Anda di halaman 1dari 16

Mewujudkan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia yang Maju dan Mandiri

"Usahakanlah agar kita menjadi bangsa pelaut kembali. Ya, bangsa pelaut dalam arti
seluas-luasnya. Bukan sekedar menjadi jongos-jongos di kapal, bukan. Tetapi bangsa
pelaut dalam arti kata cakrawala samudera. Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga,
bangsa pelaut yang mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut
menandingi irama gelombang lautan itu sendiri."

Itulah penggalan pidato Presiden Pertama RI Soekarno pada tahun 1953. Pidato tersebut
tampaknya sangat relevan untuk diwujudkan pada pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla
(2014-2019). Mengapa demikian? Hingga kini kita masih memiliki sejumlah masalah besar
yang perlu segera diatasi sebelum kita mampu mewujudkan Indonesia sebagai poros
maritim dunia. Restorasi maritim Indonesia tak dapat ditunda lagi.
Bayangkan, kejahatan illegal fishing yang dilakukan oleh ribuan kapal asing terus saja
marak terjadi. Data Badan Pemeriksa Keuangan (2013) menunjukkan, potensi pendapatan
sektor perikanan laut kita jika tanpaillegal fishing mencapai Rp. 365 triliun per tahun. Namun,
akibat illegal fishing, menurut hitungan Kementerian Kelautan dan Perikanan (2011),
pendapatan tersebut hanya berkisar Rp. 65 triliun per tahun. Jadi ratusan triliun rupiah
devisa negara hilang setiap tahun.

Di samping itu, kita juga belum pandai memanfaatkan letak geografis Indonesia. Padahal,
Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982, telah menetapkan tiga Alur Laut
Kepulauan Indonesia (ALKI) sebagai alur pelayaran dan penerbangan oleh kapal atau
pesawat udara internasional. Ketiga ALKI tersebut dilalui 45% dari total nilai perdagangan
dunia atau mencapai sekitar 1.500 dolar AS. Sayangnya, posisi geografis yang penting itu
belum kita manfaatkan dengan baik. Terbukti, kita belum punya pelabuhan-pelabuhan transit
bagi kapal niaga internasional yang berlalu lalang di 3 ALKI tadi.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada masa kepemimpinannya sebenarnya telah


meletakkan dasar-dasar pembangunan ekonomi kelautan, namun masih perlu peningkatan
dalam tataran implementasinya. Momentum suksesi kepemimpinan nasional, dari Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono kepada Presiden Terpilih Joko Widodo, merupakan saat yang
tepat untuk merumuskkan kembali kebijakan implementasi pembangunan Benua Maritim
Indonesia secara menyuluruh dan terpadu.

Dengan mengacu kepada segala permasalahan di atas, maka diadakan Sarasehan yang
bertemakan "Membangun Indonesia sebagai Negara Maritim yang Maju dan Mandiri"
bertempat di Gedung II BPPT, Jakarta. Sarasehan ini, yang menghadirkan Deputi Tim
Transisi Pemerintahan Jokowi-JK, Hasto Kristiyanto selaku pembicara kunci, bertujuan
untuk menyusun rekomendasi langkah-langkah strategis dan implementatif untuk
pembangunan Indonesia yang berorientasi kelautan dan berbasis Iptek dalam rangka
mewujudkan poros maritim dunia yang maju dan mandiri. Selain itu menampilkan juga para
pakar yang kompeten di bidangnya, antara lain Sjarief Widjaja Sekjen Kementerian Kelautan
dan Perikanan, Indroyono Soesilo Direktur Sumberdaya Perikanan dan Akuakultur FAO dan
Agus Suhartono, Mantan Panglima TNI dan dipandu oleh Moderator Sarwono
Kusumaatmadja Mantan Menteri Eksplorasi Laut. Sarasehan ini diharapkan dapat
merumuskan daya saing bangsa sebagai negara maritim yang kompetitif berbasis sumber
daya alam, budaya, ilmu pengetahuan, dan geografi. (ADP/TR)

Jakarta, CNN Indonesia -- Rencana Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menjadikan
Indonesia sebagai negara poros maritim dunia membuat banyak pihak berharap
banyak. Namun, tidak adanya konsep dan landasan hukum yang jelas membuat
wacana Jokowi tersebut disebut tidak jelas oleh berbagai pihak.

Setelah enam bulan masa pemerintahan Jokowi, para pakar kelautan dan maritim
menilai tujuan poros maritim akan sulit terwujud.

"Poros maritim tidak jelas. Ini belum tahu mau ke mana. Butuh suatu konsensus
nasional. Saat ini kita belum punya peta jalan, kerangka kerja, siapa melakukan apa,
padahal itu hal fundamental," kata Pakar Kelautan dan Terumbu Karang Zulfikar di
kawasan Menteng, Jakarta, Minggu (7/6).

Pakar Hukum Maritim Internasional Chandra Motik menambahkan pembangunan poros


maritim ini juga belum mempunyai landasan hukum yang jelas dalam eksekusinya.

"Undang-Undang Maritim kita belum punya. Yang ada Undang-Undang Pelayaran yang
hanya bagian kecil dari maritim," ujar Chandra.

Jika Undang-Undang Maritim tak kunjung ada, maka menurut Chandra poros maritim
tidak akan berjalan dengan baik lantaran tak ada pegangan.

"Pembangunan pelabuhan diserahkan ke Tiongkok. Memangnya sudah ada aturan


untuk melakukan ini?" kata Chandra.

Tak hanya untuk pembangunan, payung hukum di lautan juga dibutuhkan untuk
keamanan dan kenyamanan para pelaku usaha yang berada di laut. Direktur Chandra
Motik Maritim Centre Rommy Gozali mengatakan saat ini hukum yang ada malah
cenderung menindas.

"Banyak kapal nasional yang ditahan di luar tanpa negara bisa memberikan kedaulatan
apa-apa. Padahal kapal kita yang berlayar di luar itu punya kedaulatan sendiri," ujar
Rommy.

"Kenapa kapal asing bebas, berani di sini? Karena mereka merasa ada jaminan. Kalau
mereka ditangkap, diplomasi mereka turun untuk mengamankan mereka. Sanggupkah
negara kita menerapkan sistim keamanan ini?" lanjut Rommy.

Dengan adanya payung hukum yang jelas, Rommy menilai tidak hanya sumber daya
alam yang dapat dilindungi, tapi juga masyarakat akan merasa aman dan nyaman
melakukan kegiatannya di laut. Keamanan laut akan menyeluruh dan saat itulah poros
maritim akan lebih mudah terwujud.

Terpusat di Darat

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Luas lautnya 2/3 dari luar
wilayahnya secara keseluruhan. Namun dalam pembangunannya, Indonesia hanya
berfokus pada wilyah darat saja. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Rommy Gozali menilai, sebenarnya tujuan pemerintah untuk menjadikan Indonesia


sebagai poros maritim dunia seharusnya tidaklah sulit.

Pasalnya, pada masa kerajaan dulu Indonesia pernah berjaya sebagai poros maritim
dunia. Namjn ketika Belanda datang dan menjajah Indonesia, semua berubah.

"Dulu Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit bisa menguasai laut. Tapi dengan datangnya
Pemerintah Belanda, pembangunan malah fokus ke darat," jelas Rommy.

Lebih jauh lagi, Rommy mengatakan kala itu, Belanda menyadari kalau laut Indonesia
memiliki potensi yang begitu besar. Jadi mereka mengalihkan perhatian Indonesia untuk
membangun wilayah darat saja.

"Mereka sadar kalau pembangunan diarahkan ke laut, Indonesia akan menjadi negara
terbesar di dunia," ujar Rommy.

Land based oriented inilah yang akhirnya membuat Indonesia terjebak. Oleh sebab itu,
poros maritim yang dicanangkan Jokowi diharapkan bisa benar-benar terwujud.

.
Jakarta -Konsep 'Poros Maritim Dunia' yang dicanangkan Presiden Joko Widodo (Jokowi)
membutuhkan dukungan infrastruktur yang bisa membangun konektivitas wilayah. Konektivitas
ini tak hanya pada wilayah laut atau 'tol laut', namun juga wilayah darat dan udara.

Wakil Ketua Indonesian National Shipowners' Association (INSA) Witono Suprapto mengatakan,
untuk mewujudkan konektitivas Indonesia membutuhkan berbagai pendukung sesuai dengan visi
INSA hingga 2019, antara lain, butuh 7 juta truk, 3000 kapal pelayaran, 14.306 kapal niaga, 250
kapal ASDP, 260 kapal perintis, 2.000 depo kontainer, 2.154 terminal, 3.671 Gerbong KA, 560
Pesawat, hingga pelabuhan-pelabuhan.

Kondisi konektivitas saat ini memang masih terbatas. Witono mengatakan, jumlah pelabuhan
dari data Pelindo 2014 di Jawa ada 11 pelabuhan, Sumatera 22 pelabuhan, Kalimantan 13
pelabuhan, Sulawesi 11 pelabuhan, NTT 6 pelabuhan, Maluku dan Papua 8 pelabuhan.

"Jokowi bervisi Indonesia Menuju Poros Maritim Dunia, China punya China Developing Maritime
Silk Road," kata Witono dalam seminar kemaritiman di Kementerian Perhubungan, Senin
(18/5/2015)

Witono mengakui, memang masih banyak kendala yang harus dihadapi selain persoalan
infrastruktur. Selain itu, ada kebijakan aturan teknis, kondisi pelabuhan, ketentuan perdagangan,
tarif, dan moneter.

Selain itu, ada kendala yang masih dihadapi, antara lain produktivitas buruh bongkar muat
rendah, besaran atau jenis tarif meningkat terus, antrean kapal di berbagai pelabuhan, peralatan
bongkar muat berusia tua, produktivitas bongkar muat peti kemas rendah.

Sementara itu, Ketua Sekolah Tinggi Manajemen Transportasi (STMT) Trisakti Jakarta yang juga
mantan Dirjen Perhubungan Laut Tjuk Sukardiman mengatakan, konsep tol laut aslinya adalah
penerapan azas cabotage yaitu prinsip angkutan laut di dalam negeri diangkut oleh kapal
berbendera nasional dan awak kapal dalam negeri.

"Kalau di China kapal harus dibuat oleh orang China, pelaut orang China, galangan orang China.
Azas cabotage secara murni dan konsekuen dengan terselenggaranya angkutan laut yang
reguler, andal, dan terjangkau," katanya

Ia mengatakan, asal muasal konsep tol laut dan poros maritim nusantara, adanya Alur Laut
Kepulauan Indonesia (ALKI) (1,2, dan 3). Dengan adanya ALKI, terintegrasinya angkutan laut
nasional dengan angkutan internasional.

"Namanya pembangunan tol laut nusantara dan poros maritim dunia," katanya.

(hen/dnl)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Professor Emeritus bidang Studi Maritim dari King's


College London, Geoffrey Till, mengungkapkan sejumlah tantangan yang dihadapi
Indonesia terkait visi pembentukan poros maritim dunia. Salah satunya adalah dengan
adanya konsep Presiden Cina, Xi Jinping, tentang pembentukan Jalur Sutra Maritim
(MSR) Abad ke-21.

Meski masih ada perdebatan soal makna dari gagasan yang diutarakan Xi Jinping itu,
namun rencana Cina itu telah membuat negara-negara di kawasan Asia dan di wilayah
sekitar Samudra Hindia merespon gagasan tersebut. Terutama untuk melindungi
kepentingan-kepentingan negara-negara tersebut di daerah maritim mereka dan
mengantisipasi pertumbuhan kepentingan strategis seiring dengan gagasan Cina
tersebut.

Alhasil, lanjut Till, negara-negara di Asia lebih banyak menghabiskan dana untuk
membangun angkatan lautnya ketimbang dengan yang dilakukan negara-negara di
Eropa. Ini merupakan hal yang pertama terjadi dalam 400 tahun terakhir.

''Angkatan Laut di negara-negara Asia menginginkan OPV, kapal Corvette, dan kapal
frigate yang lebih besar dan lebih baik. Mereka juga membeli kapal selam dan
berinvestasi dalam rudal antikapal, teknologi ASW, dan sistem pengamatan maritim,''
kata Till dalam paparannya kala bertemu dengan wartawan di Jakarta, Rabu (4/3).

Lebih lanjut, Till menjelaskan, tidak tertutup kemungkinan adanya persaingan-


persaingan dan ketegangan yang cenderung kian meningkat di wilayah-wilayah perairan
tersebut. Sengketa Laut Cina Selatan (LTS) antara Tiongkok, Vietnam, dan Filipina,
serta ketegangan yang terjadi di Laut Cina Timur (LTT) antara Cina dan Jepang seolah
menjadi pertanda meningkatnya persaingan tersebut.

Belum lagi dengan adanya perkembangan pemulihan kepentingan Amerika Serikat ke


wilayah Asia-Pasifik. Till bahkan menyebut, beberapa pengamat melihat adanya
prospek semacam persaingan senjata Angkatan Laut di wilayah-wilayah tersebut.

Kondisi-kondisi ini, kata Till, harus bisa disikapi oleh Indonesia terkait visi 'poros maritim
dunia'. ''Isu-isu besar ini akan menentukan konteks soal, bagaimana para perencana
kebijakan Angkatan Laut Indonesia harus mengambil sikap dan beroperasi. Selain itu,
hal-hal itu juga menjadi patokan untuk perkembangan visi Presiden Jokowi (Joko
Widodo) dalam menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia,'' ungkapnya.

Selain itu, Indonesia juga diharapkan untuk bisa menemukan keseimbangan dalam jenis
modernisasi alutsista pengamanan laut dan rencana pembelian alutsista. Di satu sisi,
Indonesia mesti bisa mengikuti perkembangan teknologi pertahanan kemaritiman terkini
yang menyangkut pertahanan negara.

Sementara di sisi lain, Indonesia juga dituntut untuk bisa memperbarui teknologi-
teknologi yang lebih rendah. ''Seperti sistem pengamatan, kendaraan patroli pantai, dan
kapal pendukung multiguna yang masih menjadi kebutuhan mendesak keamanan
maritim dalam negeri,'' ujar Till, yang juga menjabat sebagai Kepala Corbett Center
untuk Studi Kebijakan Maritim tersebut.

jokowow

Gagasan poros maritim yang dilontarkan oleh presiden terpilih Joko Widodo
mendapat perhatian luas dan respons beragam dari berbagai kalangan, baik
di dalam negeri maupun di luar negeri.
Di satu pihak, gagasan itu dilihat sebagai angin segar di tengah kegersangan
ide mengenai arah masa depan yang ingin dituju oleh Indonesia. Di sisi lain,
ada juga yang bersifat skeptis, terutama karena pengalaman masa lalu di
mana gagasan kemaritiman Indonesia kerap berlalu sebagai wacana belaka.

Namun, berbeda dengan berbagai wacana serupa sebelumnya, gagasan


poros maritim yang dilontarkan Jokowi memberi harapan dan optimisme lebih
kuat. Perbedaan itu dapat dilihat dari keutuhannya sebagai sebuah pemikiran
yang mencakup tiga elemen dasar—sebagai sebuah cita-cita, sebagai doktrin,
sebagai bagian dari agenda pembangunan nasional—dan cara/strategi untuk
mewujudkannya.

Tiga elemen poros maritim

Poros maritim dapat dipahami dalam tiga makna atau unsur. Pertama, poros
maritim dapat dilihat sebagai sebuah visi atau cita-cita mengenai Indonesia
yang ingin dibangun. Dalam konteks ini, gagasan poros maritim merupakan
sebuah seruan besar untuk kembali ke jati diri Indonesia atau identitas
nasional sebagai sebuah negara kepulauan, yang diharapkan akan mewujud
dalam bentuk Indonesia sebagai kekuatan maritim yang bersatu (unity),
sejahtera (prosperity), dan berwibawa (dignity).

Kedua, poros maritim juga dapat dipahami sebagai sebuah doktrin, yang
memberi arahan mengenai tujuan bersama (a sense of common purpose).
Sebagai doktrin, Jokowi mengajak bangsa Indonesia melihat dirinya sebagai
”Poros Maritim Dunia, Kekuatan di Antara Dua Samudra”. Doktrin ini
menekankan realitas geografis, geostrategis, dan geoekonomi Indonesia yang
masa depannya tergantung, dan pada saat yang bersamaan ikut
memengaruhi, dinamika di Samudra Hindia dan Samudra Pasifik.

Ketiga, gagasan poros maritim Jokowi tidak berhenti pada level abstraksi dan
konseptualisasi. Gagasan itu menjadi operasional ketika platform Jokowi juga
memuat sejumlah agenda konkret yang ingin diwujudkan dalam
pemerintahannya ke depan. Misalnya, rencana pembangunan ”tol laut” untuk
menjamin konektivitas antarpulau, pengembangan industri perkapalan dan
perikanan, pembangunan pelabuhan, perbaikan transportasi laut, serta fokus
pada keamanan maritim, mencerminkan keseriusan dalam mewujudkan
Indonesia sebagai poros maritim dunia. Dengan kata lain, gagasan poros
maritim juga bagian penting dari agenda pembangunan nasional.

Strategi maritim nasional

Pertanyaannya, bagaimana strategi untuk mewujudkan gagasan poros


maritim itu? Penting disadari, upaya mewujudkan visi Indonesia sebagai
”Poros Maritim Dunia” perlu proses dan waktu tidak singkat. Namun, kita tak
boleh terpaku pada perbincangan mengenai cita-cita, tetapi sudah harus
segera mulai bekerja membangun fondasi yang kuat bagi perwujudan cita-cita
itu.

Kerja untuk mewujudkan gagasan poros maritim dunia itu perlu difokuskan
setidaknya pada tiga strategi dasar. Pertama, kesiapan sumber daya
manusia. Hal ini perlu dimulai dengan melakukan pengarusutamaan wawasan
bahari ke dalam proses pendidikan. Indonesia juga perlu menyiapkan
keahlian di berbagai bidang kelautan, mulai dari yang bersifat teknis,
teknologi, sampai ahli-ahli strategi dan hukum laut internasional. Pada level
yang lebih strategis, bangsa Indonesia juga perlu memperkuat kesadaran
lingkungan maritim (maritime domain awareness/MDA).

Kedua, wawasan bahari dan MDA perlu ditopang oleh, dan dituangkan dalam,
determinasi untuk melakukan penguatan infrastruktur maritim. Fokus pada
pembangunan infrastruktur ini sudah tertuang dalam rencana kerja agenda
pembangunan Jokowi-Jusuf Kalla. Ketiga, pembangunan maritim perlu biaya
yang besar, ketersediaan teknologi yang cukup, dan waktu yang panjang.
Sulit rasanya membayangkan semua itu dapat dilakukan oleh Indonesia
secara mandiri.

Karena itu, Indonesia perlu menyusun kerangka kerja sama kemitraan maritim
multilateral untuk mewujudkan cita-cita dan pelaksanaan agenda
pembangunan poros maritim ini. Misalnya, Indonesia dapat membentuk
Indonesia Maritime Partnership Initiative (Prakarsa Kemitraan Maritim
Indonesia) bersama Jepang, Tiongkok, India, Korea Selatan, dan Singapura.

Tantangan dalam menjalankan ketiga strategi itu tentunya tak mudah untuk
diatasi. Namun, Indonesia tidak memiliki pilihan lain, kecuali segera
mengambil dan memulai upaya untuk mengembalikan jati dirinya sebagai
negara kepulauan, yang berada di antara dua samudra strategis. (Rizal
SukmaDirektur Eksekutif CSIS)

JAKARTA, KOMPAS.com - Rizal Sukma pengamat politik luar negeri CSIS


mengatakan calon presiden nomor urut dua Joko Widodo (Jokowi) menyadari
bahwa pertarungan sumber-sumber ekonomi di masa depan bukan lagi di
daratan melainkan di lautan, sehingga ia mempunyai visi dan gagasan
Indonesia sebagai poros maritim dunia.

"Pertarungan sumber-sumber ekonomi dalam 10-15 tahun kedepan akan


terjadi di lautan bukan lagi di daratan," kata Rizal Sukma dalam
keterangannya, Jumat (4/7/2014).

Rizal Sukma menuturkan, dalam debat capres Jokowi mengatakan bahwa


adanya pergeseran geo politik dari Barat ke Timur.
"Hal tersebut memang benar berbeda dengan abad ke 20 yang terjadi adanya
persainagn ideologi antara amerika dan uni soviet, sedangkan abad ke 21
yang terjadi adalah pertarungan economic resources yang kini mulai dominan
di kawasan Asia," jelasnya

Rizal Sukma menambahkan gagasan Indonesia sebagai poros maritim dunia


sangatlah realisits, bahwa hubungan luar negeri didominasi oleh hubungan
ekonomi dan Indonesia berada pada kawasan yang menguntungkan dalam
perekonomian internasional.

"70 persennya hubungan luar negeri adalah hubungan ekonomi dengan


negara-negara lain, Indonesia akan berdaulat di maritim secara internasional,
pernyataan ini realistis karena 40 persen perdagangan internasional melalui
perairan Indonesia," sebutnya.(Adiatmaputra Fajar Pratama)

Melihat Beberapa Kebijakan Anggaran Jokowi di Masa 100


Hari
WALAU telah lewat, perlu tetap diingatkan bahwa pemerintahan yang
dipimpin Presiden Jokowi telah menginjak usia ke-100 hari. Selama ini jangka
waktu 100 hari amat sulit dijadikan patokan berhasil atau tidaknya suatu
pemerintahan, namun banyak kalangan menganggap jangka waktu itu amat
penting sebagai landasan awal melihat karakter kepemimpinan dan prioritas
agenda kerja.

Harus diakui telah banyak gebrakan dilakukan di awal pemerintahan yang


patut diapresiasi, seperti kebijakan penenggelaman kapal asing pencuri ikan
di perairan nusantara, ketegasan menghukum mati penjahat narkoba,
populernya gaya blusukan presiden dan para menterinya yang kemudian
meningkatkan apresiasi publik terhadap kinerja pemerintah karena mau terjun
langsung ke masyarakat.

Namun ada beberapa hal yang perlu dievaluasi dari pemerintahan Jokowi-JK,
terutama terkait kebijakan politik anggaran. Bagaimanapun mencermati politik
anggaran merupakan suatu yang penting, mengingat di dalam politik
anggaran terdapat keterkaitan antara keuangan negara dengan arah
kebijakan yang tertuang dalam rencana pemerintah ke depan.

Sejak awal memang sudah diperkirakan akan ada tantangan yang dihadapi
Pemerintahan Jokowi-JK dalam merealisasikan janji-janjinya di awal,
mengingat keterbatasan ruang fiskal yang tersusun dari anggaran warisan
pemerintahan sebelumnya. Namun untuk menyiasati keterbatasan ruang
fiskal itu pemerintahan Jokowi-JK akhirnya mengambil langkah tidak populis
dengan mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM). Jokowi tercatat pada
awal pemerintahan telah memangkas subsidi BBM jenis premium dan
mengalokasikan subsidi tetap untuk solar sebesar Rp 1.000 per liter.
Pemangkasan subsidi ditambah pemangkasan beberapa anggaran lainnya itu
dilakukan untuk membuat ruang fiskal dalam APBN makin sehat.

Selain itu pemerintahan Jokowi-JK juga berupaya menggenjot penerimaan


dari sektor pajak. Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara
Perubahan (RAPBN-P) 2015 pemerintah berencana meningkatkan
pendapatan negara dari perpajakan mencapai Rp 1.484.589,3 miliar.
Perkiraan itu meningkat sekitar 7,6% jika dibandingkan dengan target APBN
2015. Hal itu cukup menggembirakan, mengingat penerimaan pajak menjadi
salah satu nomenklatur penting dalam postur APBN.

Realisasi Program Perlu Dikritisi


Dengan beberapa langkah tersebut, pemerintahan Jokowi-JK kini telah
memiliki ruang fiskal lebih besar yaitu sekitar Rp 230 triliun di APBN-P 2015
yang telah disahkan. Namun ruang fiskal lebih besar itu ternyata belum
menjamin berjalannya dengan baik beberapa program. Setidaknya dalam 100
hari masa pemerintahan ada beberapa program dengan alokasi anggaran
lumayan besar yang perlu dikritisi.

Pertama, program pembangunan poros maritim. Sejak pertama kali menjabat,


pemerintahan Jokowi-JK memang mempunyai prioritas membangun poros
maritim. Beberapa motivasi membangun poros maritim itu antara lain demi
memanfaatkan seluruh aspek kelautan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia
dan sekaligus menjaga kedaulatan wilayah RI. Dalam prioritas maritim ini,
Jokowi berjanji akan membangun infrastruktur dari pulau-pulau terluar menuju
poros maritim. Selain itu, dia juga berjanji akan mendorong sektor potensial
kelautan yang diperkirakan potensi ekonominya cukup besar.

Namun sampai 100 hari usia pemerintahan Jokowi-JK, langkah-langkah nyata


untuk merealisasikan program poros maritim itu masih jauh dari harapan.
Dalam membangun poros maritim, yang terlihat lebih menonjol baru dalam
kaitan dengan keamanan dan kedaulatan laut. Padahal, masalahnya bukan
hanya menjamin keamanan laut, tapi juga menjamin tersedianya infrastruktur
yang menghubungkan antarpulau, pembangunan pelabuhan, pembangunan
transportasi laut seperti pengembangan industri perkapalan, serta optimalisasi
pendapatan hasil kekayaan laut.

Dari sisi penganggaran pun proyek poros maritim itu masih terlalu ambisius.
Jokowi memang mencanangkan wacana untuk proyek pembangunan tol laut
yang telah dimasukkan dalam APBN-P 2015 dan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.

Dalam proyek jangka panjang tersebut rencananya akan dibangun 24


pelabuhan terintegrasi yang diproyeksikan pemerintah akan menghabiskan
dana sekitar Rp 700 triliun. Namun sayangnya anggaran sebesar itu belum
diimbangi langkah-langkah nyata untuk mewujudkan apa yang dinamakan
pembangunan poros maritim itu.

Kedua, program kartu sakti. Program ini memang sejak awal telah memancing
kritikan dan pemerintah tidak perlu bersikap reaktif terhadap banyaknya
kritikan masyarakat soal dari mana dana yang digunakan untuk membiayai
tiga kartu sakti yang baru-baru ini diluncurkan. Kartu sakti itu meliputi Kartu
Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Keluarga
Sejahtera (KKS) yang digadang-gadang untuk membantu rakyat kecil ternyata
menuai masalah.

Pasalnya, kartu sakti tersebut tidak memiliki payung hukum dan asal-usul
anggarannya tidak jelas. Saat ini ada dua skenario asal-usul dana program
tiga kartu sakti yang disampaikan pemerintah, yaitu dari APBN dan dana
tanggung jawab sosial (CSR) BUMN, yang ternyata kedua skenario itu
bermasalah. Jika program kartu sakti menggunakan dana APBN, maka yang
dilanggar Undang-Undang No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Di dalam undang-undang itu ada tiga hal yang dipatuhi dalam penggunaan
APBN yaitu harus dirinci dalam APBN menurut organisasi, fungsi dan jenis
belanja, harus berpedoman pada rencana kerja pemerintah, serta
pelaksanaannya harus dituangkan lebih lanjut dengan keputusan presiden.
Ternyata, dana tiga kartu sakti tidak ada dalam APBN 2014 dan rencana kerja
pemerintah atau setidaknya tidak diatur secara rinci. Selain itu tidak jelas
apakah presiden telah terlebih dahulu mengeluarkan keppres untuk menjadi
dasar hukum penggunaan dana APBN sebelum membiayai program tiga kartu
tersebut.

Jika menggunakan dana CSR BUMN, bisa melanggar Undang-Undang


tentang Perseroan Terbatas karena yang dimaksud dana CSR dalam UU itu
harus difokuskan penggunaannya di lokasi tempat perusahaan beroperasi.
Seharusnya pemerintah menyadari keuangan negara harus dikelola secara
tertib, taat pada perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan
dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

Ketiga, program penyertaan modal negara untuk 35 BUMN. Program yang


diperkirakan menelan biaya Rp 48,01 triliun dari APBNP 2015 ini menuai kritik
karena rencana pemberian modal kepada BUMN yang statusnya sudah
menjadi perusahaan terbuka. Karena statusnya yang terbuka, otomatis saham
BUMN sudah tidak 100 persen dimiliki negara.

Selain menelan biaya besar, program ini pun bisa dianggap salah sasaran
dan tujuan. Salah sasaran karena penyertaan modal kepada BUMN yang
statusnya sudah perusahaan terbuka, sedangkan salah tujuan karena untuk
memperbesar BUMN kurang tepat jika hanya dengan menambah modal
negara. Persoalan utama di banyak BUMN sebenarnya bukan hanya karena
masalah dana, namun juga tidak kompetennya direksi yang dipilih sehingga
membuat BUMN tidak berkembang. Bisa diambil contoh pada PT PLN
(Persero) yang terus menerima subsidi besar dari pemerintah namun
kinerjanya masih mengecewakan, karena hanya berhasil meraih keuntungan
kecil.

Pada akhirnya kita sama-sama berharap agar beberapa program pemerintah


berjalan baik. Ekspektasi yang begitu tinggi pada sosok dan figur Jokowi-JK
harus dijawab dengan awal yang baik serta mengesankan. Dengan begitu,
pada gilirannya kepemimpinan Jokowi-JK menegaskan semua janji bukan
sekadar strategi pencitraan, melainkan bagian dari rumusan visi dan konsep
kinerja Kabinet Kerja

Jakarta (ANTARA News) - Pidato kemenangan pasangan Presiden-Wakil


Presiden terpilih Indonesia Joko Widodo-Jusuf Kalla dari kapal phinisi di
Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara, tampaknya ingin mengangkat
dan mendorong semangat Indonesia sebagai negara maritim.

Dalam berbagai kesempatan selama kampanye pemilu sebelumnya,


presiden terpilih juga sering mengungkapkan cita-citanya untuk membawa
dan menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia.

Impian serupa juga pernah diungkapkan Bung Karno dengan mengatakan


bahwa bangsa yang kuat dan sejahtera harus menjadi bangsa bahari.

Namun sebelum menjadi poros maritim dunia, Indonesia harus lebih dulu
menjadi sebuah negara maritim, dimana sektor kelautan menjadi sentral
kehidupan ekonomi dan pusat produksi utama.

Hingga saat ini secara ilmiah, Indonesia bukan sebuah negara maritim
karena sebagian besar kehidupan masyarakat khususnya di lima pulau
terbesar (Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya) tidak
terpengaruh secara langsung oleh proses yang terjadi di lautan.

Namun secara geo-politik, historis, dan budaya, Indonesia dapat dijadikan


sebagai sebuah negara maritim karena wilayah darat Indonesia dalam satu
kesatuan yang dikelilingi oleh lautan dengan 2/3 wilayahnya merupakan
laut dan jumlah pulau terbanyak di dunia serta salah satu garis pantai
terpanjang di dunia.

Secara historis dan budaya, Indonesia memiliki era keemasan negara


bahari pada zaman Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit serta rakyat
Indonesia memiliki budaya pelaut.

Potensi Perikanan vs Biaya Pengawasan

Potensi perikanan laut Indonesia yang cukup besar perlu dimanfaatkan


secara efisien untuk dapat meningkatkan devisa dari sektor kelautan.

Akan tetapi dengan menurunnya jumlah populasi ikan di laut akibat


terganggunya ekosistem laut seperti pencemaran, peningkatan keasaman
air laut, dan over eksploitasi serta diikuti dengan meningkatnya harga
bahan bakar minyak (BBM) menjadikan hasil tangkapan ikan dan
pendapatan nelayan Indonesia menurun belakangan ini.

Di samping itu, nelayan dari negara lain dengan menggunakan kapal dan
teknologi yang lebih maju sering melakukan pencurian ikan di perairan
Indonesia khususnya Laut Arafura, utara Laut Sulawesi, perairan barat
Natuna, dan Laut China Selatan.

Pencurian ini mungkin terjadi akibat lemahnya pengawasan dari pihak


Indonesia mengingat kurangnya sarana seperti jumlah kapal pengawas
dan dana yang dibutuhkan dalam pelaksanaan pengawasan serta luasnya
perairan yang harus diawasi.

Menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan, kerugian akibat illegal


fishing di Laut Arafura sendiri pada tahun 2001-2013 mencapai Rp520
trilliun.

Angka yang sangat fantastis walau perlu diuji kesahihannya, namun secara
umum kerugian akibat illegal fishing di perairan Indonesia oleh negara lain
terbilang sangat besar. Untuk itu diperlukan upaya pengawasan yang lebih
efisien dan maskimal.

Saat ini jumlah kapal pengawas yang dimiliki Ditjen Pengawasan,


Kementerian Kelautan dan Perikanan berjumlah 27 kapal (20 kapal kecil
dan 7 kapal standard) ditambah 2 kapal pesanan baru SKIPI (Sistem Kapal
Inspeksi Perikanan Indonesia dengan panjang 60 m dan dilengkapi dengan
sonar dan penginderaan jauh).

Dua kapal SKIPI ini merupakan kapal yang bagus dan cocok untuk
pengawasan namun umumnya biaya layar (biaya BBM+nakhoda) kapal
besar seperti ini bisa mencapai Rp100.000.000/hari.
Untuk itu perlu dipikirkan upaya efisiensi penggunaan kapal SKIPI ini agar
bisa bermanfaat ganda seperti pelaksanaan pengawasan sekaligus
pelaksanaan penelitian serta penangkapan ikan. Dengan demikian, kapal
SKIPI ini perlu dilengkapi dengan sarana dan prasarana penelitian dan
penangkapan ikan.

Bilamana ketiga fungsi (pengawasan, penelitian, dan penangkapan) belum


dapat terlaksana sekaligus maka paling tidak dua fungsi (pengawasan dan
penelitian) seyogianya dapat dilakukan mengingat pengetahuan terhadap
kondisi laut kita masih sangat minim.

Pemanfaatan sarana dan prasarana Angkatan Laut untuk pengawasan


sekaligus penelitian juga sangat penting disinergikan.

Upaya efisiensi pengawasan dan produksi perikanan yang dapat dilakukan


oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan adalah pengembangan BUMN
bidang perikanan untuk memiliki kapal-kapal besar dimana kapal-kapal ini
dapat dimanfaatkan untuk dua fungsi yaitu pengawasan dan produksi
perikanan.

Bahkan dalam kapal besar ini dapat dilengkapi dengan proses pengolahan
hasil perikanan. Selain mengembangkan BUMN bidang perikanan,
pemerintah juga dapat mendorong dan membantu pihak swasta untuk
dapat mengembangkan dan memiliki kapal-kapal besar yang dapat
dimanfaatkan untuk fungsi pengawasan dan produksi perikanan sehingga
dapat mengurangi kerugian akibat illegal fishing dan meningkatkan
produksi perikanan dengan menggunakan kapal dengan teknologi .

Poros Maritim Dunia

Untuk menjadi sebuah negara maritim, maka infrastrukur (jalan) antar


pulau dan sepanjang pantai di setiap pulau merupakan hal yang harus
dibangun dan dikembangkan.

Jalan antarpulau ini harus benar-benar dapat direalisasikan di masa


mendatang untuk mempercepat transportasi antar pulau di Indonesia
disamping tol laut yang dicanangkan presiden terpilih Jokowi-JK.

Sebagai contoh, negara bagian Florida, Amerika Serikat yang merupakan


negara bagian maritim (coastal state) memiliki sumber penghasilan utama
dari sektor pariwisata kelautan membangun jalan pertama kali di sepanjang
pantainya yang disebut State Road A1A, kemudian diikuti pembangunan
jalan paralel dengan SR A1A kearah daratan yang disebut US1, setelah itu
jalan tol antar provinsi yang sejajar dan tegak lurus dengan US1. State
Road A1A ini adalah jalan yang letaknya paling dekat dengan pantai dan
akses ke pantai.

Pembangunan infrastruktur yang mengarah ke laut inilah yang membuat


aktivitas, pusat pengembangan kota, dan pusat pemukiman di Amerika
lebih berkembang di sepanjang pantai dibandingkan dengan di tengah
daratan.

Pola pengembangan transportasi di Indonesia mungkin tidak dilandasi atas


dasar negara maritim. Hal ini terlihat dari jarangnya jalan utama yang
dibangun di sepanjang pantai dan pusat pengembangan kota berada pada
daerah daratan.

Untuk menjadi negara maritim maka pembangunan infrastruktur sepanjang


pantai dan antar pulau merupakan hal yang harus dilaksanakan sehingga
transpotasi hasil-hasil kelautan menjadi mudah dan hubungan antar pulau
juga menjadi lebih cepat dan efisien serta pengembangan perekonomian
juga akan berkembang di daerah pesisir.

Setelah menjadi negara maritim maka tujuan berikutnya adalah menjadi


poros maritim dunia atau global maritime access.

Indonesia sangat mungkin menjadi menjadi poros maritim dunia mengingat


Indonesia berada di daerah equator, antara dua benua Asia dan Australia,
antara dua samudera Pasifik dan Hindia, serta negara-negara Asia
Tenggara. Untuk dapat menjadi poros maritim dunia maka sistem
pelabuhan di Indonesia harus dimodernisasi sesuai dengan standard
internasional sehingga pelayanan dan akses di seluruh pelabuhan harus
mengikuti prosedur internasional.

Pembangunan pelabuhan internasional yang baru mungkin diperlukan


untuk mengantisipasi jumlah dan aktivitas perdagangan yang semakin
meningkat ke depan.

Permasalahan yang dihadapi Indonesia saat ini untuk menuju sebuah


negara maritim dan poros maritim dunia selain hal-hal yang disebutkan
sebelumnya adalah kurangnya komitmen dari para pemimpin kita untuk
menjadikan Indonesia sebagai negara maritim seperti kurangnya dana
APBN untuk kelautan, kurangnya sumber daya manusia di bidang
kelautan, kurangnya pembangunan ke arah sektor kelautan, kurangnya
sarana, prasarana, dan dana riset bidang kelautan, serta kurangnya
pengembangan dan penerapan teknologi untuk bidang kelautan.
Untuk itu, pemerintah Indonesia harus mampu membuat kebijakan
pembangunan yang berorientasi dalam bidang kelautan dan meningkatkan
anggaran APBN untuk bidang kelautan sehingga infrastruktur di daerah
pesisir dan antarpulau dapat dikembangkan, SDM bidang kelautan dapat
ditingkatkan, kualitas pelabuhan dapat ditingkatkan menjadi bertaraf
internasional, pengawasan dan produksi perikanan dapat ditingkatkan,
penelitian dan kesehatan lingkungan laut dapat ditingkatkan, serta
pengembangan dan pemanfaatan teknologi kelautan dapat ditingkatkan.

***2***

Anda mungkin juga menyukai