Pemerasan adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang atau
lembaga dengan melakukan perbuatan yang menakut-nakuti dengan suatu harapan agar yang diperas menjadi takut dan menyerahkan sejumlah sesuatu yang diminta oleh yang melakukan pemerasan, jadi ada unsur takut dan terpaksa dari yang diperas. Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara tidak sah, memaksa orang lain dengan kekerasan dan ancaman kekerasan supaya orang itu menyerahkan sesuatu barang yang seluruhnya atau sebagian saja adalah kepunyaan orang itu atau orang ketiga, atau supaya orang itu membuat utang atau menghapuskan suatu piutang, ia pun bersalah melakukan tindak pidana seperti yang ada pada pasal 368 KUHP yang dikualifikasikan sebagai “afpersing” atau “pemerasan”. Dimuat dalam pasal 368 KUHP. Tindak pidana ini sangat mirip dengan pencurian dengan kekerasan dalam pasal 365 KUHP. Bedanya adalah bahwa dalam hal pencurian si pelaku sendiri mengambil barang yang dicuri, sedangkan dalam hal pemerasan si korban setelah dipaksa dengan kekerasan menyerahkan barangnya kepada si pemeras. Salah satu contoh pelaku berinisial M melakukan tindak pidana pemerasan dengan menggunakan identitas palsu sebagai polisi pada Putusan Pengadilan Negeri Majalengka Nomor : 14/Pid.B/2017/PN-MJL. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pertanggung jawaban pidana terhadp pelaku tindak pidana pemerasan dengan menggunakan identitas palsu sebagai polisi dan Bagaimana Oknum Non Polri tersebut melakukan pemerasan. Pendekatan permasalahan yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Data primer di dapat dari narasumber yakni Pengadilan Negeri Majalengka. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dalam putusan perkara Nomor :14/Pid.B/2017/PN-MJL yaitu terdakwa dalam hal ini mampu bertanggung jawab atas kesalahannya sesuai Pasal 368 KUHP dengan pidana penjara selama 2(Dua) tahun, terdakwa juga sudah cukup dewasa, tidak ada alasan pemaaf bagi terdakwa karena terdakwa dalam keadaan sehat dan tidak mengalami gangguan jiwa, tidak ada alas an pembenar yaitu terdakwa tidak dalam perintah jabatan. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan dikaitkan antara 3 aspek yaitu pertimbangan yuridis, pertimbangan filosofis dan pertimbangan sosiologis. Hakim dalam memutuskan perkara berdasarkan keyakinan harus mempunyai dasar yaitu Pasal 368 KUHP.
Kata Kunci: Tindak Pidana, Pemerasan, Kepolisian
ABSTRACT
Extortion is an act carried out by a person or institution by committing an
act that frightens it with an expectation that those who are blackmailed become afraid and give up a number of things requested by those who do extortion, so there are elements of fear and compulsion from being extorted. Anyone with an intent to benefit himself or others illegally, forces others with violence and threats of violence so that the person surrenders something that is wholly or partially owned by that person or third person, or that the person makes a debt or abolishes a person accounts receivable, he is also guilty of a criminal act as contained in article 368 of the Criminal Code which qualifies as "afpersing" or "extortion". Loaded in article 368 of the Criminal Code. This crime is very similar to theft by violence in article 365 of the Criminal Code. The difference is that in the case of theft the perpetrator himself takes the stolen goods, while in the case of extortion the victim after being forcefully forced to hand over the goods to the extortionist. One example of an actor with the initials M committed a crime of extortion by using a fake identity as a police officer in the Decision of the Majalengka District Court Number: 14 / Pid.B / 2017 / PN-MJL. The problem in this research is how is the criminal responsibility against the perpetrators of the crime of extortion by using a fake identity as a police officer and how the non-police personnel carry out extortion. The approach to the problems used in this writing is a normative juridical and empirical juridical approach. The primary data was obtained from the speaker, namely the Majalengka District Court. Based on the results of research and discussion in case decisions Number: 14 / Pid.B / 2017 / PN-MJL, the defendant was able to be responsible for his mistakes in accordance with Article 368 of the Criminal Code with imprisonment for 2 (two) years. there was no forgiving reason for the defendant because the defendant was in good health and had not experienced itmental disorders, there is no justification for the defendant not being orderedposition. The basis of the judge's consideration in making a decision is linked between3 aspects namely juridical considerations, philosophical considerations and considerationssociological. Judges in deciding cases based on faith musthas a basis, namely Article 368 of the Criminal Code.
Keyword: A Criminal Offense, Extortion, Police Force