupa Laporan Realisasi Anggaran, Laporan Operasional, Laporan
Perubahan Ekuitas, Neraca, dan Catatan atas Laporan Keuangan.
LKKA disusun dengan tujuan menyediakan informasi yang relevan
mengenai posisi keuangan dan seluruh transaksi yang dilakukan oleh
entitas akuntansi dan entitas pelaporan selama satu periode
akuntansi. Penyusunan dan penyajian LKKA menjadi tanggung jawab
setiap pimpinan entitas atau pejabat yang ditunjuk. Penyajian LKKA
harus dinyatakan dalam mata uang rupiah. Penyajian neraca, aset,
dan/atau kewajiban dalam mata uang lain selain dari rupiah harus
dijabarkan dalam mata uang rupiah dengan menggunakan kurs
tengah Bank Sentral.
Penyajian LKKA menggunakan basis akuntansi kas dan akrual.
Basis akuntansi kas adalah basis akuntansi yang mengakui pengaruh
transaksi dan peristiwa lainnya pada saat kas atau setara kas diterima
atau dibayar. Sedangkan basis akuntansi akrual adalah basis
akuntansi yang mengakui pengaruh transaksi dan peristiwa lainnya
pada saat transaksi dan peristiwa itu terjadi, tanpa memperhatikan
saat kas atau setara kas diterima atau dibayar. Basis akuntansi kas
digunakan dalam penyusunan Laporan Realisasi Anggaran (LRA),
sedangkan basis akuntansi akrual digunakan dalam penyusunan
Laporan Operasioanal (LO), Laporan Perubahan Ekuitas (LPE), dan
Neraca.
Dalam rangka memberikan keyakinan terbatas mengenai akurasi,
keandalan, dan keabsahan informasi LKKA serta pengakuan,
pengukuran, dan pelaporan transaksi sesuai dengan Sistem Akuntansi
Pemerintahan (SAP) sehingga dapat menghasilkan LKKA yang
berkualitas maka dilakukan reviu terhadap LKKA oleh Aparat
Pengawas Internal pada Kementerian Agama. Hasil reviu atas LKKA
dituangkan dalam Pernyataan Telah Direviu yang akan dilampirkan
pada LKKA Semesteran dan Tahunan.
Laporan Keuangan Kementerian Agama disusun berdasarkan
kebijakan akuntansi Kementerian Agama, yaitu prinsip-prinsip, dasar-
dasar, konvensi-konvensi, aturan-aturan, dan praktik-praktik spesifik
yang dipilih oleh Kementerian Agama sebagai pedoman dalam
menyusun dan menyajikan LKKA untuk memenuhi kebutuhan
pengguna laporan keuangan dalam rangka meningkatkan
keterbandingan laporan keuangan terhadap anggaran, antar periode,
maupun antar entitas.
Kebijakan ...
Kebijakan akuntansi yang bersifat umum mengikuti kebijakan
yang telah ditetapkan dalam Pernyataan Standar Akuntansi
Pemerintahan (PSAP). Sedangkan kebijakan akuntansi yang
ditetapkan dalam lampiran ini adalah kebijakan akuntansi yang
berkaitan dengan akun dan pelaporan keuangan dan penjelasan atas
komponen LKKA yang berfungsi sebagai pedoman dalam rangka
penyajian LKKA yang berkualitas. Laporan Keuangan yang berkualitas
harus memenuhi karakteristik kualitatif yang memenuhi unsur-unsur:
1. Relevan, informasi laporan keuangan hendaknya:
a. memiliki manfaat umpan balik (feedback value);
b. memiliki manfaat prediktif (predictive value);
c. tepat waktu sehingga berguna dalam pengambilan keputusan;
dan
d. lengkap agar kekeliruan penggunaan informasi dapat dicegah.
2. Andal, informasi laporan keuangan memenuhi karakteristik:
a. penyajian jujur, menggambarkan transaksi/peristiwa sebenarnya;
b. dapat diverifikasi (verifiability) dan dapat diuji kembali yang
hasilnya tidak berbeda; dan
c. netralitas, informasi untuk kebutuhan umum dan tidak berpihak
pada kebutuhan pihak tertentu.
3. Dapat dibandingkan dengan laporan keuangan periode sebelumnya
atau laporan keuangan entitas pelaporan lain pada umumnya; dan
4. Dapat dipahami oleh pengguna dan dinyatakan dalam bentuk serta
istilah yang disesuaikan dengan tingkat pemahaman para
pengguna.
Selain memenuhi kualitas sebagaimana disebutkan di atas,
laporan keuangan yang disajikan secara substansi harus menyajikan
hal-hal sebagai berikut:
1. menyajikan secara wajar posisi keuangan, realisasi anggaran, hasil
operasi, dan perubahan ekuitas disertai pengungkapan yang
diharuskan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
2. menyajikan aset berdasarkan karakteristiknya, menurut urutan
likuiditas, sedangkan kewajiban disajikan menurut urutan jatuh
temponya;
3. menyajikan LO yang terdiri dari pendapatan dan beban yang
dipisahkan menurut karakteristiknya dari kegiatan
utama/operasional entitas dan kegiatan yang bukan merupakan
tugas dan fungsinya;
4. menyajikan Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK) secara
sistematis dengan urutan penyajian sesuai komponen utamanya
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari laporan
keuangan. Informasi dalam CaLK berkaitan dengan pos-pos dalam
neraca, laporan operasional, laporan realisasi anggaran, dan laporan
perubahan ekuitas yang sifatnya memberikan penjelasan, baik yang
bersifat kualitatif maupun kuantitatif, termasuk komitmen dan
kontinjensi, serta transaksi-transaksi lainnya; dan
5. menyajikan penjelasan atas pos-pos laporan keuangan. Penjelasan
atas pos-pos tersebut tidak diperkenankan menggunakan ukuran
kualitatif seperti “sebagian besar” untuk menggambarkan bagian
dari suatu jumlah tetapi harus dinyatakan dalam jumlah nominal
atau persentase.
B. Komponen ...
B. Komponen Laporan Keuangan Kementerian Agama
Tujuan Laporan Keuangan adalah menyediakan informasi yang
relevan mengenai posisi keuangan dan seluruh transaksi yang
dilakukan oleh entitas akuntansi dan entitas pelaporan selama satu
periode akuntansi. Untuk memenuhi tujuan tersebut, LKKA
menyajikan laporan dengan komponen sebagai berikut:
1. Laporan Pelaksanaan Anggaran, yaitu LRA;
2. Laporan Finansial, yang terdiri dari LO, LPE, dan Neraca; dan
3. CaLK.
Penjelasan masing-masing komponen LKKA adalah sebagai berikut:
1. Laporan Pelaksanaan Anggaran
Laporan Pelaksanaan Anggaran disajikan dalam LRA.
Laporan ini merupakan salah satu komponen laporan keuangan
entitas akuntansi dan entitas pelaporan Kementerian Agama yang
menyajikan alokasi dan pemakaian sumber daya keuangan yang
dikelola oleh Kementerian Agama yang menggambarkan
perbandingan antara anggaran dan realisasinya dalam suatu
periode tertentu. LRA memiliki manfaat sebagai berikut:
a. menyediakan informasi mengenai realisasi anggaran secara
menyeluruh yang berguna dalam mengevaluasi kinerja
Kementerian Agama dalam hal efisiensi dan efektivitas
penggunaan anggaran; dan
b. menyediakan informasi tentang indikasi perolehan dan
penggunaan sumber daya ekonomi yang telah dilaksanakan
secara efisien, efektif, hemat, sesuai dengan anggaran, dan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
LRA paling sedikit mencakup pos-pos sebagai berikut:
a. Pendapatan-LRA; dan
b. Belanja, terdiri dari belanja operasi dan belanja modal.
Penjelasan atas pos-pos Laporan Realiasi Pendapatan-LRA
adalah sebagai berikut:
a. Pendapatan-LRA
Pendapatan-LRA adalah semua penerimaan Rekening Kas
Umum Negara yang menambah Saldo Anggaran Lebih dalam
periode tahun anggaran yang bersangkutan yang menjadi hak
pemerintah dan tidak perlu dibayar kembali oleh pemerintah.
Struktur LRA Pendapatan pada Kementerian Agama adalah
Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang terdiri dari:
1) Pendapatan Badan Layanan Umum (BLU);
2) Pendapatan PNBP Lainnya, meliputi:
a) Pendapatan Pendidikan;
b) Pendapatan Jasa KUA; dan
c) Pendapatan Umum.
Pendapatan Umum pada Kementerian Agama terdiri dari:
(1) Pendapatan dari Pemindahtangan BMN;
(2) Pendapatan dari Pemanfaatan BMN;
(3) Pendapatan ...
(3) Pendapatan Jasa Lembaga Keuangan (Jasa Giro);
(4) Pendapatan dari Pengembalian Penyalahgunaan
Penyelenggaraan Keuangan Negara;
(5) Pendapatan Denda Keterlambatan Penyelesaian
Pekerjaan Pemerintah;
(6) Pendapatan dari Penerimaan Kembali Belanja Pegawai
Pusat Tahun Anggaran Yang Lalu (TAYL);
(7) Pendapatan dari Penerimaan Kembali Belanja Lainnya
TAYL;
(8) Pendapatan dari Pelunasan Piutang Non
Perbendaharaan;
(9) Pendapatan dari Pelunasan Ganti Rugi atas Kerugian
yang Diderita oleh Negara (termasuk Tuntutan
Perbendaharaan/Tuntutan Ganti Rugi (TP/TGR)
Bendahara);
(10)Pendapatan dari Penutupan Rekening; dan
(11)Pendapatan dari Untung Selisih Kurs Uang Persediaan
Satuan Kerja (Satker) Perwakilan RI.
b. Belanja
Belanja adalah semua pengeluaran dari Rekening Kas Umum
Negara yang mengurangi Saldo Anggaran Lebih dalam periode
tahun anggaran bersangkutan yang tidak akan diperoleh
pembayarannya kembali oleh pemerintah. Struktur belanja pada
Kementerian Agama dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu belanja
untuk kegiatan operasi dan belanja modal. Belanja untuk
kegiatan operasi terdiri dari:
1) Belanja Pegawai;
2) Belanja Barang; dan
3) Belanja Bantuan Sosial.
Sedangkan belanja modal terdiri dari:
1) Belanja Tanah;
2) Belanja Peralatan dan Mesin;
3) Belanja Gedung dan Bangunan;
4) Belanjan Jalan, Irigasi, dan Jaringan;
5) Belanja Aset Tetap Lainnya; dan
6) Belanja Aset Lainnya.
2. Laporan Finansial
a. Laporan Operasional
LO merupakan komponen laporan keuangan entitas akuntansi
dan entitas pelaporan Kementerian Agama yang menyediakan
informasi mengenai seluruh kegiatan operasional keuangan
Kementerian Agama yang tercermin pada Pendapatan-LO,
Beban, dan Surplus/Defisit Operasional dari Kementerian
Agama yang penyajiannya disandingkan dengan periode
sebelumnya. LO disusun untuk melengkapi pelaporan dari
siklus akuntansi berbasis akrual sehingga penyusunan LO, LPE,
dan Neraca mempunyai keterkaitan yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Struktur ...
Struktur LO mencakup pos-pos sebagai berikut:
1) Pendapatan-LO;
2) Beban;
3) Surplus/Defisit dari Kegiatan Operasional;
4) Kegiatan Non Operasional;
5) Surplus/Defisit Sebelum Pos Luar Biasa;
6) Pos Luar Biasa; dan
7) Surplus/Defisit LO.
Penjelasan masing-masing struktur LO pada Kementerian
Agama adalah sebagai berikut:
1) Pendapatan-LO
Pendapatan-LO adalah hak Kementerian Agama yang diakui
sebagai penambah ekuitas dalam periode tahun anggaran
yang bersangkutan dan tidak perlu dibayar kembali.
Pendapatan-LO Kementerian Agama adalah Pendapatan
Negara Bukan Pajak pada Kementerian Agama.
2) Beban
Beban adalah penurunan manfaat ekonomi atau potensi jasa
dalam periode pelaporan yang menurunkan ekuitas, yang
dapat berupa pengeluaran atau konsumsi aset atau timbulnya
kewajiban. Beban pada Kementerian Agama terdiri dari:
a) Beban Pegawai;
b) Beban Persediaan;
c) Beban Barang untuk diserahkan kepada Masyarakat;
d) Beban Jasa;
e) Beban Pemeliharaan;
f) Beban Perjalanan Dinas;
g) Beban Bantuan Sosial;
h) Beban Penyusutan dan Amortisasi;
i) Beban Penyisihan Piutang Tak Tertagih; dan
j) Beban Lain-lain.
3) Surplus/Defisit dari Kegiatan Operasional
Adalah selisih lebih/kurang antara pendapatan dan beban
yang menjadi tugas dan fungsi di Kementerian Agama selama
satu periode pelaporan.
4) Kegiatan Non Operasional
Adalah kegiatan yang sifatnya tidak rutin yang perlu
dikelompokkan tersendiri yang terdiri dari:
a) Surplus/Defisit Pelepasan Aset Non Lancar;
b) Surplus/Defisit Penyelesaian Kewajiban Jangka Panjang;
dan
c) Surplus/Defisit Kegiatan Non Operasional Lainnya.
5) Surplus/Defisit sebelum Pos Luar Biasa
Adalah selisih lebih atau kurang atas pos pendapatan dan
beban sebelum pos luar biasa.
c. Neraca
Neraca merupakan komponen laporan keuangan entitas
akuntansi dan entitas pelaporan Kementerian Agama yang
menggambarkan posisi keuangan Kementerian Agama mengenai
aset, kewajiban, dan ekuitas pada tanggal tertentu. Struktur
neraca pada Kementerian Agama terdiri dari:
1) Aset;
2) Kewajiban; dan
3) Ekuitas.
Penjelasan masing-masing struktur neraca pada Kementerian
Agama adalah sebagai berikut:
1) Aset
Aset adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau
dimiliki oleh Kementerian Agama sebagai akibat dari peristiwa
masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial di
masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh
Kementerian Agama maupun masyarakat serta dapat diukur
dalam satuan uang, termasuk sumber daya non keuangan
yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat
umum dan sumber-sumber daya yang dipelihara karena
alasan sejarah dan budaya. Aset Kementerian Agama
dikelompokkan menjadi:
a) Aset Lancar
(1) Kas di Bendahara Pengeluaran;
(2) Kas di Bendahara Penerimaan;
(3) Kas Lainnya dan Setara Kas;
(4) Kas pada ...
(4) Kas pada BLU;
(5) Investasi Jangka Pendek- BLU;
(6) Belanja Dibayar di Muka;
(7) Uang Muka Belanja;
(8) Piutang Bukan Pajak;
(9) Penyisihan Piutang Tidak Tertagih-Piutang Bukan Pajak;
(10) Bagian Lancar TP/TGR;
(11) Penyisihan Piutang Tidak Tertagih-Bagian Lancar
TP/TGR;
(12) Piutang dari Kegiatan Operasional BLU;
(13) Penyisihan Piutang Tidak Tertagih Piutang dari Kegiatan
Operasional BLU;
(14) Piutang dari Kegiatan Non Operasional BLU;
(15) Penyisihan Piutang Tidak Tertagih-Piutang dari Kegiatan
Non Operasional BLU;
(16) Persediaan; dan
(17) Persediaan BLU.
b) Investasi Jangka Panjang:
(1) Investasi Non Permanen; dan
(2) Investasi Permanen.
c) Aset Tetap:
(1) Tanah;
(2) Tanah BLU;
(3) Peralatan dan Mesin;
(4) Peralatan dan Mesin BLU;
(5) Gedung dan Bangunan;
(6) Gedung dan Bangunan BLU;
(7) Jalan, Irigasi, dan Jaringan;
(8) Jalan, Irigasi, dan Jaringan BLU;
(9) Aset Tetap Lainnya;
(10) Aset Tetap Lainnya BLU;
(11) Konstruksi Dalam Pengerjaan;
(12) Konstruksi Dalam Pengerjaan BLU;
(13) Akumulasi Penyusutan; dan
(14) Akumulasi Penyusutan BLU.
d) Aset Lainnya:
(1) Aset Tak Berwujud;
(2) Aset Tak Berwujud BLU;
(3) Aset Lain-lain;
(4) Aset Lain-lain BLU;
(5) Akumulasi Amortisasi Aset Tak Berwujud;
2) Kewajiban
Kewajiban adalah utang yang timbul dari peristiwa masa lalu
yang penyelesaiannya mengakibatkan aliran keluar sumber
daya ekonomi Kementerian Agama. Kewajiban pada
Kementerian Agama adalah kewajiban jangka pendek, yang
terdiri dari:
a) Utang Kepada Pihak Ketiga;
b) Pendapatan Diterima di Muka;
c) Uang Muka dari KPPN;
d) Pendapatan yang Ditangguhkan; dan
e) Utang Jangka Pendek Lainnya.
3) Ekuitas
Ekuitas adalah kekayaan bersih Kementerian Agama yang
merupakan selisih antara aset dan kewajiban Kementerian
Agama.
BAB II ...
BAB II
KEBIJAKAN AKUNTANSI AKUN PADA KEMENTERIAN AGAMA
A. Prinsip-Prinsip Umum
Akun merupakan bagian dari Bagan Akun Standar yang
dikembangkan oleh Kementerian Keuangan sebagaimana diatur dalam
PMK Nomor 214/PMK.05/2013 tentang Bagan Akun Standar. Bagan
Akun Standar (BAS) adalah daftar kodefikasi dan klasifikasi terkait
transaksi keuangan yang disusun secara sistematis sebagai pedoman
dalam pelaksanaan anggaran dan pelaporan keuangan Kementerian
Agama. Penggunaan akun harus seragam dalam proses penganggaran,
pelaksanaan anggaran, dan pertanggungjawaban keuangan di
lingkungan Kementerian Agama. Akun-akun yang digunakan dan
diperkenankan dalam Keputusan ini bersifat lebih terbatas bagi
lingkup internal Kementerian Agama apabila dibandingkan dengan
jenis-jenis akun yang ada pada BAS.
Akun permanen/riil adalah akun-akun yang akan muncul pada
neraca dan saldonya terbawa ke tahun anggaran berikutnya, yaitu
akun aset, akun kewajiban, dan akun ekuitas. Sedangkan akun
sementara/nominal adalah akun-akun yang harus ditutup ke
surplus/defisit LRA/surplus/defisit LO pada setiap akhir tahun
anggaran/periode akuntansi, sehingga saldonya tidak akan terbawa ke
tahun anggaran berikutnya, yaitu terdiri dari akun Pendapatan-LRA,
akun Belanja, akun Pendapatan-LO, dan akun Beban.
2. Akuntansi ...
2. Akuntansi akun investasi (Khusus BLU)
Investasi adalah aset yang dimaksudkan untuk memperoleh
manfaat ekonomi berupa bunga, dividen, royalti atau manfaat sosial,
sehingga dapat meningkatkan kemampuan pemerintah dalam rangka
pelayanan kepada masyarakat. Satker di lingkungan Kementerian
Agama tidak diperbolehkan melakukan investasi jangka pendek,
kecuali Satker BLU. Satker BLU dapat melakukan investasi dalam
rangka pemanfaatan kas yang menganggur (idle cash). Contoh
penempatan idle cash pada investasi jangka pendek adalah
Deposito, Surat Berharga Negara, Reksa Dana yang berumur
maksimal satu tahun. Sedangkan penempatan untuk investasi
jangka panjang contohnya adalah Obligasi, Saham, Penempatan
Modal BLU di anak usaha.
Apabila kas yang digunakan oleh BLU untuk investasi jangka
pendek berasal dari kas operasional (telah disahkan oleh Kuasa
BUN), maka investasi tersebut disajikan sebagai investasi jangka
pendek. Apabila kas yang digunakan oleh BLU untuk investasi
jangka pendek berasal dari kas kelolaan yang akan/belum
digulirkan, maka investasi tersebut disajikan sebagai aset lainnya.
Investasi diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu:
a. Investasi jangka pendek adalah investasi yang dapat segera
dicairkan dan dimaksudkan untuk dimiliki selama lebih dari 3
(tiga) bulan sampai dengan 12 (dua belas) bulan.
b. Investasi jangka panjang adalah investasi yang dimaksudkan
untuk dimiliki lebih dari 12 bulan.
Pengakuan Investasi Jangka Pendek:
a. kemungkinan manfaat ekonomi dan manfaat sosial atau jasa
potensial di masa yang akan datang atas suatu investasi tersebut
dapat diperoleh pemerintah dalam jangka waktu lebih dari 3 (tiga)
bulan sampai dengan 12 (dua belas) bulan; dan
b. nilai perolehan atau nilai wajar investasi dapat diukur secara
memadai (reliable). Pengeluaran untuk perolehan investasi jangka
pendek tidak dilaporkan sebagai belanja dalam LRA.
Keuntungan atau kerugian dalam pelepasan/penjualan investasi
jangka pendek dilaporkan pada LO. Keuntungan tersebut diakui pada
saat harga pelepasan/penjualan (setelah dikurangi biaya penjualan)
lebih tinggi dari nilai tercatatnya, dan kerugian diakui pada saat
harga pelepasan/penjualan (setelah dikurangi biaya penjualan) lebih
rendah dari nilai tercatatnya.
Pengukuran Investasi Jangka Pendek:
a. Untuk investasi yang terdapat pada pasar aktif dapat membentuk
nilai pasar yang dapat digunakan sebagai dasar penerapan nilai
wajar. Sedangkan untuk investasi yang tidak memiliki pasar yang
aktif dapat dipergunakan nilai nominal, nilai tercatat atau nilai
wajar lainnya.
b. Investasi jangka pendek dalam bentuk surat berharga, misalnya
saham dan obligasi jangka pendek (efek), dicatat sebesar biaya
perolehan. Biaya perolehan investasi meliputi harga transaksi
investasi itu sendiri ditambah komisi perantara jual beli, jasa
bank, dan biaya lainnya yang timbul dalam rangka perolehan
tersebut.
c. apabila ...
c. apabila investasi dalam bentuk surat berharga diperoleh tanpa
biaya perolehan, maka investasi dinilai berdasarkan nilai wajar
investasi pada tanggal perolehannya yaitu sebesar harga pasar.
Apabila tidak ada nilai wajar, maka investasi dinilai berdasarkan
nilai wajar aset lain yang diserahkan untuk memperoleh investasi
tersebut. Disamping itu, apabila surat berharga yang diperoleh dari
hibah yang tidak memiliki nilai pasar, maka dinilai berdasarkan
hasil penilaian sesuai ketentuan.
d. Investasi jangka pendek dalam bentuk non saham, misalnya dalam
bentuk deposito jangka pendek dicatat sebesar nilai nominal
deposito tersebut.
e. Investasi jangka pendek dalam mata uang asing disajikan pada
neraca dalam mata uang rupiah sebesar kurs tengah Bank Sentral
pada tanggal pelaporan.
Penyajian/Pengungkapan Investasi Jangka Pendek:
Investasi jangka pendek disajikan pada pos aset lancar di neraca.
Sedangkan hasil dari investasi, seperti bunga, diakui sebagai
pendapatan dan disajikan pada Laporan Realisasi Anggaran dan
Laporan Operasional. Transaksi pengeluaran kas untuk perolehan
investasi jangka pendek dicatat sebagai reklasifikasi kas menjadi
investasi jangka pendek oleh BLU, dan tidak dilaporkan dalam LRA.
Keuntungan atau kerugian saat pelepasan investasi jangka pendek
disajikan dalam Laporan Operasional. Hal-hal lain yang harus
diungkapkan dalam laporan keuangan berkaitan dengan investasi
jangka pendek, antara lain:
a. kebijakan akuntansi untuk penentuan nilai investasi jangka
pendek;
b. jenis-jenis investasi;
c. perubahan harga pasar;
d. penurunan nilai investasi yang signifikan dan penyebab
penurunan tersebut;
e. investasi yang dinilai dengan nilai wajar dan alasan penerapannya;
dan
f. perubahan pos investasi.
Pengakuan Investasi Jangka Panjang:
a. kemungkinan manfaat ekonomi dan manfaat sosial atau jasa
potensial di masa yang akan datang atas suatu investasi tersebut
dapat diperoleh pemerintah dalam jangka waktu lebih dari 12 (dua
belas) bulan;
b. nilai perolehan atau nilai wajar investasi dapat diukur secara andal
(reliable); dan
c. investasi jangka panjang dapat dilakukan setelah memperoleh izin
dari Menteri Keuangan.
Pelepasan/penjualan investasi, apabila terjadi perbedaan antara hasil
pelepasan investasi dengan nilai tercatatnya harus dibebankan atau
dikreditkan kepada keuntungan/kerugian pelepasan investasi.
Keuntungan/kerugian pelepasan investasi disajikan dalam LO.
Pengukuran Investasi Jangka Panjang dapat menggunakan
beberapa metode. Metode yang digunakan untuk menilai investasi di
Kementerian Agama adalah:
a. Metode ...
a. Metode Biaya;
Pada metode biaya, investasi dicatat sebesar biaya perolehan, baik
pada saat investasi awal maupun pencatatan selanjutnya.
b. Metode Ekuitas;
Pada metode ekuitas, investasi awal dicatat sebesar biaya
perolehan. Biaya perolehan dimaksud meliputi harga transaksi
investasi itu sendiri ditambah biaya lain yang timbul dalam rangka
perolehan investasi tersebut. Penilaian investasi pada tanggal
pelaporan keuangan disajikan sebesar investasi awal ditambah
(dikurangi) proporsi bagian laba (rugi) pemerintah setelah tanggal
perolehan dikurangi dengan penerimaan deviden tunai bagian
pemerintah.
c. Metode nilai bersih yang dapat direalisasikan (net realizable value);
Pengukuran investasi non permanen di neraca berdasarkan nilai
yang dapat direalisasikan, dilaksanakan dengan mengurangkan
nilai investasi non permanen diragukan tertagih/direalisasikan
dari nilai investasi non permanen awal yang dicatat sebesar harga
perolehan.
Penyajian dan Pengungkapan Investasi Jangka Panjang:
a. Investasi jangka panjang disajikan pada neraca menurut jenisnya,
baik yang bersifat non permanen maupun yang bersifat permanen.
Investasi non permanen yang diragukan tertagih/terealisasi
disajikan sebagai pengurang investasi jangka panjang non
permanen.
b. Investasi non permanen yang akan jatuh tempo dalam waktu
kurang dari 12 (dua belas) bulan setelah tanggal pelaporan
direklasifikasi menjadi bagian lancar investasi non permanen pada
aset lancar.
c. Hasil dari investasi, seperti bunga dan dividen, diakui sebagai
pendapatan dan disajikan pada LO. Apabila terdapat hasil
investasi yang masih terutang disajikan sebagai piutang pada
neraca.
3. Akuntansi akun piutang
Piutang adalah jumlah uang yang akan diterima oleh pemerintah
dan/atau hak pemerintah yang dapat dinilai dengan uang sebagai
akibat perjanjian, kewenangan pemerintah berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya
yang sah. Piutang diklasifikasikan menjadi:
a. Piutang Jangka Pendek, yaitu piutang yang diharapkan diterima
pemerintah dalam waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal
pelaporan; dan
b. Piutang Jangka Panjang, yaitu piutang yang diharapkan diterima
pemerintah dalam waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan sejak
tanggal pelaporan.
Penjelasan masing-masing jenis piutang adalah sebagai berikut:
a. Piutang Jangka Pendek, terdiri dari:
1) Piutang Bukan Pajak
Piutang Bukan Pajak adalah piutang yang berasal dari
penerimaan negara bukan pajak yang belum dilunasi sampai
dengan akhir periode laporan keuangan. Piutang Bukan Pajak
di Kementerian Agama berasal dari Pendapatan PNBP Lainnya.
2) Bagian ...
2) Bagian Lancar Tagihan Penjualan Angsuran (TPA)
Pemerintah dapat melakukan pemindahtanganan barang milik
negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Pemindahtanganan tersebut antara lain dapat
dilakukan melalui penjualan tunai atau dengan metode
cicilan/angsuran. Apabila penjualan dilakukan secara
cicilan/angsuran lebih dari 12 (dua belas) bulan maka sisa
tagihan tersebut diakui sebagai piutang penjualan angsuran
yang dimasukkan dalam kelompok aset non lancar. Bagian
tagihan penjualan angsuran yang akan jatuh tempo dalam 12
(dua belas) bulan setelah tanggal pelaporan dikelompokkan
sebagai Bagian Lancar TPA.
3) Bagian Lancar Tagihan Tuntutan Perbendaharaan/Tuntutan
Ganti Rugi
Bagian Lancar Tagihan TP/TGR adalah piutang yang terjadi
karena adanya proses pengenaan ganti kerugian negara.
Bagian Lancar Tagihan TP dikenakan kepada bendahara pada
Satker, sedangkan Bagian Lancar Tagihan TGR dikenakan
kepada pegawai negeri bukan bendahara atau pejabat lain yang
karena perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan
kewajiban yang dibebankan kepadanya secara langsung
merugikan negara. Bagian Lancar TP/TGR merupakan bagian
TP/TGR yang jatuh tempo dalam waktu 12 (dua belas) bulan
setelah tanggal pelaporan.
4) Bagian Lancar Piutang Jangka Panjang
Bagian Lancar Piutang Jangka Panjang merupakan bagian
piutang jangka panjang yang akan jatuh tempo dalam waktu
12 (dua belas) bulan setelah tanggal pelaporan.
5) Beban Dibayar di Muka/Uang Muka Belanja
Beban Dibayar di Muka/Uang Muka Belanja adalah piutang
yang timbul akibat pemerintah telah melakukan pembayaran
lebih dahulu tetapi barang/jasa dari pihak lain tersebut sampai
pada akhir periode pelaporan belum diterima/dinikmati oleh
pemerintah. Contoh dari Uang Muka Belanja adalah uang
muka pembelian aset, sedangkan contoh dari Beban Dibayar di
Muka adalah pembayaran sewa gedung untuk periode tahun
mendatang
6) Piutang BLU
Piutang BLU merupakan piutang yang timbul dari kegiatan
operasional dan non operasional BLU.
Piutang diakui pada saat timbulnya hak tagih pemerintah
antara lain karena adanya tunggakan pungutan pendapatan,
perikatan, transfer antar pemerintahan, dan kerugian negara, serta
transaksi lainnya yang belum dilunasi sampai dengan tanggal
pelaporan. Pengakuan dari masing-masing jenis piutang adalah
sebagai berikut:
1) Pengakuan Piutang Bukan Pajak
Pengakuan Piutang Bukan Pajak dilakukan bersamaan dengan
pengakuan terhadap pendapatan negara bukan pajak. Untuk
dapat diakui sebagai Piutang Bukan Pajak, harus dipenuhi
kriteria sebagai berikut:
a) telah ...
a) telah diterbitkan surat ketetapan; dan/atau
b) telah diterbitkan surat penagihan.
2) Pengakuan Bagian Lancar Tagihan Penjualan Angsuran
Bagian Lancar TPA merupakan reklasifikasi dari TPA sebesar
nilai TPA yang akan jatuh tempo dalam waktu 12 (dua belas)
bulan sejak tanggal pelaporan. Pengakuan Bagian Lancar TPA
adalah melalui reklasifikasi TPA menjadi Bagian Lancar TPA
yang dilakukan pada akhir periode pelaporan.
3) Pengakuan Bagian Lancar Tagihan Tuntutan
Perbendaharaan/Tuntutan Ganti Rugi
Bagian Lancar Tagihan TP/TGR merupakan reklasifikasi dari
Tagihan TP/TGR sebesar nilai Tagihan TP/TGR yang akan jatuh
tempo dalam waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal
pelaporan. Reklasifikasi TP/TGR menjadi Bagian Lancar Tagihan
TP/TGR dilakukan pada akhir periode pelaporan.
4) Pengakuan Bagian Lancar Piutang Jangka Panjang
Bagian Lancar Piutang Jangka Panjang merupakan reklasifikasi
dari Piutang Jangka Panjang sebesar nilai Piutang Jangka
Panjang yang akan jatuh tempo dalam waktu 12 (dua belas)
bulan setelah tanggal pelaporan. Reklasifikasi Piutang Jangka
Panjang menjadi Bagian Lancar Piutang Jangka Panjang
dilakukan pada akhir periode pelaporan.
5) Pengakuan Beban Dibayar di Muka/Uang Muka Belanja
Pencatatan Beban Dibayar di Muka/Uang Muka Belanja
dilakukan dengan pendekatan beban, dimana jumlah belanja
atau pengeluaran kas yang nantinya akan menjadi beban dicatat
seluruhnya terlebih dahulu sebagai beban. Pada akhir periode
pelaporan, nilai beban disesuaikan menjadi sebesar nilai yang
seharusnya (atau sebesar barang/jasa yang belum
diterima/dinikmati oleh pemerintah). Selisihnya direklasifikasi
menjadi Beban Dibayar di Muka/Uang Muka Belanja.
6) Pengakuan Piutang BLU
Piutang BLU diakui dengan kriteria:
a) telah terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak dengan
bukti surat pernyataan tanggung jawab untuk melunasi
piutang dan diotorisasi oleh kedua belah pihak dengan
membubuhkan tanda tangan pada surat kesepakatan
tersebut;
b) telah diterbitkan surat ketetapan; dan/atau
c) telah diterbitkan surat penagihan.
Pengukuran dari masing-masing jenis piutang adalah sebagai
berikut:
1) Pengukuran Piutang Bukan Pajak
Piutang Bukan Pajak dicatat sebesar nilai nominal yang
ditetapkan dalam surat ketetapan/surat tagihan.
2) Pengukuran Bagian Lancar TPA
Bagian Lancar TPA dicatat sebesar jumlah TPA yang akan jatuh
tempo dalam waktu 12 (dua belas) bulan setelah tanggal
pelaporan.
3) Pengukuran ...
3) Pengukuran Bagian Lancar Tagihan Tuntutan
Perbendaharaan/Tuntutan Ganti Rugi
Bagian Lancar Tagihan TP/TGR dicatat sebesar jumlah Tagihan
TP/TGR yang akan jatuh tempo dalam waktu 12 (dua belas)
bulan setelah tanggal pelaporan.
4) Pengukuran Bagian Lancar Piutang Jangka Panjang
Bagian Lancar Piutang Jangka Panjang dicatat sebesar jumlah
Piutang Jangka Panjang yang akan jatuh tempo dalam waktu 12
(dua belas) bulan setelah tanggal pelaporan.
5) Pengukuran Beban Dibayar di Muka/Uang Muka Belanja
Uang Muka Belanja/Beban Dibayar di Muka dicatat sebesar
nilai barang/jasa dari pihak lain yang belum diterima/dinikmati
oleh pemerintah, namun pemerintah telah membayar atas
barang/jasa tersebut.
6) Pengukuran Piutang BLU
Piutang BLU dicatat sebesar nilai nominal yang ditetapkan
dalam surat ketetapan/surat tagihan.
Piutang disajikan pada pos aset lancar di neraca menurut
jenis-jenis piutang. Penyajian Piutang dalam mata uang asing pada
neraca menggunakan kurs tengah Bank Sentral pada tanggal
pelaporan. Selisih penjabaran pos Piutang dalam mata uang asing
antara tanggal transaksi dan tanggal pelaporan dicatat sebagai
kenaikan atau penurunan ekuitas periode berjalan. Informasi
mengenai piutang yang perlu diungkapkan dalam Catatan atas
Laporan Keuangan adalah:
1) kebijakan akuntansi yang digunakan dalam penilaian,
pengakuan, dan pengukuran piutang;
2) rincian jenis-jenis dan saldo menurut kualitas piutang;
3) perhitungan penyisihan piutang tidak tertagih;
4) penjelasan atas penyelesaian piutang, apakah masih diupayakan
penagihan oleh Satker pemilik piutang atau sudah diserahkan
pengurusannya kepada PUPN/DJKN;
5) barang jaminan atau barang sitaan, bila ada; dan
6) khusus untuk piutang TP/TGR, perlu diungkapkan mengenai
proses penyelesaian baik setelah ditandatanganinya Surat
Keterangan Tanggung Jawab Mutlak (SKTJM) atau
diterbitkannya Surat Keputusan Pembebanan Penggantian
Kerugian Sementara (SKP2KS).
b. Piutang Jangka Panjang
Piutang Jangka Panjang adalah piutang yang
diharapkan/dijadwalkan akan diterima dalam jangka waktu lebih
dari 12 (dua belas) bulan setelah tanggal pelaporan. Jenis-Jenis
Piutang Jangka Panjang adalah sebagai berikut:
1) Piutang Tagihan Penjualan Angsuran
Piutang TPA merupakan piutang yang timbul karena adanya
penjualan aset pemerintah secara angsuran kepada pegawai
pemerintah yang mempunyai jatuh tempo lebih dari 12 (dua
belas) bulan setelah tanggal pelaporan. Contoh tagihan
penjualan angsuran antara lain adalah penjualan rumah dinas
dan penjualan kendaraan dinas.
2) Tagihan ...
2) Tagihan Tuntutan Perbendaharaan/Tuntutan Ganti Rugi
Tagihan tuntutan perbendaharaan merupakan suatu proses
penagihan yang dilakukan terhadap bendahara dengan tujuan
untuk menuntut penggantian atas suatu kerugian yang diderita
oleh negara sebagai akibat langsung ataupun tidak langsung
dari suatu perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh
bendahara tersebut atau kelalaian dalam pelaksanaan tugas
kewajibannya. Tagihan tuntutan ganti rugi merupakan suatu
proses yang dilakukan terhadap pegawai negeri bukan
bendahara dengan tujuan untuk menuntut penggantian atas
suatu kerugian yang diderita oleh negara sebagai akibat
langsung ataupun tidak langsung dari suatu perbuatan
melanggar hukum yang dilakukan oleh pegawai tersebut atau
kelalaian dalam pelaksanaan tugas kewajibannya.
Pengakuan masing-masing jenis Piutang Jangka Panjang
adalah sebagai berikut:
1) Piutang Tagihan Penjualan Angsuran
Piutang TPA diakui pada saat terjadinya penjualan angsuran
yang ditetapkan dalam naskah/dokumen perjanjian penjualan.
2) Piutang Tagihan TP/TGR
Piutang Tagihan TP/TGR diakui apabila telah memenuhi
kriteria:
a) telah ditandatanganinya SKTJM;
b) telah diterbitkan SKP2KS kepada pihak yang dikenakan
tuntutan Ganti Kerugian Negara; atau
c) telah ada putusan Lembaga Peradilan yang berkekuatan
hukum tetap (inkracht) yang menghukum seseorang untuk
membayar sejumlah uang kepada pemerintah.
Pengukuran terhadap Piutang Jangka Panjang merupakan
pengukuran atas peristiwa-peristiwa yang menimbulkan piutang
yang berasal dari perikatan perjanjian adalah sebagai berikut:
1) Piutang TPA
Piutang TPA dicatat sebesar tagihan sebagaimana yang
ditetapkan dalam naskah/dokumen perjanjian penjualan.
2) Piutang Tagihan TP/TGR
Piutang TP/TGR dicatat sebesar tagihan sebagaimana yang
ditetapkan dalam surat keterangan/ketetapan/keputusan
adanya kerugian negara.
Penyajian dan Pengungkapan Piutang Jangka Panjang pada
laporan keuangan tahunan, Piutang TPA, dan Tagihan TP/TGR
yang jatuh tempo lebih dari 12 (dua belas) bulan setelah tanggal
pelaporan disajikan pada neraca sebagai Piutang Jangka Panjang.
Sedangkan Piutang TPA, Tagihan TP/TGR, yang jatuh tempo
kurang dari 12 (dua belas) bulan setelah tanggal pelaporan
direklasifikasi sebagai Aset Lancar. Penyajian Piutang Jangka
Panjang dalam mata uang asing pada neraca menggunakan kurs
tengah Bank Sentral pada tanggal pelaporan. Selisih penjabaran
pos Piutang Jangka Panjang dalam mata uang asing antara tanggal
transaksi dan tanggal pelaporan dicatat sebagai kenaikan atau
penurunan ekuitas periode berjalan.
4. Akuntansi ...
4. Akuntansi akun penyisihan piutang tidak tertagih
Nilai piutang pada neraca harus terjaga agar nilainya sama
dengan nilai bersih yang dapat direalisasikan (net realizable value).
Agar nilai piutang tetap menggambarkan nilai bersih yang dapat
direalisasikan, maka piutang-piutang (sebagian atau seluruhnya)
yang diperkirakan tidak tertagih perlu disisihkan dari pos piutang.
Metode untuk menghitung piutang yang tidak tertagih adalah metode
pencadangan/penyisihan piutang tidak tertagih (allowance method).
Metode ini mengestimasi besarnya piutang-piutang yang tidak akan
tertagih dan kemudian mencatat dan menyajikan nilai estimasi
tersebut sebagai penyisihan piutang tidak tertagih, yang mengurangi
nilai piutang bruto.
Beban yang timbul atas pembentukan penyisihan piutang tidak
tertagih tersebut pada akhir periode pelaporan dicatat sebagai beban
penyisihan piutang tidak tertagih dan disajikan pada LO. Penyisihan
piutang tidak tertagih akan menyesuaikan nilai pos piutang pada
neraca menjadi sebesar nilai bersih yang dapat direalisasikan (net
realizable value). Penyisihan piutang tidak tertagih tidak dilakukan
untuk jenis piutang berupa Uang Muka Belanja/Beban Dibayar di
Muka.
Penyisihan piutang tidak tertagih dibentuk berdasarkan
kualitas/umur piutang. Penyisihan piutang tidak tertagih disajikan
tersendiri dalam neraca sebagai pengurang atas jumlah piutang.
Penggolongan kualitas piutang PNBP sebagai berikut:
a. Kualitas lancar, apabila belum dilakukan pelunasan sampai
dengan tanggal jatuh tempo yang ditetapkan;
b. Kualitas Kurang Lancar, apabila dalam jangka waktu 1 (satu)
bulan terhitung sejak tanggal Surat Tagihan Pertama tidak
dilakukan pelunasan;
c. Kualitas Diragukan, apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan
terhitung sejak tanggal Surat Tagihan Kedua tidak dilakukan
pelunasan; dan
d. Kualitas Macet, apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan
terhitung sejak tanggal Surat Tagihan Ketiga tidak dilakukan
pelunasan dan/atau piutang telah diserahkan kepada Panitia
Urusan Piutang.
Berdasarkan PMK Nomor 69/PMK.06/2014 tentang Penentuan
Kualitas Piutang dan Pembentukan Penyisihan Piutang Tidak
Tertagih pada Kementerian Negara/Lembaga dan Bendahara Umum
Negara, penentuan nilai Penyisihan piutang tidak Tertagih adalah
sebagai berikut:
a. Penyisihan piutang tidak tertagih ditetapkan 5‰ (lima permil) dari
piutang yang memiliki kualitas lancar.
b. Penyisihan piutang tidak tertagih khusus ditetapkan sebagai
berikut:
1) 10% (sepuluh persen) dari piutang dengan kualitas kurang
lancar setelah dikurangi dengan nilai agunan atau nilai barang
sitaan;
2) 50% (lima puluh persen) dan piutang dengan kualitas diragukan
setelah dikurangi dengan nilai agunan atau nilai barang sitaan;
dan
3) 100% ...
3) 100% (seratus persen) dari piutang dengan kualitas macet
setelah dikurangi dengan nilai agunan atau nilai barang sitaan.
Terhadap ...
Terhadap pajak yang terlanjur dipotong oleh bendahara/KPPN
pada saat terjadinya pembayaran, dapat dilakukan restitusi pajak
sesuai ketentuan yang berlaku di bidang perpajakan.
Koreksi atas beban (termasuk penerimaan kembali beban) yang
terjadi pada periode pengeluaran beban dibukukan sebagai
pengurang beban pada periode yang sama. Apabila diterima pada
periode berikutnya, koreksi atas beban dibukukan dalam Pendapatan
Lain-lain. Dalam hal mengakibatkan penambahan beban dilakukan
dengan pembetulan pada akun ekuitas.
ttd
e. Dokumen ...
e. Dokumen yang terkait transaksi persediaan, antara lain kartu
persediaan, buku persediaan, dan laporan persediaan;
f. Dokumen yang terkait transaksi Konstruksi Dalam Pengerjaan
(KDP), antara lain Kartu KDP dan Laporan KDP; dan
g. Dokumen lainnya dalam rangka penyusunan Laporan Keuangan
unit akuntansi seperti Berita Acara Serah Terima Barang (BAST),
Surat Keputusan (SK) Penghapusan, SK Penghentian dan/atau
Penggunaan Kembali atas Aset Tetap/Aset Tak Berwujud yang
dalam kondisi rusak berat, Laporan Hasil Opname Fisik (LHOF),
dan lain sebagainya.
2. Pelaksanaan Penyusunan Laporan Keuangan
Pelaksanaan Penyusunan Laporan Keuangan pada unit
akuntansi sebagai berikut:
a. Satker Pusat (Eselon I), yang bertanggung jawab atas
pelaksanaan penyusunan Laporan Keuangan adalah Sub Bagian
Aklap/Keuangan;
b. Satker Kanwil Kementerian Agama Provinsi, yang bertanggung
jawab atas pelaksanaan penyusunan Laporan Keuangan selain
program pada Sekretariat Jenderal adalah masing-masing bidang
pada Kanwil Kementerian Agama Provinsi sesuai dengan
programnya;
c. Satker Kanwil Kementerian Agama Provinsi, yang bertanggung
jawab atas pelaksanaan penyusunan Laporan Keuangan untuk
program pada Sekretariat Jenderal adalah Sub Bagian
Perencanaan dan Keuangan Kanwil Kementerian Agama Provinsi;
d. Satker Kantor Kementerian Agama (Kankemenag)
Kabupaten/Kota, yang bertanggung jawab atas pelaksanaan
penyusunan Laporan Keuangan adalah Sub Bagian Tata Usaha;
e. Satker Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (PTKN), yang
bertanggung jawab atas pelaksanaan penyusunan Laporan
Keuangan adalah Sub Bagian Pelaksanaan Anggaran/Pelaporan;
f. Satker Balai Diklat Keagamaan dan Balai Litbang Agama, yang
bertanggung jawab atas pelaksanaan penyusunan Laporan
Keuangan adalah Sub Bagian Tata Usaha;
g. Satker Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, yang bertanggung
jawab atas pelaksanaan penyusunan Laporan Keuangan adalah
Sub Bagian Tata Usaha;
h. Satker Madrasah, yang bertanggung jawab atas pelaksanaan
penyusunan Laporan Keuangan adalah Kepala Madrasah/Kepala
Tata Usaha;
i. Satker Kantor Misi Haji Indonesia (KMHI) dan Atase Haji, yang
bertanggung jawab atas pelaksanaan penyusunan Laporan
Keuangan adalah Sub Bagian Aklap Ditjen PHU.
3. Alur Penyampaian Laporan Keuangan
a. Alur penyampaian laporan keuangan dari unit akuntansi ke unit
pelaporan adalah sebagai berikut:
1) UAKPA menyampaikan Laporan Keuangan ke UAPPA-
W/UAPPA-E1 setiap bulan dengan melakukan rekonsiliasi
terlebih dahulu dengan KPPN;
2) UAPPA-W ...
2) UAPPA-W menyampaikan Laporan Keuangan ke UAPPA-E1
setiap triwulan dengan melakukan rekonsiliasi terlebih dahulu
dengan Kanwil Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPB)
Kementerian Keuangan; dan
3) UAPPA-E1 menyampaikan Laporan Keuangan ke UAPA setiap
triwulan dengan melakukan rekonsiliasi terlebih dahulu
dengan Kantor Pusat Direktorat Jenderal Perbendaharaan
(DJPB).
b. Jenis dan periode laporan keuangan yang disampaikan dari
UAKPA ke UAPPA-W/UAPPA-E1, UAPPA-W ke UAPPA-E1, dan
UAPPA-E1 ke UAPA adalah sebagai berikut:
1) Laporan keuangan bulanan terdiri dari:
a) Realisasi Anggaran Belanja Bulanan;
b) Pengembalian Belanja Bulanan;
c) Realisasi Anggaran Pendapatan Bulanan;
d) Pengembalian Pendapatan Bulanan;
e) Laporan Operasional;
f) Laporan Perubahan Ekuitas;
g) Neraca Bulanan;
h) Neraca Percobaan Bulanan; dan
i) Arsip Data Komputer.
2) Laporan keuangan triwulanan terdiri dari :
a) Realisasi Anggaran Belanja Triwulanan;
b) Pengembalian Belanja Triwulanan;
c) Realisasi Anggaran Pendapatan Triwulanan;
d) Pengembalian Pendapatan Triwulanan;
e) Laporan Operasional;
f) Laporan Perubahan Ekuitas;
g) Neraca Bulanan;
h) Neraca Percobaan Bulanan; dan
i) Arsip Data Komputer (ADK).
3) Laporan keuangan semesteran dan tahunan mengikuti
sistematika penyusunan laporan keuangan pada huruf E dalam
lampiran ini.
c. Alur Penyampaian Laporan Keuangan dari UAKPA ke UAPPA-W:
1) UAKPA Madrasah dan PTKN ke konsolidator UAPPA-W yaitu
Bidang di Kanwil Kementerian Agama Provinsi sesuai dengan
programnya;
2) UAKPA Kankemenag Kabupaten/Kota dan Kanwil selain
program pada Sekretariat Jenderal ke konsolidator UAPPA-W
yaitu Bidang di Kanwil Kementerian Agama Provinsi sesuai
dengan programnya;
3) UAKPA Kankemenag Kabupaten/Kota dan Kanwil untuk
program pada Sekretariat Jenderal ke koordinator UAPPA-W
pada Sub Bagian Perencanaan dan Keuangan Kanwil
Kementerian Agama Provinsi setempat;
4) UAKPA ...
4) UAKPA Balai Diklat Keagamaan ke UAPPA-W yang dibentuknya
sendiri;
5) UAKPA Balai Litbang Agama ke UAPPA-W yang dibentuk pada
Balai Diklat Keagamaan yang berada di wilayahnya; dan
6) UAKPA Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an ke UAPPA-W
yang dibentuk pada Balai Diklat Keagamaan yang berada di
wilayahnya.
d. Alur Penyampaian Laporan Keuangan dari UAKPA Kantor Pusat
ke UAPPA-E1:
1) UAKPA Kantor Pusat Sekretariat Jenderal ke UAPPA-E1 pada
Sub Bagian Aklap Satker Setjen Biro Keuangan dan BMN;
2) UAKPA Kantor Pusat Inspektorat Jenderal ke UAPPA–E1 pada
Sub Bagian Keuangan Itjen;
3) UAKPA Kantor Pusat Ditjen Bimas Islam, Ditjen Pendidikan
Islam, Ditjen Bimas Kristen, Ditjen Bimas Katolik, Ditjen Bimas
Hindu, Ditjen Bimas Buddha, Ditjen Penyelenggaraan Haji dan
Umrah, serta Badan Litbang dan Diklat ke UAPPA-E1 pada Sub
Bagian Aklap Ditjen dan Badan; dan
4) UAKPA Kantor Misi Haji Indonesia (KMHI) dan Atase Haji ke
UAPPA-E1 pada Sub Bagian Aklap Ditjen Penyelenggaraan Haji
dan Umrah.
e. Alur Penyampaian Laporan Keuangan dari UAPPA-W ke UAPPA-
E1:
1) Konsolidator UAPPA-W menyampaikan laporan keuangan ke
Koordinator UAPPA-W yaitu Sub Bagian Perencanaan dan
Keuangan Kanwil Kementerian Agama Provinsi;
2) Sub Bagian Perencanaan dan Keuangan sebagai koordinator
UAPPA-W menyampaikan laporan keuangan yang diterima dari
konsolidator UAPPA-W ke UAPPA-E1 Sekretariat Jenderal,
Ditjen Bimas Islam, Ditjen Pendidikan Islam, Ditjen Bimas
Kristen, Ditjen Bimas Katolik, Ditjen Bimas Hindu, Ditjen
Bimas Buddha, dan Ditjen PHU pada Subbag Aklap masing-
masing Unit Eselon I; dan
3) Balai Diklat sebagai UAPPA-W menyampaikan hasil konsolidasi
laporan keuangan Balai Diklat, Balai Litbang, dan Lajnah
Pentashihan Mushaf Al-Qur’an ke UAPPA-E1 Badan Litbang
dan Diklat pada Subbag Aklap.
f. Alur Penyampaian Laporan Keuangan dari UAPPA-E1 ke UAPA:
Subbag Aklap pada masing-masing unit eselon I melakukan
konsolidasi atas laporan keuangan yang diterima dari UAPPA-W,
selanjutnya menyampaikan laporan keuangan ke UAPA
Kementerian Agama pada Bagian Aklap Biro Keuangan dan BMN.
d. Satker ...
d. Satker Kankemenag Kabupaten/Kota, yang bertanggung jawab
atas pelaksanaan penyusunan Laporan Barang Milik Negara
adalah Sub Bagian Tata Usaha;
e. Satker PTKN, yang bertanggung jawab atas pelaksanaan
penyusunan Laporan Barang Milik Negara adalah Sub Bagian
Umum/Rumah Tangga/Perlengkapan;
f. Satker Balai Diklat Keagamaan dan Balai Litbang Agama, yang
bertanggung jawab atas pelaksanaan penyusunan Laporan
Barang Milik Negara adalah Sub Bagian Tata Usaha;
g. Satker Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, yang bertanggung
jawab atas penyusunan Laporan Barang Milik Negara adalah Sub
Bagian Tata Usaha;
h. Satker Madrasah, yang bertanggung jawab atas pelaksanaan
penyusunan Laporan Barang Milik Negara adalah Kepala
Madrasah; dan
i. Satker Kantor Misi Haji Indonesia (KMHI) dan Atase Haji, yang
bertanggung jawab atas pelaksanaan penyusunan Laporan
Barang Milik Negara adalah Sub Bagian Rumah
Tangga/Perlengkapan/Umum.
D. Rekonsiliasi
Untuk memastikan keakuratan atas data laporan keuangan dan
laporan barang milik negara yang dihasilkan dari proses akuntansi
dan pelaporan, setiap unit akuntansi dan unit pelaporan wajib
melakukan proses rekonsiliasi data. Pelaksanaan rekonsiliasi data
terdiri dari:
1. Rekonsiliasi internal, yaitu rekonsiliasi data untuk penyusunan
laporan keuangan dan laporan Barang Milik Negara yang
dilaksanakan antar subsistem pada masing-masing Unit
Akuntansi dan/atau antar Unit Akuntansi yang masih dalam satu
unit pelaporan;
2. Rekonsiliasi eksternal, yaitu rekonsiliasi data untuk penyusunan
laporan keuangan dan laporan Barang Milik Negara yang
dilaksanakan antara Unit Akuntansi yang satu dengan Unit
Akuntansi yang lain atau pihak lain yang terkait, tidak dalam
satu unit pelaporan.
Pelaksanaan masing-masing rekonsiliasi setiap unit akuntansi
dan unit pelaporan adalah sebagai berikut:
1. Pelaksanaan rekonsiliasi internal sebagai berikut:
a. rekonsiliasi internal antara laporan keuangan UAKPA dengan
laporan BMN UAKPB;
b. rekonsiliasi internal antara laporan keuangan UAPPA-W dengan
laporan BMN UAPPB-W;
c. rekonsiliasi internal antara laporan keuangan UAPPA-E1
dengan laporan BMN UAPPB-E1; dan
d. rekonsiliasi internal antara laporan keuangan UAPA dengan
laporan BMN UAPB.
2. Pelaksanaan rekonsiliasi eksternal sebagai berikut:
a. Rekonsiliasi eksternal Laporan Keuangan, meliputi:
1) rekonsiliasi UAKPA dengan Kantor Pelayanan
Perbendaharaan Negara (KPPN) setiap bulan;
2) Rekonsiliasi ...
2) rekonsiliasi UAPPA-W dengan Kanwil Direktorat Jenderal
Perbendaharaan (DJPBN) setiap triwulan oleh koordinator
UAPPA-W;
3) rekonsiliasi UAPPA-E1 dengan Kantor Pusat Direktorat
Jenderal Perbendaharaan (DJPBN) c.q. Direktorat Akuntansi
dan Pelaporan Keuangan setiap triwulan; dan
4) rekonsiliasi UAPA dengan Kantor Pusat Direktorat Jenderal
Perbendaharaan (DJPBN) c.q. Direktorat Akuntansi dan
Pelaporan Keuangan setiap triwulan.
b. Rekonsiliasi eksternal Laporan Barang Milik Negara:
1) rekonsiliasi UAKPB dengan Kantor Pelayanan Kekayaan
Negara dan Lelang (KPKNL) setiap semester;
2) rekonsiliasi UAPPB-W dengan Kanwil Direktorat Jenderal
Kekayaan Negara (DJKN) setiap semester oleh koordinator
UAPPB-W;
3) rekonsiliasi UAPPB-E1 dengan Kantor Pusat Direktorat
Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) setiap semester; dan
4) rekonsiliasi UAPB dengan Kantor Pusat Direktorat Jenderal
Kekayaan Negara (DJKN) setiap semester.
ttd