Anda di halaman 1dari 5

II.

PENDAHULUAN

Abu merupakan zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kandungan abu dan
komposisinya pada bahan pangan tergantung pada jenis bahan dan cara pengabuannya. Kadar abu suatu
bahan erat kaitannya dengan kandungan mineral bahan tersebut. Mineral yang terdapat dalam suatu
bahan dapat merupakan dua macam garam, yaitu garam organik dan garam anorganik. Contoh garam
organik yaitu asam mallat, asam oksalat, asetat, dan pektat. Sedangkan contoh garam anorganik yaitu
garam fosfat, karbonat, klorida, sulfat, dan nitrat. Selain kedua garam tersebut, mineral dapat juga
berbentuk senyawaan komplek yang bersifat organik, sehingga penentuan jumlah mineral dalam bentuk
aslinya sulit dilakukan. Oleh karenanya biasanya dilakukan dengan menentukan sisa-sisa pembakaran
garam mineral dengan pengabuan.

Penentuan konstituen mineral dalam bahan hasil pertanian dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
penentuan abu total dan penentuan individu komponen. Tujuan penentuan abu total biasanya
digunakan untuk beberapa hal, yaitu :

Menentukan baik tidaknya proses pengolahan

Mengetahui jenis bahan yang digunakan

Menentukan parameter nilai gizi bahan makanan

Penentuan abu total dapat dilakukan dalam dua cara, yaitu pengabuan langsung/ pengabuan kering dan
pengabuan tidak langsung/ pengabuan basah.

Pengabuan langsung / kering

Prinsip penentuan kadar abu adalah dengan mengkondisikan semua zat organik pada suhu yang tinggi,
yaitu sekitar 500-600oC, kemudian zat hasil pembakaran yang tertinggal ditimbang. Jumlah sampel yang
akan diabukan ditimbang sejumlah tertentu tergantung pada macam bahannya. Bahan yang
mengandung kadar air lebih tinggi, sebelum pengabuan dilakukan pengeringan pada bahan. Bahan yang
mengandung kandugan zat yang mudah menguap dan berlemak, pengabuannya dilakukan dengan suhu
rendah pada awal proses sampai hilangnya asam, kemudian suhu dinaikan sesuai yang dikehendaki.
Sedangkan bahan yang dapat membentuk buih selama dipanaskan, sebelumnya dilakukan pengeringan
dan ditambahkan zat anti buah seperti olive atau paraffin.

Bahan yang akan diabukan ditempatkan pada wadah khusus yaitu krus yang terbuat dari porselen, silica,
quartz, nikel atau platina dengan berbagai kapasitas (25-100 ml). Pemilihan krus ini disesuaikan dengan
bahan yang akan diabukan. Suhu pengabuan untuk setiap bahan berbeda-beda tergantung pada
komponen yang terkandung dalam bahan tersebut, mengingat terdapat beberapa komponen abu yang
mudah mengalami dekomposisi juga menguap pada suhu yang tinggi.

Pengabuan dilakukan dengan muffle (tanur) yang dapat diatur suhunya, apabila tidak tersedia dapat
menggunakan pemanas bunsen. Lama pengabuan tiap-tiap bahan berbeda, berkisar antara 2-8 jam.
Pengabuan dianggap selesai apabila diperoleh sisa pengabuan berwarna putih abu-abu dan memiliki
berat konstan. Penimbangan terhadap bahan dilakukan dalam suhu dingin, krus yang berisi abu
dipanaskan dalam oven bersuhu 105oC untuk menurunkan suhu krus, kemudian dimasukan ke
desikator.Pengabuan tidak langsung (pengabuan basah) Pengabuan basah digunakan untuk digesti
sampel dalam usaha penentuan trace element dan logam-logam beracun. Prinsip pengabuan cara basah
adalah dengan menambahkan reagen kimia tertentu ke dalam bahan sebelum dilakukan pengabuan.
Beberapa bahan kimia yang sering digunakan untuk pengabuan basah adalah :

Asam sulfat ditambahkan ke dalam sampel untuk membantu mempercepat terjadinya oksidasi

Campuran asam sulfat dan potasium sulfat digunakan untuk mempercepat dekomposisi sampel
Campuran asam sulfat dan asam nitrat digunakan unruk mempercepat proses pengabuan

Asam perkholat dan asam nitrat digunakan untuk bahan yang sangat sulit mengalami oksidasi.

Sebagaimana cara kering, setelah pengabuan bahan di muffle, krus dipanaskan dalam oven suhu 105oC,
dan selanjutnya dipindahkan ke desikator.

Perbedaan pengabuan cara kering dan cara basah yaitu :

Cara kering digunakan untuk penentuan abu total dalam suatu bahan pangan, sedangkan cara basah
digunakan untuk penentuan trace element Penentuan abu yang larut dan tidak larut dalam air serta abu
yang tidak larut dalam asam membutuhkan waktu rekalif lama apabila pengabuan dilakukan dengan cara
pengabuan kering, sedangkan pengabuan basah relatif lebih cepat.

Cara kering membutuhkan suhu relative tinggi, sedangkan pengabuan basah membutuhkan suhu relatif
rendah

Cara kering dapar digunakan untuk sampel yang relatif banyak, sedangkan cara basah sebaiknya sampel
yang diuji sedikit dan membutuhkan regensia yang merupakan bahan kimia cukup berbahaya.
IX. LAMPIRAN
LAPORAN HASIL PRAKTIKUM FITOKIMIA

PRAKTIKUM IV

ANALISIS KUANTITATIF PEMERIKSAAN KADAR ABU

Disusun Oleh :

Nama : Helsa Vania

Nim : 17.71.018703

Kelas : Farmasi A

Kelompok : II (Dua)

Mata Kuliah : Prak. Fitokimia

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI D-III FARMASI


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALANGKARAYA

Anda mungkin juga menyukai