Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

FRAKTUR

disusun untuk memenuhi tugas Aplikasi Klinis Keperawatan

Oleh
Yuli Agustin
NIM 162310101238

PROGRAM STUDI SARJANA ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018/2019
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan pendahuluan aplikasi klinis yang dibuat oleh :

Nama : Yuli Agustin

NIM : 162310101238

Judul : Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Klien Fraktur


Telah diperiksa dan disahkan oleh pembimbing pada :

Hari : Senin

Tanggal : 21 Januari 2019

Jember, 21 Januari 2019

TIM PEMBIMBING

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

_________________________ _________________________
NIP…………………………… NIP............................................

Kepala Ruang IGD RSD Balung

_____________________________
NIP ………………………………..
BAB 1. KONSEP TEORI FRAKTUR

1.1 Anatomi Fisiologi


1.2 Definisi
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau
tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2007).
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik
(Price dan Wilson, 2006).
Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh. Kebanyakan
fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebihan pada
tulang, baik berupa trauma langsung dan trauma tidak langsung (Sjamsuhidajat &
Jong, 2005).
1.3 Etiologi
Fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan
pada tulang yang biasanya di akibatkan secara langsung dan tidak langsung dan
sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau luka yang di sebabkan oleh
kendaraan bermotor. Penyebab patah tulang paling sering di sebabkan oleh trauma
terutama pada anak-anak, apabila tulang melemah atau tekanan ringan.
Menurut (Doenges, 2000) adapun penyebab fraktur antara lain :
1. Trauma Langsung, yaitu fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut
mendapat ruda paksa misalnya benturan atau pukulan pada anterbrachi yang
mengakibatkan fraktur.
2. Trauma Tak Langsung, yaitu suatu trauma yang menyebabkan patah tulang
ditempat yang jauh dari tempat kejadian kekerasan.
3. Fraktur Patologik
Stuktur yang terjadi pada tulang yang abnormal (kongenital,peradangan,
neuplastik dan metabolik)
Menurut Carpenito (2000) adapun penyebab fraktur antara lain :
1. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan
garis patah melintang atau miring.
2. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari
tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling
lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa
pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya,
dan penarikan.
Etiologi dari fraktur menurut Price dan Wilson (2006) ada 3 yaitu :
1. Cidera atau benturan
2. Fraktur patologik
Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi lemah
oleh karena tumor, kanker dan osteoporosis.
3. Fraktur beban
Fraktur beban atau fraktur kelelahan terjadi pada orang- orang yang baru saja
menambah tingkat aktivitas mereka, seperti baru di terima dalam angkatan
bersenjata atau orang- orang yang baru mulai latihan lari.
1.4 Klasifikasi
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau
tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Fraktur dapat dibagi
menjadi :
1. Fraktur komplit adalah patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya
megalami pergeseran (bergeser dari posisi normal).
2. Fraktur tidak komplit (inkomplit) adalah patah yang hanya terjadi pada
sebagian dari garis tengah tulang.
3. Fraktur tertutup (closed) adalah hilangnya atau terputusnya kontinuitas
jaringan tulang dimana tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar atau bila jaringan kulit yang berada diatasnya/ sekitar patah tulang
masih utuh.
4. Fraktur terbuka (open/compound) adalah hilangnya atau terputusnya jaringan
tulang dimana fragmen-fragmen tulang pernah atau sedang berhubungan
dengan dunia luar.Fraktur terbuka dapat dibagi atas tiga derajat, yaitu :
a. Derajat I
1) Luka < 1 cm
2) Kerusakan jaringan lunak sedikit, tak ada tanda luka remuk
3) Fraktur sederhana, transversal, oblik, atau kontinuitif ringan
4) Kontaminasi minimal
b. Derajat II
1) Laserasi > 1 cm
2) Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/avulse
3) Fraktur kontinuitif sedang
4) Kontaminasi sedang
c. Derajat III
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit, otot,
dan neurovascular serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur derajat III
terbagi atas :
a) IIIA : Fragmen tulang masih dibungkus jaringan lunak
b) IIIB : Fragmen tulang tak dibungkus jaringan lunak terdapat pelepasan
lapisan periosteum, fraktur kontinuitif
c) IIIC : Trauma pada arteri yang membutuhkan perbaikan agar bagian
distal dapat diperthankan, terjadi kerusakan jaringan lunak hebat.
1.5 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik dari faktur , menurut (Brunner and Suddarth, 2002) :
1. Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampai tulang diimobilisasi.
Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai almiah yang di
rancang utuk meminimalkan gerakan antar fregmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat di gunakan dan cenderung
bergerak secara alamiah (gerak luar biasa) bukanya tetap rigid seperti
normalnya. Pergeseran fragmen tulang pada fraktur lengan dan tungkai
menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstermitas yang bisa
diketahui membandingkan ekstermitas yang normal dengan ekstermitas yang
tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada
integritas tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur. Fragmen
sering saling melingkupi satu samalain sampai 2,5-5 cm (1-2 inchi).
4. Saat ekstermitas diperiksa dengan tangan teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan
lainnya (uji krepitus dapat mengaibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih
berat).
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal terjadi sebagai akibat trauma dari
pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru bisa terjadi setelah
beberapa jam atau hari setelah cidera.
Menurut Santoso Herman (2000:153) manifestasi klinik dari fraktur adalah :
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya samapi fragmen tulang
diimobilisasi, hematoma, dan edema.
2. Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah
3. Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang
melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
4. Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit.
1.6 Patofisiologis

1.7 Pemeriksaan Penunjang


Menurut (PERMENKES RI, 2014) pemeriksaan diagnosik meliputi :
1. Foto polos
Umumnya dilakukan pemeriksaan dalam proyeksi AP dan lateral, untuk
menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur.
2. Pemeriksaan radiologi lainnya
Sesuai indikasi dapat dilakukan pemeriksaan berikut, antara lain :
radioisotope scanning tulang, tomografi, artrografi, CT-scan, dan MRI,
untuk memperlihatkan fraktur dan mengidentifikasi kerusakan jaringan
lunak.
3. Pemeriksaan darah rutin dan golongan darah
Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan
bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple).
Peningkatan sel darah putih adalah respon stress normal setelah trauma.
4. Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
5. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah.
1.8 Penatalaksanaan
Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan pengembalian
fungsi dan kekuatan.
1. Rekognisi (Pengenalan)
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan
diagnosa dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur tungkai
akan terasa nyeri sekali dan bengkak. Kelainan bentuk yang nyata dapat
menentukan diskontinuitas integritas rangka.
2. Reduksi fraktur (setting tulang)
Mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis.
Reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang ke
posisinya dengan manipulasi dan traksi manual. Reduksi terbuka dilakukan
dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi alat fiksasi interna
(ORIF) dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku, atau batangan logam
untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai
penyembuhan tulang yang solid terjadi.
3. Retensi (Imobilisasi fraktur)
Setelah fraktur direduksi fragmen tulang harus diimobilisasi atau
dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi
penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna (OREF)
meliputi : pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu pin, dan tehnik gips atau
fiksator ekterna. Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna
(ORIF) yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur
yang dilakukan dengan pembedahan.
4. Rehabilitasi (Mempertahankan dan mengembalikan fungsi)
Segala upaya diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak.
Latihan isometric dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi
disuse dan meningkatkan aliran darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup
sehari-hari diusahakan untuk memperbaiki kemandirian fungsi dan harga
diri.

1.9 Pathway

BAB 2. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN ABDOMINAL PAIN

2.1 Pengkajian
1. Data Subjektif
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan,
untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien
sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan.
Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap
ini terbagi atas :
a. Pengumpulan Data
1) Anamnesa
a) Identitas Klien
b) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri
tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan :
(1) Provoking Incident : apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi
faktor presipitasi nyeri.
(2) Quality of Pain : seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
(3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa
sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
(4) Severity (Scale) of Pain : seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan
klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa
jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
(5) Time : berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah
buruk pada malam hari atau siang hari.
c) Riwayat Penyakit Sekarang
d) Riwayat Penyakit Dahulu
e) Riwayat Penyakit Keluarga
f) Riwayat Psikososial
g) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
(1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan
pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk
membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi
kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat
mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa
mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga
atau tidak.
(2) Pola Nutrisi
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan
sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vitamin C dan lainnya
untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola
nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah
muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak
adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang
kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal
terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat
degenerasi dan mobilitas klien.
(3) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi,
tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna
serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi
uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua
pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
(4) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal
ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga,
pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan,
kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur.
(5) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk
kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak
dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk
aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk
pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang
lain
(6) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam
masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap.
(7) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan
kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya
yang salah (gangguan body image).
(8) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal
fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga
pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul
rasa nyeri akibat fraktur
(9) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan
seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta
rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status
perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya
(10) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi
tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
(11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah
dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan
karena nyeri dan keterbatasan gerak klien.

2. Data Objektif
a. Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis).
1) Keadaan umum : baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda,
seperti :
a) Kesadaran penderita : apatis, sopor, koma, gelisah, kompos mentis
tergantung pada keadaan klien.
b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan
pada kasus fraktur biasanya akut.
c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi
maupun bentuk.
2) Pemeriksaan head-to-toe :
a) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan,
tidak ada nyeri kepala.
b) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi
perdarahan).
c) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
d) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau
nyeri tekan.
e) Mulut dan Gigi
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut
tidak pucat.
f) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan
ada.
g) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
h) Paru
(1)Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat
penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
(2)Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
(3)Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
(4)Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya
seperti stridor dan ronchi.
i) Jantung
(1)Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
(2)Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(3)Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
j) Abdomen
(1)Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(2)Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
(3)Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
(4)Auskultasi
Peristaltik usus normal  20 kali/menit.
k) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
l) Kulit
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak,
oedema, nyeri tekan.
o) Ekstermitas
Kekuatan otot, adanya oedema atau tidak, suhu akral, dan ROM.
b. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Radiologi
2) Pemeriksaan Laboratorium
a) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan
tulang.
b) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan
kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
c) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5),
Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada
tahap penyembuhan tulang.
3) Pemeriksaan lain-lain
a) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas : didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi.
b) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
c) Elektromyografi : terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan
fraktur.
d) Arthroscopy : didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena
trauma yang berlebihan.
e) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada
tulang.
f) MRI : menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.

2.2 Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera.


2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas struktur
tulang, program pembatasan gerak.
3. Resiko infeksi.
4. Resiko syok hipovolemik.
5. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan nyeri
ekstermitas.
6. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi fisik.

2.3 Intervensi Keperawatan


Paraf
Tujuan dan Kriteria Intervensi
No Diagnosa &
Hasil Keperawatan
nama
1. Nyeri akut Setelah dilakukan NIC:
berhubungan tindakan keperawatan Pain management
dengan agen selama 3x24 jam a. Lakukan
cidera masalah nyeri akut pengkajian nyeri
klien dapat berkurang secara
dengan komprehensif
Kriteria Hasil termasuk lokasi,
NOC : karakteristik,
Pain level durasi, frekuensi,
Pain control kualitas dan faktor
Comfort level presipitasi
a. Mampu mengontrol b. Observasi reaksi
nyeri (tahu penyebab nonverbal dari
nyeri, mampu ketidaknyamanan
menggunakan tehnik c. Gunakan tehnik
nonfarmakologi komunikasi
untuk mengurangi terapeutik untuk
nyeri, mencari mengetahui
bantuan) pengalaman nyeri
b. Melaporkan bahwa pasien
nyeri berkurang d. Kaji kultur yang
dengan mempengaruhi
menggunakan respon nyeri
managemen nyeri e. Evaluasi
c. Mampu mengenali pengalaman nyeri
nyeri (skala,
intensitas, frekuensi masa lampau
dan tanda nyeri) f. Evaluasi bersama
d. Menyatakan rasa pasien dan tim
nyaman setelah nyeri kesehatan lain
berkurang tentang
ketidakefektifan
kontrol nyeri masa
lampau
g. Bantu pasien dan
keluarga untuk
mencari dan
menemukan
dukungan
h. Kontrol
lingkungan yang
dapat
mempengaruhi
nyeri seperti suhu
ruangan,
pencahayaan dan
kebisingan
i. Kurangi faktor
presipitasi nyeri
j. Pilih dan lakukan
penanganan nyeri
(farmakologi,
nonfarmakologi
dan interpersonal)
k. Kaji tipe dan
sumber nyeri untuk
menentukan
intervensi
l. Ajarkan tentang
teknik
nonfarmakologi
m. Berikan analgetik
untuk mengurangi
nyeri
n. Evaluasi
keefektifan kontrol
nyeri
o. Tingkatkan istrihat
p. Kolaborasikan
dengan dokter jika
ada keluhan dan
tindakan nyeri
tidak berhasil
q. Monitor
penerimaan pasien
tentang manajemen
nyeri

Analgesic
administration
a. Tentukan lokasi,
karakter, kualitas,
dan derajat nyeri
sebelum pemberian
obat
b. Cek intruksi dokter
tentang jenis obat,
dosi, dan frekuensi
c. Cek riwayat alergi
d. Pilih analgesic
yang diperlukan
atau kombinasi
dari analgesic
ketika pemberian
lebih dari satu
e. Tentukan pilihan
analgesic
tergantung tipe dan
beratnya nyeri
f. Tentukan analgesic
pilihan, rute
pemberian, dan
dosis optimal
g. Pilih rute
pemberian secara
IV, IM untuk
pengobatan nyeri
secara teratur
h. Monitor vital sign
sebelum dan
sesudah pemberian
anlgesik pertama
kali
i. Berikan analgesic
tepat waktu
terutama saat nyeri
hebat
j. Evalusi efektivitas
analgesic, tanda
dan gejala
2. Hambatan Setelah dilakukan NIC
mobilitas fisik tindakan keperawatan Exercise therapy :
berhubungan selama 3x24 jam ambulation
dengan kekuatan masalah hambatan a. Monitoring vital
dan tahanan mobilitas fisik klien sign
sekunder akibat dapat berkurang dengan sebelum/sesudah
fraktur Kriteria hasil: latihan respon
NOC: pasien saat latihan
Joint movement : b. Konsultasikan
active dengan terapi fisik
Mobility level tentang rencana
Self care : ADLs ambulansi sesuai
Transfer dengan kebutuhan
perfoormance c. Bantu klien untuk
a. Klien meningkat menggunakan
dalam aktivitas fisik tongkat saat
b. Mengerti tujuan dari
berjalan dan cegah
peningkatan
terhadap cidera
mobilitas d. Ajarkan pasien
c. Memverbalisasikan
atau tenaga
perasaan
kesehatan lain
dalammeningkatkan
tentang teknik
kekuatan dan
ambulansi
kemampuan e. Kaji kemampuan
berpindah pasien dalam
d. Memperagakan
mobilisasi
penggunaan alat f. Latih pasien dalam
bantu untuk pemenuhan
mobilisasi (walker) kebutuhan ADLs
secara mandiri
sesuai kemampuan
g. Dampingi dan
bantu pasien saat
mobilisasi dan
bantu penuhi
kebutuhan ADLs
pasien
h. Berikan alat bantu
jika pasien
memerlukan
i. Ajarkan pasien
bagaimana
merubah posisi dan
berikan bantuan
jika diperlukan
3. Resiko infeksi Setelah dilakukan NIC
tindakan keperawatan Infection Control
selama 3x24 jam risiko a. Bersihkan
infeksi dapat teratasi lingkungan setelah
dengan dipakai pasien lain
b. Pertahankan
Kriteria hasil
NOC teknik isolasi
Immune status c. Batasi
Knowledge : infection pengunjung bila
control perlu
Risk control d. Instruksikan pada
a.Klien bebas dari tanda pengunjung untuk
dan gejala infeksi mencuci tangan
b. Mendeskripsikan saat berkunjung
proses penularann meninggalkan
penyakit, factor yang pasien
mempengaruhi e. Gunakan sabun
penularan serta antimikroba untuk
penatalaksanaannya cuci tangan
c. Menunjukkan f. Cuci tangan setiap
kemampuan untuk sebelum dan
mencegah timbulnya sesudah tindakan
infeksi keperawatan
d. Jumlah leukosit g. Gunakan baju,
dalam batas normal sarung tangan
e. Menunjukkan sebagai alat
perilaku hidup sehat penlindung
h. Pertahankan
lingkunan aseptic
selama
pemasangan alat
i. Ganti letak IV
perifer dan line
central dan
dressing sesuai
dengan petunjuk
umum
j. Gunakan kateter
intermiten untuk
menurunkan
infeksi kandung
kencing
k. Tingkatkan intake
nutrisi
l. Berikan terapi
antibiotic bila
perlu

Infection protection
a. Monitor tanda dan
gejala infeksi
sistemik dan local
b. Monitor hitung
granulosit, WBC
c. Monitor
kerentanan
terhadap infeksi
d. Batasi
pengunjung
e. Pertahankan
teknik aspesis
pada pasien yang
beresiko
f. Pertahankan
teknik isolasi k/p
g. Berikan
perawatan kulit
pada area
epidema
h. Inspeksi kulit dan
membrane
mukosa
i. Terhadap
kemerahan,
panas, dan
drainase
j. Inspeksi kondisi
luka/insisi bedah
k. Dorong masukkan
nutrisi yang
cukup
l. Dorong masukan
cairan
m. Dorong istirahat
n. Instruksikan
pasien untuk
minum antibiotic
sesuai resep
o. Ajarkan pasien
dan keluarga
tanda dan gejala
infeksi
p. Ajarkan cara
menghindari
infeksi
q. Laporkan
kecurigaan infeksi
r. Laporkan kultur
positif

DAFTAR PUSTAKA

Agency for Health Care Policy and Research (AHCPR). 1992. Panel on the
Prediction and Prevention of Presure Ulcers in Adults.
Brunner dan Sudart. 2013. Keperawatan Medikal Bedah Ed. 12. Jakarta : EGC
Dochterma, J. M., & Bulechek, G. M. 2004. Nursing Interventions Classification
(NIC) (5th ed). Amerika: Mosby Elsever.
Grace & Borley. 2007. At a Glance Ilmu Bedah Edisi Ketiga. Jakarta: Erlangga.
Mayo Clinic. 2018. Abdominal Pain.
https://www.mayoclinic.org/symptoms/abdominal-pain/basics/causes/sym-
20050728 [Diakses tanggal 13 Januari 2018]
Moorhead, S., Jhonson, M,. Maas, M., & Swanson, L. 2008. Nursing Outcome
Classification (NOC) (5th ed). United states of Amerika: Mosby Elsevier
Nanda Internasional. 2018. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi
2018-2020 Edisi 11. Jakarta : EGC
Potter, P. A. dan Perry, A. N. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep,
Proses dan Praktik. Jakarta : EGC
Price, S. A., dan Wilson, L. M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC.
Sjamsuhidajat et al. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Ed 3rd.
Smeltzer, S. C., dan Bare, B. G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah
Brunner & Suddarth. Edisi 8 Volume 2. Jakarta: EGC.
Syaifuddin. 2011. Anatomi Fisilogi. Jakarta : EGC
Tamsuri, A. 2007. Konsep Dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai