Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

TENTANG

TANGGUNGJAWAB PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK II

1. TITIAN NURUL JANNAH


2. NURSI
3. EDIRMAN
4. ASMIATI
5. INDAH
6. ATRI SULASTRI
7. HENDRO

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

(STKIP) TAMAN SISWA BIMA

TAHUN AKADEMIK 2018/2019


a
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan Rahmat, Inayah,
Taufik dan Hinayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah
ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana.
Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun
isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang
kami miliki sangat kurang. Oleh kerena itu kami harapkan kepada para pembaca
untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini.

Penulis,

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................... i

DAFTAR ISI ............................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................... 1

A. Latar Belakang ..................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ................................................................ 3
C. Tujuan ................................................................................. 3

BAB II PEMBAHASAN................................................................ 4

A. Korupsi Sebagai White Collar Crime ....................................... 4


B. Korporasi ............................................................................. 7
C. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi .................................. 11
D. Tindak Pidana Korupsi .......................................................... 18

BAB III PENUTUP ..................................................................... 20

A. KESIMPULAN........................................................................ 20
B. SARAN ................................................................................. 21

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................... 22

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Korupsi adalah istilah yang sudah lama dikenal dalam
masyarakat Indonesia. Korupsi merupakan gejala masyarakat yang
dapat dijumpai dimana tidak hanya di lembaga legislatif, yudikatif
maupun eksekutif, namun korupsi dapat terjadi pada semua sisi
kehidupan dan aktivitas masyarakat. Korupsi telah menjadi ciri
penyelenggaraan birokrasi dan bisnis nasional. Korupsi bukanlah
semata-mata atau bahkan terutama masalah yang dihadapi oleh
negara-negara berkembang saja. Kejadian-kejadian di Eropa dan
Amerika Utara menunjukkan secara jelas bahwa tidak pada
tempatnya negara-negara industri menggurui negara-negara
sedang berkembang mengenai korupsi. Seperti halnya masalah
korupsi di Italia, demokrasi dan pasar bebas bukanlah satu-satunya
alat penangkal korupsi.
Pemberantasan dan pembuktian terjadinya suatu tindak pidana
korupsi tidaklah mudah seperti membalikkan tangan. Tindak pidana
korupsi dapat terungkap setelah berlangsung dalam waktu yang
lama. Umumnya tindak pidana korupsi melibatkan sekelompok orang
yang saling menikmati keuntungan dari tindak pidana korupsi
tersebut. Kekhawatiran akan keterlibatannya sebagai tersangka,
maka diantara sekelompok orang tersebut akan saling menutupi
sehingga secara sadar atau tidak sadar, tindak pidana korupsi itu
dilakukan secara terorganisir dalam lingkungan kerjanya
Dewasa ini dalam ilmu hukum pidana telah diterima baik di
kalangan akademisi maupun di kalangan praktisi, suatu kejahatan

1
khusus yang melibatkan perusahaan yang disebut dengan corporate
crime (kejahatan korporasi). Sebelumnya, banyak kalangan yang tidak
dapat menerima jika suatu perseroan dianggap dapat melakukan
tindak pidana. Mereka berpegang teguh pada adagium Universitas
Delinguere Nonprotest (Badan Hukum tidak dapat dipidana) dengan
alasan bahwa suatu badan hukum / perusahaan tidak memiliki mens
rea (niat jahat), dan badan hukum bukanlah pribadi meskipun dapat
melakukan perbuatan hukum seperti orang pribadi. Dalam
perkembangannya sudah dapat diterima bahwa suatu badan hukum
termasuk perusahaan dianggap dapat melakukan tindak pidana
sehingga konsekuensinya suatu badan hukum dapat dipidana.

Berkaitan dengan tindak pidana korupsi, kejahatan ini dipandang


bukan lagi sebagai masalah baru dalam persoalan hukum dan
ekonomi suatu negara karena masalah korupsi telah ada sejak ribuan
tahun lalu, baik di negara maju maupun di negara berkembang
termasuk di Indonesia. Bahkan, perkembangan masalah korupsi di
Indonesia saat ini sudah demikian parahnya dan menjadi kejahatan
yang sangat luar biasa (extra ordinary crime). Menurut hasil penelitian
(survey) yang dilakukan Transparency International (TI) tahun 2004,
telah menempatkan Indonesia sebagai negara paling korup nomor 6
(enam) di dunia dan berada di urutan kedua di Asia, dimana Indonesia
hanya lebih baik dari negara Myanmar.
Jika pada masa lalu korupsi sering diidentikkan dengan pejabat
atau pegawai negeri yang menyalahgunakan keuangan negara, dalam
perkembanganya sekarang korupsi juga telah melibatkan anggota
legislatif dan yudikatif, bankir, konglomerat, dan juga korporasi.
Pengaturan korporasi sebagai “Subyek Hukum” diatur dalam UU No.
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.yang
menggantikan UU No. 3 Tahun 1971 tentang Korupsi. Sebelumnya,

2
dalam UU No. 3 Tahun 1971 “Subyek Hukum” yang dapat dijerat
dalam kasus korupsi adalah pegawai negeri. Dengan demikian UU No.
31 Tahun 1999 merupakan terobosan baru yang sangat penting dalam
hukum pidana dan hukum acara pidana dengan memperluas subyek
hukum pidana. Dalam hukum positif di Indonesia, istilah korporasi
muncul pada tahun 1997 setelah diundangkannya UU No. 5 Tahun
1997 tentang Psikotropika.
Berdasarkan modus operandinya, tindak pidana korupsi
tidak selamanya hanya melibatkan pelaku tunggal saja. Dalam
prakteknya banyak kasus tindak pidana korupsi yang terbukti
melibatkan beberapa pelaku yang saling ada keterkaitan dan
kepentingan yang secara bersama-sama melakukan tindak pidana
korupsi tersebut. Disamping itu, suatu tindak pidana korupsi yang
waktu pengungkapannya terkesan lama terdeteksi dan diatasi
berdasarkan sistem hukum positif yang berlakumemungkinkan pelaku
tindak pidana korupsi tidak hanya melakukan atau terlibat dalam satu
tindak pidana korupsi saja, melainkan hal tersebut berlangsung
berulang kali secara berlanjut.

B. RUMUSAN MASALAH
Bagaimanakah tanggungjawab pidana dalam tindak pidana
korupsi ditinjau dari teori hukum pidana ?

C. TUJUAN
Untuk mengetahui tanggungjawab pidana dalam tindak pidana
korupsi ditinjau dari teori hukum pidana

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Korupsi Sebagai White Collar Crime

Istilah “white collar crime” sering diterjemahkan ke dalam bahasa


Indonesia sebagai “kejahatan kerah putih” atau “kejahatan berdasi”.
Istilah ini dipopulerkan pertama kali oleh seorang kriminolog Amerika
Serikat, yaitu Edwin Hardin Sutherland (1883 – 1950). Istilah “kerah
putih” merujuk kepada pelakunya sebagai pihak terhormat/kelas tinggi
(yang sering memakai baju putih), warna yang jarang dipakai oleh
penjahat-penjahat jalanan. Pelakunya disini adalah pihak yang
membuat kejahatan sebagai karirnya dan memiliki skill tertentu yang
dibedakan dengan habitual criminal (melakukan kejahatan sebagai
kebiasaan) maupun street criminal (kejahatan jalanan) yang
meninggalkan korban secara berdarah-darah Yang dimaksud “white
collar crime” menurut Biderman dan Reiss adalah:
“Setiap pelanggaran hukum dengan ancaman hukuman, dengan
menggunakan kedudukan yang penting, kekuasaan dan kepercayaan
dari pelakunya, dalam suatu ketertiban institusi politik dan ekonomi
yang legitimate dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang
tidak legal atau untuk dapat melakukan perbuatan tidak legal untuk
kepentingan pribadi atau organisasi tertentu”
Menurut Coleman yang dimaksud dengan “white collar crime”
adalah:
“Suatu pelanggaran hukum yang dilakukan oleh orang atau kelompok
orang dalam menjalankan tugasnya yang tergolong dihormati orang
atau dalam melaksanakan jabatan yang legitimate, atau dalam
kegiatan-kegiatan bisnis.”

4
Munir Fuady mendefinisikan “white collar crime” sebagai :
“Suatu perbuatan (atau tidak berbuat) dalam sekelompok kejahatan
yang spresifik yang bertentangan dengan hukum pidana yang
dilakukan oleh pihak profesional, baik oleh individu, organisasi,
sindikat kejahatan ataupun oleh badan hukum.”
Selanjutnya dikatakan bahwa kejahatan tersebut bertujuan untuk
melindungi kepentingan bisnis atau kepentingan pribadi atau untuk
mendapatkan uang, harta benda atau kedudukan/jabatan tertentu
dimana dilakukan dengan cara halus dan canggih yakni dengan jalan
menutup-nutupi, menipu, menyuap dan perbuatan tersebut dilakukan
ketika pelakunya sedang menjalankan profesinya
Sebenarnya kejahatan yang disebut dengan “white collar crime”
bukanlah jenis kejahatan baru, tetapi hanyalah :
- kejahatan dengan metode pengelompokkan baru
- kejahatan dengan nama baru
- kejahatan dengan modus operandi baru
- kejahatan dengan pelakunya merupakan pihak terhormat dalam
masyarakat
Pengelompokkan terhadap “white collar crime” adalah sebagai
berikut:
1. “White collar crime” yang bersifat individual, berskala kecil dengan
modus operandi yang sederhana;
2. “White collar crime” yang bersifat individual, berskala besar
dengan modus operandi yang kompleks;
3. “White collar crime” yang melibatkan korporasi;
4. “White collar crime” di sektor publik, yang terdiri dari :
- korupsi/penggelapan/money politic
- melanggar hak warga negara
- penyalahgunaan kekuasaan

5
- penipuan/kebohongan publik
- pembunuhan lawan politik
- pelanggaran oleh aparat
- pelanggaran prinsip pemilu

Kalau kita lihat penegelompokkan dari “white collar crime” di atas


maka dapat dilihat bahwa korupsi termasuk “white collar crime” di
sektor publik, artinya bahwa melibatkan pihak-pihak pemegang
kekuasaan publik atau pejabat pemerin-tah, sehingga disebut dengan
kejahatan jabatan (occupational crime).
Korupsi berasal dari kata corruptio yang berarti kerusakan.
Menurut Kamus Istilah Hukum Latin-Indonesia, corruptio berati
penyogokan. Gurnar Myrdal menyebutkan :

“Korupsi tersebut meliputi kegiatan-kegiatan yang tidak patut yang


berkaitan dengan kekuasaan, aktivitas-aktivitas pemerintahan, atau
usaha-usaha tertentu untuk memperoleh kedudukan secara tidak
patut serta kegiatan lainnya seperti penyogokan” .

Menurut Sudarto, perkataan korupsi semula hanyalah bersifat


umum dan baru menjadi istilah hukum untuk pertama kalinya adalah
di dalam Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM/06/1957 tentang
Pemberantasan Korupsi.

Di Indonesia aturan tentang korupsi dapat kita temui dalam


KUHP yaitu dalam Buku II Bab XXVIII, walaupun dalam rumusan
belum menggunakan istilah korupsi tetapi “kejahatan jabatan”. Istilah
korupsi untuk pertama kali diatur dalam Peraturan Penguasa Militer
No. Prt/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi. Setelah itu pada
tahun 1971 diundangkan UU No. 3 Tahun 1971 tentang Korupsi, dan
selanjutnya setelah era reformasi bergulir diundangkan UU No. 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang

6
kemudian diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 yang masih berlaku
hingga saat ini. Kalau kita lihat bahwa masalah korupsi sebenarnya
telah diatur dalam hukum positif kita sejak Indonesia merdeka. Tetapi
sayangnya korupsi di Indonesia sungguh sangat luar biasa dan seperti
telah disinggung di atas bahwa Indonesia sebagai negara paling
korup nomor 6 (enam) di dunia dan berada di urutan kedua di Asia,
dimana Indonesia hanya lebih baik dari negara Myanmar. Menurut
Andi Hamzah penyebab korupsi adalah :
1. Kurangnya gaji Pegawai Negeri dan aparat penyelenggara
negara;
2. Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang
merupakan sumber atau sebab meluasnya korupsi;
3. Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif
dan efisien yang akan memberikan peluang orang untuk
korupsi;
4. Modernisasi mengembangbiakkan korupsi.

B. Korporasi

Konsep korporasi (badan hukum) pada mulanya dikembangkan


oleh hukum Romawi lebih dari seribu tahun yang lalu dan hingga Abad
XVIII tidak mengalami banyak perkembangan. Ilmu hukum mengenal
dua macam subyek hukum, yaitu subyek hukum pribadi (orang
perseorangan) dan subyek hukum berupa badan hukum. Salah satu
ciri khas yang membedakan kedua subyek hukum tersebut adalah
saat lahirnya, yang pada akhirnya akan menentukan saat lahirnya hak
dan kewajibannya. Pada subyek hukum pribadi, status subyek hukum
dianggap telah ada bahkan pada saat orang tersebut belum dilahirkan
(Pasal 2 ayat 1 KUH Perdata). Sedangkan pada badan hukum,

7
keberadaan status badan hukumnya baru diperoleh setelah
memperoleh pengesahan dari pejabat yang berwenang.
Terdapat alasan atau motivasi adanya pembentukan suatu badan
hukum. Sejak kematiannya maka manusia berhenti menjadi subyek
hukum. Kewena-ngannya untuk memiliki harta dan melakukan
perbuatan hukum menjadi lenyap. Orang menghendaki agar sesudah
dirinya meninggal dunia, usahanya yang telah dikembangkannya
dengan susah payah berjalan terus, piutang-piutangnya dapat ditagih
dan hutang-hutang usahanya dapat dibayar. Hukum memperkenankan
manusia membentuk badan hukum dan memberikan makhluk yuridis
tersebut harta kekayaan tertentu, dan atas nama tangggungannya
sendiri melakukan perbuatan hukum.
Terdapat beberapa definisi mengenai badan hukum yang diberikan
oleh para pakar :

- Van der Heyden :


“Badan hukum merupakan suatu organisasi yang sebagai
kesatuan mengambil bagian dalam lalu lintas masyarakat tanpa
terikat kepada perorangannya.
Badan hukum dapat dikatakan sebagai pendukung hak dan
kewajiban dalam hukum perdata…”
- R. Rochmat Soemitro :
“Badan hukum, ialah suatu badan yang dapat mempunyai
harta kekayaan, hak serta kewajiban seperti orang pribadi.”
- Rudhy Prasetya :
“Badan hukum tiada lain merupakan suatu pengertian,
dimana suatu badan yang sekaligus bukan merupakan seorang
manusia namun dianggap mempunyai suatu harta kekayaan
sendiri terpisah dari para anggotanya dan merupakan pendukung
hak-hak dan kewajiban seperti seorang manusia.”

8
Berkaitan dengan badan hukum sebagai subyek hukum tindak
pidana, E. Utrecht menyatakan bahwa hukum pidana yang tercantum
dalam KUHP belum mengenal hukuman kolektif (collctieve straffen)
karena hukum pidana menurut KUHP masih bersifat individualistis
(individualistis karakter van het strafwetboek). Yang diatur dalam
Pasal 59 KUHP menurut E. Utrecht adalah tentang pidana bagi
komisaris atau anggota pengurus suatu badan hukum orangnya satu
persatu, sehingga KUHP tidak menganut suatu tanggung jawab
kolektif ((collctieve aansprakelijkheid).

Dahulu memang banyak kalangan yang tidak dapat menerima


jika suatu korporasi dianggap dapat melakukan tindak pidana. Mereka
berpegang teguh pada adagium Universitas Delinguere Nonprotest
(badan hukum tidak dapat dipidana) dengan alasan sebagai berikut :

1. Badan hukum tidak mempunyai mens rea (keinginan untuk


berbuat jahat).
2. Badan hukum bukan seorang pribadi meskipun badan hukum
dapat melakukan berbagai perbuatan hukum yang biasa dilakukan
orang pribadi.
3. Badan hukum tidak memiliki kesadaran dan tidak punya badan
yang aktual (no soul to be damned and no body to be kicked).
4. Menurut doktrin Ultra Vires, jika ada kejahatan yang dilakukan
oleh direksi suatu perusahaan, hal tersebut sudah pasti merupakan
perbuatan di luar anggaran dasar dari perusahaan yang
bersangkutan, sehingga yang bertanggung jawab adalah
direksinya secara pribadi, tetapi bukan perusahaan yang harus
bertanggung jawab.

Saat ini sudah secara umum diterima bahwa suatu badan


hukum/korporasi dianggap dapat melakukan suatu tindak pidana

9
sehingga konsekuensinya badan hukum tersebut dapat dipidana.
Berkaitan dengan ketentuan Pasal 59 KUHP, menurut S.R Sianturi
bahwa sejak diundangkannya berbagai peraturan perundang-
undangan yang mencantumkan badan hukum, koperasi, yayasan
menjadi subyek tindak pidana dan tidak terbatas hanya dalam tindak
pidana pelanggaran saja, maka pandangan yang mengatakan bahwa
hanya manusia yang merupakan subyek tindak pidana, praktis sudah
ditinggalkan. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam perkembangan
hukum pidana selanjutnya bukan hanya manusia yang dianggap
sebagai subyek hukum, tetapi juga badan hukum terutama dalam hal-
hal yang menyangkut :

 sumber keuangan negara (perpajakan, bea impor, ekspor barang,


dsb).
 pengaturan perekonomian (pengendalian harga, penggunaan cek,
pengaturan perusahaan, dsb).
 pengaturan keamanan (subversi, keadaan bahaya, dsb)

Singkatnya penentuan atau perluasan badan hukum sebagai


subyek tindak pidana adalah karena kebutuhan, terutama dalam soal
perpajakan perekonomian dan kemanan negara yang disesuaikan
dengan perkembangan peradaban manusia. Namun pada hakekatnya
manusia yang merasakan/ menderita pemidanaan itu. Kejahatan
korporasi di Indonesia dapat ditemukan dalam undang-undang :
- UU No. 66 Tahun 1958 tentang Wajib Militer
- UU No. 17 Tahun 1964 tentang Larangan Penarikan Cek Kosong
- UU No. 7/Drt/1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi
- UU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika
- UU No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan
- UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

10
- UU No. 20 Tahun 2001 jo. UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

C. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Secara umum Corporate Crime (kejahatan korporasi) adalah


suatu bentuk kejahatan (crime) dalam bentuk white collar crime, yang
merupakan tindakan yang melanggar hukum pidana, dan dilakukan
oleh suatu perusahaan atau badan hukum yang bergerak di bidang
bisnis melalui pengurus atau yang diotorisasi olehnya, dimana
meskipun perusahaan an sich tidak pernah mempunyai niat jahat
(mens rea).
Kejahatan organisasi (organizational crime) merupakan istilah
lain dari Corporate Crime yaitu kejahatan yang dilakukan oleh
organisasi, baik berbentuk badan hukum, korporasi, atau organisasi
non badan hukum. Kejahatan organisasi (organizational crime) harus
dibedakan dengan kejahatan terorganisir (organized crime), dimana
yang dimaksud organized crime adalah suatu sindikasi dario penjahat
profesional yang melakukan kegiatan ilegal sebagai cara hidup (way of
life) mereka (Steven Gifis), atau juga diartikan bahwa organized crime
adalah tindakan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang
mempunyai kegiatan utama yang berlawanan dengan hukum (pidana)
dengan tujuan untuk mencari keun-tungan secara ilegal dengan jalan
melakukan kegiatan pemerasan (racketeering) bahkan bila
dimungkinkan melakukan manipulasi finansial yang canggih. (Hagan).
Beberapa contoh organisasi bawah tanah atau gembong mafia
yang terkenal adalah Yakuza (Jepang), Triad (Cina dan Hongkong),
beberapa keluarga mafia legendaris asal Italia seperti Al Capone,
Genovese, Gambino, dll. Dilihat dari keabsahan bisnisnya, suatu
kejahatan terorganisir dapat dikategorikan ke dalam :

11
1. Kejahatan dengan bisnis gelap
Dalam dunia mafia tradisional dikenal dua pantangan :
perdagangan/ penggunaan obat bius dan main perempuan. Trend
dari mafia modern, 2 (dua) pantangan tersebut justru menjadi
bisnis utamanya. Semua itu dilakukan dengan gelap termasuk
kegiatan pembunuhan bayaran, pemerasan, pencurian kendaraan
bermotor, dll.
2. Kejahatn dengan bisnis setengah gelap
Artinya bahwa tindakan tersebut tidak terpuji bahkan
bertentangan dengan hukum, tetapi oleh pemerintah dan
masyarakat kegiatan tersebut dibiarkan saja. Misalnya backing
judi/pelacuran, debt collector, pendemo bayaran, dll.
3. Kejahatan dengan bisnis terang-terangan
Banyak bisnis terang-terangan atau legal yang dijalankan
oleh mafia seperti real estate keuangan, kontraktor, dll tetapi
mereka bekerja dengan menyuap aparat pemerintah, mengancam,
dan bahkan membunuh para pesaingnya.
Demikian sekilas tentang Organized Crime, selanjutnya kita
kembali pada pembahasan kita tentang Corporate Crime atau
kejahatan organisasi (organi-zational crime). Dalam membicarakan
tentang Corporate Crime sering kita jumpai beberapa istilah yang dapat
menimbulkan kerancuan yaitu : crimes for corporation, crimes againts
corporation, dan criminal corporations. Terdapat perbedaan dari ketiga
istilah tersebut, yaitu crimes for corporation adalah kejahatan korporasi
dilakukan untuk kepentingan korporasi bukan sebaliknya. Sedangkan
crimes againts corporation adalah kejahatan yang dilakukan oleh para
karyawan atau pekerja terhadap korporasi, dan criminal corporations
nerupakan korporasi yang sengaja dibentuk dan dikendalikan untuk
melakukan kejahatan.

12
Berkaitan dengan tindak pidana korupsi, berlakunya UU No. 31
Tahun 1999 yang kemudian diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah membawa
perubahan besar jika dibandingkan dengan yang diatur dalam UU No.
3 Tahun 1971 tentang Korupsi. Perubahan tersebut antara lain :
1. Perluasan pengertian Pegawai Negeri Sipil.
2. Pengertian keuangan dan perekonomian Negara.
3. Pengertian “secara melawan hukum’’ dan rumusan sebagai delik
formil.
4. Korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi.
5. Ancaman pidana.
6. Pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang.
7. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pembahasan kita disini adalah mengenai poin yang ke (4) yaitu
korporasi sebagai pelaku dalam tindak pidana korupsi. Ketentuan
tersebut dapat kita lihat dari Pasal 2 UU Tipikor :
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh
tahun) dan denda paling sedikit Rp. 2000.000.000,- (dua ratus juta)
rupiah dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar) rupiah”.

Kemudian dalam Pasal 3 UU Tipikor disebutkan :


“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau pereko-

13
nomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar)
rupiah”.
Kemudian mengenai peranan korporasi dalam tindak pidana
korupsi dan tata cara penuntutan serta sistem pemidanaannya dapat
kita lihat dalam ketentuan Pasal 20 UU Tipikor.
Seperti telah disinggung bahwa berkaitan dengan
pertanggungjawaban pidana maka prinsip utama yang berlaku adalah
harus adanya kesalahan (schuld) pada pelaku. Lalu bagaimana
konstruksi kesalahan dari suatu korporasi ?
Berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana maka prinsip
utama yang berlaku adalah harus adanya kesalahan (schuld) pada
pelaku. Hal ini dikenal dengan asas “geen straf zonder schuld”.
Menurut Vos pengertian kesalahan (schuld) memiliki tiga syarat :
1. Kemampuan bertanggung jawab dari orang yang melakukan
perbuatan (toerekeningsvatbaarheid van de dader);
2. Hubungan batin tertentu dari orang yang melakukan perbuatannya
itu dapat berupa kesengajaan atau kealpaan;
3. Tidak terdapat dasar alasan yang menghapuskan
pertanggungjawaban bagi si pembuat atau perbuatannya itu.
Pada mulanya orang tidak menerima pertanggungjawaban
korporasi dalam perkara pidana. Hal ini karena korporasi tidak memiliki
perasaan seperti manusia sehingga tidaklah mungkin melakukan
kesalahan, dan pidana penjara tidak mungkin diterapkan terhadap
korporasi. Namun sekarang ini karena adanya dampak negatif yang
ditimbulkan oleh kegiatan korporasi terhadap kesejahteraan umum,
maka secara umum sudah dapat diterima bahwa korporasi dapat

14
diminta pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana yang dilakukan
oleh agen-agen-agen korporasi yang bertindak atas nama korporasi
tersebut. Menurut Supapto bahwa :
“korporasi bisa dipersalahkan apabila kesengajaan atau
kealpaan terdapat pada orang-orang yang menjadi alat-alat
perlengkapannya. Kesalahan itu bukan individual akan tetapi kolektif
karena korporasi menerima keuntungan”.
Oleh karena korporasi sebagai subyek tindak pidana tidak
mempunyai sifat kejiwaan (kerohanian) seperti halnya manusia
(natuurlijk persoon), persoalan tersebut dapat diatasi apabila kita
menerima konsep keberlakuan fungsional (functioneel daderschap).
Menurut Wolter, keberlakuan keberlakuan fungsional (functioneel
daderschap) adalah karya interpretasi hakim, dimana hakim mengin-
terpretasikan tindak pidana itu sehingga pemidanaannya memenuhi
persyaratan dari masyarakat.
Menurut Muladi pembenaran pertanggungjawaban korporasi
sebagai pelaku tindak pidana dapat didasarkan atas hal-hal sebagai
berikut :
1. Atas dasar falsafah integralistik, yakni segala sesuatu hendaknya
diukur atas dasar keseimbangan, keselarasan, dan keserasian
antara kepentingan individu dan kepentingan sosial;
2. Atas dasar kekeluargaan dalam Pasal 33 UUD 1945;
3. Untuk memberantas anomie of success (sukses tanpa aturan);
4. Untuk perlindungan konsumen;
5. Untuk kemajuan teknologi.
Selanjutnya dikatakan oleh Muladi bahwa pemidanaan korporasi
atas dasar kepentingan masyarakat dan tindak masyarakat dan tidak
atas dasar tingkat kesalahan subyektif. Dalam hal ini strict liability yang

15
meninggalkan asas mens rea merupakan refleksi cenderung untuk
menjaga keseimbangan dan kepentingan sosial.
Dalam pertangggungjawaban dalam hukum pidana, ada 3 (tiga)
sistem kedudukan korporasi sebagai pembuat dan
pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana, yaitu :
1. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang
bertanggungjawab.
2. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggung jawab.
3. Korporasi sebagai pembuat dan bertanggung jawab.
Korporasi / badan hukum yang banyak berekmbang di
Indonesia adalah korporasi yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT)
sebagaimana dimaksud dalam UU No. 1 Tahun 1995 tentang
Perseroan Terbatas (PT). Jika kita lihat ketentuan Pasal 82, 84, dan
Pasal 85 UU No. 1 Tahun 1995 maka dapat dilihat bahwa disana
menganut doktrin Ultra Vires, yang berarti apabila direksi bertindak
menyalahi wewenang atau melampaui batas yang digariskan korporasi
dalam AD/ART maka korporasi lepas dari tanggung jawabnya.
Permasalahannya adalah jika doktrin Ultra Vires ini diberlakukan maka
akan banyak korporasi yang lepas dari jeratan hukum. Padahal trend
baru dalam tindak pidana korupsi di Indonesia adalah keterlibatan
korporasi, dalam hal ini korporasi sebagai ajang untuk memperoleh
dana dari negara. Selain juga timbul masalah apabila pelaku melarikan
diri, maka yang dapat disita hanya saham yang dimilikinya. Saat ini
banyak sekali pelaku tindak pidana korupsi yang melarikan diri ke luar
negeri, dan yang menjadi tujuan aadalah Singapura dan Cina. Kedua
negara ini menjadi tujuan kaburnya para koruptor karena belum
memiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia. Selain itu mereka juga
“diperlakukan” dengan baik karena dianggap sebagai “investor”.

16
Selanjutnya kita bicara tentang sanksi pidana. Karena bukan
sebagai natuure person maka korporasi tidak dapat dijatuhi pidana
penjara. Dalam hal ini yang dapat dijatuhi adalah para pengurusnya.
Dalam Pasal 20 UU Tipikor disebutkan bahwa pidana pokok yang dapat
dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda, dengan ketentuan
maksimum pidana ditambah 1/3 (sepertiga). Akan tetapi pada
umumnya pidana denda ini tidak efektif karena :
1. Korporasi akan menjadikan pengeluaran dana untuk denda ini
sebagai pos pengeluaran biasa yang merupakan cost of business
dari perusahaan tersebut.
2. Jika denda sudah terlalu membebankan, perusahaan dpat
mengajukan dirinya untuk dipailitkan.
Dewasa ini telah berkembang model-model hukuman pidana
nonkonvensional yang dianggap cocok bagi korporasi yamng
melakukan Corporate Crime, yaitu:
1. Hukuman percobaan, yaitu perusahaan tersebut diawasi untuk
mempraktekkan Good Corporate Governance dan mengikuti aturan
main yan ada.
2. Denda Equitas (equity Fine), yaitu saham-saham harus disetor
kepada pemerintah sebagai denda dan pemerintah mendapatkan
hasil dari saham itu.
3. Pengalihan menjadi hukuman individu, adalah mengalihkan
hukuman pidana (penjara) kepada pejabat yang paling
bertanggung jawab dalam korporasi.
4. Hukuman tambahan, yaitu berkaitan dengan sanksi administratif
seperti pencabutan ijin, larangan untuk melakukan kegiatan
tertentu, dll.

17
5. Hukuman pelayanan masyarakat, dimana korporasi melakukan
sesuatu kepada masyarakat/ mengganti kerugian kepada
masyarakat.
6. Kewenangan yuridis pihak luar korporasi, yaitu pihak luar termasuk
Bapepam diberi otoritas untuk masuk dan mengambil kebijakan
tyerhadap korporasi tersebut.
7. Kewajiban membeli saham, adalah kewajiban korporasi untuk
membeli saham dari pemegang saham yang merasa dirugikan
akibat perbuatan dari korporasi.

D. Tindak Pidana Korupsi

Korupsi secara umum merupakan suatu tindakan mengambil,


menyelewengkan, menggelapkan uang rakyat atau negara untuk
kepentingan pribadi atau kelompok ataupun menerima gaji tanpa

usaha atau kerja (meninggalkan tugas).16Baharudin Lopa


menguraikan istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang
menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan
manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang
kepentingan umum.

Menurut beberapa sarjana, korupsi dapat diartikan sebagai berikut:

a. Andi Hamzah, korupsi merupakan perbuatan melawan hukum,


guna memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
badan, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan
keuangan negara da perekonomian negara, atau patut diketahui
atau patut disangka olehnya perbuatan tersebut merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara.
b. Bayley menyatakan perkaataan korupsi dikaitkan dengan
perbuatan penyuapan yang berkaitan dengan penyalahgunaan

18
wewenang atau kekuasaan sebagai akibat adanya
pertimbangan dari mereka yang memegang jabatan bagi
keuntungan pribadi
c. M. Mc. Mullan mengatakan seorang pejabat pemerintahan
dikatakan korupsi apabila ia menerima uang yang dirasakan
sebagai dorongan untuk melakukan sesuatu yang biasa
dilakukan dalam tugas jabatannya padahal selama ia
menjalankan tugasnya seharusnya tidak boleh berbuat
demikian,

Defenisi korupsi menurut perspektif hukum, secara gamblang


telah diuraikan dalam tiga belas pasal dalam Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemeberantasan Tindak Pidana Korupsi.

19
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah diuraikan di atas maka diambil
kesimpulan sebagai berikut :
Bahwa korporasi sebagai “subyek hukum” dalam tindak pidana
korupsi diatur dalam UU No. 31 Tahun yang diubah dengan UU No. 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berkaitan
dengan pertanggung jawaban pidana maka prinsip utama yang
berlaku adalah harus adanya kesalahan (schuld) pada pelaku. Hal ini
dikenal dengan asas “geen straf zonder schuld” yaitu tiada pidana
tanpa kesalahan, dimana kesalahan tersebut memiliki syarat : ada
tindak pidana yang dilakukan, adanya kesengajaan atau kealpaan,
adanya kemampuan bertanggung jawab, dan tidak ada alasan
pemaaf. Dalam pertangggungjawaban dalam hukum pidana, ada 3
(tiga) sistem kedudukan korporasi sebagai pembuat dan
pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana, yaitu :
1. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang
bertanggungjawab.
2. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggung
jawab.
3. Korporasi sebagai pembuat dan bertanggung jawab.
Dalam tindak pidana korupsi maka korporasi, sesuai doktrin
dalam hukum pidana, dapat dikenakan pertanggungjawaban secara
pidana. Dalam hal ini, karena korporasi bukan natuure person maka
hukuman yang dapat dijatuhkan pada korporasi lebih menitikberatkan
pada denda dan sanksi nonkonvensional lain yang telah dijelaskan di
atas.

20
B. Saran
Bahwa dalam perkembangan tindak pidana korupsi pada saat
ini justru yang paling banyak merupakan berasal dari hasil kejahatan
korporasi sehingga para penegak hukum kita terutama Polisi, Jaksa
dan Komisi Pemberantasan Korupsi harus lebih berani lagi dalam
mengungkap tindak pidana korupsi menyangkut korporasi. Jadi tidak
hanya pengurus dan pembuat korporasi saja yang dapat di tangkap
tetapi juga bisa korporasnya juga dapat dijatuhi hukuman administrasi
seperti berupa pencabutan izin usaha ataupun yang lainnya yang
berhubungan dengan sanksi administrasi dan bisa juga dengan
hukuman non konvensional yang telah dijelaskan diatas.

21
Daftar Pustaka

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang No. 31 Tahun


1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Yongky Putra, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Tindak Pidana
Korupsi, http://karyatulisa.blogspot.com/2012/06/12_23.html,
diakses tanggal 25 Oktober 2014.

Kapita Selekta Tindak Pidana Korupsi, 2005, PUSDIKLAT Mahkamah


Agung RI. Perseroan Terbatas dan Good Corporate Governance,
Lokakarya Terbatas Mahkamah Agung Masalah Hukum Bisnis,
2004, Editor Emmy Yuhassarie.

22

Anda mungkin juga menyukai