Chapter II PDF
Chapter II PDF
TINJAUAN PUSTAKA
1. Postpartum
1.1.Defenisi
sampai alat–alat reproduksi pulih seperti sebelum hamil dan secara normal
berlangsung selama enam minggu atau 42 hari (Ambarwati & Wulandari, 2008).
Masa nifas adalah waktu untuk perbaikan tubuh selama persalinan dan
kelahiran. Periode ini juga merupakan waktu untuk mempelajari perawatan diri dan
keterampilan perawatan bayi, penyatuan peran baru dan kelanjutan ikatan keluarga
serta penilaian terhadap bayi baru lahir (Novak & Broom, 1999). Masa nifas
berlangsung sejak ibu melahirkan sampai ibu berhenti mengeluarkan darah, lamanya
Periode postpartum terdiri dari tiga periode, immediate postpartum yaitu masa
24 jam pertama setelah persalinan, early postpartum yaitu satu minggu pertama
setelah persalinan dan late postpartum yaitu setelah satu minggu pertama persalinan
Periode immediate postpartum merupakan masa kritis bagi ibu maupun bayinya. Ibu
sedang menjalani pemulihan fisik dan hormonal yang disebabkan oleh proses
memberi isyarat kepada tubuh ibu untuk mulai memproduksi ASI dalam jumlah
cukup untuk segera menyusui bayinya. Bayi baru lahir yang lahir sehat secara
normal akan terlihat sadar dan waspada, serta memiliki refleks rooting dan refleks
sucking untuk membantunya mencari puting susu ibu, mengisapnya dan mulai
1. Involusi Uteri
Involusi uteri terjadi segera setelah melahirkan dan berlangsung cepat. Dalam
12 jam pertama setelah melahirkan fundus uteri teraba satu cm dibawah pusat, lima
sampai enam minggu kemudian kembali ke dalam ukuran tidak hamil. Dinding
mengalami nekrotik dan akan keluar cairan berupa sekret sebagai lochea. Luka
bekas implantasi plasenta akan sembuh sempurna sekitar enam minggu setelah
posisi tidur saja, karena itu menyusui dan mobilisasi dini yang disertai asupan nutrisi
yang adekuat mempercepat proses involusi uteri (Coad & Dunstall, 2006).
Serviks dan segmen bawah uterus menjadi lebih tipis selama immediate
postpartum. Pada beberapa persalinan terjadi laserasi pada serviks. Vagina dan
perineum dapat mengalami robekan, edema dan memar (Ambarwati & Wulandari,
2009).
3. Payudara
masa kehamilan, tetapi laktasi terhambat sampai kadar estrogen menurun, yakni
perkembangan payudara selama hamil menurun dengan cepat setelah bayi lahir.
Pada ibu yang tidak menyusui kadar prolaktin akan turun dengan cepat. Pada
payudara teregang, keras, nyeri bila ditekan dan hangat jika diraba. Distensi
payudara terutama disebabkan oleh kongesti sementara vena dan pembuluh limfatik
bukan akibat penimbunan air susu. Pembengkakan dapat hilang dengan sendirinya
dan rasa tidak nyaman biasanya berkurang dalam 24 jam sampai 36 jam.
suatu cairan kekuningan yakni kolostrum dikeluarkan dari payudara. Setelah laktasi
dimulai, payudara teraba hangat dan keras ketika disentuh (Bobak dkk., 2005).
4. Sistem Urinaria
Uretra, kandung kemih dan jaringan sekitar meatus urinarius dapat mengalami
trauma mekanik akibat desakan oleh bagian yang berpresentasi selama persalinan
kala II, Hal ini dapat menyebabkan kehilangan sensasi untuk buang air kecil
menyebabkan ibu toleran terhadap kehilangan darah saat persalinan. Segera setelah
kelahiran terjadi peningkatan cardiac output yang dapat tetap ada selama 28 jam
setelah kelahiran dan akan turun secara perlahan pada keadaan normal sekitar 12
minggu setelah persalinan (Bobak dkk., 2004; Derek & Jones, 2005).
6. Sistem Muskuloskeletal
Selama beberapa hari hormon relaxin menurun, dan ligamen kartilago pelvis
mulai kembali ke keadaan sebelum hamil. Pada sebagian ibu, otot abdomen dapat
melemah dan kendur. Hal ini mempengaruhi resiko konstipasi selama postpartum
karena penurunan tonus dinding abdomen mempengaruhi motilitas usus. Stasis vena
yang dapat terjadi selama hamil tua, berkontribusi terhadap terbentuknya bekuan
dini setelah persalinan.( Burrougs & Leifer, 2001; Bobak dkk., 2004).
7. Sistem Gastrointestinal
Ibu akan sering haus dan lapar setelah melahirkan, akibat kehabisan tenaga
dan restriksi cairan selama persalinan. Pembatasan asupan nutrisi dan cairan dapat
pemulihan fungsi tubuh ( Bobak dkk., 2004; Derek & Jones 2005).
8. Sistem Endokrin
Level estrogen dan progesteron menurun setelah ekspulsi plasenta. Jika ibu
tidak menyusui, level estrogen akan kembali meningkat sekitar tiga minggu setelah
kelahiran yang diikuti dengan kembalinya menstruasi. Pada ibu menyusui level
estrogen dan progesteron lebih lambat kembali pada level sebelum hamil.; Derek &
Ada tiga fase penyesuaian Ibu terhadap perannya sebagai orang tua yaitu :
A. Fase Dependen.
Selama satu atau dua hari pertama setelah melahirkan, ketergantungan ibu
menonjol. Pada waktu ini ibu mengharapkan segala kebutuhannya dapat dipenuhi
orang lain. Rubin (1961) menetapkan periode ini sebagai fase menerima (taking-in
phase), suatu waktu dimana ibu memerlukan perlindungan dan perawatan (Bobak
dkk., 2004).
Apabila ibu telah menerima asuhan yang cukup selama beberapa jam atau
beberapa hari pertama setelah persalinan, maka pada hari kedua atau ketiga
kebutuhan untuk mendapat perawatan dan penerimaan dari orang lain dan keinginan
untuk bisa melakukan segala sesuatu secara mandiri. Keadaan ini disebut juga fase
C. Fase Interdependen
Pada fase ini perilaku interdependen muncul, ibu dan para anggota keluarga
awal. Fase yang disebut juga letting-go ini merupakan fase yang penuh stres bagi
orangtua. Suami dan Istri harus menyesuaikan efek dan perannya masing-masing
dalam hal mengasuh anak, mengatur rumah dan membina karier (Bobak dkk., 2004).
2. ASI
2.1. Defenisi
ASI (Air Susu Ibu) adalah suatu emulsi lemak dalam larutan protein, laktose
dan garam – garam organik yang disekresi oleh kedua belah kelenjar payudara ibu,
ASI secara optimal memenuhi kebutuhan gizi bayi. ASI memiliki komposisi unik
yang sangat cocok untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi baru lahir
Terdapat tiga bentuk ASI dengan karakteristik dan komposisi berbeda yaitu
Soejtiningsih 1997).
kelenjar payudara sejak hari pertama sampai hari ketiga atau hari keempat setelah
melahirkan, yang berbeda karakteristik fisik dan komposisinya dengan ASI matang
dengan volume 150 – 300 ml/hari. ASI transisi adalah ASI yang disekresi setelah
kolostrum yaitu dari hari keempat sampai hari kesepuluh dimana kadar lemak dan
laktosa lebih tinggi dan kadar protein serta mineral lebih rendah.ASI matang adalah
ASI yang disekresi pada hari kesepuluh dan seterusnya dengan volume bervariasi
yaitu 300 – 850 ml/hari tergantung pada besarnya stimulasi saat laktasi\menyusui
ASI mengandung komponen makro dan mikro nutrient serta zat imunologis.
mikronutrien adalah vitamin dan mineral (Hendarto & pringgadini, dalam IDAI
2008).
A. Karbohidrat
Laktosa adalah karbohidrat utama dalam ASI dan serfungsi sebagai salah satu
sumber energi untuk otak. Kadar laktosa yang terdapat dalam ASI hampir dua kali
B. Protein
protein yang terdapat dalam susu sapi. Protein dalam ASI dan susu sapi terdiri dari
protein whey dan casein. Protein dalam ASI lebih banyak terdiri dari protein whey
yang lebih mudah diserap oleh usus bayi, sedangkan susu sapi lebih banyak
C. Lemak
Kadar lemak dalam ASI lebih tinggi dibanding dengan susu sapi dan susu
formula. Kadar lemak yang tinggi ini dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan
otak yang cepat selama masa bayi. Terdapat beberapa perbedaan antara lemak yang
ditemukan dalam ASI. Lemak omega 3 dan omega 6 yang berperan pada
perkembangan otak bayi banyak ditemukan dalam ASI. ASI juga mengandung
banyak asm lemak rantai panjang diantaranya asam dokosaheksanoik (DHA) dan
asam arakidonat (ARA) yang berperan terhadap perkembangan jaringan saraf dan
retina mata. Susu sapi tidak mengandung kedua komponen tersebut, karena itu
hampir semua susu formula ditambahkan DHA dan ARA, tetapi tidak sebaik yang
1. Vitamin K
Vitamin K dibutuhkan sebagai salah satu zat gizi yang berfungsi sebagai
faktor pembekuan darah. Kadar vitamin K dalam ASI hanya seperempat dari kadar
vitamin K dalam susu formula, karena itu pada bayi baru lahir perlu diberikan
2. Vitamin D
ASI hanya mengandung sedikit vitamin D. Hal ini tidak perlu dikuatirkan
karena dengan menjemur bayi pada pagi hari maka bayi akan mendapat tambahan
vitamin D yang berasal dari sinar matahari (Hendarto & pringgadini, dalam IDAI
2008).
3. Vitamin E
Kandungan vitamin E dalam ASI tinggi, terutama pada kolostrum dan ASI
4. Vitamin A
dan pertumbuhan. ASI tidak hanya mengandung vitamin A yang tinggi tetapi juga
bahan bakunya yaitu beta karoten.Hal inilah yang menyebabkan bayi yang mendapat
ASI mempunyai tumbuh kembang dan daya tahan tubuh yang baik. (Hendarto &
Hampir semua vitamin yang larut dalam air seperti vitamin B, asam folat dan
vitamin C terdapat dalam ASI. Kadar vitamin B1 dan B2 cukup tinggi dalam ASI
tetapi kadar vitamin B6, B12 dan asam folat mungkin rendah pada ibu dengan gizi
6. Mineral
Mineral di dalam ASI mempunyai kualitas yang lebih baik dan lebih mudah
diserap dibandingkan dengan mineral yang terdapat di dalam susu sapi. Mineral
utama yang terdapat dalam ASI adalah kalsium yang mempunyai fungsi untuk
pertumbuhan jaringan otot dan rangka, transmisi jaringan saraf dan pembekuan
darah. Kadar kalsium ASI lebih rendah dari susu sapi, tetapi tingkat penyerapannya
lebih besar. kandungan Zat besi dan Zink dalam ASI juga lebih rendah dari susu
formula, tetapi tingkat penyerapannya lebih baik. Mineral yang tinggi kadarnya
dalam ASI dibandingkan susu formula adalah selenium, yang sangat dibutuhkan
F. Zat Imunologis
Sekretori Ig.A tidak diserap tetapi dapat melumpuhkan bakteri patogen E. coli
3. Laktoferin yaitu sejenis protein yang merupakan komponen zat kekebalan yang
4. Lysosim, enzym yang melindungi bayi terhadap bakteri (E. coli dan salmonella)
dan virus. Jumlah lysosim dalam ASI 300 kali lebih banyak daripada susu sapi.
5. Sel darah putih pada ASI pada 2 minggu pertama lebih dari 4000 sel per mil.
merugikan.
Menurut Roesli (2000) manfaat pemberian ASI dapat dibagi menjadi dua
kelompok yaitu manfaat bagi bayi dan manfaat bagi ibu (menyusui).
ASI mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan oleh bayi. Komposisi ASI
sangat ideal dan seimbang, tidak sama dari waktu ke waktu dan sesuai dengan
pertumbuhan bayi. Melalui proses menyusui yang benar, ASI adalah makanan
tunggal yang cukup untuk memenuhi semua kebutuhan bayi sampai usia enam bulan
(Roesli, 2000).
Bayi baru lahir secara alamiah mendapatkan zat kekebalan dari ibunya
melalui plasenta, tetapi kadar zat tersebut akan menurun segera setelah bayi lahir,
padahal sampai usia beberapa bulan bayi belum dapat membentuk sendiri zat
kekebalan secara sempurna. Hal ini akan tertutupi jika bayi mengkonsumsi ASI,
karena ASI mengandung zat kekebalan yang akan melindungi bayi dari bahaya
nutrisi yang diberikan baik kualitas maupun kuantitasnya dan nutrisi tersebut
Pada waktu menyusu bayi berada sangat dekat dengan ibunya, yaitu dalam
dekapan ibunya. Semakin sering bayi berada dalam dekapan ibunya maka bayi akan
semakin merasakan kasih saying ibunya, ia juga akan merasa aman, tentram dan
nyaman terutama karena masih dapat mendengar detak jantung ibunya yang telah
dikenal sejak dalam kandungan. Perasaan terlindungi dan disayangi ini akan menjadi
dasar perkembangan emosi bayi dan membentuk ikatan yang erat antara ibu dan bayi
pembuluh darah sehingga perdarahan akan lebih cepat berhenti. Hal ini juga dapat
mengurangi terjadinya anemia pada ibu. Selain itu kadar oksitosin yang meningkat
(Roesli, 2000).
2. Menjarangkan Kehamilan
sumber energy dari lemak yang tertimbun selama hamil terutama di bagian paha dan
lengan atas. Dengan demikian, berat badan ibu yang menyusui akan lebih cepat
kemungkinan terjadinya kanker payudara dan akan melindungi ibu dari penyakit
ASI adalah jenis makanan bermutu yang murah dan sederhana dan tidak
yang diberi ASI mempunyai daya tahan tubuh yang kuat sehingga bayi akan
terhindar dari berbagai penyakit, hal ini akan menghemat pengeluaran untuk berobat
ASI sangat mudah diberikan tanpa harus menyiapkan atau memasak air dan
tanpa harus mencuci botol. ASI mempunyai suhu yang tepat sehingga dapat
langsung diminum tanpa khawatir terlalu panas atau dingin. ASI dapat diberikan
ASI mudah dibawa kemana-mana, siap kapan saja dan dimana saja dibutuhkan.
Pada saat bepergian tidak perlu membawa peralatan untuk menghangatkan suhu
(Roesli, 2000).
Ibu yang berhasil memberikan ASI, akan merasa puas, bangga dan bahagia
3. Produksi ASI
3.1. Defenisi
2005). Pengeluaran ASI merupakan suatu interaksi yang sangat kompleks antara
Thompson, 1995).
sampai proses bayi menghisap dan menelan (Ambarwati & Wulandari, 2008).
Refleks maternal yang berperan dalam proses laktasi adalah refleks produksi
dan refleks pengeluaran ASI. Refleks tersebut responsif terhadap kekuatan yang
merangsang produksi air susu, dan oksitosin, yang berperan dalam ejeksi
(penyemprotan) air susu (Anhari dkk, 1994 ; Coad & Dunstall, 2006).
biasanya belum keluar karena masih dihambat oleh kadar estrogen yang tinggi
kelahiran dan pengeluaran plasenta, saat kadar progesteron turun praktis (Christine
Setiap kali bayi menghisap payudara, akan merangsang ujung saraf sensoris di
berada di peredaran darah selama 30 menit setelah bayi menyusu, sehingga prolaktin
sedangkan untuk konsumsi pada saat sekarang, bayi meminum ASI yang sudah ada
yaitu yang disimpan pada sinus laktiferus (Roesli & Yohmi, 2008).
Makin banyak ASI yang dikeluarkan dari sinus laktiferus makin banyak
produksi ASI. Dengan kata lain, makin sering bayi menyusu makin banyak ASI
menghasilkan ASI. Jika bayi berhenti menghisap maka payudara akan berhenti
menghasilkan ASI ( King,1991 ; Danuatmaja & Meiliasari, 2003 ; Derek & Jones,
pada malam hari dapat membantu mempertahankan produksi ASI. Prolaktin juga
akan menekan ovulasi (fungsi indung telur untuk menghasilkan sel telur), sehingga
haid, karena itu, menyusui pada malam hari penting untuk tujuan menunda
dihasilkan bila ujung saraf di sekitar payudara dirangsang oleh isapan. Oksitosin
akan dialirkan melalui darah menuju payudara yang akan merangsang kontraksi otot
di sekeliling alveoli dan mengeluarkan ASI ke duktus laktiferus (King, 1991 ; Nolan,
2003).
ASI di payudara akan mengalir untuk dihisap.Oksitosin sudah mulai bekerja saat ibu
terhadap oksitosin disebut let down reflex/milk ejection reflex. Jika refleks oksitosin
tidak bekerja dengan baik, maka bayi akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan
ASI. Payudara seolah-olah telah berhenti memproduksi ASI, padahal payudara tetap
menghasilkan ASI namun tidak mengalir keluar. Efek penting oksitosin lainnya
mengurangi perdarahan (Neilson, 1990 ; Moody dkk., 2005 ; Roesli & Yohmi,
2008).
A. Frekuensi Menyusui
Menyusui yang baik adalah sesuai dengan kebutuhan bayi (on demand)
karena secara alami bayi akan mengatur kebutuhannya sendiri. Semakin sering bayi
menyusu, payudara akan memproduksi ASI lebih banyak. Pada studi 32 ibu dengan
bayi prematur disimpulkan bahwa produksi ASI akan optimal dengan pemompaan
ASI lebih dari lima kali per hari selama bulan pertama setelah melahirkan.
Studi lain yang dilakukan pada ibu dengan bayi cukup bulan menunjukkan
bahwa frekuensi penyusuan 10 - 13 kali perhari selama dua minggu pertama setelah
melahirkan berhubungan dengan produksi ASI yang cukup (De Carvalho, et al.,
paling sedikit delapan kali perhari pada periode awal setelah melahirkan. Frekuensi
Prentice (1984) mengamati hubungan berat lahir bayi dengan volume ASI.
Hal ini berkaitan dengan kekuatan untuk mengisap, frekuensi, dan lama penyusuan
dibanding bayi yang lebih besar. Berat bayi pada hari kedua dan usia 1 bulan sangat
menemukan hubungan positif berat lahir bayi dengan frekuensi dan lama menyusui
selama 14 hari pertama setelah lahir. Bayi berat lahir rendah (BBLR) mempunyai
kemampuan mengisap ASI yang lebih rendah dibanding bayi dengan berat lahir
normal (> 2500 gr). Kemampuan mengisap ASI yang lebih rendah ini meliputi
frekuensi dan lama penyusuan yang lebih rendah dibanding bayi berat lahir normal
Umur kehamilan dan berat lahir mempengaruhi intake ASI. Hal ini
disebabkan bayi yang lahir prematur (umur kehamilan kurang dari 34 minggu)
sangat lemah dan tidak mampu mengisap secara efektif sehingga produksi ASI lebih
rendah daripada bayi yang lahir tidak prematur. Lemahnya kemampuan mengisap
pada bayi prematur dapat disebabkan berat badan yang rendah dan belum
perasaan seorang ibu sangat mempengaruhi refleks let down yaitu refleks yang
berperan dalam pengeluaran ASI. Keadaan psikologis ibu yang dapat meningkatkan
produksi hormon oksitosin antara lain peraaan dan curahan kasih saying ibu terhadap
bayinya, mendengar celotehan atau tangisan bayi, memikirkan bayi dan ibu merasa
adalah rasa sedih, marah, kesal atau bingung, cemas terhadap perubahan bentuk
payudara dan bentuk tubuh, meninggalkan bayi karena harus bekerja, takut ASI
tidak mencukupi kebutuhan bayi dan adanya rasa sakit terutama saat menyusui
E. Konsumsi Rokok
prolaktin dan oksitosin untuk produksi ASI. Merokok akan menstimulasi pelepasan
penyapihan dini meskipun volume ASI tidak diukur secara langsung. Bayi dari ibu
perokok mempunyai insiden sakit perut yang lebih tinggi. Anderson et al. (1982)
mempunyai prolaktin 30-50% lebih rendah pada hari pertama dan hari ke 21 setelah
Meskipun minuman alkohol dosis rendah disatu sisi dapat membuat ibu
merasa lebih rileks sehingga membantu proses pengeluaran ASI namun disisi lain
merupakan indikator produksi oksitosin. Pada dosis etanol 0,5-0,8 gr/kg berat badan
ibu mengakibatkan kontraksi rahim hanya 62% dari normal, dan dosis 0,9-1,1 gr/kg
mengakibatkan kontraksi rahim 32% dari normal (Matheson, 1989 dalam Arifin
2004).
G. Pil Kontrasepsi
dengan penurunan volume ASI (Koetsawang, 1987 dan Lonerdal, 1986 dalam
ACC/SCN, 1991), sebaliknya bila pil hanya mengandung progestin maka tidak ada
dampak terhadap volume ASI (WHO Task Force on Oral Contraceptives, 1988
Aspek gizi ibu yang dapat berdampak terhadap komposisi ASI adalah asupan
pangan aktual, cadangan gizi, dan gangguan dalam penggunaan zat gizi. Perubahan
status gizi ibu yang mengubah komposisi ASI dapat berdampak positif, netral, atau
negatif terhadap bayi yang disusui. Bila asupan gizi ibu berkurang, kadar zat gizi
cadangan ibu atau jaringan ibu. Hanya pada kasus yang sangat ekstrim, status gizi
ibu mempunyai pengaruh yang merugikan bagi produksi ASI (Anhari dkk, 1994).
Hampir semua obat yang diminum ibu menyusui terdeteksi di dalam ASI dan
umumnya berada dalam konsentrasi rendah. Konsentrasi obat dalam darah ibu akan
ditransfer ke dalam ASI. Kadar puncak obat di dalam ASI adalah sekitar satu sampai
tiga jam setelah ibu meminum obat. Hal ini dapat dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan agar ibu tidak memberikan ASI pada kadar puncak. Bila ibu menyusui
tetap harus meminum obat yang potensial toksik terhadap bayinya maka untuk
sementara ASI tdak diberikan tetapi tetap harus dipompa. ASI dapat diberikan
kembali setelah tubuh bersih dari obat dan ini dapat diperhitungkan setelah lima kali
2005). Produksi ASI dapat diukur melalui kualitas proses menyusui dan
kriteria dapat digunakan sebagai patokan untuk mengetahui jumlah ASI cukup atau
jam.
6. Ibu dapat mendengar suara menelan yang pelan ketika bayi menelan ASI.
7. Ibu dapat merasakan rasa seperti diperas pada payudara ketika bayi menyusu.
Menurut BK-PP-ASI yang bekerja sama dengan WHO dan UNICEF (2003),
yaitu:
2. Responses (Respon)
4. Anatomy (Anatomi)
5. Sucking (Mengisap)
D. Pipi membulat.
4. Perawatan Rooming-in
4.1. Defenisi
Rooming-in (Rawat gabung) adalah suatu cara perawatan di mana ibu dan
bayi yang baru dilahirkan tidak dipisahkan, melainkan ditempatkan dalam sebuah
ruangan, kamar atau tempat bersama-sama selama 24 jam penuh dalam sehari
(Marjono, 1992).
Kegiatan rawat gabung dimulai sejak ibu bersalin di kamar bersalin dan di
manfaat dan pentingnya rawat gabung sudah dimulai sejak ibu pertama kali
Tidak semua bayi atau ibu dapat segera dirawat gabung, bayi dan ibu yang
dapat segera mengikuti program rawat gabung harus memenuhi beberapa kriteria
yaitu lahir spontan baik presentasi kepala maupun bokong, masa kehamilan lebih
asfiksia (nilai APGAR menit ke V lebih dari 7), tidak ada gejala sesak nafas,
sianosis, infeksi atau kelainan kongenital berat, bila lahir dengan tindakan (vakum
atau forceps) rawat gabung dapat ditunda sementara sampai bayi kelihatan baik,
Bayi yang lahir secara sectio caesarea dengan pembiusan umum, rawat
gabung dilakukan setelah ibu dan bayi sadar (bayi tidak mengantuk) misalnya empat
sampai enam jam setelah operasi selesai, ibu sehat dan tidak ada infeksi intrapartum
(Karkata, dalam Soetjiningsih, 1997 ; Rulina & Tobing, 2004; Mappiwali, 2008).
ruangan, sehingga ibu dapat melihat dan menjangkau bayinya kapan saja ibu
membutuhkannya. Bayi dapat diletakkan di tempat tidur bersama ibunya, atau dalam
sekali dalam sehari. Dokter harus memperhatikan keadaan ibu maupun bayi,
ASI sudah keluar, adakah pembengkakan payudara, keadaan puting, adakah rasa
menyendawakan dan merawat bayi secara benar. Bila ibu dan bayi sudah
payudara, dan cara menyusui yang benar sehingga ibu akan terampil melakukannya
4.3. Manfaat
Menurut Suradi dan Tobing (2004), Adapun manfaat rawat gabung adalah
sebagai berikut :
A. Aspek Fisik
Bila ibu dekat dengan bayinya, maka ibu dapat dengan mudah menjangkau
bayinya untuk melakukan perawatan sendiri dan menyusui setiap saat, kapan saja
mungkin, akan mengurangi kemungkinan terjadinya infeksi silang dari pasien lain
B. Aspek Fisiologis
Bila ibu dekat dengan bayinya, maka bayi akan segera disusui dan
frekuensinya lebih sering. Proses ini merupakan proses fisiologis yang alami,
dimana bayi mendapat nutrisi alami yang paling sesuai dan baik. Untuk ibu, dengan
menyusui maka akan timbul refleks oksitosin yang akan membantu proses fisiologis
Dengan rawat gabung maka antara ibu dan bayi akan segera terjalin proses
lekat (early infant-mother bonding) akibat sentuhan badan antara ibu dan bayinya.
Hal ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan psikologis bayi
selanjutnya, karena kehangatan tubuh ibu merupakan stimulasi mental yang mutlak
D. Aspek Edukatif
Dengan rawat gabung, ibu (terutama yang baru mempunyai anak pertama)
merawat bayinya bila pulang dari rumah sakit. Selama di rumah sakit ibu akan
melihat, belajar dan mendapat bimbingan bagaimana cara menyusui secara benar,
bagaimana cara merawat payudara, merawat tali pusat, dan memandikan bayi.
E. Aspek Ekonomi
Melalui rawat gabung pemberian ASI dapat dilakukan sedini mungkin. Bagi
rumah bersalin terutama rumah sakit pemerintah, hal tersebut merupakan suatu
penghematan anggaran pengeluaran untuk pembelian susu buatan, botol susu, dot
serta peralatan lain yang dibutuhkan. Beban perawat mnejadi lebih ringan karena ibu
berperan lebih besar dalam merawat bayinya, sehingga waktu terluang dapat
dimanfaatkan untuk kegiatan lain. Lama perawatan ibu menjadi lebih pendek karena
involusi uterus terjadi lebih cepat dan memungkinkan tempat tidur digunakan untuk
pasien lain.
Ibu mengamati sendiri bayinya, maka segala perubahan fisik atau perilaku
bayi dapat diketahui lebih cepat dan ibu dapat menanyakan kepada petugas
perawatan rooming-in mempunyai minat yang lebih besar untuk menyusui bayinya
setelah keluar dari rumah sakit. Penelitian Buranasin (1990) di Thailand, juga
dan menurunkan angka kematian bayi sedangkan penelitian yang dilakukan Ahn
Yoon et al. (2007) di Korea, menunjukkan bahwa bayi yang mendapatkan perawatan
rooming-in juga mempunyai stabilitas emosi yang lebih baik daripada bayi yang