1.
Pepatan bilang waktu adalah pedang. Kubilang, itu metafora yang terlalu berlebihan. Waktu
adalah kesunyian yang merambat tanpa telinga. Jika kau tidak memotong waktu maka waktu
akan memotongmu? Tidak, itu terlalu sadis. Yang benar: jika kau tidak mendengar waktu
maka waktu yang akan mendengarmu.
2.
Ketika sebuah bintang meledak, tak ada yang menangkap suaranya. Manusia mendongak ke
langit dan mendengar kicau burung, atau jerit jangkrik, atau detak jantungnya sendiri.
3.
“Ingatan tak punya suara,” kau berkata, “jeritan di kepalamu hanyalah fatamorgana.”
Kutanya, “Apakah sunyinya seperti doa Adam?” Kau menjawab, “Tidak! Sunyinya seperti
cinta Hawa.”
4.
Di tepi hutan dekat danau Silvapia, lelaki itu mendapat ilham tentang perulangan abadi dari
semacam setan. Segalanya akan berulang kembali, persis sebagaimana segalanya sekarang
terjadi.* Ia mungkin teringat Adam yang terbujuk keabadian dan baginya keabadian memang
terbujur sejak semula. Tetapi ia tak punya ingatan tentang masa depan, waktu di mana orang
seperti dirinya menulis di dinding Facebook dan dilupakan sehari setelahnya. Hanya orang
yang takut dilupakan yang menginginkan keabadian.
5.
Belajarlah menjadi
ketika dilupakan
manusia
6.
Nabi itu membelokkan rombongan tentaranya ketika mendengar semut bercakap. Hari ini tak
ada nabi, tak ada lagi orang yang mendengar jeritan mereka ketika disemprot obat serangga.
7.
Tuhan, firman
Kurasa iya
8.
9.
Pagi ini aku masih mendengar suara ibuku di dapur. Sementara ia memasak kesunyian, aku
memasak kata-kata. Kelak ia tak akan di dapur itu lagi dan di meja tak ada sepiring
kesunyian. Kelak akan kuhidangkan sepiring kata di pusaranya agar ia tak kesepian.
10.
2020
Tentang Penyair
M.S. Arifin, lahir di Demak 25 Desember 1991. Seorang penyair, esais, cerpenis, dan
penyuka filsafat. Bukunya yang sudah terbit: Sembilan Mimpi Sebelum Masehi (Basabasi,
2019) dan Mutu Manikam Filsafat Iluminasi (terjemahan Suhrawardi, Circa, 2019). Bisa
dihubungi lewat: ms.arifin12@gmail.com.