Anda di halaman 1dari 5

Kursi Roda: M.S.

Arifin

Kursi Roda
Oleh M.S. Arifin

DAN kurasa waktu telah mandek di kursi roda ini. Tak berjalan. Aku tak tahu kenapa ada waktu
yang mandek hanya karena seorang lelaki buntung yang membiarkan tubuhnya disangga dan
ditampung oleh kursi roda tanpa bisa berbuat apa-apa...

*
Melihat seorang perempuan tua meminta-minta di pertigaan jalan adalah hal yang wajar. Tapi hal
itu menjadi tak wajar bagiku terlebih jika perempuan tua itu adalah ibuku. Setelah kecelakaan
yang merenggut kaki ibuku dan menewaskan ayahku, aku tidak punya lagi ruang untuk
menikmati hidup. Pemasukan untuk keluarga kontan berhenti. Dan aku harus merelakan diri ikut
membanting-tulang menghidupi tiga adikku yang masih di bangku sekolah.
Ibuku sakit, kakinya buntung. Selama lebih dari setengah tahun dia hanya bisa berbaring di
tempat tidur dan dilayani. Setiap mau kencing atau berak, dia harus dipapah ke kamar mandi,
dibukakan pakaiannya, ditunggui, dan bahkan sampai dicebokin. Demikian itu masih wajar.
Kadang, waktu aku tidak di rumah, dan adik-adikku pergi sekolah, kami biasa menemukan tinja
di sisi pembaringannya. Tinja itu kadang belepotan di seprai. Kami kewalahan mengurus ibu.
Lama-lama, kami, terlebih aku sebagai si sulung, lelah.
Setengah tahun itu memang sudah berlalu. Ibuku memang tak dilayani lagi dalam segala hal.
Dia kini bisa ke kamar mandi menggunakan penyangga badan yang aku buatkan dari kayu pohon
melandingan yang membentuk huruf Y. Tapi tetap saja, ibuku adalah makhluk yang merepotkan.
Ia sudah tua, dan sering lupa-lupa.
Suatu ketika, waktu aku pulang dari kerja bangunan dan lembur sampai larut malam, ibuku
tak kudapati di tempat tidurnya. Ketiga adikku saling rangkul-merangkul dan menangis di kursi
ruang tamu. “Ibu hilang, kak,” kata adik pertamaku. Pikiranku kalang-kabut. Bagaimana seorang
perempuan tua yang buntung bisa hilang dari rumah di tengah-tengah malam. Aku tak lantas
mencarinya. Badanku rasanya seperti digebukin karena capai yang luar biasa. Tapi, malam itu,
aku tidak bisa tidur semalaman.

1
Kursi Roda: M.S. Arifin

Pagi harinya, ibuku diantarkan oleh seorang perempuan setengah baya dengan menggunakan
motor bubut. Katanya, ia menemukan ibuku tersesat waktu mencari pepaya di kampung seberang
dan lupa jalan pulang. Selamalan, ibuku ditampung oleh perempuan itu.

*
Suatu hari, ibuku mendekatiku dan mengatakan ingin dibelikan kursi roda. Aku berkerut-dahi.
Bisa-bisanya ibuku tak berpikir bahwa untuk biaya kebutuhan sehari-hari saja, keluarga kami
bagai lelaki tua kena asma. Tapi dia tetap bersikeras. Dia menawarkan sesuatu di balik kursi-
roda: dia akan mengemis di pertigaan jalan menuju kota menggunakan kursi roda dan itu artinya
dia bisa membantu pemasukan keluarga.
Aku berpikir keras. Penawaran ibuku cukup bertendensi dan masuk akal. Tapi, hatiku rasanya
menjerit jika aku benar-benar tega membiarkan perempuan tua itu menadahkan tangan di
pertigaan jalan menuju kota. Selain karena harga diri keluarga, aku juga tak sedurhaka itu.
Tapi akhirnya aku kalah dengan keadaan. Keluargaku butuh pemasukan selain dari aku yang
hanya bekerja serabutan. Tawaran ibuku, atau lebih tepatnya, kepasrahan ibuku untuk ikut
berkerja aku iya-kan. Kubelikan dia kursi roda bekas hasil dari kerjaku selama lima hari lima
malam di sebuah proyek jalan raya Pantura.
Setiap pagi, kuantarkan ibuku ke pertigaan jalan itu. Meski menadah malu dari gunjingan
orang-orang, akhirnya aku kebal juga dari apa yang dikatakan mereka. Ada sebagian dari mereka
yang mengatakan bahwa aku tidak punya rasa malu membiarkan ibunya mengemis. Ada pula
yang berbisik-bisik di seberang jalan: “Anak kok tidak tahu balas budi. Ibunya sendiri disuruh
mengemis.” Aku mencoba untuk tidak mendengarkan kata mereka. Kusumpal rapat-rapat
telingaku.
Sungguh tak dinyana. Setiap hari, ibuku bisa mengantongi uang lima puluh ribu. Dan
nominal itu bahkan pernah mencapai seratus ribu (lebih besar dari gajiku sehari semalam). Aku
menduga-duga bahwa orang-orang kemungkinan iba melihat ibuku yang buntung itu, yang hanya
bisa terduduk di kursi roda itu, menadahkan tangan dengan memasang wajah memelas.

*
Pengemis butuh taktik untuk mendapatkan uang lebih. Ya, dan aku menemukan taktik itu.
Sebelumnya, aku tak terlalu memperhatikan pakaian ibuku waktu mengemis. Dia bahkan bisa

2
Kursi Roda: M.S. Arifin

dikatakan terkesan bukan pengemis dengan pakaian agak bagus: gamis warna biru yang dia beli
waktu lebaran.
Maka aku mendandaninya sedemikian rupa, laiknya pengemis profesional ibu kota.
Pakaiannya aku buat robek-robek; aku oleskan sedikit tahi ayam di bagian sana-sini; aku laburi
sekujur tubuhnya dengan sesuatu yang bisa mendatangkan lalat-lalat. Kala aku dandani ibuku,
dia tak menolak. Bahkan, dia sebegitu antusias. Kulihat matanya berbinar-binar, persis seperti
yang dulu pernah aku lihat ketika dia menyambut ayahku pulang dari kerja. Aku tak dapat
menduga apa-apa selain bahwa ibuku bahagia menjadi pengemis.
Aku mundur sejenak untuk memastikan penampilan ibuku telah sesuai keinginanku. Sejurus
kemudian, ibuku tersenyum indah bak pengantin yang didandani penata-rias. Mungkin, beginilah
raut ibuku waktu dipersunting ayahku. Mungkin.

*
Taktikku berhasil. Hari pertama paska berdandan a la pengemis malang, ibuku pulang membawa
dua ratus ribu. Praktis aku terkejut. Digenggamnya uang itu erat-erat dan disodorkan kepadaku
dengan mata berkaca-kaca. Tangisnya tumpah sewaktu itu. Aku memeluk tubuhnya yang bau
tahi ayam dengan sedikit erat (tapi aku tak ikut menangis).
Dengan penghasilan sebesar itu, aku berpikir bahwa aku tidak perlu lagi bekerja serabutan.
Aku cukup mendandani ibuku tiap hari, mengantarnya ke pertigaan di pagi hari, dan
menjemputnya di sore hari. Ketiga adikku bisa terus sekolah dan uang jajan mereka terpenuhi.
Diam-diam, aku bahagia memiliki ibu seorang pengemis.
Setiap hari, penghasilan ibuku terus bertambah. Aku semakin membabi-buta, kudandani dia
seperti orang yang agak sedikit gila. Kuajari dia agar berperilaku agak sinting. Mula-mula, aku
suruh dia untuk memiringkan kepalanya dan mengejut-ngejutkan tangan kirinya seperti orang
ayan. Dan ibuku, tetap dengan binar yang sama, menuruti apa yang aku perintahkan.
“Ibu seperti apa jika kamu dandani seperti ini?” tanyanya dengan tersenyum tipis.
“Seperti artis sinetron, buk. Yang jadi orang gila itu lho...”
Dan kemudian ibuku tertawa kecil. Mungkin, ada kegetiran yang dia telan bulat-bulat
bersama ludah. Tapi mungkin juga, ibuku justeru memamah kebahagiaan di mulutnya. Mungkin.

3
Kursi Roda: M.S. Arifin

Lantaran penghasilan ibuku yang sedemikian melimpah, kini aku bisa menikmati apa-apa yang
terenggut dariku selama ini. Dulu, waktu ayahku masih hidup, aku sering menamatkan malam
minggu di sebuah bar atau diskotik bersama teman-temanku. Tapi setelah ayahku meninggal dan
ibuku kakinya buntung, aku—atau keluargaku, tak punya lagi banyak harta untuk berfoya-foya.
Kehidupan keluargaku berubah dengan cepat. Kami menjadi sedemikian miskin dan payah.
Tapi, aku rasa hal itu tidak berlaku lagi. Kemiskinan keluargaku terbantu dengan penghasilan
ibuku yang melimpah setiap harinya. Kini, aku bisa lagi menamatkan malam minggu dengan
berkunjung ke diskotik atau bar, dan tentu, sesekali meniduri pelacur jalanan. Kurasa, aku tak
begitu iblis jika berlaku demikian.
Suatu malam, mungkin malam minggu, mungkin malam jum’at (ingatanku tak begitu kuat
setelah candu obat-obatan dan minuman keras), aku pergi ke diskotik dengan uang hasil
mengemis ibuku selama dua hari. Waktu aku keluar rumah, ibuku bertanya kamu mau pergi ke
mana. Dan aku menjawab bahwa kau mau pergi ke rumah temanku yang tengah sakit.
Semalaman aku mabuk. Lima botol miras aku tenggak dan tandas di lambungku. Aku pulang
hampir subuh. Keluar dari diskotik, jalanku sempoyangan. Dengan dibonceng temanku yang
juga mabuk, aku pulang ke rumah.
Tapi nahas. Di tengah jalan, dengan mata berkunang-kunang dan seperti ada ribuan bintang
yang berputar-putar di atas kepalaku, aku sempat melihat sebuah truk melaju dengan kencang
menubruk motor kami. Temanku yang mabuk itu terpelanting ke kanan jalan. Sementara aku,
dengan setengah sadar, kulihat kakiku terlindas ban truk hingga hampir putus. Setelah itu, aku
tak ingat apa-apa. Mungkin, aku mati. Mungkin.

*
Aku tak mati. Memang, aku masih hidup dengan kaki yang buntung. Setengah tahun aku
terbaring di tempat tidurku. Setengah tahun itu pulalah aku dirawat oleh ibuku. Dia begitu sabar
mencebokiku waktu aku buang tinja. Dan dia tak pernah sekalipun mengeluh ketika melihat tinja
yang belepotan di seprai.
Setelah sembuh, aku dibelikan kursi roda oleh ibuku. Kursi roda yang baru. Dia
mengumpulkan uang mengemis selama hampir sebulan, menyisihkannya sedikit demi sedikit.
Aku tak berani menduga bahwa ibuku ingin aku mengikuti jejaknya.

4
Kursi Roda: M.S. Arifin

*
Dan pagi ini, waktu benar-benar mandek di kursi rodaku. Di teras rumah, aku menyaksikan
ibuku berjalan di atas kursi rodanya seperti hendak mengejar matahari. Ditangkup silaunya,
punggung ibuku seolah-olah keluar sayap putih yang indah. Aku bergegas menyusulnya. Aku
kejar tubuhnya yang hampir hilang di sebuah tikungan.
“Aku ingin ikut mengemis bersamamu, buk,” teriakku.
Ibuku memutar lehernya ke belakang. Bibirnya tersenyum. Matanya berbinar-binar. Mata
yang selama ini tak pernah lelah dia lemparkan ke arahku.
“Ibu membelikanmu kursi roda bukan untuk mengemis. Biar ibu saja yang mengemis. Suatu
saat, jadilah orang yang tangannya selalu di atas.”
Ibuku menghilang ditelan tikungan. Dadaku seperti mau remuk. Aku tak bisa membendung
airmata ini... (*)

M.S. Arifin, kuliah di Al-Azhar Kairo. Pecinta puisi dan pembaca filsafat. bisa dihubungi via e-
mail: m.s.arifin12@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai