Anda di halaman 1dari 6

“GELANDANGAN DI NEGERI BAYANGAN”

Riuh siar pemangsa berkeliaran


Bergentayangan di belakang lakon tanah bangsa.
Potret cukong berdasi melangit dalam layar kaca mata rakyat.
Lantas, Jeruji besi jadi keagungan korup dan timpang sebelah pada kritik elit bawahan.

Barisan punggawa muda hendak menyoal keresahan,


Malah di tuding dan di belai dengan haluan etik,
Hingga karam pada ruang.
Suasana sakralpun segera terulang,
Memboikot tatanan rezim di orde kelam.

Among negeri malah terbantai oleh para tangannya sendiri.


Hiduppun berantai dengan segala corak ambiguitas antara kelaparan dan kematian.
Sampai kapan kita jadi gelandangan di negeri bayangan?

Resah berujung pasrah,


Hianat menunggu laknat,
Rakyat semakin sekarat,
Konglomerat semakin berpangkat.

Kapan negeri ku kembali nyata tanpa layar kaca?


Kapan negeri ku bebas tak berbekas dari polemik tak berkelas?
Kapan negeri ku kembali pijar tanpa kata-kata menjalar?

Aku hanya pemuda yang haus akan hal itu!


Ingin mengulas kembali kenikmatan pentas usang,
Dan ingin kembali memikat haluan belajar yang bernalar, bukan berlayar.
“SERABUT”

Propaganda sabda bergentayang dari hujan yang tak pernah sumbang untuk menyiarkan arti
pelangi.
Entah melukis pancaroba dengan daun kemarau atau mengikis batu tanpa luka.

Aku bisu dalam medan yang curam


Penafsiran terlalu lekang terbawa arus muara ke pelosok rimba.
Jalanannya penuh akar yang sulit di sebrangi dan arahpun pudar sebab retorika logika
bersemayam.

Lantas kapan?
Pertanyaan lahir dari Ikhwal naluri terdalam.

Aku masih bertanya-tanya tentang perahu yang hanya berpijak di tepi pantai,
Laut setia menunggunya dengan warna yang masih kelabu bukan membiru,
Dan malam tak lelah menemani di gubuk tak berpenghuni.

Pekaranganmu teduh,
Sedangkan pagarku masih utuh walau arwahnya mati,
Menyisakan kuburan dengan batu nisan bertuliskan “wafatnya bernafas dan hidupnya
bermayat”

Jika langit masih menjuntai dan bumi terpijakkan,


Maka masih ada pertempuran yang harus terbalaskan.

“MAYAT”

Propaganda rasa semu tiada temu


Hengkang jadi abu tak kunjung membiru.
Roda-roda makna jadi persinggahan semata.
Lantas kecamuk sanubari tak berpatri di suluk bumi.

Saya tak bisa bernostalgia di aksara Plato dalam sinar pemikiran,


Juga tak seharmoni suara Aristoteles dengan bunga pekerjaan,
Semuanya tinggal wayang dan bayangan di perlintasan,
Menyisihkan keramaian yang membungkam pelataran bak kuburan.

“TIRO GIPA”

Kesunyian mentari berkiprah di anggunnya alam


Membingkai haluan rindu dalam nafas
Serta menyuguhkan lirik dansa dari burung yang mengangkasa.

Anginpun memeluk mesra pada sebeluk-beluk rongga nyawa


Mendampingi sederet tebing petilasan
Mengkiprahkan akal yang lama sumbang.
Namun detikpun mendorong kepincangan
Dan membawanya mengelabuhi lautan.

Revolusi rasa kini kembali memikat hati.


Kembali mengkolaborasikan nuansa dan suasana.
Inikah rindu?
Inikah mati suri?
Inikah kasih yang kembali mengasihi?

Dogma pertanyaanpun berkeliaran


Bermula dari lembah tiro gipa yang membawa saya pada kenikmatan dan ketulusan.
“PENTAS”

Setiap persimpangan jalan


Wangi mawar bersemayam
Mengalun bersama rinai hujan kenangan.
Kenangan bersama kedua bujang bersimbol keris dari pelosok pulau.
Berbagai pentas hidup di alurkan
Melukis seni di atas tungku api
Lantas kerontang pilu menggebu.
Berkolaborasi rasa di pergulatan tangan,
Memadukan belokan jadi persinggahan.

Kak...
Inikah nikmat Tuhan?
Lantas ketiadaan menjadi penghambaan.

“SYURGA”

Haluan keasingan tiba-tiba mepersunting nyawa yang tak berdaya,


Membawa ketenangan dengan aroma mawar.
Rasa terbengkalai dalam kesunyian angan
Hingga aku tak mampu melukis hampa dan suka.
Badai datang tanpa merobohkan
Melainkan menyulam syahdu tanpa abu.
Aku masih melangit dengan alam dan tak sadar akan gemulai sanggar pembuangan.
“TERATAI”

Rantingku sedang menyapa teras sinar yang bermukim di langit hitam,


mengkolaborasikan simponi tangan perkenalan atas dasar ke esaan.
Mereka seakan lembab membawa nuansa perairan yang melukis tentang aksara hujan tanpa
mengagungkan api dalam sukmanya yang berkobar.

Celoteh semesta damaikan ruang


Lantas mengerti bahwa ritual panca dasar telah terbuka pada lalang yang tak kenal siapa,
hanya mengisyaratkan arwah persaudaraan yang lekat membumi dan mengharumi.
Disitulah aku kembali berdiskusi pada tanah lapang yang telah lama lekang. Membahas
perihal ciuman dasar pada tubuh yang menjadikan rindangnya dedauanan sebagai bukti bisu
atas gerakan baru.

“Rompi terkadang membius perbincangan halaman, seakan mengsakralkan duri yang berada
di lingkar hitam”
Khotbah perihal kalbu menjadi tameng yang harus kupijaki, entah badai yang memperseni
atau sapa gelombang di kelak hari.

Semoga sabdaku bisa mengarungi desir warga hingga tuntas memuncak 2 tahun lamanya.
Sebab perihal diri harus terkafani sebagai penopang aksi hidup, agar engkau tak tumbang jika
terhakimi.

Yogyakarta, 2022.

Anda mungkin juga menyukai