Propaganda sabda bergentayang dari hujan yang tak pernah sumbang untuk menyiarkan arti
pelangi.
Entah melukis pancaroba dengan daun kemarau atau mengikis batu tanpa luka.
Lantas kapan?
Pertanyaan lahir dari Ikhwal naluri terdalam.
Aku masih bertanya-tanya tentang perahu yang hanya berpijak di tepi pantai,
Laut setia menunggunya dengan warna yang masih kelabu bukan membiru,
Dan malam tak lelah menemani di gubuk tak berpenghuni.
Pekaranganmu teduh,
Sedangkan pagarku masih utuh walau arwahnya mati,
Menyisakan kuburan dengan batu nisan bertuliskan “wafatnya bernafas dan hidupnya
bermayat”
“MAYAT”
“TIRO GIPA”
Kak...
Inikah nikmat Tuhan?
Lantas ketiadaan menjadi penghambaan.
“SYURGA”
“Rompi terkadang membius perbincangan halaman, seakan mengsakralkan duri yang berada
di lingkar hitam”
Khotbah perihal kalbu menjadi tameng yang harus kupijaki, entah badai yang memperseni
atau sapa gelombang di kelak hari.
Semoga sabdaku bisa mengarungi desir warga hingga tuntas memuncak 2 tahun lamanya.
Sebab perihal diri harus terkafani sebagai penopang aksi hidup, agar engkau tak tumbang jika
terhakimi.
Yogyakarta, 2022.