Anda di halaman 1dari 3

TIGA SAJAK MELODIA METAFORA

Mungkin Saja

Mungkin saja pernah, ada, di sebuah daerah atau ruang singgah,


sepatah ranting basah. Rekah. Lalu: melipu. Kemudian waktu menjadikannya
debu.
Tak seorang pun tahu, tak juga kau, tak juga aku, siapakah mencatat
kisah demi kisah, sebelum ranting itu patah lalu jatuh ke tanah.
Kita, memang tak di sana.
Tetapi, langit, setia senantiasa—satu: kapan dan di mana pun itu.
Silakan saja kota mengira: di sana, jeda demi jeda, berlalu percuma,
hilang makna, karena tiada manusia. Alam, bagaimana pun, akan tetap
berlainan bahasa:
embun yang melengkapi daun, getah pada kemuning, sisa gerimis di
hampar rumput kering, hadir, dengan peran masing-masing.
Semua akan terus dicipta, apa pun maksudnya. Hingga entah kapan.
Dan fajar merah di selatan, utara, ada atau tak ada kita, masih memenuhi
janji: terbit sebelum matahari menggores pagi.
Barangkali, di ranting itu, sepasang burung dengan sayap hijau pernah
hinggap karena lelah; lalu lain waktu, bertengger saling memunggungi
karena marah. Mungkin saja, ada, seseorang menduga: ranting itu sia-sia.
Kita tentu menolak percaya,
sebab langit yang tak selalu biru, bersaksi:
sebelum mati, sebelum mati, ranting itu
diam-diam
m e m b e r i.

Anonymous

Ia coba meredam suara-suara lalu membakar setiap aksara dan warna-warna


yang pernah ia guratkan dalam lembar kanvas hidupnya sebab tiada lagi apa
pun bisa disampaikannya kecuali jejak-jejak kehampaan masa silam &
kegagalan penuh pengulangan. Ia telah berkali-kali dihadapkan pada
kenyataan bahwa seluruh bahasanya ditakdirkan sebagai rasa dahaga, tak
pernah menawarkan apa-apa selain ketakpastian dan ketakpuasan. Itulah
mengapa ia terus berusaha merelakan segala hal-ihwal yang dikiranya
penuh arti penuh makna hanya melintas saja lalu lepas seperti nafas, karena
ia sadar kata-katanya tak akan sanggup menyentuh rahasia batu-batu atau
mengurai teka-teki kicau burung dan memetakan bagaimana gerak akar
menyerap hara beserta air hujan, apalagi memahami misteri tentang kenapa
desau angin di taman-taman mampu mempertemukan serbuk sari satu
bunga dengan bunga lain. Ia biarkan segalanya berlangsung sederhana dan
wajar. Ia biarkan pohon-pohon kecil yang tumbuh di tempat tinggalnya kelak
tumbang pada waktunya tanpa harus bersentuhan dengan gergaji mesin
atau benda-benda tajam lain sehingga satu hari nanti rayap-rayap
berkesempatan menikmatinya, sekadar memperpanjang usia lalu
berkembang-biak dan memelihara anak-anak mereka ‘tuk beberapa lama. Ia
biarkan pula nyamuk-nyamuk menggigit kulitnya saban malam tiba, tak ia
risaukan lagi jika kemudian ada kawanan cicak menerkam sebagian kecil dari
mereka yang berhasil menghisap darahnya. Ia sudah tak tergoda mengurung
kisah mereka dalam kata-kata, tak pula bertanya-tanya apakah yang satu
ditakdirkan membunuh yang lain ataukah yang lain justru ditakdirkan mati
demi melanjutkan hidup bersama yang satu. Ia tak lagi berpikir ragu adakah
peristiwa itu digerakkan hukum rimba ataukah digerakkan semacam cinta.
Kini selain kertas kosong, selain hening, selain bening, ada sesuatu ia
impikan sebelum seluruh geraknya menjadi henti, sebelum seluruh bunyinya
menjadi sunyi: ia sangat ingin kembali ke sebuah masa ketika ia belum
merupakan sesuatu yang dapat disebut sama sekali.

Di Bawah Langit

Di bawah langit,
apakah yang sesungguhnya kita mengerti?
Waktu, kekosongan, telah melekat pada bayi-bayi sejak dalam
kandungan. Keduanya mengubah setiap kedatangan jadi kepulangan, setiap
kehadiran jadi kehilangan. Dari generasi ke generasi.
Kita pun membaca diri pada realita: manusia, ternyata, bukan poros
semesta;
alam tak akan jadi beda: lelaki, perempuan, betina, jantan, lahir di
sembarang ruang, tanpa bisa memilih atau memilah. Tak semua jadi ibu. Tak
semua jadi ayah.
Siapa? Siapa masih semena-mena, bertanya: apa kata dunia?
Tak ada yang lucu.
Benua-benua, tetap sedingin dulu: bisu & tak bisa bercanda. Di
permukaannya, segala yang tertawa, bicara, atau cerita, menyerupai detak
jantung berabad silam: segera hilang suara diam-diam. Peristiwa-peristiwa
berganti-ganti. Kemudian tinggal misteri.
Segala pengalaman, getar-getar perasaan dari zaman ke zaman, nama
demi nama dalam tiap memori, bertahan sesaat, hingga sampai pada suatu
tenggat, henti berbunyi: lenyap sendiri-sendiri.
Aku belum merasa perlu tahu negara-negara akan mengarah ke mana.
Sejarah dunia, semenjak lama, berpijak pada segelintir ingatan, sesuatu
yang rapuh, jauh dari utuh
—tak akan menunjukkan peta ke mana kita seharusnya berjalan.
Orang-orang datang. Orang-orang pergi.
Kenyataan-kenyataan, di seluruh penjuru, tetap bergerak maju (tanpa
pernah mundur ke masa lalu); cuma sedikit yang sempat diberi arti, sebelum
berujung sepi. Sebagian besar lewat tanpa tercatat sama sekali.

Mimpi-mimpi apa
bisa dipertahankan?
Pengalaman mana
layak dibanggakan?

Semua berlalu. Berlalu. Sama sekali bukan jawaban atas


keberadaanku.
Dan tentang masa depan, memang tak banyak hal bisa diramal. Anak-
anak balita, remaja, yang ditakdirkan dewasa, kelak pada akhirnya tahu:
malam di sana, di mana-mana, akan selalu sama:
laksana pagi, siang, & senja: tak menanti kehadiran siapa-siapa.

Mungkin benar:
kita tak harus ada.
Tak harus ada.

Anda mungkin juga menyukai