Anda di halaman 1dari 51

PRESENTASI KASUS KECIL

TB PARU TCM (+) LESI LUAS KASUS KAMBUH

Disusun Oleh :
Niswati Handayani
1710221024

Pembimbing :
dr. Indah Rahmawati, Sp. P

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO
2019
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS KECIL


TB PARU TCM (+) LESI LUAS KASUS KAMBUH

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik di


bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.

Disusun Oleh :
Niswati Handayani
1710221024

Telah disetujui
Pada tanggal, April 2019

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Indah Rahmawati, Sp.P


BAB I
STATUS PASIEN

A. INDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. S
Usia : 54 tahun
Alamat : Kedungwuluh Lor RT 002/02, Patikraja
Tanggal masuk : 21 Maret 2019
No RM : 02091971
Bangsal : Cendana

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Sesak nafas

2. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang diantar oleh keluarganya ke IGD RS Margono Soekarjo
Purwokerto dengan keluhan sesak nafas sejak 1 bulan sebelum masuk
rumah sakit dan semakin memberat sejak 1 minggu terakhir. Sesak nafas
dirasakan seperti tertindih benda berat di seluruh dada dan menggenaggu
aktivitas karena dirasakan sepajang hari. Sesak dirasakan semakin
memberat jika pasien batuk dan tidak ada hal yang membuat keluhan sesak
berkurang. Sesak tidak dipengarui perubaan posisi ataupun aktifitas. Pasie
tidak pernah terbangun pada malam hari karena sesak dan dapat tidur
dengan satu bantal. Keluhan nyeri dada disangkal, bunyi mengi tidak
dijumpai.
Selain sesak pasien juga mengeluhkan batuk sejak 2 bulan sebelum
masuk rumah sakit. Batuk disertai dengan dahak berwarna putih kehijauan.
Batuk dirasakan terus-menerus dan cukup mengganggu aktivitas, batuk
tidak dipengaruhi cuaca ataupun debu.
Pasien juga mengeluhkan demam yang hilang timbul, namun pasien
tidak mengukur suhu tubuh saat sedang demam. Selain itu pasien juga
mengeluhkan sering berkeringat pada malam hari meskipun ruangan tidak
panas. Nafsu makan pasien juga menurun sejak 1 bulan terakhir. Saat datang
ke RSMS pasien juga mengeluhkan suara serak dan tidak bisa menelan

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Pada tahun 2016, pasien mengaku pernah berobat ke Puskesmas
Patikraja karena keluhan batuk berdahak lebih dari 2 minggu. Setelah itu
dilakukan pemeriksaan dahak dan dari hasil pemeriksaan tersebut
didapatkan hasil BTA pasien positif. Kemudian pasien diberikan OAT oleh
dokter Puskesmas Patikraja selama 6 bulan dan diminum secara rutin stiap
hari. Setelah menjalan pengobatan tersebut pasien dinyatakan sembuh dari
TB paru oleh dokter dari puskesmas.
 Riwayat hipertensi : disangkal
 Riwayat diabetes mellitus : disangkal
 Riwayat penyakit jantung : disabgkal
 Riwayat penyakit hati : disangkal
 Riwayat merokok : disangkal
 Riwayat konsumsi alkohol : disangkal
 Riwayat operasi : disangkal
 Riwayat OAT : diakui pada tahun 2016 di
Puskesmas Patikraja selama 6 bulan
 Riwayat asma : disangkal
 Riwayat maag : disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga


Suami pasien memiliki riwayat penyakit paru dengan keluhan sesak dan
batuk dan sudah meninggal sejak beberapa tahun lalu namun keluarga
pasien tidak mengetahui penyebab pasti.
 Riwayat keluhan yang serupa : diakui
 Riwayat hipertensi : disangkal
 Riwayat diabetes melitus : disangkal
 Riwayat asma : disangkal
5. Riwayat Sosial Ekonomi
a. Community
Pasien memiliki seorang suami yang sudah meniggal, 3 orang anak,
serta 3 orang cucu usia 12 tahun, 10 tahun dan 6 tahun. Pasien tinggal
bersama anak terakhirnya. Pasien tinggal di lingkungan yang tidak terlalu
padat penduduk. Rumah satu dengan yang lain cukup berdekatan. Pasien
tinggal di rumah yang sudah berdinding tembok dan beralas lantai keramik.
Keadaan rumah pasien minim ventilasi. Hubungan antara pasien dengan
tetangga dan keluarga baik.
b. Occupational
Pasien seorang ibu rumah tangga dan selalu setiap hari membersihkan
rumah.
c. Personal Habit
Pasien mengaku tidak pernah merokok. Riwayat mengonsumsi alkohol
disangkal.
d. Drugs and Diet
Pasien tidak pernah mengkonsumsi minuman beralkohol. Dalam sehari
pasien makan hanya 1-2 kali dan dalam sekali makan pasien hanya mau 4-
5 sendok. Menu makan pasien terdiri dari nasi dan sayur atau nasi dan lauk
saja.

C. OBJEKTIF
1. Keadaan umum : Sedang
2. Kesadaran : Compos mentis (E4M6V5)
3. Vital sign
TD : 110/70 mmHg
N : 83 x/menit, irama reguler, isi lemah
RR : 26 x/menit
S : 36,5 oC
Antropometri : BB : 38 kg
TB : 150 cm
IMT : 16,89 kg/mm2
4. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan kepala
 Bentuk kepala : Simetris, mesocephal
 Rambut : Distribusi merata, alopesia (-), warna hitam
b. Pemeriksaan mata
 Konjungtiva : Anemis (-/-), injeksi (-/-)
 Sklera : Ikterik (-/-)
 Pupil : Isokor (3mm/3mm)
 Palpebra : Edema (-/-)
 RC : Langsung (+/+) / Tidak Langsung (+/+)
c. Pemeriksaan Hidung
 Discharge : (-)
 NCH : (-)
d. Pemeriksaan mulut
 Bibir sianosis : (-)
 Lidah kotor : (-)
e. Pemeriksaan leher
Simetris, deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)
f. Pemeriksaan Thorax
 Pulmo
Inspeksi
Simetris kanan dan kiri, retraksi (-), ketertinggalan gerak (-)
Palpasi
Vokal fremitus lobus superior kanan sama dengan kiri
Vokal fremitus lobus inferior kanan sama dengan kiri
Perkusi
Batas paru hepar SIC V Linea Midclavicula Dextra
Auskultasi
Suara dasar vesikuler (+/+), RBH (+/+), RBK (+/+), Wheezing (-/-)
 Jantung
Inspeksi
Tidak tampak denyutan Ictus cordis
Palpasi
Ictus cordis teraba di SIC V linea axillaris anterior, tidak kuat angkat
Perkusi
Batas jantung kanan atas SIC V Linea sternalis dextra
Batas jantung kiri atas SIC V Linea mid clavicula dextra
Batas pinggang jantung SIC III Linea parasternalis sinistra

Auskultasi
S1>S2, murmur (-), gallop (-)
g. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi
Cembung, jaringan parut (-), distensi (-), venectasi (-), caput medusa (-)
Auskultasi
Bising usus (+) normal
Perkusi
Timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-)
Palpasi
Nyeri tekan regio epigastrium, undulasi (-)
Hepar / Lien : tidak teraba besar
h. Pemeriksaan Ekstremitas
Superior : Edema (-/-), akral dingin (+/+), sianosis (-/-)
Inferior : Edema (-/-), akral hangat (+/+), sianosis (-/-)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium RSMS 22/03/19
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Hemoglobin 10.4 (L) g/dl 11,7-15,5
Leukosit 6000 /ul 3.600 – 11.000
Hematokrit 32 (L) % 35 - 47
Eritrosit 4.1 106/ul 3.8 – 5.2
Trombosit 223.000 /ul 150.000 – 440.000
MCV 77.5 (L) fL (L) 80 – 100
MCH 25.4 (L) Pg/cell 26 – 34
MCHC 32.8 (L) % 32 – 36
RDW 16.5 (H) % 11,5 – 14,5
MPV 11 fL 9,4 – 12,4
Basofil 0,2 % 0–1
Eosinofil 0,0 (L) % 2–4
Batang 0,7 (L) % 3–5
Segmen 84.1 (H) % 50 – 70
Limfosit 5,8 (L) % 25 – 40
Monosit 9,2 (H) % 2–8
Albumin 1,65 (L) g/dL 3,4 – 5,00
PT 14 (L) g/dL 2,70 – 3,20
APTT 13 (L)
Ureum 29,2 mg/dL 14,98 – 38,52
Kreatinin 0,60 mg/dL 0,55 – 1,02
Glukosa 166
mg/dL ≤ 200
Sewaktu
Natrium 133 (L) mEq/L 134 – 146
Kalium 4,5 mEq/L 3,4 - 4,5
Clorida 100 mEq/L 96 – 108

2. Pemeriksaan RO Thorax RSMS 22/03/19

Kesan :
a. Cor tidak membesar
b. Pneumonia underlying
superimpose TB
3. Hasil TCM RSMS 23/03/19

4. Diagnosis
1. TB paru TCM (+) lesi luas kasus kambuh
2. Hipoalbumin
3. Disfoni
5. Terapi
1. Farmakologis
a. O2 3 LPM Nasal Kanul
b. IVFD Assering/8 jam
c. Inj. Ceftriaxone 2x1gr IV
d. Inj. Rantidi 2x1 amp
e. Inj. Streptomisin 1x500 mg im
f. 4 FDC 1x2 (OAT Kategori 2)
g. PO. N Acetyl Cisteine 3x1
h. Kapsul nebu combivent k/p
i. PO terasma 3x1 cth
j. Plasbumin 20% 100 cc
k. PO vipalbumin 2x2 kaps
2. Non-Farmakologis
a. Kurangi aktivitas berat
b. Etika batuk dan bersin yang benar
c. Screening pada anggota kluarga yang lain untuk tindakan pencegahan
dan pengobatan lebh awal jika keluarga lain sudah tertular
d. Edukasi pasien dan keluarga mengenai penyakitnya, pengobatan, dan
efek samping obat serta komplikasi dari penyakitnya
e. Edukasi pasien selalu menggunakan masker, tidak batuk dan bersin
sembarangan dan tidak membuang dahak sembarangan
f. Edukasi keluarga mengenai kebersihan rumah, pentingnya membuka
ventilasi agar pencahayaan matahari dan udara masuk
6. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

7. Penulian resep
a) OAT FDC
Regimwn terapi yang diberikan adalah OAT kategori 2. Pemberian OAT
disesuaikan dengan dosis dan berat badan pasien saat ini (BB: 38 kg). Pada fase
intensif diberikan obat oral (Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid, dan Etambutol)
selama 2 bulan yang harus diminum setiap hari ditambah dengan injeksi
streptomisin, dilanjutkan dengan obat fase lanjutan selama 5 bulan diminum tiga
kali seminggu

R/ 4 FDC tab No. XXX


S 1 dd tab 3 ac (malam)
R/ Strepromisin vial 500 mg No. VII
S pro inj (s.i.m.m)
R/ Aquapro injection 5 ml No. VII
S pro inj (s.i.m.m)
R/ Spuit 5cc No. VII
S pro inj (s.i.m.m)
b) OAT sediaan terpisah

BB pasien 38 kg, maka OAT fase intensif selama 2 minggu adalah

a. Isoniazid = 152 mg – 228 mg -> 2 tab 100 mg

b. Rifampisin= 304 mg – 456 mg -> 1 tab 450 mg

c. Pirazinamid= 760 mg – 1140 mg -> 2 tab 500 mg

d. Etambutol= 570 mg – 760 mg -> 1 ½ tab 500 mg

e. Streptomisin= 456 mg – 684 mg -> inj 500 mg

R/ Isoniazid tab 100 mg No. XXX

S 1 dd tab 2 p.c

R/ Rifampisin caps 450 mg No. XIV

S 1 dd caps 1 a.c

R/ Pirazinamid tab 500 mg No. XXX

S dd tab 2 p.c
R/ Etambutol tab 500 mg No.XXV

S dd tab 1 ½ p.c

R/ Streptomisin 500 mg No. VIII

S pro inj (s.i.m.m)

R/ Aquapro injection 5 ml No. VIII

S pro inj (s.i.m.m)

R/ Spuit 5cc No. VIII

S pro inj (s.i.m.m)


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi dan Epidemiologi


Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh
respon imunitas diperantarai sel. Sel efektor adalah makrofag dan limfosit (biasanya
sel T) adalah sel imunoresponsif 6,8,9.
Tuberkulosis merupakan infeksi bakteri kronik yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis dan ditandai oleh pembentukan granuloma pada
jaringan yang terinfeksi dan oleh hipersensitivitas yang diperantarai sel (cell-
mediated hypersensitivity). Penyakit biasanya terletak di paru, tetapi dapat
mengenai organ lain. Dengan tidak adanya pengobatan yang efektif untuk penyakit
yang aktif, biasa terjadi perjalanan penyakit yang kronik, dan berakhir dengan
kematian4.
Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi kronik yang sudah sangat
lama dikenal manusia, misalnya dia dihubungkan dengan tempat tinggal didaerah
urban, lingkungan yang padat, dibuktikan dengan adanya penemuan kerusakan
tulang vertebra torak yang khas TB dari kerangka yang digali di Heidelberg dari
kuburan zaman neolitikum, begitu juga penemuan yang berasal dari mumi dan
ukiran dinding piramid di Mesir kuno pada tahun 2000-4000 SM3.
Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di
dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah
mencanangkan tuberkulosis sebagai Global Emergency. Laporan WHO tahun 2004
menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus BTA (Basil Tahan Asam ) positif.
Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional
WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33% dari jumlah
penduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2 kali lebih
besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 penduduk6.
Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2-3 juta
setiap tahun. Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar
kematian akibat TB terdapat di Asia Tenggara yaitu 625.000 orang atau angka
mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi terdapat
di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, prevalensi HIV yang cukup tinggi
mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul6.
Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB
setelah India dan Cina. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar
140.000 kematian akibat TB. Di Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh nomor
satu diantara penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor tiga
setelah jantung dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia6.
Latar belakang penulisan sari pustaka ini adalah untuk mempelajari dan
mengetahui definisi, epidemiologi, etiologi, cara penularan, patogenesis,
klasifikasi, gejala klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang,
penatalaksanaan, DOTS, pencegahan, cara pencatatan dan pelaporan Tuberkulosis
paru.

Ii.2 Etiologi
Penyakit Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat
tahan asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Bakteri ini
pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882, sehingga
untuk mengenang jasanya bakteri tersebut diberi nama baksil Koch. Bahkan,
penyakit TB pada paru-paru kadang disebut sebagai Koch Pulmonum (KP)11.

Gambar 1. Bakteri Mycobacterium tuberculosis11.


II.3 Cara Penularan
Penyakit Tuberkulosis biasanya menular melalui udara yang tercemar
dengan bakteri Mycobacterium tuberculosis yang dilepaskan pada saat penderita
TB batuk, dan pada anak-anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TB
dewasa. Bakteri ini bila sering masuk dan terkumpul di dalam paru-paru akan
berkembang biak menjadi banyak (terutama pada orang dengan daya tahan tubuh
yang rendah), dan dapat menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah
bening. Oleh sebab itulah infeksi TB dapat menginfeksi hampir seluruh organ tubuh
seperti: paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah bening, dan
lain-lain, meskipun demikian organ tubuh yang paling sering terkena yaitu paru11.

Gambar 2. Penyebaran bakteri Tuberkulosis11.

Saat Mycobacterium tuberculosis berhasil menginfeksi paru, maka dengan


segera akan tumbuh koloni bakteri yang berbentukglobular (bulat). Biasanya
melalui serangkaian reaksi imunologis bakteri Tuberkulosis ini akan berusaha
dihambat melalui pembentukan dinding di sekeliling bakteri itu oleh sel-sel paru.
Mekanisme pembentukan dinding itu membuat jaringan di sekitarnya menjadi
jaringan parut dan bakteri Tuberkulosis akan menjadi dormant (istirahat). Bentuk-
bentuk dormant inilah yang sebenarnya terlihat sebagai tuberkel pada pemeriksaan
foto rontgen11.
Pada sebagian orang dengan sistem imun yang baik, bentuk ini akan tetap
dormant sepanjang hidupnya. Sedangkan pada orang-orang dengan sistem
kekebalan tubuh yang kurang, bakteri ini akan mengalami perkembangbiakan
sehingga tuberkel bertambah banyak. Tuberkel yang banyak ini membentuk sebuah
ruang di dalam paru-paru. Ruang inilah yang nantinya menjadi sumber produksi
sputum (dahak). Seseorang yang telah memproduksi sputum dapat diperkirakan
sedang mengalami pertumbuhan tuberkel berlebih dan positif terinfeksi
Tuberkulosis10.
Meningkatnya penularan infeksi yang telah dilaporkan saat ini, banyak
dihubungkan dengan beberapa keadaan, antara lain memburuknya kondisi sosial
ekonomi, belum optimalnya fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat,
meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai tempat tinggal dan adanya
epidemi dari infeksi HIV. Disamping itu daya tahan tubuh yang lemah/menurun,
virulensi dan jumlah kuman merupakan faktor yang memegang peranan penting
dalam terjadinya infeksi Tuberkulosis10.

II.4. Patogenesis
II.4.1 Tuberkulosis Primer
Penularan Tuberkulosis paru dari orang ke orang terjadi karena kuman
dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita.
Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung
pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk, dan kelembaban. Dalam
suasana lembab dan gelap kuman dapat tahan berhari-hari sampai berbulan-bulan.
Bila partikel infeksi ini terisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran
napas, atau jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran parikel < 5
mikrometer. Kuman akan dihadapi pertama kali oleh neutrofil, kemudian baru oleh
makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag
keluar percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya3.
Bila kuman menetap dijaringan paru, berkembang biak di dalam sitoplasma
makrofag. Disini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman yang
bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan
disebut sarang primer atau efek primer atau sarang (fokus) Ghon. Sarang primer ini
dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila menjalar sampai ke pleura, maka
terjadilah efusi pleura. Kuman dapat juga masuk melalui saluran gastrointestinal,
jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi limfadenopati regional kemudian bakteri
masuk ke dalam vena dan menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, dan
tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka akan terjadi penjalaran ke seluruh
bagian paru menjadi TB milier3.
Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju
hilus (limfangitis lokal), dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus
(limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis lokal bersama-sama limfadenitis
regional dikenal sebagai kompleks primer (Ranke). Semua proses ini memakan
waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi3:
1) Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini yang banyak terjadi.
2) Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik,
kalsifikasi di hilus, keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya
> 5 mm dan ±10% diantaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman
yang dormant
3) Berkomplikasi dan menyebar secara :
a) Perkontinuitatum, yakni menyebar ke sekitarnya.
Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian
penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar
hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran
napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis
akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang
atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang
atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis6.
b) Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru yang
disebelahnya. Kuman dapat juga tertelan bersama sputum dan ludah
sehingga menyebar ke usus
c) Secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan
daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang
ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi bila tidak
terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan
keadaan yang cukup gawat seperti TB milier, meningitis TB,
typhobachillosis Landouzy6.
Semua kejadian diatas tergolong dalam perjalanan Tuberkulosis primer3.

II.IV.2. Tuberkulosis Pasca Primer ( Tuberkulosis Sekunder)


Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-
tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa
(Tuberkulosis post primer = TB pasca primer = TB sekunder). Mayoritas reinfeksi
mencapai 90%. Tuberkulosis sekunder terjadi karena imunitas menurun seperti
malnutrisi, alcohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS, dan gagal ginjal.
Tuberkulosis sekunder ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di regio atas
paru (bagian apical-posterior lobus sduperior atau inferior). Invasinya adalah ke
daerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus hiler paru3.
Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam
3-10 minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari
sel-sel Histiosit dan sel Datia-Langhans (sel besar dengan banyak inti) yang
dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat3.
Tergantung dari jumlah kuman, virulensinya, dan imunitas pasien, sarang
dini ini dapat menjadi3:
1) Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.
2) Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan
serbukan jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras,
menimbulkan perkapuran.
3) Sarang dini yang meluas sebagai granuloma berkembang
menghancurkan jaringan ikat sekitarnya dan bagian tengahnya
mengalami nekrosis, menjadi lembek membentuk jaringan keju. Bila
jaringan keju dibatukkan keluar terjadilah kavitas. Kavitas ini mula-
mula berdinding tipis, lama-lama dindingnya menebal karena infiltrasi
jaringan firbroblas dalam jumlah besar, sehingga menjadi kavitas
sklerotik (kronik). Terjadinya perkijuan dan kavitas adalah karena
adanya hidrolisis protein lipid dan asam nukleat oleh enzim yang
diproduksi oleh makrofag, dan proses yang berlebihan sitokin dengan
TNF-nya.
Bentuk perkijuan lain yang jarang terjadi adalah cryptic disseminate TB
yang terjadi pada imunodefisiensi dan usia lanjut. Disini lesi sangat kecil, tetapi
berisi bakteri sangat banyak. Kavitas dapat menjadi3:
a) Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonia baru. Bila isi
kavitas ini masuk dalam peredaran darah arteri, maka akan terjadi TB
milier. Dapat juga masuk ke paru sebelahnya atau tertelan masuk
lambung dan selanjutnya ke usus menjadi TB usus. Sarang ini
selanjutnya mengikuti perjalanan seperti yang disebutkan diatas. Bisa
juga terjadi TB endobronkial dan TB endotrakeal atau empiema bila
ruptur ke pleura,
b) Memadat dan membungkus diri (enkapsulasi) sehingga menjadi
tuberkuloma. Tuberkuloma ini dapat mengapur dan menyembuh atau
dapat aktif kembali menjadi cair dan jadi kavitas lagi. Komplikasi
kronik kavitas ini adalah kolonisasi oleh fungus seperti Aspergillus dan
kemudian menjadi mycetoma,
c) Bersih dan menyembuh, disebut open healed cavity. Dapat juga
meyembuh dengan membungkus diri menjadi kecil. Kadang-kadang
berakhir dengan kavitas yang terbungkus, menciut, dan berbetuk seperti
bintang yang disebut stellate shape.

II.5 Klasifikasi
American Thoracic Society memberikan klasifikasi baru yang diambil
berdasarkan aspek kesehatan masyarakat2:
1) Kelas 0 : Tidak pernah terpajan TB, tidak terinfeksi. Orang-orang
pada kelas ini tidak mempunyai riwayat terpajan dan tes kulit tuberkulin
menunjukkan hasil negatif (jika dilakukan)
2) Kelas 1 : Terpajan TB, tidak ada bukti terinfeksi. Orang-orang pada
kelas ini mempunyai riwayat terpajan tuberkulosis, tetapi tes tuberkulin
menunjukkan hasil negative. Tindakan yang diambil untuknya
tergantung pada derajat dan kebaruan paparan M. tuberculosis, serta
kekebalan tubuhnya. Jika terpapar secara signifikan selama 3 bulan, tes
tuberculin lanjutan harus dilakukan 10 minggu setelah paparan terakhir,
dan sementara itu pengobatan terhadap infeksi tuberculosis laten harus
dipertimbangkan terutama pada anak-anak berusia kurang dari 15 tahun
dan penderita infeksi HIV.
3) Kelas 2 : Infeksi TB laten, tidak timbul penyakit. Orang-orang pada
kelas 2 menunjukkan hasil tes tuberculin positif, pemeriksaan radiologi
dan bakteriologi negatif.
4) Kelas 3 : Tuberkulosis, aktif secara klinis. Kelas 3 mencakup semua
pasien
dengan TB aktif secara klinis dengan prosedur diagnostik telah selesai.
Jika diagnosis masih tertunda, orang tersebut harus diklasifikasikan
sebagai tersangka tuberkulosis (kelas 5). Untuk masuk ke kelas 3,
seseorang harus memiliki bukti klinis, bakteriologis, dan/atau radiografi
TB saat ini. Hal ini dipastikan dengan isolasi M. tuberkulosis. Seseorang
yang menderita TB di masa lalu dan juga yang saat ini memiliki
penyakit aktif secara klinis termasuk dalam kelas 3. Seseorang tetap di
kelas 3 sampai pengobatan untuk episode penyakit saat ini selesai.
5) Kelas 4 : TB tidak aktif secara klinis. Ditemukan radiografi yang
abnormal atau tidak berubah, dan reaksi tes kulit tuberkulin positif, dan
tidak ada bukti klinis.
6) Kelas 5 : Tersangka TB (diagnosis tertunda). Seseorang termasuk
dalam kelas ini ketika diagnosis TB sedang dipertimbangkan. Seseorang
seharusnya tidak tetap di kelas ini selama lebih dari 3 bulan. Ketika
prosedur diagnostik telah selesai, orang tersebut harus ditempatkan pada
salah satu kelas sebelumnya.

Klasifikasi Tuberkulosis paru berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (Basil


Tahan Asam / BTA), TB paru dibagi atas6:
1) TB paru BTA (+), adalah :
a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan
hasil BTA positif,
b) Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA
positif dan kelainan radiologi menunjukkan gambaran
tuberkulosis aktif.
c) Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA
positif dan biakan positif.
2) TB paru BTA (-), adalah :
a) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif,
gambaran klinis dan kelainan radologi menunjukkan
Tuberkulosis aktif.
b) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif
dan biakan M. Tuberkulosis positif.

Klasifikasi berdasarkan tipe pasien dari riwayat pengobatan sebelumnya


yaitu6:
1) Kasus baru : pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan untuk
tuberkulosis atau sudah mendapakan obat-obat anti tuberkulosis kurang
dari satu bulan.
2) Kasus pengobatan ulang :
a) Kasus kambuh (relaps) : pasien yang sebelumnya pernah
mendapatkan pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan
sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi
berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau
biakan positif.
b) Kasus gagal (smear positive failure) : pasien yang menjalani
pengobatan ulang karena pengobatan sebelumnya gagal,
ditandai dengan sputum BTA-nya tetap positif setelah
mendapatkan obat anti tuberkulosis pada akhir bulan ke 5.
c) Kasus defaulted atau drop out : pasien yang telah menjalani
pengobatan ≥ 1 bulan dan tidak mengambil obat 2 bulan
berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya
selesai.
3) Kasus kronik : pasien yang sputum BTA-nya tetap positif setelah
pengobatan ulang lengkap yang disupervisi dengan baik.
4) Kasus Bekas TB :
a) Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila
ada) dan gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB
yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan gambaran
yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih
mendukung.
b) Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan dan
telah mendapat pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto
toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiologik.

Klasifikasi Tuberkulosis ekstraparu6:


Tuberkulosis ekstraparu adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh
lain selain paru, misalnya kelenjar getah bening, selaput otak, tulang, ginjal, saluran
kencing dan lain-lain.
Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau patologi anatomi
dari tempat lesi. Untuk kasus-kasus yang tidak dapat dilakukan pengambilan
spesimen maka diperlukan bukti klinis yang kuat dan konsisten dengan TB
ekstraparu aktif.

Gambar 3. Skema klasifikasi Tuberkulosis6.

TB paru TB paru BTA (+)

TB
TB paru BTA (-)

TB ekstraparu

Kasus baru
Kasus kambuh
Tipe penderita
TB paru Kasus Drop Out

Kasus gagal
pengobatan

Kasus kronik

II.6 Gejala Klinis


II.6.1 Gejala Respiratori
Gejala respiratori yaitu3:
1) Batuk / Batuk Darah
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3
minggu atau lebih. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk
ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar. Sifat batuk
dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul
peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan lanjut
adalah batuk darah (hemoptisis).
Kavitas dapat menjadi sumber hemoptisis mayor. Menetapnya arteri
pulmonalis terminal didalam kavitas dapat menjadi sumber perdarahan yang
hebat (aneurisma Rasmussen). Penyebab perdarahan lainnya adalah
aspergiloma pada kavitas tuberkulosis kronik.
2) Sesak Napas
Sesak napas akan dirasakan pada penyakit yang sudah lanjut, yang
infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.
3) Nyeri dada
Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura
sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu
pasien menarik / melepaskan nafasnya.
II.6.2 Gejala Sistemik
Gejala sistemik yaitu3:
1) Demam
Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-
kadand panas badan dapat mencapai 40-41°C. Serangan demam pertama
dapat sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali. Begitulah
seterusnya, sehingga pasien tidak pernah merasa terbebas dari serangan
demam influenza.
2) Malaise
Gejala malaise yang sering ditemukan berupa anoreksia tidak nafsu
makan, badan makin kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri
otot, keringat malam, dan lain-lain. Gejala malaise ini makin lama makin
berat dan hilang timbul secara tidak teratur.

2.6.III GejalaTuberkulosis ekstrapulmonal


Gejala Tuberkulosis ekstrapulmonal yaitu4:
1) Pleuritis dengan Efusi
Pleuritis dengan efusi terjadi bila rongga pleura terinfeksi oleh M.
tuberculosis. Setelah infeksi primer perifer, rongga pleura dapat
terkontaminasi dengan organisme yang diangkut melalui aliran limfe ke
pleura dan kemudian melintasi permukaan paru ke hilus. Efusi pleura
terjadi, kadangkala massif, biasanya dengan nyeri pleura yang amat sangat.
Efusi terjadi plaing sering unilateral, tetapi tidak selalu. Efusi bersifat
eksudatif, dan gambaran cairan pleura yang paling khas adalah konsentrasi
protein yang lebih dari 3,0 g/dL. Biopsi jarum pada pleura parietal dapat
mengungkap adanya granuloma, yang menguatkan diagnosis pleuritis
tuberkulosis.Respons terhadap kemoterapi baik. Pengeluaran seluruh cairan
pleura tidak diperlukan. Pada kasus yang jarang diperlukan dekortikasi
secara bedah.
Fistula bronkopleura dan empiema tuberculosis merupakan penyulit
yang sangat berbahaya pada tuberculosis yang tidak diobati akibat
terjadinya ruptur lesi paru ke salam rongga pleura. Diagnosis biasanya tidak
sukar, dan basil tahan asam biasanya dengan mudah tampak pada eksudat
pleura. Pengobatan terdiri dari drainase secara bedah dan kemoterapi yang
adekuat.

2) Peritonitis dan Perikarditis tuberkulosis


Perikardium dan peritoneum dapat menjadi tempat tuberkulosis.
Perikarditis kadang terjadi bersama dengan pleuritis. Yang lebih sering,
perikardium terinfeksi akibat drainase dari kelenjar limfe yang terinfeksi.
Terjadilah efusi eksudatif, dan pasien datang dengan demam dan nyeri
perikardial. Bisa didapati bising gesek (friction rub). Diagnosis perikarditis
tuberkulosis sering sukar dan kadang-kadang memerlukan torakotomi untuk
melakukan biopsi perikardial.
Peritonitis tuberkulosis disebabkan penyebaran secara hematogen
pada peritoneum atau jalan masuk basilus dari sumber organ kemih kelamin
atau limfatik abdomen. Diagnosisnya seringkali sukar. Mungkin diperlukan
biopsi secara bedah untuk menegakkan diagnosis.

3) Tuberkulosis Meningeal
Infeksi kronik ini berwujud tidak saja sebagai tanda meningeal tetapi
sering juga sebagai tanda saraf kranialis. Yang khas pada cairan
serebrospinal adalah kandungan protein yang tinggi, glukosa rendah, dan
limfositosis. Kemoterapi yang efektif adalah isoniazid, rifampisin dan
etambutol. Tuberkuloma pada selaput otak atau otak dapat menjadi nyata
pada orang dewasa, beberapa tahun setelah infeksi primer, dan kejang
seringkali menjadi manifestasi utamanya.

4) Tuberkulosis Laring dan Endobronkial


Tuberkulosis laring biasanya didapati bersama dengan penyakit paru
yang sudah sangat lanjut. Penyakit terjadi akibat terinfeksinya permukaan
mukosa selama ekspektorasi. Penyakit berkembang dari laringitis
superficial menjadi tukak dan granuloma. Suara parau merupakan gejala
utama. Dengan cara yang sama, mukosa bronkus dapat terkena yang
menyebabkan bronchitis tuberculosis. Batuk dan hemoptisis minor
merupakan manifestasi klinis utama. Pasien dengan laringitis tuberkulosis
dan bronchitis yang luas biasanya sangat infeksius.

5) Tuberkulosis Tulang
Penyakit yang mengenai tulang dan sendi bukanlah manifestasi
tuberculosis yang jarang. Penyakit Pott, yaitu tuberculosis tulang belakang,
biasanya mengenai vertebra midtorakal. Basilus tuberkel mencapai vertebra
secara hematogen atau melalui saluran limfatik dari rongga pleura ke
kelenjar limfe paravertebra(). Gejala awal yang paling umum adalah nyeri
punggung yang mungkin ada selama berminggu-minggu atau bulan
sebelum diagnosis.
Tuberkulosis sendi paling sering mengenai sendi penopang berat
badan yag besar seperti panggul dan lutut. Tuberkulosis sendi berespon baik
terhadap imobilisasi dan kemoterapi. Sinovitis tuberkulosa dapat terjadi
sendiri atau bersama arthritis tuberkulosa.

6) Tuberkulosis Genitourinarius
Tuberkulosis ginjal biasanya berawal dari hematuria dan piuria
mikroskopik dengan biakan urin yang steril. Diagnosis dapat ditegakkan
dengan ditemukannya basilus tuberkel pada biakan urin. Seiring dengan
berkembangnya penyakit, terjadi kavitas parenkim ginjal. Dengan
kemoterapi yang adekuat, pengangkatan ginjal secara bedah hamper tidak
diperlukan. Ureter dan kandung kemih dapat terinfeksi akibat penyebaran
organism lewat tubulus, dan dapat terjadi striktur ureter.
Salpingitis tuberculosis sering mengakibatkan sterilisitas pada
perempuan. Tuberculosis genital pada laki-laki paling sering mengenai
prostat, vesika seminalis dan epididimis. Tuberculosis epididimis dan
prostat ditandai oleh indurasi noduler yang tidak nyeri tekan yang dapat
diketahui dari pemeriksaan fisik. Diagnosis biasanya dibuat dengan kultur
basil tahan asam.
7) Adenitis Tuberkulosis
Gambar 4. Limfadenitis Tuberkulosis

Scrofula merupakan limfadenitis tuberkulosis kronik pada kelenjar


limfe leher. Beberapa kelenjar leher munkin terkena tetapi tempat yang
paling sering adalah segitiga anterior leher tepat dibawah mandibula.
Pembesaran kelenjar tuberkulosis biasanya kenyal dan tidak nyeri tekan.
Dengan perkembangan penyakit pembesaran kelenjar ini menjadi lebih
keras dan kasar. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan biopsi secara bedah.

8) Tuberkulosis pada AIDS


Tuberkulosis merupakan infeksi oportunistik utama pada penderita
infeksi HIV. Pada pasien yang terinfeksi pertama kali dengan M.
tuberculosis dan kemudian dengan HIV, risiko perkembangan tuberculosis
adalah 5 hingga 10 persen pertahun.
Limfosit dan monosit, yaitu sel-sel pertahanan primer yang
dikerahkan untuk infeksi tuberkulosis, dihancurkan oleh HIV. Reaktivasi
uji kulit tuberkulin dapat tidak ada pada individu yang terinfeksi HIV yang
masih sehat dan bebas gejala klinis AIDS, sekalipun begitu banyak dua
pertiga persen pasien yang terinfeksi HIV dengan tuberkulosis memiliki uji
kulit tuberkulin positif. Jumlah limfosit T CD4 pada pasien tuberkulosis
seropositif-HIV yang khas berada dalam rentang 150-200 sel per milimeter
kubik.
Hampir separuh pasien AIDS dengan tuberkulosis memiliki bentuk
ekstrapulmonal, dengan limfadenitis tuberkulosa yang menonjol, biasanya
di leher anterior. Hampir setengah pasien ditemukan gambaran rontgen
yang atipik, dengan infiltrat halus yang difus, infiltrat pneumonik, adenopati
hilus, dan infiltrat perihilus, serta seringkali tampak efusi pleura.

9) Tuberkulosis Saluran Makanan


Lambung sangat resisten terhadap infeksi tuberkulosis. Hal yang
jarang, yang biasanya terjadi bersama dengan penyakit paru yang berkavitas
luas dan kecacatan berat, organism yang tertelan mencapai ileum terminalis,
dan sekum sehingga timbul ileitis tuberkulosa. Diare kronik dan
terbentuknya fistula merupakan manifestasi utama, dan penyakit ini sulit
dibedakan dari penyakit Crohn.

10) Tuberkulosis Milier


Tuberkulosis milier disebabkan oleh penyebaran hematogen yang
luas. Cenderung lebih fulminan pada anak daripada orang dewasa. Yang
klasik, tuberkulosis milier timbul setelah penyebaran hematogen sewaktu
infeksi primer, dan pasien datang tanpa adanya riwayat tuberkulosis
sebelumnya. Lesi timbul serempak diseluruh tubuh. Pasien menjadi sakit
sebelum terdapat perubahan radiografik, yang memakan waktu 4 hingga 6
minggu untuk dapat dikenali.
Temuan radiologi yang khas adalah nodul-nodul halus, tersebar
secara uniformis, dan lembut pada kedua lapangan paru. Temuan ini sering
dapat diketahui pertama kali pada foto toraks lateral, atau foto toraks
posteroanterior yang penyinarannya dikurangi. Diagnosisnya sulit, dan
sputum yang dibatukkan jarang mengandung organisme.

II.7 Pemeriksaan Fisik


Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung kelainan
struktur paru. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus
superior terutama daerah apeks dan segmen posterior, serta daerah apeks
lobus inferior. Dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik,
suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma
dan mediastinum6.
Pada pleuritis tuberkulosis, kelainan pemeriksaan fisik
dari banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak,
pada auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi
yang terdapat cairan. Pada limfadenitis tuberkulosis, terlihat pembesaran
kelenjar getah bening, tersering di daerah leher, kadang-kadang di daerah
ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut menjadi cold abcess6.

II.8 Pemeriksaan Penunjang

Gambar 5. Pemeriksaan Tuberkulosis paru

II.8.1 Pemeriksaan Bakteriologi


1) Sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting, karena dengan ditemukannya
kuman BTA, diagnosis tuberculosis sudah dapat dipastikan. Disamping itu
pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan.
Tetapi kadang-kadang tidak mudah untuk mendapat sputum, terutama
pasien yang tidak batuk atau batuk yang non produktif. Dalam hal ini
dianjurkan satu hari sebelum pemeriksaan sputum, pasien dianjurkan
minum air sebanyak +2 liter dan diajarkan melakukan refles batuk. Dapat
juga dengan memberikan tambahan obat-obat mukolitik selama 20-30
menit. Bila masih sulit, sputum dapat diperoleh dengan cara bronkoskopi
diambil dengan brushing atau bronchial washing atau BAL (broncho
alveolar lavage)3.
Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya
ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain
diperlukan 5000 kuman dalam 1 mL sputum. (3) Kuman berbentuk batang
yang ramping (diameter kurang dari 0,5 µm), kadang melengkung, sering
bermanik-manik polikromatik, seringkali tampak pada specimen klinis
sebagai pasangan atau kelompok beberapa organism yang terletak
bersisian4.
Gambar 6. Sputum BTA

Untuk pewarnaan sediaan dianjurkan memakai cara Tan Thiam Hok


yang merupakan modifikasi gabungan cara pulasan Kinyoun dan Gabbet.
Cara pemeriksaan sediaan sputum yang dilakukan adalah :
a) Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop biasa,
b) Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop fluoresens
(pewarnaan khusus),
c) Pemeriksaan dengan biakan (kultur),
d) Pemeriksaan terhadap resistensi obat.
Pemeriksaan dengan mikroskoskop fluoresens dengan sinar
ultraviolet walaupun sensitifitasnya tinggi sangat jarang dilakukan, karena
pewarnaan yang dipakai (auramin-rhodamin) dicurigai bersifat
karsinogenik3.
Pewarnaan yang lebih pasti adalah dengan karbofluksin, pewarnaan
ini membutuhkan pembacaan yang teliti dengan mikroskop imersi minyak,
basilus tuberkulosa dapat dilihat dengan pembesaran 1000 kali4.
Pada pemeriksaan dengan biakan, setelah 4-6 minggu penanaman
sputum dalam medium biakan, koloni kuman tuberkolosis mulai tampak.
Bila setelah 8 minggu penanaman koloni tidak juga tampak, biakan
dinyatakan negative. Medium biakan telur yang sering dipakai yaitu
Lowenstein Jensen, Kudoh atau Ogawa3. Sementara medium biakan agar
adalah Middle Brook6.
Kadang-kadang dari hasil pemeriksaan mikroskopis biasa terdapat
kuman BTA (positif), tetapi pada biakan hasilnya negatif. Ini terjadi pada
fenomena dead bacilli, atau non culturable bacilli yang disebabkan
keampuhan panduan obat anti tuberculosis jangka pendek yang cepat
mematikan kuman BTA.panduan obat anti tuberkulosis jangka pendek yang
cepat mematikan kuman BTA3.

2) Untuk pemeriksaan BTA sediaan mikroskopis biasa dan sediaan


biakan, bahan-bahan selain sputum dapat juga diambil dari :
a) Cairan serebrospinal sebaiknya dianalisis untuk mengetahui
kadar protein dan glukosa (dibandingkan dengan total serum
simultan protein dan glukosa). Jumlah sel darah putih juga
harus diperoleh. Protein yang tinggi (50% dari konsentrasi
serum protein), limfositosis, dan glukosa yang rendah adalah
khas meningitis tuberkulosis2.
b) Bilasan lambung sering dikerjakan pada anak-anak karena
mereka sulit mengeluarkan dahaknya3. Sekitar 50 ml isi
lambung harus diaspirasi pada pag hari, setelah pasien
menjalani puasa selama 8-10 jam, dan lebih baik jika pasien
masih di tempat tidur.
c) Cairan pleura, peritoneum, dan perikardial dapat dianalisis
untuk mengetahui kadar protein dan glukosa (dibandingkan
dengan total serum simultan protein dan glukosa). Sel dan
diferensial jumlah harus diperoleh. Protein yang tinggi (50%
dari konsentrasi serum protein), limfositosis, dan glukosa
yang rendah biasanya ditemukan pada infeksi tuberkulosis.
d) Bilasan urin biasanya menunjukkan hasil negatif dan
karenanya tidak efektif untuk dilakukan2.

II.8.2 Pemeriksaan Radiologi


Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang
praktis untuk menemukan lesi tuberkulosis serta memberikan keuntungan
seperti pada tuberkulosis anak-anak dan tuberkulosis milier. Pada kedua hal
ini diagnosis dapat diperoleh melalui pemeriksaan radiologis dada,
sedangkan pemeriksaan sputum selalu negatif3.
Pemeriksaan standar adalah foto toraks posterior-anterior.
Gambaran yang dicurigai sebagi lesi tuberkulosis aktif adalah :
1) Pada segmen apikal dan posterior lobus atas paru serta
segmen superior lobus bawah paru ditemukan berupa
bercak-bercak seperti awan / nodular6.
2) Pada kavitas bayangannya berupa cincin yang mula-mula
berdinding tipis. Lama-lama dinding jadi sklerotik dan
terlihat menebal,
3) Bayangan bercak milier, berupa bercak-bercak halus yang
umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan paru3.
4) Efusi pleura unilateral atau bilateral.

Gambaran radiologis yang dicurigai lesi tuberkulosis inaktif adalah6:


1) Fibrotik, terlihat bayangan yang bergaris-garis,
2) Kalsifikasi, terlihat seperti bercak-bercak padat dengan
densitas tinggi,
3) Schwarte atau penebalan pleura.
Gambaran radiologis lain yang sering menyertai tuberkulosis paru
adalah bayangan hitam radio-ulsen di pinggir paru atau pleura
(pneumotoraks) dan atelektasis yang terlihat seperti fibrosis yang luas
disertai penciutan yang dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus maupun
pada satu bagian paru
Berdasarkan luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk
kepentingan pengobatan dapat dinyatakan sebagai berikut3:
1) Tuberkulosis minimal. Terdapat sebagian kecil infiltrat
nonkavitas pada satu paru maupun kedua paru, tetapi
jumlahnya, tidak melebihi satu lobus paru.
2) Moderately advanced tuberculosis. Ada kavitas dengan
diameter tidak lebih dari 4 cm. Jumlah infiltrat bayangan
halus tidak lebih dari satu bagian paru. Bila bayangannya
kasar tidak lebih dari sepertiga bagian paru.
3) Far advanced tuberculosis. Terdapat infiltrat dan kavitas
yang melebih keadaan pada moderately advanced
tuberculosis.

Gambar 7. Rontgen Toraks Tuberkulosis Paru


II.8.3 Tes Tuberkulin Intradermal (Mantoux)
Pemeriksaan ini masih banyak dipakai utuk membantu menegakkan
diagnosis tuberkulosis terutama pada anak-anak (balita)3.
Teknik standar tes Mantoux adalah dengan menyuntikkan
tuberkulin PPD (Purified Protein Derivative) sebanyak 0,1 ml yang
mengandung 5 T.U. tuberkulin secara intrakutan, pada sepertiga atas
permukaan volar atau dorsal lengan bawah setelah kulit dibersihkan dengan
alkohol. Jarum dipegang dengan permukaan miring diarahkan ke atas dan
ujungnya dimasukkan ke bawah permukaan kulit. Akan terbentuk satu
gelembung berdiameter 6-10 mm yang menyerupai gigitan nyamuk bila
dosis 0,1 ml disuntikkan dengan tepat dan cermat9.
Untuk memperoleh reaksi kulit yang maksimum diperlukan waktu
antara 48-72 jam sesudah penyuntikan dan reaksi harus dibaca dalam
periode tersebut, yaitu dalam cahaya yang terang dan posisi lengan bawah
sedikit ditekuk. Hanya indurasi (pembengkakan yang teraba) dan bukan
eritem yang bernilai9.
Hasil tes mantoux ini dibagi dalam3:
1) Indurasi berdiameter 0-5 mm : Mantoux negatif
2) Indurasi berdiameter 6-9 mm : hasil meragukan
3) Indurasi berdiameter 10-15 mm : Mantoux positif
4) Indurasi berdiameter > 15 mm : Mantoux positif kuat
5) Untuk pasien dengan HIV positif, tes mantous ± 5 mm,
dinilai positif.

Gambar 8. Tes Tuberkulin Intradermal (Mantoux)12


Tes Mantoux hanya menyatakan apakah seseorang individu sedang
atau pernah mengalami infeksi Mycobacterium tuberculosis,
Mycobacterium bovis, vaksinasi BCG dan Mycobacteria patogen lainnya.
Dasar tes tuberkulin ini adalah reaksi alergi tipe lambat. Biasanya hampir
seluruh pasien tuberkulosis memberikan reaksi Mantoux yang positif
(99,8%). Kelemahan tes ini juga terdapat positif palsu yakni pada pemberian
BCG atau terinfeksi Mycobacterium lain. Negatif palsu lebih banyak
dijumpai daripada positif palsu3.
Hal-hal yang memberikan reaksi tuberkulin berkurang (negatif palsu)
yakni3:
1) Pasien yang baru 2-10 minggu terpajan tuberkulosis.
2) Penyakit sistemik berat (Sarkoidosi, LE),
3) Penyakit eksantematous dengan panas yang akut : morbili,
cacar air, poliomielitis,
4) Reaksi hipersensitivitas menurun pada penyakit Hodgkin.
5) Pemberian kortikosteroid yang lama,
6) Usia tua, malutrisi, uremia, penyakit keganasan.

II.8.4 Pemeriksaan Penunjang Lain


1) Pemeriksaan Histopatologi Jaringan
Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosis tuberkulosis. Bahan jaringan dapat diperoleh melalui biopsi atau
otopsi, yaitu6:
a) Biopsi aspirasi dengan jarum halum (BJH) kelenjar getah
bening (KGB),
b) Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum
Abram, Cope dan Veen Silverman),
c) Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy / TBLB)
dengan bronkoskopi,
d) Biopsi atau aspirasi pada lesi organ di luar paru yang
dicurigai tuberkulosis.
e) Otopsi
Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil dua sediaan, satu
sediaan dimasukkan ke dalam larutan salin dan di kirim ke laboratorium
mikrobiologi untuk dikultur, serta sediaan yang kedua difiksasi untuk
pemeriksaan histologi6.
2) Pemeriksaan Darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang
spesifk untuk tuberkulosis. Pada saat tuberkulosis baru mulai (aktif) akan
didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan hitung jenis
pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih dibawah normal. Laju endap
darah mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit
kembali normal, dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai
turun ke arah normal lagi3.

II.9 Penatalaksanaan
Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif 2-
3 bulan dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan6. Pengobatan TB bertujuan untuk
menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan,
memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman
terhadap OAT1.

II.9.1 Obat Anti Tuberkulosis


Obat yang dipakai :
1) Jenis obat utama (lini 1) yang digunaka adalah :
INH, Rifampisin, Pirazinamid, Etambutol, Streptomisin.
2) Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)
Kanamisin, PAS (para amino salicylic acid), Ofloksasin, Tiasetazon,
Etionamid, Sikloserin, Protionamid, Viomisin, Kapreomisin,
Amikasin, Norfloksasin, Levofloksasin, Klofazimin3.
Kemasan :
1) Obat tunggal : obat disajikan secara terpisah.
Tabel 1. Jenis dan dosis OAT

Dosis Obat (mg)


Berat
Rifampisin INH Pirazinamid Etambutol Streptomisin
Badan
(R) (H) (Z) (E) (S)
< 40 300 150 750 750 Sesuai BB
40-60 450 300 1000 1000 750
>60 600 450 1500 1500 1000

2) Obat kombinasi dosis tetap/KDT (Fixed Dose Combination-FDC)


Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet.
International union Againts Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan
WHO menyarankan untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan
kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB primer pada tahun 1998. Dosis
obat kombinasi tetap berdasarkan WHO seperti terlihat pada berikut1:

Tahap Lanjutan
Tahap Intensif
Berat 3 kali seminggu selama 16
tiap hari selama 56 hari
Badan minggu
RHZE (150/75/400/275)
RH (150/150)
30-37 2 tablet 2 tablet
38-54 3 tablet 3 tablet
55-70 4 tablet 4 tablet
>71 5 tablet 5 tablet
Tabel 2. Dosis OAT KDT

Obat kombinasi dosis tetap mempunyai beberapa keuntungan


dalam pengobatan TB1:
a) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga
menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
b) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan
resiko terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi
kesalahan penulisan resep
c) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga
pemberian obat menjadi sederhana dan meningkatkan
kepatuhan pasien.
d) Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap
penatalaksanaan yang benar dan standar.

II.9.2 Paduan obat Anti Tuberkulosis


Menurut buku Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi6:
1) Pasien kasus baru TB paru dengan BTA positif, dan TB dengan BTA
negatif beserta gambaran foto toraks lesi luas (termasuk luluh paru).
Paduan obat yang dianjurkan : 2RHZE/4RH atau
2RHZE/4R3H3atau 2RHZE/6HE. Pengobatan fase inisial
resimennya 2HRZE, maksudnya Rifampisin (R), Isoniazid (H),
Pirazinamid (Z) dan Etambutol (E) diberikan setiap hari selama dua
bulan.
Kemudian diteruskan ke fase lanjutan 4RH atau 4R3H3 atau 6HE,
maksudnya Rifampisin dan Isoniazid diberikan selama empat bulan
setiap hari atau tiga kali seminggu, atau diberikan selama 6 bulan.
Bila ada fasilitas biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan
dengan hasil uji resistensi.
2) Pasien baru TB paru dengan BTA negatif beserta gambaran foto
toraks lesi minimal.
Panduan obat yang dianjurkan : 2RHZE/4RH atau 2RHZE/4R3H3
atau 6RHE
3) Pasien TB paru kasus kambuh.
Sebelum ada hasil uji resistensi dapat diberikan 2RHZES/1RHZE.
Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat
hasil uji resistensi dapat diberikan RHE selama 5 bulan.
4) Pasien TB paru kasus gagal pengobatan.
Paduan obat yang dianjurkan : 2RHZES/1RHZE/5RHE.
Sebelum ada hasil uji resistensi seharusnya diberikan obat lini 2
(contoh paduan : 3-6 bulan kanamisin, ofloksasin, etionamid,
sikloserin dilanjutkan 15-18 bulan ofloksasin, etionamid,
sikloserin). Dalam keadaan tidak memungkinkan fase awal dapat
diberikan 2RHZES/1RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji
resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan
RHE selama 5 bulan.
5) Pasien TB kasus putus obat.
Paduan obat yang disediakan oleh Program Nasional TB :
RHZES/1RHZE/5R3H3E3.
Pasien TB paru kasus lalai berobat akan dimulai pengobatan kembali
sesuai dengan kriteria berikut :
a) Berobat < 4 bulan
Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan
paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan
yang lebih lama. Bila BTA negatif, gambaran foto toraks
positif, TB aktif pengobatan diteruskan.
b) Berobat ≥ 4 bulan
Bila BTA saat ini negatif, klinis dan radiologi tidak aktif atau
ada perbaikan maka pengobatan OAT dihentikan. Bila
gambaran radiolologi aktif, lakukan analisis lebih lanjut
untuk memastikan diagnosis TB dengan mempertimbangkan
juga kemungkinan penyakit paru lain. Bila terbukti TB maka
pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih
kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama. Bila
BTA saat ini positif, pengobatan dimulai dari awal dengan
paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan
yang lebih lama.
6) Pasien TB paru kasus kronik.
a) Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji
resistensi berikan RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi,
sesuaikan dengan hasil uji resistensi (minimal terdapat 4
macam OAT yang masih sensitif) ditambah dengan obat lini
2 seperti kuinolon, betalaktam, makrolid, dan lain-lain.
Pengobatan minimal selama 18 bulan.
b) Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup
c) Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan
kemungkinan penyembuhan.
d) Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke dokter spesialis paru.

Sedangkan menurut buku Pedoman Nasional Penanggulangan


Tuberkulosis pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi1:
1) Kategori-1 (2HRZE/ 4R3H3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
a) Pasien baru TB paru BTA positif.
b) Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
c) Pasien TB ekstra paru

2) Kategori -2 (2RHZES/ RHZE/5R3H3E3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah
diobati sebelumnya:
a) Pasien kambuh
b) Pasien gagal
c) Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

Tabel 3. Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2

Tahap Intensif
Berat Tahap Lanjutan
tiap hari
Badan 3 kali seminggu
RHZE (150/75/400/275) + S
RH (150/150) +
E(400)
Selama 28
Selama 56 hari selama 20 minggu
hari
30-37 2 tab 4KDT 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT
+ 500 mg Streptomisin + 2 tab Etambutol
inj.
38-54 3 tab 4KDT 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT
+ 750 mg Streptomisin + 3 tab Etambutol
inj
55-70 4 tab 4KDT 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT
+ 1000 mg + 4 tab Etambutol
Streptomisin inj.
>71 5 tab 4KDT 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT
+ 1000mg Streptomisin + 5 tab Etambutol
inj.

II.9.3 Efek samping obat dan penatalaksanaannya


Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat, bila efek samping
ringan dan dapat diatasi dengan obat simptomats maka pemberian OAT
dapat dilanjutkan. Tabel pada halaman berikutnya, menjelaskan efek
samping ringan maupun berat dengan pendekatan gejala1.
Tabel 4. Efek samping ringan OAT

Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan


Tidak ada nafsu Rifampisin Semua OAT diminum malam
makan, mual, sakit sebelum tidur
perut
Nyeri Sendi Pirasinamid Beri Aspirin
Kesemutan s/d rasa INH Beri vitamin B6 (piridoxin)
terbakar di kaki 100mg per hari
Warna kemerahan Rifampisin Tidak perlu diberi apa-apa, tapi
pada air seni (urine) perlu penjelasan kepada pasien

Tabel 5. Efek samping berat OAT


Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan
Gatal dan kemerahan Semua jenis Ikuti petunjuk
kulit OAT penatalaksanaan dibawah *).
Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan, ganti
Etambutol.
Gangguan Streptomisin Streptomisin dihentikan, ganti
keseimbangan Etambutol
.
Ikterus tanpa Hampir semua Hentikan semua OAT sampai
penyebab lain OAT ikterus menghilang.

Bingung dan muntah- Hampir semua Hentikan semua OAT, segera


muntah (permulaan OAT lakukan tes fungsi hati.
ikterus karena obat)
Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan Etambutol.
Purpura dan renjatan Rifampisin Hentikan Rifampisin.
(syok)
Penatalaksanaan pasien dengan efek samping “gatal dan kemerahan kulit”1:
Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-
gatal singkirkan dulu kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu anti-
histamin, sambil meneruskan OAT dengan pengawasan ketat. Gatal-gatal
tersebut pada sebagian pasien hilang, namun pada sebagian pasien malahan
terjadi suatu kemerahan kulit. Bila keadaan seperti ini, hentikan semua
OAT. Tunggu sampai kemerahan kulit tersebut hilang. Jika gejala efek
samping ini bertambah berat, pasien perlu dirujuk.

II.9.4 Pengobatan Tuberkulosis pada keadaan khusus


Pengobatan Tuberkulosis pada keadaan khusus dibagi menjadi1:
1) Kehamilan dan menyusui
Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda
dengan Pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua
OAT aman untuk kehamilan, kecuali streptomisin. Streptomisin tidak dapat
dipakai pada kehamilan karena bersifat permanent ototoxic dan dapat
menembus barier placenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya
gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang
akan dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan
pengobatannya sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat
berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan
tertular TB. Tidak ada indikasi penguguran pada pasien TB dengan
kehamilan.
Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda
dengan pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu
menyusui. Seorang ibu menyusui yang menderita TB harus mendapat
paduan OAT secara adekuat.
Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah
penularan kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan
dan bayi tersebut dapat terus disusui. Pengobatan pencegahan dengan INH
diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya.

2) Pasien TB pengguna kontrasepsi


Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB,
suntikan KB, susuk KB), sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi
tersebut. Seorang pasien TB sebaiknya mengggunakan kontrasepsi non-
hormonal, atau kontrasepsi yang mengandung estrogen dosis tinggi (50
mcg).

3) Pasien TB dengan hepatitis akut


Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau
klinis ikterik, ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan.
Pada keadaan dimana pengobatan Tb sangat diperlukan dapat diberikan
streptomisin (S) dan Etambutol (E) maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya
menyembuh dan dilanjutkan dengan Rifampisin (R) dan Isoniasid (H)
selama 6 bulan.

4) Pasien TB dengan kelainan hati kronik


Bila ada kecurigaan gangguan faal hati, dianjurkan pemeriksaan faal
hati sebelum pengobatan Tb. Kalau SGOT dan SGPT meningkat lebih dari
3 kali OAT tidak diberikan dan bila telah dalam pengobatan, harus
dihentikan. Kalau peningkatannya kurang dari 3 kali, pengobatan dapat
dilaksanakan atau diteruskan dengan pengawasan ketat. Pasien dengan
kelainan hati, Pirasinamid (Z) tidak boleh digunakan. Paduan OAT yang
dapat dianjurkan (rekomendasi WHO) adalah 2RHES/6RH atau
2HES/10HE.

5) Hepatitis Imbas Obat

Dikenal sebagai kelainan fungsi hati akibat penggunaan obat-obat


hepatotoksik (drug induced hepatitis). Penatalaksanaannya :
a) Bila klinik (+) (Ikterik [+], gejala mual, muntah [+])  OAT Stop
b) Bila gejala (+) dan SGOT, SGPT ≥ 3 kali  OAT stop
c) Bila gejala klinis (-), Laboratorium terdapat kelainan:
Bilirubin > 2  OAT stop
d) SGOT, SGPT > 5 kali  OAT stop
e) SGOT, SGPT > 3 kali  teruskan pengobatan, dengan
pengawasan

Paduan OAT yang dianjurkan :


a) Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ)
b) Setelah itu, monitor klinik dan laboratorium. Bila klinik dan
laboratorium normalkembali (bilirubin, SGOT, SGPT),
maka tambahkan H (INH) desensitisasi sampaidengan dosis
penuh (300 mg). Selama itu perhatikan klinik dan periksa
laboratoriumsaat INH dosis penuh, bila klinik dan
laboratorium normal , tambahkan rifampisin,desensitisasi
sampai dengan dosis penuh (sesuai berat badan). Sehingga
paduan obatmenjadi RHES3.
c) Pirazinamid tidak boleh diberikan lagi

6) Pasien TB dengan gagal ginjal


Isoniasid (H), Rifampisin (R) dan Pirasinamid (Z) dapat di ekskresi
melalui empedu dan dapat dicerna menjadi senyawa-senyawa yang tidak
toksik. OAT jenis ini dapat diberikan dengan dosis standar pada pasien-
pasien dengan gangguan ginjal. Streptomisin dan Etambutol diekskresi
melalui ginjal, oleh karena itu hindari penggunaannya pada pasien dengan
gangguan ginjal.
Apabila fasilitas pemantauan faal ginjal tersedia, Etambutol dan
Streptomisin tetap dapat diberikan dengan dosis yang sesuai faal ginjal.
Paduan OAT yang paling aman untuk pasien dengan gagal ginjal adalah
2HRZ/4HR.

7) Pasien TB dengan Diabetes Melitus


Diabetes harus dikontrol. Penggunaan Rifampisin dapat mengurangi
efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosis obat anti
diabetes perlu ditingkatkan. Insulin dapat digunakan untuk mengontrol gula
darah, setelah selesai pengobatan TB, dilanjutkan dengan anti diabetes oral.
Pada pasien Diabetes Mellitus sering terjadi komplikasi retinopati diabetika,
oleh karena itu hati-hati dengan pemberian etambutol, karena dapat
memperberat kelainan tersebut. Apabila kadar gula darah tdak terkontrol,
maka lama pengobatan dapat dilanjutkan sampai 9 bulan.

8) Pasien TB Milier
Paduan obat yang diberikan adalah 2RHZE/4RH dan diindikasikan
untuk rawat inap. Pada gejala meningitis, sesak napas, gejala toksik, dan
demam tinggi dapat diberikan kortikosteroid prednison dengan dosis 30-40
mg per hari kemudian diturunkan secara bertahap.
9) Pasien Efusi Pleura TB
Paduan obat yang diberikan adalah 2RHZE/4RH. Evakuasi cairan
dilakukan seoptimal mungkin, sesuai keadaan pasien dan dapat diberikan
kortikosteroid. Hati-hati pemberian kortikosteroid pada TB dengan lesi
luas dan DM. Evakuasi cairan dapat diulang jika diperlukan.

10) Pasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (reseksi paru),


adalah:
a) Untuk TB paru:
a. Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi
dengan cara konservatif.
b. Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema
yang tidak dapat diatasi secara konservatif.
c. Pasien MDR TB dengan kelainan paru yang
terlokalisir
b) Untuk TB ekstra paru:
Pasien TB ekstra paru dengan komplikasi, misalnya pasien
TB tulang yang disertai kelainan neurologik.

11) Pasien TB dengan infeksi HIV/AIDS


Tatalaksanan pengobatan TB pada pasien dengan infeksi HIV/AIDS
adalah sama seperti pasien TB lainnya. Obat TB pada pasien HIV/AIDS
sama efektifnya dengan pasien TB yang tidak disertai HIV/AIDS. Prinsip
pengobatan pasien TB-HIV adalah dengan mendahulukan pengobatan TB.
Pengobatan ARV(antiretroviral) dimulai berdasarkan stadium
klinis HIV sesuai dengan standar WHO. Penggunaan suntikan Streptomisin
harus memperhatikan Prinsip-prinsip Universal Precaution (Kewaspadaan
Keamanan Universal).
Pengobatan pasien TB-HIV sebaiknya diberikan secara terintegrasi
dalam satu unit pelayanan kesehatan untuk menjaga kepatuhan pengobatan
secara teratur. Pasien TB yang berisiko tinggi terhadap infeksi HIV perlu
dirujuk ke pelayanan VCT (Voluntary Counceling and Testing = Konsul
sukarela dengan test HIV).

12) Tuberkulosis pada organ lain


Paduan OAT untuk pengobatan tuberculosis di berbagai organ tubuh
sama dengan TB paru menurut ATS, misalnya lama pengobatan untuk TB
tulang, TB sendi, dan TB kelenjar adalah 9-12 bulan. Paduan OAT yang
diberikan adalah : 2HRZE/7-10RH

II.9.5 Evaluasi Pengobatan

1) Evaluasi klinis
Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan
selanjutnya setiap 1 bulan. Evaluasi respon pengobatan dan ada tidaknya
efek samping obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit. Evaluasi klinis
meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisis6.

2) Evaluasi bakteriologi
Evaluasi bakteriologi (0-2-6/9 bulan pengobatan). Tujuan untuk
mendeteksi ada tidaknya konversi dahak. Pemeriksaan dan evaluasi
pemeriksaan mikroskopis sebelum pengobatan dimulai, setelah 2 bulan
pengobatan (setelah fase intensif) dan pada akhir pengobatan. Bila ada
fasiliti biakan, dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi6.

3) Evaluasi radiologis
Evaluasi radiologis (0-2-6/9 bulan pengobatan). Pemeriksaan dan
evaluasi foto toraks dilakukan pada saat sebelum pengobatan, setelah 2
bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan
keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan) dan pada akhir
pengobatan6.

4) Evaluasi efek samping secara klinis6.


a) Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati,
fungsi ginjal, dan darah lengkap.
b) Fungsi hati : SGOT, SGPT, bilirubin. Fungsi ginjal : ureum,
kreatinin, dan gula darah, serta asam urat untuk data dasar
penyakit peyerta atau efek samping pengobatan.
c) Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid.
d) Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan
etambutol (bila ada keluhan)
e) Pasien yang mendapat streptomisin harus diuji
keseimbangan dan audiometric (bila ada keluhan)
f) Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan
pemeriksaan awal tersebut. Yang paling penting adalah
evaluasi klinis kemungkinan terjadi efek samping obat. Bila
pada evaluasi klinis dicurigai terdapat efek samping, maka
dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya
dan penangan efek samping obat sesuai pedoman.

5) Kriteria sembuh6:
a) BTA mikroskopis negatif dua kali (pada akhir fase itensif
dan akhir pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan
yang adekuat.
b) Pada foto toraks, gambaran radiologi serial tetap
sama/perbaikan.
c) Bila ada fasilitas biakan, maka criteria ditambah biakan
negatif.

6) Evaluasi pasien yang telah sembuh


Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh sebaiknya tetap dievaluasi
minimal dalam 2 tahun pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk
mengetahui kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah mikroskopis BTA
dahak dan foto toraks. Mikroskopis BTA dahak 3, 6, 12, dan 24 bulan
(sesuai indikasi/bila ada gejala) setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto
toraks 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh (bila ada kecurigaan TB
kambuh)6.
BAB III
KESIMPULAN

Tuberkulosis merupakan penyalit menular yang disebabkan oleh infeksi


kuman Mycobacterium tuberculosis. TB dapat menyebar melalui droplet orang
yang telah terinfeksi basil TB. Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi
dapat juga mengenai organ tubuh lainnya seperti sistem saraf pusat, sistem
limfatikus, sistem urinaria, pencernaan, sendi, dan lainnya, terutama paru. Terdapat
beberapa klasifikasi tuberkulosis salah satunya yaitu kasus bekas TB. Kasus bekas
TB ditentukan dari pemeriksaan dahak negatif dan gambaran radiologik paru
menunjukkan lesi TB inaktif, terlebih gambaran radiologik serial menunjukkan
gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT yang adekuat akan lebih
mendukung. Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan lesi TB aktif,
namun setelah mendapat pengobatan OAT selama 2 bulan ternyata tidak ada
perubahan gambaran radiologik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Abdul A, et all. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2.


Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007.
2. American Thorachic Society. Diagnostic Standards and Classification of
Tuberculosis in Adults and Children. Am J Respir Crit Care Med vol 161.
2000; p:1376–1395.
3. Amin Z dan Asril B. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid II. Edisi IV. Hal 988-992. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006.
4. Isselbacher, Braunwald, Wilson et all. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu
Penyakit Dalam. Volume 2. Edisi 13. Hal 799-808. Jakarta: EGC, 1999.
5. Mansjoer A, et all. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid I. Hal 472-476.
Jakarta: Media Aesculapius, 2001.
6. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis. Pedoman Diagnosis dan
Pentalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Indah Offset Citra Grafika, 2006.
7. Perhimpunan Doter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Tuberkulosis
Paru. Panduan Pelayanan Medik. Hal 109-111. Jakarta: BP PAPDI,2009.
8. Sastroasmoro N, et all. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta: RSUP Nasional DR. Cipto Mangunkusumo,2007.
9. Sylvia A, Loraine M. Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Volume 2. Edisi 6. Hal 852-860. Jakarta: EGC, 2005.

Anda mungkin juga menyukai