Anda di halaman 1dari 8

Si Budi dan Bagaimana Ia Mati Terbungkus Goni

oleh M.S. Arifin

Si Budi salah ketika menulis tentang lelaki pembawa goni dan memaksanya menjadi tokoh
dalam ceritanya. Lelaki pembawa goni tak pernah datang ke sebuah kampung dan melemparkan
bola api ke rumah Karmain, justru Karmainlah yang membakar hampir seluruh isi kampung
akibat kelalaiannya meninggalkan lilin yang masih menyala ketika ia hendak membunyikan
bedug di surau.

Malam itu, Budi sebenarnya sedang suntuk dan tak ingin menulis cerita. Berkali-kali ia melirik
layar komputer di depannya. Beberapa pesan masuk surel, tapi yang paling menyita perhatiannya
adalah sebuah pesan dari redaktur koran ibu kota yang memintanya menulis cerpen untuk
mengisi rubrik sastra pekan ini. Ia menarik napas panjang, memegang kepalanya dengan kedua
telapak tangan, dan mendengus pelan. Ini hari apa, ia hampir lupa. Almanak di tembok sebelah
kiri memberitahunya ini hari Jum’at dan tentu saja besok hari Sabtu dan lusa hari Minggu.
Menyebalkan, pekiknya.

Rumahnya sedang sepi. Istri dan kedua anaknya untuk tiga atau empat hari ke depan baru akan
pulang dari rumah Bapaknya. Budi tidak bisa ikut karena ada beberapa agenda yang tidak
mungkin ia tinggalkan. Meskipun sebenarnya ia kangen pada bapaknya, terutama karena si
bapak sakit.

Di saat seperti ini biasanya Budi ingat masa lalu. Dulu, ketika kecil, sebagai anak seorang guru
ngaji dan imam surau, ia terbilang tak bisa diandalkan. Dari enam bersaudara, ia adalah anak
lelaki satu-satunya. Jangankan mengaji dengan lancar seperti kawan-kawan sebayanya, lalaran
alif ba ta saja ia masih susah mengejanya. Meskipun demikian, bapaknya tak pernah marah
apalagi mengatakannya bodoh ketika sedang mengaji. Bapaknya hanya minta satu hal
kepadanya, membunyikan kentongan surau setiap sembahyang akan didirikan, “Agar kelak kau
selalu ingat sembahyang lima waktu.”
Tugas yang selalu dikerjakan Budi itu sedikit banyak membuat bapaknya lega, dan tugas itulah
yang berkali-kali membuat Budi lolos dari mengaji. Jika sedang bolos, biasanya ia pergi ke
sawah mengajak beberapa kawan yang juga mau diajak bolos. Di sawah, ia dan kawan-
kawannya akan ke gubuk dan bermain gaplek. Di sana ia menghabiskan seperempat malam
sebelum akhinya saat larut nanti ia akan dicari oleh bapak atau ibunya dan dijewer dari gubuk
sampai rumah. Teringat itu, Budi tersenyum. Sejenak ia lupa soal cerpen dan redaktur yang
cerewet.

Malam belum terlalu larut. Barangkali bapaknya belum tidur, pikir Budi. Ia ambil hp dan
menghubungi nomor istrinya. Di seberang, suara rekaman operator melengking: “Nomor yang
Anda hubungi...” Ia pencet lagi, kali ini nomor anak bungsunya. Suara di speaker hpnya tetap
sama. Tampak raut muka Budi mengerut jengkel. Hp di tangan kanannya ia putar-putar dengan
jari. Seharusnya ia tidak nganggur dan lekas menjawab permintaan si redaktur. Tetapi malam itu
cerpen seolah bagai musuh bagi Budi. Ia sedang suntuk dan itu alasan utama kenapa ia tak tahu
harus menulis apa.

Ia berkata pada dirinya sendiri:

“Sudah tidak saatnya kau memikirkan apa yang musti kau tulis, Budi. Apa saja yang meluncur
dari jemarimu, pasti akan dimuat. Sejelek apapun itu.”

Dirinya sendiri berkata balik:

“Lebih baik aku memberi kesempatan bagi penulis muda yang masih semangat-semangatnya
menulis buat koran. Penulis pemula butuh rubrik dan kesempatan lebih banyak.”

Sebenarnya perkataan itu untuk tameng bagi dirinya yang sedang suntuk.

Komputer masih ia biarkan menyala ketika ia mematikan lampu kamar, menghidupkan lampu
tidur, dan menarik selimut. Suntuk memang tak ada obatnya.
Malam selanjutnya, setelah seharian sibuk ini dan itu, ia dihadapkan lagi pada posisi yang sama.
Kali ini bahkan ia tambah suntuk. Redaktur koran tidak menyerah begitu saja dengan diamnya
Budi. Si redaktur membujuk Budi untuk mengirimkan cerpen apapun itu. Sebab, sudah beberapa
pekan, rubrik sastra di korannya sepi peminat karena daya tarik penulis muda tak terlalu
memikat. Budi, penulis cerpen yang namanya sudah malang-melintang, diharapkan bisa
menggenjot lagi gairah penikmat rubrik sastra di koran itu. Jelas, itu alasan pasar dan tak ada
hubungannya dengan kesusastraan.

Apapun alasan si redaktur, Budi benar-benar sedang suntuk dan tak ingin menulis. Maka ia
tinggalkan meja komputer, keluar kamar dan menuju dapur. Barangkali teh atau kopi atau jahe
bisa membuatnya sedikit tenang. Ia memilih teh, karena ternyata persediaan jahe dan kopi sudah
habis, ia lupa mampir ke toko ketika pulang mengajar sore tadi. Ia bawa teh itu ke kamar dan ia
letakkan di meja komputer, berdekatan dengan layar. Budi duduk lalu menyeruput teh. Angin
dari luar rumah berhembus membawa dinginnya, melewati pohon-pohon, menuju jendela dan
menyingkap kordennya. Tak ada suara binatang malam yang biasanya berisik. Yang ada hanya
suara ilalang bergesekan di seberang sana yang digoyangkan angin.

Jam di dinding baru menunjukkan pukul sepuluh.

Seperti malam sebelumnya, malam itu ia juga menghubungi istri dan anaknya lewat hp. Tapi
suara operator lagi-lagi membuatnya jengkel dan kecewa. Tak muluk-muluk, ia hanya ingin tahu
kabar bapaknya, apakah sudah sembuh atau masih tersisa nyeri di punggungnya. Budi ingat,
puluhan tahun lalu, Bapaknya mendapatkan luka di punggung dan sampai saat ini belum
sepenuhnya sembuh. Saat itu di kampung tersebar kabar bahwa ada seorang lelaki yang berjalan
membawa karung di punggungnya. Lelaki itu berjalan menyusuri belakang rumah penduduk,
menyamar seolah-olah menjadi pemulung tetapi sebetulnya ia tengah mencari kepala anak-anak.
Tersebar kabar pula sudah ada beberapa korban ditemukan tanpa kepala. Di kampung sebelah,
seorang anak lelaki yang sedang bermain di ladang, ditemukan tanpa kepala setelah dua hari
dinyatakan hilang.
Kabar ini tentu membuat bergidik semua orang. Sejak saat itu, tak ada anak-anak yang berani
bermain di tempat yang sepi. Mereka akan bermain di halaman rumah dan memilih permainan
yang melibatkan banyak orang, seperti kelereng atau sejenisnya. Tapi tentu saja masih ada anak-
anak yang bandel, dan Budi adalah salah satunya. Malam itu Budi bolos mengaji dan mengajak
dua orang kawannya untuk bolos juga. Kedua kawannya menolak ajakan Budi dan memilih
untuk tetap mengaji. Lebih tepatnya, mereka takut kepada lelaki pembawa karung yang kabarnya
menggerkan seluruh kota. Akhirnya Budi pergi sendirian.

Di gubuk, tentu ia tak bermain gaplek. Ia hanya duduk-duduk sambil mengamati langit kalau-
kalau ada bintang jatuh atau semacamnya. Ia tak habis pikir, kenapa orang-orang percaya pada
kabar tentang lelaki pembawa karung. Ia tak percaya lelaki itu benar-benar ada dan menggondol
kepala anak-anak. Akibat kabar itu, ia banyak kehilangan kawan bermain. Kawan-kawannya
lebih sering berada di ketiak ibunya daripada memancing, mencuri pepaya, atau bermain gaplek.

Saat ia berpikir demikian, dari arah kampungnya muncul sesosok bayangan. Tangan kanannya
memegang clurit, sementara tangan kirinya menenteng karung. Budi gelagapan. Ia loncat dari
gubuk dan berlari menjauhi kampung ke arah hutan. Sosok bayangan itu masih membuntutinya.
Ia semakin lari kesetanan. Sialnya, pematang sawah tak ada yang membelok ke kanan atau ke
kiri. Pilihannya hanya satu, menerobos lumpur untuk membelokkan arah dan menuju
kampungnya. Di tengah lumpur, ia justru tak bisa berlari. Bayangan itu makin mendekat. Kaki
Budi terjebak lumpur semakin dalam. Ia sulit beranjak. Ia menjerit sekuat-kuatnya. Dari arah
belakang bayangan itu, muncul bayangan lelaki kurus membawa pentungan dan memukulkannya
ke arah bayangan di depannya. Terjadi perkelahian sengit. Dua bayangan itu terjungkal ke parit
dan salah satu di antara mereka lari tunggang-langgang. Lelaki kurus yang membawa pentungan
itu adalah bapak Budi. Perkelahian itu menorehkan luka dalam di punggung yang belum atau
barangkali tak akan pernah sembuh.

Budi menyeruput lagi teh yang mulai hangat. Ide di otaknya tiba-tiba berloncatan. Dari satu
fragmen cerita ke fragmen yang lain. Seolah-olah alur cerita itu sudah tertulis di otaknya dengan
sangat gamblang. Ia letakkan jemarinya di atas keyboard dan ia balas surel si redaktur cerewet
itu: “Tunggu satu jam lagi.”
Ia buka program tulis dan mengetik sebuah judul: Laki-laki Pembawa Karung. Sesaat Budi
berpikir. Sejurus kemudian ia hapus ‘Pembawa Karung’ dan ia ganti dengan ‘Pemanggul Goni’
agar lebih dramatis. Setiap kali akan sembahyang, sebelum sempat menggelar sajadah untuk
sembahyang... dan mengalirlah cerita itu. Muncul tokoh Karmain yang tinggal di sebuah
apartemen lantai sembilan. Kemudian hadir laki-laki pemanggul goni yang selalu menembakkan
matanya ke arah mata Karmain setiap kali Karmain melongok dari jendela. Kemudian suara
menyayat hati dari semak-semak yang diterpa angin. Kemudian sebuah flashback; muncul tokoh,
Ahmadi, Koiri, Abdul Gani, dan tentu, Ayah dan ibu Karmain.

Karmain tertidur, dan ketika terbangun, waktu sembahyang fajar sudah tiba. Dan setelah
karmain membersihkan tubuh, siap untuk sembahyang, korden jendela menyingkap lagi. Laki-
laki pemanggul goni berdiri di tengah jalan ... kalimat demi kalimat mengalir deras tanpa bisa
dibendung, dan tibalah Budi menutup ceritanya. Di akhir cerita, ia menuduh lelaki pemanggul
goni telah melakukan kejahatan dengan melempari kampung Burikan dengan bola-bola api yang
menyebabkan kampung itu hangus ludes. Sementara itu, alur cerita yang sempat ia belokkan
pada fragmen kelalaian Karmain yang meninggalkan lilin masih menyala ketika hendak
membunyikan bedug di surau, ia anulir dengan menghadirkan kesaksian warga. Lalu, kata
beberapa saksi pula, laki-laki pemanggul goni masuk ke rumah Karmain, kemudian bergegas-
gegas ke luar, dan melempari bola-bola api ke rumah Karmain.

Jarum jam di dinding tepat di atas angka sebelas. Tanpa mengedit, Budi kirimkan file cerpen itu
ke redaktur cerewet yang sudah dua hari mengganggu kesendiriannya. Di sana diselipkan
kalimat: “Jangan diedit sedikit pun!”

Ia minum tehnya sampai habis. Budi menarik napas panjang dan mencoba membaca lagi
cerpennya. Itulah mungkin apa yang dinamakan bawah sadar. Dalam cerpennya, ia menulis
Lelaki Pemanggul Goni seolah-olah sebagai sumber kejahatan, kerusakan dan mala petaka.
Lelaki pemanggul karung, atau goni, atau apalah itu, telah menyisakan dendam di hati Budi.
Luka di punggung bapaknya masih menyala seperti dendam di hatinya yang kian membara.
Tiba-tiba listrik mati.

Budi gelagapan mencari lilin dan mengumpat ‘Sialan!’ beberapa kali. Laci mejanya ia tarik dan
di sana ia temukan beberapa batang lilin. Tetapi di kamarnya tak ada korek api. Ia bukan perokok
seperti kebanyakan penulis lainnya. Ia nyalakan senter hp dan berjalan menuju dapur dan
membakar sumbu lilin. Angin di luar rumah menggesek ilalang yang jika sedang dalam suasana
yang tak mendukung, menimbulkan suara mirip orang menjerit. Tentu, itu adalah suasana yang
tidak mengenakkan bagi Budi. Mati listrik dan ditambah malam yang sudah larut menambah
kejengkelannya yang sedang sendirian di rumah.

Ia merasakan bulu-bulu di kuduknya di tarik ke atas. Budi bergegas kembali ke kamarnya. Ia


menangkap dari arah jendela, sekelebat sosok manusia. Itu bukan manusia, mungkin dahan
pohon yang tertiup angin, Budi mencoba menghibur diri. Mungkin juga kucing atau sejenisnya,
kurang ajar! umpatnya dalam hati. Umpatan itu lebih tepat karena ia lupa membawa piring atau
sejenisnya untuk alas lilin. Karena malas kembali ke dapur, ia letakkan lilin itu di meja
komputer. Ia miringkan lilin, meneteskannya ke atas meja dan menegakkan lilin tersebut di
atasnya.

“Lantas apa?” tanya Budi.

Untuk mengusir sepi, ia nyalakan musik dari hpnya. Tapi sial bukan kepalang. Baterai hpnya
tinggal tiga persen dan paling tidak beberapa menit lagi sudah tewas. Ia matikan musiknya dan ia
lemparkan hp itu ke kasur. Ia ambil lagi hpnya dan ia nyalakan musiknya sampai baterainya
ludes. Mati saja kau, kata Budi kesal. Angin semakin membawa dingin. Budi segera menutup
daun jendelanya rapat-rapat. Saat melongok ingin meraih daun jendela sebelah kiri, ia melihat
sesosok bayangan berdiri sekitar dua puluh meter dari dirinya. Bayangan itu sangat jelas.
Temaram bulan cukup untuk membuat sebuah benda jadi tampak lekuknya.

Budi terperanjat hampir tersungkur dari jendela. Tapi dengan sigap ia dapat mengendalikan
dirinya. Setalah menutup jendela, ia bergegas pergi ke kasur dan menutup seluruh tubuhnya
dengan selimut. Ia bukan siapa-siapa, ia bukan siapa-siapa, Budi meracau tak karuan. Ia
kembali menghibur diri dengan mengatakan dalam hati bahwa ini zaman modern. Tak mungkin
ada hantu dan tak mungkin ada lelaki pemanggul goni di kota besar seperti ini. Budi berusaha
untuk tidur dan setelah beberapa menit, ia benar-benar tertidur pulas. Lilin di meja komputer
masih menyala, tinggal separo.

Keesokan harinya kota itu gempar. Sebuah rumah terbakar hebat semalam dan hanya tersisa
puing-puing. Di antara puing-puing itu polisi menemukan mayat terbungkus karung goni yang
masih utuh. Menurut penuturan petugas ronda, sebelum kebakaran terjadi, ada seorang lelaki
yang memanggul goni memasuki rumah itu dan keluar tanpa membawa apa-apa. Sekitar
seperempat jam setelahnya, api mulai muncul dari rumah tersebut.

Koran ibu kota memuat headline tentang seorang penulis besar yang meninggal terbungkus goni
di rumahnya yang terbakar, sekaligus memuat cerpen terakhir sang penulis: Laki-laki Pemanggul
Goni. Si redaktur cengar-cengir karena di hari itu dan barangkali untuk beberapa pekan
berikutnya, rubrik sastra di korannya jadi buah bibir orang seantero negeri. [*]

*terinspirasi dari cerpen Budi Darma, Laki-Laki Pemanggul Goni.

M.S. Arifin, mahasiswa Al-Azhar. Menulis puisi dan gandrung filsafat. Bisa dihubungin lewat
email ms.arifin12@gmail.com.
Data diri:
Nama: Muhammad Samsul Arifin
Alamat: Wringinjajar Karang Panas Demak Jawa Tengah
Akun media sosial: M.s. Arifin
No. Rek: (saya tinggal di Kairo dan sedang belajar di Al-Azhar, no rek fleksibel)

Anda mungkin juga menyukai