Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berdasarkan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria (biasa juga disebut Undang-Undang Pokok Agraria, dan untuk
selanjutnya disebut UUPA) bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah
diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-
ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pemerintah telah menerbitkan Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah yang kemudian dicabut dan
diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
(untuk selanjutnya disebut PP 24/1997).

Dalam Pasal 1 angka 1 PP 24/1997 disebutkan bahwa pendaftaran tanah merupakan


rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan
dan teratur meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan
data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan
Lebih lanjut dalam Pasal 3 huruf a dan Pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa salah satu tujuan
dilaksanakan pendaftaran tanah adalah untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan
hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain
yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang
bersangkutan dan untuk itu kepada pemegang yang bersangkutan diberikan sertifikat hak atas
tanah.

Berdasarkan Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA dan Pasal 32 ayat (1) PP 24/1997 bahwa
sertifikat yang merupakan surat bukti hak atas tanah berlaku sebagai alat pembuktian yang
kuat. Oleh karena data dalam sertifikat mencakup data mengenai jenis haknya, subjeknya
maupun mengenai letak, batas, dan luasnya maka sertifikat memberikan jaminan kepastian
hukum terhadap data tersebut. Melihat bahwa sertifikat tanah sangat penting karena
merupakan tanda bukti hak hukum atas tanah yang dimiliki, maka penulis ingin memaparkan
proses mengenai sertifikasi ha katas tanah (tanah adat dan tanah negara).
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana proses sertifikasi hak atas tanah adat?


2. Bagaimana proses sertifikasi hak atas tanah negara?

C. Tujuan

1. Mengetahui proses sertifikasi hak atas tanah adat.


2. Mengetahui proses sertifikasi hak atas tanah negara.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Proses Sertifikasi Hak Atas Tanah Adat

Sudah menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia khususnya mereka yang ikut merasakan
zaman penjajahan, bahwa hak atas tanah yang mereka miliki sering kali tidak memiliki bukti
Sertifikat Tanah. Sedangkan dewasa ini Sertifikat Tanah merupakan hal mutlak yang harus
dimiliki oleh pemegang hak atas tanah. Bagaimanakah cara untuk mendapatkan sertifikat
tersebut, jika tanah yang dimiliki hanya berdasarkan kepemilikan menurut adat setempat?
Sebelum membahas lebih lanjut tentang tata cara pensertifikatan Tanah Adat, baiknya
kita pahami terlebih dahulu dasar hukumnya. Sertifikasi tanah sebenarnya merupakan bagian
dari bentuk “pendaftaran tanah” dari Rakyat oleh Negara. Dalam Pasal 19 ayat (2) Undang-
Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, pendafaran tanah meliputi:
 Pengukuran, perpepetan dan pembukuan tanah;
 Pendafataran hak-hak atas tanah dan peralihan hak tersebut;
 Pemberian surat-surat tanda bukti hak, sebagaimana alat pembuktian yang kuat.
Ketentuan yang lebih rinci terkait dengan pendaftaran tanah ini diatur dalam Peraturan
Pemerintah (PP) No.10 Tahun 1961 tentang Pendafataran Tanah. PP tersebut terakhir dirubah
dengan PP No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Dalam pasal 1 angka 1 PP tersebut
dijelaskan bahwa pendaftaran tanah adalah:

…rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus,


berkesinambungan dan teratur, melimputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan,
dan pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai
bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat bukti
haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan
rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

Dari definisi tersebut dalam diuraikan beberapa poin penting terkait pendaftaran tanah,
yakni:
 Adanya serangkaian kegiatan;
 Dilakukan Pemerintah;
 Terus menerus dan berkesinambungan;
 Teratur;
 Bidang tanah dan satuan rumah susun;
 Surat tanda bukti hak;
 Hak tertentu yang membebaninya.
Sertifikat Tanah sendiri menurut PP No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
didefiniskan sebagai tanda atau surat keterangan (pernyataan) tertulis atau tercetak dari orang
yang berwenang yang dapat digunakan sebagai bukti pemilikan atau suatu kejadian.
Sertifikasi Tanah Adat dalam Perspektif Hukum Agraria Selenjutnya, terkait dengan
“Tanah Adat” ada dua jenis tanah adat yang umumnya dimaksud oleh masyarakat yang belum
secara dalam memahami hukum:
 Tanah Girik yaitu tanah bekas milik hak adat yang belum didaftarkan menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan. Bukti kepemilikan hak atas tanah girik
umumnya berupa bukti penguasaan hak atas tanah dari Desa (SKT) atau bukti
pembayaran pajak atas tanah. Peralihan tanah girik ini umumnya dengan
pewarisan secara turun-temurun.
 Tanah ulayat yaitu tanah milik masyarakat ulayat hukum adat, yang bentuknya
seperti: tanah titian, tanah pengairan, tanah kas desa, tanah bengkok. Berbeda
dengan Tanah Girik, tanah jenis ini tidak bisa didaftarkan dan memperoleh
sertifikat begitu saja. Kalaupun ada caranya adalah dengan tukar guling. Berkaitan
dengan jenis Tanah Girik, mereka yang memiliki bukti penguasaan atas tanah
Girik tersebut dapat mendafaftarkan tanahnya tanpa melalui proses jual-beli
terlebih dahulu. Artinya secara otomatis apabila administrasi telah terpenuhi,
maka ia bisa mendapatkan sertifikat tanah. Adapun jika proses peralihan tanah
tersebut adalah dengan warisan makan berlaku ketentuan harus dibuatkan
keterangan hak waris dan prosedur waris seperti umumnya.
Adapun tata cara pendafataran tanah girik ini, untuk mendapatkan sertifikat tanah
adalah sebagai berikut:
 Surat Rekomendasi dari lurah/camat perihal tanah yang akan didaftarkan
 Membuat surat bebas sengketa dari RT/RW/Lurah
 Formulir Permohonan dari pemilik tanah untuk pembutan sertifikat (formulir ini
dapat diperoleh di BPN)
 Surat kuasa (apabila pengurusan dikuasakan kepada orang lain, misalnya Petugas
Pembuat Akta Tanah)
 Identitas pemilik tanah (pemohon) yang dilegalisasi oleh pejabat umum yang
berwenang (biasanya Notaris) dan/atau kuasanya, berupa fotokopi KTP dan Kartu
Keluarga, surat keterangan waris dan akta kelahiran (jika permohonan
penyertifikatan dilakukan oleh ahli waris)
 Bukti kepemilkan sah atas tanah (bisa berupa keterangan girik)
 Surat pernyataan telah memasang tanda batas tanah
 Fotokopi Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) dan Surat Tanda Terima
Sementara (STTS) tahun berjalan.
Perlu diketahui bahwa untuk melakukan pendaftaran tanah ini diselenggarakan oleh Badan
Petanahan Nasional (BPN) yang pelaksanaannya dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan
dengan dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan pejabat lain yang ditugaskan
untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu. Adapun menurut Pasal 9 ayat (1) PP No.24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang dapat menjadi objek pendaftaran tanah meliputi:
 Bidang-bidang tanah yang dipunyai hak milik, hak guna usah, hak pakai dan hak
guna bangunan.
 Tanah hak pengelolaan.
 Tanah wakaf.
 Hak milik atas satuan rumah susun.
 Hak tanggungan.
 Tanah negara.
Terkait dengan jangka waktu pengurusan sertifikat tanah, umumnya memerlukan waktu
sekitar 6 bulan jika memang tidak ada sengketa dan seluruh persyaratan lengkap. Sementara
itu, untuk biaya pengurusan biasanya tergantung luas tanah dan letak geografis tanah, semakin
luas dan semakin strategis letak tanah maka biaya pengurusan juga semakin mahal.
B. Proses Sertifikasi Hak Atas Tanah Negara

1. Hak Menguasai dari Negara

Sebelumnya akan diluruskan bahwa baik dalam Undang-Undang Dasar 1945


maupun Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (“UUPA”) tidak ada istilah tanah milik Negara, yang ada adalah tanah yang
dikuasai Negara. Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan: “Bumi, air
dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Selain itu, hak menguasai dari Negara ini
juga terdapat Pasal 2 UUPA sebagai berikut:

(1)Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan hal-hal sebagai
yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam
yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai
organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

(2)Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang
untuk:

a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan


pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;

b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan


bumi, air dan ruang angkasa;

c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan


perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

(3)Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2)
pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti
kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum
Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur.

(4)Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada
daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan
dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan
Peraturan Pemerintah.
2. Tentang Hak Milik

Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai
orang atas tanah dengan mengingat fungsi sosial.1 Yang dapat mempunyai hak milik
adalah:2

1. Warga Negara Indonesia;


2. Badan-badan Hukum yang ditunjuk oleh Peraturan Pemerintah.

3. Tata Cara Pemberian Hak Milik Atas Tanah Negara

Mengenai tata cara pemberian hak milik atas tanah Negara, secara umum diatur
dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nomor 9 Tahun 1999
tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak
Pengelolaan (Permen Argaria 9/1999). Pemberian dan pembatalan Hak Milik, Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan dilakukan oleh Menteri
Agraria dan Pertanahan/Kepala Badan Pertanahan Nasional (“Menteri”).3 Pemberian dan
pembatalan hak ini, Menteri dapat melimpahkan kewenangannya kepada Kepala Kantor
Wilayah, Kepala Kantor Pertanahan dan Pejabat yang ditunjuk.4 Lebih lanjut mengenai
pelimpahan kewenangan ini dapat dilihat dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan
Pemberian Hak Atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah.

Permohonan hak milik atas tanah negara diajukan secara tertulis. 5 Permohonan Hak
Milik diajukan kepada Menteri melalui Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya
meliputi letak tanah yang bersangkutan.6 Permohonan hak milik atas tanah negara
memuat:7

1 Pasal 20 ayat (1) UUPA


2 Pasal 21 UUPA
3 Pasal 3 ayat (1) Permen Argaria 9/1999
4 Pasal 3 ayat (2) Permen Argaria 9/1999
5 Pasal 9 ayat (1) Permen Argaria 9/1999
6 Pasal 11 Permen Argaria 9/1999
7
Pasal 9 ayat (2) Permen Argaria 9/1999
 Keterangan mengenai pemohon:

a. apabila perorangan: nama, umur, kewarganegaraan, tempat tinggal dan pekerjaannya


serta keterangan mengenai istri/suami dan anaknya yang masih menjadi
tanggungannya;

b. apabila badan hukum: nama, tempat kedudukan, akta atau peraturan pendiriannya,
tanggal dan nomor surat keputusan pengesahannya oleh pejabat yang berwenang,
tentang penunjukannya sebagai badan hukum yang dapat mempunyai Hak Milik
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 Keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yuridis dan data fisik:

a. dasar penguasaan atau alas haknya dapat berupa sertifikat, girik, surat kapling, surat-
surat bukti pelepasan hak dan pelunasan tanah dan rumah dan atau tanah yang telah
dibeli dari Pemerintah, putusan pengadilan, akta PPAT, akta pelepasan hak, dan
surat-surat bukti perolehan tanah lainnya;

b. letak, batas-batas dan luasnya (jika ada Surat Ukur atau Gambar Situasi sebutkan
tanggal dan nomornya);

c. jenis tanah (pertanian/non pertanian);

d. rencana penggunaan tanah;

e. status tanahnya (tanah hak atau tanah Negara);

 Lain-lain:

a. keterangan mengenai jumlah bidang, luas dan status tanah-tanah yang dimiliki oleh
pemohon, termasuk bidang tanah yang dimohon;

b. keterangan lain yang dianggap perlu.


4. Permohonan Hak Milik di atas dilampiri dengan:8
 Mengenai pemohon:

a. jika perorangan: foto copy surat bukti identitas, surat bukti kewarganegaraan
Republik Indonesia;

b. jika badan hukum: foto copy akta atau peraturan pendiriannya dan salinan surat
keputusan penunjukkannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

 Mengenai tanahnya:

a. data yuridis: sertifikat, girik, surat kapling, surat-surat bukti pelepasan hak dan
pelunasan tanah dan rumah dan atau tanah yang telah dibeli dari Pemerintah; akta
PPAT, akta pelepasan hak, putusan pengadilan, dan surat-surat bukti perolehan tanah
lainnya;

b. data fisik: surat ukur, gambar situasi dan IMB, apabila ada;

c. surat lain yang dianggap perlu.

 Surat pernyataan pemohon mengenai jumlah bidang, luas dan status tanah-tanah yang
telah dimiliki oleh pemohon termasuk bidang tanah yang dimohon.

Setelah semua berkas permohonan diterima, Kepala Kantor Pertanahan memeriksa dan
meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik permohonan hak milik serta memeriksa
kelayakan permohonan tersebut untuk dapat atau tidaknya diproses lebih lanjut sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.9 Apabila dalam hal tanah yang dimohon belum
ada surat ukurnya, Kepala Kantor Pertanahan memerintahkan kepada Kepala Seksi
Pengukuran dan Pendaftaran Tanah untuk melakukan pengukuran.10 Selanjutnya Kepala
Kantor Pertanahan memerintahkan kepada:11

 Kepala Seksi Hak Atas Tanah atau Petugas yang ditunjuk untuk memeriksa permohonan
hak terhadap tanah yang sudah terdaftar dan tanah yang data yuridis dan data fisiknya telah

8
Pasal 10 Permen Argaria 9/1999
9 Pasal 13 ayat (1) Permen Argaria 9/1999
10 Pasal 13 ayat (2) Permen Argaria 9/1999
11 Pasal 13 ayat (3) Permen Argaria 9/1999
cukup untuk mengambil keputusan yang dituangkan dalam Risalah Pemeriksaan Tanah
(konstatering rapport);
 Tim Penelitian Tanah untuk memeriksa permohonan hak terhadap tanah yang belum
terdaftar yang dituangkan dalam Berita Acara; atau
 Panitia Pemeriksa Tanah A untuk memeriksa permohonan hak selain yang diperiksa
sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, yang dituangkan dalam Risalah
Pemeriksaan Tanah.

Dalam hal keputusan pemberian hak milik kewenangannya telah dilimpahkan kepada
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, setelah mempertimbangkan pendapat Kepala
Seksi Hak Atas Tanah atau pejabat yang ditunjuk atau Tim Penelitian Tanah atau Panitia
Pemeriksa Tanah A, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota menerbitkan keputusan
pemberian hak milik atas tanah negara yang dimohon atau keputusan penolakan yang disertai
dengan alasan penolakannya.12

Keputusan pemberian hak milik atau keputusan penolakan disampaikan kepada


pemohon melalui surat tercatat atau dengan cara lain yang menjamin sampainya keputusan
tersebut kepada yang berhak.13 Perlu diketahui bahwa penerima hak atas tanah mempunyai
kewajiban antara lain:14

 membayar Bea Perolehan Hak Atas Tanah (BPHTB) dan uang pemasukan kepada Negara
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
 memelihara tanda-tanda batas;
 menggunakan tanah secara optimal;
 mencegah kerusakan-kerusakan dan hilangnya kesuburan tanah;
 menggunakan tanah sesuai kondisi lingkungan hidup;
 kewajiban yang tercantum dalam sertifikatnya.

12 Pasal 13 ayat (5) Permen Argaria 9/1999


13 Pasal 16 Permen Argaria 9/1999
14 Pasal 103 ayat (1) Permen Argaria 9/1999
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

 Pada zaman dulu, kepemilikan tanah pada beberapa daerah di Indonesia dikuasai oleh
masyarakat yang bermukim di daerah tersebut dan diwariskan secara turun-temurun.
Hingga saat ini pun, di beberapa daerah yang adat istiadatnya masih kuat, tanah adat ini
masih dipegang kuasanya oleh masyarakat setempat. Tanah dengan bentuk titian,
pengairan, kas desa, atau tanah bengkok ini tidak bisa disertifikatkan begitu saja, karena
harus melalui tukar guling atau pelepasan hak dari kepala adat. Tanah – tanah tersebut
lebih dikenal dengan sebutan tanah girik atau tanah bekas hak milik adat. Tanah girik
dapat ditingkatkan status kepemilikannya menjadi hak guna maupun hak milik.
Pembuatan sertifikat tanah adat dalam istilah hukum pertanahan dikenal dengan
pendaftaran tanah, yaitu kegiatan melegalkan kepemilikan tanah yang belum pernah
didaftarkan untuk pertama kali. Kegiatan ini ada dua jenis, pertama, pendaftaran tanah
secara sistematis, yang diprakarsai oleh pemerintah. Yang kedua, pendaftaran tanah
secara sporadis yang dilakukan mandiri/atas prakarsa pemilik tanah. Kedua kegiatan ini
tidak perlu didahului dengan proses jual beli. Sebelum membuat sertifikat tanah, sang
pemilik tanah girik ini harus mengurus Surat Keterangan Bebas Senggketa dan Surat
Keterangan Riwayat Tanah ke kelurahan tempat tanah tersebut berada. Ini dilakukan agar
ke depannya tidak terjadi permasalahan hukum. Jika hal ini sudah terpenuhi, pemilik
tanah girik dapat mengajukan pendaftaran tanah untuk pertama kali ke Kantor Badan
Pertanahan (BPN). Lamanya waktu pengurusan sertifikat ini tidak dapat dipastikan,
banyak faktor yang menentukan. Biasanya diburuhkan waktu sekitar 6 (enam) bulan
dengan catatan bahwa persyaratan lengkap dan tidak ada sengketa. Sementara itu biaya
yang harus dikeluarkan bergantung pada lokasi dan luasnya tanah, makin luas lokasi dan
makin strategis lokasinya biaya yang dikeluarkan akan semakin tinggi.
 Seseorang bisa mengajukan permohonan atas tanah yang dikuasai pemerintah. Tata cara
ini secara umum diatur dalam Permen Agraria Nomor 9 Tahun 1999. Isinya tentang
pemberian dan pembatalan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak
Pakai, dan Hak Pengelolaan yang dilakukan oleh Menteri Agraria dan Pertanahan/BPN.
Dalam hal ini, Menteri dapat melimpahkan kewenangannya kepada Kepala Kantor
Wilayah, Kepala Kantor Pertanahan, dan Pejabat yang ditunjuk. Lebih lanjut tentang
pelimpahan kewenangan ini, bisa dilihat dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2013. Bila hendak mengajukan
permohonan atas tanah negara ini, harus mengajukan secara tertulis. Permohonan
ditujukan pada Menteri melalui Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya
mencakup letak tanah bersangkutan.

B. Saran

1. Hendaknya lebih meningkatkan usaha-usaha dalam memberikan kesadaran hukum kepada


masyarakat khususnya mengenai arti pentingnya tanda bukti hak milik atas tanah melalui
penyuluhan-penyuluhan.

2. Menghapus dan menghilangkan pungutan liar yang dapat meresahkan masyarakat, untuk
itu dalam menetapkan biaya harus di sesuaikan berdasarkan peraturan-peraturan yang
berlaku.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt57f70ca119911/tata-cara-pemberian-hak-
milik-atas-tanah-negara

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt537ac3b737835/cara-penyertifikatan-tanah-
adat

Purnamasari, Irma Devita. Panduan Hukum Praktis Populer, Kiat Cerdas, Mudah dan Bijak
dalam Memahami Hukum Pertanahan (Kaifa, 2010).

Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata
Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

Anda mungkin juga menyukai