Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN
Management jalan napas adalah tugas terpenting dari anestesiologi. Meskipun
banyak disiplin kedokteran yang menangani masalah jalan napas berdasarkan masalah
kegawatdaruratan, namun hanya beberapa yang bertanggung jawab atas rutinitas,
pertimbangan, pilihan dari keadaan intrinsik pasien terhadap kontrol pernapasan. Data
morbiditas dan mortilitas yang telah dipublikasikan menunjukkan di mana kesulitan
dalam menangani jalan napas dan kesalahan dalam tatalaksananya justru akan
memberikan hasil akhir yang buruk bagi pasien tersebut. (5)
Secara epidemiologi dari 359 intubasi sulit dihasilkan dari data yang dikumpulkan
secara retrospektif dari 4,742 catatan kasus anestesi pasien dewasa (2.392 laki-laki, 2.350
perempuan) yang menjalani anestesi umum untuk operasi rutin. Penilaian preoperatif
napas setiap pasien dilakukan dengan menggunakan pedoman standar. Panjang
mandibula, berat badan dan mobilitas rahang, kepala dan leher dievaluasi dengan
pengukuran sederhana. Kehadiran menonjol rahang atau gigi atas, tumor atau kista lidah,
mulut panjang dan sempit, otot leher pendek dan penyimpangan laring atau trakea
didasarkan pada pemeriksaan klinis dan / atau radiologis.(6)
Insiden intubasi sulit di UGD tidak dapat diekstrapolasi dari literatur anestesiologi.
Tampaknya masuk akal untuk mengharapkan bahwa sulit saluran udara akan lebih
sering di UGD daripada di ruang operasi, mengingat kebutuhan mendesak untuk
prosedur dan kurangnya persiapan pasien. Ketika menilai seorang pasien membutuhkan
dukungan saluran napas, dokter spesialis emergensi pertama-tama harus berusaha untuk
mengidentifikasi petunjuk klinis yang menunjukkan adanya kesulitan jalan nafas. (5)
Faktor risiko yang telah berkorelasi dengan ukuran relatif lidah ternyata memiliki
probabilitas rendah dan tingkat kesulitan intubasi. Faktor risiko yang paling penting
adalah gerakan rahang. Gondok endemik Besar dan thalassemia merupakan RFS
berkontribusi sesekali untuk jalan nafas sulit dengan Nilai prediktif positif adalah masing-
masing 61,5% dan 40,9%. Kombinasi faktor risiko memiliki dampak kumulatif
berkontribusi terhadap tingkat kesulitan yang tinggi.(6)

BAB II

Refarat “Pengelolaan dengan Intubasi Sulit” SMF Ilmu Anastesi Page 1


TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
Secara makro anatomi, sistem respirasi dapat dibedakan menjadi 2 (dua) bagian
yaitu: pars konduktoria (saluran respirasi) dan pars respiratorius (alveolus). Pars
konduktoria tersusun atas: hidung → rongga hidung → pharynx → larynx →trachea
→ bronchus → bronchiolus. Pars konduktoria berfungsi sebagai saluran udara respirasi
dari atmosfer ke dalam alveoli. Epitel respirasi tersusun atas epitel kolumner (toraks)
bertingkat bersilia, dan diantaranya banyak terdapat sel goblet. (1)
2.1.1 Hidung
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang
dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya sehingga menjadi kavum nasi kanan dan
kiri. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior
dan superior.
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares
anterior, disebut sebagai vestibulum. Dinding medial rongga hidung adalah septum nasi.
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os
lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os etmoid,
konka inferior, lamina perpendikularius os palatum, dan lamina pterigoides medial. Pada
dinding lateral terdapat empat buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah
konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, yang lebih kecil lagi
konka superior, sedangkan yang terkecil ialah konka suprema dan konka suprema
biasanya rudimenter.
Dinding superior atau atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan
inferior, os nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid dan korpus os sfenoid.
Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui filamen -
filamen n.olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan
menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior.

Refarat “Pengelolaan dengan Intubasi Sulit” SMF Ilmu Anastesi Page 2


2.1.2 Faring

Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang
besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah serta terletak pada bagian anterior
kolum vertebra (Arjun S Joshi, 2011). Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus
menyambung ke esophagus .setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas, faring
berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan
rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan laring di bawah berhubungan
melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan esophagus. Panjang dinding
posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm; bagian ini merupakan bagian
dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput

Refarat “Pengelolaan dengan Intubasi Sulit” SMF Ilmu Anastesi Page 3


lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal Faring
terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring) (Arjun S Joshi, 2011).
Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir (mukosa blanket) dan otot
(Rusmarjono dan Bambang Hermani, 2007). (3)

Ruang pada bagian posterior rongga mulut dapat dibagi dalam nasofaring,
orofaring, dan hipofaring. Jaringan limfoid pada sekitar faring dapat mempersulit proses
intubasi dengan endotracheal tube karena jaringan tersebut menutupi jalan masuk. Otot
internal dari faring membantu proses menelan dengan mengangkat palatum. Sedangkan
otot eksternalnya merupakan otot konstriktor yang membantu mendorong makanan
masuk kedalam esophagus. Gerakan otot ini dapat mempengaruhi jalan masuk dari
endotracheal tube pada pasien yang akan dilakukan intubasi sadar ataupun pada pasien
yang teranestesi ringan. Persarafan sensorik dan motorik dari faring berasal dari Nervus
Kranial IX kecuali pada Muskulus Levator Veli Palatini yang dipersarafi oleh Nervus
Kranial V.
Penyumbatan jalan nafas dapat terjadi pada daerah faring. Ini terjadi pada saat
timbulnya pembengkakan yang akan membatasi masuknya udara. Penyumbatan tersebut
terjadi pada daerah Palatum Molle (Soft Palate) yang kemudian menepel pada dinding
nasofaring. Contoh lidah dapat jatuh kebelakang dan kemudian akan menyumbat jalan
nafas dengan menempel pada dinding posterior orofaring. Kondisi ini dapat terjadi pada
pasien yang tersedasi dan teranestesi ataupun pada pasien sewaktu tidur. Penyumbatan
terjadi akibat penurunan tonus otot dan penurunan fungsi lumen faring. Pada pasien yang
bernafas spontan, penurunan fungsi lumen jalan nafas dapat berhubungan dengan
meningkatnya frekuensi respirasi dan menghasilkan jumlah tekanan negatif yang besar

Refarat “Pengelolaan dengan Intubasi Sulit” SMF Ilmu Anastesi Page 4


dibawah tingkat obstruksi. Keadaan ini dapat menjadi lebih buruk dengan penyumbatan
yang timbul akibat adanya tekanan negatif yang menekan jaringan lunak ke daerah yang
kolaps. Permasalahan seperti ini terdapat pada pasien dengan obstuktive sleep apnea.
2.1.3. Laryng

Kartilago laring terbagi atas 2 (dua) kelompok, yaitu :


a. Kelompok kartilago mayor, terdiri dari :
 Kartilago Tiroidea, 1 buah
 Kartilago Krikoidea, 1 buah
 Kartilago Aritenoidea, 2 buah
b. Kartilago minor, terdiri dari :
 Kartilago Kornikulata Santorini, 2 buah
 Kartilago Kuneiforme Wrisberg, 2 buah
 Kartilago Epiglotis, 1 buah (Ballenger, 1993) (2)
2.1.4. Trakea
Trakea merupakan tabung berongga yang disokong oleh cincin kartilago. Trakea
berawal dari kartilago krikoid yang berbentuk cincin stempel dan meluas ke anterior pada
esofagus, turun ke dalam thoraks di mana ia membelah menjadi dua bronkus utama pada
karina. Pembuluh darah besar pada leher berjalan sejajar dengan trakea di sebelah lateral
dan terbungkus dalam selubung karotis. Kelenjar tiroid terletak di atas trakea di sebelah
depan dan lateral. Ismuth melintas trakea di sebelah anterior, biasanya setinggi cincin
trakea kedua hingga kelima. Saraf laringeus rekuren terletak pada sulkus trakeoesofagus.
Di bawah jaringan subkutan dan menutupi trakea di bagian depan adalah otot-otot supra
sternal yang melekat pada kartilago tiroid dan hyoi.(4)

Refarat “Pengelolaan dengan Intubasi Sulit” SMF Ilmu Anastesi Page 5


2.1.5 Bronkus
Bronkus merupakan struktur dalam mediastinum, yang merupakan percabangan
dari trakea. Bronkus kanan lebih pendek, lebar dan lebih dekat dengan trakea. Setiap
bronkus kanan lebih pendek, lebar dan lebih dekat dengan trakea. Setiap bronkus primer
bercabang membentuk bronkus sekunder dan tersier dengan diameter yang semakin
mengecil dan menyempit, batang atau lempeng kartilago menggannti cincin kartilago.
Bronkus kanan kemudian menadi lobus superior, lobus medius dan inferior(4)

2.2 Intubasi
Intubasi trakea adalah tindakan memasukan pipa trakea ke dalam trakea melalui
rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea.(9)
2.2.1 indikasi intubasi trakea
a) menjaga potensi jalan napas oleh sebab apapun misalnya kelainan anatomi,
bedah khusus, bedah posisi khusus, pembersihan secret jalan napas dan lain-
lainnya,
b) mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi misalnya saat resusitasi,
memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien, ventilasi jangka panjang.
c) pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi.
2.2.2 Prinsip Intubasi
a. Jalur intravena yang adekuat
b. Obat‐obatan yang tepat untuk induksi dan relaksasi otot
c. Pastikan alat suction tersedia dan berfungsi
d. Peralatan yang tepat untuk laringoskopi termasuk laryngoskop dengan blade
yang tepat, ETT dengan ukuran yang diinginkan, jelly, dan stylet
e. Pastikan lampu laringoskop hidup dan berfungsi serta cuff ETT berfungsi
f. Sumber oksigen, sungkup dengan ukuran yang tepat, ambu bag dan sirkuit
anestesi yang berfungsi

Refarat “Pengelolaan dengan Intubasi Sulit” SMF Ilmu Anastesi Page 6


g. Monitor pasien termasuk elektrokardiografi, pulse oksimeter dan tekanan
darah noninvasive
h. Tempatkan pasien pada posisi Sniffing Position selama tidak ada
kontraindikasi
i. Alat‐alat untuk ventilasi
j. Alat monitoring karbon dioksida untuk memastikan ETT dalam posisi yang
tepat.

Gambar 1 Proyeksi Saluran Napas5

Beberapa hal utama untuk mempersiapkan tindakan untuk membantu intubasi pada
pasien dengan anatomi jalan nafas normal adalah fleksi dari leher, cervical bawah dan
ekstensi dari kepala pada sendi Atlantooccipital. Posisi ini sering disebut sebagai
“Sniffing Position” dan ini adalah cara yang terbaik untuk mengerti mengenai tiga

Refarat “Pengelolaan dengan Intubasi Sulit” SMF Ilmu Anastesi Page 7


bagian sudut utama pada jalan nafas. Pada jalan nafas orang dewasa, Sudut panjang dari
mulut terletak horizontal, pararel dengan lantai pada keadaan berdiri. Sudut panjang dari
faring terletak hampir vertical. Sedangkan sudut panjang laring terletak vertical dari
arah posterior ke anterior. Penjajaran dari ketiga sudut ini menyebabkan pita suara dapat
terlihat dari mulut. Pasien dengan keterbatasan pergerakan cervical akan menyebabkan
intubasi sulit karena adanya keterbatasan posisi anterior dari laring.(7)
Difucult airway terdiri dari dificut ventilasi dan difficult intubasi dimana Difficult
Ventilation adalah Ketidakmampuan menjaga SO2 >90% saat ventilasi dengan
menggunakan masker wajah, dan O2 inspirasi 100%, dengan ketentuan bahwa tingkat
saturasi oksigen ventilasi pra masih dalam batas normal. Sedangkan Difficult Intubation
adalah suatu keadaan intubasi yang Dibutuhkannya > 3 kali usaha intubasi atau usaha
intubasi yang terakhir > 10 menit.
2.3 Penatalaksanaan Intubasi Jalan Napas Sulit (8)
Persiapan yang adekuat untuk menangani pasien dengan jalan nafas yang sulit
membutuhkan pengetahuan dan juga perlengkapan yang tepat. Pengetahuan yang
dibutuhkan untuk penanganan pasien ini adalah pengetahuan lanjutan yang sama untuk
penatalaksanaan semua pasien, kecuali adanya beberapa tambahan tertentu. ASA sudah
menetukan beberapa tambahan secara algoritma untuk penatalaksanaan jalan nafas sulit.
Algoritma tersebut adalah:
2.3.1 Algoritma ASA
1. Menentukan gejala dan manifestasi klinik dari penatalaksanaan masalah dasarnya :
a. Kesulitan dengan kerjasama dan persetujuan pasien
b. Ventilasi masker sulit
c. Kesulitan menempatkan SGA
d. Laringoskopi sulit
e. Akses jalan nafas pembedahan sulit
2. Secara aktif mencari kesempatan untuk menangani kasus-kasus penatalaksanaan jalan
nafas sulit.
3. Mempertimbangkan kegunaan dan hal-hal dasar yang mungkin dilakukan sebagai
pilihan penatalaksanaan :
A. Intubasi sadar versus intubasi setelah induksi pada GA.
B. Pendekatan tehnik intubasi non invasif versus pendekatan tehnik intubasi invasif.

Refarat “Pengelolaan dengan Intubasi Sulit” SMF Ilmu Anastesi Page 8


C. Laringoskopi yang dibantu video sebagai pendekatan awal intubasi
C. Pemeliharaan ventilasi spontan versus ablasi ventilasi spontan.
4. Membuat strategi utama dan alternatifnya.
Algoritme ASA bertindak sebagai model pendekatan terhadap kesulitan jalan nafas
bagi perawat anestesi, dokter gawat darurat dan tenaga diluar rumah sakit, juga ahli
anestesi. Walaupu algoritme banyak menjelaskan tentang algoritme. Satu pernyataan
pada dokumen ini mensimpulkan kesulitan menulis dan merekomendasikan manajemen
pada kesulitan jalan nafas: “ Kesulitan jalan nafas mewakili interaksi yang kompleks
antara factor pasien, keadaan klinis dan ketrampilan personel.
Jalan masuk algoritma dimulai dengan evaluasi jalan nafas. Walaupun terdapat
beberapa pertentangan seperti metode dan indeks nilai yang dievaluasi, klinisi harus
menggunakan seluruh data yang ada dan pengalaman klinis sendiri untuk mencapai
penilaian umum sebagai kesulitan jalan nafas pasien dalam hal laringoskopi dan intubasi,
tehnik ventilasi supraglotik, resiko aspirasi atau toleransi apnu.
Evaluasi ini harus mengarahkan klinisi untuk memasuki algoritme ASA pada satu dari
dua poin dasar : A-“awake intubation”, atau B- usaha intubasi setelah induksi anestesi
umum. Hal ini menyoroti penamaan yang salah tidak hanya untuk kesulitan jalan nafas,
tapi relevan terhadap seluruh keadaan dimana jalan nafas ditangani. Kotak B
menggambarkan pendekatan yang diambil pada kebanyakan intubasi trakea ( dan dapat
diterapkan untuk masker wajah-dan SGA-pasien).

Refarat “Pengelolaan dengan Intubasi Sulit” SMF Ilmu Anastesi Page 9


Keputusan untuk memasuki algoritme via kotak A atau B merupakan suatu
premanajemen. Kotak A dipilih bila kesulitan jalan nafas diantisipasi, sedangkan kotak

Refarat “Pengelolaan dengan Intubasi Sulit” SMF Ilmu Anastesi Page 10


B untuk situasi dimana kesulitan jalan nafas tidak diantisipasi. Keputusan ini dapat
disaring pada penekanan perkembangan SGA. Takenaka, mempertanyakan kebutuhan
untuk memasuki kotak ASA DAA saat SGA dipertimbangkan berguna walaupun
kesulitan jalan nafas pada intubasi laringoskopi trakea sudah diantisipasi. Ini sudah lebih
jauh digambarkan ke dalam jalur keputusan reoperatif oleh Rosenblatt. Pilihan yang
ditekankan dari panduan praktis ASA, sangat tergantung pada ketrampilan dan
pengalaman klinisi. Rincian ASA dapat disimpulkan di sini:
1. Apakah dibutuhkan pengendalian jalan nafas? Tidak masalah seberapa rutin
sedasi atau anestesi umum mempunyai potensi mengakibatkan pasien apnu,
sebaiknya selalu dipertimbangkan secara serius dan alternatifnya harus
dipertimbangkan.
2. Akankah laringoskopi langsung akan sulit? Jika terdapat indikasi dimana
laringoskopi langsung akan sulit (berdasarkan pemeriksaan fisik dan riwayat),
klinisi dapat melakukan dengan dengan teknik lain (induksi, laringoskopi
langsung, LMA, dll)bila sesuai klinis. Ini adalah esensi dari kotak B ASA-DAA.
3. Dapatkah ventilasi SGA digunakan? Jika klinisi merasa bahwa terdapat suatu
alasan fisik bahwa ventilasi SGA (dengan facemask, LMA, atau alat yang lain)
akan sulit, suatu titik “tidak dapat diintubasi/tidak dapat diventilasi)” (CNI/CNV)
telah dicapai. Karena ini merupakan algoritme preoperative, kotak A ASA-DAA
dipilih
4. Apakah terdapat resiko aspirasi? Seperti dibicarakan di awal, pasien dengan
resiko aspirasi bukan kandidat untuk pengunaan SGA elektif. Suatu titik waktu “
tidak dapat diintubasi/seharusnya tidak diventilasi” telah dicapai dan kotak ASA-
DAA dipilih.
5. Akankah pasien mentoleransi suatu periode apnu? Pertanyaan 3 dari daftar ini
sulit dijawab dan sangat sangat tergantung pada ketrampilan dan pengalaman
klinisi. Bila intubasi gagal, dan ventilasi tidak adequate, kemampuan pasien untuk
mempertahankan saturasi oksigen akan ditentukan kemampuannya untuk
mentoleransi periode apnu. Faktor seperti usia, obesitas, status pulmo, komsumsi
oksigen abnormal ( mis, demam), dan pilihan obat induksi akan mempengaruhi
ini.

Refarat “Pengelolaan dengan Intubasi Sulit” SMF Ilmu Anastesi Page 11


Pengecualian nya yaitu pasien yang tidak dapat bekerjasama karena retardasi
mental, intoksikasi, kecemasan, penurunan derajat kesadaran, atau usia. Pasien ini
mungkin masih memasuki kotak A, tetapi intubasi “awake” mungkin membutuhkan
modifikasi teknik yang mempertahankan ventilasi spontan (cth, induksi inhalasi)
Pada kebanyakan keadaan, intubasi “awake” berhasil jika pendekatan dengan
perhatian dan kesabaran. Jika intubasi “awake” gagal, klinisi memiliki sejumlah pilihan.
Pertama, dapat dipertimbangkan pembatalan pembedahan. Pada situasi ini. Peralatan atau
personil khusus dapat dikumpulkan untuk kembali ke ruang operasi. Jika pembatalan
tidak dipilih, dapat dipertimbangkan teknik anestesi regional, atau, jika situasi
membutuhkan, jalan nafas bedah (mis, trakeostomi) dapat diilih.
Keputusan untuk melanjutkan dengan anestesi regional karena jalan nafas telah
dinilai atau terbukti sulit untuk ditangani harus dipertimbangkan dalam hal resiko dan
benefit. ASA-DAA benar-benar berguna pada jalan nafas sulit yang tidak diantisipasi
(kotak B, tidak dapat diintubasi dengan laringoskopi langsung setelah induksi anestesi).
Jika obat induksi (dengan atau tanpa pelemas otot) telah diberikan dan jalan nafas tidak
dapat dikendalikan, keputusan manajemen vital harus dibuat secara cepat. Secara tipikal,
klinisi telah mencoba laringoskopi langsung dan intubasi setelah anestesi ventilasi
“mask” yang berhasil atau gagal (kecuali induksi cepat sedang dilakukan). Bahkan jika
saturasi oksigen pasien tetap adequate dengan usaha ini, jumlah usaha laringoskopi
sebaiknya dibatasi hingga tiga kali. Seperti didiskusikan di awal, trauma jaringan lunak
dapat terjadi akibat laringoskopi multipel, yang memperburuk keadaan. Pertama, ventilasi
“mask” sebaiknya dilakukan. Jika “facemask” adekuat, jalur nonemergensi ASA-DAA
dimasuki. Klinisi kemudian dapat berubah teknik ke yang paling nyaman dan/atau cocok
untuk melakukan intubasi jika dibutuhkan. Ini dapat termasuk, tapi tidak dibatasi, oral
“blind” atau intubasi nasal; intubasi yang difasilitasi dengan bronkoskop fiberoptik,
LMA, LMA-Fastrach, bougie, lighted stylet, atau retrograde wire; atau jalan nafas bedah.
(Paling luas diterapkan pada prosedur ini, juga teknik baru, didiskusikan di skenario klinis
pada bagian selanjutnya bab ini). Jika ventilasi masker gagal, algoritma menyarankan
ventilasi supraglotis melalui LMA. Jika berhasil, jalur nonemergensi ASA-DAA telah
dimasuki lagi dan teknik alternative intubasi trakea dapat digunakan, jika dibutuhkan
(mis, mungkin ventilasi LMA adekuat untuk situasi klinis).

Refarat “Pengelolaan dengan Intubasi Sulit” SMF Ilmu Anastesi Page 12


Bila ventilasi LMA gagal mempertahankan pasien, jalur emergensi dimasuki. ASA-
DAA menyarankan penggunaan Esophageal-Tracheal Combitube, rigid bronkoskopi,
oksigenasi transtrakeal, atau jalan nafas bedah.
Pada suatu waktu, keputusan untuk membangunkan pasien sebaiknya
dipertimbangkan berdasarkan adekuasi ventilasi, resiko aspirasi, dan resiko
memelakukan percobaan intubasi atau prosedur pembedahan.
Pemposisian LMA kedalam algoritme (pada publikasi ulang tahun 2003) berdasar
pada lebih dari 12 tahun penggunaan klinis di Amerika (dan lebih dari 20 tahun
pengalaman di seluruh dunia). Relatif sedikit kasus kegagalan LMA dalam menghadapi
situasi“CNI/CNV” telah dilaporkan. Tiga kategori berperan pada kegagalan ini: sudut
oral-faring akut, sumbatan pada level hipofaring, sumbatan di bawah liptan fokal.
Sebaliknya banyak kasus penyelamatan dengan LMA pada jala nafas gagal telah
dilaporkan. Walau studi control jarang, Parmer mencatat bahwa seluruh kasus CNI/CNV
(dengan pengecualian sumbatan subglotis iatrogenic) terjadi pada periode 2 tahun pada
satu rumah sakit diselamatkan dengan LMA.
2.3.2. 3 “P” Prediksi, Preparasi. Dan Practice.

Secara sederhana, penatalaksanaan pasien dengan kesulitan jalan nafas dapat diatasi
dengan tiga “P” yaitu :
 Prediksi.
 Preparasi.
 Practice.
2.3.2.1 Prediksi
Mengetahui kondisi pasien dengan resiko anatomi jalan nafas sulit akan membuat
dokter anestesi dapat mempertimbangkan berbagai pilihan cara penatalaksanaan jalan
nafas beserta dengan persiapan-persiapannya. Hal ini penting karena pada beberapa
tehnik yang dilakukan akan sulit dilakukan jika terjadi perdarahan pada jalan nafas, dan
beberapa pasien bahkan menjadi apneu yang kemudian berpotensi menjadi hipoksia saat
dilakukan induksi anestesi. Beberapa cara umum yang dapat dipakai untuk memprediksi
adanya intubasi sulit atau tidak yaitu dengan pemeriksaan fisik. Yang utama adalah
mengevaluasi tes prediksi karena dibutuhkan beberapa klarifikasi.
Cara pemeriksaan prediksi yang pertama adalah tes malampati. Tes ini
mengevaluasi apa yang terlihat pada saat pasien membuka mulut dilihat apakah uvula

Refarat “Pengelolaan dengan Intubasi Sulit” SMF Ilmu Anastesi Page 13


dan faring posterior tampak. Ada beberapa cara dalam melaksanakan tes malampati
yaitu dengan duduk atau terlentang dan dengan atau tanpa fonasi. Pada jurnal-jurnal
akhir-akhir ini tes malampati akan lebih sensitif jika dilakukan tanpa fonasi baik
terlentang atau duduk. Semakin tinggi hasil tes malampati maka semakin sulit dilakukan
intubasi.

Gambar 2 Diagram Tes Malampati

Kesulitan intubasi dikatakan dapat terjadi bila seorang dokter anestesi tidak
dapat memasukan endotracheal tube pada waktu dan cara yang tepat. Dapat dikatakan
bahwa dibutuhkan lebih dari satu kali percobaan untuk melakukan intubasi.
Bagaimanapun juga sulit intubasi dapat dihubungkan dengan derajat terlihat atau
tidaknya penglihatan dari laringoskop.

Gambar 3 Diagram Laryngoskop

Dikatakan sulit intubasi apabila pada penglihatan terlihat derajat III atau IV.
Derajat I : Pita suara terlihat.
Derajat II : Hanya sebagian pita suara terlihat.
Derajat III : Hanya epiglottis yang terlihat.
Derajat IV : Epiglottis tidak terlihat samasekali.
Pada penelitian sebelumnya sudah ada perbandingan macam-macam tes untuk
memprediksi cara-cara terbaik untuk menetukan intubasi sulit. Ada berbagai faktor yang
harus dievaluasi dalam memeriksa pasien untuk dilakukannya intubasi endotracheal.

Refarat “Pengelolaan dengan Intubasi Sulit” SMF Ilmu Anastesi Page 14


Riwayat Pasien: Kebanyakan pasien tidak mengetahui riwayat intubasi sebelumnya
jika pada pasien tersebut saat dilakukan intubasi sebelumnya tidak memiliki kesulitan
intubasi. Tetapi bagaimanapun juga pasien yang memiliki riwayat intubasi yang sulit
yang sudah diketahui oleh pasien tersebut kemungkinan besar akan mengalami intubasi
sulit terus.
Kondisi-kondisi yang dapat menimbulkan intubasi sulit adalah:
 Sindrome congenital, termasuk Sindrom Down, Goldenhar, Treacher Collins,
Pierre Robin dan Mucopolysacharidoses, dll.
 Penyakit Tulang, termasuk Rheumatoid Arthritis, Ankylosing Spondylitis, Fiksasi
atau Fraktur Mandibula, Ankylosis sendi Temporomandibular.
 Kelainan Jaringan Lunak, termasuk Obesitas, Tumor, Hemangioma, Abses, Infeksi
Jalan Nafas seperti Epiglotitis, Perdarahan.
 Trauma pada wajah dan leher, luka bakar, perubahan-perubahan post operasi
termasuk bekas luka, perubahan akibat radiasi.
 Bentuk gigi: Gigi Insisivus depan yang menonjol dapat mempersulit melihat laring
selama dilakukannya intubasi, perhatian khusus diberikan pada pasien yang
memiliki gigi yang terbelah yang dapat memuat bilah laringoskop.
 Pergerakan sendi temporomandibular: Dapat dinilai dari bukaan mulut yang
kemudian ditentukan dengan mengukur jarak interincisor dan kemampuan untuk
prognasi. Jarak Interincisor paling tidak harus muat untuk dilewati bilah standar
laringoskop.
 Derajat Orofaringeal: lebih umum disebut sebagai derajat Mallampati; Dilakukan
evaluasi dengan membuka mulut agar terlihat faring. Penilaian dari derajat 3-4
adalah merupakan kemungkinan besar akan terjadi intubasi sulit (Gambar 15).
 Lebar palatum: Pasien dengan palatum yang panjang dan dangkal memiliki anatomi
jalan nafas yang sulit.
 Jarak thyromental: adalah jarak dari sumbu anterior mandibula sampai dengan
puncak kartilago thyroid. Semakin pendek maka anterior laring akan semakin
terlihat.
 Luas ruang mandibula: adalah faktor yang penting untuk dievaluasi, selama intubasi
lidah dan jaringan lunak lain didasar mulut akan terdorong ke anterior ke ruang
mandibula dan menyebabkan akan terlihatnya laring. Pasien dengan ruang

Refarat “Pengelolaan dengan Intubasi Sulit” SMF Ilmu Anastesi Page 15


mandibula yang kecil seperti pada pasien obesitas atau pasien dengan infeksi akan
mempersulit untuk terlihatnya laring selama intubasi.
 Lemak tubuh juga harus dievaluasi terutama lemak pada daerah leher yang tebal
dan luas serta kelainan anatomi lain yang membuat pergerakan kepala menjadi
terbatas seperti tumpukan lemak diantara scapula.
 Pergerakan leher dinilai berdasarkan pergerakan fleksi dan ekstensinya. Pergerakan
kepala pada persendian atlantooccipital dinilai juga. Pergerakan yang terbatas pada
sendi ini akan membuat laring terlihat ke anterior.
Penilaian tes-tes tersebut telah dilakukan di semua literatur. Semakin banyak faktor
yang dinilai, maka semakin akurat hasil prediksi untuk penatalaksanaan pasien dengan
jalan nafas sulit. Semakin banyak hasil prediksi negatif dari pemeriksaan tersebut maka
kemungkinan adanya kesulitan anatomi jalan nafas akan semakin tinggi. Jika semua
faktor penilaian anatomi jalan nafas adalah normal maka tingkat kesulitan untuk intubasi
akan semakin rendah.
2.3.2.2 Preparasi
Untuk menghadapi pasien intubasi jalan napas yang sulit harus mempersiapkan
beberapa alat untuk menunjang keberhasilan dari intubasi. Alat yang disiapkan hampir
sama dengan intubasi normal dengan tambahan beberapa alat sebagai berikut.
a. Specialized forcep

Gambar 4 Specialized Forcep untuk Intubasi

Merupakan forcep yang khusus digunakan untuk membantu pemasangan retrograde


intubation. Bisa juga dipakai untuk meretraksi lidah pada saat pemasangan intubasi
fiberoptic.
b. Airway Exchange Catheter

Refarat “Pengelolaan dengan Intubasi Sulit” SMF Ilmu Anastesi Page 16


Gambar 5 Airway Exchange Catheter

Kateter ini membantu proses oksigenasi dan membantu memantau jumlah karbon
dioksida selama pemasangan endotracheal tube. Dapat digunakan bersama dengan “Jet
Ventilation” untuk meningkatkan oksigenasi selama pemasangan endotracheal tube.
c. Fiberoptic Laryngoscope
Fiberoptic Bronchoscopic Intubation (FBI) menggunakan bronchoscopes flexible
untuk intubasi. Banyak perusahaan sudah membuat scopes untuk intubasi dengan
bentuk lebih panjang dan lebih kecil diameternya dari ukuran standard diagnostic
bronchoscopes. Keuntungan dari FBI termasuk: Endotracheal tube masuk ke trakea
dengan penglihatan langsung melalui scope, Tidak terbatas pada ukuran besar pasien
karena scope-nya memiliki berbagai macam ukuran, Untuk kepentingan terapi seperti
penempatan bronchial blockers dan double lumen endotracheal tube, Selain itu dapat
digunakan juga untuk mengangkat sekret dari bronkus.

Gambar 6 Fiberoptik Laryngoscope dengan Macintosh Blade dan Fiberoptik


untuk bronchoskopi

Refarat “Pengelolaan dengan Intubasi Sulit” SMF Ilmu Anastesi Page 17


d. Laryngeal Mask Airway

Gambar 7 Bagian-bagian LMA

LMA dapat membantu mengubah kondisi pasien yang tidak bisa diventilasi
menjadi bisa diventilasi. LMA menjadi salah satu cara intubasi aman pada jalan nafas
alternatif pasien sadar atau juga dengan trakeostomi. Bagaimanapun juga bila ventilasi
sudah dapat diyakinkan maka tehnik jalan nafas yang lain dapat dilakukan dengan aman.
The Intubating Laryngeal Mask Airway (ILMA) adalah salah satu perlengkapan untuk
penatalaksanaan pasien dengan anatomi jalan nafas sulit. Penempatan endotracheal tube
dapat dilakukan dengan baik pada hampir semua pasien dengan alat ini, bahkan pada
percobaan intubasi pertama. Penggunaan ILMA harus dipertimbangkan pada
penanganan awal pasien dengan anatomi jalan nafas sulit yang tidak diduga karena
dapat membantu mengendalikan jalan nafas pasien. Jika ILMA tidak tersedia, maka
LMA masih dapat digunakan untuk membantu intubasi pasien, sebagai blind intubasi
atau dengan airway exchange catheters atau dengan fiberoptic bronchoscopes.9
e. Cook Retrograde Intubation Kit

Gambar 8 Isi dari Cook Retrograde Intubation Kit

Refarat “Pengelolaan dengan Intubasi Sulit” SMF Ilmu Anastesi Page 18


Merupakan paket alat untuk melaksanakan intubasi retrograde. Diesdiakan mulai dari
jarum, guide wire, sampai stylet khusus untuk mencegah jarum tertinggal pada trachea.9
2.3.2.3 Praktek
Teknik-teknik Intubasi Jalan Napas Sulit
a. Pemasangan Fiber Optic Intubation

Gambar 9 Skema Fiberoptic Intubation

Teropong atau scope diletakan ditengah diantara kedua tangan agar pergerakan dari
teropong dapat sesuai kearah yang kita gerakan. Memasukan scope ke faring diusahakan
agar posisinya tetap di garis tengah. Struktur pada jalan nafas atas harus dikenali; maju
8-10 cm. ujung scope digerakan ke atas/anterior kemudian diflexikan untuk melihat
laring, kemudian scope diputar ke distal dan diposisikan di tengah didepan pita suara.
Untuk melewati pita suara ujung dari scope dikembalikan ke posisi semula agar dapat
masuk ke trakea. Kemudian posisikan scope diatas karina tanpa menyentuhnya karena
dapat menyebabkan bronkospasme dan batuk. Masukan endotracheal tube ke dalam
trakea dengan tampilan gambar di scope tetap pada karina. Jangan
memaksakan/memasukan endotracheal tube dengan kekerasan karena dapat
menyebabkan kerusakan pada jalan nafas ataupu pada scope.
b. Pemasangan Laryngeal Mask Airway Menurut Brain

Gambar 10 Skema Pemasangan Laryngeal Mask Airway Menurut Brain

Refarat “Pengelolaan dengan Intubasi Sulit” SMF Ilmu Anastesi Page 19


1. Kaf harus dikempeskan maksimal dan benar sebelum dipasang. Pengempisan harus
bebas dari lipatan dan sisi kaf sejajar dengan sisi lingkar kaf.
2. Oleskan jeli pada sisi belakang LMA sebelum dipasang. Hal ini untuk menjaga agar
ujung kaf tidak menekuk pada saat kontak dengan palatum. Pemberian jeli pada sisi
depan akan dapat mengakibatkan sumbatan atau aspirasi, karena itu tidak
dianjurkan.
3. Sebelum pemasangan, posisi pasien dalam keadaan “air sniffing” dengan cara
menekan kepala dari belakang dengan menggunakan tangan yang tidak dominan.
Buka mulut dengan cara menekan mandibula kebawah atau dengan jari ketiga
tangan yang dominan.
4. LMA dipegang dengan ibu jari dan jari telunjuk pada perbatasan antara pipa dan
kaf.
5. Ujung LMA dimasukkan pada sisi dalam gigi atas, menyusur palatum dan dengan
bantuan jari telunjuk LMA dimasukkan lebih dalam dengan menyusuri palatum.
6. LMA dimasukkan sedalam-dalamnya sampai rongga hipofaring. Tahanan akan
terasa bila sudah sampai hipofaring.
7. Pipa LMA dipegang dengan tangan yang tidak dominan untuk mempertahankan
posisi, dan jari telunjuk kita keluarkan dari mulut penderita. Bila sudah
berpengalaman, hanya dengan jari telunjuk, LMA dapat langsung menempati
posisinya.
8. Kaf dikembangkan sesuai posisinya.
9. LMA dihubungkan dengan alat pernafasan dan dilakukan pernafasan bantu. Bila
ventilasi tidak adekuat, LMA dilepas dan dilakukan pemasangan kembali.
10. Pasang bite – block untuk melindungi pipa LMA dari gigitan, setelah itu lakukan
fiksasi
c. Intubasi Retrograde

Refarat “Pengelolaan dengan Intubasi Sulit” SMF Ilmu Anastesi Page 20


Gambar 11 Skema Tata Cara Retrograde Intubation
Jalan masuk dari endotracheal tube dapat dibantu oleh guide wire melalui insisi
membrane krikotiroid menuju jalan nafas atas dengan cara retrograde. Tehnik ini dapat
dipergunakan dengan menggunakan alat Bantu yang sudah disediakan dalam kotak
perlengkapan yang tersedia (Cook Retrograde Kit). Dengan latihan, tehnik ini dapat
dilakukan dengan jangka waktu yang tidak lama.
Intubasi Kawat Retrograde (Retrograde Wire Intubation / RWI) meliputi penarikan
antegrade atau membimbing ETT kedalam trachea menggunakan kawat atau kateter
yang sudah dimasukkan ke trachea melewati lubang kecil perkutan melalui membran
cricothyroid atau membran cricotracheal dan secara buta dimasukkan retrograde ke
dalam Larynx, hypopharynx, pharynx dan keluar dari mulut atau hidung. Intubasi
retrograde pertama kali dilakukan pada 1960 oleh Butler dan Cirillo, dengan
penempatan kateter uretra berwarna merah melalui trakeostomi sebelumnya, naik
melalui laring dan keluar melalui mulut.
Intubasi retrograde dari jalan nafas dilakukan pada pasien pada posisi duduk
dengan penempatan perkutan dari kateter no.18 melalu cricothyroid menggunakan
larutan saline dengan 10 ml syringe untuk mendeteksi udara yang berhubungan
dengan jalan masuk tracheal. (setelah anestesi lokal inisial infiltrasi pada kulit diatas
membrane). Jarumnya diposisikan diatas membran mid-cricothyroid dengan sudur
45odari dada. Setelah dilakukan aspirasi udara bebas, lapisan Teflon dari kateter
dimasukkan kedalam trachea. Kawat pembimbing radiology dengan diameter 0,035
inchi dan panjang 110 inchi dimasukkan melalui kateter sampai ujung proksimalnya
muncul dari mulut. ETT 7,0 ditempatkan pada kawat dan dibimbing ke dalam
trachea. Kawatnya di keluarkan dengan mendorongnya ke lubang kecil perkutan dan

Refarat “Pengelolaan dengan Intubasi Sulit” SMF Ilmu Anastesi Page 21


menariknya dariujung proksimal saluran trachea. Auskultasi suara nafas pada
lapang paru sejalan dengan adanya tekanan positif dari ventilasi bantuan.
d. Ventilasi Transtracheal Jet
Dalam hubungannya dengan jalan nafas yang potensial, jet ventilation masuk
kedalam trakea dengan menembus membran krikotiroid yang kemudian akan
memberikan ventilasi yang adekuat pada pasien yang tidak mungkin untuk
dilakukannya intubasi. Jet ventilation membutuhkan sumber gas dengan tekanan yang
tinggi agar dapat berfungsi efektif, seperti flush gas dari mesin anestesi atau dari katup
sumber gas oksigen yang terdapat di dinding. Transtrcheal Jet Ventilation dapat menjadi
penyelamat hidup namun harus dilihat juga sebagai salah satu jembatan untuk
melakukan penatalaksanaan jalan nafas alternative. Ada beberapa resiko terhadap tehnik
ini yaitu diantaranya adalah barotrauma dan emfisema subkutis.

Gambar 12 Skema Trans Tracheal Jet

Kateter intravena 12,14 atau 16 dengan syringe 5 ml atau lebih, kosong atau
terisi sebagian (anestesi saline atau lokal), harus digunakan untuk memasuki jalan
napas. Pasien dalam posisi supinasi, dengan kepala pada midline atau ekstensi terhadap
leher dan thorak (jika tidak kontraindikasi oleh situasi klinis). Setelah persiapan aseptik,
anestesi lokal disuntikkan diatas membran krikotiroid (jika pasien sadar dan waktu
memungkinkan). Tangan kanan klinisi berada pada sisi kanan pasien, menghadap
kearah kepala. Klinisi dapat menggunakan tangan non dominan untuk menstabilkan
laring. Jarum kateter dimasukkan pada sudut tepat di kauda ketiga membran. Sejak saat
punksi kulit aspirasi syringe harus konstan. Aspirasi yang bebas dari udara
menunjukkan telah memasuki trakhea. Jarum kateter harus dilepaskan, dan hanya
kateter yang memasuki jalan napas. Walaupun teknik ini telah dijelaskan dengan

Refarat “Pengelolaan dengan Intubasi Sulit” SMF Ilmu Anastesi Page 22


angiokateter, peralatan yang terbuat dari material kink-resistant dan dengan asesori port
telah ada.
e. Trakeostomi

Gambar 13 Skema Tracheostomi

Pada beberapa pasien trakeostomi harus dilakukan sebagai jalan nafas alternatif,
kadang juga dilakukan pada pasien yang sadar. Pendekatan pembedahan ini merupakan
salah satu cara agar pasien dapat diventilasi.
f. Intubasi Pada Kasus Khusus “Cedera Cervical”

Gambar 14 Skema Intubasi pada Pasien dengan Cedera Cervikal

Intubasi Pada cedera leher dilakukan dengan cara satu orang menahan kepala
dengan kuat pada backboard, biarkan collar cervical tidak termanipulasi. Pastikan
bahwa baik kepala maupun leher tidak bergerak saat dilakukan laryngoskop dan
intubasi. Orang kedua memberikan tekanan pada tulang rawan cricoid dan orang ketiga
melakukan laryngoskopi dan intubasi.

BAB III

Refarat “Pengelolaan dengan Intubasi Sulit” SMF Ilmu Anastesi Page 23


PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Difficult airway didefinisikan sebagai situasi dimana anaestesiologis terlatih
konvensional mengalami kesulitan dengan ventilasi masker atau keduanya.. Difficult
airway merupakan interaksi yang kompleks antara faktor pasien, kondisi klinis, dan
kemampuan dari dokter. Analisa pada interaksi ini membutuhkan pengumpulan dan
pengambilan kesimpulan data yang tepat.
Insiden intubasi sulit di UGD tidak dapat diekstrapolasi dari literatur anestesiologi.
Tampaknya masuk akal untuk mengharapkan bahwa sulit saluran udara akan lebih
sering di UGD daripada di ruang operasi, mengingat kebutuhan mendesak untuk
prosedur dan kurangnya persiapan pasien. Ketika menilai seorang pasien membutuhkan
dukungan saluran napas, dokter spesialis emergensi pertama-tama harus berusaha untuk
mengidentifikasi petunjuk klinis yang menunjukkan adanya kesulitan jalan nafas dan,
bila perlu, pilih perangkat alternatif. ini
Strategi dapat mencegah kerusakan pasien atau kematian yang disebabkan oleh
beberapa mencoba menggunakan metode standar. Perangkat alternatif dan teknik
termasuk yang laring mask airway, perangkat dual-lumen, introducers trakea, intubasi
transiluminasi, lingkup serat optik fleksibel, dan gaya semi-rigit.
Informasi penting dapat dikumpulkan oleh penilaian pra-operasi hati-hati melalui
sejarah, fisik
Pemeriksaan Fisik dan penyelidikan. Sebuah pertanyaan penting untuk bertanya pada
diri sendiri adalah apakah ventilasi oleh facemask mungkin akan sulit.
Difucult airway terdiri dari 2 kesulitan yakni difficult intubation dan difficult
ventilasi sehingga ASA mengeluarkan alogaritma yang dapat menjadi panduan praktis
apabila terjadi kesulitan intubasi yang terjadi meski masih ada beberapa pertentangan.
Dibutuhkan prediksi yang tepat, preparasi atau persiapan yang baik dalam hal alat ,
teknik dan pengetahuan agar dapat menangani kesulitan intubasi yang mungkin terjadi.

DAFTAR PUSTAKA

Refarat “Pengelolaan dengan Intubasi Sulit” SMF Ilmu Anastesi Page 24


1. http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/Bb2-Respirasi.pdf diakses pada tanggal 28 juli
2014

2. Sofyan Ferryan, Embriologi, anatomi dan Fisiologi laring


http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28894/1/embriologi%20dan%20an
atomi%20laring.pdf diakses pada tanggal 23 juli 2014
3. repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40128/4/Chapter%20II.pdf diakses pada
tanggal 24 juli 2014

4. www.library.upnvj.ac.id/pdf/5FKS1KEDOKTERAN/.../bab%20II.pdf diakses pada


tanggal 24 juli 2014

5. Buttler KH et al. 2003. Management of the difficult airway: alternative airway


techniques and adjuncts. Emergency Medicine Clinic of North America 21 (2003) 259
–289

6. Yoyagi GS et al. 1995. Evaluating the difficult airway. An epidemiological study.


PubMed Dec;61(12):483-9

7. Dobson M.B . 1994. Penuntun Praktis Anastesi. Jakarta Penerbit Buku Kedokteran

8. American Society of Anesthesiologists. 2013. Practice Guidelines for Management of


the Difficult Airway : An Updated Report by the American Society of Anesthesiologists
Task Force on Management of the Difficult Airway. Anesthesiology 2013; 118:251-
70.

9. Latief Said, Suryadi A. Kartini, Dachlan M R. 2001 Petunuk Praktis Anastesiologi


edisi ke 2. Jakarta . Bagian Anastesiologi Dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia 42-43.

Refarat “Pengelolaan dengan Intubasi Sulit” SMF Ilmu Anastesi Page 25

Anda mungkin juga menyukai