Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Sepsis merupakan penyebab tersering kesakitan dan kematian akibat infeksi di seluruh

dunia. Dilaporkan hampir 500.000 kematian ibu hamil/bersalin/nifas terjadi tiap tahun

yang disebabkan oleh komplikasi kehamilan dan persalinan, kematian ini 99% terjadi di

negara–negara berkembang. Sebagai contoh di Inggris terjadi kematian 2-9 ibu

hamil/bersalin/nifas per 100.000 kelahiran, sedangkan di Afrika terjadi 100 kematian ibu

hamil/bersalin/nifas per 10.000 kelahiran (Sandhu AK, 2008). Di Obstetri dan Ginekologi

RSU dr.Soetomo Surabaya angka kejadian sepsis 28,13% tertinggi kedua setelah kejadian

preeklampsia/eklampsia sebesar 36,54%. Tingginya angka kejadian sepsis memerlukan

perhatian serius karena berdampak tingginya angka kematian ibu hamil atau pasca salin

(Dahlan GC, 2009).

Akhir-akhir ini kejadian sepsis pada ibu hamil cenderung menurun, Martin dkk

melaporkan penurunan dari 0,6% menjadi 0,3% dari tahun 1979-2000.1 Menurut data

WHO kejadian sepsis bervariasi dari 0,9 sampai dengan 7,04 per 1000 wanita dengan

usia 15-49 tahun. Kejadian sepsis pada wanita hamil dihubungkan dengan komplikasi

infeksi seperti infeksi saluran kemih, korioamnionitis, endometritis, luka infeksi dan

abortus septik. Penyebab sepsis non obstetrik pada wanita hamil diantaranya malaria,

HIV dan pneumonia. Infeksi saluran kemih sering dikaitkan sebagai penyebab infeksi

tersering pada kehamilan. Hal ini dikarenakan terjadinya perubahan secara anatomi dan

fisiologis sehingga memudahkan ascending infection. Perubahan kimiawi urine juga

1
memudahkan pertumbuhan kuman patogen sebagai penyebab infeksi. Korioamnionitis

sering dihubungkan dengan kejadian ketuban pecah dini. Lamanya waktu ketuban pecah

dengan proses persalinan sangat mempengaruhi kejadian ini. Endometritis dan luka

infeksi merupakan komplikasi yang sering terjadi pada operasi seksio sesaria.

Telah diketahui ada 5 penyebab utama kematian ibu di seluruh dunia yaitu, perdarahan,

sepsis, hipertensi, persalinan lama dan unsafe abortion. Sebagian besar kematian ibu

yang disebabkan oleh ke lima hal tersebut sebenarnya dapat dicegah dengan memberikan

pelayanan kesehatan yang memadai, memberikan informasi dan edukasi serta

penanganan medis yang cepat dan tepat (Kvale, 2005).

Angka kematian ibu (AKI) yang disebabkan oleh kondisi medis langsung terbanyak

(25%) disebabkan karena perdarahan, diikuti oleh infeksi (15%), unsafe abortion (13%),

eklampsia (12%), persalinan lama dengan/ tanpa pecah ketuban (8%) dan penyebab

lainnya (8%). Sedangkan penyebab tidak langsung adalah anemia, penyakit

kardiovaskular, malaria, tuberkulosis, hepatitis dan penyakit-penyakit lainnya. Perjalanan

sepsis akibat bakteri diawali oleh proses infeksi yang ditandai dengan bakteremia

selanjutnya berkembang menjadi SIRS (Systemic Inflamatory Respon Syndrome)

dilanjutkan sepsis, sepsis berat, syok sepsis dan berakhi Multi Organ Dysfunction

Syndrome (MODS), yang menimbulkan mortalitas yang sangat tinggi.

2
BAB II
SYOK SEPTIK

2.1. DEFINISI.

Syok adalah suatu sindrom klinis yang ditandai dengan adanya gangguan sistem sirkulasi

yang mengakibatkan tidak adekuatnya perfusi dan oksigenasi untuk mempertahankan

metabolisme aerobik sel secara normal. Syok disebut sebagai suatu sindrom yang diawali

oleh hipoperfusi akut yang mengarah ke hipoksia jaringan dan disfungsi organ vital.

Syok kelainan sistemik yang mempengaruhi sistem organ. Perfusi dapat turun secara

menyeluruh maupun secara perlahan (Saifudin, 2003).

Syok septik adalah gangguan sistem sirkulasi yang mengakibatkan tidak adekuatnya

perfusi dan oksigenasi jaringan yang disebabkan oleh adanya sistemik inflamatory

respons terhadap infeksi (Rifki AZ, 2013).

2.2. ETIOLOGI

Infeksi bisa berasal dari faktor endogen dan eksogen, sebab obstetri dan non obstetri

serta penularan nosokomial. Infeksi dari bidang obstetri misalnya korioamnionitis, post

partum endometritis, aborsi septik, infeksi luka episiotomi dan seksio sesaria serta akibat

prosedur invasif yang menimbulkan necrotizing fasciitis, pengikatan servix (cerclage)

serta amniosentesis atau akibat toxic shock syndrome.

Aborsi septik, infeksi postpartum dan khorioamnion, pyelonefritis dan infeksi traktus

respiratorius. Ketuban pecah dalam waktu yang lama, tertinggalnya hasil konsepsi,

3
peralatan yang berhubungan dengan traktus genitourinaria adalah faktor-faktor resiko

yang signifikan sebagai penyebab sepsis (Saude, 2004).

Penyebab non-obstetri bisa karena radang apendiks, kholesistitis, infeksi saluran kemih,

pyelonefritis akibat batu dan abses renalis, pneumonia serta terakhir ini bisa karena

infeksi HIV dan malaria. Infeksi pelvik sering polimikrobial dengan bakteri yang paling

sering menyebabkan syok adalah kelompok Enterobacteriaceae khususnya Escheria

Coli. Mikroorganisme lainnya adalah A-haemolytic streptococcus dan Staphylococcus

aureus yang amat virulen karena eksotoksinnya. Group B streptococcus (GBS) dalam

saluran reproduksi dapat bersifat pathogen dan bisa menimbulkan neonatal sepsis (Schrag

SJ et al., 2004). Infeksi yang berasal dari radang pyelonefritis saat kehamilan sering

disebabkan oleh spesies E. coli dan Klebsiela. Kejadian syok septik dapat juga

disebabkan oleh patogen lain yaitu streptococci aerob dan anerob, bacteroides dan

clostridium (Schrag SJ etal., 2000).

2.3 FAKTOR PREDISPOSISI

Banyak faktor langsung maupun tidak langsung, yang berpengaruh memudahkan terjadi
infeksi dan sepsis pada kehamilan, persalinan dan nifas. Beberapa kondisi tersebut antara
lain :
A. Sosial ekonomi rendah

B. Anemi dan kurang gizi

C. Melahirkan operatif / seksio sesaria

D. Mengalami ketuban pecah dini

E. Partus lama

4
F. Masyarakat yang : - ignorance / tidak tahu - partus dukun

G. Kehamilan dengan komplikasi infeksi seperti pyelonepritis, infeksi luka, infeksi


traktus urinarius, dan sepsis puerperalis (Kaur, 2007).

2.4 PATOFISIOLOGI

Mikroorganisme menghasilkan endotoksin yang mengaktifkan system komplemen dan

sitokin, hal ini memicu respon peradangan. Mediator-mediator dari sepsis adalah

penyebab terjadinya vasodilatasi, penurunan tahanan perifer pembuluh darah dan

hipotensi. Lebih jauh lagi, hal ini dapat menyebabkan berkurangnya disribusi aliran

darah, perfusi yang tidak adekuat pada beberapa organ, kerusakan sel, kerusakan banyak

organ dan akhirnya kematian (Saude, 2004).

Mediator-mediator dari proses radang menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler

yang menyebabkan kebocoran cairan intravascular ke luar, lebih spesifik lagi ke

parenkim paru, dan hal ini dapat menyebabkan edema paru. Sewaktu sepsis, kerusakan

pada pneumocytes tipe II mengurangi produksi surfaktan, hal ini dapat menimbulkan

kolapsnya alveolar, penurunan compliance paru, dan hipoksemia berat. Kumpulan gejala

klinik dan patofisiologi ini disebut ARDS (Saude, 2004).

5
2.5 DIAGNOSIS SYOK SEPTIK

Diperlukan adanya 3 tanda karakteristik :

a. Tanda sistemik

 Suhu < 36 oC atau > 38 oC

 HR > 90 x/menit

 Takipneu

 Perubahan status mental

 Edema, keseimbangan cairan positif (> 20 mL/Kg lebih dari 24 jam)

 Hiperglikemia (glukosa plasma > 140mg/dL atau 7,7 mmol/L) dan tidak

diabetes

b. Tanda inflamasi

 Leukositosis (Hitung sel darah putih > 12.000 μL–1)

 Leukopeni (Hitung sel darah putih < 4000 μL–1)

c. Hipoperfusi jaringan

Hipotensi arteri (tekanan darah sistolik < 90mmHg, MAP < 70 mmHg, atau tekanan

darah sistolik turun > 40 mmHg pada dewasa atau lebih rendah dua standar deviasi

dibawah nilai normal umur)

Disfungsi Organ:

1. Hipoksemia arterial, RR > 20/menit (PaO2/FiO2 < 300)

2. Oliguria akut (jumlah urin < 0,5 mL/Kg/jam selama minimal 2 jam meskipun

resusitasi cairan adekuat

3. Peningkatan kreatinin > 0,5 mg/dL atau 44,2 μmol/L


6
4. Koagulasi abnormal (INR > 1,5 atau aPTT > 60 s)

5. Ileus (tidak terdengar suara usus)

6. Trombositopeni (hitung trombosit < 100.000 μL–1)

7. Hiperbilirubinemia (bilirubin plasma total > 4mg/dL atau 70 μmol/L)

Kuman penyebab dapat diidentifikasi dari pemeriksaan laboratorium lengkap yang

meliputi pemeriksaan darah, urin, dan kultur dari berbagai cairan tubuh, evaluasi

mikrobiologis dari darah, urin, sputum atau dari luka yang belum sembuh atau

melakukan amniosentesis bila dicurigai adanya infeksi intra

uterin.

Hasil kultur darah yang positif menguatkan adanya infeksi yang serius. Karena

keterbatasan teknik kultur hanya 30% kuman penyebab dapat dikenali disamping secara

klinis infeksi bisa masih terbatas lokal dan belum menstimulasi reaksi sistemik.

7
BAB III

PENATALAKSANAAN SYOK SEPTIK

3.1. Pengobatan dengan antibiotika

Pemberian antibiotika hendaknya mempertimbangkan spektrum yang mencakup

kemungkinan kuman penyebabnya, farmakokinetik, dosis, cara pemberian, keamanan

serta biaya. Pemberian antibiotika segera harus dilakukan tanpa menunggu hasil kultur

dan dapat dimulai secara empiris dengan antibiotika spektrum luas. Apabila hasil kultur

dan tes sensitifitas sudah ada, maka jenis antibiotika harus disesuaikan dengan hasil tes

sensitifitas yang ada, untuk menghindari timbulnya resistensi antibiotika tersebut. Pada

infeksi yang berat dipilih cara pemberian intravena untuk mempercepat kerja obat (Rusel,

2006).

Beberapa pilihan antibiotika pada sepsis/sepsis berat/syok septik sebagai berikut :

A. Pada umumnya untuk infeksi yang terkait dengan kehamilan dan persalinan, yang

dicurigai dengan infeksi aerob dan anaerob masih dapat diberikan kombinasi penisilin

dan klindamisin.

B. Sebagai alternatif, pada pasien pasien yang tidak mengalami neutropenia dapat

diberikan sefalosposrin generasi ke dua atau ke tiga. Sefalosporin generasi ketiga atau

keempat, sepeti Cefotaxime, Ceftizoxime, Cefoperazone, Ceftriaxone, Cefpirone,

Cefepine atau Ceftazidime dapat dipertimbangkan pada infeksi yang berat atau pada

infeksi oleh berbagai macam strain bakteria gram negatif.

8
C. Pada beberapa rumah sakit, terdapat bakteri gram negatif yang resisten terhadap

sefalosporin generasi ke dua, tiga dan empat. Pada kondisi ini dapat diberikan

Ciprofloxacin. Pseudomonas aeruginosa yang resisten terhadap gentamisin dihindari,

dapat diberikan Ceftazidime, Cefepime atau Meropenem. Strain Enerokokal yang saat

ini resisten dengan banyak antibiotika dapat diberikan klorampenikol, Doksisiklin

atau Fluorokuinolon.

D. Obat anti jamur tidak dianjurkan untuk diberikan secara rutin, kecuali pada pasien

pasien yang mengalami penurunan imunitas dan kondisi kondisi tertentu yang

memudahkan terjadinya infeksi jamur dan dapat diberikan Niastatin, Ampotericin B

atau Flukonasol (Larosa, 2002).

9
Tabel 1. Pilihan Antibiotika untuk sepsis/sepsis berat/syok sepsis (Cunha, 2008)

Subset Patogen Terapi yg Terapi alternatif Perubahan IV ke oral


penyebab dianjurkan
Sumber Enterobact Meropenem 1 Quinolone IV-2minggu Moxiflo-xacin 400
Intraabdo eriaceae gr(IV)/8 jam- + salah satu dari: mg(po)/24 jam -2 minggu
minal/pelv B fragillis 2minggu Metronidazole 1 gm Atau kombina-si dengan
ik atau IV/24 jam-2minggu Clinda-
Piperacillin/tazo- Atau mycin 300 mg(po)/8 jam
bactam 3.375 Clindamycin 600 mg -2 minggu
gmIV/6jam- IV /8 jam-2minggu + salah satu dari
3minggu Cipro-
Atau Floxacn 500 mg(po) /12
Ertapenem 1 jam atau
gm(IV) /24 jam- Levoflo-
2minggu Xacin 500 mg/24 jam-2
Atau kombinasi minggu
dengan
Ceftriaxone 1 gm
IV/24 jam-
2minggu
Plus

Urosepsis Enterobact Meropenem Quinolone IV-1sp Quinolone(po) –asp 2


eriaceae 1gmIV/8jam-1sp 2minggu atau minggu
E faecalis 2minggu kombinasi dengan
Atau amniglikosidaIV1sp 2
Piperacillin/tazoba minggu
ctam atau
3,375gmIV/jam-1 Vancomisin 1gmIV/12
sp 2minggu jam -1sp 2 minggu
Candidem C albicans Flukonasol 800mg IV 1x,lanjutkan dengan 400 mgIV/24 jam-2 minggu
ia Atau
Ampotericin B 0,7 mgmg/kg IV /24 jam -2minggu
Atau
Itrakonasol 200 mgIV/12 jam-2 hari,lanjutkan dengan 200 mgIV/24 jam
– 2minggu.

10
3.2. Resusitasi cairan

Salah satu komplikasi utama pasien sepsis adalah adanya vasodilatasi umum yang

diakibatkan oleh pelepasan Nitric Oxide ( NO ) dalam jumlah besar (Saude, 2004).

Disamping itu pada sepsis, syok hipovolemik juga bisa disebabkan oleh adanya

peningkatan kapasitas vaskular ( penurunan venous return ), dehidrasi ( karena asupan

yang menurun, kehilangan cairan melalui keringat, dan pernapasan ) atau karena adanya

perdarahan dan kebocoran plasma (Hochkiss, 2003).

Stabilisasi hemodinamik bertujuan untuk mempertahankan perfusi jaringan dan

menormalisasi metabolisme selular. Pemberian cairan kristaloid/koloid untuk

mempertahankan stabilitas hemodinamik diberikan secara bolus 250 – 1000 mL selama

5-15 menit, setelah itu dipertahankan sesuai dengan tekanan darah, yaitu

mempertahankan tekanan darah sistolik minimal 90 mmHg atau tekanan arterial rata-rata

(MAP) 60 - 65 mmHg, dan volume urine ≥ 0,5 mL/kg berat badan/jam. Bila setelah

pemberian cairan tersebut secara klinis, tekanan darah tidak ada perubahan / masih

hipotensif, frekuensi denyut jantung tidak menurun, isi nadi tidak cukup, kulit dan

ekstermitas dingin, produksi urin tidak membaik, dan kesadaran tidak membaik, maka

pemberian cairan selanjutnya sebaiknya dimonitor dengan pemasangan Central Venous

Pressure ( CVP ) yang dipertahankan pada tekanan 8 - 12 mmH2O, atau yang lebih tepat

dengan memonitor tekanan ventrikel kiri dan tekanan diastolik dengan pemasangan

Pulmonary Capillry Wedge Pressure ( PCWP) yang dipertahankan pada tekanan 12 – 16

11
mmHg. Suplai oksigen sistemik tergantung dari cardiac output dan oxygen carrying

capacity dari darah. Kadar Hb yang ideal untuk pasien sepsis adalah 8 hingga 10 gr/dl

tergantung keadaan klinis penderita. Semua tindakan ini dilakukan di ruang perawatan

intensif dengan monitoring yang ketat (Rusel, 2006).

Apabila tekanan darah tetap tidak naik setelah pemberian cairan dan peningkatan

hemoglobin, maka diperlukan pemberian obat vasopresor. Vasopresor yang dipilih harus

mempertimbangkan efek kardiak dan vaskular perifer dari obat tersebut. Norepinefrin

lebih sering dipakai karena tidak banyak menyebabkan peningkatan frekuensi denyut

jantung. Pada syok septik, norepinefrin juga lebih baik dalam meningkatkan cardiac

output dibandingkan dengan dopamin, demikian juga dalam perbaikan aliran darah ke

ginjal dan produksi urin. Bila cardic output tetap tidak baik,yang ditandai oleh perfusi

perifer yang tidak adekuat, serta indek kardiak < 2,5 L/min/m2, maka dapat diberikan

obat obat inotropik, seperti Dobutamin, yang dimulai dengan dosis 2,5 μg/kg berat badan/

menit dan dinaikkan setiap 30 menit, sampai tercapai perfusi yang normal atau frekuensi

jantung >140 x/menit atau hilangnya hipotensi. Akhirnya apabila kombinasi vasopresor

dan obat intropik sudah diberikan dan hasilnya belum optimal maka dapat diberikan

Vasopresin dengan dosis 0,01 sampai 0,04 unit/menit dengan tujuan untuk mencegah

iskemiia arteria koroner dan splanikus. Pemberian bikarbonat pada asidosis tidak

dianjurkan (Hochkiss, 2003).

Pemberian resusitasi cairan harus dilakukan dengan pengawasan hemodinamik yang ketat

yaitu, tekanan darah, nadi, cardiac output, PCWP, produksi urine, dan kadar asam laktat

12
darah. Hati-hati dalam pemberian cairan koloid pada pasien yang mengalami gangguan

fungsi ginjal, sebab dapat mempengaruhi fungsi filtrasi ginjal yang pada akhirnya dapat

mencetuskan terjadinya gagal ginjal akut (Rusel, 2006).

3.3. Pengobatan mencegah gagal nafas

Pada pasien sepsis yang mengalami ancaman gagal nafas ( frekuensi nafas > 35 kali/menit),

penurunan kesadaran, dan hipoksemia berat, maka dilakukan intubasi endotrakeal dan

pemasangan ventilasi mekanik. Adapun kriteria yang dapat dipakai untuk menentukan

apakah seseorang sudah ada dalam kondisi kegagalan nafas yang mengancam adalah sebagai

berikut :

A. Mekanikal :

1. Kapasitas Vital < 15 mL/kg

2. Maternal inspiratory force (MIF) < - 25 cm H20

3. Frekuensi nafas > 35 kali/menit

B. Oksigenasi :

1. Pa 02 < 70 mmHg dengan FiO2 0,4

2. P(A-a)02 > 350 mmHg dengan FiO2 1,0

C. Ventilasi :

1. Pa CO2 > 55 mmHg (pada keadaan akut)

2. Dead space/ tidal volume ( Vd/Vt > 0,6)

D. End Respiratory lung inflation inadequate for adequate gas exchange (Schiel, 2003).

13
3.4. Pemberian kortikosteroid

Meskipun masih kontroversi penggunaan kortikosteroid dosis kecil jangka panjang

menunjukkan perbaikan hemodinamik dan menurunkan kebutuhan obat vasopressor serta

menurunkan secara bermakna angka kematian pasien di ruang intensif. Penggunaan

kortikosteroid ini juga tidak terbukti menimbulkan perdarahan saluran cerna, terjadinya

superinfeksi dan hiperglikemia. Dengan demikian maka terapi kortikosteroid dapat diberikan

pada pasien pasien sepsis dan syok septik. Rekomendasi dosis yang dberikan adalah

hidrokortison 50 - 100 mg intravena setiap 6 - 8 jam atau 0,8 mg/kg BB/jam per infus

ditambahkan dengan fludokortidon 50 ug/hari, untuk kemudian dilakukan tappering-off secara

bertahap sesuai dengan kondisi klinis. Pemberian physiologic doses of corticosteroid tersebut,

dapat diberikan pada kadar kortisol yang normal atau tinggi, dengan asumsi terjadi efek

down regulasi reseptor adrenergik disertai dengan respon desensitisasi (Cooper, 2003).

3.5. Pengendalian gula darah

Untuk mencegah terjadinya kematian akibat multiple organ dysfunction syndromes

(MODS), dilakukan pemberian terapi insulin untuk mengendalikan kadar gula darah pada

kadar 80 - 100 mg/dL, dan harus dilakukan monitoring ketat terhadap adanya tanda tanda

hipoglikemik. Pada pasien pasien sepsis yang mengalami hiperglikemia terjadi penurunan

fungsi fagositosis netropil, dan pemberian insulin mampu meningkatkan fungsi tersebut.

Potensi insulin yang lainnya adalah kemampuan insulin untuk menurunkan kejadian

apoptosis sel dengan cara mengaktivasi pospatidil inositol3-kinase. Tanpa memandang

apapun mekanismenya, pengendalian gula darah pada pasien pasien kritis penting

14
dilakukan, dengan catatan tetap melakukan monitoring adanya hipoglikemik yang dapat

membahayakan jaringan otak (hypoglycemic brain injury). Kadar gula darah yang

direkomendasikan adalah antara 80 - 110 mg/dl (Chen, 2004).

Tabel dibawah ini dapat dipakai sebagai pedoman pemberian dan monitoring insulin pada

pasien pasien sepsis.

Tabel 2. Appropriate action depending on blood glucose level (Vincent, 2002)

Test BG level(mg/dl) Action


A: Measure on entry to ICU > 220 Start insulin at dose of 2-4IU/h.Continue
test B
220-110 Start insulin at dose 1-2 IU/h. Continue
test B
< 110 Do not start Insulin continue test BG
Monitoring every 4 h. continue test A
B : Measure glucose level- > 140 increase dose by 1-2 IU/h
Until normal
110-140 increase dose 0,5 – 1 IU/h
Approaching N adjust insulin dose by 0,1-
0,5 IU/h
Continue test C.
C: Measure glucose every Approaching N adjust insulin dose by 0,5 – 1 IU/h
4h Normal leave insulin dose unchanged
Falling steeply reduce insulin dose and check glucose
within 1-2 h
60-80 reduce insulin dose and check glucose
Within 1 h
40-60 Stop insulin assure adequate baseline
Glucose intake and check glucose 1 h
< 40 Stop insulin, assure adequate baseline
Glucose intake administer glucose
10 gr IV boluses and check glucose
1h

15
3.6. Pengakhiran kehamilan

Terdapat beberapa pengaruh sepsis terhadap kehamilan, seperti misalnya terjadinya

penurunan sirkulasi uteroplasenta dan persalinan preterm, yang disebabkan oleh

hipoksemia maternal dan asidosis. Keputusan untuk melahirkan tetap mempertimbangkan

kondisi pasien dan umur kehamilan ( kecuali intra uterine infection ). Apabila pemberian

terapi yang adekuat terhadap sepsis tetap tidak memberikan perbaikan kondisi ibu, atau

terjadi perburukan kondisi ibu, maka melahirkan/mengosongkan uterus dengan segera

dapat dipertimbangkan karena dapat memperbaiki venous return dan volume paru

(Hochkiss, 2003).

16
BAB IV
ALGORITMA PENATALAKSANAAN SEPSIS MATERNAL

Identifikasi pasien Tim Sepsis

Resusitasi cairan Pemberian antibiotika


spektrum luas

CVP ? < 8-12 500-1200 ml cairan kristaloid

< 8-12
< 65
MAP ? Vasopressor

≥ 65
< 30%
Transfusi
Central
< 70% Hct ?
Venous O2
saturation ? Penyesuaian
≥ 30% dosis
dobutamin

Protein C Steroid jika Posisi Kontrol Ventilator


jika ada ada indikasi semi- sumber pada kondisi /
indikasi recumbent infeksi ARDS

Gambar 1. Algoritma penatalaksanaan sepsis maternal (Saude, 2004)

17
BAB V
KESIMPULAN

5.1. KESIMPULAN

1. Terdapat 5 penyebab utama kematian ibu di seluruh dunia yaitu, perdarahan,

sepsis, hipertensi, persalinan lama dan unsafe abortion.

2. Syok septik adalah sepsis berat dan hipotensi yang persisten, meskipun telah

diberikan cairan yang adekuat, dan setelah menyingkirkan penyebab

hipotensi yang lainnya.

3. Begitu diagnosis ditegakkan maka rangkaian terapi harus dimulai secara agresif

dan adekuat dalam waktu kurang dari 6 jam. Patokan yang disebut

dengan”early goal directed therapy” telah terbukti dapat menurunkan angka

kematian ibu secara bermakna.

18
DAFTAR PUSTAKA

Chen K, Widodo D. Patofisiologi Sepsis. Peran Mediator Inflamasi. Bunga Rampai


Penyakit Infeksi. Pusat Informasi dan Penelitian Depertemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004. 54-60.
Cooper MS, Stewart PM. Corticosteroid Insufficiency in Acute Ill Patients. New
England Journal of Medicine, February 20, 2003. 727-733.
Cunha BA, Ronald MD,Nichols MD. Empiric Therapy Based on Clinical syndrome.
Antibiotic Essenstials,7th ed. Physicians Press,2008. 118-119.
Dachlan EG (2009) Obstetrical sepsis In The 10th Annual Indonesian Maternal Fetal
Medicine Scientific Meeting.

Fernandez-Perez E.R,MD, Salman S,MD, Pendem S,MBBS et al (2005) Sepsis during


pregnancy, Critical Care Medicine, ,vol 33 No.10:286-290

Hochkiss RS, Karl IE. The Pathophysiolgy and treatment of sepsis. The New England
Journal of Medicine, 348:2, January, 9, 2003; 138- 148.
Kaur D,kaur V , Yuel VI. Alarmingly High Maternal Mortality 1n 21st Century. JK
Science. Vol 9,No 3, july-September 2007, 123- 12.
Kvale G, Olsen BE, Hinderaker SG, Ulstein M, Bergsjo P. Maternal deaths in
developing countries : A preventable tragedy. Norsk Epidemiology 2005; 15 (2) :
141-149. Larosa SP . Sepsis: Menu of new approaches replaces one therapy forall.
Cleveland Clinic Journal of Medicine,vol 69,number 1,January 2002.65-70.
Rusel JA. Management of sepsis. The New England Journal of Medicine. October
19, 2006. 1699- 171.
Sandhu AK, Mustafa FE. Maternal mortality in Bahrain 1987-2004 : an audit of causes
of avoidable death. Eastern Mediteranian Health Journal, Vol 14, No 3, 2008.
Saifudin AB, Adrianz G, Wiknjosastro GH, Waspodo D (Eds). Buku Acuan Nasional
Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Edisi pertama, Jakarta,
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2003:3-9.
Saude GR. Maternal sepsis. Obstetric Intensive care manual. 2nd Edition. The Mc
Graw-Hill Companies Ltd, 2004 : 113 – 118.
Schiel X, Hebart H, Kern WV, Kiehl MG, Solch JP, Wilhelm S.et al. Sepsis in
neutropenia. Guidelines of the Infectious Diseases Working Party of the German
Society of Hematology and Oncology. Annual Hematol (2003) 82 (supp 2): s158-
166.
Schrag SJ, Arnold KE, Mohle-Boetani et al. Prenatal screening for infectious diseases
and opportunities for prevention. Obstet Gynecol 102:753. 2003.

19
Schrag SJ , Zywicki S, et al. Group B streptococcal disease in the era of intrapartum
antibiotic prophylaxis . N Engl J Med 342: 15, 2000
Vincent JL, Abraham E, Annane D, Bernard G, Rivers E, Berghe G. Reducing
Mortality in Sepsis : new directions. Supplement. Critical Care, December
2002,vol 6,Suppl 3.

20

Anda mungkin juga menyukai