Anda di halaman 1dari 2

Ushul Fikih sebagai Metode Ilmu Humaniora

(Sebuah Rumusan Singkat Pra-Fikih Sosial)

(a) Kitab ‘Manahij al-Bahs’ dari Dr. Ali Sami An-Nasyar menegaskan autentisitas metode ilmiah dalam
dunia Islam sebelum abad ke-5, sebelum tercampuri ilmu-ilmu dari peradaban luar, terutama
Yunani, dan terutama lagi Logika Aristoteles, yang terejawantah dalam suatu ilmu baru yang
disebut Ushul Fikih. Dari buku ini kita belajar untuk bangga dengan keilmuan Islam yang murni
lahir dari rahim Al-Quran dan Hadis. Inilah metode ilmiah pertama dalam dunia Islam sepanjang
dicatat sejarah, dan ini juga merupakan metode ilmiah pertama untuk merespon kitab suci yang
diturunkan lebih dari dua abad sebelum peletak ilmu ini, yaitu Imam Syafi’i, menurunkannya dari
alam ide ke alam aktual. Sang penulis menepis dugaan kaum orientalis bahwa Islam tidak punya
metode ilmiah yang autentik, terutama berkenaan dengan ilmu sosial dan humaniora. Ushul Fikih,
sebelum abad ke-5, adalah surah paling asali dari geliat pemikiran Islam sepanjang sejarah agama
samawi ini.
(b) Kitab ‘Tamhid’ dari Syekh Musthafa Abdr Ar-Raziq, pada bagian Imam Syafi’i, memotret seorang
tokoh peletak Ilmu Ushul Fikih, diletakkan di antara para filsuf Islam, bahkan disebut sebagai
bapak metode ilmiah, jauh sebelum Barat mengenal Roger Bacon di sekitar abad ke-13. Ushul
Fikih yang diletakkan Imam Syafi’i berpusat pada apa yang disebut dengan Bayan—dengan
segenap pembagiann rincinya. Sebagai ilmu yang mempelajari teori pembacaan teks yang
berorientasi pada penggalian hukum, ilmu ini memuat pra-syarat metodologi modern, mulai dari
ontologi (yaitu bagaimana hukum bisa dan bahkan pasti diletakkan pada setiap tindakan
manusia), juga epistemologi (yaitu epistem hukum: Al-Quran, As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas), dan
juga aksiologi (yaitu laku keseharian seorang muslim yang tergali lewat fikih, baik di tataran
individu (shalat, bersuci, bepuasa, dll), keluarga (nikah, talak, rujuk, warisan, dll), maupun
bernegara (hukum perang, jizyah, pemilihan khalifah, dll). Semua unsur ini sudah terpenuhi dalam
Ushul Fikih Imam Syafi’i, yaitu dalam magnum opusnya, Ar-Risalah.
(c) Kitab ‘Al-Mutakallim wa Al-Ushuli wa Al-Filasuf’ dari Dr. Majidah Imarah membahas tentang tiga
tokoh penting yang merepresentasikan tiga cabang keilmuan dalam Islam yaitu Ilmu Kalam
(diwakili oleh Al-Ghazali), Ushul Fikih (yang diwakili oleh Asy-Syathibi), dan Filsafat (yang diwakili
oleh Ibn Rusyd). Kitab ini sangat penting karena berhasil memperkenalkan corak baru dari Ushul
Fikih setelah abad ke-5. Tokoh pentingnya adalah Al-Ghazali yang menggabungkan antara Ushul
Fikih klasik dengan mantik Aristoteles. Menariknya, Dr. Majidah cenderung menegasi upaya Al-
Ghazali yang mengagungkan metode analogi (qiyas), dibanding penelitian (istiqra’). Ushul Fikih
merupakan metode pembacaan teks, dan teks bersifat terbatas. Bukan tidak mungking, menurut
Syatibi, membangun keilmuan Islam yang berbasis pada penelitian yang purna terhadap teks
karena sifatnya teks yang terbatas. Dalam kitabnya ‘Al-Muwafaqat’, Syatibi membuktikan
kemungkinan itu. Signifikansinya sangat menujam: dari dugaan (dzanny) menuju kepastian
(qhat’iy). Upaya Syatibi boleh dikatakan revoluionis. Dari sinilah inspirasi utama Fikih Sosial yang
lahir kemudian hari.
(d) Kitab ‘Ath-Thariq ila At-Turats Al-Islami’ dari Dr. Ali Gooma dalam pembahasan mengenai teori
tanda (nadzariyat ad-dalalah) baik pada tingkatan tanda kata (diakronik)—yang dibahas baik
dalam ilmu sharaf (sintaksis) maupun nahwu (gramatologi), maupun pada tingkatan tanda
maknawi (sinkronik)—yang sungguh khas Ushul Fikih, dengan perpaduan sedikit dengan Ilmu
Mantik. Boleh dikatakan teori pemahaman teks adalah lubuk dari Ushul Fikih. Sebab pemahaman
yang benar akan mengantarkan pada penggalian hukum dengan benar pula. Tanpa mengetahui
bagian ini praktis orang akan salah dalam memahami teks, dan kesalahan ini akan mengantarkan
pada salah dalam menggali hukum. Ushul Fikih punya filsafat bahasanya sendiri yang bisa menjadi
metode pembacaan terhadap ilmu-ilmu modern, misalnya sosiologi, seperti yang ditempuh, di
dunia Barat, oleh Levi-Stauss dengan stukturalismenya. Filsafat bahasa mendapatkan perhatian
lebih semenjak awal abad lalu melalui kajian Strukturalisme Saussurean juga semiologi Barthes,
membentang sampai post-strukturalisme dengan tokoh pentingnya seperti Derrida dan Lacan.
Jika kita sudah memiliki metode dalam memahami teks lewat dua pendekatan diakronik dan
sinkronik, sudahkan kita menempuh jalur yang terbuka nganga itu?
(e) Kitab ‘Fayshal at-Tafriqah’ dari Al-Ghazali membahas tentang wujud dan kaitannya dengan
bagaimana menghukumi kekafiran seseorang. Kitab ini penting karena ia merupakan salah satu
kitab yang membahas ontologi secara lengkap. Setiap ilmu, pada awal ia berdiri, dibangun di atas
pondasi ontologis yang kuat. Fikih, sebagai hasil dari penggalian hukum dari Ushul Fikih, memiliki
basis ontologinya. Misalnya, ada distingsi antara hukum yang berorentasi pada wujud dalam hati
(berupa hukum niat dalam tiap tindakan ibadah), atau wujud dalam ucapan (berupa akad dalam
nikah maupun jual beli, juga pemberian saksi, dll), atau wujud dalam perbuatan (berupa hukum
membunuh sesama muslim, hukum zina, hukum mencuri, dll). Wujud-wujud ini ada dalam fikih,
dan mempelajari fikih tanpa tahu wujud ini tidaklah lengkap, terlebih jika ingin melangkah ke Fikih
Sosial, mengingat harus ada pemilahan secara tegas mana perbuatan yang dinilai sebagai personal
(hablum minallah), dan mana perbuatan yang dinilai sosial (hablum minannas). Fikih Sosial
layaknya bukan hanya metodologi, ia harus melangkah ke logos; suatu ilmu yang berdiri sendiri
yang memiliki metodologi yang paten. Dan memahami ontologi adalah bagian dari penyangga
Fikih Sosial jika ia ingin melangkah menjadi disiplin ilmu.
(f) Kitab ‘Al-Hukm Asy-Syar’i ‘inda Al-Ushuliyyin’ dari Dr. Ali Gooma pada bab Mahall Al-Hukmi adalah
tindak lanjut dari apa yang dibahas dalam ‘Faishal at-Tafriqah’. Dari kitab ini kita mengetahui
bahwa tanah air dari hukum syariat (fikih) tidaklah semua wujud yang sudah disebutkan Al-
Ghazali, tetapi ia adalah wujud tertentu yang tunduk pada sepuluh kategori Aristoteles atau dua
belas kategori Immanuel Kant. Wujud-wujud itu adalah suatu penampakan, suatu fenomena,
yang bisa dilihat dan dinilai baik melalui ucapan, isyarat, maupun tindakan. Tanpa ketiga hal ini
suatu hal tak mungkin jadi suatu fenomena; ia akan terjebak dalam belantara nomena (sesuatu-
pada-dirinya-sendiri) yang lolos dari semua epistema. Fikih, lebih khusus Fikih Sosial, adalah
kumpulan hukum atas fenomena. Fenomena personal berbeda dari fenomena sosial, sebab sosial
adalah sekelompok personalitas yang melebur. Boleh dibilang: menghukumi personal lebih
mudah daripada menghukumi sosial. Ilmu sosial lebih kompleks dari ilmu yang lain karena
manusia yang berfisat dinamis. Sosio-kultural, antropologi, ekonomi-politik; semuanya, saat ini,
menentukan penggalian hukum. Mustahil menentukan hukum jika abai dengan fenomena-
fenomena inikarena itu akan menunjukkan kejumudan ilmu fikih. Ilmu fikih harus bisa menjawab
tantangan zaman, tanpa terjebak arus zaman. Ia harus menciptakan suatu masyarakat sosial, dan,
di waktu yang bersamaan, tak boleh abaik dengan fenomena sosial. Fikih Sosial, berdasarkan
penalaran seperti di atas, menemukan urgensinya di tengah kecamuk zaman; zaman fitnah dan
kebingungan. Fikih Sosial adalah oase di tengah gurun pasir.

—M.S. Arifin

Anda mungkin juga menyukai