Anda di halaman 1dari 4

Syahwat Malaikat

Cerpen M.S. Arifin

Satu jam sebelum korban saya dieksekusi, ia tengah duduk gemetar di sebuah ruangan sel busuk, di
sebuah pulau kecil tempat para raja jin berkumpul. Tangannya mengepal, jari-jemarinya saling peluk.
Saya yakin ia tengah memikirkan sesuatu di luar pemikiran saya tentangnya. Bibirnya komat-kamit
entah merapal apa. Barangkali doa, tapi, ah, doa bukan cara mujarab untuk mencairkan ketegangan.
Lagi pula, doa tidak bisa membuat ajalnya datang lebih lama dari jadwal.

Di depan korban saya, ada ayam bakar dan nasi panas. Menu spesial itu ia pesan kepada penjaga sel.
Kata penjaga sel, untuk menu terakhir, ia bebas meminta apa pun. Saya rasa korban saya tak sengaja
meyebutkan ayam bakar dan nasi panas. Ia menyebutkan itu boleh jadi lebih karena kenangan masa
lalunya. Tapi entahlah. Orang yang sebentar lagi akan mati, masihkah sempat bernostalgia?

Ia terperangah mendengar suara bedil diledakkan di tempat tak jauh dari ia berada. Itu memang suara
bedil, Nona. Saya mencoba memberi pengertian kepadanya. Ia semakin tak keruan. Keringat
ketegangan kini membanjiri dahinya, satu dua butir jatuh ke pakaiannya yang lusuh dan berdebu.
Tangannya gemetaran, kakinya juga tak kalah gemetar. Kematian yang direncana ternyata lebih
menyakitkan dari kematian yang tak sengaja.

Sesekali ia duduk, sesekali ia berdiri. Tapi prosentasi duduk lebih banyak daripada berdiri. Selain saya
yakin duduk adalah cara untuk mengatasi ketegangan, duduk juga mungkin tak membuat dirinya jadi
gila. Ia telah berdiri lebih dari dua hari semalam. Dalam kendaraan entah apa, ia hanya disuruh
berdiri. Sementara ketika suara mesin—ia menganggap itu adalah suara mesin truk bobrok—
menderu-deru, matanya ditutup dengan kain tebal. Dalam kendaraan itu, ia tak sendirian. Terakhir kali
matanya masih terbuka, ia memperkirakan ada sembilan orang yang bersama dirinya; tiga perempuan
dan enam laki-laki. Semuanya paruh baya, termasuk dirinya.

Dipaksa berdiri selama itu membuat urat kakinya hampir putus. Tapi berdiri memang sebuah pilihan;
tentu sebab ia tahu tak patuh dengan perintah sama dengan mati diberondong bedil. Mendengar suara
bedil barusan, korban saya jadi berpikir: jika sama-sama mati, lebih baik aku mati sedari kemaren.
Hei, mati nanti bukan sama dengan mati kemaren. Saya menyahut suara pikirannya. Ia masih duduk,
kali ini sembari erat memegang kepalanya. Ia berusaha menyumpal telinganya agar tak lagi
mendengar suara bedil.

Dua hari yang lalu, korban saya masih bisa merasakan duduk manis di meja makan sambil melempar
senyum kepada suaminya dan kedua anak laki-lakinya yang tengah beranjak dewasa. Ia tak
menyangka jika itulah kali terakhir ia duduk manis; juga sekaligus kali terakhir ia bertemu suami dan
anak-anaknya. Pasalnya, tiga jam setelah itu, dua pleton serdadu memasuki kampungnya yang tenang
dan membawa mala yang begitu menggila: menyiduk mereka yang dianggap anggota atau partisipan
partai komunis.

Ia bahkan tak tahu apa itu komunis. Apalagi menjadi seorang partisipan. Apalagi menjadi seorang
anggota. Keluarganya juga tak jelas tahu apa itu komunis. Satu alasan yang membuat ia dan
keluarganya diciduk adalah sebuah poster almanak yang ia terima dari tetangganya bergambarkan
seorang pemuda tengah berpidato di atas mimbat di depan khalayak ramai. Ia baru tahu, lelaki di
poster almanak itu adalah pemimpin Partai Komunis Indonesia: D.N. Aidit.
Malam itu, tiga jam selepas korban saya dan keluarganya duduk manis di depan meja makan sambil
saling membagi senyum, tiga orang serdadu memasuki rumahnya dan seolah sedang mencari-cari
sesuatu. Ia dan keluarganya gelagapan dan dirundung banyak tanya. Lantas tanpa banyak berkata,
setelah melihat almanak yang tergopoh di dinding ruang tamu, salah satu dari tiga serdadu itu
memberi isyarat untuk menggelandang satu keluarga itu. Korban saya digelandang ke sebuah truk
bobrok sambil ditutup matanya, sementara suaminya dan kedua anaknya tak jelas rimbanya. Dalam
truk itu, ia dipaksa untuk berdiri.

Di dalam truk bobrok itu, airmatanya menggenang dan membuat kain penutupnya menjadi basah.
Korban saya benar-benar dirundung perasaan entah. Ia tak menyangka akan begini jalan hidupnya. Ia
tak menahu apa itu komunis. Ia tak diberi sepatah kata pun untuk menjelaskan. Dalam truk itu, satu
sengguk suara tangis sama dengan dua pukulan gagang bedil. Malam itu, truk menyusuri hutan yang
sangat gelap, membelah malam dan memecah kesunyian dengan suara malas mesin tua.

Satu hari setelah penyidukan, truk bobrok itu berhenti agak lama di sebuah entah. Korban saya tak
tahu tempat itu berada di mana. Tapi saya tahu, tempat itu adalah sebuah markas besar tentara
Nasional. Di sana, semua orang yang dianggap anggota atau sekedar partisipan partai komunis
dikumpulkan dan dipaksa mengaku. Satu persatu dari mereka, dengan mata tertutup, digiring ke
sebuah ruangan pengap. Satu persatu dari mereka ditanyai dan disuruh mengaku. Korban saya, dan
tentu banyak juga dari mereka, tak mau dan memang tak seharusnya mengaku menjadi anggota partai
itu. Namun kali ini tak ada pilihan selain mengaku, atau mati.

“Sudah berapa lama kamu jadi budak di partai laknat itu?” Seorang lelaki muda menanyainya. Lelaki
itu benar-benar masih muda, mungkin baru 25 tahun, tapi matanya menembakkan kebengisan.

“Saya bukan anggota partai. Saya tak tahu apa-apa.”

“Beginikah mental anggota partai itu? Tak berani mengaku dengan gagah?”

“Beginikah kelakuan tentara yang seharusnya melindungi rakyat?”

Dan inilah balasan jika ia membangkang dan sok bijak: ia diperkosa empat orang tentara kemudian
disekap di dalam ruangan pesing yang gelap. Ia berada di rungan itu selama tiga jam, sebelum
digiring lagi ke truk semula. Di sanalah, ketika ia digiring ke luar ruangan, sebelum matanya ditutup,
ia melihat kematian begitu dekat. Puluhan mayat digantung di lapangan upacara, disaksikan begitu
banyak orang dan ditertawakan. Hatinya begitu perih, hatinya seperti diiris belati.

Dalam truk, ia teringat suami dan anak-anaknya. Kain penutup matanya basah lagi.

Ia dan sembilan korban lainnya diangkut truk menuju entah kemana. Tentu saya tahu, truk itu menuju
ke sebuah pantai. Di sana, para korban dimuntahkan ke sebuah perahu kecil untuk kemudian
dilayarkan ke pulau seberang. Sebuah pulau yang tak terlalu luas. Pantainya dilindungi oleh tebing-
tebing curam. Benar-benar sebuah pulang yang ideal untuk memenjarakan bajingan. Di pulau itu, ajal
ditentukan jadwalnya. Korban saya tentu harus tahu, sebentar lagi, nyawanya mesti saya cabut.

Ayam bakar dan nasi sudah mendingin. Bau sedap yang tadinya menguar dari asap tipis ayam itu, kini
mulai menghilang. Bau pesing yang menghuni pojok ruangan itu kembali menguasai. Kencing yang
ditimbun dengan kencing selama entah berapa ribu kali sungguh membuat bau itu seolah abadi di
sana. Tapi korban saya tak menggubris apa pun soal bau ayam maupun bau pesing. Yang ia cium kali
ini adalah aroma kematian, dan bedil yang melesatkan peluru di kejauhan sana seolah tiba-tiba
ditodongkan ke arah kepalanya yang ringkih dan ia bisa mencium bau mesiu yang tajam sebelum
sebuah peluru akhirnya bersarang di otaknya. Membayangkan itu, korban saya menggigil dan
memeluk lututnya. Airmatanya sudah habis. Suaranya tinggal frekuensi jelek radio bobrok yang
sebentar-sebentar timbul-tenggelam di hempas angin.

Saya berusaha masuk ke pikiran terdalamnya, menyibak apa yang tengah menghuni ingatannya. Saya
menemukan wajah seorang pria empat puluh lima tahunan dan dua wajah lelaki yang sedang tumbuh-
tumbuhnya. Itu adalah wajah suami yang menikahinya dua puluh tahun lalu. Itu adalah wajah kedua
anaknya yang masing-masing berumur tiga belas dan tujuh tahun. Korban saya teringat malam
terakhir itu, di saat mereka makan malam dan membincangkan banyak hal. Ia menyusuri kembali tiap
sudut ruangan tempat mereka makan. Senyum suaminya yang merekah saat bercanda, binar mata
kedua anaknya saat berkisah tentang kegiatan hari itu, kemudian kursi tempat mereka duduk,
kemudian meja, kemudian warna sepia dinding rumah yang terbuat dari papan, kemudian almanak
sialan yang menampakkan wajah seorang pemuda tanpa jenggot itu.

Dan almanak biadab itu membawanya ke suatu hari beberapa bulan yang lalu.

Saat itu siang terik. Ia sedang duduk di depan rumahnya ketika seorang tetangga yang bajunya
berbalur lumpur berjalan ke arahnya.

“Habis panen, pak?” Ia bertanya.

“Iya, tapi gabahnya masih saya tinggal di sawah.”

“Dari sawah kok bawa kertas-kertas segede itu?”

“Ini tadi ada petugas desa yang membagi-bagikannya. Saya dititipi beberapa lembar untuk warga
kampung kita. Ini ambil satu.” Seorang tetangga yang bajunya berbalur lumpur itu menyodorkan
kertas besar kepada korban saya dan langsung disambut uluran tangan.

“Apa ini, pak?” tanya korban saya sambil menaikkan alisnya.

“Tanggalan. Lumayan, kan, dapat gratisan.”

Dan korban saya tak menyangka itulah awal semula dari apa yang ia alami sekarang. Almanak itu
telah membawanya ke ruangan busuk di sebuah pulang antah berantah. Ditambah lagi ia tak tahu
bagaimana nasib suami beserta kedua anaknya kini. Tersisa doa yang terus ia rapalkan untuk
keselamatan mereka, juga keselamatannya sendiri yang mulai ia ragukan. Doa yang barangkali sia-sia.

Tiba-tiba pintu sel dibuka dengan kasar. Dua orang berseragam tentara masuk kemudian berdiri tak
jauh dari korban saya yang duduk menekuk lutut. Satu dari mereka menyakui pergelangan tangannya
yang kanan dan tangan kirinya memegang rokok yang diisapnya dalam-dalam. Dengan isyarat mata
yang ia kirimkan ke kawannya yang bercodet, ia melepaskan rokok itu ke tanah kemudian
menginjaknya dengan sepatu lars.

Tanpa banyak bicara, lelaki yang baru saja menginjak rokoknya itu melepaskan sabuknya dan
membuka celananya. Kawannya yang memiliki codet di wajahnya menghampiri korban saya dan
menarik tangannya dengan kasar dan membuat wajahnya tersungkur ke tanah. Korban saya menjerit
sekeras yang ia mampu tapi suaranya hanya merambat di dinding ruangan itu dan memekakkan
telinganya sendiri. Kedua tangannya dipegang erat dan rok lusuh yang ia kenakan disingkap ke atas.
Ia meronta-ronta tapi tak cukup punya tenaga, hanya kejut lemah yang tak berarti apa-apa buat tangan
kekar yang mengunci tangannya. Dan, ah, apa perlu saya gambarkan bagaimana dengan biadabnya
mereka memperkosa korban saya itu sampai hampir sekarat? Saya rasa tidak perlu. Saya rasa saya
juga keterlaluan lantaran tak mencabut nyawanya dengan segera sebelum dua orang tentara itu
merontokkan harga diri korban saya. Saya jadi merasa iba. Saya jadi merasa malu.

Korban saya meringkuk di pojokan ruangan yang pesing ketika pintu ruangan itu ditutup kembali
dengan kasar. Kesunyian kembali menyergapnya. Tangannya mengepal tapi ia tak tahu kepada siapa
atau kepada apa mesti ia layangkan pukulan. Selangkangannya terasa perih, tapi itu tak seberapa
dibanding perih yang dilembingkan tepat di jantung hatinya. Ia ingin sekali berjumpa dengan
keluarganya. Kalau tidak di dunia, di alam nanti tak apa. Ia mulai mencari-cari di seisi ruangan.
Matanya menelusuri tiap sudut, berharap ada sesuatu entah apa yang bisa membantunya mengakhiri
hidup sesegera mungkin. Tapi yang ia dapati hanya piring plastik yang menampung nasi dan ayam
bakar. Tak ada benda tajam yang bisa menewaskan dirinya dengan cepat.

Saya tahu, korban saya seperempat jam lagi akan digelandang menuju tempat eksekusi. Itu tak lama
lagi, Nona. Saya membisikinya. Tapi rasa kasihan kini menghuni pikiran saya. Tak banyak yang bisa
saya perbuat. Saya hanya melaksanakan tugas, tidak ada bedanya dengan tentara-tentara yang
menghabisi nyawa orang-orang itu. Mereka juga menerima tugas dari atasannya. Atasannya menerima
tugas dari atasannya lagi, sampai ke atasan yang tak punya atasan. Saya hanya bertugas mencabut
nyawa di tahun sekian, bulan sekian, tanggal sekian, jam sekian, menit sekian, dan detik sekian. Bagi
saya tugas tetaplah tugas. Saya tak mungkin melenceng dari perintah. Namun melihat mata korban
saya ini, yang menorotkan penderitaan, rasa dendam, dan juga kerinduan, membikin saya luruh. Saya
mulai berpikir ulang untuk membunuhnya.

Korban saya meraih ayam bakar di piring itu tapi tidak untuk ia sumpalkan ke mulutnya. Ia
membuang dagingnya dan mengambil tulangnya. Tulang itu tulang kaki dan tinggal digesek-gesekkan
ke tembok yang kasar akan berubah jadi alat yang cukup tajam, setidaknya untuk merobek nadi
tangannya sendiri, atau mengoyak lehernya sendiri. Saya tambah iba melihatnya ingin bunuh diri.
Saya tahu ia tidak ditakdirkan mati bunuh diri. Saya tahu itu.

Pintu ruangan itu kembali dibuka. Kali ini tiga tentara bersenjata yang datang. Dua orang masuk
ruangan dan menggelandang korban saya ke tempat eksekusi. Korban saya sudah tak punya cukup
tenaga untuk meronta. Tapi di tangan kanannya, tulang ayam bakar itu sudah lancip. Dan di saat yang
benar-benar tepat, ia tusukkan tulang itu ke mata salah satu tentara yang menggelandangnya dan
seketika membuatnya mengejan dan mengaduh dan mengumpatkan kata-kata kasar. Korban saya
lepas dari genggaman mereka dan lari tunggang langgang menerabas rerimbunan semak-semak. Tiga
tentara itu mengejarnya. Teriakan menggema dari mulut mereka dan peluru berhamburan dari senjata
mereka. Desingnya menguar memecah kesunyian.

Korban saya berjarak lima puluh meter dari tiga tentara itu. Jarak itu masih terlalu mudah untuk
dijangkau laras panjang. Korban saya berlari kesetanan, tak peduli apa yang diinjaknya, apa yang
disibaknya, dan apa yang dilewatinya. Hingga sebuah peluru tepat menuju ke arah kepalanya dengan
amat cepat. Empat puluh meter ke arahnya, tiga puluh meter, dua puluh meter, sepuluh meter, lima
meter, dan satu meter dan kemudian suasana senyap seketika.

Korban saya sudah berada di sebuah tempat bersama keluarganya yang sedang menunggu giliran
untuk dieksekusi. **

Anda mungkin juga menyukai