Anda di halaman 1dari 3

TUGAS MATA KULIAH KETAHANAN PANGAN

NAMA : LALU SAEFULLAH


NIM : 16/405106/PMU/08993

Menanggapi tulisan Subejo, 2010 tentang Cengkraman Gurita Pangan Global,

Media Indonesia, 18 Maret 2010.

Saya setuju dengan tulisan ini, dimana Komiditi pangan adalah komoditas

yang strategis untuk mendukung stabilitas kemanan politik dan ekonomi suatu

negara, sehingga setiap negara dituntut untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi

penduduknya. Namun setiap negara tidak seluruhnya mempunyai potensi

sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang memadai sehingga memacu

negara–negara besar untuk invstasi ke negara-negara miskin dan negara

berkembang yang mempunyai sumberdaya alam yang melimpah, melalui berbagai

korporasi transnasionalnya.

Dalam penanaman investasi yang dilakukan oleh transnasional tersebut

dengan cara mengakuisisi pemanfaatan lahan suatu negara, secara murah dengan

skala yang luas dan masa waktu yang jangka panjang, serta ironinya hasil yang

didapatkan dibawa ke negaranya untuk pemenuhan pangan domestik. Sehingga

korporasi negara tersebut bisa mengatur dan mengendalikan produksi, harga dan

distribusinya. Hal ini tentunya akan mengancam kedaulatan pangan negara yang

menjadi tujuan investasi tersebut.

Peluncuran perkembangan pangan skala besar (food estate) pada era Presiden

SBY melalui Kabinet Indonesia Bersatu dengan telah menerbitkan Peraturan

Pemerintah No. 18/2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman, sebagai payung hukum
berinvestasi di Food Estate di Indonesia yang konsep pengembangan produksi

pangan yang dilakukan secara terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan,

bahkan peternakan yang berada di suatu kawasan lahan yang sangat luas, dengan

tujuan pembangunan mencapai ketahanan pangan nasional dan jika berlebih bisa

dilakukan ekspor. Pada era Presiden Jokowi, untuk pertama kali, Food Estate

dikembangkan di Merauke, Papua: Merauke Integrated Food and Energy Estate

(MIFEE) program.

Namun masalah kondisi pertanian di Indonesia sangat komplek, dimana

Status dan luas kepemilikan lahan yang rendah: sekitar 10 juta KK petani lahannya

kurang dari 0.5 ha Petani dengan segala ketidakberdayaannya (lahan kecil,

keterbatasan kapital dan teknologi) dihadapkan kepada pasar bebas, tanpa

diimbangi dengan kebijakan pemerintah yang pro terhadap mereka, Kesejahteraan

petani kita pun masih rendah. Dengan kepemilikan lahan seluas itu, petani sulit

untuk menjadi sejahtera sedangkan Kemiskinan penduduk juga cukup tinggi:di

Indonesia, sementara penduduk indonesia masih mengkonsumsi energi dan protein

lebih rendah dari yang disarankan dan masih tingginya ketergantungan Indonesia

terhadap impor pangan dari pasar internasional.

Dengan kondisi ini apabila dilegalkannya pengusaha besar lokal dan asing

untuk bersaing dengan petani gurem ini, akan tentu menjadi masalah bagi

kedaulatan pangan kita. Hal ini harus menjadi pertimbangan terhadap pemerintah

dalam menyusun regulasi food estate tersebut.

Food estate dari segi pertimbangan ekonomi, tentunya akan menarik minat

pemodal asing karena mereka diberi banyak kemudahan untuk memiliki dan

2
mengelola lahan di Indonesia, berarti kita telah mengakomodasi green capitalism,

sehingga pemerintah perlu mengatur regulasi yang ketat dalam mengatur bentuk

kerja sama dengan investor asing, baik dari segi cara pengolahan, hasil, luas lahan

yang diakuisisi, sistem kerjasama: antar investor dan dengan petani (masyarakat)

serta investor tersebut harus bisa merehabilitasi lahan yang telah digunakan.

Menurut saya, pengembangan food estate tersebut justru bertentangan dengan

upaya pemerintah mendorong ekonomi kerakyatan, khususnya ekonomi para petani

gurem. Dikhawatirkan Indonesia akan semakin terbelenggu oleh kapital asing dan

meliberalisasi semuanya yang justru akan mengancam kedaulatan pangan. Jika

pemerintah tidak mampu mengontrol distribusi produksi hasil dari food estate,

maka para investor asing akan menjadi penentu harga pasar - karena keputusan

untuk dijual di dalam negeri atau diekspor adalah harga yang menguntungkan bagi

investor asing tersebut.

Selain dampak positif buat perekonomian, tetapi pengembangan food estate

juga akan berdampak negatif terhadap lingkungan seperti terjadi perubahan

ekosistem dan terganggunya keseimbangan ekologinya, mempercepat ancaman

pemanasan global dan penggunaan obat bahan kimia atau non biologis untuk

mempercepat dan memaksimalkan hasil akan merusak kondisi ekologis

lingkungan. Dampak negatif aspek sosialnya, apabila peraturan yang mengatur

Food Estate lebih berpihak kepada pemodal daripada petani, maka kemungkinan

konflik seperti konflik di perkebunan besar akan terjadi juga di Food Estate.

Anda mungkin juga menyukai