Anda di halaman 1dari 32

PAPER NAMA : M.

YAKUB ADIRA PUTRA


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100092
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS USU

MOOREN’S ULCER

Disusun Oleh:
Muhammad Yakub Adira Putra
130100092

Supervisor:
dr. Marina Y. Albar, M.Ked(Oph), Sp.M

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RUMAH SAKIT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
PAPER NAMA : M. YAKUB ADIRA PUTRA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100092
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS USU

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Mooren’S Ulcer”. Penulisan makalah ini adalah salah satu syarat menyelesaikan
kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Ilmu
Kesehatan Mata, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Marina Y.
Albar, M.Ked(Oph), Sp.M selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu dan
memberikan masukan dalam penyusunan refarat ini sehingga penulis dapat
menyelesaikannya dengan baik.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan
dalam penulisan refarat selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat. Akhir kata
penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, Maret 2019

Penulis

i
PAPER NAMA : M. YAKUB ADIRA PUTRA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100092
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS USU

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. i


DAFTAR ISI................................................................................................................ ii
DAFTAR TABEL ...................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................... v
BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .............................................................................................. 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 3
2.1. Anatomi Mata ............................................................................................... 3
2.1.1. Kavum Orbita .................................................................................... 3
2.1.2. Bola Mata........................................................................................... 5
2.1.2.1. Sklera .................................................................................... 5
2.1.2.2. Kornea ................................................................................... 6
2.1.2.3. Uvea ...................................................................................... 7
2.1.2.4. Lensa ..................................................................................... 7
2.1.2.5. Retina .................................................................................... 8
2.1.3. Vaskularisasi ..................................................................................... 8
2.1.4. Inervasi dan Otot Ekstraokular ........................................................ 10
2.2. Mooren’s Ulcer .......................................................................................... 11
2.2.1. Definisi ............................................................................................ 11
2.2.2. Epidemiologi dan Faktor Risiko ...................................................... 12
2.2.3. Klasifikasi ........................................................................................ 14
2.2.4. Patogenesis ...................................................................................... 15
2.2.5. Diagnosis ......................................................................................... 16
2.2.6. Diagnosis Banding .......................................................................... 18
2.2.7. Tatalaksana ...................................................................................... 20
2.2.7.1. Medikamentosa ................................................................... 20

ii
PAPER NAMA : M. YAKUB ADIRA PUTRA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100092
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS USU

2.2.7.2. Pembedahan ........................................................................ 21


2.2.8. Komplikasi ...................................................................................... 21
2.2.9. Prognosis ......................................................................................... 22
BAB 3 KESIMPULAN ............................................................................................. 23
3.1. Kesimpulan ................................................................................................. 23
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 24

iii
PAPER NAMA : M. YAKUB ADIRA PUTRA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100092
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS USU

DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 2.1 Populasi Sel pada Epitel Konjungtiva dan Substansia Propia pada
Mooren’s Ulcer……………………………………………………….. 16
Tabel 2.2 Varian Keratitis Ulseratif Perifer……………………………….. 19

iv
PAPER NAMA : M. YAKUB ADIRA PUTRA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100092
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS USU

DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 2.1 Kavum Orbita……………...…………………………………. 3
Gambar 2.2 Bola Mata…………...………………………………………… 5
Gambar 2.3 Lapisan Kornea……………………………………………….. 6
Gambar 2.4 Lensa…………………………………………………………. 7
Gambar 2.5 Retina…………………………………………………………. 8
Gambar 2.6 Vaskularisasi Mata……………………………………………. 9
Gambar 2.7 Otot Ekstraokuler……………………………………………... 10
Gambar 2.8 Mooren’s Ulcer……………………………………………….. 11
Gambar 2.9 Manifestasi Klinis Mooren’s Ulcer…………………………… 17
Gambar 2.10 Stadium Lanjut………………………………………………... 17

v
PAPER NAMA : M. YAKUB ADIRA PUTRA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100092
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS USU

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Mooren’s ulcer adalah keratitis ulseratif perifer yang bersifat kronis dan
menimbulkan nyeri. Umumnya penyakit ini melibatkan kedua mata, walaupun juga
terdapat kasus yang bersifat unilateral. Ulserasi yang terjadi pada penyakit ini bersifat
progresif, tanpa disertai adanya skleritis atau pun penyakit sistemik. Penyakit ini dapat
menyebabkan komplikasi yang serius, bahkan dengan terapi konvensional, angka
kejadian perforasi kornea masih terjadi sebesar 11% hingga 13,3%.1,2
Belum ada laporan yang secara pasti menyebutkan prevalensi penyakit ini
secara global. Penyakit ini pertama kali dideskripsikan oleh Bowman pada tahun 1849
dan Mooren pada tahun 1867. Mooren’s ulcer lebih jarang terjadi pada belahan dunia
utara, namun lebih sering ditemukan di Afrika Utara dan Selatan, Cina, dan India.
Kejadiannya lebih banyak ditemukan pada dewasa, dengan jumlah laki – laki lebih
banyak daripada perempuan, serta sangat jarang ditemukan pada anak – anak.1,3
Penyebab dan patogenesis yang mendasari terjadinya penyakit ini belum
diketahui secara pasti, namun beberapa faktor dinilai berperan, antara lain trauma fisik,
kimia, maupun operasi, infeksi, hingga peradangan akibat aktivasi sistem imun. Saat
ini bukti terkuat menunjukkan bahwa penyakit ini merupakan suatu penyakit autoimun
yang secara eksklusif menyerang stroma kornea, dipengaruhi faktor genetik, dan dipicu
oleh berbagai faktor eksternal.4,5
Penyakit ini umumnya dimulai dari tepi kornea, atau limbus, kemudian secara
sirkumferensial mengelilingi kornea, lalu menuju ke tengah atau pusat. Menifestasi
klinis dan perjalanan penyakit nampaknya dipengaruhi oleh faktor ras. Wood dan
Kaufman mendeskripsikan terdapat dua bentuk Mooren’s ulcer, yaitu tipe ulkus perifer
unilateral yang banyak mengenai ras kulit putih pada usia lebih tua, dan tipe bilateral
yang lebih banyak mengenai ras kulit hitam pada usia lebih muda.5,6

1
PAPER NAMA : M. YAKUB ADIRA PUTRA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100092
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS USU

Mooren’s ulcer juga terjadi di Indonesia, walaupun belum ada laporan yang
menyebutkan angka kejadiannya secara pasti. Herdianti dkk., dalam laporan kasusnya
di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo Surabaya, melaporkan suatu kasus
Mooren’s ulcer unilateral pada seorang laki – laki berusia 30 tahun yang disertai
dengan komplikasi perforasi kornea. Pasien ini sebelumnya telah menjalani
keratoplasti, namun mengalami rejeksi cangkok sehingga harus ditangani kembali.7
Walaupun penyakit ini merupakan penyakit yang jarang ditemukan, namun
dapat menyebabkan komplikasi yang dapat berbahaya bagi pasien, sebab tidak hanya
menyebabkan kelainan fungsi, namun produktivitas pasien juga bisa terhambat.
Identifikasi dini serta penanganan yang segera dan tepat sangat penting bagi pasien,
sebab dengan penanganan yang ada, masih juga terdapat angka rekurensi pada kasus
Mooren’s ulcer.4,8

2
PAPER NAMA : M. YAKUB ADIRA PUTRA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100092
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS USU

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Mata


2.1.1. Kavum Orbita
Kavum orbita adalah struktur ruang bilateral, pada setengah atas wajah, di
bawah fossa cranialis anterior, di depan fossa cranialis media, yang dibentuk oleh
tulang – tulang orbita. Kavum orbita berisi bola mata, saraf optik, otot – otot penggerak
bola mata, organ – organ lakrimal, jaringan lemak, fascia, serta berbagai saraf dan
pembuluh darah yang menyokong struktur tersebut. Kavum orbita dibentuk oleh
berbagai struktur tulang, antara lain os frontalis, os zygomaticum, os maxilla, os
sphenoid, os lacrimalis, os ethmoidale, dan os palatina. 9

Gambar 2.1. Kavum Orbita9

3
PAPER NAMA : M. YAKUB ADIRA PUTRA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100092
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS USU

Bentuk kavum orbita ke arah posterior akan membentuk suatu kerucut atau
piramida. Batas – batas kavum orbita adalah atap, dinding medial, dinding lateral, serta
lantai:10
1. Atap
Atap kavum orbita dibentuk oleh lempeng yang disebut orbital plate dari
os frontalis. Bagian ini berisi rongga yang besar dan datar yang disebut
fossa lacrimalis dibagian lateral dan spur atau disebut tulang troklear
dibagian medial. Pada posterior, ada ala minor dari os sphenoid. Canalis
opticus terletak diantara dua akar ala minor os sphenoid di puncak orbita.
2. Lantai
Lantai dari kavum orbita sebagian besar dibentuk oleh lempeng orbit dari
os maxilla, yang berartikulasi dengan os zygomaticum pada anterolateral,
dan tonjolan triangular processus orbitalis os palatina pada
posteromedial. Luas lantai tidak sebesar atap kavum orbita.
3. Dinding medial
Dinding medial kavum orbita dibentuk oleh processus frontalis pada os
maxilla, os lacrimalis, os ethmoidale, dan os sphenoid.
4. Dinding lateral
Dinding lateral terdiri dari processus frontalis anterior os zygomaticum
dan permukaan orbital ala mayor os sphenoid. Dinding lateral dan
inferior dipisahkan oleh fissura orbitalis inferior, sedangkan dinding
lateral dan superior dipisahkan oleh fissura orbitalis superior.
Bagian tulang orbita memiliki empat tepi dan dinding dan berdekatan dengan
sinus ethmoidalis (medial) dan sinus maxillaris (inferior). Bagian tulang ini berisi
foramen opticus untuk tempat berjalanya nervus opticus dan arteri ophthalmica,
fissura orbitalis superior (saraf kranialis dan pembuluh darah) dan fissura orbitalis
inferior. Kavum orbita memiliki banyak lemak dan septum jaringan ikat yang

4
PAPER NAMA : M. YAKUB ADIRA PUTRA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100092
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS USU

menopang dan menjadi bantalan mata, otot, saraf, dan struktur lainnya. Batas anterior
rongga orbita adalah septum orbita, yang berfungsi sebagai pemisah antara palpebra
dan orbita. Septum ini membentuk penghalang potensial, mencegah infeksi kelopak
mata dari penetrasi orbita lebih dalam9,10

2.1.2. Bola Mata


2.1.2.1.Sklera
Bola mata memiliki ukuran sekitar 25 mm pada diameternya, terletak di dalam
kavum orbita, dan berlekatan dengan 6 otot ekstraorbita (otot penggerak bola mata),
dan jaringan lemak yang membungkus 2/3 permukaan posterior bola mata.
Pembungkus luar bola mata adalah sklera, yang dibentuk oleh jaringan ikat fibrosa,
berwarna putih, dan pada bagian anterior berlanjut menjadi kornea. Lapisan vaskular
di tengah merupakan koroid, yang pada bagian anterior berlanjut menjadi badan silia,
processus cilliaris, dan iris. Struktur tersebut yang berhubungan dengan serat zonula
dan lensa. Lapisan dalam dari bola mata adalah retina, yang merupakan pada bagian
posterior menerima rangsang cahaya dari luar (bagian reseptif) dan bagian anterior
non-visual.11

Gambar 2.2. Bola Mata11

5
PAPER NAMA : M. YAKUB ADIRA PUTRA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100092
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS USU

Terdapat dua bilik (chamber) yang terdapat di dalam bola mata, yaitu camera
occuli anterior (COA) dan posterior (COP). COA terdapat diantara permukaan
anterior lensa hingga permukaan dalam dari kornea, yang diisi oleh cairan yang disebut
aqueous humor. COP terdapat pada celah permukaan anterior lensa bagian perifer dan
permukaan posterior dari iris..11

2.1.2.2. Korna
Kornea merupakan lapisan luar bola mata bagian anterior yang bersifat jernih
dan avaskular. Struktur ini berbentuk konveks ke arah anterior, dan merupakan
kelanjutan dari sclera, dengan luas sekitar 1,1 cm2. Bagian pinggir kornea disebut
dengan limbus. Kornea memiliki ketebalan sekitar 670µm pada daerah dekat limbus,
dan 520 µm pada bagian tengahnya. Kornea merupakan bagian dari media refraksi
mata, dan terdiri dari 5 lapisan, yaitu epitel, lapisan Bowman, stroma, lapisan
Descemet, dan endotel.10

Gambar 2.3. Lapisan Kornea10

6
PAPER NAMA : M. YAKUB ADIRA PUTRA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100092
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS USU

2.1.2.3. Uvea
Uvea merupakan utamanya dibentuk oleh jaringan vaskular, terdiri dari koroid,
badan silia, dan iris, yang strukturnya saling berkesinambungan. Choroid membungkus
lapisan dalam dari sklera, dan menuju ke anterior pada ora serrata. Badan silia
merupakan kelanjutan dari struktur tersebut ke arah anterior, lalu menuju iris yang
berbentuk sirkumferens. Celah yang dibuat oleh iris dinamakan upil. Struktur ini juga
nampak pada Gambar 2.2.9,10

2.1.2.4. Lensa
Posterior dari pupil dan iris, terdapat lensa mata. Pada lensa, protein yang
terdapat di dalamnya disebut kristalin, yang tersusun layaknya sebuah bawang,
membentuk media refraksi lensa, yang jernih. Lensa diselubungi oleh kapsul yang
berikatan dengan serat zonula, yang pada bagian lateran serat tersebut berikatan dengan
processus cilliaris, berguna untuk akomodasi lensa.12

Gambar 2.4. Lensa

7
PAPER NAMA : M. YAKUB ADIRA PUTRA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100092
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS USU

2.1.2.5. Retina
Lapisan ketiga, yaitu yang terdalam pada bagian posterior bola mata adalah
retina. Pemeriksaan dari organ ini dapat dilakukan dengan oftalmoskop. Lapisan
permukaan dari retina adalah satu – satunya pada tubuh di mana struktur vaskularisasi
sangat nampak secara langsung dan bisa diperiksa jika terdapat perubahan patologis.
Retina terdiri dari lapisan pigmen dan lapisan neural. Lapisan pigem merupakan
lapisan epitel yang mengandung melanin, terdapat pada permukaan luar retina, yaitu
antara lapisan neural dan koroid. Lapisan neural merupakan lapisan yang fungsi
utamanya adalah dalam penerimaan dan penghantaran stimulus. Lapisan ini dapat
dibagi lagi menjadi beberapa lapisan, yang ditunjukkan pada Gambar 2.5.12

Gambar 2.5. Retina12

2.1.3. Vaskularisasi
Arteri utama yang memperdarahi mata adalah arteri oftalmika yang merupakan
cabang dari arteri karotis interna. Arteri oftalmika akan bercabang menjadi:13
1. Arteri retina sentralis → memperdarahi nervus optikus dan retina
2. Arteri lakrimalis → memperdarahi glandula lakrimalis dan kelopak mata
atas

8
PAPER NAMA : M. YAKUB ADIRA PUTRA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100092
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS USU

3. Cabang cabang muskularis → berbagai otot orbita


4. Arteri siliaris posterior brevis → memperdarahi koroid dan bagian-
bagian saraf optikus
5. Arteri siliaris posterior longus → memperdarahi korpus siliaris
6. Arteri siliaris anterior → memperdarahi sklera, episklera, limbus,
konjungtiva
7. Arteri palpebralis media ke kedua kelopak mata
8. Arteri supraorbitalis dan arteri supratroklearis

Gambar 2.6. Vasularisasi Mata13

Arteri silirais posterior longus saling beranamostosis antara satu dengan yang
lain serta dengan arteri siliaris anterior membentuk sirkulus arterialis mayor iris.
Vena utama yaitu vena oftalmika superior dan inferior. Vena oftalmika superior
dibentuk dari vena supraorbitalis, vena supratrokhlearis cabang vena angularis yang
mengalihkan darah dari kulit di daerah periorbital. Vena ini membentuk hubungan

9
PAPER NAMA : M. YAKUB ADIRA PUTRA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100092
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS USU

langsung antara kulit wajah dengan sinus kavernosus sehingga dapat menimbulkan
thrombosis sinus kavernosus yang potennsial fatal akibat infeksi superficial di kulit
periorbital.13

2.1.4. Inervasi dan Otot Ekstraokuler


Saraf yang berperan dalam fungsi penglihatan adalah nervus opticus atau saraf
kranialis II. Persarafan sensoris pada area periorbital berasal divisi nervus maxillaris
dan nervus ophthalmica dari saraf kranialis V. Divisi oftalmika dari saraf kranialis V
berjalan dari anterior ganglia melalui dinding lateral dari sinus kavernosus, dan
bercabang menjadi 3 percabangan yaitu frontal, lakrimal, dan nasosiliaris.12,14
Nervus frontalis dan lakrimalis memasuki orbita melalui fisura superior orbita
diatas annulus zinn untuk mempersarafi kantus medial (cabang dari supratroklear),
bagian atas kelopak mata (cabang dari lakrimal dan supratroklear), dan dahi (cabang
dari supraorbita). Nervus nasosiliari memasuki orbita melalui fisura orbita superior
melalui annulus zinn dan menginervasi mata melalui cabang siliaris.14

Gambar 2.7. Otot Ekstraokuler12

Otot – otot ekstraokuler dan inervasinya:12


1. M. Levator palpebrae superioris → N.III upper division
2. M. Rectus superior → N.III upper division
3. M. Rectus medial → N.III lower division

10
PAPER NAMA : M. YAKUB ADIRA PUTRA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100092
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS USU

4. M. Rectus inferior → N.III lower division


5. M. Oblique inferior → N.III lower division
6. M. Rectus lateralis → N.VI
7. M. Oblique superior → N.IV

2.2. Mooren’s Ulcer


2.2.1. Definisi
Mooren’s ulcer adalah ulserasi kornea perifer idiopatik, dapat terjadi unilateral
maupun bilateral, bersifat progresif dari ulserasi stroma perifer secara sirkumferensial
kemudian menyebar ke tengah kornea. Karakteristik dari penyakit ini adalah nyeri
berat pada mata yang terkena, fotofobia, mata berair, tanpa adanya skleritis. Penyakit
ini pertama kali dideskripsikan oleh Bowman pada tahun 1849 dan Mooren pada tahun
1867.3,15,16

Gambar 2.8. Mooren’s Ulcer16

Penyakit ini merupakan kasus keratitis ulseratif perifer yang sangat jarang
terjadi, diduga disebabkan oleh vaskulitis pembuluh darah limbal yang mengalami
nekrosis iskemi. Walaupun etiologinya tidak diketahui secara pasti, namun bukti yang
ada menunjukkan proses autoimun memegang peranan. Perforasi dapat terjadi karena

11
PAPER NAMA : M. YAKUB ADIRA PUTRA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100092
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS USU

trauma ringan atau selama infeksi sekunder. Dapat terjadi vaskularisasi dan fibrosis
pada kornea. Pada penyakit ini terdapat keterlibatan kornea murni.7

2.2.2. Epidemiologi dan Faktor Risiko


Belum ada laporan yang secara pasti menyebutkan prevalensi penyakit ini
secara global.. Mooren’s ulcer lebih jarang terjadi pada belahan dunia utara, namun
lebih sering ditemukan di Afrika Utara dan Selatan, Cina, dan India.1
Sebanyak lebih dari 3.500 kasus ulkus kornea didokumentasikan antara tahun
2010 – 2015 di Amerika Serikat. Sebanyak 873 dari jumlah tersebut menunjukkan
penyakit spesifik yang mendasarinya, salah satunya Mooren’s ulcer. Penyakit tersebut
adalah bagian dari ulkus steril, dengan proporsi 15,8% dari kasus yang diketahui
etiologinya. Ulkus steril tersebut, selain Mooren’s ulcer, antara lain akibat keratitis
neurotropic, iatrogenik, serta akibat penyakit inflamasi sistemik, seperti sarkoidosis
dan kekurangan vitamin.17
Kejadiannya lebih banyak ditemukan pada usia dewasa, dengan jumlah laki –
laki lebih banyak daripada perempuan (1,62:1), serta sangat jarang ditemukan pada
anak – anak. Penelitian oleh Alhassan dkk., di Nigeria pada tahun 1999, terdapat 25
orang menderita penyakit ini, dengan rentang usia antara 12 – 42 tahun (rata – rata 27,9
tahun).1,3
Pada data yang dilaporkan dari klinik – klinik spesialis di Eropa dan Amerika
Utara, terdapat angka kejadian 1 kasus per tahunnya. Angka ini sangat berbeda jika
dibandingkan di India, yaitu 1 kasus dalam 350 kunjungan ke klinik spesialis. Hal ini
menunjukkan bahwa penyakit tersebut secara geografis, lebih banyak terjadi di negara
berkembang.1,3
Penelitian yang lebih baru oleh Fasina dkk., di Kota Ibadan, Nigeria, yang
mendata kasus Mooren’s ulcer sejak 2007 hingga 2013, terdapat 23 pasien yang masuk
dalam penelitian, dan 18 diantaranya merupakan laki – laki.18

12
PAPER NAMA : M. YAKUB ADIRA PUTRA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100092
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS USU

Perjalanan penyakit ini juga nampaknya dipengaruhi oleh ras. Wood dan
Kaufman mendeskripsikan terdapat dua bentuk Mooren’s ulcer, yaitu tipe ulkus perifer
unilateral yang banyak mengenai ras kulit putih pada usia lebih tua, dan tipe bilateral
yang lebih banyak mengenai ras kulit hitam pada usia lebih muda.6
Walaupun penyebab pasti belum diketahui, diperkirakan bahwa terdapat
peranan faktor genetik dan lingkungan yang mendasari terjadinya penyakit ini. Faktor
lingkungan yang paling dinilai berperan adalah riwayat trauma baik akibat kecelakaan
maupun operasi, selain itu, paparan infeksi virus dan parasite. Namun, peningkatan
angka kejadian hepatitis C belum dijumpai di India pada pasien Mooren’s ulcer.
Hubungan dengan helmintiasis juga pernah dicatat, namun penyakit ini tetap dapat
terjadi pada kasus tanpa helmintiasis. Human leukocyte antigens (HLAs) dapat
menimbulkan kelainan pada berbagai penyakit autoimun, dan pada pasien ras Asia dan
Afrika, terdapatnya HLADR17 atau DQ2 dapat menyebabkan kerentanan terhadap
kejadian penyakit ini.1
Penelitian oleh Dong dkk, di Cina, mendapatkan bahwa rekurensi dalam 4
tahun setelah pengobatan adalah sebesar 28,6%, serta pasien laki – laki dan pasien yang
menderita ulkus berat yang membutuhkan operasi akan memiliki risiko lebih besar
untuk terjadinya rekurensi.3

13
PAPER NAMA : M. YAKUB ADIRA PUTRA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100092
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS USU

2.2.3. Klasifikasi
Terdapat beberapa klasifikasi untuk penyakit ini. Pembagian terikini Mooren’s
ulcer dapat diklasifikasikan menjadi tiga tipe, berdasarkan gejala klinis dan bukti
adanya penutupan atau pun kebocoran kapiler dari pemeriksaan agiografi
fluoresensi:1,16
1. Unilateral Mooren’s ulcer (UM)
Bermanifstasi sebagai ulkus kornea yang nyeri dan bersifat progresif,
umumnya terjadi pada orang dengan usia lebih tua. Tidak terdapat
perfusi vaskular pada konjungtiva sekitar dan pleksus pembuluh darah
superfisial.
2. Bilateral aggresuve Mooren’s ulcer (BAM)
Umumnya terjadi pada pasien dengan usia lebih muda, serta terdapat
kebocoran pembuluh darah dan neovaskularisasi ke dalam ulkus.
3. Bilateral indolent Mooren’s ulcer (BIM)
Umumnya terjadi pada pasien berusia paruh baya, dan berprogresi
dengan pembentukan “parit” di daerah perifer, dengan respons inflamasi
normal dan struktur pembuluh darah normal.
Cara pembagian atau klasifikasi yang lain adalah berdasarkan latralisasi dan
usia onset penyakit tersebut. Pembagiannya adalah:1
1. Tipe unilateral, yang umumnya menyerang pasien dengan usia yang
lebih tua, distribusi seks yang sama, dan progresifitas yang lebih lambat.
2. Tipe bilateral, yang umumnya terjadi di daerah Afrika, terjadi bilateral
dengan progresifitas yang cepat, dan kurang responsive terhadap
pengobatan.
Terdapat pula klasifikasi berdasarkan keparahan manifestasi klinis, namun hal
itu akan dibahas di bagian diagnosis dari Mooren’s ulcer.1

14
PAPER NAMA : M. YAKUB ADIRA PUTRA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100092
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS USU

2.2.4. Patogenesis
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, penyebab maupun patogenesis dari
penyakit ini belum diketahui secara pasti. Walaupun demikian, terdapat beberapa
mekanisme yang sering muncul pada pasien dengan Mooren’s ulcer. Mekanisme-
mekanisme tersebut tampaknya menjadi karakteristik dari penyakit tersebut:19
1. Fungsi abnormal sel T-suppressor
2. Peningkatan IgA
3. Peningkatan konsentrasi sel plasma dan limfosit pada konjungtiva yang
berdekatan dengan area ulkus
4. Peningkatan rasio CD4+/CD8+ dan B7-2+/APC serta peningkatan
molekul adhesi sel vaskular-1, antigen-4, dan molekul adhesi intersel-1
pada endotel vaskular dari pembuluh darah konjungtiva
5. Tissue fixed immunoglobulin dan komplemen pada epitel konjungtiva dan
kornea perifer
Terdapat hubungan dengan faktor lingkungan, seperti paparan terhadap virus
(hepatitis C) dan infeksi helminthiasis. Faktor genetik juga berperan sebab banyak
kasus tersebut menunjukkan ekspresi antigen HLADR17 dan DQ2.16
Kafkala dkk., dalam penelitiannya mengenai studi imunopatologis yang terjadi
pada Mooren’s ulcer, menemukan bahwa terdapat berbagai jenis molekul ataupun sel
yang saling berinteraksi dalam mekanisme terjadinya penyakit tersebut. Kehadiran
yang simultan dari berbagai tipe sel radang, adhesi, dan molekul kostimulasi pada
konjungtiva Mooren’s ulcer mengindikasikan bahwa interaksi mereka berperan dalam
mendukung keberlangsungan aktivasi imun, paling tidak sebagai suatu bagian dari
patogenesis penyakit tersebut. Peneliti menyarankan bahwa dilakukan studi yang lebih
luas lagi sebab patogenesis tidak hanya melibatkan hal itu.20

15
PAPER NAMA : M. YAKUB ADIRA PUTRA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100092
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS USU

Tabel 2.1. Populasi Sel pada Epitel Konjungtiva dan Substansia Propia pada
Mooren’s Ulcer20

Hipotesis yang paling umum adalah inflamasi yang berhubungan dengan


riwayat trauma (baik kecelakaan maupun operasi) atau infeksi sebelumnya yang dapat
menyebabkan perubahan ekspresi antigen kornea atau konjungtiva (yang kemudian
akan menyebabkan produksi autoantibodi) atau reaksi silang terjadi antara efektor
imun sebagai respon terhadap infeksi dan autoantigen kornea.19

2.2.5. Diagnosis
Mooren’s ulcer adalah ulkus kronis, progresif, nyeri, dan idiopatik pada stroma
dan epitel kornea perifer. Secara tipikal, ulkus bermula dari perifer kornea dan
menyebar secara sirkumferens (melingkar searah limbus), lalu secara sentripetal.
Ulserasi yang lebih lambat progresinya mengarah ke sklera, namun tidak sampai

16
PAPER NAMA : M. YAKUB ADIRA PUTRA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100092
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS USU

menyebabkan skleritis. Mata menjadi radang dan nyeri berintensitas tinggi, dengan
fotofobia dan mata berair. Perforasi dapat timbul akibat trauma minor atau infeksi
sekunder. Vaskularisasi dan fibrosis yang ekstensif dapat terjadi pada kornea. Hal ini
dapat terjadi secara unilateral ataupun bilateral. Pasien dengan Mooren’s ulcer juga
mengalami penurunan visus akibat astigmatisma irregular dan keterlibatan aksis visual
pada stadium akhir. 19,21,22,23

Gambar 2.9. Manifestasi Klinis Ulkus Mooren19,21

Gambar 2.10. Stadium Lanjut13,19

17
PAPER NAMA : M. YAKUB ADIRA PUTRA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100092
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS USU

Terdapat klasifikasi berdasarkan derajat manifestasi klinis dari penyakit


tersebut. Klasifikasinya adalah sebagai berikut:1
1. Ekstensi penipisan kornea dalam 1 kuadran atau lebih
a. Mild → Penipisan pada <25% lingkar kornea
b. Moderate → Penipisan 25% - 50% lingkar kornea
c. Severe → Penipisan >50% lingkar kornea
2. Perforasi kornea < 2 mm
3. Perforasi kornea > 2 mm
Diagnosis dibuat berdasarkan manifestasi klinis yang dideskripsikan di atas dan
bukti tidak adanya penyakit sistemik apapun. Hal ini membedakan Mooren’s ulcer
dengan penyakit lainnya, tipe – tipe yang lebih sering terjadi dari keratitis ulseratif
perifer yang berhubungan dengan penyakit vaskular kolagen, yang harus disingkirkan
dalam mendiagnosis Mooren’s ulcer.1

2.2.6. Diagnosis Banding


Mooren’s ulcer dapat didiagnosis banding dengan kejadian penyakit keratitis
ulseratif perifer dan Terrien’s marginal degeneration, yang memiliki karakteristik
yang mirip. Semuanya memiliki karakteristik derajat yang beragam dari penipisan
kornea yang progresif dan vaskularisasi perifer. Mooren’s ulcer adalah suatu bentuk
keratitis ulseratif perifer yang tidak melibatkan skleritis, tanpa adanya penyakit
sistemik lain yang mendasarinya. Penyakit lain yang menjadi bagian dari keratitis
ulseratif perifer dapat memiliki penyakit sistemik yang menyertai. Perbedaan utama
Mooren’s ulcer dan keratitis ulseratif perifer adalah derajat intensitas nyeri yang
dirasakan oleh pasien, umumnya pada Mooren’s ulcer nyeri yang dirasakan masih
lebih bisa ditoleransi, walaupun hal ini bersifat subjektif dan nyeri tersebut tetap sangat
mengganggu pasien. Keduanya sama – sama dapat mengenai mata secara unilateral
maupun bilateral.24

18
PAPER NAMA : M. YAKUB ADIRA PUTRA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100092
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS USU

Tabel 2.2. Varian Keratitis Ulseratif Perifer24

19
PAPER NAMA : M. YAKUB ADIRA PUTRA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100092
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS USU

2.2.7. Tatalaksana
Penatalaksanaan Mooren’s ulcer berbeda dengan keratitis ulseratif perifer
inflamasi sistemik dan tergantung dari tipe presentasi yang ditimbulkannya. Akibat
jumlah kasus yang relatif jarang, studi kontrol acak prospektif untuk membandingkan
intervensi yang diberikan terhadap pasien masih kurang. Penatalaksanaan untuk
penyakit ini dalam bentuk pengobatan medikamentosa baik secara topikal maupun
sistemik, serta dengan pembedahan. Saat ini, belum ada konsensus yang secara pasti
merekomendasikan protocol pengobatan yang telah teruji untuk penatalaksanaan
penyakit tersebut, sehingga pemberian obat anti-inflamasi menggunakan steroid
dianggap menjadi lini pertama terapi bagi penyakit tersebut.16,25

2.2.7.1. Medikamentosa
Steroid topikal (termasuk difluprednate), asetisistein 10% dan L-sistein (0,2
molar), dan siklosporin topikal telah dilaporkan digunakan dengan tingkat kesuksesan
yang bebeda. Pengobatan immunosupresif sistemik seperti kortikosteroid oral,
siklofosfamid, metotreksat, dan siklosporin juga telah menunjukkan hasil pada kasus
penyakit ini. Kasus yang berhubungan dengan hepatitis C juga ditemukan merespons
terhadap terapi menggunakan interferon.19
Pemberian steroid topikal yang dikombinasi dengan antibiotik profilaksis
menunjukkan respons yang efektif. Pengobatan tersebut kemudian dilakukan tapering
off selama beberapa bulan. Siklosporin topikal dapat memberikan manfaat, namun hasil
yang signifikan membutuhkan watu berminggu – minggu untuk timbul. Terapi topikal
adjuvan termasuk artificial tears dan inhibitor kolagenase seperti asetilsistein 10% -
20%. Inhibitor kolagenase sistemik yang dapat digunakan contohnya adalah
doksisiklin.15
BAM membutuhkan terapi intensif menggunakan steroid intravena dan
pengobatan tambahan jika terdapat suatu proses infeksi sekunder secara simultan.
Berbeda dengan BIM, yang nampaknya responsive terhadap pengobatan topikal

20
PAPER NAMA : M. YAKUB ADIRA PUTRA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100092
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS USU

dengan kotikosteroid dan sikosporin A. Secara umum, tahapan yang direkomendasikan


adalah immunosupresi lokal, immunosupresi sistemik, menghilangkan antigen lokal,
dan menghilangkan antigen sistemik.16

2.2.7.2. Pembedahan
Intervensi pembedahan termasuk reseksi konjungtiva, keratoplasti lamellar,
epikeratoplasti, keratotomy deliminasi, conjunctival flap dan patch graft dari
periosteum fascia lata. Beberapa peneliti merekomendasikan pengangkatan suspek
sumber antigen kornea dengan keratotomy lamellar sental sebagai upaya untuk
mendukung penurunan proses inflamasi. Walaupun operasi kornea dini
dikontraindikasikan, beberapa penulis telah melaporkan hasil yang baik dengan
keratoplasti lamellar primer yang dikombinasi dengan siklosporin topikal. 1,19
Obat immunosupresif sistemik dan lokal bekerja dengan mengurangi respons
imun yang mengaktivkan antibodi, sementara intervensi pembedahan, seperti reseksi
konjungtiva, bekerja dengan mencegah penghantaran kompleks imun menuju stroma
kornea.1

2.2.8. Komplikasi
Mooren’s ulcer dapat menyebabkan komplikasi yang tidak hanya mengganggu
fungsi, namun juga struktur dari mata. Komplikasi yang paling sering terjadi adalah
gangguan visus dan perforasi kornea. Komplikasi – komplikasi yang dapat terjadi pada
penyakit ini antara lain:15
1. Astigmatisma berat
2. Infeksi sekunder
3. Perforasi akibat trauma minor atau proses infeksi sekunder (perforasi
spontan umumnya jarang terjadi).
4. Katarak
5. Glaukoma

21
PAPER NAMA : M. YAKUB ADIRA PUTRA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100092
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS USU

2.2.9. Prognosis
Dengan terapi immunosupressan yang intensif, komplikasi perforasi kornea
pada penyakit ini masih tercatat sebesar 11 – 36% pasien yang diberikan terapi tersebut.
Saat penatalaksanaan konvensional tidak bisa memberikan perbaikan kepada pasien,
maka tindakan operatif harus dipertimbangkan. Bahkan dengan terapi operatif,
komplikasi masih dapat terjadi, begitu pula dengan rekurensi. Seperti yang telah
disebutkan sebelumnya, penelitian oleh Dong dkk, di Cina, mendapatkan bahwa
rekurensi dalam 4 tahun setelah pengobatan adalah sebesar 28,6%, serta pasien laki –
laki dan pasien yang menderita ulkus berat yang membutuhkan operasi akan memiliki
risiko lebih besar untuk terjadinya rekurensi. Penelitian lebih lanjut mengenai penyakit
tersebut, serta uji pengobatan yang layak di masa depan akan sangat membantu
penatalaksanaan penyakit ini, namun hal ini dihambat oleh jumlah kasus yang relatif
jarang.3,5,25

22
PAPER NAMA : M. YAKUB ADIRA PUTRA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100092
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS USU

BAB 3
KESIMPULAN

3.1. Kesimpulan
Mooren’s ulcer adalah ulserasi kornea perifer idiopatik, dapat terjadi unilateral
maupun bilateral, bersifat progresif dari ulserasi stroma perifer secara sirkumferensial
kemudian menyebar ke tengah kornea, tanpa disertai skleritis. Penyebab pasti belum
diketahui, namun yang paling dipercayai adalah proses autoimun, yang dipengaruhi
riwayat trauma, genetik, seperti interaksi dengan faktor eksternal. Diagnosis terutama
dibuat berdasarkan manifestasi klinis. Pengobatan secara umum menggunakan obat
anti-inflamasi baik topikal atau pun sistemik, serta pembedahan. Komplikasi yang
tersering adalah penurunan visus dan perforasi kornea. Walaupun telah ditangani
dengan terapi medikamentosa dan pembedahan, rekurensi masih mungkin terjadi pada
pasien, khususnya pada tahapan yang telah menimbulkan komplikasi.

23
PAPER NAMA : M. YAKUB ADIRA PUTRA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100092
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS USU

DAFTAR PUSTAKA

1. Alhassan MB, Rabiu M, Agbabiaka IO. Interventions for Mooren's ulcer.


Cochrane Database of Systematic Reviews. 2014(1).
2. Lee HJ, Kim MK, Wee WR, Oh JY. Interplay of immune cells in Mooren ulcer.
Cornea. 2015 Sep 1;34(9):1164-7.
3. Dong Y, Zhang Y, Xie L, Ren J. Risk factors, clinical features, and treatment
outcomes of recurrent Mooren ulcers in China. Cornea. 2016 Nov
16;36(2):202-9.
4. Vilaplana F, Temprano J, Riquelme JL, Nadal J, Barraquer J. Mooren's ulcer:
30 years of follow-up. Archivos de la Sociedad Española de Oftalmología
(English Edition). 2016 Jul 1;91(7):337-40.
5. Kim DH, Kim MK, Wee WR, Oh JY. Mooren’s ulcer in a cornea referral
practice in Korea. Ocular immunology and inflammation. 2016 Jan 2;24(1):55-
9.
6. Guindolet D, Reynaud C, Clavel G, Belangé G, Benmahmed M, Doan S,
Hayem G, Cochereau I, Gabison EE. Management of severe and refractory
Mooren's ulcers with rituximab. British Journal of Ophthalmology. 2017 Apr
1;101(4):418-22.
7. Herdianti D, Lutfi D, Zuhria I, Doemilah R. Graft Rejection Keratoplasty in
Mooren Ulcers Managed By Unsutured Frozen Amnion Graft. Jurnal
Oftalmologi Indonesia. 2008 Des;6(3):200-3.
8. Lal I, Shivanagari SB, Ali MH, Vazirani J. Efficacy of conjunctival resection
with cyanoacrylfate glue application in preventing recurrences of Mooren's
ulcer. British Journal of Ophthalmology. 2016 Jul 1;100(7):971-5.
9. Drake RL, Vogl AW, Mitchell AW, editors. Gray’s Basic Anatomy. 2nd Ed.
Elsevier. 2018. p. 467-8

24
PAPER NAMA : M. YAKUB ADIRA PUTRA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100092
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS USU

10. Stranding S, editor. Gray’s Anatomy: The Anatomical Basis of Clinical


Practice. 1st Ed. Elsevier. 2016.p.666-7,689-90.
11. Hansen JT, editor. Netter’s Clinical Anatomy. 4th Ed. Elsevier.2019.p.475-6.
12. Tortora J, Nielsen M. Principles of Human Anatomy. 14th Ed.
Wiley.2017.p.687-91
13. Eva PR, Ausburger JJ, editors. Vaughan & Asbury’s General Ophthalmology.
19th Ed. 2018.p.21-3,296-7.
14. American Academy of Ophthalmology. 2016 – 2017 BCSC: Orbit, Eyelids, and
Lacrimal System. AAO.2016.p.29-31.
15. Bowling B, editor. Kanski’s Clinical Ophthalmology. 8th Ed. Elsevier.
2016.p.203-5.
16. Tandon R, Galor A, Sangwan VS, Ray M, editors. Peripheral Ulcerative
Keratitis: A Comprehensive Guide. Springer. 2017.p.99-100
17. Lee R, Manche EE. Trends and associations in hospitalizations due to corneal
ulcers in the United States, 2002–2012. Ophthalmic epidemiology. 2016 Jul
3;23(4):257-63.
18. Fasina O, Ogundipe AO, Ezichi EI. Mooren’S ulcer in ibadan, southwest
Nigeria. Journal of the West African College of Surgeons. 2013 Jul;3(3):102.
19. American Academy of Ophthalmology. 2016 – 2017 BCSC: External Disease
and Cornea. AAO.2016.p.170-2
20. Kafkala C, Choi J, Zafirakis P, Baltatzis S, Livir-Rallatos C, Rojas B, Foster
CS. Mooren ulcer: an immunopathologic study. Cornea. 2006 Jul 1;25(6):667-
73.
21. Basak SK. Essentials of Ophthalmology. Jaypee. 2016.p.187-8.
22. Denniston AK, Murray P, editors. Oxford Handbook of Ophthalmology. 4th Ed.
Oxford University Press. 2018.p.294.
23. Friedman NJ, Kaiser PK, Trattler WB, editors. Essentials of Ophthalmology.
3rd Ed. Elsevier. 2018.p.754-5.

25
PAPER NAMA : M. YAKUB ADIRA PUTRA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100092
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS USU

24. Yagci A. Update on peripheral ulcerative keratitis. Clinical Ophthalmology


(Auckland, NZ). 2012;6:747.
25. Zelefsky JR, Srinivasan M, Cunningham ET. Mooren’s ulcer. Expert Review
of Ophthalmology. 2011 Aug 1;6(4):461-7.

26

Anda mungkin juga menyukai