Anda di halaman 1dari 29

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Postpartum

1.1.Defenisi

Periode postpartum (nifas/puerperium) adalah masa setelah keluarnya plasenta

sampai alat–alat reproduksi pulih seperti sebelum hamil dan secara normal

berlangsung selama enam minggu atau 42 hari (Ambarwati & Wulandari, 2008).

Masa nifas adalah waktu untuk perbaikan tubuh selama persalinan dan

kelahiran. Periode ini juga merupakan waktu untuk mempelajari perawatan diri dan

keterampilan perawatan bayi, penyatuan peran baru dan kelanjutan ikatan keluarga

serta penilaian terhadap bayi baru lahir (Novak & Broom, 1999). Masa nifas

berlangsung sejak ibu melahirkan sampai ibu berhenti mengeluarkan darah, lamanya

sekitar 40 hari setelah melahirkan (Nasedul, 2000).

1.2. Periode Postpartum

Periode postpartum terdiri dari tiga periode, immediate postpartum yaitu masa

24 jam pertama setelah persalinan, early postpartum yaitu satu minggu pertama

setelah persalinan dan late postpartum yaitu setelah satu minggu pertama persalinan

sampai periode postpartum selesai (Coad & Dunstall, 2006).

Periode immediate postpartum merupakan masa kritis bagi ibu maupun bayinya. Ibu

sedang menjalani pemulihan fisik dan hormonal yang disebabkan oleh proses

Universitas Sumatera Utara


kelahiran serta pengeluaran plasenta. Menurunnya hormon-hormon plasenta

memberi isyarat kepada tubuh ibu untuk mulai memproduksi ASI dalam jumlah

cukup untuk segera menyusui bayinya. Bayi baru lahir yang lahir sehat secara

normal akan terlihat sadar dan waspada, serta memiliki refleks rooting dan refleks

sucking untuk membantunya mencari puting susu ibu, mengisapnya dan mulai

minum ASI (Linkages, 2004).

1.3. Perubahan Fisiologis Pada Masa Postpartum

A. Perubahan pada Sistem Reproduksi

1. Involusi Uteri

Involusi uteri terjadi segera setelah melahirkan dan berlangsung cepat. Dalam

12 jam pertama setelah melahirkan fundus uteri teraba satu cm dibawah pusat, lima

sampai enam minggu kemudian kembali ke dalam ukuran tidak hamil. Dinding

endometrium pada bekas implantasi plasenta pada lapisan superfisial akan

mengalami nekrotik dan akan keluar cairan berupa sekret sebagai lochea. Luka

bekas implantasi plasenta akan sembuh sempurna sekitar enam minggu setelah

kelahiran (Bobak dkk., 2004).

Kegagalan penyembuhan tempat menempelnya plasenta dapat menyebabkan

pengeluaran lochea terus menerus, perdarahan pervaginam tanpa nyeri. Menyusui

dan mobilisasi menyebabkan ekskresi lochea sedikit lebih banyak dibandingkan

posisi tidur saja, karena itu menyusui dan mobilisasi dini yang disertai asupan nutrisi

yang adekuat mempercepat proses involusi uteri (Coad & Dunstall, 2006).

Universitas Sumatera Utara


2. Serviks, Vagina dan Perineum

Serviks dan segmen bawah uterus menjadi lebih tipis selama immediate

postpartum. Pada beberapa persalinan terjadi laserasi pada serviks. Vagina dan

perineum dapat mengalami robekan, edema dan memar (Ambarwati & Wulandari,

2009).

3. Payudara

Perkembangan kelenjar mamae secara fungsional lengkap pada pertengahan

masa kehamilan, tetapi laktasi terhambat sampai kadar estrogen menurun, yakni

setelah janin dan plasenta lahir. Konsentrasi hormon yang menstimulasi

perkembangan payudara selama hamil menurun dengan cepat setelah bayi lahir.

Waktu yang dibutuhkan hormon kembali ke kadar sebelum hamil sebagian

ditentukan oleh apakah ibu menyusui atau tidak.

Pada ibu yang tidak menyusui kadar prolaktin akan turun dengan cepat. Pada

hari ketiga dan keempat postpartum bisa terjadi pembengkakan (engorgement),

payudara teregang, keras, nyeri bila ditekan dan hangat jika diraba. Distensi

payudara terutama disebabkan oleh kongesti sementara vena dan pembuluh limfatik

bukan akibat penimbunan air susu. Pembengkakan dapat hilang dengan sendirinya

dan rasa tidak nyaman biasanya berkurang dalam 24 jam sampai 36 jam.

Universitas Sumatera Utara


Pada ibu yang menyusui, sebelum laktasi dimulai payudara teraba lunak dan

suatu cairan kekuningan yakni kolostrum dikeluarkan dari payudara. Setelah laktasi

dimulai, payudara teraba hangat dan keras ketika disentuh (Bobak dkk., 2005).

4. Sistem Urinaria

Uretra, kandung kemih dan jaringan sekitar meatus urinarius dapat mengalami

trauma mekanik akibat desakan oleh bagian yang berpresentasi selama persalinan

kala II, Hal ini dapat menyebabkan kehilangan sensasi untuk buang air kecil

(Ambarwati & Wulandari, 2009).

5. Sistem sirkulasi dan Vital Sign

Adanya hipervolemi, dimana terjadi peningkatan plasma darah saat persalinan

menyebabkan ibu toleran terhadap kehilangan darah saat persalinan. Segera setelah

kelahiran terjadi peningkatan cardiac output yang dapat tetap ada selama 28 jam

setelah kelahiran dan akan turun secara perlahan pada keadaan normal sekitar 12

minggu setelah persalinan (Bobak dkk., 2004; Derek & Jones, 2005).

6. Sistem Muskuloskeletal

Selama beberapa hari hormon relaxin menurun, dan ligamen kartilago pelvis

mulai kembali ke keadaan sebelum hamil. Pada sebagian ibu, otot abdomen dapat

melemah dan kendur. Hal ini mempengaruhi resiko konstipasi selama postpartum

karena penurunan tonus dinding abdomen mempengaruhi motilitas usus. Stasis vena

yang dapat terjadi selama hamil tua, berkontribusi terhadap terbentuknya bekuan

Universitas Sumatera Utara


darah (trombosis) pada ekstremitas bawah. Hal ini dapat dicegah dengan mobilisasi

dini setelah persalinan.( Burrougs & Leifer, 2001; Bobak dkk., 2004).

7. Sistem Gastrointestinal

Ibu akan sering haus dan lapar setelah melahirkan, akibat kehabisan tenaga

dan restriksi cairan selama persalinan. Pembatasan asupan nutrisi dan cairan dapat

menyebabkan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit serta keterlambatan

pemulihan fungsi tubuh ( Bobak dkk., 2004; Derek & Jones 2005).

8. Sistem Endokrin

Level estrogen dan progesteron menurun setelah ekspulsi plasenta. Jika ibu

tidak menyusui, level estrogen akan kembali meningkat sekitar tiga minggu setelah

kelahiran yang diikuti dengan kembalinya menstruasi. Pada ibu menyusui level

estrogen dan progesteron lebih lambat kembali pada level sebelum hamil.; Derek &

Jones, 2005 ; Ambarwati & Wulandari, 2009).

1.4. Perubahan Psikologis pada Masa Postpartum.

Ada tiga fase penyesuaian Ibu terhadap perannya sebagai orang tua yaitu :

A. Fase Dependen.

Selama satu atau dua hari pertama setelah melahirkan, ketergantungan ibu

menonjol. Pada waktu ini ibu mengharapkan segala kebutuhannya dapat dipenuhi

orang lain. Rubin (1961) menetapkan periode ini sebagai fase menerima (taking-in

phase), suatu waktu dimana ibu memerlukan perlindungan dan perawatan (Bobak

dkk., 2004).

Universitas Sumatera Utara


B. Fase Dependen-Mandiri

Apabila ibu telah menerima asuhan yang cukup selama beberapa jam atau

beberapa hari pertama setelah persalinan, maka pada hari kedua atau ketiga

keinginan untuk mandiri timbul dengan sendirinya. Secara bergantian muncul

kebutuhan untuk mendapat perawatan dan penerimaan dari orang lain dan keinginan

untuk bisa melakukan segala sesuatu secara mandiri. Keadaan ini disebut juga fase

taking-hold yang berlangsung kira-kira sepuluh hari (Bobak dkk., 2004).

C. Fase Interdependen

Pada fase ini perilaku interdependen muncul, ibu dan para anggota keluarga

saling berinteraksi. Hubungan antar pasangan kembali menunjukkan karakteristik

awal. Fase yang disebut juga letting-go ini merupakan fase yang penuh stres bagi

orangtua. Suami dan Istri harus menyesuaikan efek dan perannya masing-masing

dalam hal mengasuh anak, mengatur rumah dan membina karier (Bobak dkk., 2004).

2. ASI

2.1. Defenisi

ASI (Air Susu Ibu) adalah suatu emulsi lemak dalam larutan protein, laktose

dan garam – garam organik yang disekresi oleh kedua belah kelenjar payudara ibu,

sebagai makanan utama bagi bayi (Suraatmaja, dalam Soetjiningsih, 1997).

ASI secara optimal memenuhi kebutuhan gizi bayi. ASI memiliki komposisi unik

yang sangat cocok untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi baru lahir

(Suraatmaja, dalam Soejtiningsih, 1997).

Universitas Sumatera Utara


2.2. Komposisi ASI

Terdapat tiga bentuk ASI dengan karakteristik dan komposisi berbeda yaitu

kolostrum, ASI transisi/peralihan, dan ASI matang/mature (Suraatmaja, dalam

Soejtiningsih 1997).

Kolostrum adalah cairan kental kekuning - kuningan yang disekresi oleh

kelenjar payudara sejak hari pertama sampai hari ketiga atau hari keempat setelah

melahirkan, yang berbeda karakteristik fisik dan komposisinya dengan ASI matang

dengan volume 150 – 300 ml/hari. ASI transisi adalah ASI yang disekresi setelah

kolostrum yaitu dari hari keempat sampai hari kesepuluh dimana kadar lemak dan

laktosa lebih tinggi dan kadar protein serta mineral lebih rendah.ASI matang adalah

ASI yang disekresi pada hari kesepuluh dan seterusnya dengan volume bervariasi

yaitu 300 – 850 ml/hari tergantung pada besarnya stimulasi saat laktasi\menyusui

(Suraatmaja, dalam Soejtiningsih 1997).

2.3. Kandungan ASI

ASI mengandung komponen makro dan mikro nutrient serta zat imunologis.

yang termasuk makronutrien adalah karbohidrat, protein dan lemak sedangkan

mikronutrien adalah vitamin dan mineral (Hendarto & pringgadini, dalam IDAI

2008).

A. Karbohidrat

Laktosa adalah karbohidrat utama dalam ASI dan serfungsi sebagai salah satu

sumber energi untuk otak. Kadar laktosa yang terdapat dalam ASI hampir dua kali

Universitas Sumatera Utara


lipat dibanding laktosa yang ditemukan pada susu sapi atau susu formula (Hendarto

& Pringgadini, dalam IDAI 2008).

B. Protein

Kandungan protein ASI cukup tinggi dan komposisinya berbeda dengan

protein yang terdapat dalam susu sapi. Protein dalam ASI dan susu sapi terdiri dari

protein whey dan casein. Protein dalam ASI lebih banyak terdiri dari protein whey

yang lebih mudah diserap oleh usus bayi, sedangkan susu sapi lebih banyak

mengandung protein (Hendarto & pringgadini, dalam IDAI 2008).

C. Lemak

Kadar lemak dalam ASI lebih tinggi dibanding dengan susu sapi dan susu

formula. Kadar lemak yang tinggi ini dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan

otak yang cepat selama masa bayi. Terdapat beberapa perbedaan antara lemak yang

ditemukan dalam ASI. Lemak omega 3 dan omega 6 yang berperan pada

perkembangan otak bayi banyak ditemukan dalam ASI. ASI juga mengandung

banyak asm lemak rantai panjang diantaranya asam dokosaheksanoik (DHA) dan

asam arakidonat (ARA) yang berperan terhadap perkembangan jaringan saraf dan

retina mata. Susu sapi tidak mengandung kedua komponen tersebut, karena itu

hampir semua susu formula ditambahkan DHA dan ARA, tetapi tidak sebaik yang

ada dalam ASI (Hendarto & pringgadini, dalam IDAI 2008).

Universitas Sumatera Utara


D. Vitamin

1. Vitamin K

Vitamin K dibutuhkan sebagai salah satu zat gizi yang berfungsi sebagai

faktor pembekuan darah. Kadar vitamin K dalam ASI hanya seperempat dari kadar

vitamin K dalam susu formula, karena itu pada bayi baru lahir perlu diberikan

suntikan vitamin K. (Hendarto & pringgadini, dalam IDAI 2008).

2. Vitamin D

ASI hanya mengandung sedikit vitamin D. Hal ini tidak perlu dikuatirkan

karena dengan menjemur bayi pada pagi hari maka bayi akan mendapat tambahan

vitamin D yang berasal dari sinar matahari (Hendarto & pringgadini, dalam IDAI

2008).

3. Vitamin E

Kandungan vitamin E dalam ASI tinggi, terutama pada kolostrum dan ASI

transisi. Kekurangan vitamin E dapat menyebabkan terjadinya anemia hemolitik.

(Hendarto & pringgadini, dalam IDAI 2008).

4. Vitamin A

Vitamin A berfungsi untuk kesehatan mata, pembelahan sel, kekebalan tubuh

dan pertumbuhan. ASI tidak hanya mengandung vitamin A yang tinggi tetapi juga

bahan bakunya yaitu beta karoten.Hal inilah yang menyebabkan bayi yang mendapat

ASI mempunyai tumbuh kembang dan daya tahan tubuh yang baik. (Hendarto &

pringgadini, dalam IDAI 2008).

Universitas Sumatera Utara


5. Vitamin yang larut dalam air

Hampir semua vitamin yang larut dalam air seperti vitamin B, asam folat dan

vitamin C terdapat dalam ASI. Kadar vitamin B1 dan B2 cukup tinggi dalam ASI

tetapi kadar vitamin B6, B12 dan asam folat mungkin rendah pada ibu dengan gizi

kurang. (Hendarto & pringgadini, dalam IDAI 2008).

6. Mineral

Mineral di dalam ASI mempunyai kualitas yang lebih baik dan lebih mudah

diserap dibandingkan dengan mineral yang terdapat di dalam susu sapi. Mineral

utama yang terdapat dalam ASI adalah kalsium yang mempunyai fungsi untuk

pertumbuhan jaringan otot dan rangka, transmisi jaringan saraf dan pembekuan

darah. Kadar kalsium ASI lebih rendah dari susu sapi, tetapi tingkat penyerapannya

lebih besar. kandungan Zat besi dan Zink dalam ASI juga lebih rendah dari susu

formula, tetapi tingkat penyerapannya lebih baik. Mineral yang tinggi kadarnya

dalam ASI dibandingkan susu formula adalah selenium, yang sangat dibutuhkan

untuk pertumbuhan anak. (Hendarto & pringgadini, dalam IDAI 2008).

F. Zat Imunologis

Menurut Suraatmaja (dalam Soetjiningsih, 1997), aspek imunologis yang

terdapat dalam ASI adalah:

1. ASI mengandung zat anti infeksi, bersih dan bebas kontaminasi.

Universitas Sumatera Utara


2. Immunoglobulin A (Ig.A) dalam kolostrum atau ASI kadarnya cukup tinggi.

Sekretori Ig.A tidak diserap tetapi dapat melumpuhkan bakteri patogen E. coli

dan berbagai virus pada saluran pencernaan.

3. Laktoferin yaitu sejenis protein yang merupakan komponen zat kekebalan yang

mengikat zat besi di saluran pencernaan.

4. Lysosim, enzym yang melindungi bayi terhadap bakteri (E. coli dan salmonella)

dan virus. Jumlah lysosim dalam ASI 300 kali lebih banyak daripada susu sapi.

5. Sel darah putih pada ASI pada 2 minggu pertama lebih dari 4000 sel per mil.

Terdiri dari 3 macam yaitu Brochus-Asociated Lympocyte Tissue (BALT)

antibodi pernafasan, Gut Asociated Lympocyte Tissue (GALT) antibodi saluran

pernafasan, dan Mammary Asociated Lympocyte Tissue (MALT) antibodi

jaringan payudara ibu.

6. Faktor bifidus, sejenis karbohidrat yang mengandung nitrogen, menunjang

pertumbuhan bakteri lactobacillus bifidus. Bakteri ini menjaga keasaman flora

usus bayi dan berguna untuk menghambat pertumbuhan bakteri yang

merugikan.

2.4. Manfaat Pemberian ASI

Menurut Roesli (2000) manfaat pemberian ASI dapat dibagi menjadi dua

kelompok yaitu manfaat bagi bayi dan manfaat bagi ibu (menyusui).

Universitas Sumatera Utara


A. Manfaat Pemberian ASI Bagi Bayi

1. ASI Sebagai Nutrisi

ASI mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan oleh bayi. Komposisi ASI

sangat ideal dan seimbang, tidak sama dari waktu ke waktu dan sesuai dengan

pertumbuhan bayi. Melalui proses menyusui yang benar, ASI adalah makanan

tunggal yang cukup untuk memenuhi semua kebutuhan bayi sampai usia enam bulan

(Roesli, 2000).

2. ASI Meningkatkan Daya Tahan Tubuh Bayi

Bayi baru lahir secara alamiah mendapatkan zat kekebalan dari ibunya

melalui plasenta, tetapi kadar zat tersebut akan menurun segera setelah bayi lahir,

padahal sampai usia beberapa bulan bayi belum dapat membentuk sendiri zat

kekebalan secara sempurna. Hal ini akan tertutupi jika bayi mengkonsumsi ASI,

karena ASI mengandung zat kekebalan yang akan melindungi bayi dari bahaya

penyakit dan infeksi (Roesli, 2000; Linkages, 2004).

3. ASI meningkatkan Kecerdasan Bayi

Bulan-bulan pertama kehidupan bayi adalah periode dimana terjadi

pertumbuhan otak yang pesat. Faktor utama yang mempengaruhi perkembangan

kecerdasan adalah pertumbuhan otak. Pertumbuahan otak sangat dipengaruhi oleh

nutrisi yang diberikan baik kualitas maupun kuantitasnya dan nutrisi tersebut

didapatkan dari ASI (Roesli, 2000).

Universitas Sumatera Utara


4. ASI Meningkatkan Jalinan Kasih Sayang

Pada waktu menyusu bayi berada sangat dekat dengan ibunya, yaitu dalam

dekapan ibunya. Semakin sering bayi berada dalam dekapan ibunya maka bayi akan

semakin merasakan kasih saying ibunya, ia juga akan merasa aman, tentram dan

nyaman terutama karena masih dapat mendengar detak jantung ibunya yang telah

dikenal sejak dalam kandungan. Perasaan terlindungi dan disayangi ini akan menjadi

dasar perkembangan emosi bayi dan membentuk ikatan yang erat antara ibu dan bayi

(Aritonang, 2007; Roesli, 2000).

B. Manfaat Menyusui Bagi Ibu

1. Mengurangi Perdarahan setelah Melahirkan serta Mengecilkan Rahim

Menyusui bayi segera setelah melahirkan akan meningkatkan kadar

oksitosin di dalam tubuh ibu. Oksitosin berguna untuk konstriksi/penutupan

pembuluh darah sehingga perdarahan akan lebih cepat berhenti. Hal ini juga dapat

mengurangi terjadinya anemia pada ibu. Selain itu kadar oksitosin yang meningkat

juga sangat membantu mempercepat rahim kembali ke ukuran sebelum hamil

(Roesli, 2000).

2. Menjarangkan Kehamilan

Menyusui merupakan cara kontrasepsi alamiah yang aman , murah dan

cukup berhasil (Roesli, 2000).

Universitas Sumatera Utara


3. Lebih Cepat Menurunkan Berat Badan

Menyusui memerlukan energi yang besar, sehingga tubuh akan mengambil

sumber energy dari lemak yang tertimbun selama hamil terutama di bagian paha dan

lengan atas. Dengan demikian, berat badan ibu yang menyusui akan lebih cepat

kembali ke berat badan semula (Roesli, 2000).

4. Mengurangi Kemungkinan Menderita Kanker

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa menyusui akan mengurangi

kemungkinan terjadinya kanker payudara dan akan melindungi ibu dari penyakit

kanker indung telur (Roesli, 2000).

5. Lebih Ekonomis dan Murah

ASI adalah jenis makanan bermutu yang murah dan sederhana dan tidak

memerlukan perlengkapan menyusui sehingga dapat menghemat pengeluaran. Bayi

yang diberi ASI mempunyai daya tahan tubuh yang kuat sehingga bayi akan

terhindar dari berbagai penyakit, hal ini akan menghemat pengeluaran untuk berobat

ke dokter atau ke rumah sakit.

6. Tidak Merepotkan dan Hemat Waktu

ASI sangat mudah diberikan tanpa harus menyiapkan atau memasak air dan

tanpa harus mencuci botol. ASI mempunyai suhu yang tepat sehingga dapat

langsung diminum tanpa khawatir terlalu panas atau dingin. ASI dapat diberikan

kapan saja dan tidak perlu takut persediaan habis.

Universitas Sumatera Utara


7. Praktis

ASI mudah dibawa kemana-mana, siap kapan saja dan dimana saja dibutuhkan.

Pada saat bepergian tidak perlu membawa peralatan untuk menghangatkan suhu

(Roesli, 2000).

8. Memberi Kepuasan kepada Ibu

Ibu yang berhasil memberikan ASI, akan merasa puas, bangga dan bahagia

yang mendalam (Roesli, 2000).

3. Produksi ASI

3.1. Defenisi

Produksi ASI adalah proses mengeluarkan hasil, penghasilan ASI (KBBI,

2005). Pengeluaran ASI merupakan suatu interaksi yang sangat kompleks antara

rangsangan mekanik, saraf dan hormon (Kari, dalam Soetjiningsih 1997 ;

Thompson, 1995).

3.2. Fisiologi Laktasi

Laktasi adalah keseluruhan proses menyusui mulai dari ASI diproduksi

sampai proses bayi menghisap dan menelan (Ambarwati & Wulandari, 2008).

Refleks maternal yang berperan dalam proses laktasi adalah refleks produksi

dan refleks pengeluaran ASI. Refleks tersebut responsif terhadap kekuatan yang

mengatur laktasi, yaitu isapan. Keduanya melibatkan hormon prolaktin, yang

merangsang produksi air susu, dan oksitosin, yang berperan dalam ejeksi

(penyemprotan) air susu (Anhari dkk, 1994 ; Coad & Dunstall, 2006).

Universitas Sumatera Utara


Selama kehamilan,hormon prolaktin dari plasenta meningkat tetapi ASI

biasanya belum keluar karena masih dihambat oleh kadar estrogen yang tinggi

(Suradi & Tobing, 2004). Hambatan diproduksinya ASI menghilang setelah

kelahiran dan pengeluaran plasenta, saat kadar progesteron turun praktis (Christine

& Jones, 2005; Saryono & Pramitasari, 2008).

Setiap kali bayi menghisap payudara, akan merangsang ujung saraf sensoris di

sekitar payudara sehingga merangsang kelenjar hipofisis anterior untuk

menghasilkan prolaktin. Prolaktin akan masuk ke peredaran darah kemudian ke

payudara sehingga menyebabkan sel sekretori di alveoli menghasilkan ASI

(Christine & Jones, 2005).

Hormon prolaktin diproduksi oleh kelenjar hipofisis anterior. Prolaktin akan

berada di peredaran darah selama 30 menit setelah bayi menyusu, sehingga prolaktin

dapat merangsang payudara menghasilkan ASI untuk konsumsi berikutnya,

sedangkan untuk konsumsi pada saat sekarang, bayi meminum ASI yang sudah ada

yaitu yang disimpan pada sinus laktiferus (Roesli & Yohmi, 2008).

Makin banyak ASI yang dikeluarkan dari sinus laktiferus makin banyak

produksi ASI. Dengan kata lain, makin sering bayi menyusu makin banyak ASI

diproduksi. Sebaliknya makin jarang bayi menghisap, makin sedikit payudara

menghasilkan ASI. Jika bayi berhenti menghisap maka payudara akan berhenti

menghasilkan ASI ( King,1991 ; Danuatmaja & Meiliasari, 2003 ; Derek & Jones,

2005 ; Roesli & Yohmi, 2008).

Universitas Sumatera Utara


Hormon prolaktin umumnya dihasilkan pada malam hari, sehingga menyusui

pada malam hari dapat membantu mempertahankan produksi ASI. Prolaktin juga

akan menekan ovulasi (fungsi indung telur untuk menghasilkan sel telur), sehingga

menyusui secara eksklusif akan memperlambat kembalinya fungsi kesuburan dan

haid, karena itu, menyusui pada malam hari penting untuk tujuan menunda

kehamilan (Newman & Pitman, 2008 ; Roesli & Yohmi, 2008).

Hormon oksitosin diproduksi oleh kelenjar hipofisis posterior. oksitosin

dihasilkan bila ujung saraf di sekitar payudara dirangsang oleh isapan. Oksitosin

akan dialirkan melalui darah menuju payudara yang akan merangsang kontraksi otot

di sekeliling alveoli dan mengeluarkan ASI ke duktus laktiferus (King, 1991 ; Nolan,

2003).

Oksitosin dibentuk lebih cepat dibanding prolaktin. Keadaan ini menyebabkan

ASI di payudara akan mengalir untuk dihisap.Oksitosin sudah mulai bekerja saat ibu

berkeinginan menyusui (sebelum bayi menghisap). Aliran ASI sebagai respon

terhadap oksitosin disebut let down reflex/milk ejection reflex. Jika refleks oksitosin

tidak bekerja dengan baik, maka bayi akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan

ASI. Payudara seolah-olah telah berhenti memproduksi ASI, padahal payudara tetap

menghasilkan ASI namun tidak mengalir keluar. Efek penting oksitosin lainnya

adalah menyebabkan uterus berkontraksi setelah melahirkan sehingga membantu

mengurangi perdarahan (Neilson, 1990 ; Moody dkk., 2005 ; Roesli & Yohmi,

2008).

Universitas Sumatera Utara


3.3. Faktor- faktor yang mempengaruhi produksi ASI

Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi ASI terdiri dari :

3.3.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kuantitas ASI

A. Frekuensi Menyusui

Menyusui yang baik adalah sesuai dengan kebutuhan bayi (on demand)

karena secara alami bayi akan mengatur kebutuhannya sendiri. Semakin sering bayi

menyusu, payudara akan memproduksi ASI lebih banyak. Pada studi 32 ibu dengan

bayi prematur disimpulkan bahwa produksi ASI akan optimal dengan pemompaan

ASI lebih dari lima kali per hari selama bulan pertama setelah melahirkan.

Pemompaan dilakukan karena bayi prematur belum dapat menyusu (Hopkinson et

al., 1988 dalam ACC/SCN, 1991).

Studi lain yang dilakukan pada ibu dengan bayi cukup bulan menunjukkan

bahwa frekuensi penyusuan 10 - 13 kali perhari selama dua minggu pertama setelah

melahirkan berhubungan dengan produksi ASI yang cukup (De Carvalho, et al.,

1982 dalam ACC/SCN, 1991). Berdasarkan hal ini direkomendasikan penyusuan

paling sedikit delapan kali perhari pada periode awal setelah melahirkan. Frekuensi

penyusuan ini berkaitan dengan kemampuan stimulasi hormon dalam kelenjar

payudara (Ambarwati & Wulandari, 2009).

Universitas Sumatera Utara


B. Berat Lahir

Prentice (1984) mengamati hubungan berat lahir bayi dengan volume ASI.

Hal ini berkaitan dengan kekuatan untuk mengisap, frekuensi, dan lama penyusuan

dibanding bayi yang lebih besar. Berat bayi pada hari kedua dan usia 1 bulan sangat

erat berhubungan dengan kekuatan mengisap yang mengakibatkan perbedaan intik

yang besar dibanding bayi yang mendapat formula. De Carvalho (1982)

menemukan hubungan positif berat lahir bayi dengan frekuensi dan lama menyusui

selama 14 hari pertama setelah lahir. Bayi berat lahir rendah (BBLR) mempunyai

kemampuan mengisap ASI yang lebih rendah dibanding bayi dengan berat lahir

normal (> 2500 gr). Kemampuan mengisap ASI yang lebih rendah ini meliputi

frekuensi dan lama penyusuan yang lebih rendah dibanding bayi berat lahir normal

yang akan mempengaruhi stimulasi hormon prolaktin dan oksitosin dalam

memproduksi ASI (Ambarwati & Wulandari, 2009).

C. Umur Kehamilan Saat Melahirkan

Umur kehamilan dan berat lahir mempengaruhi intake ASI. Hal ini

disebabkan bayi yang lahir prematur (umur kehamilan kurang dari 34 minggu)

sangat lemah dan tidak mampu mengisap secara efektif sehingga produksi ASI lebih

rendah daripada bayi yang lahir tidak prematur. Lemahnya kemampuan mengisap

pada bayi prematur dapat disebabkan berat badan yang rendah dan belum

sempurnanya fungsi organ (Aritonang, 2007).

Universitas Sumatera Utara


D. Faktor psikologis

Keadaan psikologis ibu mempengaruhi pengeluaran ASI. Pikiran dan

perasaan seorang ibu sangat mempengaruhi refleks let down yaitu refleks yang

berperan dalam pengeluaran ASI. Keadaan psikologis ibu yang dapat meningkatkan

produksi hormon oksitosin antara lain peraaan dan curahan kasih saying ibu terhadap

bayinya, mendengar celotehan atau tangisan bayi, memikirkan bayi dan ibu merasa

tenang. Sedangkan keadaan yang dapat mengurangi produksi hormon oksitosin

adalah rasa sedih, marah, kesal atau bingung, cemas terhadap perubahan bentuk

payudara dan bentuk tubuh, meninggalkan bayi karena harus bekerja, takut ASI

tidak mencukupi kebutuhan bayi dan adanya rasa sakit terutama saat menyusui

(Derek & jones, 2005).

E. Konsumsi Rokok

Merokok dapat mengurangi volume ASI karena akan mengganggu hormon

prolaktin dan oksitosin untuk produksi ASI. Merokok akan menstimulasi pelepasan

adrenalin dimana adrenalin akan menghambat pelepasan oksitosin. Studi

Lyon,(1983); Matheson, (1989) menunjukkan adanya hubungan antara merokok dan

penyapihan dini meskipun volume ASI tidak diukur secara langsung. Bayi dari ibu

perokok mempunyai insiden sakit perut yang lebih tinggi. Anderson et al. (1982)

mengemukakan bahwa ibu yang merokok lebih dari 15 batang rokok/hari

mempunyai prolaktin 30-50% lebih rendah pada hari pertama dan hari ke 21 setelah

melahirkan dibanding dengan yang tidak merokok (Arifin, 2004).

Universitas Sumatera Utara


F. Konsumsi Alkohol

Meskipun minuman alkohol dosis rendah disatu sisi dapat membuat ibu

merasa lebih rileks sehingga membantu proses pengeluaran ASI namun disisi lain

etanol dapat menghambat produksi oksitosin. Kontraksi rahim saat penyusuan

merupakan indikator produksi oksitosin. Pada dosis etanol 0,5-0,8 gr/kg berat badan

ibu mengakibatkan kontraksi rahim hanya 62% dari normal, dan dosis 0,9-1,1 gr/kg

mengakibatkan kontraksi rahim 32% dari normal (Matheson, 1989 dalam Arifin

2004).

G. Pil Kontrasepsi

Penggunaan pil kontrasepsi kombinasi estrogen dan progestin berkaitan

dengan penurunan volume ASI (Koetsawang, 1987 dan Lonerdal, 1986 dalam

ACC/SCN, 1991), sebaliknya bila pil hanya mengandung progestin maka tidak ada

dampak terhadap volume ASI (WHO Task Force on Oral Contraceptives, 1988

dalam ACC/SCN, 1991 dalam Arifin, 2004).

3.3.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kualitas ASI

A. Status Gizi Ibu

Aspek gizi ibu yang dapat berdampak terhadap komposisi ASI adalah asupan

pangan aktual, cadangan gizi, dan gangguan dalam penggunaan zat gizi. Perubahan

status gizi ibu yang mengubah komposisi ASI dapat berdampak positif, netral, atau

negatif terhadap bayi yang disusui. Bila asupan gizi ibu berkurang, kadar zat gizi

Universitas Sumatera Utara


dalam ASI dan volume ASI tidak berubah. Zat gizi untuk sintesis ASI diambil dari

cadangan ibu atau jaringan ibu. Hanya pada kasus yang sangat ekstrim, status gizi

ibu mempunyai pengaruh yang merugikan bagi produksi ASI (Anhari dkk, 1994).

B. Penggunaan Obat-obatan Selama Masa Menyusui

Hampir semua obat yang diminum ibu menyusui terdeteksi di dalam ASI dan

umumnya berada dalam konsentrasi rendah. Konsentrasi obat dalam darah ibu akan

ditransfer ke dalam ASI. Kadar puncak obat di dalam ASI adalah sekitar satu sampai

tiga jam setelah ibu meminum obat. Hal ini dapat dapat digunakan sebagai bahan

pertimbangan agar ibu tidak memberikan ASI pada kadar puncak. Bila ibu menyusui

tetap harus meminum obat yang potensial toksik terhadap bayinya maka untuk

sementara ASI tdak diberikan tetapi tetap harus dipompa. ASI dapat diberikan

kembali setelah tubuh bersih dari obat dan ini dapat diperhitungkan setelah lima kali

waktu paruh obat (Depkes, 2006).

3.2. Pengukuran Produksi ASI

Produksi ASI adalah Proses mengeluarkan hasil, penghasilan ASI (KBBI,

2005). Produksi ASI dapat diukur melalui kualitas proses menyusui dan

kuantitasnya. Untuk mengetahui banyaknya (kuantitas) produksi ASI, beberapa

kriteria dapat digunakan sebagai patokan untuk mengetahui jumlah ASI cukup atau

tidak (Suraatmaja, dalam Soetjiningsih, 1997) yaitu:

1. ASI yang banyak dapat merembes keluar melalui puting.

2. Sebelum disusukan payudara terasa tegang.

Universitas Sumatera Utara


3. Jika ASI cukup, setelah bayi menyusu bayi akan tertidur/tenang selama 3-4

jam.

4. Bayi BAK 6-8 kali dalam satu hari.

5. Bayi paling sedikit menyusu 8-10 kali dalam 24 jam.

6. Ibu dapat mendengar suara menelan yang pelan ketika bayi menelan ASI.

7. Ibu dapat merasakan rasa seperti diperas pada payudara ketika bayi menyusu.

8. Urin bayi biasanya kuning pucat.

Menurut BK-PP-ASI yang bekerja sama dengan WHO dan UNICEF (2003),

penilaian proses menyusui berdasarkan kualitas adalah dengan Observasi BREAST,

yaitu:

1. Body Position ( Posisi Tubuh)

Aspek yang dinilai adalah :

A. Ibu santai dan nyaman.

B. Badan bayi dekat dengan ibu, menghadap payudara.

C. Kepala dan badan bayi lurus

D. Dagu menyentuh payudara.

E. Bagian belakang bayi ditopang.

2. Responses (Respon)

Aspek yang dinilai adalah :

A. Bayi mencari payudara ketika lapar.

B. Ada refleks rooting.

Universitas Sumatera Utara


C. Bayi mencari payudara dengan lidah.

D. Bayi tenang dan siaga pada payudara.

E. Bayi tetap melekat pada payudara.

F. Tanda-tanda pengeluaran susu (menetes, after pain).

3. Emotional Bonding (Ikatan emosi)

Aspek yang dinilai adalah :

A. Pelukan yang mantap dan percaya diri.

B. Perhatian dan tatap muka dari ibu.

C. Banyak sentuhan atau belaian dari ibu.

4. Anatomy (Anatomi)

Aspek yang dinilai adalah :

A. Payudara lembek setelah menyusui.

B. Puting menonjol keluar dan memanjang.

C. Kulit tampak sehat.

D. Payudara tampak membulat sewaktu menyusui.

5. Sucking (Mengisap)

Aspek yang dinilai adalah :

A. Mulut terbuka lebar.

B. Bibir bawah membuka lebar.

C. Lidah berlekuk di sekitar payudara.

D. Pipi membulat.

Universitas Sumatera Utara


E. Lebih banyak areola di atas mulut bayi.

F. Menghisap pelan dan dalam, diselingi istirahat.

G. Melihat atau mendengar bayi menelan.

6. Time Spent Sucking (lamanya menghisap)

Aspek yang dinilai adalah :

A. Bayi melepaskan payudara.

B. Bayi menghisap selama beberapa menit.

4. Perawatan Rooming-in

4.1. Defenisi

Rooming-in (Rawat gabung) adalah suatu cara perawatan di mana ibu dan

bayi yang baru dilahirkan tidak dipisahkan, melainkan ditempatkan dalam sebuah

ruangan, kamar atau tempat bersama-sama selama 24 jam penuh dalam sehari

(Marjono, 1992).

4.2. Proses dan Cara Pelaksanaan

Kegiatan rawat gabung dimulai sejak ibu bersalin di kamar bersalin dan di

bangsal perawatan pasca persalinan. Meskipun demikian penyuluhan tentang

manfaat dan pentingnya rawat gabung sudah dimulai sejak ibu pertama kali

memeriksakan kehamilannya di poliklinik asuhan antenatal (Marjono, 1999).

Tidak semua bayi atau ibu dapat segera dirawat gabung, bayi dan ibu yang

dapat segera mengikuti program rawat gabung harus memenuhi beberapa kriteria

yaitu lahir spontan baik presentasi kepala maupun bokong, masa kehamilan lebih

Universitas Sumatera Utara


dari 37 minggu dengan berat lahir lebih dari 2500 gram, bayi tidak mengalami

asfiksia (nilai APGAR menit ke V lebih dari 7), tidak ada gejala sesak nafas,

sianosis, infeksi atau kelainan kongenital berat, bila lahir dengan tindakan (vakum

atau forceps) rawat gabung dapat ditunda sementara sampai bayi kelihatan baik,

aktif dan sudah ada refleks menghisap.

Bayi yang lahir secara sectio caesarea dengan pembiusan umum, rawat

gabung dilakukan setelah ibu dan bayi sadar (bayi tidak mengantuk) misalnya empat

sampai enam jam setelah operasi selesai, ibu sehat dan tidak ada infeksi intrapartum

(Karkata, dalam Soetjiningsih, 1997 ; Rulina & Tobing, 2004; Mappiwali, 2008).

Dalam perawatan rooming-in bayi ditempatkan bersama ibunya dalam suatu

ruangan, sehingga ibu dapat melihat dan menjangkau bayinya kapan saja ibu

membutuhkannya. Bayi dapat diletakkan di tempat tidur bersama ibunya, atau dalam

boks di samping tempat tidur ibu (Marjono, 1999).

Perawat harus memperhatikan keadaan umum bayi dan dapat mengenali

keadaan-keadaan abnormal, kemudian melaporkannya kepada dokter. Dokter

(terutama dokter anak dan kebidanan) mengadakan kunjungan sekurang-kurangnya

sekali dalam sehari. Dokter harus memperhatikan keadaan ibu maupun bayi,

terutama yang berhubungan dengan masalah menyusui. Perlu diperhatikan apakah

ASI sudah keluar, adakah pembengkakan payudara, keadaan puting, adakah rasa

sakit yang mengganggu saat menyusui, dan sebagainya (Marjono, 1999).

Universitas Sumatera Utara


Perawat juga harus membantu ibu untuk merawat payudara, menyusui,

menyendawakan dan merawat bayi secara benar. Bila ibu dan bayi sudah

diperbolehkan pulang, diberikan penyuluhan lagi tentang cara merawat bayi,

payudara, dan cara menyusui yang benar sehingga ibu akan terampil melakukannya

di rumah (Marjono, 1999).

4.3. Manfaat

Menurut Suradi dan Tobing (2004), Adapun manfaat rawat gabung adalah

sebagai berikut :

A. Aspek Fisik

Bila ibu dekat dengan bayinya, maka ibu dapat dengan mudah menjangkau

bayinya untuk melakukan perawatan sendiri dan menyusui setiap saat, kapan saja

bayinya menginginkan (nir-jadwal). Dengan perawatan sendiri dan menyusui sedini

mungkin, akan mengurangi kemungkinan terjadinya infeksi silang dari pasien lain

atau petugas kesehatan.

B. Aspek Fisiologis

Bila ibu dekat dengan bayinya, maka bayi akan segera disusui dan

frekuensinya lebih sering. Proses ini merupakan proses fisiologis yang alami,

dimana bayi mendapat nutrisi alami yang paling sesuai dan baik. Untuk ibu, dengan

menyusui maka akan timbul refleks oksitosin yang akan membantu proses fisiologis

involusi uterus disamping refleks prolaktin yang memacu produksi ASI.

Universitas Sumatera Utara


C. Aspek Psikologis

Dengan rawat gabung maka antara ibu dan bayi akan segera terjalin proses

lekat (early infant-mother bonding) akibat sentuhan badan antara ibu dan bayinya.

Hal ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan psikologis bayi

selanjutnya, karena kehangatan tubuh ibu merupakan stimulasi mental yang mutlak

dibutuhkan oleh bayi.

D. Aspek Edukatif

Dengan rawat gabung, ibu (terutama yang baru mempunyai anak pertama)

akan mempunyai pengalaman yang berguna, sehingga mampu menyusui serta

merawat bayinya bila pulang dari rumah sakit. Selama di rumah sakit ibu akan

melihat, belajar dan mendapat bimbingan bagaimana cara menyusui secara benar,

bagaimana cara merawat payudara, merawat tali pusat, dan memandikan bayi.

E. Aspek Ekonomi

Melalui rawat gabung pemberian ASI dapat dilakukan sedini mungkin. Bagi

rumah bersalin terutama rumah sakit pemerintah, hal tersebut merupakan suatu

penghematan anggaran pengeluaran untuk pembelian susu buatan, botol susu, dot

serta peralatan lain yang dibutuhkan. Beban perawat mnejadi lebih ringan karena ibu

berperan lebih besar dalam merawat bayinya, sehingga waktu terluang dapat

dimanfaatkan untuk kegiatan lain. Lama perawatan ibu menjadi lebih pendek karena

involusi uterus terjadi lebih cepat dan memungkinkan tempat tidur digunakan untuk

pasien lain.

Universitas Sumatera Utara


F. Aspek Medis

Ibu mengamati sendiri bayinya, maka segala perubahan fisik atau perilaku

bayi dapat diketahui lebih cepat dan ibu dapat menanyakan kepada petugas

kesehatan jika ada hal yang dianggap tidak wajar.

Menurut penelitian Procianoy et al. (1983) di Brazil, ibu yang mendapatkan

perawatan rooming-in mempunyai minat yang lebih besar untuk menyusui bayinya

setelah keluar dari rumah sakit. Penelitian Buranasin (1990) di Thailand, juga

menunjukkan bahwa perawatan rooming-in meningkatkan keberhasilan menyusui

dan menurunkan angka kematian bayi sedangkan penelitian yang dilakukan Ahn

Yoon et al. (2007) di Korea, menunjukkan bahwa bayi yang mendapatkan perawatan

rooming-in juga mempunyai stabilitas emosi yang lebih baik daripada bayi yang

ditempatkan di ruangan khusus bayi.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai