Anda di halaman 1dari 6

PANTAI PARANGKUSUMO, KANJENG RATU KIDUL DAN PANEMBAHAN SENOPATI

Dipublikasi pada 29 Agustus 2010 oleh wongalus

17 Votes

WONGALUS

Sangat mengasyikkan menelusuri jejak-jejak magis pantai Parangkusumo dalam hubungannya dengan
kekuasaan para Raja Mataram. Jadi nanti sambil bersilaturahim, Keluarga Kampus Wong Alus (K.W.A).
bisa menerawang ke masa lalu untuk melangkah ke masa depan.

AKHIR KEJAYAAN PAJANG…

Tahun 1584. Sesaat setelah Ki Ageng Pemanahan meninggal, Ki Juru Martani menghadap Sultan
Hadiwijaya, untuk memilih siapa di antara enam putra pemanahan yang akan diangkat sebagai penerus
kerajaan Mataram yang baru saja dikembangkan saat babad alas mentaok. Ki Ageng Pemanahan adalah
keturunan Majapahit dari garis ayah dan keturunan Nabi Muhammad dari garis ibu. Sementara Ki Juru
Martani adalah ipar dan penasehatnya.

Sultan Hadiwijaya kemudian memilih Danang Sutawijaya, putra sulung Pemanahan dan diberi gelar
Senopati Ing Ngalaga Sayidin Panotogomo. Sementara Ki Juru Mertani diserahi tugas untuk menjadi
penasehat Mataram dengan gelar Adipati Mandaraka. Keduanya diizinkan untuk tidak usah sowan ke
Pajang selama satu tahun agar dapat konsentrasi membangun Mataram. “Kalau sudah setahun,
datanglah kemari jangan terlambat,” titah Sultan Hadiwijaya.

Setelah diangkat tersebut, itu berarti Sutawijaya yang sudah bergelar Senopati Ing Ngalaga Sayidin
Panotogomo alias Panembahan Senopati adalah Raja Pertama Mataram. Setahun lamanya, Panembahan
Senopati menata sedikit demi sedikit kerajaan baru tersebut sehingga tiba saatnya dia sowan ke Pajang
(eks Demak) sebagai tanda “ngabekti”nya Mataram ke Pajang. Namun, karena alasan khusus Sang
Panembahan Senopati enggan sowan ke Pajang. Sultan Hadiwijaya pun mulai curiga dan mengirim
utusan terpercaya Ngabehi Wuragil dan Ngabehi Wilamarta untuk mencermati perkembangan Mataram.

Meskipun sebagai utusan Raja, dua Ngabehi ini tetap andap asor dan turun dari kuda lebih dulu ketika
menemui Panembahan Senopati yang tetap duduk di punggung kuda. Kalau dilihat dari segi etika, hal ini
tentu tidak pantas dan menunjukkan sikap merendahkan bahkan menantang tidak hanya utusan itu
tetapi juga yang mengutus. Dengan sopan, utusan Pajang menyampaikan amanat Sultan Hadiwijaya
bahwa Panembahan Senopati segera sowan menghadap ke Pajang, tidak mengadakan jamuan pesta dan
tidak berambut gondrong.

Tetap duduk di punggung kuda, Panembahan Senopati menjawab, “Sampaikan kepada Kanjeng Sultan,
saya tidak akan menghentikan pesta karena saya masih suka, saya disuruh cukur lha wong ini rambut-
rambut saya sendiri. Saya diisurun menghadap ke Pajang ya mau saja asalkan Sultan menghentikan
kesukaannya mengambil isteri para abdinya,.”

Dua utusan Pajang itu pun pulang dan melaporkan sebagai berikut bahwa Panembahan Senopati segera
menghadap dan baik-baik saja. Soal Mataram sedang membangun tembok mengelilingi kerajaan dan
sikap serta ucapan menantang Raja Pajang tidak mereka laporkan.

Semuanya mengalir apa adanya sesuai dengan jalan dan kehendak sejarah…

PANEMBAHAN SENOPATI: SOSOK WASIS-WASKITA

Panembahan Senopati adalah sosok yang pandai menyerap energi kekuasaan dan kekuatan alam
semesta demi membangun kerajaan Mataram. Mulai dari membina hubungan dengan penguasa Kedu
dan Bagelen di sisi barat Mataram. Termasuk membangun kesatrian yang berhasil memiliki 1000 tentara
pilih tanding dalam olah perang. Melihat gelagat egoisme Panembahan Senopati yang berlebihan ini, Ki
Juru Martani menegur dan memberikan nasehat:

“Ada tiga kesalahan yang kamu buat ngger… Kamu memusuhi Raja Pajang Kanjeng Sultan yang tak lain
orang tua dan gurumu. Saya malu karena kita yang ada di kerajaan Mataram sepertinya tidak tahu
membalas budi baiknya. Bukankah kita telah diberi tanah dan wilayah untuk kita tempati dan kita
bangun ini? Saya minta ngger, sekarang mintalah kepada Allah dengan teguh agar nanti bila Kanjeng
Sultan sudah wafat, kamu bisa menggantikan keratonnya. Tapi sekarang jangan sekali-kali memusuhi
beliau. Justeru sebaliknya, balaslah kebaikannya agar batinnya rela nanti kamu yang menggantikan
kedudukannya sebagai raja”

Panembahan Senopati kemudian memenuhi petunjuk Ki Juru Mertani. Ia kemudian berangkat ke Lipura
untuk bertapa. Di sebuah tempat sepi, dia melihat sebuah batu hitam mengkilat yang cucuk untuk
dipakai meditasi. Batu indah ini dikenal sebagai “Sela Gilang” dan di batu ini pula Panembahan
mendapatkan WAHYU KERATON, yaitu sebuah wisik gaib yang jelas dan terang berbunyi: “KAMU AKAN
MENJADI RAJA MATARAM SEJATI MENGALAHKAN PAJANG DAN KERAJAAN-KERAJAAN LAIN, BEGITU JUGA
DENGAN ANAK CUCUMU. TETAPI CICITMU KELAK JUGA AKAN MENJADI AKHIR KERAJAAN MATARAM….”

Selesai bertapa, Panembahan Senopati menghadap Ki Juru Mertani dan Ki Juru mengatakan bahwa
pekerjaan besar baru dimulai sekarang. Pekerjaan besar yang dimaksud Ki Juru adalah mencari dukungan
kekuatan adikodrati dari alam gaib. Panembahan Senopati diminta pergi ke pantai segara kidul (laut
selatan) dan Ki Juru sendiri pergi ke gunung Merapi.

Di mata seorang Ki Juru yang waskita ini, dua tempat ini dikuasai oleh sosok penguasa di alamnya
masing-masing. Penguasa samudra yaitu Kanjeng Ratu Kidul dan penguasa gunung berapi yaitu Kyai Sapu
Jagad dan kadang juga muncul sosok bernama Kanjeng Ratu sekar Kedhaton. Selain itu masih ada dua
penguasa gaib lagi yang perlu untuk diminta bantuan agar kerajaan Mataram ini bisa kuat yaitu Kanjeng
Sunan Lawu di timur kerajaan, dan Sang Hyang Pramoni dan di barat yang menguasai hutan
Krendhawahana.

MEDITASI DI PANTAI PARANGKUSUMO

Sejak dulu, pantai Parangkusumo cukup dikenal kalangan mistikus. Pantai yang terletak di sebelah barat
Pantai Parangtritis yang kini ditandai dengan Bangunan Cepuri ini konon merupakan titik dimana pintu
gerbang Kerajaan Gaib Segara Kidul berada. Bila anda melakukan meditasi di pinggir pantai menghadap
ke laut maka di kejauhan akan tampak Pintu Gerbang Kerajaan Segara Kidul terbuat bahan berwarna
emas dengan tinggi menjulang puluhan meter dari lautan. Jadi bentangan pantai dari barat ke timur
adalah alun-alun Kerajaan Segara Kidul tersebut. Sebuah penampakan yang indah yang bisa dinikmati
oleh para pejalan spiritual.

Tiba di pantai Parangkusumo, panembahan Senopati segera berjalan di bebatuan karang di pantai. Di
sebuah batu kecil dan menonjol, dia duduk dan melakukan meditasi. Menyatukan semua pancaindera ke
satu titik dan menata batin untuk berdoa agar Tuhan Semesta Alam berkenan memberikan bantuan.

Tuhan tentu saja punya puluhan, ratusan, jutaan, milyaran cara untuk membantu orang yang ingin
ditolong-NYA. Salah satu cara itu adalah mengutus Kanjeng Ratu Kidul untuk menemui Panembahan
Senopati. Sebagaimana hukum alam yang berlaku, bantuan dan pertolongan Tuhan ini pastilah ada kisah
dan cerita uniknya.
Panembahan Senopati yang memang dikenal sakti ini memulai untuk bertapa. Laut selatan yang semula
bergelombang alamiah tiba-tiba menampakkan keanehannya. Ombak laut bergulung-gulung semakin
membesar. Dinginnya air laut selatan sedikit demi sedikit berubah menjadi panas hingga mendidih.
Penghuni lautan pastilah terganggu. Ikan-ikan serta binatang laut lainnya banyak yang mati akibat
panasnya energi spiritual yang terpancar dari batin Panembahan. Setiap Panembahan masuk ke lebih
dalam wilayah “NING” atau keheningan dan satu kulit batin terkelupas maka satu kulit itu menjadi energi
panas yang membakar alam sekitar. Proses yang alamiah terjadi itu hampir sama persis saat seseorang
melakukan matek aji atau matek hizib dan mantra yang mengeluarkan hawa panas ke lingkungan
sekitarnya.

Para prajurit dan punggawa kerajaan Segara Kidul kuwalahan membendung energi panas yang terpancar
dari tubuh Panembahan Senopati. Segala kesaktian dan kekebalan ratusan ribuan makhluk halus ini
tawar dan membuat tubuh mereka melemas. Cukup berbahaya bila tidak dilakukan pencegahan karena
jagad lelembut dan jagad fisik laut selatan semakin banyak yang tewas. Di saat yang genting itu,
muncullah Kanjeng Ratu Kidul.

Ternyata begitu melihat penyebabnya semua ini adalah Panembahan Senopati yang sedang “manekung”
atau “maneges”, Kanjeng Ratu kemudian membangunkan kesadaran Panembahan Senopati. Setelah
berdialog, lahirlah sebuah konsensus atau perjanjian gaib antar dua makhluk di dua dimensi yang
berbeda ini. Perjanjian gaib itu berbunyi: KANJENG RATU KIDUL AKAN MENDUKUNG PENUH KEJAYAAN
DAN KEMAKMURAN ANAK KETURUNAN PENGUASA MATARAM BILA MEREKA SELALU SETIA DENGAN
PERNIKAHAN MEREKA.

Jadi dengan perjanjian tersebut, maka Para Raja Mataram sejak Panembahan Senopati hingga saat ini
harus menikah dengan Kanjeng Ratu Kidul dan setia dengan perjanjian ini. Pernikahan ini juga secara
filosofis bisa diartikan sebagai kewajiban Raja-Raja Mataram untuk wajib nguri-uri atau memelihara adat
istiadat dan budaya Jawa karena ini sudah merupakan perjanjian. Bila perjanjian ini dilanggar, maka
Kanjeng Ratu Kidul berpesan dirinya tidak akan menjamin lagi keamanan dan kesejahteraan kerajaan
Mataram. Sebab secara alamiah tanah Mataram memang terkenal tanah yang sesungguhnya menyimpan
potensi bencana. Bencana gempa bumi akibat pergeseran-pergeseran lempeng bumi dan bencana
gunung berapi.

Setelah selesai bertemu dan mengadakan perjanjian dengan Kanjeng Ratu Kidul maka Panembahan
Senopati menyelesaikan meditasinya. Momentum selesainya meditasi sang Panembahan ini adalah
datangnya Sunan Kalijaga yang mengijazahkan pusaka Kyai Tunggul Wulung untuk dimiliki Raja-Raja
Mataram secara turun temurun. Sunan Kalijaga akhirnya berpesan kepada Panembahan Senopati jangan
terlalu mengandalkan kesaktiannya. Tidak lupa berdoa dan ikhlas menyerahkan hasil usahanya pada
Tuhan Yang Maha Kuasa.

BENDE KI BICAK DATANGKAN KANJENG RATU KIDUL

Bala bantuan pasukan gaib Kanjeng Ratu Kidul itu dalam sejarah benar-benar terbukti. Suatu ketika
Kerajaan Pajang berkekuatan 10.000 orang yang dipimpin langsung Kanjeng Sultan Hadiwijaya
menggempur kerajaan Mataram berkekuatan 1000 orang dipimpin Panembahan Senopati. Di wilayah
Prambanan, kedua pasukan ini bertemu dan terjadilah peperangan yang berat sebelah.

Menyadari kekuatan pasukan Mataram yang kecil, Juru Martani mendapat wisik agar menabuh bende Ki
Bicak. Bende ini peninggalan Ki Ageng Sela. (Bende ini pun ada sejarahnya. Konon sewaktu menanggap
wayang dengan dalang Ki Bicak, Ki Ageng Sela jatuh hati pada isteri sang dalang. Ki Ageng kemudian
membunuh Ki Bicak dan mengambil usteri serta gamelan termasuk bende. Menurut Sunan Kalijaga,
bende itu nanti akan menjadi pusaka Keraton Mataram dan bila bende itu dibunyikan maka bunyinya
menggelegar memenuhi angkasa dan penabuh akan menang perang.)

Suara Bende yang ditabuh menggelegar ini pula yang kemudian terdengar oleh Kanjeng Ratu Kidul. Itu
tanda bahwa Mataram butuh bantuan sehingga Kanjeng Ratu beserta puluhan ribu bala bantuannya
datang menyerang pasukan Pajang. Sementara penguasa gunung Merapi yaitu Kyai Sapu Jagad membuka
kunci kawah gunung tersebut. Gunung Merapi meletus di tengah kegelapan, hujan lebat, banjir dan
gempa bumi. Bala bantuan gaib yang berpadu dengan kekuatan alam yang hebat itulah yang membuat
pasukan pajang berkekuatan lebih besar itu morat marit. Sultan Hadiwijaya sosok yang sakti mandraguna
—yang mudanya disebut Jaka Tingkir dan punya guru sakti yaitu Ki Ageng Sela—ini pun harus terjatuh
dari gajah tunggangannya dan harus melarikan diri dalam keadaan terluka yang parah.

Panembahan Senopati terus mengejar dengan 40 orang pasukan khususnya hingga masuk ke wilayah
Pajang. Tahu kekuatan Panembahan yang tidak seberapa itu, pasukan Pajang yang dipimpin Benawa,
anak Sultan Hadiwijaya segera siap melakukan penghadangan dan penumpasan. Namun Benawa
diwejang sang ayah agar tidak membunuh Panembahan Senopati

“Jangan berani terhadap kakangmu (panembahan senopati), karena kalau aku sudah wafat maka
kakangmu itu yang menjadi penggantiku. Rukun dan berbaktilah padanya” ujar Sultan Hadiwijaya yang
kemudian menghembuskan nafas terakhirnya. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1587 atau tiga tahun
setelah ayah Panembahan Senopati, Ki Ageng Pemanahan wafat.

Memang sudah menjadi takdir bahwa Sultan Hadiwijaya wafat pada tahun itu. Namun konon salah satu
lantaran sebabnya adalah berikut ini. Ki Juru Taman, seorang raja Jin abdi Panembahan Senopati
menawarkan jasa untuk membunuh Sultan Hadiwijaya. Mendengar tawaran itu, Panembahan Senopati
berkata: “Saya tidak punya niat seperti itu, tapi jika engkau ingin membunuhnya maka terserah dan saya
tidak memberi perintah padamu tapi juga tidak melarangmu!”

Tahu dan tanggap sasmita narendra apa yang diinginkan sang Panembahan, Raja Jin Ki Juru Taman
segera melakukan aksi membunuh Sultan Hadiwijaya dengan kesaktiannya. Jenazahnya dimakamkan
oleh masyarakat di Makam Kota Gede, yang berjajar dengan Makam Nyai Ageng Enis, ibu Ki Ageng
Pemanahan dan Pangeran Jayaprana— leluhur Raja-Raja Surakarta dan Yogyakarta.

@wongalus,2010

Anda mungkin juga menyukai