Anda di halaman 1dari 52

LAPORAN PRAKTIKUM

IKLIM KERJA

KELOMPOK 5
INA CHAERUNNISSA FARID
K11113327

DEPARTEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa dipanjatkan kepada Allah SWT, karena

limpahan rahmat dan taufik-Nya sehingga Laporan Praktikum mengenai

Iklim Kerja dapat diselesaikan tepat pada waktunya .

Laporan ini disusun sebagai pelengkap tugas mata kuliah Pratikum K3.

Laporan ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak yang telah memberikan

masukan-masukan kepada praktikan. Untuk itu praktikan mengucapkan banyak

terima kasih kepada para dosen pembimbing mata kuliah praktikum K3 dan

asisten laboratorium yang telah memberikan bimbingan.

Praktikan menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari laporan ini,

baik dari materi maupun tekhnik penyajiannya, mengingat kurangnya

pengetahuan dan pengalaman praktikan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang

membangun sangat praktikan harapkan.

Makassar, April 2016

Praktikan

i
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL
KATA PENGANTAR ........................................................................................... i
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Tujuan Praktikum ......................................................................................... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Iklim Kerja ..................................................................................... 8
B. Jenis Iklim Kerja .......................................................................................... 9
C. Proses Pertukaran Panas antara Tubuh dengan Lingkungan...................... 13
D. Nilai Ambang Batas (NAB) Iklim Kerja ................................................... 15
E. Faktor Faktor yang Mempengaruhi Iklim Kerja ........................................ 19
F. Dampak Iklim Kerja................................................................................... 21
G. Hirarki Pengendalian Bahaya Iklim Kerja ................................................. 23
BAB III METODOLOGI PRAKTIKUM
A. Waktu dan Lokasi Praktikum ..................................................................... 26
B. Alat dan Bahan ........................................................................................... 26
C. Prinsip Kerja .............................................................................................. 29
D. Prosedur Kerja ............................................................................................ 30
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil ........................................................................................................... 33
B. Pembahasan ................................................................................................ 35
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................ 41
B. Saran ........................................................................................................... 42
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan perindustrian di Indonesia sudah dirasakan pada saat ini.

Dengan adanya perkembangan industri yang begitu pesat maka tidak dapat

dipungkiri bahwa peristiwa tersebut akan menimbulkan dampak bagi

kehidupan manusia baik dampak positif maupun dampak negatif. Dampak

positif yang dapat dirasakan adalah kondisi negara yang mengalami kemajuan

dan dapat bersaing dengan negara lain, pertumbuhan ekonomi yang terus

meningkat serta penyediaan lapangan pekejaan. Sedangkan dampak negatif

yang dapat dirasakan yaitu terjadinya polusi udara akibat dari asap pabrik,

kondisi lingkungan yang tercemar seperti temperatur suhu udara yang panas,

limbah dan lain sebagainya.

Penggunaan teknologi maju tidak dapat dielakkan, terutama pada era

industrialisasi yang ditandai adanya proses mekanisme, elektrifikasi dan

modernisasi serta transformasi globalisasi. Keadaan tersebut menyebabkan

penggunaan mesin-mesin, pesawat, instalasi dan bahan-bahan berbahaya akan

terus meningkat sesuai kebutuhan industrialisasi. Selain memberikan

kemudahan bagi suatu proses produksi, tentunya efek samping yang tidak

dapat dielakkan adalah bertambahnya jumlah dan ragam sumber bahaya bagi

pengguna teknologi itu sendiri (Puspita, 2014).

Kesehatan adalah faktor yang sangat penting bagi produktivitas dan

peningkatan produktivitas tenaga kerja selaku sumber daya manusia. Kondisi

1
kesehatan yang baik merupakan potensi untuk meraih produktivitas kerja

yang baik pula. Pekerjaan yang menuntut produktivitas kerja yang tinggi

hanya dapat dilakukan oleh tenaga kerja dengan kondisi kesehatan prima.

Sebaliknya keadaan sakit atau gangguan kesehatan menyebabkan tenaga kerja

tidak atau kurang produktif dalam melakukan pekerjaannya. Untuk bekerja

produktif, pekerjaan harus dilakukan dengan cara kerja dan pada lingkungan

yang memenuhi syarat kesehatan (Suma’mur, 2009).

Kesehatan dan Keselamatan Kerja merupakan upaya, pemikiran serta

penerapannya ditujukan untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik

jasmaniah maupun rohaniah tenaga kerja khususnya dan manusia pada

umumnya, hasil karya dan budaya, untuk meningkatkan kesejahteraan tenaga

kerja. Perkembangan industri di Indonesia saat ini semakin maju tetapi

perkembangan itu belum diimbangi dengan kesadaran untuk memahami dan

melaksanakan keselamatan kerja secara benar untuk mencegah kecelakaan

yang sering terjadi di tempat kerja (Sucipto, 2014).

Kondisi lingkungan kerja yang tidak nyaman dapat disebabkan antara lain

oleh adanya paparan panas di lingkungan kerja. Paparan panas terjadi ketika

tubuh menyerap atau memproduksi panas lebih besar dari pada yang diterima

melalui proses regulasi termal (Imam, 2013).

Lingkungan kerja yang nyaman dapat dilihat dari kondisi iklim di tempat

kerja yang sesuai. Iklim kerja di tempat kerja mempengaruhi kondisi tenaga

kerjanya. Temperatur yang terlalu panas dapat menimbulkan efek fisiologis

pada tubuh seperti meningkatnya kelelahan, efisiensi kerja fisik dan mental

2
menurun,denyut jantung dan tekanan darah meningkat, aktivitas organ-organ

pencernaan menurun, suhu tubuh meningkat dan produksi keringat

bertambah. Sebaliknya temperatur yang terlalu dingin mengurangi daya

atensi, mengurangi efisiensi, keluhan kaku atau kurang koordinasi otot dan

ketidaktenangan yang berpengaruh negatif terutama pada kerja mental.

Dengan demikian penyimpangan dari batas kenyamanan suhu baik diatas

maupun dibawah nyaman akan berdampak buruk pada produktivitas kerja.

Temperatur yang dianjurkan di tempat kerja yaitu sekitar 24°C-26°C (suhu

dingin) dan kelembaban 65%-95%. Suhu tersebut merupakan suhu nikmat di

Indonesia (Tarwaka, dkk, 2004).

Iklim kerja merupakan salah satu faktor fisik yang berpotensi

menimbulkan potensi bahaya yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan

terhadap tenaga kerja bila berada pada kondisi yang ekstrim panas dan dingin

dengan kadar yang melebihi Nilai Ambang Batas (NAB) yang diperkenankan

menurut standar kesehatan. Kondisi temperatur lingkungan kerja yang

ekstrim meliputi panas dan dingin yang berada di luar batas standar kesehatan

dapat menyebabkan meningkatnya pengeluaran cairan tubuh melalui keringat

sehingga bisa terjadi dehidrasi dan gangguan kesehatan lainnya yang lebih

berat. Persoalan tentang bagaimana menentukan bahwa kondisi temperatur

lingkungan adalah ekstrim menjadi penting, mengingat kemampuan manusia

untuk beradaptasi sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh banyak faktor.

Namun demikian secara umum kita dapat menentukan batas kemampuan

manusia untuk beradaptasi dengan temperatur lingkungan pada kondisi yang

3
ekstrim dengan menentukan rentang toleransi terhadap temperatur lingkungan

(Suma’mur, 2009).

Menurut Umar (2008) menuliskan bahwa iklim kerja mempengaruhi

ekosistem, habitat binatang penular penyakit, bahkan tumbuh kembangnya

koloni kuman secara alamiah. Dengan demikian hubungan antara iklim kerja

dengan kejadian penyakit bisa terjadi secara langsung dan tidak langsung.

Efek langsung pemanasan global pada kesehatan manusia misalnya adalah

stress akibat kepanasan yang banyak menimpa bayi, orang lanjut usia dan

buruh-buruh yang melakukan pekerjaan berat secara fisik. Selain itu kenaikan

temperatur lingkungan juga akan memperparah dampak polusi udara

diperkotaan dan meningkatkan kelembaban udara yang berpengaruh terhadap

individu dengan penyakit-penyakit kronik seperti penyakit jantung, asma dan

lain sebagainya.

Laporan International Labour Organization (ILO) menyatakan setiap hari

terjadi kecelakaan kerja yang mengakibatkan korban fatal kurang lebih 6000

kasus, maka tingkat keparahan kecelakaan kerja diseluruh dunia pada

umumnya masih cukup tinggi. Kalkulasi ILO tentang kerugian akibat

kecelakaan kerja di negara-negara berkembang mencapai 4 persen dari Gross

National Product (GNP). Angka tersebut cukup besar dan memerlukan

perhatian serius oleh pihak-pihak yang terkait dalam proses produksi (Jatim,

2013). Tingkat pencapaian penerapan kinerja K3 di perusahaan yang ada di

Indonesia masih sangat rendah. Hanya sekitar 2% (sekitar 317 buah)

4
perusahaan yang telah menerapakan K3 sisanya sekitar 98% (sekitar 14.700

buah) perusahaan belum menerapakan K3 secara baik.

Penelitian di Amerika mengungkapkan bahwa terjadi 400 kasus kematian

per tahun karena tekanan panas. Menurut Biro Statistik Tenaga Kerja

Departemen Tenaga Kerja AS, pada tahun 2003-2008 terdapat 177 kematian

dan 13.580 pekerja yang tidak masuk kerja karena paparan panas lingkungan

pada angkatan kerja sektor swasta. Selain itu sejak tahun 2001-2003 di

Jepang terdapat 483 pekerja tidak masuk kerja selama 4 hari dan sebanyak 63

pekerja meninggal dunia karena heat illness (Yoshi dan Hiroshi, 2006 dalam

Dawudi, 2015).

Penelitian yang dilakukan oleh Mamahit, dkk tentang hubungan antara

iklim kerja dengan produktivitas kerja pada tenaga kerja di PT. Tropica

Cocoprima menunjukkan bahwa para pekerja di bagian produksi PT. Tropica

Cocoprima mengeluhkan suhu ruangan yang panas. Sumber panas berasal

dari alat atau mesin yang digunakan, dan ruangan atau lingkungan tempat

kerja. Pakaian atau APD (Alat Pelindung Diri) yang digunakan juga tidak

mampu mengurangi suhu yang panas sehingga pekerja seringkali mengalami

hambatan dalam melaksanakan pekerjaan atau melanjutkan proses produksi.

Jika tersedia alat pendingin dalam ruangan atau berupa AC (Air Condition)

yang biasanya dipasang untuk menurunkan panas yang tidak terlalu tinggi,

dengan maksud untuk kenyamanan. Akan tetapi, AC tidak dapat digunakan

untuk menurunkan panas radiasi dan pemasangan AC tidak praktis dan tidak

operasional dalam lingkungan kerja menjadi sumber panas tinggi.

5
Penelitian yang dilakukan oleh Iqbal, dkk (2014) tentang hubungan

tekanan panas dengan kelelahan kerja pada karyawan bagian laundry rumah

sakit di kota Makassar menemukan bahwa sebagian karyawan yang bekerja

pada ruangan dengan tekanan panas yang tidak memenuhi syarat mengatakan

ada keluhan kelelahan kerja sebanyak 78,3% sedangkan karyawan yang

bekerja pada ruangan dengan tekanan panas yang memenuhi syarat

mengatakan tidak ada keluhan kelelahan kerja sebanyak 55,6%. Hasil analisis

statistik yang dilakukan menunjukkan bahwa ada hubungan antara tekanan

panas dengan kejadian kelelahan kerja pada karyawan bagian laundry rumah

sakit kota Makassar.

Berdasarkan uraian permasalahan di atas, dapat dilihat iklim kerja

merupakan salah satu faktor lingkungan fisik yang dapat mengganggu kondisi

keselamatan dan kesehatan kerja sehingga perlu dilakukan praktikum untuk

mengetahui tekanan panas yang ada dilingkungan kerja dengan uji coba

pengukuran iklim dengan melakukan pengukuran ISBB yang di lakukan di

dua tempat yakni ruang laboratorium terpadu FKM dan di luar laboratorium

yaitu Kantin Safira, dengan menggunakan 3 (tiga) alat yaitu The WIBGET

Heat Stress Monitor RSS-214 untuk mengukur ISBB, Anemometer Lutron

LM-8000A untuk mengukur kecepatan angin dan Hygrometer Lutron LM-

8000A untuk mengukur kelembaban udara. Maka praktikum ini dilakukan

untuk mengetahui tingkat tekanan panas dari lingkungan kerja yang

disesuaikan dengan beban kerja atau pengaturan waktu lama kerja.

6
B. Tujuan Praktikum

Adapun tujuan dari praktikum yang dilakukan adalah:

1. Untuk mengetahui cara pengukuran iklim kerja dengan menggunakan The

WIBGET Heat Stress Monitor RSS-214, Anemometer Lutron LM-8000A,

dan Hygrometer Lutron LM-8000A.

2. Untuk mengetahui ISBB, kecepatan angin dan kelembaban uadara pada

lingkungan kerja di dalam ruangan Laboratorium Terpadu Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin dan Kantin Safira.

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Iklim Kerja

Iklim kerja atau cuaca kerja adalah kombinasi dari suhu udara,

kelembaban udara, kecepatan gerakan udara, dan panas radiasi. Manusia

dapat mempertahankan kestabilan suhu yang ada dengan berbagai macam

cara diantaranya adalah mengeluarkan keringat, karena adanya sistem

pengatur suhu tubuh (thermoregulatory system) maka suhu tubu manusia

akan tetap stabil atau homeostatis (Suma’mur, 2013).

Subaris (2007) menyatakan bahwa iklim kerja adalah suatu kombinasi dari

suhu kerja, kelembapan udara, kecepatan gerakan udara dan suhu radiasi pada

suatu tempat kerja. Cuaca kerja yang tidak nyaman, tidak sesuai dengan

syarat yang ditentukan dapat menurunkan kapasitas kerja yang berakibat

menurunnya efisiensi dan produktivitas kerja. suhu udara dianggap baik

untuk orang Indonesia adalah berkisar 24°C - 26°C dan selisih suhu didalam

dan diluar tidak boleh lebih dari 5°C. Batas kecepatan angin secara kasar

yaitu 0,25 m/s - 0,5 m/s.

Dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 13 Tahun 2011 tentang

Iklim kerja adalah hasil perpaduan antara suhu, kelembaban, kecepatan

gerakan udara dan panas radiasi dengan tingkat pengeluaran panas dari tubuh

tenaga kerja sebagai akibat pekerjaannya. Menurut Suma’mur (2009) iklim

kerja adalah kombinasi dari suhu udara, kelembaban udara, kecepatan

gerakan dan suhu radiasi. Kombinasi keempat faktor tersebut bila

8
dihubungkan dengan produksi panas oleh tubuh dapat disebut dengan tekanan

panas. Indeks tekanan panas disuatu lingkungan kerja adalah perpaduan

antara suhu udara, kelembaban udara, kecepatan gerakan udara, dan panas

metabolisme sebagai hasil aktivitas seseorang.

Suhu udara dapat diukur dengan thermometer biasa (thermometer suhu

kering) dan suhu demikian disebut suhu kering. Kelembaban udara diukur

dengan menggunakan Hygrometer Lutron LM-8000A. Adapun suhu dan

kelembaban dapat diukur bersama-sama dengan misalnya menggunakan alat

pengukur sling psychometer dan Arsmann psychometer yang juga

menunjukkan suhu basah sekaligus. Suhu basah adalah suhu yang

ditunjukkan suatu thermometer yang dibasahi dan ditiupkan udara kepadanya

dengan demikian suhu tersebut menunjukkan kelembaban relatif udara.

Kecepatan aliran udara yang besar dapat diukur dengan suatu Anemometer

Lutron LM-8000A. (Suma’mur, 2009).

B. Jenis-jenis Iklim Kerja

Tempat kerja yang nyaman merupakan salah satu faktor penunjang gairah

kerja. Lingkungan kerja yang panas dan lembab akan menurunkan

produktivitas kerja, juga akan membawa dampak negatif terhadap kesehatan

dan keselamatan kerja, lingkungan kerja yang mempunyai iklim dan cuaca

tertentu yang dapat berupa iklim kerja panas dan iklim kerja dingin (Putra,

2011).

9
1. Iklim kerja panas

Iklim kerja panas merupakan meteorologi dari lingkungan kerja yang

dapat disebabkan oleh gerakan angin, kelmbaban, suhu udara, suhu radiasi,

sinar matahari (Putra, 2011). Panas sebenarnya merupakan energi kinetik

gerak molekul yang secara terus-menerus dihasilkan dalam tubuh sebagai

hasil samping metabolisme dan panas tubuh yang dikeluarkan ke

lingkungan sekitar. Agar tetap seimbang antara pengeluaran dan

pembentukan panas maka tubuh mengadakan usaha pertukaran panas dari

tubuh ke lingkungan sekitar melalui kulit dengan cara konduksi, konveksi,

radiasi, dan evaporasi (Suma’mur, 2009).

Lama pemajanan dapat beragam sesuai dengan jadwal kerja atau

istirahat, lebih baik dengan masa istirahat yang diambil dalam lingkungan

yang kurang ekstrem. Orang-orang Indonesia pada umumnya

beraklimatisasi dengan iklim tropis yang suhunya sekitar 29℃-30℃

dengan kelembapan sekitar 85%-95%. Aklimatisasi terhadap panas berarti

suatu proses penyesuaian yang terjadi pada seseorang selama seminggu

pertama berada di tempat panas, sehngga setelah itu ia mampu bekerja

tanpa pengaruh tekanan panas (Putra, 2011).

Salah satu kondisi yang disebabkan oleh iklim kerja yang terlalu tinggi

adalah heat stress (tekanan panas). Tekanan panas adalah keseluruhan

beban panas yang diterima tubuh yang merupakan kombinasi dari kerja

fisik, faktor lingkungan (suhu udara, tekanan uap air, pergerakan udara

dan perubahan panas radiasi) dan faktor pakaian.

10
Faktor lain yang mempengaruhi penambahan dan pengeluaran panas

tubuh adalah (Harrington dan Gill, 2011):

a. Tingkat metabolisme seseorang sesuai dengan tingkat aktivitasnya.

b. Jenis pakaian yang dikenakan.

c. Lama pajanan pada panas.

Pekerja di dalam lingkungan panas, seperti di sekitar furnances,

peleburan, boiler, oven, tungku pemanas atau pekerja di luar ruangan di

bawah terik matahari dapat mengalami tekanan panas. Selama aktivitas

pada lingkungan panas tersebut, tubuh secara otomatis akan memberikan

reaksi untuk memelihara suatu kisaran panas lingkungan yang konstan

dengan menyeimbangkan antara panas yang diterima dari luar tubuh

dengan kehilangan panas dari dalam tubuh (Khakima, 2012). Kemampuan

tubuh untuk mengatur panas terbatas. Bila panas berlebihan ini tidak cepat

terbuang, siklus berantai yang buruk akan timbul. Ini terjadi sebab proses

metabolisme akan dipacu sesuai dengan kenaikan suhu, sama seperti

kebanyakan reaksi kimia lainnya. Ketika terjadi peningkatan metabolisme,

panas yang dihasilkan juga bertambah dan selanjutnya akan

meningkatkan suhu tubuh (Depkes, 2009).

2. Iklim Kerja Dingin

Pengaruh suhu dingin dapat mengurangi efisiensi dengan keluhan kaku

atau kurangnya koordinasi otot. Sedangkan, pengaruh suhu ruangan sangat

rendah terhadap kesehatan dapat mengakibatkan penyakit yang terkenal

yang disebut dengan chilblains, trench foot, dan frosbite. Pencegahan

11
terhadap gangguan kesehatan akibat iklim kerja suhu dingin dilakukan

melalui seleksi pekerja yang fit dan penggunaan pakaian pelindung yang

baik. Disamping itu, pemeriksaan kesehatan perlu juga dilakukan secara

periodik (Budiono, 2008).

Suma’mur (2009) menyatakan bahwa terdapat beberapa contoh tempat

kerja dengan iklim kerja dingin diantaranya di pabrik es, kamar pendingin,

laboratorium, ruang computer dan lain-lain. Masalah kesehatan yang

berhubungan dengan iklim dingin, yaitu :

1) Chilblains

Bagian tubuh yang terkena membengkak, merah,panas dan sakit

diselingi gatal. Penyakit ini diderita akibat bekerjaditempat dingin

dengan waktu lama dan akibat defisiensi besi.

2) Trench foot

Kerusakan anggota badan terutama kaki akibat kelembaban atau

dingin walau suhu diatas titik beku. Stadium ini diikuti tingkat

hypothermis yaitu kaki membengkak, merah, dan sakit. Penyakit ini

berakibat cacat sementara.

3) Frosbite

Akibat suhu rendah dibawah titik beku, kondisi sama seperti

Trench foot namun stadium akhir penyakit Frosbite adalah gangrene

dan bisa berakibat cacat tetap. Pencegahan terhadap gangguan

kesehatan akibat iklim kerja suhu dingin dilakukan melalui seleksi

pekerja yang paling cocok untuk pekerjaan tersebut dan penggunaan

12
pakaian pelindung yang benar-benar memadai. Disamping itu,

pemeriksaan kesehatan perlu juga dilakukan secara periodik .

C. Proses Pertukaran Panas antara Tubuh dengan Lingkungan

Subaris (2007) mengatakan bahwa proses pertukaran panas antara tubuh

dengan lingkungan terjadi melalui mekanisme konveksi, radiasi, evaporasi,

dan konduksi. Apabila seseorang sedang bekerja, tubuh pekerja tersebut akan

mengadakan interaksi dengan keadaan lingkungan yang terdiri dari suhu

udara, kelembaban dan gerakan atau aliran udara. Proses metabolisme tubuh

yang berinteraksi dengan panas di lingkungannya akan mengakibatkan

pekerja mengalami tekanan panas. Tekanan panas ini dapat disebabkan

karena adanya sumber panas maupun karena ventilasi yang tidak baik.

Wahyu (2003) mengatakan mekanisme pertukaran panas sebagai berikut:

1. Konduksi

Konduksi ialah pertukaran panas antara tubuh dengan benda-benda

sekitar melalui mekanisme sentuhan atau kontak langsung. Konduksi

dapat menghilangkan panas dari tubuh, apabila benda-benda sekitar lebih

rendah suhunya, dan dapat menambah panas kepada badan apabila

suhunya lebih tinggi dari tubuh.

2. Konveksi

Konveksi adalah pertukaran panas dari badan dan lingkungan

melalui kontak udara dengan tubuh. Udara adalah penghantar panas yang

kurang begitu baik, tetapi melalui kontak dengan tubuh dapat terjadi

pertukaran panas antara udara dengan tubuh. Tergantung dari suhu udara

13
dan kecepatan angin, konveksi memainkan besarnya peran dalam

pertukaran panas antara tubuh dengan lingkungan. Konveksi apat

mengurangi atau menambah panas kepada tubuh.

3. Evaporasi

Proses penguapan air dari kulit sebagai akibat perbedaan tekanan

uap air antara kulit dan udara sekitar. Evaporasi atau yang biasa disebut

dengan penguapan adalah proses pelepasan panas dan lembab yang

berada di permukaan kulit diganti dengan suhu yang lebih dingin. Salah

satu cara penurunan suhu tubuh adalah dengan evaporasi, evaporasi

merupakan proses perubahan sifat dari bentuk air, menjadi gas (uap).

Pada tubuh manusia, penguapan terjadi pada proses pernapasan (paru-

paru) dan keringat (kulit). Penguapan terbanyak adalah melalui kulit.

Keringat yang keluar akan cepat menguap bila kelembaban udara rendah.

Penguapan ini terjadi mengambil panas tubuh. Jadi berkeringat dapat

menurunkan suhu tubuh, namun terjadi bila ada penguapan. Pada

lingkungan dengan kelembaban tinggi, seseorang dapat berkeringat tanpa

memperoleh efek pendinginan. Keringat tidak menguap tapi menetes.

4. Radiasi

Setiap benda termasuk tubuh manusia selalu memancarkan

gelombang panas. Tergantung dari suhu benda-benda sekitar, tubuh

menerima atau kehilangan panas lewat mekanisme radiasi.

14
D. Nilai Ambang Batas (NAB) Iklim Kerja

1. Iklim kerja

Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi

Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika Di

Tempat Kerja, diatur mengenai Nilai Ambang Batas iklim kerja Indeks

Suhu Basah dan Bola (ISBB) yang diperkenankan, yaitu sebagai berikut:

Tabel 2.1
Nilai Ambang Batas Iklim Kerja Indeks Suhu Basah
dan Bola (ISBB) Yang Diperkenankan

Pengaturan ISBB (˚C )


waktu kerja Beban Kerja
setiap jam Ringan Sedang Berat
75% - 100% 31,0 28,0 -
50 % - 75% 31,0 29,0 27, 5
25% - 50% 32,0 30,0 29,0
0% - 25% 32,2 31,1 30,5
Sumber: Peraturan Menteri Nomor 13 Tahun 2011

Indeks Suhu Basah dan Bola untuk di luar ruangan dengan panas

radiasi:

ISBB = 0,7 Suhu basah alami + 0,2 Suhu bola + 0,1 Suhu radiasi

Indeks Suhu Basah dan Bola untuk=++


di dalam atau di luar ruangan tanpa

panas radiasi :

ISBB = 0,7 Suhu basah alami + 0,3 Suhu bola

Catatan :

a. Beban kerja ringan membutuhkan kalori sampai dengan 200 Kkal /jam

b. Beban kerja sedang membutuhkan kalori lebih dari 200 sampai dengan

kurang dari 350 Kkal/jam

15
c. Beban kerja berat membutuhkan kalori lebih dari 350 sampai dengan

kurang dari 500 Kkal/jam.

Tabel 2.2
Paparan panas WBGT yang diperkenankan sebagai NAB (WBGT dalam oC)

Work Acclimatized Unacclimatized


Demands Very Very
Light Moderate Heavy Light Moderate Heavy
Heavy Heavy

100% work 29.5 27.5 26 - 27.5 25 22.5 -

75% work
30.5 28.5 27.5 - 29 26.5 24.5 -
25% rest

50% work
31.5 29.5 28.5 27.5 30 28 26.5 25
50% rest
25% rest
32.5 31 30 29.5 31 29 28 26.5
75% work

Sumber : ACGIH, 2005

Nilai Ambang Batas Iklim Kerja (Panas) dengan Indeks Suhu Basah dan

Bola (ISBB) tidak diperkenankan melebihi :

1. Jenis pekerjaan ringan,WBGTI 30,0˚C

2. Jenis pekerjaan sedang, WBGTI 26,7˚C

3. Jenis pekerjaan berat,WBGTI 25,0˚C

Catatan :

1. Nilai pada tabel di atas berlaku untuk waktu kerja 8 jam sehari, 5

hari seminggu dengan waktu istirahat pada umumnya.

2. Nilai kriteria untuk pekerjaan terus menerus dan 25% istirahat untuk

kerja sangat berat tidak diberikan, mengingat efek biologis (tanpa

16
melihat WBGT) pekerjaan tersebut pada tenaga kerja yang memiliki

kondisi kesehatan kurang baik.

Tabel 2.3
Kategori Beban Kerja Dengan Kategori Tingkat Metabolisme

Kategori Jenis Aktivitas


Resting Duduk dengan tenang
Duduk dengan sedikit gerakan
Light Duduk dengan sedikit gerakan tangan dan kaki
Berdiri dengan pekerjaan yang ringan pada mesin atau meja
serta banyak gerakan lengan
Menggunakan gergaji meja (table saw)
Berdiri dengan pekerjaan yang ringan/sedang pada mesin
atau meja serta sedikit berjalan
Moderate Menggosok atau menyikat dengan posisi berdiri
Berjalan dengan mengangkat atau menekan dengan beban
sedang
Berjalan pada 6 km/jam dengan membawa beban 3 kg
Heavy Mengergaji dengan tangan
Menyekop pasir kering
Pekerjaan perakitan yang berat pada basis yang tidak terus-
menerus
Sebentar-sebentar mengangkat dengan mendorong atau
menekan beban yang berat
Very Heavy Menyekop pasir basah
Sumber: ACGIH,2005

2. Kecepatan angin

Menurut standar baku mutu Kepmenkes No 261 tahun 1998, kecepatan

aliran udara berkisar antara 0,15 m/s - 0,25 m/s. Prasasti (2005) menyatakan

bahwa kecepatan aliran udara < 0,1 m/s atau lebih rendah menjadikan ruangan

17
tidak nyaman karena tidak ada pergerakan udara sebaliknya bila kecepatan

udara terlalu tinggi akan menyebabkan cold draft atau kebisingan di dalam

ruangan.

Kecepatan gerakan udara yang besar dapat diukur dengan suatu

Anemometer Lutron LM-8000A, sedangkan kecepatan kecil dapat diukur

dengan termometer (Suma’mur, 2009).

3. Kelembaban Udara

Suma’mur (2009), Kelembaban udara dapat di bedakan menjadi:

a) Kelembaban Absolut, yaitu berat uap air per unit volume udara

(misalnya sekian gram air per satu liter udara).

b) Kelembaban Relatif, yaitu rasio dari banyaknya uap air dalam udara

pada suatu temperatur terhadap banyaknya uap air dalam udara telah

jenuh dengan uap air pada temperatur tersebut yang dinyatakan dalam

persen

Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1405

Tahun 2002 tentang persyaratan kesehatan lingkungan kerja perkantoran dan

industri ditetapkan bahwa nilai kelembaban lingkungan kerja ruang kantoran

yang nyaman berkisar 40-60%. Dalam aturan ini pun dijelaskan bila

kelembaban udara ruang kerja > 60% perlu menggunakan alat dehumidifier,

sedangkan kelembaban udara ruang kerja jika < 40 % perlu menggunakan

humidifier (misalnya mesin pembentuk aerosol). Adapun untuk lingkungan

kerja ruangan industri, nilai kelembaban yang nyaman bagi pekerja berkisar

18
65%-95%, dengan penggunaan dehumidifer jika kelembabannya > 95 %, dan

penggunaan humidifer jika kelembabannya < 65%.

E. Faktor Faktor yang Mempengaruhi Iklim Kerja

Reaksi setiap orang dengan orang lain berbeda-beda walaupun terpapar

dalam lingkungan panas yang sama. Hal ini terkait dengan beberapa faktor

sebagai berikut (Subaris, 2007) :

1. Kemampuan Aklimatisasi

Aklimatisasi adalah suatu proses adaptasi fisiologis yangditandai

oleh pengeluaran keringat yang meningkat, denyut jantung dan tekanan

darah menurun dan suhu tubuh menurun. Proses adaptasi ini biasanya

memerlukan waktu 7 - 10 hari.

2. Umur

Makin tua makin sulit untuk merespon panas. Makin tua makin

sulit berekeringat sehingga memperkecil kemampuannya untuk

menurunkan suhu inti. Pada pekerjaan yang sama, tenaga kerja yang

berusia tua mempunyai suhu inti yang lebih tinggi daripada tenaga kerja

yang berusia lebih muda.

3. Etnis

Pada etnis tertentu respon panas berbeda dengan etnis lain,

misalnya antara etnis Arab dan etnis Eropa. Tetapi perbedaan respon panas

pada kedua etnis tersebut lebih merupakan perbedaan diet (pola makan)

pada kedua etnis tersebut.

19
4. Gizi

Beberapa zat gizi akan hilanh karena adanya tekanan panas.

Misalnya pekerjaan berat yang memerlukan kalori lebih dari 500 kcal akan

berpotensi kehilangan zincdari tubuh pekerja, hal ini mengganggu

pertumbuhan, perkembangan dan kesehatan. Pekerjaan di ruang panas

minimal dibutuhkan asupan vitamin C 250 mg/hari pada pekerja yang

bersangkutan.

5. Masa Kerja

Secara umum lamanya seseorang menjalani suatu pekerjaan akan

mempengaruhi sikap dan tindakan dalam bekerja. Semakin lama seseorang

menekuni suatu pekerjaan maka penyesuaian diri dengan lingkungan

kerjanya semakin baik.

6. Lama kerja

Waktu kerja bagi seseorang menentukan efisiensi dan

produktivitas. Segi terpenting dari persoalan waktu kerja meliputi:

a) Lamanya seseorang mampu bekerja dengan baik.

b) Hubungan antara waktu bekerja dan istirahat.

c) Waktu bekerja sehari menurut periode yang meliputi pagi, siang, sore,

dan malam.

7. Kebiasaan

Seorang tenaga kerja yang terbiasa dalam suhu panas akan lebih

dapat menyesuaikan diri dibandingkan tenaga kerja yang tidak terbiasa.

(Purwanto, 2010).

20
8. Ukuran Tubuh

Purwanto (2010) menyatakan bahwa orang yang ukuran tubuh

lebih kecil mengalami tekanan panas yang relative lebih besar

tingkatannya karena adanya kapasitas kerja maksimum yang lebih kecil.

Sedangkan orang gemuk leih mudah meninggal karena tekanan panas

dibandingkan orang yang kurus. Hal ini karena orang yang gemuk

mempunyai rasio luas permukaan badan dengan berat badan lebih kecil di

samping kurang baiknya fungsi sirkulasi.

9. Suhu Udara

Menurut Purwanto (2010) menyatakan bahwa suhu nikmat sekitar

24°C-26°C, bagi orang-orang Indonesia suhu panas berakibat menurunnya

prestasi kerja, cara berpikir. Penurunan sangat hebat sesudah 32°C

F. Dampak Iklim Kerja

Budiono (2008) menyatakan bahwa iklim kerja panas merupakan

meteorologi dari lingkungan kerja yang dapat disebabkan oleh gerakan angin,

kelembaban, suhu udara, suhu radiasi dan sinar matahari. Efek dari iklim

kerja yang tidak sesuai dengan kapasitas manusia juga dapat menyebabkan

gangguan-gangguan kesehatan antara lain:

1. Dehidrasi adalah tubuh letih, lesu, lemas karena tubuh kekurangan cairan

akibat keringat berlebih.

2. Heat stroke merupakan heat stress yang paling berat, mengakibatkan

thermoregulatory terganggu, jantung berdebar, nafas pendek dan

21
cepat,tekanan darah naik atau turun dan tidak mampu berkeringat, suhu

badan tinggi, hilang kesadaran

3. Heat exhaustion adalah perubahan aliran darah kulit menjadi lebih rendah

dari suhu tubuh sehingga membutuhkn volume darah lebih banyak.

Kejadian ini biasanya terjadi bersamaan dengan kehilangan cairan akibat

keringat berlebihan dan cenderung menyebabkan kolapsnya sirkulasi

darah. Korban merasa fatigue (lelah berlebihan) dan lemah sebelum kolaps

dan akhirnya pingsan.

4. Heat cramps adalah kejang otot karena kehilangan cairan dan garam akibat

keringat berlebihan yang menyebabkan kecenderungan jantung kurang

adequate. Timbulnya kelainan seperti otot kejang dan sakit, terutama otot

anggota badan atas dan bawah

5. Preckly heat/ heat rash/miliaria rubra adalah timbulnya bintik-bintik

merah di kulit dan agak gatal karena terganggunya fungsi kelenjar keringat

6. Suhu inti tubuh lebih dari 38 oC dapat mengakibatkan kemandulan bagi

pria maupun wanita

Depkes RI (2003) menyatakan bahwa dampak tekanan panas bagi tubuh

sebagai berikut:

1. Heat Cramps

Merupakan kejang-kejang otot tubuh dan perut yang dapat

menimbulkan rasa sakit, pingsan, lemah, neg dan muntah-muntah.

22
2. Heat Exhaustion

Biasanya mengeluarkan keringat sangat banyak, mulut kering,

sangat haus, lemah dan sangat lemah. Dapat terjadi pada keadaan

dehidrasi.

3. Heat Stroke

Suhu badan naik, kulit kering dan panas, tremor. Keadaan ini

disebabkan karena aliran darah ke otak tidak cukup karena sebagian besar

aliran darah di bawa kepermukaan kulit yang disebabkan karena

pemaparan suhu tinggi.

4. Miliaria

Miliaria adalah kelainan kulit sebagai akibat keluarnya keringat

yang berlebihan. Tampak adanya bintik kemerahan pada kulit yang

terasa nyeri bila kepanasan. Hal ini terjadi sebagai akibat sumbatan

kelenjar keringat dan terjadi retensi keringat disertai reaksi peradangan

G. Hirarki Pengendalian Bahaya Iklim Kerja

Risiko gangguan kesehatan akibat bekerja dilingkungan panas yang terlalu

tinggi dapat dikurangi dengan cara (Harrianto, 2010) :

1. Upaya pengendalian General controls

a) Menyediakan instruksi yang jelas secara verbal dan tertulis, program

pelatihan rutin, serta informasi lain tentang heat stress.

b) Menyarankan minum air putih dingin walaupun sedikit (sekitar 150 ml)

setiap 20 menit.

23
c) Pemberian ijin pada pekerja untuk membatasi paparan panas terhadap

dirinya.

d) Menganjurkan teman sekerja mendeteksi tanda dan gejala heat strain.

2. Upaya pengendalian Job-spesific controls

a) Mempertimbangkan kontrol teknik untuk mengurangi kecepatan

metabolisme.

b) Menyediakan pergerakan udara general, mengurangi proses panas dan

pelepasan uap air, serta perlindungan/penyekatan sumber panas.

c) Mempertimbangkan kontrol administratif.

d) Mempertimbangkan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD).

3. Upaya Pengendalian Eliminasi

a) Menutup area kerja yang bersuhu tinggi.

b) Menghilangkan sunber-sumber menyebabkan iklim melewati NAB.

4. Upaya Pengendalian Subtitusi

a) Pengaturan sistem kerja di area yang bertekanan tinggi.

b) Mengganti mesin yang menghasilkan tekanan panas dengan mesin yang

lebih rendah menghasilkan tekanan panas.

c) Mengubah aliran atau jalur kerja agar pekerja tidak berada di area kerja

dengan suhu yang tinggi.

5. Upaya Pengendalian Teknik

a) Menguangi produksi panas metabolik tubuh.

b) Automatisasi dan mekanisasi beban tugas akan meminimalisir

kebutuhan kerja fisik para pekerja.

24
c) Mengurangi penyebaran panas radiasi dari permukaan benda-benda

yang panas.

d) Mengurangi bertambahnya panas konveksi. Kipas angin untuk

meningkatkan kecepatan gerak udara diruang kerja yang panas.

e) Mengurangi kelembapan.

6. Upaya Pengendalian Administratif

a) Periode aklimatisasi yang cukup sebelum melaksanankan beban kerja

yang penuh.

b) Untuk mempersingkat pajanan dibutuhkan jadwal istirahat yang pendek

tetapi sering dang rotasi pekerja yang memadai.

c) Penyediaan air minum yang cukup

7. Alat Pelindung Diri

a) Untuk bekerja ditempat kerja yang panas dan lembap, perlu disediakan

baju yang tipis dan berwarna tenang hingga pengeluaran panas tubuh

dengan proses evaporasi keringat menjadi lebih efisien.

b) Kaca mata dapat menyerap panas radiasi bila bekerja dekat dengan

benda-benda yang sangat panas.

25
BAB III

METODOLOGI PRAKTIKUM

A. Waktu dan Lokasi Praktikum

Praktikum dilakukan pada hari Selasa tanggal 5 April 2016 pada pukul

09.00 WITA di Laboratorium Terpadu Lantai 3 FKM Unhas dan Kantin

Safira.

B. Alat dan Bahan

1. Alat

Alat yang digunakan ada 3 macam, yaitu :

a. The WIBGET Heat Stress Monitor RSS-214 RSS-214, terdiri dari 3

termometer yaitu :

1) Termometer Basah/Wet Bulb Temperature

2) Termometer Bola/Globe Bulb Temperature

3) Termometer Kering/Dry Bulb Temperature

Gambar 1. The WIBGET Heat Stress Monitor RSS-214


Sumber : Data Primer, 2016

26
b. Anemometer dan Hygrometer Lutron LM-8000A

Gambar 2. Anemometer dan Hygrometer Lutron LM-8000A


Sumber : Data Primer, 2016

c. Stopwacth

Gambar 3. Stopwatch
Sumber : Data Primer, 2016
2. Bahan

a. Demineralizer

b. Aquades

27
Gambar 4. Demineralizer dan Aquades
Sumber : Data Primer, 2016

28
C. Prinsip Kerja

Terdapat prinsip kerja dari masing-masing alat yang digunakan dalam

praktikum Iklim Kerja, yaitu :

1. The WIBGET Heat Stress Monitor RSS-214

Alat The WIBGET Heat Stress Monitor RSS-214 memiliki fungsi

untuk mengukur Indeks Suhu Basah dan Bola (ISBB). Pada The WIBGET

Heat Stress Monitor RSS-214 terdapat tombol Power yang berfungi untuk

mengaktifkan alat, lalu terdapat tombol select yang berfungsi untuk

memilih satuan derajat yang diinginkan (dalam praktikum ini,

menggunakan satuan oC), dan adapula tombol view yang memiliki fungsi

untuk melihat pengukuran suhu basah (WB), suhu bola (GT), suhu kering

(DB) serta pengukuran ISBB (WBGT) baik indoor maupun outdoor.

2. Anemometer Lutron LM-8000A

Alat ini berfungsi untuk mengukur kecepatan angin dan suhu. Pada

alat ini terdapat tombol Power yang berfungsi untuk mengaktifkan alat.

Kemudian, terdapat tombol rec untuk merekam hasil pengukuran

kecepatan angin dan suhu serta tombol display yang berfungsi untuk

melihat hasil pengukuran kecepatan angin.

3. Hygrometer Lutron LM-8000A

Alat ini berfungsi untuk mengukur kelembaban udara dan suhu.

Pada Hygrometer Lutron LM-8000A terdapat tombol power untuk

mengaktifkan alat, lalu terdapat tombol rec yang berfungsi untuk merekam

29
hasil kelembaban udara dan suhu serta tombol display yang memiliki

fungsi untuk melihat hasil pengukuran kelembaban udara.

D. Prosedur Kerja

Dalam praktikum Iklim Kerja ada beberapa langkah yang dilakukan,

yaitu:

1. The WIBGET Heat Stress Monitor RSS-214

a) Ketiga termometer dipasang ke alat sesuai dengan pot antena masing-

masing.

b) Gabus dan sumbu dipasang pada termometer suhu basa kemudian

ditetesi dengan campuran Aquades dan Demineralizer secukupnya.

c) Tombol Power dinyalakan.

d) Tombol select ditekan untuk menentukan derajat yang ingin digunakan

(dalam praktikum ini, menggunakan satuan ℃)

e) Untuk mengukur ISBB dalam ruangan, tombol view ditekan sampai

muncul kode WBGT in pada monitor, lalu ditunggu selama tiga menit

kemudian nilai WBGT pada monitor dicatat

f) Untuk mengukur suhu basah, tombol view ditekan sampai muncul

kode WB in pada monitor, lalu ditunggu selama tiga menit lalu nilai

WB pada monitor dicatat.

g) Untuk mengukur suhu radiasi, tombol view ditekan sampai muncul

kode GT pada monitor lalu ditunggu selama tiga menit kemudian nilai

GT pada monitor dicatat.

30
h) Untuk mengukur ISBB di luar ruangan, tombol view ditekan sampai

muncul kode WBGT out pada monitor, lalu ditunggu selama tiga

menit lalu nilai WBGT pada monitor dicatat.

i) Untuk pengukuran suhu basah dan suhu radiasi, sama dengan

pengukuran suhu basah dan suhu radiasi di dalam ruangan.

j) Khusus untuk pengukuran di luar ruangan, ada penambahan

pengukuran yaitu suhu kering (DB), caranya tombol view ditekan

sampai muncul kode DB pada monitor lalu ditunggu selama tiga menit

lalu nilai DB pada monitor dicatat.

2. Anemometer Lutron LM-8000A

a) Alat diarahkan pada sumber angin yaitu AC dilaboratorium dan di luar

ruangan yaitu Kantin Safira.

b) Tombol Power ditekan.

c) Kemudian tombol rec ditekan untuk merekam dan tunggu hingga 3

menit.

d) Lihatlah angka yang muncul pada display kemudian hasilnya dicatat.

3. Hygrometer Lutron LM-8000A

a. Sensor dengan alat dihubungkan.

b. Alat diarahkan pada sumber, dalam praktikum ini sumbernya adalah

AC dan Kantin Safira.

c. Tombol Power ditekan.

d. Kemudian tombol rec ditekan untuk merekam dan tunggu hingga 3

menit

31
e. Lihat angka yang muncul pada display kemudian hasilnya dicatat.

32
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

1. Hasil Pengukuran Indeks Suhu Basah dan Bola (ISBB)

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan menggunakan The WIBGET

Heat Stress Monitor RSS-214, diperoleh nilai Indeks Suhu Basah dan Bola

(ISBB) sebagai berikut :

Tabel 4.1
Pengukuran Indeks Suhu Basah dan Bola (ISBB)
di Laboratorium Terpadu FKM Unhas 2016

Pengukuran Percobaan (°C)


WB DB GT WBGT
Indoor 13,1 °C - 30,1 °C 18,2 °C
Outdoor 13,1 °C 28,5 °C 28,8 °C 17,8 °C
Sumber: Data Primer, 2016

Dari tabel hasil pengukuran diatas dapat dilihat bahwa terdapat

perbedaan antara pengukuran WBGT indoor dengan outdoor, dimana hasil

pengukuran WBGT indoor adalah 18,2 °C, sedangkan hasil pengukuran

WBGT ooutdoor adalah 17,8 °C. Dapat dilihat hasil pengukuran ISBB

indoor lebih tinggi daripada hasil pengukuran ISBB outdoor.

2. Hasil Pengukuran Kecepatan Angin

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, pengukuran kecepatan angin

adalah sebagai berikut :

33
Tabel 4.2
Nilai Hasil Pengukuran Kecepatan Angin dan Suhu dengan
Anemometer Lutron LM-8000A di Laboratorium Terpadu FKM
Unhas 2016

No. Pengukuran Dalam ruangan Luar ruangan

1 Kecepatan Angin Maksimal 1,8 m/s 0,2 m/s

2 Kecepatan Angin Minimal 0,0 m/s 0,0 m/s

3 Suhu Maksimal 30,2 °C 31,6 °C

4 Suhu Minimum 30,2 °C 31,6 °C

Sumber: Data Primer, 2016

Dari tabel hasil pengukuran di atas dapat dilihat bahwa kecepatan

angin maksimal dalam ruangan adalah 1,8 m/s sedangkan kecepatan angin

minimal dalam ruangan didapatkan sebesar 0,0 m/s. Selanjutnya, hasil

pengukuran dalam ruangan baik suhu maksimal dan suhu minimal

menunjukkan hasil yang sama yaitu 30,2 °C. Untuk pengukuran diluar

ruangan 0,2 m/s pada kecepatan maksimalnya dan 0,0 m/s pada kecepatan

minimalnya. Sedangkan, suhu maksimal dan minimal pada luar ruangan

menunjukkan hasil yang sama yaitu 31,6 °C.

3. Hasil Pengukuran Kelembaban Udara

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan diperoleh hasil pengukuran

kelembaban udara dalam tabel berikut :

34
Tabel 4.3
Hasil Pengukuran Kelembaban Udara dan Suhu dengan
Hygrometer Lutron LM-8000A di Laboratorium Terpadu
FKM Unhas Tahun 2016

No Pengukuran Dalam ruangan Luar ruangan

1 Kelembaban maksimal 74,4% RH 74,6% RH

2 Kelembaban minimal 67,4% RH 68,9% RH

3 Suhu maksimal 31,8 °C 31,7 °C

4 Suhu minimal 31,8 °C 31,7 °C

Sumber: Data Primer, 2016

Berdasarkan data pada tabel 4, diperoleh bahwa kelembaban udara di

ruangan laboratorium terpadu FKM Unhas. Untuk di dalam ruangan

kelembaban udara maksimal sebesar 74,4% RH, minimal 67,4% RH

dengan suhu maksimal 31,8 °C dan suhu minimum 31,8°C .Sedangkan di

luar ruangan kelembaban udara maksimal 74,6% RH dan kelembaban

udara minimal 68,9% RH dengan suhu maksimal dan suhu minimal

menunjukkan hasil yang sama yaitu 31,7 ⁰C .

B. Pembahasan

Pengukuran Iklim Kerja dilakukan di dua tempat yakni ruang laboratorium

terpadu FKM dan di Kantin Safira FKM Unhas. Pada praktikum ini

digunakan alat yaitu The WIBGET Heat Stress Monitor RSS-214.

1. Iklim Kerja

Pengukuran iklim kerja dilakukan menggunakan alat The WIBGET

Heat Stress Monitor RSS-214 untuk mengetahui nilai ISBB (Indeks Suhu

35
Basah dan Bola), WB (suhu basah), DB (suhu kering), dan GT (suhu bola).

Untuk nilai ISBB di dalam ruangan menggunakan The WIBGET Heat

Stress Monitor RSS-214 diperoleh nilai 18,2°C. Pada pengukuran diluar

ruangan yakni di Kantin Safira pengukuran dengan menggunakan alat The

WIBGET Heat Stress Monitor RSS-214 diperoleh hasil 17,8°C. Hasil

pengakuran tidak dibandingkan dengan hasil pengukuran dengan

menggunaan rumus. Tetapi dibandingkan dengan NAB yang sesuai

dengan karakteristik beban kerja berdasarkan pengaturan waktu kerja.

Pekerja laboratorium terpadu FKM ditetapkan sebagai pekerja dengan

beban kerja 6-8 jam perhari dan masuk dalam kategori beban kerja ringan

berdasarkan Permenaker No. 13 Tahun 2011, sehingga ISBB yang

diperkenankan untuk pekerja kategori tersebut adalah 31,0 °C.

Berdasarkan hasil pengukuran ISBB tersebut, pekerja di

Laboratorium Terpadu Fakultas Kesehatan Masyarakat dan Kantin Safira

masih berada pada ISBB yang diperkenankan dan tidak dalam kondisi

berisiko untuk terpajan iklim kerja yang dapat mengganggu kesehatan,

namun meskipun demikian pngendalian terkait iklim kerja tetap harus

dilakukan agar dapat tetap meningkatkan produktifitas pekerja dan

mencegah pekerja dari penyakit yang disebabkan oleh faktor iklim kerja.

Apabila iklim kerja terlalu tinggi dapat menimbulkan Heat Stress

(Tekanan Panas). Untuk pengendalian heat stress dapat melakukan

penerapan hygiene, yaitu tindakan-tindakan yang diambil oleh perorangan

untuk mengurangi resiko penyakit yang disebabkan oleh panas, seperti:

36
pengandalian cairan, aklimatisasi, self determination,diet dimana diet yang

dimaksud untuk mengurangi makanan yang terlalu manis atau

mengandung karbohidrat berlebihan karena akan menahan cairan melalui

ginjal atau keringat serta memeperhatikan pakaian kerja dengan memilih

bahan yang mudah menyerap keringat seperti bahan yang terbuat dari

katun, sehingga penguapan mudah terjadi.

Penelitian Fadhilah (2014) tentang faktor-faktor yang berhubungan

dengan heat strain pada pekerja pabrik kerupuk di wilayah kecamatan

ciputat timur tahun 2014 menunjukkan bahwa sebanyak 21 orang pekerja

mengalami heat strain dan jumlah pekerja yang menerima paparan

tekanan panas panas sebanyak 23 orang.

2. Kecepatan Angin
Pengukuran kecepatan angin dan suhu dilakukan dengan

menggunakan alat Anemometer Lutron LM-8000A. Pada praktikum ini

pengukuran dibagi menjadi 2 yaitu pengukuran di dalam ruangan

laboratorium dan di luar laboratorium yaitu Kantin Safira. Pengukuran

kecepatan angin di dalam ruangan laboratorium diperoleh hasil kecepatan

maksimal 1,8 m/s dan kecepatan minimal 0,0 m/s dengan suhu maksimal

dan minimal 30,2°C. Kemudian diluar ruangan yaitu Kantin Safira hasil

pengukuran untuk kecepatan maksimal 0,2 m/s dan minimal 0,0 m/s dengan

suhu maksimal dan minimal 31,6°C. Berdasarkan hasil tersebut Kantin

safira bisa dikatakan sebagai ruangan tidak nyaman karena kecepatan

aliran udara < 0,1 m/s atau lebih rendah menjadikan ruangan tidak nyaman

sebab tidak ada pergerakan udara sebaliknya bila kecepatan udara terlalu

37
tinggi akan menyebabkan cold draft atau kebisingan di dalam ruangan

(Budiono, 2008). Pengendalian kecepatan aliran udara dapat dilakukan

dengan pemasangan ventilasi atau jendela untuk menjaga agar aliran udara

tetap lancar.

Kualitas udara dalam ruang sangat mempengaruhi kesehatan

manusia, karena hampir 90% hidup manusia berada dalam ruangan 2.

Sebanyak 400 sampai 500 juta orang khususnya di negara yang sedang

berkembang sedang berhadapan dengan masalah polusi udara dalam

ruangan. Di Amerika, polusi udara dalam ruang mencuat ketika EPA pada

tahun 1989 mengumumkan studi polusi udara dalam ruangan lebih berat

daripada di luar ruangan. Polusi jenis ini bahkan bisa menurunkan

produktivitas kerja hingga senilai US $10 milyar.

3. Kelembaban Udara

Kelembaban udara di dalam ruangan laboratorium yaitu didepan AC

diperoleh hasil kelembaban maksimal 74,4% RH dan kelembaban minimal

67,5% RH dengan suhu maksimal dan minimal menunjukkan hasil yang

sama yaitu 31,8 °C, sedangkan pengukuran diluar ruangan yaitu Kantin

Safira diperoleh kelembaban maksimal 74,6% RH dan kelembaban

minimal 68,9% RH dengan suhu maksimal dan minimal yang sama yaitu

31,7°C. Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan hasil pengukuran

kelembaban udara didalam ruangan laboratorium dengan hasil kelembaban

udara sebesar 74,4% RH dan kelembaban udara minimal sebesar 67,5%

RH melewati NAB Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

38
Nomor 1405 Tahun 2002 tentang persyaratan kesehatan lingkungan kerja

perkantoran dan industri menetapkan nilai kelembaban lingkungan kerja

ruang kantoran yang nyaman berkisar 40%-60% RH.

Pengukuran diluar ruangan diperoleh kelembaban maksimal sebesar

74,6%RH dan kelembaban minimum 68,9% RH yang dapat diartikan

kelembaban yang dimiliki masih aman dan tidak melewati NAB

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1405 Tahun

2002 tentang persyaratan kesehatan lingkungan kerja perkantoran dan

industri menetapkan nilai kelembaban lingkungan kerja ruang industri

yang nyaman berkisar 65%-95% RH. Kelembaban mempunyai pengaruh

kuat terhadap penguapan keringat apabila lingkungan mempunyai

kelembaban yang tinggi, maka pengupan keringat akan terganggu

sehingga dapat menyebabkan penigkatan suhu badan. Untuk pengendalian

kelembaban udara dapat dilakukan dengan menurunkan tekanan panas

melalui pendinginan menggunakan kipas angin atau AC.

Penelitian yang dilakukan oleh Wirastini (2013) tentang hubungan

kualitas udara dalam ruangan SBS pada pekerja wanita di Mall Blok-M

menunjukkan bahwa penilaian suhu udara diatas suhu standar (27,01°C)

terdapat prevalensi SBS sebayak 42 orang (19,8 %). Kelembaban relatif

58,32 %, kecepatan aliran udara 0,14 m/s (dibawah standar) dan kepadatan

0,55 orang (diatas standar). Kasus SBS di Mall Blok-M faktor-faktor

lingkungan yang berkaitan terhadap terjadinya SBS adalah suhu,

kelembaban udara, kecepatan aliran udara, kadar karbon dioksida dan

39
kadar formaldehid; dimana kelembaban udara paling kuat hubungannya.

Pengendalian terhadap kelembaban dan suhu menciptakan kenyamanan

udara dalam ruang, serta potensial juga mengendalikan tingginya

kontaminan.

40
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan praktikum yang dilakukann diperoleh data sehingga dapat

ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Pada praktikum kali ini, mahasiswa mampu mampu melakukannya di dua

tempat yakni ruang laboratorium terpadu FKM dan di luar laboratorium

yaitu Kantin Safira. Dengan menggunakan 3 (tiga) alat yaitu The WIBGET

Heat Stress Monitor RSS-214, Anemometer Lutron LM-8000A dan

Hygrometer Lutron LM-8000A.

2. Dari hasil praktikum diperoleh data yakni :

a) Iklim kerja

Dari hasil pengukuran ISBB dilaboratorium didapatkan hasil

18,2 °C, sedangkan hasil pengukuran ISBB pada Kantin Safira adalah

17,8 °C. Hasil pengukuran ISBB tersebut masih dikategorikan ISBB

yang diperkenankan dan tidak dalam kondisi berisiko untuk terpajan

ilkim kerja yang dapat mengganggu kesehatan

b) Kecepatan Angin

Berdasarkan hasil pengukuran kecepatan angin maksimal

dilaboratorium didapatkan hasil sebesar 1,8 m/s sedangkan kecepatan

angin minimalnya didapatkan sebesar 0,0 m/s. Untuk pengukuran di

Kantin Safira sebesar 0,2 m/s pada kecepatan maksimalnya dan 0,0 m/s

pada kecepatan minimalnya. Hasil pengukuran kecepatan angin yang

41
dilakukan di depan AC laboratorium serta di Kantin Safira masih

tergolong rendah dan menjadikan ruangan tersebut tidak nyaman.

c) Kelembaban Udara

Berdasarkan hasil pengukuran, untuk dilaboratorium kelembaban

udara maksimal sebesar 74,4% RH, minimal 67,4% RH dengan suhu

maksimal 31,8 °C dan suhu minimum 31,8°C. Sedangkan di Kantin

Safira kelembaban udara maksimal 74,6% RH dan kelembaban udara

minimal 68,9% RH dengan suhu maksimal dan suhu minimal

menunjukkan hasil yang sama yaitu 31,7 ⁰C. Dapat disimpulkan hasil

pengukuran kelembaban udara dilaboratorium telah melewati batas

yang diperkenankan. Pekerja berisiko mengalami gangguan akibat iklim

kerja. Sedangkan, di Kantin Safira hasil pengukuran masih dalam batas

aman dan diperkenankan.

B. Saran
1. Bagi pihak yang bekerja didalam ruangan yang agak tertutup seperti

laboratorium untuk memperhatikan jendela agar mengurangi temperatur

dan kelembaban udara sehingga pekerja tetap nyaman dalam bekerja.

Kemudian, untuk pekerja yang ada di dapur Kantin Safira perlu

memperhatikan penggunaan alat bantu seperti kipas angin perlu

dinyalakan karena kipas angin yang ada tidak diaktifkan sehingga kondisi

ruangan tersebut agak pengap.

42
2. Bagi pihak Fakultas, dapat mempertimbangkan penggunaan ventilasi pada

Kantin Safira agar pertukaran aliran udara ditempat tersebut tetap aman

dan nyaman.

43
DAFTAR PUSTAKA
ACGIH. 2005. Threshold Limit Velue fo Physical dan Chemical Substance and
Exposure Indices. ACGIH-USA
Basri, Hasan. 2012. Pengaruh Iklim Kerja Terhadap Kondisi Kesehatan
Karyawan Bagian Sewing Di Konveksi Ii Dan Iv Pt. dan Liris Banaran
Kabupaten Sukoharjo. Surakarta: Fakultas Kesehatan Prodi Kesehatan
Masyarakat Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Budiono, Sugeng. 2008. Bunga Rampai Higiene Perusahaan Ergonomi.
Surakarta: PT Tri Tunggal Tata Fajar.
Dawudi, Yusuf. 2015. Hubungan Tekanan Panas dengan Kelelahan pada Pekerja
di Bagian Produksi PT. Ngk Busi Indonesia. Jakarta: Program Studi
Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Esa
Unggul.
Depkes RI. 2003. Upaya Kesehatan Kerja Sektor Informal di Indonesia.
Jakarta:Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat.
Fadhilah, Rizki. 2014. Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Heat Strain
Pada Pekerja Pabrik Kerupuk Di Wilayah Ciputat Timur. Jakarta: Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Harrianto, Ridwan. 2010. Buku Ajar Kesehatan Kerja. Jakarta: Kedokteran EGC.
Harrington, Gill. 2011. Buku Saku Kesehatan Kerja. Jakarta: Kedokteran EGC.
International Labour Organization (ILO). 2013. Pedoman Pelamtihan untuk
Manajer dan Pekerja. Jakarta: International Labour Office
Imam. 2013. Desain Perbaikan Lingkungan Kerja Guna Mereduksi Paparan
Kerja Operator di PT.XY. Medan : Departemen Teknik Industri UNSU.
Iqbal, dkk, 2014. Hubungan Tekanan Panas dengan Kelelahan Kerja Karyawan
Bagian Laundry Rumah Sakit di Kota Makassar. Makassar: Bagian
Kesehatan dan Keselamatan Kerja Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Hasanuddin.
Khakima, Nur. 2012. Perbedaan Kelelahan Tenaga Kerja Sebelum Dan Sesudah
Terpapar Panas di Industri Pengecoran Logam Nedya Aluminium Klaten.
Surakarta: Program Diploma IV Kesehatan Kerja Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret Surakarta. (Online) https://eprints.uns.ac.id.
Diakses 9 April 2016.
Putra, Dian Tri. 2011. Hubungan Antara Kebisingan, Iklim Kerja Dan Sikap
Tubuh Saat Bekerja terhadap Kelelahan Kerja Pada Pekerja Di Industri
Meubel Sinar Harapan Karang Paci Samarinda. (Online)
http://www.scribd.com/mobile/documents/57888492/download?commit=D
ownload+Now&secret_password. Diakses pada tanggal 4 Mei 2014.
Purwanto, Budi, DKK. 2010. Perbedaan Tekanan Darah Pekerja Berdasarkan
Iklim Kerja Di Pabrik Jenang Mubarok Kudus. Semarang: FKM
Universitas Muhammadiyah. (Online) https:digilib.unimus.ac.id. Diakses
tanggal 9 April 2016.
Puspita Sari, Nindi. 2014. Pengaruh Iklim Kerja Panas terhadap Dehidrasi dan
Kelelahan pada Tenaga Kerja Bagian Boiler di PT. Albasia Sejahtera
Mandiri Kabupaten Semarang. Skripsi thesis,Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Republik Indonesia. 1998. Keputusan Menteri Kesehatan No.
261/MENKES/SK/II/1998 Tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan
Kerja. Jakarta: Depnakertrans RI. http://hukum.unsrat.ac.id/
men/menkes_261_1998.pdf. Diakses pada tanggal 6 April 2016.
Republik Indonesia. 2002. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2002 tentang Persyaratan Kesehatan
Lingkungan Kerja Perkantoran Dan Industri. Jakarta: Depnakertrans RI.
(Online) http://perpustakaan.depkes.go.id. Diakses pada tanggal 6 April
2016.
Republik Indonesia. 2011. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi
Nomor PER. 13/MEN/X/2011 Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di
Tempat Kerja. Jakarta : Depnakertrans RI. (Online) http://xa.yimg.com/kq/
groups/1051-902/ 1362821294 /name/ PERMENA. Diakses 7 April 2016.
Subaris, Heru. 2007. Hygiene Lingkungan Kerja. Yogyakarta: Mitra Cendikia
Press
Soedirman. 2012. Higiene Perusahaan. Bogor: El Musa Press.
Sucipto, C.D. 2014. Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Yogyakarta: Gosyen
Publishing.
Suma’mur. 2009. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (HIPERKES).
Jakarta: Sagung Seto.

46
Suma’mur. 2013. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (HIPERKES) Edisi
2. Jakarta: Sagung Seto.
Tarwaka, 2004. Keselamatan dan Kesehatan Kerja untuk Manajemen dan
Implementasi K3 di Tempat Kerja. Surakarta: HARAPAN PRESS.
Tarwaka. 2008. Manajemen dan Implementasi K3 di Tempat Kerja. Surakarta:
Harapan Press
Umar, Fahmi. 2008. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Jakarta: UI press.
Wahyu, Atjo. 2003. Higiene Perusahaan. Makassar: Jurusan Kesehatan Kerja
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin.
Wirastini, Noviana. 2013.Hubungan Kualitas Udara Dalam Ruangan dengan
`Sick Building Syndrome' pada Pekerja Wanita di Mal Blok-M, Jakarta.
Jakarta: Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu-Ilmu
Kesehatan Universitas Indonesia.
LAMPIRAN
49

Anda mungkin juga menyukai