Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PRAKTEK FARMAKOTERAPI

SISTEM PERNAFASAN DAN PENCERNAAN


(DEA62040)

DISUSUN OLEH KELOMPOK B1


ANGGOTA:

Danil Matin Abdalla (155070500111027)


Laurentia Monica H S (165070500111015)
Lince Mardiyanti (165070501111037)
Adelia Ayu Prityani (175070507111004)
Andrea Kristia Viany (175070507111016)
Aprilia Kharismawati (175070500111026)
Hanif Syafa’atur Rahman (175070501111018)
Hilmi Eka Prasetyo (175070500111022)
Intan Lestari (175070500111030)
Isti’aina Mursyada (175070500111020)

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
TA 2018/2019
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK

1. DEFINISI
Penyakit Paru Obstruktif (PPOK) adalah penyakit yang ditandai oleh
keterbatasan jalan napas progresif yang disebabkan oleh reaksi peradangan
abnormal. Tercakup didalamnya penyakit seperti bronchitis kronis dan emfisema
dengan gejala dominan yaitu sesak napas yang seringkali dimulai saat sedang
melakukan aktivitas, terdapat eksaserbasi yang seringkali berhubungan dengan
infeksi, dimana terdapat sesak napas yang semakin berat, batuk, mengi, dan
produksi sputum yang tinggi (Gleadle, 2007)

2. EPIDEMIOLOGI

PPOK merupakan salah satu penyakit tidak menular utama, yang agak
jarang terekpose karena kurangnya informasi yang diberikan. Di Amerika Serikat
data tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi PPOK sebesar 10,1% (SE 4,8)
pada lakilaki sebesar 11,8% (SE 7,9) dan untuk perempuan 8,5% (SE 5,8)3 .
Sedangkan mortalitas menduduki peringkat keempat penyebab terbanyak yaitu
18,6 per 100.000 penduduk pada tahun 1991 dan angka kematian ini meningkat
32,9% dari tahun 1979 sampai 1994 . Sedangkan prevalensi PPOK di negara-
negara Asia Tenggara diperkirakan 6,3% dengan prevalensi tertinggi terdapat di
Vietnam (6,7%) dan China (6,5%) (Oemiati, 2013).

Secara global diperkirakan sekitar 65 juta orang menderita PPOK dan 3


juta meninggal karena PPOK pada tahun 2005, dengan mewakili 5% dari seluruh
kematian. Total kematian akibat PPOK diproyeksikan akan meningkat lebih dari
30% pada 10 tahun mendatang. Peningkatan secara drastis pada dua dekade
mendatang diperkirakan di negara-negara Asia dan Afrika karena peningkatan
pemakaian tembakau. Meningkatnya masalah merokok membuat masalah PPOK
menjadi semakin serius. Diperkirakan 22% dari populasi global yang berumur
lebih dari 15 tahun merupakan perokok. Di Indonesia tidak ada data yang akurat
tentang kekerapan PPOK. Hasil survei penyakit tidak menular oleh Dirjen PPM &
PL di lima rumah sakit propinsi di Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa
Timur, Lampung, dan Sumatera Selatan) pada tahun 2004, menunjukkan PPOK
menempati urutan pertama penyumbang angka kesakitan (35%), diikuti asma
bronkial (33%), kanker paru (30%) dan lainnya (2%). Berdasarkan studi
morbiditas dalam SUSENAS (2001), proporsi penderita sekitar 10% dan
menduduki peringkat ke-2 sebagai penyebab kematian di Indonesia (PMR 26,4%)
(Naser, dkk. 2016).

Terkait dengan hal itu, Indonesia merupakan salah satu negara


berkembang yang memiliki jumlah perokok aktif yang tinggi. Pada tahun 2008,
World Health Organization (WHO) telah menetapkan Indonesia sebagai negara
terbesar ketiga di dunia sebagai pengguna rokok. Data dari Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, jumlah perokok aktif
di Indonesia meningkat dari 28,2% pada tahun 2007 menjadi 34,7% pada tahun
2010. Peningkatan prevalensi ini juga terjadi di Provinsi Sumatera Barat, dimana
meningkat dari 30,2% pada tahun 2007 menjadi 38,4% pada tahun 2010 (Naser,
dkk. 2016).

3. ETIOLOGI

PPOK dianggap sebagai penyakit yang berhubungan dengan interaksi


genetik dengan lingkungan. Adapun faktor penyebabnya adalah: merokok, polusi
udara, dan pemajanan di tempat kerja (terhadap batu bara, kapas, padi-padian)
merupakan faktor-faktor resiko penting yang menunjang terjadinya penyakit ini.
Prosesnya dapat terjadi dalam rentang lebih dari 20- 30 tahunan. Penyakit ini juga
mengancam jiwa seseorang jika tidak segera ditangani (Smeltzer dan Bare, 2006).

Adapun Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit Paru Obstruksi Kronik


(PPOK) menurut Mansjoer (2008) dan Ovedoff (2006) adalah : 1. Kebiasaan
merokok, polusi udara, paparan debu,asap dangas-gas kimiawi. 2. Faktor Usia dan
jenis kelamin sehingga mengakibatkan berkurangnya fungsi paru-paru, bahkan
pada saat gejala penyakit tidak dirasakan. 3. Infeksi sistem pernafasan akut,
seperti peunomia, bronkitis, dan asma. Orang dengan kondisi ini berisiko
mendapat PPOK. 4. Kurangnya alfa anti tripsin. Ini merupakan kekurangan suatu
enzim yang normalnya melindungi paru-paru dari kerusakan peradangan. Orang
yang kekurangan enzim ini dapat terkena empisema pada usia yang relatif muda,
walaupun orang tersebut tidak memiliki kebiasaan merokok.

4. PATFISIOLGI
Perubahan patologi pada PPOK mencakup saluran nafas yang besar dan
kecil bahkan unit respiratori terminal. Secara gamblang, terdapat 2 kondisi pada
PPOK yang menjadi dasar patologi yaitu bronkitis kronis dengan hipersekresi
mukusnya dan emfisema paru yang ditandai dengan pembesaran permanen dari
ruang udara yang ada, mulai dari distal bronkiolus terminalis, diikuti destruksi
dindingnya tanpa fibrosis yang nyata. Penyempitan saluran nafas tampak pada
saluran nafas yang besar dan kecil yang disebabkan oleh perubahan konstituen
normal saluran nafas terhadap respon inflamasi yang persisten.

Epitel saluran nafas yang dibentuk oleh sel skuamousa akan mengalami
metaplasia, sel-sel silia mengalami atropi dan kelenjar mukus menjadi hipertropi.
Proses ini akan direspon dengan terjadinya remodeling saluran nafas tersebut,
hanya saja proses remodeling ini justru akan merangsang dan mempertahankan
inflamasi yang terjadi dimana T CD8+ dan limfosit B menginfiltrasi lesi tersebut.
Saluran nafas yang kecil akan memberikan beragam lesi penyempitan pada
saluran nafasnya, termasuk hiperplasia sel goblet, infiltrasi sel-sel radang pada
mukosa dan submukosa, peningkatan otot polos.

Inflamasi pada saluran nafas pasien PPOK merupakan suatu respon


inflamasi yang diperkuat terhadap iritasi kronik seperti asap rokok. Mekanisme ini
yang rutin dibicarakan pada bronkitis kronis, sedangkan pada emfisema paru,
ketidakseimbangan pada protease dan anti protease serta defisiensi α 1 antitripsin
menjadi dasar patogenesis PPOK. Proses inflamasi yang melibatkan netrofil,
makrofag dan limfosit akan melepaskan mediator mediator inflamasi dan akan
berinteraksi dengan struktur sel pada saluran nafas dan parenkim. Secara umum,
perubahan struktur dan inflamasi saluran nafas ini meningkat seiring derajat
keparahan penyakit dan menetap meskipun setelah berhenti merokok.

Peningkatan netrofil, makrofag dan limfosit T di paru-paru akan


memperberat keparahan PPOK. Sel-sel inflamasi ini akan melepaskan beragam
sitokin dan mediator yang berperan dalam proses penyakit, diantaranya adalah
leucotrien B4, chemotactic factors seperti CXC chemokines, interlukin 8 dan
growth related oncogene α, TNF α, IL-1ß dan TGFß.
Selain itu ketidakseimbangan aktifitas protease atau inaktifitas
antiprotease, adanya stres oksidatif dan paparan faktor risiko juga akan memacu
proses inflamasi seperti produksi netrofil dan makrofagserta aktivasi faktor
transkripsi seperti nuclear factor κß sehingga terjadi lagi pemacuan dari faktor-
faktor inflamasi yang sebelumnya telah ada. Hipersekresi mukus menyebabkan
batuk produktif yang kronik serta disfungsi silier mempersulit proses
ekspektorasi, pada akhirnya akan menyebabkan obstruksi saluran nafas pada
saluran nafas yang kecil dengan diameter < 2 mm dan air trapping pada emfisema
paru (Susanti, 2015).

5. TERAPI NON-FARMAKOLOGI

Terapi non farmakologi yang dapat diberikan pada penderita PPOK yaitu
anjuran untuk berhenti merokok. Merokok sangat berpengaruh pada
perkembangan penderita PPOK, dimana dapat menyebabkan gangguan pada
fungsi pulmoner. Perilaku merokok selama masa remaja dapat menghambat fungsi
ekspansi paru yang normal dan FEV1. Dengan berhenti merokok akan
mempengaruhi penurunan FEV1 jangkan panjang dan memperlambat
perkembangan COPD (Jimenez-Ruiz et al, 2015).

Adapun rehabilitasi pulmoner yang meliputi exercise training, breathing


exercises, optimal medical treatment, psychosocial support, and health education
dapat membuat pasien PPOK mampu mengurangi penurunan kemampuan serta
memperbaiki ketahanan otot karena disfungsi otot hiperinflasi pulmoner.
Breathing exercise terdiri dari diaphragmatic breathing (DB), pursed-lips
breathing (PLB), relaxation techniques (RT), dan body position exercise (BPE).
Manfaat dari breathing exercise yaitu dapat menurunkan usaha bernapas dan
membatu merelaksasikan otot pernapasan melalui teknik napas dalam sehingga
pola napas menjadi lebih baik dan terdapat penurunan frekuensi bernapas
sehingga pasien akan menjadi lebih mudah bernapas (Basso-Vanelli et al, 2016).

Kemudian memberikan vaksinasi yang sesuai, misalnya vaksin


pneumokokus dan vaksin influenza tahunan. Pasien juga dapat dilakukan terapi
oksigen jangka panjang dengan tujuan untuk menaikkan nilai PaO2 diatas 60 mm
Hg (Dipiro, et al, 2015).

Selain itu, keadaan malnutrisi pasien PPOK berhubungan dengan


penurunan berat badan yang mengakibatkan perburukan fungsi paru, penurunan
kapasitas latihan dan resiko eksaserbasi (Hsieh, et al, 2016). Asupan nutrisi ini
diharapkan pasien PPOK mampu menigkatkan berat badan sehingga mampu
meningkatkan kekuatan otot serta kualitas hidup pasien yang mengalami
malnutrisi. Malnutrisi ini diakibatkan hilangnya nafsu makan pasien sehingga
aktivitas fisik menjadi berkurang atau akibat dari sesak nafas saat makan sehingga
menyebabkan hilangnya nafsu makan pasien, sedangkan kebutuhan energy
meningkat akibat usaha pasien untuk bernapas sehingga menyebabkan malnutrisi.
Adapun factor inflamasi pada pulmoner dapat menyebabkan kehilangan berat
badan (Rawal & Yadav, 2015).

6. TERAPI FARMAKOLOGI

Terapi Farmakologi PPOK sebagai berikut:

1) Pada golongan ringan diberikan bronkodilator yang bekerja secara short


acting, dapat berupa beta-2 agonis maupun antikolinergik.

2) Pada golongan moderate diberikan perlakuan yang sama seperti pada


golongan ringan namun dengan ditambahkan antikolinergik atau beta-2
agonis yang bekerja secara long acting.

3) Pada golongan severe diberikan short acting beta-2 agonis, long acting
antikolinergik, dan inhaler kortikosteroid yang mengandung long acting
beta-2 agonis. Jika gejala muncul terus menerus maka perlu ditambahkan
dengan theophylline.

Beta-2 agonist kerja pendek dengan atau tanpa antikolinergik kerja pendek
merupakan terapi bronkodilator untama pada pasien PPOK dengan eksaserbasi.
Tidak terdapat perbedaan efek yang signifikan antara penggunaan metered dose
inhaler (MDI) dan nebulizer. Pasien yang tidak mendapatkan nebul secara
berlanjut dapat menggunakan MDI 1 semprot tiap 1 jam untuk 2-3 dosis dan
setiap 2-4 jam tergantung respon pasien. Mekanisme kerja bronkodilator
umumnya yaitu melalui stimulus reseptor β2 pada bronkus menyebabkan aktivasi
adenilsiklase. Enzim ini mengubah ATP (Adenosintrifosfat) menjadi cAMP
(cyclic-adenosine-monophosphat) dengan pembebasan energi yang digunakan
untuk proses dalam sel. Meningkatnya kadar cAMP dalam sel menghasilkan efek
bronkodilatasi. Mekanisme kerja dari antikolinergik pada umumnya yaitu dengan
memblok reseptor muskarin dari saraf-saraf kolinergis di otot polos bronchi,
hingga aktivitas saraf adrenergis menjadi dominan dengan efek bronchodilatasi
(Sudoyo dkk, 2009).

Sistemik glukokortikoid pada pasien PPOK dapat menurunkan waktu


eksaserbasi dan memperbaiki fungsi paru. Selain itu juga memperbaiki
oksigenasi, risiko kejadian berulang, kegagalan terapi dan lamanya dirawat di
rumah sakit. Terapi predinsolon oral memiliki efektivitas yang sama dengan terapi
intravena dan nebul budesonide dapat menjadi alternative kortikosteroid oral pada
terapi PPOK eksaserbasi. Mekanisme antiinflamasi dari kortikosteroid pada kasus
PPOK yaitu dengan mengurangi permeabilitas kapiler untuk mengurangi mukus,
menghambat pelepasan enzim proteolitik dari leukosit, dan menghambat
prostaglandin (Sudoyo dkk, 2009).
Disamping itu, pemberian antibiotic berdasarkan gejala klinis infeksi
bakteri seperti peningkatan produksi dan konsistensi sputum. Antibiotik dapat
diberikan apabila pasien memiliki gejala cardinal seperti sesak, peningkatan
volume dan konsistensi sputum, terdapat 2 dari 3 gejala, terdapat peningkatan
konsistensi sputum sebagai salah satu gejala dari 2 gejala atau memerlukan
ventilasi mekanik. Lama pemberian antibiotic umumnya selama 5 sampai 7 hari.
Pada pasien dengan eksaserbasi berulang, keterbatasan aliran udara, dan atau
eksaserbasi yang membutuhkan ventilasi mekanik, hasil kultur yang menunjukkan
bakteri gram negative, menunjukkan gejala resisten terhadap antibiotic tersebut.
Pemberian dengar rute per oral atau intravena, tergantung pada kemampuan
pasien. Contoh antibiotic yang digunakan yaitu pada golongan klorokuinolon
seperti levofoksasin dan siprofloksasin, kemudian pada golongan sefalosporin
seperti sefotaksim (Putra dkk, 2013).
DOKUMEN ASUHAN KEFARMASIAN

Inisial Pasien : Tn. D Berat Badan : - Ginjal : -


Umur : 66 tahun Tinggi Badan : - Hepar : -

Keluhan Utama :
Sesak sejak subuh, batuk berdahak, dan demam

Diagnosis :
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

Riwayat Penyakit :
Sesak napas dan PKJ-IMA (infark myocard akut)

Riwayat Pengobatan :
Obat paru
Aminofilin 1-0-0
Salbutamol 2x1
Gliseril guaiakolat 2x1
Spiriva® (kandungan ipratropium) 1-0-0
Bricasma® (terbutalin sulfat) 1-0-0
Pulmicort® (kandungan budesonide) 1-0-0

Alergi : -
Kepatuhan Obat Tradisional -
Merokok - OTC -
Alkohol - Lain-lain -
CATATAN PERKEMBANGAN PASIEN

Tanggal Problem / Kejadian / Tindakan Klinisi


18/05/18  Pasien masuk IGD dengan keluhan sesak napas sejak subuh. Kondisi umum pasien
lemah, TD sebesar 167/92 mmHg, dan nadi 114 kali/menit. Pasien juga mengalami
batuk berdahak dan demam (suhu tubuh 38oC). Hasil pemeriksaan laboratorium
terhadap leukosit sebesar 13,3 x 103/µL.
 Diagnosis masuk adalah SOB (Short of Breath) dan sekunder infeksi.
 Tindakan klinisi memberikan masker O2 dan nebulizer Combivent® untuk
mengatasi sesak.
19/05/18 Pasien masih batuk berdahak. TD 140/80 mmHg, suhu tubuh 36,4 oC, dan nadi masih
104 kali/menit.
20/05/18 Pasien masih batuk berdahak. TD 150/90 mmHg, suhu tubuh 36,2oC, dan nadi 104
kali/menit.
21/05/18 Pasien masih batuk berdahak. TD 120/90 mmHg, suhu tubuh 37,4oC, dan nadi 108
kali/menit.
22/05/18 Pasien kembali mengeluh sesak dan masih batuk berdahak. TD 130/80 mmHg dan
nadi 96 kali/menit. Dari hasil pemeriksaan leukosit yaitu 9,4 x 103/µL dan suhu
tubuh 36,8oC.
23/05/18 Pasien sudah tidak mengeluh sesak juga tidak batuk berdahak. TD 130/80 mmHg,
suhu tubuh 36,4oC, dan nadi 88 kali/menit.
24/05/18 Pasien sudah tidak mengeluh sesak juga tidak batuk berdahak. TD 140/90 mmHg,
suhu tubuh 36,4oC, dan nadi 82 kali/menit.
25/05/18 Pasien kembali mengeluh sesak dan batuk berdahak. TD 130/80 mmHg, suhu tubuh
36,2oC, dan nadi 84 kali/menit.
26/05/18 Pasien sudah tidak sesak tapi masih batuk berdahak. TD 130/80 mmHg, suhu tubuh
36,4oC, dan nadi 88 kali/menit.
27/05/18 Pasien sudah tidak sesak dan tidak batuk berdahak. Pasien KRS dengan diagnosis
akhir adalah PPOK era akut. Pemeriksaan fisik saat akan KRS antara lain TD =
167/92 mmHg, Rh = +/+, dan Wh = +/+.
Obat untuk KRS :
Puyer 3x1 (berisi : prednison, aminofilin, salbutamol, gliseril guaiakolat, dan
dekstrometorfan)
DOKUMEN ASUHAN KEFARMASIAN

Apoteker: .............................

No. DMK : 00-00-72-xx Keluhan Utama : Sesak napas sejak subuh, batuk berdahak, Alergi : -
MRS / KRS : 18 Mei 2018 / 27 Mei 2018 dan panas Merokok / Alkohol : - / -
Inisial Pasien : Tn. D Diagnosis : PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) Obat Tradisional : -
Umur / BB / TB : 66 tahun Riwayat Penyakit : Sesak napas OTC : -
Alamat : Malang Riwayat Pengobatan : Obat paru
Asuransi : BPJS Kepatuhan : Tidak diketahui

PROFIL PENGOBATAN PADA SAAT MRS


Tanggal (Mei)
Obat Rute Dosis Frekuensi
18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
Normal salin iv infus life line - √ //
Ceftriaxone iv bolus 1g 2 dd 1 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Levofloxacine iv infus 750 mg 1 dd 1 √ √ //
Ciprofloxacine iv infus 400 mg 2 dd 1 √ √ √ √ //
Gliseril guaiakolat po 200 mg 3 dd 1 √ √ // √ √ √ √ √ √
Combivent® Inhaler oral 10 mL 3 dd 1 √ √ // √ √ √ √ √ √
Budesonide Inhaler oral 200 mcg 3 dd 1 √ √ √ √ √ √
N-asetil sistein po 200 mg 3 dd 1 √ √ √ √ √ √ √ √ √
Aminofilin pump 25 mg/mnt - √ // √ //
Ranitidin iv bolus 50 mg 2 dd 1 √ √ √ √ √ √ √ // √ //
Metoklopramid iv bolus 10 mg 2 dd 1 √ √ √ √

DATA KLINIK
Tanggal (Mei)
Data Klinik Nilai Normal
18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
KU Lemah
Suhu 36,4 36,4 36,2 37,4 36,8 36,4 36,4 36,2 36,4
TD 110/ 140/ 150/ 120/ 130/ 130/ 140/ 130/ 130/ 130/
60 80 90 90 80 80 90 80 80 70
Nadi 80 104 104 108 96 88 82 84 88
Rh ±‫׀‬± ±‫׀‬± +‫׀‬+ -‫׀‬- -‫׀‬- +‫׀‬+
Wh ±‫׀‬± -‫׀‬- +‫׀‬+ -‫׀‬- -‫׀‬± +‫׀‬+
Sesak + + +
Batuk berdahak + + + + + + +

DATA LABORATORIUM
Tanggal (Mei)
Data Laboratorium Nilai Normal
18 19 21 22
3
Leukosit 4-10 x 10 /µL 13,3 9,4
Hemoglobin 11,5-16,0 g/dL 13,1
Hematokrit 35-45% 39,2
Eritrosit 4,3-6,0 x 106/µL 4,75
Platelet 150-400 x 103/µL 157
GDA ≤ 200 mg/dL 125
GDP 76-110 mg/dL 107
GD2PP 80-125 mg/dL 110
pH 7,35-7,45 7,38
pCO2 35-45 mmHg 34,7
pO2 80-107 mmHg 225
HCO3- 21-25 mmol/L 20,5
BE -3,5 s.d +2,0 mmol/L -4,1
SGOT 0-35 U/I 25
SGPT 0-37 U/I 12

Hasil Tes Spirometri (195/2018):


FEV1 = 54%
FEV1/FVC = 66%

FORM SUBJECTIVE
Tanggal
No. DATA KLINIK
18/05/18 19/05/18 20/05/18 21/05/18 22/05/18 23/05/18 24/05/18 25/05/18 26/05/18 27/05/18
1. a. KU Lemah
b. Sesak + + +
c. Batuk Berdahak + + + + + + +
d. Demam +
e. Wheezing ±‫׀‬± -‫׀‬- +‫׀‬+ -‫׀‬- -‫׀‬± +‫׀‬+
2. Riwayat Penyakit Sesak napas dan PKJ-IMA (infark myocard akut)
3. Riwayat Pengobatan Obat paru
Aminofilin 1-0-0
Salbutamol 2x1
Gliseril guaiakolat 2x1
Spiriva® (kandungan ipratropium) 1-0-0
Bricasma® (terbutalin sulfat) 1-0-0
Pulmicort® (kandungan budesonide) 1-0-0
4. Umur 66 tahun
5. Tinggi badan -
6. Berat badan -
Komentar dan alasan Pasien Tn. D mengalami :
 Demam sebagai akibat respon tubuh terhadap adanya infeksi.
 Batuk berdahak yang merupakan gejala dari PPOK.
 Sesak nafas yang merupakan riwayat penyait pasien, diakibatkan kekurangan O2 dapat dilihat dari tindakan klinis
yang memberikan masker O2
 Kondisi lemah diakibatkan pasien mengalami kekurangan elektrolit akibat demam.
FORM OBJECTIVE
Tanggal
No. DATA LAB
18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
Leukosit (4-10 x
1. 13,3 9,4
103/µL)
Hemoglobin (11,5-16,0
2. 13,1
g/dL)
3. Hematokrit (35-45%) 39,2
Eritrosit (4,3-6,0 x
4. 4,75
106/µL)
Platelet (150-400 x
5. 157
103/µL)
6. GDA (≤ 200 mg/Dl) 125
7 GDP (76-110 mg/Dl) 107
GD2PP (80-125
8 110
mg/Dl)
9 pH (7,35-7,45) 7,38
10 pCO₂ (35-45 mmHg) 34,7
11 pO₂ (80-107 mmHg) 225
12 HCO3-(21-25 mmol/L) 20,5
BE (-3,5 s.d +2,0
13 -4,1
mmol/L)
14 SGOT (0-35 U/I) 25
15 SGPT (0-37 U/I) 12
16 Suhu 36,4 36,4 36,2 37,4 36,8 36,4 36,4 36,2 36,4
17 TD 110/60 140/80 150/90 120/90 130/80 130/80 140/90 130/80 130/80 130/70
18 Nadi 80 104 104 108 96 88 82 84 88
19 Rh ±‫׀‬± ±‫׀‬± +‫׀‬+ -‫׀‬- -‫׀‬- +‫׀‬+
20 FEV1 54%
21 FEV1/FVC 66%
 Berdasarkan nilai FEV1 yang melebihi 54%, maka pasien mengalami PPOK tipe Moderate. Pasien juga
memiliki riwayat penyakit PJK-MIA maka dapat dimasukkan dalam tipe eksaserbasi complicated.
 Berdasarkan Joint National Committee (JNC) untuk orang dewasa diatas 60 tahun dikatakan mengalami
hipertensi apabila tekanan darahnya melebih 150/90, sehingga pasien dapat dikatakan tidak tidak mengalami
hipertensi.
 Kadar leukosit pasien pada tanggal 18/5 diatas batas normal, hal ini membuktikan adanya infeksi sehingga
leukosit yang bertindak sebagai antibodi berusaha memproteksi tubuh dari infeksi tersebut.
 Pada tanggal 18/05/14 hingga 22/05/14 tekanan darah dan denyut nadi pasien juga tidak stabil. Hal ini karena
pasien memang memiliki riwayat penyakit jantung koroner.
 Suhu pasien cukup tinggi saat MRS dikarenakan adanya infeksi (mekanisme inflamasi).
 Denyut nadi tidak normal dikarenakan pasien mengalami takikardia yang merupakan efek dari PJK-MIA.
FORM PROFIL PENGOBATAN
Isilah data-data pasien mengikuti format di bawah ini!

OBAT
Tgl. Tgl. Komentar dan Alasan
Indikasi Terapi Pemantauan Kefarmasian
Mulai Jenis Obat Rute Dosis Frekuensi Berhenti (mekanisme kerja, alasan pemilihan terapi)
pada Pasien
Terapi Terapi
18/05 Normal salin iv infus life line - 19/05 Kondisi pasien Efikasi : Mekanisme kerja:
lemah Kondisi pasien membaik Cairan akan ditarik dari pembuluh darah
ditandai dengan keadaan keluar ke jaringan sekitarnya hingga
pasien yang bugar mengisi sel yang dituju karena bersifat
hipotonik. Digunakan pada keadaan sel
yang mengalami dehidrasi.
Pada tanggal 18, pasien mengalami
demam yang dapat menyebabkan
dehidrasi sehingga perlu diberikan
normal saline.

Alasan:
Cairan tubuh yang hilang dapat
digantikan dengan salin dengan cepat
sehingga kondisi cairan tubuh menjadi
normal kembali.
18/05 Ceftriaxone iv bolus 1g 2 dd 1 28/05 Adanya infeksi Efek samping : Cephalosporin generasi 3
saluran 1. Eosinophilia Mekanisme kerja:
pernafasan 2. Trombositosis Antibiotik spektrum luas yang bekerja
bagian bawah 3. Diare secara bakterisidal yaitu menghambat
Efikasi : sintesis dinding sel bakteri dengan
Infeksi sembuh dapat mengganggu sintesis peptidoglikan dan
dipantau dari Rh, berikatan pada penicilin binding protein.
demam, sputum, suhu
tubuh dan sesak nafas Alasan :
Bakteri yang menginfeksi saluran nafas
dapat berupa gram positif maupun
negatif sehingga tepat dengan
penggunaan antibiotik spektrum luas
18/05 Levofloxacine iv infus 750 mg 1 dd 1 20/05 Adanya infeksi Efek samping : Fluoroquinolon
saluran 1. Sakit perut Mekanisme kerja:
pernafasan 2. Sakit kepala Menghambat sintesis dinding sel
3. Mual mikroba, yang dihambat adalah reaksi
bagian bawah
4. Pusing transpeptidase dalam rangkaian reaksi
5. Dispepsia (maag) pembentukan dinding sel
Efikasi :
Infeksi sembuh dapat Alasan :
dipantau dari Rh, Bakteri yang menginfeksi saluran nafas
demam, sputum, suhu dapat berupa gram positif maupun
tubuh dan sesak nafas negatif sehingga tepat dengan
penggunaan antibiotik spektrum luas
22/05 Ciprofloxacine iv infus 400 mg 2 dd 1 26/05 Adanya infeksi Efek samping : Floroquinolon
saluran 1. Mual Mekanisme kerja:
pernafasan 2. Sakit perut Siprofloksasin merupakan antibiotik
3. Sakit kepala golongan fluorokuinolon, bekerja
bagian bawah
4. Serum kreatinin dengan cara mempengaruhi enzim DNA
meningkat gyrase pada bakteri.
5. Ruam Siprofloksasin merupakan antibiotik
Efikasi : untuk bakteri gram positif dan negatif
Infeksi sembuh dapat yang sensitif.
dipantau dari Rh,
demam, sputum, suhu Alasan :
tubuh dan sesak nafas Bakteri yang menginfeksi saluran nafas
dapat berupa gram positif maupun
negatif sehingga tepat dengan
penggunaan antibiotik spektrum luas
19/05 Gliseril po 200 mg 3 dd 1 21/05 Pasien Efek samping : Mekanisme kerja:
guaiakolat 28/05 mengalami Mengakibatkan iritasi Bekerja menurunkan kekentalan sekresi
batuk berdahak lambung berupa mual dengan meningkatkan jumlah cairan
dan muntah jalur pernafasan
Efikasi :
Untuk meringankan Alasan:
batuk berdahak, dipantau Pasien mengalami batuk berdahak dan
melalui frekuensi batuk sesak agar tidak memperparah kondisi
dan sputum pasien
19/05 Combivent® Inhaler 10 mL 3 dd 1 21/05 Pasien Efek samping :
oral 28/05 mengalami 1. Hipotensi
sesak nafas 2. Infark miokard Mekanisme kerja :
3. Ulkus mukosa Ipatropium : obat antikolinergik yang
karena
4. Distres (diare, menghambat reseptor kolinergic
bronkospasme mual, muntah) sehingga efek parasimpatis berkurang,
5. Kelainan motilitas mengakibatkan terjadinya
GI bronkodilatasi
Efikasi : Albuterol : beta2 adrenergic
Bronkodilatasi ditandai bronkodilator
dengan berkurangnya
frekuensi sesak nafas Alasan :
atau dari Respiration Pasien mengalami sesak nafas
Rate (RR)
22/05 Budesonide Inhaler 200 mcg 3 dd 1 28/05 Pasien Efek samping : Mekanisme kerja :
oral mengalami 1. Sakit kepala Obat antiinflamasi kortikosteroid
inflamasi 2. Jerawat dengan menghambat prostaglandin dan
3. Mual proinflammatory cytokines serta
4. Infeksi saluran mencegah migrasi dari
pernafasan Polymorphonuclear Leukocytes (PMN)
Efikasi : sehingga mengurangi pembengkakan
Sebagai antiinflamasi akibat reaksi alergi
pada PPOK, dapat
ditandai dengan suhu Alasan :
tubuh, demam Pasien kembali mengalami sesak nafas
19/05 N-asetil sistein po 200 mg 3 dd 1 28/05 Pasien Efek samping :
mengalami 1. Mual Mekanisme kerja :
batuk berdahak 2. Muntah Aktivitas mukolitik melalui gugus
3. Bronkospasme sulfidril dengan memecah ikatan
4. Hipersensitifitas disulfida pada mukoprotein dan
Efikasi : menurunkan kekentalan sputum
Untuk meringankan
batuk berdahak, dipantau Alasan :
melalui frekuensi batuk Pasien hipersekresi sputum
dan sputum
22/05 Aminofilin pump - 23/05 Efek samping : Mekanisme kerja :
25 25/05 Pasien 1. Gangguan sistem
mg/menit mengalami saraf pusat
Obat secara kompetitif menghambat tipe
sesak nafas 2. Sakit kepala
III dan tipe IV fosfodiesterase (PDE),
3. Mual
enzim yang bertanggung jawab untuk
4. Muntah
memecah AMP siklik dalam sel otot
5. Takikardia
polos, sehingga sel otot polos relaksasi.

Efikasi :
Alasan :
Sebagai bronkodilator
Karena pasien kembali mengeluh sesak
dapat ditandai dengan
nafas
berkurangnya frekuensi
sesak pasien.
18/05 Ranitidin iv bolus 50 mg 2 dd 1 25/05 Pasien Efek samping : Mekanisme kerja :
27/05 mengalami 1. Sakit kepala Antagonis reseptor H2 sel parietal
stress ulcer 2. Sakit perut lambung, sehingga menurunkan sekresi
3. Reaksi asam oleh sel parietal.
hipersensitivitas
4. Mual dan muntah Alasan :
Efikasi : Mengatasi gejala tidak nafsu makan
Ditandai dengan pada pasien dan mencegah efek
berkurangnya nyeri perut samping dari obat lain yang digunakan
oleh pasien bersamaan
24/05 Metoklopramid iv bolus 10 mg 2 dd 1 28/05 Anti emetik Efek samping : Mekanisme kerja:
1. Gangguan GIT (diare) Menghambat reseptor dopamin dan
2. Pusing serotonin pada sistem saraf pusat,
3. Hipertensi meningkatkan efek parasimpatis,
Efikasi : meningkatkan motilitas GIT
Mengurangi rasa mual,
dapat ditandai dengan Alasan:
berkurangnya frekuensi Sebagian besar obat yang diresepkan
mual dan muntah pasien. memiliki efek samping mual.

FORM ASSESSMENT & PLAN


ASUHAN KEFARMASIAN (PHARMACIST’S CARE PLAN)

Termasuk :
1. Masalah aktual & potensial terkait obat 4. Ada indikasi tidak ada terapi 7. Pemilihan obat 9. Efek samping obat
2. Masalah obat jangka panjang 5. Pemantauan efek obat 8. Penghentian obat 10. Interaksi obat
3. Tidak ada indikasi ada terapi 6. Kepatuhan pasien
KRITERIA DRP TINDAKAN
NO. TANGGAL URAIAN MASALAH
(Drug Related Problems) (USULAN PADA KLINIS, PERAWAT, ATAU PASIEN)
1. 18/05/14 Efek samping obat Pasien lemah; dilakukan pemberian normal Perawat: dilakukan pemantauan terhadap gejala edema dan
saline untuk menggantikan cairan tubuh yang tekanan darah.
hilang sehingga keadaan pasien kembali normal;
ESO: edema dan hipertensi. Pasien: mengurangi konsumsi cairan dari luar tubuh (air mineral,
makanan berkuah).

Klinisi: diberhentikan sesaat setelah kondisi pasien kembali


normal.
Masalah aktual & potensial Pasien mengalami batuk berdahak namun belum Klinisi: disarankan untuk diberikan obat golongan mukolitik
terkait obat diberikan obat pengeluar dahak. dan/atau ekspektoran.
Pemilihan obat

Penghentian obat Obat ceftriaxone dihentikan, karena antibiotik Klinisi: disarankan untuk menggunakan antibiotik golongan
cephalosporine seperti ceftriaxone tidak sesuai fluoroquinolon karena sesuai untuk eksaserbasi kompleks.
Pemilihan Obat untuk eksaserbasi kompleks.

4. 19/05/14 Penghentian obat Pemberian normal saline yang berlebihan pada Klinisi: disarankan untuk dilakukan pemberhentian pemberian
pasien dengan edema dapat memperburuk normal saline pada pasien sesaat kondisi pasien sudah normal.
edema.
Interaksi Obat Combivent yang mangandung albuterol dapat Klinisi: disarankan untuk penghentian terapi atau pemberian
berinteraksi dengan levofloxacin dan dapat combivent bila perlu.
meningkatkan resiko aritmia, sedangkan pasien
mempunyai riwayat PJK. Selain itu, penggunaan Perawat: memonitor kondisi pasien terkait ES seperti pusing,
keduanya bersama-sama yang memperpanjang pingsan, palpitasi, aritmia, shortness of breath, dan syncope.
interval QT dapat menimbulkan efek aditif dan Pasien: disarankan untuk memberitahu perawat apabila terjadi
meningkatkan resiko aritmia ventrikular. gejala pusing, pingsan, palpitasi, aritmia, shortness of breath, dan
syncope.

Efek samping obat Combivent yang terdiri dari teofilin dan Perawat: memantau kadar kalium dan tekanan darah.
albuterol dapat meningkatkan efek samping
kardiovaskuler seperti palpitasi jantung, tekanan Klinisi: disarankan untuk diberhentikan atau diberikan bila perlu.
darah naik, meningkatkan denyut jantung, dan
meningkatkan resiko hipokalemia, sedangkan
pasien mempunyai riwayat PJK.
Pemantauan efek terapi obat Pasien mengalami batuk berdahak dan diberikan Perawat: memonitor kondisi pasien terkait produksi sputum dan
gliseril guaiakolat sebagai ekspektoran. frekuansi batuk.

8. 20/05/14 Penghentian obat Pemberian levofloxacin dan ceftriaxone Klinisi: pemberhentian obat levofloxacine kurang tepat karena
Pemilihan obat mempunyai efek yang sama yaitu pada bakteri antibioti golongan fluoroquinnnolo lebih cocok untuk pasien
gram positif dan gram negatif yang dapat PPOK dengan eksaserbasi kompleks. Disarankan untuk
menimbulkan resistensi. menghentikan terapi dengan ceftriaxone dan melanjutkan terapi
dengan levofloxacin.

9. 21/05/14 Penghentian obat Gliseril guaiakolat sudah diberhentikan, Klinisi: disarankan untuk meninjau kembali pemberhentian obat
sedangkan pasien masih mengalami batuk dan memberi terapi ekpektoran/mukolitik kepada pasien.
berdahak.
Efek samping obat KSR mempunyai efek samping hiperkalemia, Perawat: memonitor kadar kalium dan fungsi ginjal secara ketat
mual, muntah, nyeri perut, dan diare. dan rutin.

Pasien: disarankan memberitahu perawat apabila muncul gejala


hiperkalemia seperti lemah, bingung, lesu, dan aritmia.

5. 22/05/14 Interaksi obat 1. Ciprofloxacin meningkatkan kadar 1. Klinisi: disarankan untuk meresepkan obat golongan
aminofilin dalam darah. Hal ini dapat fluoroquinolon seperti levofloxacin. Jika meresepkan
menyebabkan resiko serius dan dibutuhkan penyesuaian dosis (dosis aminofilin dikurangi) dan
menimbulkan efek samping yang monitoring rutin untuk medikasi.
mengancam nyawa pasien.
Pasien: disarankan memberitahu perawat apabila muncul
gejala kelebihan aminofilin seperti mual, muntah, diare, nafsu
makan hilang, sakit kepala, tremor, kebingungan, insomnia,
dan aritmia.Perawat: memoitor kadar aminofilin dan gejala
kelebihan aminofilin seperti mual, muntah, diare, nafsu makan
hilang, sakit kepala, tremor, kebingungan, insomnia, dan
aritmia.

2. Perawat: memonitor kadar serum kalium, tekanan darah, dan


2. Penggunaan combivent bersama dengan
denyut jantung selama pemberian obat.
aminofilin dapat meningkatkan resiko
hipokalemia dan efek samping Pasien: disarankan untuk memberitahu perawat jika
kardiovaskuler seperti palpitasi, takikardia, mengalami gangguan pernapasan atau gejala hipokalemia
dan tekanan darah tinggi. seperti lelah, lemah, myalgia, kram, nyeri perut, konstipasi,
palpitasi, dan aritmia.

3. Penggunaan aminofilin dan budesonide 3. Perawat: memonitor kadar aminofilin dan serum kalium secara
dapat meningkatkan resiko hipokalemia rutin.
dan meningkatkan/menurunkan konsentrasi Pasien: disarankan untuk memberitahu perawat apabila
aminofilin mengalami gejala hipokalemia (lemah, kram otot), gangguan
pernapasan, atau gejala toksisitas aminofilin (mual, muuntah,
diare, sakit kepala, insomnia, dan aritmia).

4. Ciprofloxacin dapat meningkatkan 4. Klinisi: disarankan untuk meresepkan budesonide dengan


biavailabilitas sistemik budesonide. dosis terapi terendah.

Perawat: memonitor kondisi pasien terkait gejala


hiperkortisism seperti jerawat, moon face, edema, nafsu makan
meningkat, hipertensi, dan depresi.

Pasien: disarankan untuk memberitahu perawat apabila


muncul gejala hiperkortisism seperti jerawat, moon face,
edema, nafsu makan meningkat, hipertensi, dan depresi.

6. 23/05/14 Penghentian obat Penggunaan aminofilin bersama budesonide dan Klinisi: penghentian pemberian aminofilin sudah tepat karena
Efek samping obat combivent dapat meningkatkan resiko dapat menurunkan kadar kalium.
Interaksi obat hipokalemia.
Masalah obat jangka panjang Pemberian KSR dapat menyebabkan Klinisi: pengurangan dosis terapi KSR sudah tepat.
Efek samping obat hiperkalemia dan efek samping lainnya yaitu
mual, muntah, nyeri perut, dan diare. Perawat: memonitor kadar kalium dan fungsi ginjal secara ketat
dan rutin.

Pasien: disarankan memberitahu perawat apabila muncul gejala


hiperkalemia seperti lemah, bingung, lesu, dan aritmia.

MONITORING
NO. PARAMETER TUJUAN MONITORING
1. Mual dan muntah Memonitor timbulnya efek samping
2. Tekanan Darah Mencegah komplikasi lebih lanjut
3. Batuk berdahak Mengetahui ke efektifan obat ekspektoran
4. Suhu Tubuh Memonitor kemungkinan dema atau infeksi kembali
5. Sesak nafas Pemberian dekongestan jika sesak kembali
6. Denyuut nadi Memonitor kerja obat digoxin serta efek samping

LEMBAR KONSELING

No. Sasaran Uraian Rekomendasi/Saran


Konseling
1. Pasien  Hindari paparan/polusi udara  Pasien menghindari paparan asap rokok, bahan kimia, dan debu
 Obat yang diberikan memiliki efek samping  Pasien tidak perlu khawatir dikarenakan efek samping obat tidak selalu
terjadi
2. Keluarga  Membantu pasien berada di lingkungan yang sehat  Membantu dan menjaga pasien agar terhindar dari paparan atau polusi
pasien udara seperti asap rokok yang dapat memicu kekambuhan dari PPOK
3. Perawat  Perawat diedukasi mengenai penggunaan obat agar efek  Memonitor keadaan pasien, apakah terdapat efek samping yang
terapinya lebih tinggi dialami oleh pasien
 Perawat diedukasi mengenai cara penggunaan dan rute
pemberian serta lama pemberian obat
4. Dokter  Obat yang diberikan dapat dikombinasikan atau diganti  Berdiskusi mengenai terapi farmakologi yang diberikan
antar satu sama lain
 Obat yang diberikan beberapa kurang tepat penggunaannya
DAFTAR PUSTAKA
Basso-Vanelli, Renata P., Valeria A Pires di Lorenzo, Ivana G Labadessa, Eloisa M
G Reguiero, Mauricio Jamami, Evelim LVD Gomes Dirceu Costa. 2016.
Effects of Inspiratory Muscle Training and Calisthenicsand-Breathing
Exercises in COPD With and Without Respiratory Muscle Weakness.
Respiratory Care Journal vol 61 no 1 hal. 50-60. diunduh di DOI:
https://doi.org /10.4187/respcare.03947

Gleadle, Jonathan. 2007. At a Glance : Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik.


Erlangga, Jakarta.

Hsieh, Meng-Jer, Tsung-Ming Yang, Ying-Huang Tsai. 2015. Nutritional


supplementation in patient with chronic obstructive pulmonary disease.
Journal of the Formosan Medical Association. diunduh di:
http://dx.doi.org/10.1016/j.jfma.2015.10.008

Jimenez-Ruiz, Carlos A., Stefan Andreas, Keir A Lewis, Phillip A. Tonnesen, C.P
Van Schyak, Peter Hojek, Selena Tonstead, Bertrand Dautzen-berg, Monica
Fletcher, Sarah Masefield, Pipa Powell, Thomas Hering, Stefano Nardini,
Thomy Tonia, Christina Gratziou. 2015. Statement on smoking cessation in
COPD and other pulmonary diseases and in smokers with comorbidities
who find it difficult to quit. European Respiratory Journal. diunduh di DOI:
10.1183/ 09031936.00092614

Mansjoer, Arif. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. EGC, Jakarta.

Naser, dkk. 2016. Gambaran Derajat Merokok Pada Penderita PPOK di Bagian
Paru RSUP Dr. M. Djamil. Jurnal Kesehatan Andalas ; 5(2)

Oemiati, Ratih. 2013. Kajian Epidemiologis Penyakit Paru Obstruktif Kronik


(PPOK). Media Litbangkes Vol. 23 No. 2 : 82-88

Ovedoff, D. 2006. Kapita selekta kedokteran 2 ed. Revisi 2. Jakarta, Binarupa


Aksara.
Putra TR, Suega K, Artana B. 2013. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Penyakit Dalam. Denpasar: SMF Penyakit Dalam FK Unud.

Rawal, Gautam., Sankalp Yudaf. 2015. Nutrition in chronic obstructive


pulmonary disease: a Review. Journal of Translational Internal-Medicine.
diunduh di DOI: 1Q.1515/jtim-2015-0021

Smeltzer, S. C. and Bare, B. G. 2006. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah


Brunner & Suddarth. Edisi 8 Volume 2. EGC : Jakarta.

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2009. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing

Susanti , Putri Fitriana Eka. 2015. Influence Of Smoking On Chronic Obstructive


Pulmunary Disease (CPOD). J MAJORITY. Volume 4 Nomer 5

Anda mungkin juga menyukai