Intubasi Sulit
Intubasi Sulit
PENDAHULUAN
Management jalan napas adalah tugas terpenting dari anestesiologi. Meskipun
banyak disiplin kedokteran yang menangani masalah jalan napas berdasarkan masalah
kegawatdaruratan, namun hanya beberapa yang bertanggung jawab atas rutinitas,
pertimbangan, pilihan dari keadaan intrinsik pasien terhadap kontrol pernapasan. Data
morbiditas dan mortilitas yang telah dipublikasikan menunjukkan di mana kesulitan
dalam menangani jalan napas dan kesalahan dalam tatalaksananya justru akan
memberikan hasil akhir yang buruk bagi pasien tersebut. (5)
Secara epidemiologi dari 359 intubasi sulit dihasilkan dari data yang dikumpulkan
secara retrospektif dari 4,742 catatan kasus anestesi pasien dewasa (2.392 laki-laki, 2.350
perempuan) yang menjalani anestesi umum untuk operasi rutin. Penilaian preoperatif
napas setiap pasien dilakukan dengan menggunakan pedoman standar. Panjang
mandibula, berat badan dan mobilitas rahang, kepala dan leher dievaluasi dengan
pengukuran sederhana. Kehadiran menonjol rahang atau gigi atas, tumor atau kista lidah,
mulut panjang dan sempit, otot leher pendek dan penyimpangan laring atau trakea
didasarkan pada pemeriksaan klinis dan / atau radiologis.(6)
Insiden intubasi sulit di UGD tidak dapat diekstrapolasi dari literatur anestesiologi.
Tampaknya masuk akal untuk mengharapkan bahwa sulit saluran udara akan lebih
sering di UGD daripada di ruang operasi, mengingat kebutuhan mendesak untuk
prosedur dan kurangnya persiapan pasien. Ketika menilai seorang pasien membutuhkan
dukungan saluran napas, dokter spesialis emergensi pertama-tama harus berusaha untuk
mengidentifikasi petunjuk klinis yang menunjukkan adanya kesulitan jalan nafas. (5)
Faktor risiko yang telah berkorelasi dengan ukuran relatif lidah ternyata memiliki
probabilitas rendah dan tingkat kesulitan intubasi. Faktor risiko yang paling penting
adalah gerakan rahang. Gondok endemik Besar dan thalassemia merupakan RFS
berkontribusi sesekali untuk jalan nafas sulit dengan Nilai prediktif positif adalah masing-
masing 61,5% dan 40,9%. Kombinasi faktor risiko memiliki dampak kumulatif
berkontribusi terhadap tingkat kesulitan yang tinggi.(6)
BAB II
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang
besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah serta terletak pada bagian anterior
kolum vertebra (Arjun S Joshi, 2011). Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus
menyambung ke esophagus .setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas, faring
berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan
rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan laring di bawah berhubungan
melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan esophagus. Panjang dinding
posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm; bagian ini merupakan bagian
dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput
Ruang pada bagian posterior rongga mulut dapat dibagi dalam nasofaring,
orofaring, dan hipofaring. Jaringan limfoid pada sekitar faring dapat mempersulit proses
intubasi dengan endotracheal tube karena jaringan tersebut menutupi jalan masuk. Otot
internal dari faring membantu proses menelan dengan mengangkat palatum. Sedangkan
otot eksternalnya merupakan otot konstriktor yang membantu mendorong makanan
masuk kedalam esophagus. Gerakan otot ini dapat mempengaruhi jalan masuk dari
endotracheal tube pada pasien yang akan dilakukan intubasi sadar ataupun pada pasien
yang teranestesi ringan. Persarafan sensorik dan motorik dari faring berasal dari Nervus
Kranial IX kecuali pada Muskulus Levator Veli Palatini yang dipersarafi oleh Nervus
Kranial V.
Penyumbatan jalan nafas dapat terjadi pada daerah faring. Ini terjadi pada saat
timbulnya pembengkakan yang akan membatasi masuknya udara. Penyumbatan tersebut
terjadi pada daerah Palatum Molle (Soft Palate) yang kemudian menepel pada dinding
nasofaring. Contoh lidah dapat jatuh kebelakang dan kemudian akan menyumbat jalan
nafas dengan menempel pada dinding posterior orofaring. Kondisi ini dapat terjadi pada
pasien yang tersedasi dan teranestesi ataupun pada pasien sewaktu tidur. Penyumbatan
terjadi akibat penurunan tonus otot dan penurunan fungsi lumen faring. Pada pasien yang
bernafas spontan, penurunan fungsi lumen jalan nafas dapat berhubungan dengan
meningkatnya frekuensi respirasi dan menghasilkan jumlah tekanan negatif yang besar
2.2 Intubasi
Intubasi trakea adalah tindakan memasukan pipa trakea ke dalam trakea melalui
rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea.(9)
2.2.1 indikasi intubasi trakea
a) menjaga potensi jalan napas oleh sebab apapun misalnya kelainan anatomi,
bedah khusus, bedah posisi khusus, pembersihan secret jalan napas dan lain-
lainnya,
b) mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi misalnya saat resusitasi,
memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien, ventilasi jangka panjang.
c) pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi.
2.2.2 Prinsip Intubasi
a. Jalur intravena yang adekuat
b. Obat‐obatan yang tepat untuk induksi dan relaksasi otot
c. Pastikan alat suction tersedia dan berfungsi
d. Peralatan yang tepat untuk laringoskopi termasuk laryngoskop dengan blade
yang tepat, ETT dengan ukuran yang diinginkan, jelly, dan stylet
e. Pastikan lampu laringoskop hidup dan berfungsi serta cuff ETT berfungsi
f. Sumber oksigen, sungkup dengan ukuran yang tepat, ambu bag dan sirkuit
anestesi yang berfungsi
Beberapa hal utama untuk mempersiapkan tindakan untuk membantu intubasi pada
pasien dengan anatomi jalan nafas normal adalah fleksi dari leher, cervical bawah dan
ekstensi dari kepala pada sendi Atlantooccipital. Posisi ini sering disebut sebagai
“Sniffing Position” dan ini adalah cara yang terbaik untuk mengerti mengenai tiga
Secara sederhana, penatalaksanaan pasien dengan kesulitan jalan nafas dapat diatasi
dengan tiga “P” yaitu :
Prediksi.
Preparasi.
Practice.
2.3.2.1 Prediksi
Mengetahui kondisi pasien dengan resiko anatomi jalan nafas sulit akan membuat
dokter anestesi dapat mempertimbangkan berbagai pilihan cara penatalaksanaan jalan
nafas beserta dengan persiapan-persiapannya. Hal ini penting karena pada beberapa
tehnik yang dilakukan akan sulit dilakukan jika terjadi perdarahan pada jalan nafas, dan
beberapa pasien bahkan menjadi apneu yang kemudian berpotensi menjadi hipoksia saat
dilakukan induksi anestesi. Beberapa cara umum yang dapat dipakai untuk memprediksi
adanya intubasi sulit atau tidak yaitu dengan pemeriksaan fisik. Yang utama adalah
mengevaluasi tes prediksi karena dibutuhkan beberapa klarifikasi.
Cara pemeriksaan prediksi yang pertama adalah tes malampati. Tes ini
mengevaluasi apa yang terlihat pada saat pasien membuka mulut dilihat apakah uvula
Kesulitan intubasi dikatakan dapat terjadi bila seorang dokter anestesi tidak
dapat memasukan endotracheal tube pada waktu dan cara yang tepat. Dapat dikatakan
bahwa dibutuhkan lebih dari satu kali percobaan untuk melakukan intubasi.
Bagaimanapun juga sulit intubasi dapat dihubungkan dengan derajat terlihat atau
tidaknya penglihatan dari laringoskop.
Dikatakan sulit intubasi apabila pada penglihatan terlihat derajat III atau IV.
Derajat I : Pita suara terlihat.
Derajat II : Hanya sebagian pita suara terlihat.
Derajat III : Hanya epiglottis yang terlihat.
Derajat IV : Epiglottis tidak terlihat samasekali.
Pada penelitian sebelumnya sudah ada perbandingan macam-macam tes untuk
memprediksi cara-cara terbaik untuk menetukan intubasi sulit. Ada berbagai faktor yang
harus dievaluasi dalam memeriksa pasien untuk dilakukannya intubasi endotracheal.
Kateter ini membantu proses oksigenasi dan membantu memantau jumlah karbon
dioksida selama pemasangan endotracheal tube. Dapat digunakan bersama dengan “Jet
Ventilation” untuk meningkatkan oksigenasi selama pemasangan endotracheal tube.
c. Fiberoptic Laryngoscope
Fiberoptic Bronchoscopic Intubation (FBI) menggunakan bronchoscopes flexible
untuk intubasi. Banyak perusahaan sudah membuat scopes untuk intubasi dengan
bentuk lebih panjang dan lebih kecil diameternya dari ukuran standard diagnostic
bronchoscopes. Keuntungan dari FBI termasuk: Endotracheal tube masuk ke trakea
dengan penglihatan langsung melalui scope, Tidak terbatas pada ukuran besar pasien
karena scope-nya memiliki berbagai macam ukuran, Untuk kepentingan terapi seperti
penempatan bronchial blockers dan double lumen endotracheal tube, Selain itu dapat
digunakan juga untuk mengangkat sekret dari bronkus.
LMA dapat membantu mengubah kondisi pasien yang tidak bisa diventilasi
menjadi bisa diventilasi. LMA menjadi salah satu cara intubasi aman pada jalan nafas
alternatif pasien sadar atau juga dengan trakeostomi. Bagaimanapun juga bila ventilasi
sudah dapat diyakinkan maka tehnik jalan nafas yang lain dapat dilakukan dengan aman.
The Intubating Laryngeal Mask Airway (ILMA) adalah salah satu perlengkapan untuk
penatalaksanaan pasien dengan anatomi jalan nafas sulit. Penempatan endotracheal tube
dapat dilakukan dengan baik pada hampir semua pasien dengan alat ini, bahkan pada
percobaan intubasi pertama. Penggunaan ILMA harus dipertimbangkan pada
penanganan awal pasien dengan anatomi jalan nafas sulit yang tidak diduga karena
dapat membantu mengendalikan jalan nafas pasien. Jika ILMA tidak tersedia, maka
LMA masih dapat digunakan untuk membantu intubasi pasien, sebagai blind intubasi
atau dengan airway exchange catheters atau dengan fiberoptic bronchoscopes.9
e. Cook Retrograde Intubation Kit
Teropong atau scope diletakan ditengah diantara kedua tangan agar pergerakan dari
teropong dapat sesuai kearah yang kita gerakan. Memasukan scope ke faring diusahakan
agar posisinya tetap di garis tengah. Struktur pada jalan nafas atas harus dikenali; maju
8-10 cm. ujung scope digerakan ke atas/anterior kemudian diflexikan untuk melihat
laring, kemudian scope diputar ke distal dan diposisikan di tengah didepan pita suara.
Untuk melewati pita suara ujung dari scope dikembalikan ke posisi semula agar dapat
masuk ke trakea. Kemudian posisikan scope diatas karina tanpa menyentuhnya karena
dapat menyebabkan bronkospasme dan batuk. Masukan endotracheal tube ke dalam
trakea dengan tampilan gambar di scope tetap pada karina. Jangan
memaksakan/memasukan endotracheal tube dengan kekerasan karena dapat
menyebabkan kerusakan pada jalan nafas ataupu pada scope.
b. Pemasangan Laryngeal Mask Airway Menurut Brain
Kateter intravena 12,14 atau 16 dengan syringe 5 ml atau lebih, kosong atau
terisi sebagian (anestesi saline atau lokal), harus digunakan untuk memasuki jalan
napas. Pasien dalam posisi supinasi, dengan kepala pada midline atau ekstensi terhadap
leher dan thorak (jika tidak kontraindikasi oleh situasi klinis). Setelah persiapan aseptik,
anestesi lokal disuntikkan diatas membran krikotiroid (jika pasien sadar dan waktu
memungkinkan). Tangan kanan klinisi berada pada sisi kanan pasien, menghadap
kearah kepala. Klinisi dapat menggunakan tangan non dominan untuk menstabilkan
laring. Jarum kateter dimasukkan pada sudut tepat di kauda ketiga membran. Sejak saat
punksi kulit aspirasi syringe harus konstan. Aspirasi yang bebas dari udara
menunjukkan telah memasuki trakhea. Jarum kateter harus dilepaskan, dan hanya
kateter yang memasuki jalan napas. Walaupun teknik ini telah dijelaskan dengan
Pada beberapa pasien trakeostomi harus dilakukan sebagai jalan nafas alternatif,
kadang juga dilakukan pada pasien yang sadar. Pendekatan pembedahan ini merupakan
salah satu cara agar pasien dapat diventilasi.
f. Intubasi Pada Kasus Khusus “Cedera Cervical”
Intubasi Pada cedera leher dilakukan dengan cara satu orang menahan kepala
dengan kuat pada backboard, biarkan collar cervical tidak termanipulasi. Pastikan
bahwa baik kepala maupun leher tidak bergerak saat dilakukan laryngoskop dan
intubasi. Orang kedua memberikan tekanan pada tulang rawan cricoid dan orang ketiga
melakukan laryngoskopi dan intubasi.
BAB III
DAFTAR PUSTAKA
7. Dobson M.B . 1994. Penuntun Praktis Anastesi. Jakarta Penerbit Buku Kedokteran