Anda di halaman 1dari 23

MUQADDIMAH

MUQADDIMAH

Di dalam syariat Islam dikenal istilah kaidah, yang berfungsi


untuk meringkas berbagai macam permasalahan syariat
sehingga dengan kaidah tersebut kita akan dimudahkan untuk
memecahkan permasalahan-permasalahan agama yang
beraneka ragam.

Khususnya pembahasan fiqih, para ulama telah menetapkan


berbagai kaidah sebagai patokan untuk menyelesaikan kasus-
kasus fiqih tersebut.

Dari bagan di atas diketahui bahwa paling tidak ada tiga kaidah
utama di dalam syariat Islam, yaitu:

1. Kaidah Ushuliyyah

Kaidah ushuliyyah atau kaidah ushul fiqih adalah kaidah yang


membahas seputar penggunaaan lafadz atau bahasa. Dengan
kaidah-kaidah tersebut, seorang alim dapat menyimpulkan
makna dari sebuah lafadz bahasa Arab. Misal kaidah ‫األ َ ْم ُر‬
ِ ‫( ِل ْل ُو ُج ْو‬lafadz perintah asalnya menunjukkan akan wajibnya hal
‫ب‬
tersebut) atau kaidah ‫ي يَ ْقت َ ِضى التحْ ِر ْي ُم‬
ُ ‫( الن ْه‬lafadz pelarangan
asalnya menunjukkan akan haramnya hal tersebut).

Kedua kaidah tersebut disebut kaidah ushuliyyah yang


ditemukan dalam pembahasan ushul fiqih. Sebagai contoh
firman Allah:
َّ ‫ار َكعُوا َم َع‬
َ‫الرا ِكعِين‬ ْ ‫الزكَاة َ َو‬ َّ ‫َوأَقِي ُموا ال‬
َّ ‫ص ََلة َ َوآتُوا‬

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah beserta


orang-orang yang ruku’.” (QS Al-Baqarah : 43)

Ahli ushul fiqih akan melihat bahwa di dalam ayat ini terdapat
lafadz fiil amr (kata kerja perintah). Berdasarkan kaidah ushul
ِ ‫( األ َ ْم ُر ِل ْل ُو ُج ْو‬lafadz perintah asalnya menunjukkan akan
fiqih ‫ب‬
wajibnya hal tersebut), maka mereka akan berkesimpulan
bahwa shalat dan zakat itu hukumnya wajib.

2. Kaidah Fiqhiyyah

Adapun kaidah fiqhiyyah (kaidah fiqih) adalah kaidah yang


merupakan kesimpulan dari banyak permasalahan fiqih yang
memiliki hukum-hukum yang sama sehingga muncullah kaidah
yang mewakili persamaan tersebut.

Sebagai gambaran, seorang ahli fiqih dihadapkan dengan


ratusan permasalahan fiqih. Setelah dia menelaahnya, dia
mendapatkan adanya kesamaan di dalam semua
permasalahan tersebut, kesamaan itulah yang kemudian
disimpulkan menjadi kaidah fiqih.

Misalnya, setelah menelaah banyak permasalahan fiqih maka


diperoleh kesimpulan bahwa kemudharatan itu harus
dihilangkan, dibuatlah kaidah ‫( اَلض َر ُر يُ َزا ُل‬ad-dhararu yuzaalu,
kemudharatan harus dihilangkan) atau dalam kesempatan lain
diperoleh kesimpulan bahwa sesuatu yang sudah diyakini
hukumnya maka dia tidak bisa dihilangkan karena adanya
keraguan yang datang setelah itu, dibuatlah kaidah ‫يَ ُز ْو ُل اَ ْليَ ِق ْينُ َل‬
‫( بِالش ِك‬al-yaqinu laa yazuulu bisy syak, keyakinan tidak bisa
dihilangkan dengan keraguan).

Berdasarkan hal tersebut, kaidah ushul fiqih lebih awal


digunakan dari pada kaidah fiqih. Karena kaidah ushuliyyah
digunakan untuk mengetahui kandungan makna sebuah lafadz
yang berujung pada kesimpulan hukum.

Lalu dari banyak hukum-hukum tersebut yang memiliki


kesamaan makna atau maksud, disimpulkanlah menjadi
kaidah-kaidah fiqih. Sehingga dari sisi urutan penggunaan,
asalnya kaidah ushul fiqih diaplikasikan terlebih dahulu,
meskipun dalam realitanya kaidah ushul fiqih dan kaidah fiqih
digunakan secara bersama-sama.

3. Dhabith Fiqhiyyah

Dikenal pula istilah dhabith fiqhiyyah, yang sedikit berbeda


dengan kaidah fiqih. Dhabith fiqhiyyah adalah sejenis kaidah
fiqih akan tetapi berlaku hanya di dalam satu bab atau
beberapa bab fiqih tertentu saja. Misal, dhabith ‫س ْه ٍو‬ َ ‫ِلك ُِل‬
‫ان‬
ِ َ ‫ت‬‫د‬َ ْ‫ج‬‫س‬َ (likulli sahwin sajdatani, setiap lupa diganti dengan dua
sujud), maka kaidah atau dhabit ini hanya berlaku di dalam
pembahasan shalat saja dan tidak berlaku di dalam
pembahasan fiqih lainnya.

Tidak diragukan lagi bahwa menumpuknya permasalahan


manusia dan banyaknya kewajiban-kewajiban yang dibebankan
kepadanya sebagai hamba Allah, membuat ia perlu terhadap
kaidah-kaidah seperti di atas, khususnya kaidah-kaidah fiqih
yang bisa langsung ia terapkan untuk menghukumi sebuah
kasus yang ia jumpai dalam kehidupannya tanpa harus
bertanya kepada seorang alim atas setiap permasalahannya
satu per satu. Lantas apakah modal yang harus dia miliki untuk
mengetahui kaidah-kaidah tersebut?

Alhamdulillah, di zaman ini semua orang tidak perlu lagi


menelaah lalu menyimpulkan kaidah fiqih dari ribuan atau
bahkan lebih permasalahan fiqih yang ada, hal itu karena
kaidah-kaidah fiqih tersebut sudah paten keberadaannya dan
sudah dibukukan oleh para ulama dengan rapi. Kaidah-kaidah
tersebut tinggal dipergunakan untuk membantu kita di dalam
memahami dan menyimpulkan permasalahan-permasalahan
fiqih yang kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari.

Kaidah Fiqhiyyah Kubra

Sesungguhnya kaidah-kaidah dalam permasalahan fiqih


sangatlah banyak, tetapi diantara sekian banyak kaidah fiqih
tersebut, ada lima kaidah yang paling besar yang dikenal
dengan istilah kaidah fiqhiyyah kubra (kaidah fiqih terbesar)
atau kaidah fiqhiyyah al-khamsah (lima kaidah fiqih yang
utama) karena jumlahnya ada lima.

Kelima kaidah ini dinamakan sebagai kaidah kubra atau kaidah


besar karena beberapa alasan, yaitu:

1. Lima kaidah ini dapat diberlakukan pada hampir seluruh


bab-bab fiqih. Berbeda dengan kaidah-kaidah lainnya,
yang terkadang hanya berkaitan dengan bab thaharah
saja, atau bab muamalah saja, atau bab-bab tertentu
lainnya.
2. Lima kaidah ini disepakati oleh madzhab yang empat.
Mereka semua menggunakan lima kaidah ini untuk
menyimpulkan masalah-masalah fiqih apabila ditinjau
dari madzhab mereka masing-masing.
3. Lima kaidah ini masing-masing mengandung banyak
kaidah turunan di bawahnya.
KAIDAH 1

َ ‫م‬‫ب‬ ‫ر‬‫و‬‫م‬ ُ
ِ َ ِ ُ ْ ُ ‫اَأل‬
‫اصد َها‬ ‫ق‬
Al-Umuuru bi
Maqaashidiha

(Segala Perbuatan
Tergantung Niatnya)
KAIDAH 1
ِ َ‫اَأل ُ ُم ْو ُر ِب َمق‬
‫اصد َها‬
Al-Umuuru bi Maqaashidiha
(Segala Perbuatan Tergantung Niatnya)

Kaidah ini adalah kaidah yang sangat penting, karena dengan


kaidah ini dia akan mengetahui sejauh mana ia bisa memak-
simalkan ibadahnya.

Maksud dari kaidah ini adalah segala perkataan maupun


perbuatan semua tergantung dari niatnya. Apakah perkataan
dan perbuatan tersebut berbuah pahala atau tidak, semua akan
kembali kepada niat dan tujuan dia berkata dan berbuat.

Dengan niat, akan terbedakan antara dua orang yang


melakukan jenis ibadah yang sama tetapi yang satu berpahala
yang satunya tidak, atau yang satu berpahala tetapi sedikit
namun satunya berpahala yang sangat besar.

Dalil tentang kaidah ini diantaranya firman Allah:

ُ‫الزكَاة َ ۚ َو َٰذَ ِلكَ ِدين‬ َّ ‫صينَ لَهُ الدِينَ ُحنَفَا َء َويُ ِقي ُموا ال‬
َّ ‫ص ََلةَ َويُؤْ تُوا‬ َّ ‫َو َما أ ُ ِم ُروا إِ ََّّل ِليَ ْعبُد ُوا‬
ِ ‫َّللاَ ُم ْخ ِل‬
‫ْالقَ ِي َم ِة‬

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah


Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka
mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian
itulah agama yang lurus.” (QS Al-Bayyinah : 5)

Dalam ayat lain Allah berfirman:

َّ ‫ت قُلُوبُ ُك ْم ۗ َو‬
ٌ ُ‫َّللاُ َغف‬
‫ور َح ِلي ٌم‬ ِ ‫َّللاُ بِاللَّ ْغ ِو فِي أ َ ْي َمانِ ُك ْم َو َٰلَ ِكن ي َُؤ‬
ْ َ‫اخذ ُ ُكم بِ َما َك َسب‬ َّ ‫اخذُ ُك ُم‬
ِ ‫ََّّل ي َُؤ‬

“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang


tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum
kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk
bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyantun.” (QS Al-Baqarah : 225)

Diantara kebiasaan orang Arab adalah terlalu mudah


mengeluarkan kalimat-kalimat sumpah seperti kalimat
Wallahi! (Demi Allah!) atau yang sejenisnya, padahal di dalam
hatinya dia tidak benar-benar bersumpah. Yang seperti ini Allah
tidak akan menghukumnya karena perkataan sumpah yang
sebenarnya dia tidak maksudkan atau tidak sengaja.

Seperti firman Allah:

‫س ِمي ٌع َع ِلي ٌم‬


َ َ‫َّللا‬ َّ ‫َو ِإ ْن َعزَ ُموا ال‬
َّ ‫ط ََلقَ فَإ ِ َّن‬

“Dan jika mereka berazam (bertetap hati untuk) talak, maka


sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Meng-
etahui.” (QS Al-Baqarah : 227)

Maksud ayat ini adalah Allah hanya akan menghukumi kalimat


talaknya berdasarkan niatnya. Karena talak apabila meng-
gunakan lafadz kinayah (tidak sharih atau tegas) maka dikem-
balikan kepada niatnya. Jika niatnya memang untuk bercerai
atau berpisah dengan istrinya maka telah jatuh talak tersebut,
tetapi jika tidak berniat demikian maka tidak jatuh talak.

Diantara dalil lain kaidah ini adalah sabda Nabi:

ُ‫سو ِل ِه ف ِهجْ َرتُه‬ َ ِ‫َت هِجْ َرتُهُ إلى هللا‬


ُ ‫ور‬ ْ ‫ت و ِإنَّما ِل ُك ِل امريءٍ ما ن ََوى فَ َم ْن كَان‬ ِ ‫إنَّ َما األع َمال بالنِيَّا‬
‫ُص ْيبُها أو امرأ ٍة َي ْن ِك ُح َها ف ِهجْ َرتُهُ إلى ما هَا َج َر إلي ِه‬ ‫ي‬ ‫ا‬ ‫ي‬‫ن‬
ِ َ ِ َ ْ‫ِج‬ْ ُ ‫د‬ ‫ل‬ ُ ‫ه‬ُ ‫ت‬ ‫ر‬ ‫ه‬ ْ
‫َت‬ ‫ن‬‫َا‬
‫ك‬ ْ
‫ن‬ ‫س ْو ِل ِه و َم‬
ُ ‫ور‬
َ ِ‫إلى هللا‬

“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap


orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang
hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk
Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari
dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya
kepada yang ia tuju.” (HR Bukhari, no. 1 dan Muslim no. 1907)
Hijrah pada dasarnya merupakan amalan yang sangat agung
yang diganjar dengan pahala yang besar. Namun itu hanya
didapatkan bagi mereka yang berhijrah dengan niat karena
Allah dan Rasul-Nya semata. Adapun yang berhijrah bukan
karena niat tersebut maka dia tidak akan mendapatkan pahala.

Nabi juga bersabda:

‫صفَّي ِْن هللاُ أ َ ْعلَ ُم ِب ِن َّي ِت ِه‬


َّ ‫ُربَّ قَ ِت ْي ٍل َبيْنَ ال‬

“Betapa banyak orang yang terbunuh di antara dua barisan


pasukan, Allah lebih tahu mengenai niatnya.” (HR Ahmad)

Tidak semua yang mati dalam peperangan tersebut


mendapatkan predikat syahid di sisi Allah lantas masuk ke
dalam surga. Sebagaimana dalam sebuah hadits bahwa
dikatakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

:َ‫سبِ ْي ِل هللاِ؟ فَقَال‬ ُّ َ ‫ فَأ‬،‫ َويُقَاتِ ُل ِريَا ًء‬،ً‫ َويُقَاتِ ُل َح ِميَّة‬،ً‫ش َجا َعة‬
َ ‫ي ذَلِكَ فِ ْي‬ َ ‫لر ُج ُل يُقَاتِ ُل‬ َّ َ ‫ ا‬،ِ‫س ْو َل هللا‬ ُ ‫يَا َر‬
.ِ‫س ِب ْي ِل هللا‬ ‫ي‬ ‫ف‬ ‫و‬ ‫ه‬َ ‫ف‬
َ ْ ِ َُ َ ُ َ ِ‫ا‬ ‫ي‬‫ل‬ْ ‫ع‬ ْ
‫ال‬ ‫ِي‬ ‫ه‬ ‫هللا‬ َ ‫ة‬ ‫م‬‫ل‬
َِ َ
‫ك‬ َ‫ن‬ ‫و‬‫ك‬ُ
ْ ِ ‫َم ْن قَا‬
َ ‫ت‬‫ل‬ ‫ل‬
َ َ ‫ت‬

“Wahai Rasulullah, seseorang berperang (karena ingin


dikatakan) berani, seorang (lagi) berperang (karena ingin
dikatakan) gagah, seorang (lagi) berperang karena riya’ (ingin
dilihat orang), maka yang mana yang termasuk jihad di jalan
Allah?” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata, “Barangsiapa yang berperang (dengan tujuan) untuk
menjadikan kalimat Allah yang paling tinggi, maka ia (berada) fii
sabiilillaah (di jalan Allah).” (HR Bukhari no. 7458 dan Muslim
no. 1904)

Orang-orang yang ikut dalam peperangan tetapi dengan niat


untuk membela sukunya semata, atau unjuk keberanian, maka
amalan mereka itu tidak bernilai di sisi Allah walaupun secara
dzhahir amalan yang mereka dan orang-orang yang ikhlas
lakukan itu sama, sama-sama berperang di barisan Islam.

Fungsi Niat

A. Niat sebagai penentu ibadahnya tertuju kepada siapa

1. Ikhlas beribadah karena Allah semata, atau;


2. Syirik dengan beribadah karena riya, sum’ah, ‘ujub dan
lainnya.

B. Niat sebagai pembeda

1. Pembeda antara ibadah dan adat.

Contoh, seseorang yang mandi di pagi hari jumat.


Kemungkinannya kembali kepada dua kemungkinan
tergantung niatnya, apakah niatnya mandi junub untuk
melaksanakan shalat jumat atau mandi biasa sekedar
untuk menyegarkan badannya.

Yang pertama dia mendapatkan pahala karena mela-


kukan amalan ibadah, sedangkan yang kedua tidak
mendapatkan pahala karena hanya melakukan aktivitas
kebiasaan sehari-hari.
2. Pembeda antara ibadah yang satu dengan ibadah yang
lainnya.

Contoh, seseorang yang shalat dua rakaat setelah terbit


fajar (masuk waktu subuh). Maka shalat yang dia
laksanakan kembali kepada tiga kemungkinan, bisa jadi
dia shalat sunnah tahiyyatul masjid, atau shalat sunnah
rawatib qabliyah subuh, atau shalat subuh langsung,
atau kemungkinan lainnya yang kesemuanya tergantung
pada niatnya.

Patut diketahui bahwa diantara amalan-amalan itu ada yang


merupakan ibadah di satu waktu tetapi di lain waktu dia adalah
sekedar kebiasaan, seperti mandi yang telah dicontohkan
sebelumnya.

Namun terdapat amalan yang tidak membutuhkan niat sebagai


pembeda apakah itu ibadah atau sekedar kebiasaan, karena
dari sisi dzatnya dia adalah ibadah secara mutlak. Seperti
berdzikir, membaca Al-Quran, shalat, atau puasa. Amalan-
amalan tersebut tersebut secara dzatnya adalah ibadah, tidak
bisa berubah jenis menjadi kebiasaan hanya karena niat.

Ada pula jenis amalan yang sudah sangat jelas dan bahkan
tidak butuh niat pembeda hendak melakukan jenis ibadah yang
ini atau ibadah yang itu, karena tidak memiliki kemiripan
dengan ibadah yang lain. Seperti ibadah haji, tidak ada amalan
lain yang mirip seperti haji tetapi bukan dengan niat haji.

Begitu pula berpuasa di bulan ramadhan, tidak ada


kemungkinan puasa yang lain di bulan itu. Sehingga dia tidak
perlu mempertegas niatnya akan melakukan jenis ibadah yang
mana. Fungsi niat dalam amalan seperti ini adalah tinggal
membedakan apakah dia ikhlas atau tidak.
Jenis Amalan Hamba

Secara umum amalan hamba terbagi ke dalam dua jenis


ditinjau dari niat hamba tersebut, amalan yang dituntut oleh
syariat dan amalan yang tidak dituntut oleh syariat.

A. Amalan yang dituntut oleh syariat

Amalan yang dituntut oleh syariat terbagi lagi menjadi dua:

Pertama, dituntut untuk dikerjakan.

Disinilah letak pembahasan fungsi niat sebagai pembeda atau


sebagai penentu ikhlas atau tidak, sebagaimana yang telah
berlalu penjelasannya. Ketika seorang hamba mengerjakan
sebuah amalan, maka dia wajib meniatkannya ikhlas karena
Allah semata agar amalan tersebut sah dan diterima di sisi
Allah.

Dia juga perlu terhadap penegasan akan niatnya apakah dia


berniat mengerjakan ibadah A atau ibadah B, atau menegaskan
bahwa dia sedang melakukan ibadah dan bukan sekedar
kebiasaan, karena Allah akan memberikan ganjaran sesuai
niatnya.

Kedua, dituntut untuk ditinggalkan.

Amalan jenis ini tidak perlu terhadap niat untuk sahnya amalan
tersebut. Seperti wajibnya meninggalkan maksiat, amalan ini
tidak butuh niat untuk melepaskan diri dari tanggung jawab
menjauhi maksiat, karena sekedar meninggalkan maka itu
sudah cukup.

Contoh lain, meninggalkan beban punya hutang, cukup


dibayarkan maka kewajibannya sebagai orang yang berhutang
sudah selesai tanpa harus adanya penegasan niat sebelumnya.

Contoh lain, meninggalkan najis, maka mencucinya sampai


hilang itu sudah cukup bahkan ketika najis tersebut hilang
sendiri tanpa sengaja dihilangkan. Berbeda dengan jenis
amalan yang dituntut untuk dikerjakan, dia butuh niat agar
shalat sah, butuh niat agar puasa sah, butuh niat agar mandi
junub sah, dan seterusnya.

Namun jika ingin mendapatkan pahala dari Allah, melebihi


kadar sah, maka tetap perlu niat yaitu niat meninggalkannya
karena Allah. Seperti meninggalkan zina, ada orang yang
meninggalkan zina karena takut terkena HIV/AIDS, yang seperti
ini tidak berpahala dan tidak pula berdosa. Tetapi jika dia
meninggalkan zina karena Allah padahal sudah terbetik untuk
berzina, maka dia akan dapat pahala.

B. Amalan yang tidak dituntut oleh syariat

Yaitu amalan yang boleh dikerjakan dan boleh tidak dikerjakan,


atau disebut dengan mubah. Sama seperti amalan yang
dituntut untuk ditinggalkan, amalan mubah ini tidak perlu
terhadap niat. Umumnya hal-hal mubah adalah perkara-perkara
duniawi yang tidak dituntut untuk berniat. Antara makan daging
atau roti tidak perlu niat yang membedakannya, dan
seterusnya.

Namun jika ingin mendapatkan pahala, maka harus berniat.


Seperti ketika Nabi bersabda,

َ‫َولَسْتَ ت ُ ْن ِف ُق نَ َفقَةً ت َ ْبتَ ِغي بِ َها َوجْ هَ هللاِ إَِّلَّ أ ُ ِج ْرتَ بِ َها َحتَّى ْاللُ ْق َمةَ تَجْ َعلُ َها فِي فِي ْام َرأَتِك‬

“Tidaklah engkau menafkahkan satu nafkah yang dengannya


engkau mengharap wajah Allah subhanahu wa ta’ala kecuali
engkau akan diberi pahala dengannya sampai pun satu suapan
yang engkau berikan ke mulut istrimu.” (HR Muslim no. 1251)

Suapan seorang suami kepada istrinya pada dasarnya murni


karena motivasi duniawi. Tetapi jika diniatkan untuk
mendapatkan pahala dari Allah, maka dia akan mendapatkan
pahala. Seseorang yang makan sekedar makan tidak akan
dapat pahala karena itu perkara mubah, namun jika dia makan
dengan tujuan agar dirinya semakin kuat dalam beribadah
maka pada saat itu aktivitas makannya akan diganjar pahala
oleh Allah.

Oleh karena itu, hendaknya kaidah ini menjadi salah satu


perhatian yang sangat utama karena umumnya aktivitas harian
manusia pada dasarnya adalah murni duniawi. Namun jika
aktivitas tersebut diniatkan karena Allah maka dia akan bernilai
pahala. Seorang suami yang keluar pagi pulang malam mencari
uang hendaknya meniatkannya demi mencari nafkah untuk
keluarganya agar berbuah pahala. Seorang yang tidur cepat
hendaknya berniat agar tidurnya tersebut menambah
kekuatannya dalam beribadah. Sehingga dia menjadikan
seluruh aktivitas kehidupannya bernilai ibadah.

Tentang Melafadzkan Niat

Telah dimaklumi bahwa niat itu tempatnya di hati dan bukan di


lisan. Namun tentang hukum melafadzkan niat maka para
ulama berbeda pendapat di dalam masalah ini tentang boleh
atau tidaknya. Hanya saja semuanya sepakat bahwa Nabi tidak
pernah melafadzkan niat dalam seluruh ibadah yang dia
lakukan.

Begitupun dari para sahabat tidak pernah pula diriwayatkan


satupun di antara mereka yang melafadzkan niat. Dari sini
disimpulkan bahwa yang lebih afdhal adalah tidak melafadzkan
niat ketika ingin mengerjakan sebuah ibadah.

Namun sebagian ulama syafi’iyyah belakangan, mereka


menganjurkan untuk melafadzkan niat dalam rangka untuk
mengokohkan niat tersebut, dengan catatan harus dengan
suara yang pelan (sirr).

Bersamaan dengan itu, banyak pula orang awam yang salah


paham terhadap pendapat ini lantas beranggapan bahwa
melafadzkan niat menurut madzhab syafi’i bukan sekedar
dianjurkan akan tetapi diwajibkan, dan dalam shalat merupakan
syarat sahnya. Namun yang benar tetaplah tidak dianjurkan
untuk melafadzkan niat baik itu pelan lebih-lebih jika
dikeraskan.
Tercampurnya Niat Pada Amalan

Seorang hamba ketika beribadah, dia dituntut untuk


mengikhlaskan niatnya hanya untuk Allah semata. Namun
terkadang ada seorang hamba yang beribadah namun dalam
ibadahnya tersebut tercampuri tendensi-tendensi lain. Kasus
yang seperti ini terbagi menjadi dua.

A. Amalan Tercampuri Niat Duniawi

Seorang hamba yang mengerjakan ibadah dengan ikhlas


namun tercampuri dengan perkara duniawi yang bukan
merupakan riya’, maka hukumnya tidak mengapa. Contoh:

 Menunaikan ibadah haji sembari berniat untuk


berdagang. Maka niat seperti ini tidak mengapa,
sebagaimana firman Allah,

َ َّ ‫ت فَا ْذ ُك ُروا‬
‫َّللا‬ ٍ ‫ع َر َفا‬ َ ‫ضتُم ِّم ْن‬ْ ‫ْس َعلَ ْي ُك ْم ُجنَا ٌح أَن ت َ ْبتَغُوا َفض اًْل ِّمن َّربِّ ُك ْم ۚ َفإ ِّ َذا أ َ َف‬
َ ‫لَي‬
‫َّال‬
َ‫ِّين‬ ‫ض‬ ‫ال‬ ‫م‬ َ ‫ل‬ ‫ه‬
َ‫ِّ ِّ ِّ ن‬ ‫ل‬ ‫ب‬
ْ َ ‫ق‬ ‫ن‬ ‫م‬
ِّ ‫م‬ُ ‫ت‬‫ن‬‫ك‬ُ ‫ن‬‫إ‬ ‫و‬ ‫م‬ ُ
‫ك‬ ‫ا‬ ‫د‬ ‫ه‬ ‫ا‬ ‫م‬ َ
‫ك‬ ‫ه‬‫و‬‫ر‬
ِّ َ ْ َ َ َ ُ ُ َ ِّ َ َ ِّ َ َ َ ِّ ُ
‫ك‬ ْ
‫ذ‬ ‫ا‬ ‫و‬ ۖ ‫ام‬ ‫ر‬‫ح‬ ْ
‫ال‬ ‫ر‬ ‫ع‬‫ش‬ْ ‫م‬ ْ
‫ال‬ ‫د‬ ‫ن‬‫ع‬

“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki


hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu
telah bertolak dari ‘Arafat, berdzikirlah kepada Allah di
Masy’arilharam. Dan berdzikirlah (dengan menyebut)
Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu;
dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar
termasuk orang-orang yang sesat.” (QS Al-Baqarah :
198)

Diantara tafsirannya adalah sambil berdagang di


samping menunaikan haji.

 Menyambung silaturrahmi dengan kerabat karena ingin


bertambah umur dan rezeki. Nabi bersabda,:
ِ َ‫ فَ ْلي‬، ‫سأ َ لَهُ فِى أَثَ ِر ِه‬
ُ‫ص ْل َر ِح َمه‬ َ ‫ َوأَ ْن يُ ْن‬، ‫ط لَهُ فِى ِر ْزقِ ِه‬ َ ‫س َّرهُ أ َ ْن يُ ْب‬
َ ‫س‬ َ ‫َم ْن‬

“Siapa yang suka dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan


umurnya hendaklah dia menyambung silaturrahmi.” (HR
Bukhari no. 5985 dan Muslim no. 2557)

 Bertakwa karena ingin diberikan solusi-solusi dalam


setiap permasalahan. Allah berfirman,:

‫َّللاَ يَجْ عَل لَّهُ َم ْخ َر ًجا‬


َّ ‫ق‬ ِ َّ ‫َو َمن يَت‬

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan


mengadakan baginya jalan keluar.” (QS At-Thalaq : 2)

Semua contoh di atas adalah bentuk ibadah yang tercampuri


dengan niat duniawi. Tetapi Allah dan Nabi-Nya sendiri lah
yang menjanjikan keutamaan-keutamaan duniawi tersebut.
Sehingga yang seperti ini hukumnya tidak mengapa, dengan
syarat dia mengerjakan ibadah tersebut dasarnya memang
ikhlas karena Allah dan tambahan niat duniawinya tidak boleh
lebih mendominasi dari pada niat akhiratnya, apalagi sampai
menjadi murni niatan duniawi.

Sebagaimana Allah berfirman,

ْ َ‫اجلَةَ َع َّج ْلنَا لَهُ فِي َها َما نَشَا ُء ِل َمن نُّ ِريد ُ ث ُ َّم َج َع ْلنَا لَهُ َج َه َّن َم ي‬
‫ص ََلهَا َمذْ ُمو ًما‬ ِ ‫َّمن َكانَ ي ُِريد ُ ْال َع‬
ً ‫َّمدْ ُح‬
‫ورا‬

“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi),


maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami
kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan Kami tentukan
baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam
keadaan tercela dan terusir.” (QS Al-Isra’ : 18)
Allah juga berfirman,:

ِ ‫َمن َكانَ ي ُِريد ُ ْال َحيَاة َ الدُّ ْنيَا َو ِزي َنت َ َها نُ َو‬
َ‫ف إِلَ ْي ِه ْم أ َ ْع َمالَ ُه ْم فِي َها َو ُه ْم فِي َها ََّل يُ ْب َخسُون‬

“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan


perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan
pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di
dunia itu tidak akan dirugikan.” (QS Hud : 15)

B. Amalan Tercampuri Niat Riya’ (ingin dilihat orang)

Seorang hamba yang sedang mengerjakan ibadah lalu dalam


ibadahnya tersebut muncul rasa riya’ maka kondisi ini terbagi
ke dalam 2 kondisi.

1. Muncul sejak awal beramal, maka amal tersebut tertolak.

2. Muncul belakangan, terbagi dalam dua kondisi lagi:

1. Muncul di tengah saat dia sedang beramal, yang


terbagi lagi menjadi dua;

a. Riya’ tersebut dilawan,


Mengandung 2 kemungkinan; Jika dia berhasil maka
dia mendapatkan pahala, dan jika dia tidak berhasil
maka dia tetap dapat pahala karena sudah berusaha
untuk melawannya.

b. Riya’ tersebut tidak dilawan.


Adapun kondisi seperti ini, para ulama berbeda
pendapat. Sebagian mengatakan amalnya gugur,
sebagian lain mengatakan amalnya diterima karena
di awal beramal dia sudah ikhlas. Imam Ahmad
menguatkan pendapat yang kedua.
2. Muncul setelah selesai beramal

Jika seorang hamba telah beramal dengan ikhlas hingga


akhir. Namun tiba-tiba muncul rasa riya’ di kemudian
hari, maka para ulama berbeda pendapat. Jumhur ulama
mengatakan bahwa pahala yang telah dia dapatkan saat
beramal tetap selamat (tidak terhapus), hanya saja riya’
yang muncul tersebut diganjar dosa, dan ini pendapat
yang terkuat.

Sebagian kecil ulama yang lain semisal Ibnul Qayyim


berpendapat bahwa pahala yang didapatkan dari amalan
yang telah dilakukannya itu gugur karena riya’ yang
muncul setelah beramal tersebut.

Hukum Bertaubat dari Riya’

Telah diketahui bahwa seorang hamba yang beramal dengan


riya’ maka hukum asalnya amalannya tersebut tidak diterima.
Namun bagaimana jika dia bertaubat dari riya’ yang menjadi
asas beramalnya dahulu? Dalam hal ini para ulama berbeda
pendapat apakah pahala yang harusnya dia dapat tetapi jadi
terhapus karena riya’ itu bisa kembali lagi, atau tidak kembali.

Para ulama yang berpendapat bahwa pahalanya tidak akan


kembali, beralasan bahwa amalan tersebut memang sedari
awal tidak sah, karena syarat sah diterimanya amalan adalah
ikhlas. Sehingga dengan itu amalannya tidak berbuah pahala,
kalau demikian apa yang mau kembali? Pendapat ini dikuatkan
oleh Ibnul Qayyim.

Adapun jumhur ulama mengatakan bahwa amalannya akan


kembali dan akan diberi pahala sesuai amalannya tersebut.
Mereka mengatakan bahwa hukum asal amal itu diterima,
hanya saja saat dia beramal maka amalannya tersebut tidak
diterima karena ada penghalangnya yaitu riya’.
Ketika penghalangnya dicabut dengan cara bertaubat dari
perbuatan riya’nya maka amalan itu akan kembali dan berbuah
pahala. Alasan lainnya adalah memakai qiyas aulawiy dengan
orang musyrik yang bertaubat dari kesyirikannya lalu dia
beriman sehingga dengannya Allah mengembalikan atau
memberikan ganjaran pahala bagi kebaikan yang dahulu dia
lakukan ketika masih musyrik. Allah berfirman,:

‫سو ِل ِه‬ َّ ‫َو َما َم َن َع ُه ْم أَن ت ُ ْق َب َل ِم ْن ُه ْم َنفَقَاتُ ُه ْم ِإ ََّّل أَنَّ ُه ْم َكفَ ُروا ِب‬
ُ ‫اَّللِ َو ِب َر‬

“Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari


mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir
kepada Allah dan Rasul-Nya.” (QS At-Taubah : 54)

Asalnya amalan mereka diterima, tetapi menjadi tidak diterima


karena terhalang oleh status kekafiran mereka. Jika
penghalangnya hilang, maka amalan yang dulu terhalang jadi
diterima. Sebagaimana sahabat Nabi Hakim bin Hizam yang
dahulunya musyrik, dia bertanya tentang keadaannya kepada
Nabi,:

ِ ‫ َو‬،ٍ‫صدَقَ ٍة أ َ ْو َعتَاقَة‬
،‫ص َل ِة َر ِح ٍم‬ َ ‫ث ِب َها فِي ال َجا ِه ِليَّ ِة ِم ْن‬ ُ َّ‫ أَ َرأَيْتَ أ َ ْش َيا َء ُك ْنتُ أَت َ َحن‬،ِ‫َّللا‬
َّ ‫سو َل‬ ُ ‫َيا َر‬
‫ف ِم ْن َخي ٍْر‬
َ ‫سل‬َ َ َ
َ ‫ أ ْسل ْمتَ َعلى َما‬:‫سل َم‬َ َّ َ
َ ‫صلى هللاُ َعل ْي ِه َو‬ َّ َ ‫ي‬ َ
ُّ ِ‫فَ َه ْل فِي َها ِم ْن أجْ ٍر؟ فَقَا َل النَّب‬

Wahai Rasulullah, “Bagaimana menurut anda tentang beberapa


hal yang aku lakukan sebagai ibadah pada masa jahiliyah?
Seperti sedekah, memerdekakan budak, menyambung
silaturrahmi, apakah aku mendapatkan sesuatu (pahala) di
dalamnya?” Rasulullah bersabda, “(Dengan) memeluk Agama
Islam (kamu tetap mendapatkan pahala) amal kebaikan yang
dulu kamu kerjakan.” (HR Bukhari no. 1436)

Orang musyrik dengan syirik besar saja setelah bertaubat maka


amalan masa lalunya diterima, apalagi orang riya’ yang
merupakan syirik asghar jika ia bertaubat dengan taubat
nashuha. Meskipun demikian, hendaknya setiap hamba tidak
menggampangkan perkara ini, karena tidak ada yang bisa
menjamin apakah dia sempat bertaubat atau tidak.
Kaidah-Kaidah Turunan dari Kaidah Pertama

Telah dijelaskan di awal bahwa diantara karakteristik kaidah


kubra adalah mempunyai kaidah cabang atau turunannya.
Diantara kaidah cabang dari kaidah pertama ini, adalah:

‫اظ َو ْال َمبَانِي‬


ِ َ‫اص ِد َو ْال َمعَانِي ََّل بِ ْاأل َ ْلف‬
ِ َ‫ ا َ ْل ِعب َْرة ُ فِي ْالعُقُ ْو ِد بِال َمق‬.1

(Yang menjadi patokan dalam sebuah akad adalah tujuan dan


hakekatnya, bukan lafadz dan bentuk kalimatnya)

Contoh-contoh penerapan kaidah ini:

 Jika ada seseorang membeli barang dari sebuah toko,


tetapi dia lupa tidak membawa uang. Kemudian dia
mengatakan kepada si penjual, “Saya beli barangmu,
tetapi karena saya lupa bawa uang, untuk sementara
jam tangan saya dititipkan dulu, setelah ini saya akan
pulang mengambil uang kemudian kembali lagi untuk
membayarnya dan akan saya ambil titipan jam tangan
saya.” Walaupun orang ini berkata itu bahwa adalah jam
tangannya sekedar dititipkan tetapi hakekat itu bukan
akad wadi’ah (titipan) melainkan akad rahn (jaminan).

 Perkataan si A kepada si B, “Saya hadiahkan kepada


engkau mobil saya dengan syarat engkau hadiahkan
mobilmu kepadaku.” Maka walaupun mereka berkata itu
adalah bentuk saling memberi hadiah tetapi hakekatnya
itu adalah jual beli.

 Nasabah yang menitipkan uangnya di bank (bermaksud


melakukan akad wadiah). Maka hakekatnya akad yang
dia lakukan adalah akad hutang piutang (akad qarn).
Mengapa demikian? Karena pada akad wadiah tidak
terjadi perpindahan pemilikan, sedangkan apabila terjadi
perpindahan pemilikan maka itu namanya akad hutang
piutang. Seorang nasabah apabila meletakkan uangnya
di bank lalu mengizinkan bank tersebut untuk
memakainya maka itu namanya menghutangi dan bukan
menitipkan.

َ ِ‫ش ْيءٍ قَ ْب َل أَ َوانِ ِه ع ُْوق‬


‫ب بِ ِح ْر َمانِ ِه‬ َ ِ‫ َم ِن ا ْست َ ْع َج َل ب‬.2

(Barangsiapa yang menyegerakan sesuatu sebelum waktunya -


dengan niat yang buruk maka dia dihukum dengan
kebalikannya)

Contoh-contoh penerapan kaidah ini:

 Seseorang yang ingin segera mendapat warisan dari


bapaknya kemudian menghalalkan segala cara agar
keinginannya segera terwujud. Akhirnya dia rela
membunuh bapaknya untuk mewujudkan keinginannya.
Maka dia tidak berhak diberi warisan tersebut. Ini adalah
contoh bentuk menggunakan wasilah haram untuk
mendapatkan tujuan yang syar’i

 Termasuk dalam kaidah ini adalah menggunakan


wasilah syar’i untuk mendapatkan tujuan yang haram.
Seperti seorang suami yang membenci istrinya dan tidak
ingin istrinya mendapatkan warisan darinya.

Ketika dia akan meninggal dunia, dia lalu mentalak


istrinya dengan talak tiga agar istrinya tersebut tidak
mendapat warisan darinya (adapun hanya talak satu
atau dua lalu suaminya meninggal di masa ‘iddahnya
maka sang istri masih dapat warisan). Tatkala terungkap
bahwa dia sengaja menceraikan istrinya dengan niat
untuk memberi kemudharatan kepadanya maka istrinya
tetap mendapatkan warisan darinya.

Read more https://firanda.com/2367-qawaid-fiqhiyyah-al-kubra-


muqaddimah-kaidah-1.html

Anda mungkin juga menyukai