Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

Status Epileptikus merupakan masalah kesehatan umum yang diakui meningkat akhir-akhir

ini terutama di Negara Amerika Serikat. Ini berhubungan dengan mortalitas yang tinggi

dimana pada 152.000 kasus yang terjadi tiap tahunnya di USA menghasilkan

kematian. Begitu pula dalam praktek sehari-hari Status Epileptikus merupakan masalah

yang tidak dapat secara cepat dan tepat tertangani untuk mencegah kematian ataupun akibat

yang terjadi kemudian.1

Kejang merupakan suatu manifestasi klinis yang sering dijumpai di ruang gawat darurat.

Hampir 5% anak berumur di bawah 16 tahun setidaknya pernah mengalami sekali kejang

selama hidupnya. Kejang penting sebagai suatu tanda adanya gangguan neurologis.

Keadaan tersebut merupakan keadaan darurat. Kejang mungkin sederhana, dapat berhenti

sendiri dan sedikit memerlukan pengobatan lanjutan, atau merupakan gejala awal dari

penyakit berat, atau cenderung menjadi status epileptikus1

Kejang adalah manifestasi klinis khas yang berlangsung secara intermitten dapat berupa

gangguan kesadaran, tingkah laku, emosi, motorik, sensorik, dan atau otonom yang

disebabkan oleh lepasnya muatan listrik yang berlebihan di neuron otak. Status epileptikus

adalah kejang yang terjadi lebih dari 30 menit atau kejang berulang lebih dari 30 menit

tanpa disertai pemulihan kesadaran.1

Tatalaksana kejang seringkali tidak dilakukan secara baik. Karena diagnosis yang salah atau

penggunaan obat yang kurang tepat dapat menyebabkan kejang tidak terkontrol, depresi

nafas dan rawat inap yang tidak perlu. Langkah awal dalam menghadapi kejang adalah
memastikan apakah gejala saat ini kejang atau bukan. Selanjutnya melakukan identifikasi

kemungkinan penyebabnya.
BAB II
LAPORAN KASUS

1.1. Identitas Pasien

Nama : An. Z

Jenis Kelamin : Laki-laki

TTL : Metro, 10-10-2017

Usia : 1 tahun

Alamat : Hadimulyo, Metro Pusat

No RM : 00378230

Tgl Masuk : 24 Oktober 2018

1.2 Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara alloanamnesa dengan orangtua pasien, pada tanggal 24


Oktober 2018.

a. Keluhan Utama

Kejang berulang ± selama 20 menit

b. Keluhan Tambahan

Batuk (+)

Flu (+)
c. Riwayat Penyakit Sekarang

Os datang ke IGD RS Mardi Waluyo dengan keluhan kejang berulang 2x, lamanya ± 20
menit dan 10 menit ketika dirumah. Kejang mengenai tubuh bagian kanan berupa
hentakan kaki dan tangan sebelah kiri dan mata mendelik keatas 2 jam SMRS, pasien
tidak sadarkan diri. Sebelumnya pasien demam (-), batuk (+), pilek (+), sesak (-),
sebelum kejang pasien sedang sadar tampak seperti biasanya. Setelah kejang os merasa
lemas. Lalu sampai di IGD os kejang lagi dan dilakukan pemasangan infuse, pemberian
O2 1 Liter/menit dan diberikan injeksi diazepam 4 mg intravena.

Kejang pertama terjadi pada usia 4 bulan yang awalnya didahului oleh demam dan hanya
sebentar ± 5 menit, kemudian kejang muncul tanpa didahului oleh demam di seluruh
tubuh. Kejang sudah berlangsung sebanyak 10 kali selama ini.
Pada saat usia 9 bulan os dilakukan pemeriksaan EEG dan dikatakan hasilnya ada
kelainan EEG di parsial kanan yang menunjukkan benar adanya riwayat epilepsi.

d. Riwayat Penyakit Dahulu

Os pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya


Riwayat epilepsi dan pengobatan sampai sekarang

e. Riwayat Penyakit Keluarga

Keluarga tidak ada yang menderita hal yang serupa


Keluarga tidak ada Asma dan kejang
Riwayat penyakit atopik, hipertensi dan DM di keluarga disangkal

f. Riwayat Pengobatan

Riwayat Pengobatan anti epilepsi (OAE)


Obat anti kejang demam
g. Riwayat Alergi

Os tidak ada alergi makanan, obat, cuaca, dan debu

h. Riwayat Kehamilan Ibu

Ibu An. rutin ANC di dokter, selama hamil tidak pernah sakit.

i. Riwayat Persalinan Ibu

An. Lahir secara normal dengan usia kehamilan 38 minggu.


BB lahir = 2800 gram
PB lahir = 48 cm

j. Riwayat Pola Makan

Makan teratur 3 x / hari dan banyak, minum cukup


0 – 6 bulan : ASI eksklusif
3 bulan : susu formula
6 – 12 bulan : makanan pendamping ASI
Kesan : Anak mendapat ASI eksklusif, makanan sesuai usia anak

k. Riwayat Perkembangan

Tengkurap, usia : 5 bulan


Tumbuh gigi, usia : 9 bulan
Duduk, usia : 10 bulan
Berdiri, usia : 12 bulan
- Perkembangan Sosial : sudah bisa mengambil makanan
- Motorik halus : sudah bisa mencontoh
- Perkembangan Bahasa : sudah bisa mengerti pembicaraan
- Motorik kasar : sudah bisa berjalan dengan baik
Kesan :Perkembangan sesuai dengan usia
l. Riwayat Imunisasi

BCG 1x
DPT 3x
Hepatitis B 3x
Polio 3x
Campak 1x

Kesan : Imunisasi Dasar Lengkap

m. Riwayat Psikososial

Os tinggal bersama orangtuanya dan aktif bermain jika anak sehat. Sirkulasi udara di
lingkungan rumah baik.

1.3 Pemeriksaan Fisis

Status Generalisata pada tanggal 24 Oktober 2018

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : somnolen

Tanda-tanda Vital :

Suhu Tubuh : 37,1 ⁰C


Nadi : 105 kali/menit,
RR : 25 kali/menit
Antropometri:

BB sebelum sakit : 14 kg
BB saat sakit : 14 kg
PB : 88 cm
LK : 51 cm
Status Gizi

BB/U :14/16 X 100% = 87% (gizi kurang)


TB/U : 100/102 X 100% = 98 % (Tinggi Normal)
BB/TB : 14/15 X 100% = 93 % (gizi baik)
Kesan : Gizi baik

STATUS GENERALIS

 Kepala
Kepala Normocephal
Ubun-ubun Kecil Menutup Sempurna
Warna Hitam distribusi merata
Kondisi Tidak mudah dicabut
Mata
Konjungtiva anemis - -
Sclera icterus - -
Edema palpebra - -
Mata cekung - -
Mata merah dan berair - -
Hidung
Pernapasan cuping hidung -
Deviasi septum -
Sekret (-/-)
Perdarahan (-/-)
Nyeri tekan (-/-)
Telinga
Normotia - -
Serumen - -
Nyeri tekan - -
Mulut
Mukosa bibir Kering
Sianosis -
Stomatitis -
Tonsil T1/T1
Faring Hiperemis (-)
Bercak perdarahan pada mukosa faring (-)
dan mukosa buccal

 Leher
Pembesaran KGB - -
Pembesaran Kelenjar Thyroid - -

 Thorax
Inspeksi Gerak dada simetris
Perkusi Sonor/sonor
Palpasi Vokal fremitus simetris, nyeri tekan (-/-)
Auskultasi Bunyi paru vesikular (+/+), ronkhi basah halus(+/+),
wheezing (-/-)
Bunyi jantung I dan II murni, regular, murmur (-), gallop
(-)

 Axilla : Pembesaran KGB (-/-)

 Abdomen
Inspeksi Abdomen datar, Distensi (-), Scar (-)
Auskultasi BU (+) normal
Perkusi Tymphani pada seluruh kuadran abdomen
Palpasi supel, nyeri tekan (-), hepatomegali (-), splenomegali (-),
massa (-)
Turgor Kulit Baik, Kembali dalam waktu < 2 detik
 Inguinal : Pembesaran KGB inguinal (-/-)

 Ekstremitas
Superior Kanan Kiri
Akral Hangat Hangat
Edema - -
Sianosis - -
CRT < 2 detik < 2 detik
Tonus otot Meningkat Meningkat
Pergerakan Fleksi Fleksi
Inferior Kanan Kiri
Akral Hangat Hangat
Edema - -
Sianosis - -
CRT < 2 detik < 2 detik
Tonus otot Meningkat Meningkat
Pergerakan Ekstensi Ekstensi

 Anus dan Rectum : dbn


 Genitalia : dalam batas normal
 Pemeriksaan neurologis : GCS : E3 M5 V4 (12)
Patologis
Kaku kuduk (-) Fisiologis
Babinski (-) Patella (+)
Oppenheim (-) Biseps (+)
Burdzinski I (-) Achiles (+)
Burdzinski II (-) trisep (+)
Kernig Sign (-)
1.4 Pemeriksaan Penunjang

Tanggal: 24 Oktober Nilai Nilai Normal Satuan


2018
Hemoglobin 11,7 10,8 – 15,6 gr/dL
Leukosit 7.200 4,50 – 13,50 103/ µl
Trombosit 225.000 184– 488 103/µL
Hematokrit 29% 33 – 45 %
Eritrosit 3,9 3,80 – 5,80 106/ µL
MCV 73 69 – 93 fL
MCH 23 22 – 34 Pg
MCHC 32 32 – 36 g/dL

Tanggal: 24 Oktober Nilai Nilai Normal Satuan


2018
FAAL HATI

SGOT 52 u/l 10-34

SGPT 20 u/l 9-43


Kimia Darah
Gula Darah Sewaktu 80 Mg/dL 70-200

DIAGNOSIS KERJA
Status Epileptikus

DIAGNOSIS BANDING
Kejang Demam Kompleks
PEMERIKSAAN ANJURAN
CT Scan
EEG
Cek Elektrolit

TERAPI
Oksigen 1 ltr/mnt’
Stesolid supp 10 mg  masih kejang konsul Anak
Inf. Nacl 700cc/24 jam
Inj Diazepam 4 mg iv (bila kejang)
Asam Valproat 2 x 2,7 cc
Parasetamol drop 3 x 0,9 cc ( bila demam)
Phenobarbital 125 mg dalam NS 50cc habis dalam 30 menit
Phenobarbital 20 mg dalam NS 20cc/12 jam

PROGNOSIS
QUO AD VITAM : Bonam
QUO AD FUNGSIONAM : Dubia ad malam
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Pada konvensi Epilepsy Foundation of America (EFA) 15 tahun yang lalu, status epileptikus

didefenisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang tanpa

adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang berlangsung lebih

dari 30 menit. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika seseorang mengalami kejang

persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih harus

dipertimbangkan sebagai status epileptikus.

2.2. Epidemiologi

Status epileptikus merupakan suatu masalah yang umum terjadi dengan angka kejadian

kira-kira 60.000 – 160.000 kasus dari status epileptikus tonik-klonik umum yang terjadi di

Amerika Serikat setiap tahunnya.3 Pada sepertiga kasus, status epileptikus merupakan gejala

yang timbul pada pasien yang mengalami epilepsi berulang. Sepertiga kasus terjadi pada

pasien yang didiagnosa epilepsi, biasanya karena ketidakteraturan dalam memakan obat

antikonvulsan.Mortalitas yang berhubungan dengan aktivitas kejang sekitar 1-2 persen,

tetapi mortalitas yang berhubungan dengan penyakit yang menyebabkan status epileptikus

kira-kira 10 persen. Pada kejadian tahunan menunjukkan suatu distribusi bimodal dengan

puncak pada neonatus, anak-anak dan usia tua.

Dari data epidemiologi menunjukkan bahwa etiologi dari Status Epileptikus dapat

dikategorikan pada proses akut dan kronik. Pada usia tua Status Epileptikus kebanyakan
sekunder karena adanya penyakit serebrovaskuler, disfungsi jantung, dementia. Pada

Negara miskin, epilepsy merupakan kejadian yang tak tertangani dan merupakan angka

kejadian yang paling tinggi.

2.3. Etiologi

Penyebab status epileptikus sangat bervariasi tiap individu. Pada orang dewasa, penyebab

utama adalah antiepileptikus potensi rendah (34 %) dan penyakit serebrovaskular (22%),

termasuk akut atau remote stroke dan perdarahan. Penyebab lain status epileptikus adalah

hipoglikemia, hipoksemia, trauma, infeksi (meningitis, ensefalitis, dan abses otak), alkohol,

penyakit metabolik, toksisitas obat, dan tumor.

2.4. Klasifikasi

Klasifikasi status epileptikus penting untuk penanganan yang tepat, karena penanganan yang

efektif tergantung pada tipe dari status epileptikus. Pada umumnya status epileptikus

dikarakteristikkan menurut lokasi awal bangkitan – area tertentu dari korteks (Partial onset)

atau dari kedua hemisfer otak (Generalized onset)- kategori utama lainnya bergantung pada

pengamatan klinis yaitu, apakah konvulsi atau non-konvulsi.

Banyak pendekatan klinis diterapkan untuk mengklasifikasikan status epileptikus. Satu versi

mengkategorikan status epileptikus berdasarkan status epileptikus umum (tonik-klonik,

mioklonik, absens, atonik, akinetik) dan status epileptikus parsial (sederhana atau

kompleks). Versi lain membagi berdasarkan status epileptikus umum (overt atau subtle) dan

status epileptikus non-konvulsi (parsial sederhana, parsial kompleks, absens). Versi ketiga

dengan pendekatan berbeda berdasarkan tahap kehidupan (batas pada periode neonatus,

infan dan anak-anak, anak-anak dan dewasa, hanya dewasa).


Klasifikasi status epileptikus adalah sebagai berikut:4

1. Overt generalized convulsive status epilepticus


Aktivitas kejang yang berkelanjutan dan intermiten tanpa ada kesadaran penuh.
a. Tonik klonik
b. Tonik
c. Klonik
d. Mioklonik
2. Subtle generalized convulsive status epilepticus diikuti dengan generalized
convulsive status epilepticus dengan atau tanpa aktivitas motorik.
3. Simple/partial status epilepticus (consciousness preserved)
a. Simple motor status epilepticus
b. Sensory status epilepticus
c. Aphasic status epilepticus
4. Nonconvulsive status epilepticus(consciousness impaired)
a. Petit mal status epilepticus
b. Complex partial status epilepticus.

2.5. Patofisiologi

Patofisiologi status epileptikus terdiri dari banyak mekanisme dan masih sangat sedikit

diketahui. Beberapa mekanisme tersebut adalah adanya kelebihan proses eksitasi atau

inhibisi yang inefektif pada neurotransmiter, dan adanya ketidak seimbangan aktivitas

reseptor eksitasi atau inhibisi di otak. Neurotransmiter eksitatorik utama yang berperan

dalam kejang adalah glutamat. Faktor – faktor apapun yang dapat meningkatkan aktivitas

glutamat akan menyebabkan terjadinya kejang.

Neurotransmiter inhibitorik yang berperan dalam kejang adalah GABA. Antagonis

GABA seperti penisilin dan antibiotik dapat menyebabkan terjadinya kejang. Selain itu,
kejang yang berkelanjutan akan menyebabkan desensitisasi reseptor GABA sehingga

mudah menyebabkan kejang.

Kerusakan CNS dapat terjadi oleh karena ketidakseimbangan hormon dimana terdapat

glutamat yang berlebihan yang akan menyebabkan masuknya kalsium dalam sel neuron

dan akhirnya menyebabkan apoptosis (eksitotoksik). Selain itu, juga dapat disebabkan

oleh GABA dikeluarkan sebagai mekanisme kompensasi terhadap kejang tetapi GABA

itu sendiri menyebabkan terjadinya desensitisasi reseptor, dan efek ini diperparah jika

terdapat hipertermi, hipoksia, atau hipotensi.

Terdapat dua fase dalam status epileptikus yaitu fase pertama ( 0 – 30 menit) dan fase

kedua (> 30 menit). Pada fase pertama, mekanisme kompensasi masih baik dan

menimbulkan pelepasan adrenalin dan noradrenalin, meningkatnya aliran darah ke otak,

meningkatnya metabolisme, hipertensi, hiperpireksia, hiperventilasi, takikardi, dan

asidosis laktat. Pada fase kedua, mekanisme kompensasi telah gagal mempertahankan

sehingga autoregulasi cerebral gagal dan menimbulkan odem otak, depresi pernafasan,

aritmia jantung, hipotensi, hipoglikemia, hiponatremia, gagal ginjal, rhabdomiolisis,

hipertermia, dan DIC.

Secara klinis dan berdasarkan EEG, status epileptikus dibagi menjadi lima fase. Fase

pertama terjadi mekanisme kompensasi, seperti peningkatan aliran darah otak

dan cardiac output, peningkatan oksigenase jaringan otak, peningkatan tekanan darah,

peningkatan laktat serum, peningkatan glukosa serum dan penurunan pH yang

diakibatkan asidosis laktat. Perubahan saraf reversibel pada tahap ini. Setelah 30 menit,

ada perubahan ke fase kedua, kemampuan tubuh beradaptasi berkurang dimana tekanan

darah , pH dan glukosa serum kembali normal. Kerusakan syaraf irreversibel pada tahap
ini. Pada fase ketiga aktivitas kejang berlanjut mengarah pada terjadinya hipertermia

(suhu meningkat), perburukan pernafasan dan peningkatan kerusakan syaraf yang

irreversibel. Aktivitas kejang yang berlanjut diikuti oleh mioklonus selama fase

keempat, ketika peningkatan pernafasan yang buruk memerlukan mekanisme ventilasi.

Keadaan ini diikuti oleh penghentian dari seluruh klinis aktivitas kejang pada fase

kelima, tetapi kehilangan syaraf dan kehilangan otak berlanjut.

Kerusakan dan kematian syaraf tidak seragam pada status epileptikus, tetapi maksimal

pada lima area dari otak (lapisan ketiga, kelima, dan keenam dari korteks serebri,

serebellum, hipokampus, nukleus thalamikus dan amigdala). Hipokampus mungkin

paling sensitif akibat efek dari status epileptikus, dengan kehilangan syaraf maksimal

dalam zona Summer. Mekanisme yang tetap dari kerusakan atau kehilangan syaraf begitu

kompleks dan melibatkan penurunan inhibisi aktivitas syaraf melalui reseptor GABA dan

meningkatkan pelepasan dari glutamat dan merangsang reseptor glutamat dengan

masuknya ion Natrium dan Kalsium dan kerusakan sel yang diperantarai kalsium.5
2.6. Manifestasi Klinis

Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk mencegah

keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum (Generalized Tonic-Clonic)

merupakan bentuk status epileptikus yang paling sering dijumpai, hasil dari survei ditemukan

kira-kira 44 sampai 74 persen, tetapi bentuk yang lain dapat juga terjadi.

A . Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic Status Epileptikus)

Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering dihadapi dan potensial dalam

mengakibatkan kerusakan.Kejang didahului dengan tonik-klonik umum atau kejang parsial

yang cepat berubah menjadi tonik klonik umum. Pada status tonik-klonik umum, serangan

berawal dengan serial kejang tonik-klonik umum tanpa pemulihan kesadaran diantara

serangan dan peningkatan frekuensi.

Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang melibatkan otot-otot

aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus.Pasien menjadi sianosis selama fase ini,

diikuti oleh hyperpnea retensi CO2. Adanya takikardi dan peningkatan tekanan

darah, hyperpireksia mungkin berkembang. Hiperglikemia dan peningkatan laktat serum

terjadi yang mengakibatkan penurunan pH serum dan asidosis respiratorik dan metabolik.

Aktivitas kejang sampai lima kali pada jam pertama pada kasus yang tidak tertangani.
B. Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status Epileptikus)

Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum mendahului fase

tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode kedua.

C. Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus)

Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan kehilangan kesadaran

tanpa diikuti fase klonik.Tipe ini terjai pada ensefalopati kronik dan merupakan

gambaran dari Lenox-Gestaut Syndrome.

D. Status Epileptikus Mioklonik

Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati.Sentakan mioklonus adalah

menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin memburuknya tingkat kesadaran.Tipe

dari status epileptikus tidak biasanya pada enselofati anoksia berat dengan prognosa yang

buruk, tetapi dapat terjadi pada keadaan toksisitas, metabolik, infeksi atau kondisi

degeneratif.
E. Status Epileptikus Absens

Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia pubertas atau

dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status presen sebagai suatu

keadaan mimpi (dreamy state) dengan respon yang lambat seperti menyerupai“slow

motion movie” dan mungkin bertahan dalam waktu periode yang lama. Mungkin ada

riwayat kejang umum primer atau kejang absens pada masa anak-anak.Pada EEG terlihat

aktivitas puncak 3 Hz monotonus (monotonous 3 Hz spike) pada semua tempat. Respon

terhadap status epileptikus Benzodiazepin intravena didapati.

F. Status Epileptikus Non Konvulsif

Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial kompleks,

karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus non-konvulsif ditandai

dengan stupor atau biasanya koma.

Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoia,delusional, cepat marah,

halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive behavior), retardasi psikomotor dan pada

beberapa kasus dijumpai psikosis. Pada EEG menunjukkan generalized spike wave

discharges, tidak seperti 3 Hz spike wave discharges dari status absens.

G. Status Epileptikus Parsial Sederhana

a. Status Somatomotorik

Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari dan jari-jari pada

satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada satu sisi dan berkembang

menjadi jacksonian march pada satu sisi dari tubuh. Kejang mungkin menetap secara

unilateral dan kesadaran tidak terganggu. Pada EEG sering tetapi tidak selalu
menunjukkan periodic lateralized epileptiform discharges pada hemisfer yang

berlawanan (PLED), dimana sering berhubungan dengan proses destruktif yang pokok

dalam otak. Variasi dari status somatomotorik ditandai dengan adanya afasia yang

intermitten atau gangguan berbahasa (status afasik).

b. Status Somatosensorik

Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan gejala sensorik unilateral

yang berkepanjangan atau suatu sensory jacksonian march.

H. Status Epileptikus Parsial Kompleks

Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari frekuensi yang cukup

untuk mencegah pemulihan diantara episode. Dapat terjadi otomatisme, gangguan

berbicara, dan keadaan kebingungan yang berkepanjangan.Pada EEG terlihat aktivitas

fokal pada lobus temporalis atau frontalis di satu sisi, tetapi bangkitan epilepsi sering

menyeluruh.Kondisi ini dapat dibedakan dari status absens dengan EEG, tetapi mungkin

sulit memisahkan status epileptikus parsial kompleks dan status epileptikus non-konvulsif

pada beberapa kasus.

2.7. Pemerikasaan penunjang


Terdiri dari pemeriksaan laboratorium yaitu darah CBC, elektrolit, glukosa, fungsi ginjal
dengan urin analisis dan kultur, jika ada didugaan infeksi maka dilakukan kultur darah,
dan Imaging yaitu CT scan dan MRI untuk mengevaluasi lesi struktural di otak, EEG
untuk mengetahui aktivitas listrik otak dan dilakukan secepat mungkin jika pasien
mengalami gangguan mental. Pungsi lumbar dapat kita lakukan jika ada dugaan infeksi
CNS atau perdarahan subaraknoid
2.8 Komplikasi
 Otak
 Peningkatan Tekanan Intra Kranial
 edema serebri
 Trombosis arteri dan vena otak
 Disfungsi kognitif
 Gagal Ginjal
 Myoglobinuria, rhabdomiolisis
 Gagal Nafas
 Apnea
 Pneumonia
 Hipoksia, hiperkapni
 Pelepasan Katekolamin
 Hipertensi
 Oedema paru
 Aritmia
 Glikosuria, dilatasi pupil
 Hipersekresi, hiperpireksia
 Jantung
 Hipotensi, gagal jantung, tromboembolisme
 Metabolik dan Sistemik
 Dehidrasi
 Asidosis
 Hiperglikemia
 hipoglikemia
 Hiperkalemia, hiponatremia
 Kegagalan multiorgan
 Idiopatik
 Fraktur, tromboplebitis, DIC

2.9. Tatalaksana Status Epileptikus

Status epileptikus merupakan salah satu kondisi neurologis yang membutuhkan anamnesa
yang akurat, pemeriksaan fisik, prosedur diagnostik, dan penanganan segera mungkin dan
harus dirawat pada ruang intensif (ICU). Lini pertama dalam penanganan status
epileptikus menggunakan Benzodiazepin. Benzodiazepin yang paling sering digunakan
adalah Diazepam (Valium), Lorazepam (Ativan), dan Midazolam (Versed). Ketiga obat
ini bekerja dengan peningkatan inhibisi dari g-aminobutyric acid (GABA) oleh ikatan
pada Benzodiazepin-GABA dan kompleks Reseptor-Barbiturat.
Lorazepam memiliki volume distribusi yang rendah dibandingkan dengan Diazepam dan
karenanya memiliki masa kerja yang panjang. Diazepam sangat larut dalam lemak dan
akan terdistribusi pada depot lemak tubuh. Pada 25 menit setelah dosis awal, konsentrasi
Diazepam plasma jatuh ke 20 persen dari konsentrasi maksimal. Mula kerja dan
kecepatan depresi pernafasan dan kardiovaskuler (sekitar 10 %) dari Lorazepam adalah
sama.
Pemberian antikonvulsan masa kerja lama seharusnya dengan menggunakan
Benzodiazepin. Fenitoin diberikan dengan 18 sampai 20 mg/kg dengan kecepatan tidak
lebih dari 50 mg dengan infus atau bolus. Dosis selanjutnya 5-10 mg/kg jika kejang
berulang. Efek samping termasuk hipotensi (28-50 %), aritmia jantung (2%). Fenitoin
parenteral berisi Propilen glikol, Alkohol dan Natrium hidroksida dan penyuntikan harus
menggunakan jarum suntik yang besar diikuti dengan NaCl 0,9 % untuk mencegah lokal
iritasi : tromboplebitis dan “purple glove syndrome”. Larutan dekstrosa tidak digunakan
untuk mengencerkan fenitoin, karena akan terjadi presipitasi yang mengakibatkan
terbentuknya mikrokristal.

Status Epileptikus Refrakter


Pasien dengan kejang yang rekuren, atau berlanjut selama lebih dari 60 menit. Walaupun
dengan obat lini pertama pada 9-40 % kasus. Kejang berlanjut dengan alasan yang cukup
banyak seperti, dosisnya di bawah kadar terapi, hipoglikemia rekuren, atau hipokalsemia
persisten. Kesalahan diagnosis kemungkinan lain: tremor, rigor dan serangan psikogenik
dapat meniru kejang epileptik. Mortalitas pada status epileptikus refrakter sangat tinggi
dibandingkan dengan yang berespon terhadap terapi lini pertama.
Dalam mengatasi status epileptikus refrakter, beberapa ahli menyarankan menggunakan
Valproat atau Phenobarbitone secara intravena. Sementara yang lain akan memberikan
medikasi dengan kandungan anestetik seperti Midazolam, Propofol, atau Tiofenton.
Penggunaan ini dimonitor oleh EEG, dan jika tidak ada kativitas kejang, maka dapat
ditapering. Dan jika berlanjut akan diulang dengan dosis awal.

Protokol Penatalaksanaan Status Epileptikus (EFA, 1993)


Pada : awal menit
1. Bersihkan jalan nafas, jika ada sekresi berlebihan segera bersihkan (bila perlu intubasi)
a. Periksa tekanan darah
b. Mulai pemberian Oksigen
c. Monitoring EKG dan pernafasan
d. Periksa secara teratur suhu tubuh
e. Anamnesa dan pemeriksaan neurologis
2. Kirim sampel serum untuk evaluasi elektrolit, Blood Urea Nitrogen, kadar glukosa,
hitung darah lengkap, toksisitas obat-obatan dan kadar antikonvulsan darah; periksa AGDA
(Analisa Gas Darah Arteri)
3. Infus NaCl 0,9% dengan tetesan lambat
4. Berikan 50 mL Glukosa IV jika didapatkan adanya hipoglikemia, dan Tiamin 100 mg IV
atau IM untuk mengurangi kemungkinan terjadinya wernicke’s encephalophaty
5. Lakukan rekaman EEG (bila ada)
6. Berikan Lorazepam (Ativan) 0,1 sampai 0,15 mg per kg (4 sampai 8 mg) intravena
dengan kecepatan 2 mg per menit atau Diazepam 0,2 mg/kg (5 sampai 10 mg). Jika kejang
tetap terjadi berikan Fosfenitoin (Cerebyx) 18 mg per kg intravena dengan kecepatan 150 mg
per menit, dengan tambahan 7 mg per kg jika kejang berlanjut. Jika kejang berhenti, berikan
Fosfenitoin secara intravena atau intramuskular dengan 7 mg per kg per 12 jam. Dapat
diberikan melalui oral atau NGT jika pasien sadar dan dapat menelan.

Pada : 20 sampai 30 menit, jka kejang tetap berlangsung


1. Intubasi, masukkan kateter, periksa temperatur
2. Berikan Fenobarbital dengan dosis awal 20 mg per kg intravena dengan kecepatan 100
mg per menit

Pada : 40 sampai 60 menit, jika kejang tetap berlangsung


Mulai infus Fenobarbital 5 mg per kg intravena (dosis inisial), kemudian bolus
intravena hingga kejang berhenti, monitoring EEG; lanjutkan infus Pentobarbital 1 mg
per kg per jam; kecepatan infus lambat setiap 4 sampai 6 jam untuk menetukan apakah
kejang telah berhenti. Pertahankan tekanan darah stabil.
atau
Berikan Midazolam (Versed) 0,2 mg per kg, kemudian pada dosis 0,75 sampai 10 mg
per kg per menit, titrasi dengan bantuan EEG.
atau
Berikan Propofol (Diprivan) 1 sampai 2 mg per kg per jam. Berikan dosis pemeliharaan
berdasarkan gambaran EEG.
Berikut ini. adalah algoritma tata laksana kejang akut dan status epileptikus
berdasarkan Konsensus UKK Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia
Diazepam IV: 0,2 - 0,5 mg/kg IV (maksimum 10 mg) dalam spuit, kecepatan 2 mg/menit. Bila
kejang berhenti sebelum obat habis, tidak perlu dihabiskan.

Fenobarbital: pemberian boleh diencerkan dengan NaCl 0,9% 1:1 dengan kecepatan yang sama

Midazolam buccal: dapat menggunakan midazolam sediaan IV/IM, ambil sesuai dosis yang
diperlukan dengan menggunakan spuit 1 cc yang telah dibuang jarumnya, dan teteskan pada
buccal kanan, selama 1 menit. Dosis midazolam buccal berdasarkan kelompok usia;
 2,5 mg (usia 6 – 12 bulan)
 5 mg (usia 1-5 tahun)
 7,5 mg (usia 5-9 tahun)
 10 mg (usia> 10 tahun)

Tapering off midazolam infus kontinyu: Bila bebas kejang selama 24 jam setelah pemberian
midazolam, maka pemberian midazolam dapat diturunkan secara bertahap dengan kecepatan 0,1
mg/jam dan dapat dihentikan setelah 48 jam bebas kejang.

Medazolam: Pemberian midazolam infus kontinyu seharusnya di ICU, namun disesuaikan


dengan kondisi rumah sakit

Bila pasien terdapat riwayat status epileptikus, namun saat datang dalam keadaan tidak
kejang, maka dapat diberikan fenitoin atau fenobarbital 10 mg/kg IV dilanjutkan dengan
pemberian rumatan bila diperlukan.

Komplikasi

Komplikasi primer akibat langsung dari status epileptikus


Kejang dan status epileptikus menyebabkan kerusakan pada neuron dan memicu reaksi
inflamasi, calcium related injury, jejas sitotoksik, perubahan reseptor glutamat dan GABA, serta
perubahan lingkungan sel neuron lainnya. Perubahan pada sistem jaringan neuron,
keseimbangan metabolik, sistem saraf otonom, serta kejang berulang dapat menyebabkan
komplikasi sistemik.Proses kontraksi dan relaksasi otot yang terjadi pada SE konvulsif dapat
menyebabkan kerusakan otot, demam, rabdomiolisis, bahkan gagal ginjal. Selain itu, keadaan
hipoksia akan menyebabkan metabolisme anaerob dan memicu asidosis. Kejang juga
menyebabkan perubahan fungsi saraf otonom dan fungsi jantung (hipertensi, hipotensi, gagal
jantung, atau aritmia). Metabolisme otak pun terpengaruh; mulanya terjadi hiperglikemia akibat
pelepasan katekolamin, namun 30-40 menit kemudian kadar glukosa akan turun. Seiring dengan
berlangsungnya kejang, kebutuhan otak akan oksigen tetap tinggi, dan bila tidak terpenuhi akan
memperberat kerusakan otak. Edema otak pun dapat terjadi akibat proses inflamasi, peningkatan
vaskularitas, atau gangguan sawar darah-otak.

Komplikasi sekunder
Komplikasi sekunder akibat pemakaian obat anti-konvulsan adalah depresi napas serta hipotensi,
terutama golongan benzodiazepin dan fenobarbital. Efek samping propofol yang harus
diwaspadai adalah propofol infusion
Daftar Pustaka

1. Goldstein JA, Chung MG. Status epilepticus and seizures. Dalam: Abend NS, Helfaer MA,
penyunting. Pediatric neurocritical care. New York: Demosmedical; 2013. h 117–138.
2. Moe PG, Seay AR. Neurological and muscular diorders. Dalam: Hay WW, Hayward AR,
Levin MJ, Sondheimer JM, penyunting. Current pediatric: Diagnosis and treatment. Edisi
ke-18. International Edition: McGrawHill; 2008. h. 735.
3. ACT Health. Buccal midazolam for prolonged convulsions: Summary for parents.
4. Hartmann H, Cross JH. Post-neonatal epileptic seizures. Dalam: Kennedy C, penyunting.
Principles and practice of child neurology in infancy. Mac Keith Press; 2012. h. 234-5.
5. Anderson M. Buccal midazolam for pediatric convulsive seizures: efficacy, safety, and
patient acceptability. Patient Preference and Adherence. 2013;7:27-34.

Anda mungkin juga menyukai