Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

ASMA BRONKHIALE

Disusun Oleh :
Dewi Hananing Sari G3A015022

PROGRAM PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2015/2016
KONSEP DASAR

A. DEFINISI
Asma adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten, reversibel
dimana trakea dan bronchi berspon dalam secaa hiperaktif terhadap stimuli tertentu
(Smeltzer, 2012).
Istilah asma berasal dari bahasa Yunani yang artinya “terengah-engah” dan
berarti serangan napas pendek. Asma merupakan suatu penyakit yang dicirikan oleh
hipersensivitas cabang-cabang trackheo bronkial terhadap berbagai jenis
rangsangan. Keadaan ini bermanifestasi sebagai penyempitan saluran-saluran napas
secara periodik dan reversible akibat bronkospasme (Price, 2005).
Asma merupakan gangguan inflamasi kronik jalan nafas yang melibatkan
berbagai sel inflamasi. Dasar penyakit ini adalah hiperaktivitas bronkus dalam
berbagai tingkat obstruksi jalan napas dan gejala pernapasan (mengi dan seseg).
Obstruksi jalan nafas umumnya bersifat revesible, namun dapat menjadi kurang
resersible bahkan relatif non reversible tergantung berat dan lamanya penyakit
(Mansjoer, 2009).
Asma adalah penyakit jalan nafas yang tidak dapat pulih yang terjadi karena
spasme bronchus disebabkan oleh berbagai penyebab (misalnya: alergen infeksi,
latihan dan latihan lain-lain) (Hudak dan Gallo, 2007).
Asma dapat dibagi menjadi tiga kategori :
a. Asma ekstrinsik atau alergik
Asma alergik merupakan suatu bentuk asma dengan allergen seperti bulu
binatang, debu, ketombe, tepung sari, makanan dll. Allergen terbanyak adalah
airborne dan musiman. Klien dengan asma alergik biasanya mempunyai riwayat
penyakit alergi pada keluarga dan riwayat pengobatan eksim atau rhinitis
alergik. Paparan terhadap alergi akan mencetuskan serangan asma. Bentuk asma
ini biasanya dimulai sejak anak-anak dengan riwayat keluarga yang mempunyai
penyakit atopik.
b. Asma Instrinsik atau idiopatik
Asma nonalergik tidak berhubungan secara langsung dengan alergi
spesifik. Faktor – faktor seperti common cold, infeksi saluran napas atas
aktivitas, emosi atau stress dan polusi lingkungan akan mencetuskan serangan.
Beberapa agen farmakologi, seperti antagonis β-adrenergi dan bahan sulfat
(penyedap makanan) juga dapat menjadi faktor penyebab. Serangan dari asma
idiopatik atau nonalergi menjadi lebih berat dan sering kali dengan berjalannya
waktu dapat berkembang menjadi bronkhitis dan empisema. Biasanya serangan
ini timbul setelah mengalami infeksi sinus hidung atau percabangan trakheo
bronkhial. Pada beberapa kasus dapat berkembang menjadi asma campuran.
Bentuk asma ini biasanya dimulai ketika dewasa (>35 tahun).
c. Asma campuran atau gabungan
Adalah bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai
karakteristik dari bentuk alergik maupun bentuk idiopatik atau non alergik
(Price, 2005).

B. ETIOLOGI
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi
timbulnya serangan asma bronchial.
1. Faktor predisposisi
Genetik
Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun, belum
diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit
alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi.
Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma
bronkhial. Jika terpapar dengan faktor pencetus. Selain itu hipersensivitas
saluran pernafasannya juga bisa diturunkan (Smeltzer, 2012).
2. Faktor Presipitasi
a) Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis yaitu :
1) Inhalan yang masuk melalui saluran pernapasan.
Ex : debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi.
2) Ingestan yang masuk melalui mulut.
Ex : makanan dan obat-obatan.
3) Kentraktan yang masuk kontak dengan kulit
Ex : perhiasan, logam dan jam tangan (Tjokronegoro, 2001 : 24).
b) Perubahan cuaca
Perubahan tahanan : perubahan suhu udara, angin dan kelembaban
udara dihubungkan dengan percepatan dan terjadinya serangan asma.
c) Infeksi
Pilek dan infeksi virus lain, serangan seringkali dicetuskan oleh
infeksi pada sinus atau cabang bronchus.
d) Stress
Stress atau gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma.
Selain itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping
gejala asma yang timbul harus segera diobati penderita asma yang
mengalami stress atau gangguan emosi perlu diberi nasehat untuk
menyelesaikan masalah pribadinya, karena jika stressnya belum diatasi maka
gejala asmanya belum bisa diobati.
e) Kegiatan olahraga atau jasmani yang berat
Kegiatan jasmani berat misalnya berlari atau naik sepeda dapat
memicu serangan asma. Bahkan tertawa dan menangis yang berlebihan dapat
merupakan pencetus.
f) Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan
asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang
bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik absbes, polisi lalu
lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.

C. MANIFESTASI KLINIS
1. Stadium dini
Faktor hipersekresi yang lebih menonjol
- Batuk dengan dahak bisa dengan maupun tanpa pilek
- Rochi basah halus pada serangan kedua atau ketiga, sifatnya hilang timbul
- Whezing belum ada
- Belum ada kelainan bentuk thorak
- Ada peningkatan eosinofil darah dan IG E
- BGA belum patologis
Faktor spasme bronchiolus dan edema yang lebih dominan
- Timbul sesak napas dengan atau tanpa sputum
- Whezing (mengi) yang terdengar dengan cara tanpa stetoskop
- Ronchi basah bila terdapat hipersekresi
- Penurunan tekanan parsial O2
2. Stadium lanjut/kronik
- Batuk produktif sering pada malam hari, ronchi
- Sesak nafas berat dan dada seolah –olah tertekan
- Dahak lengket dan sulit untuk dikeluarkan
- Suara nafas melemah bahkan tak terdengan (silent Chest)
- Thorak seperti barel chest
- Napas atau dada seperti tertekan (sesek nafas)
- Tampak tarikan otot sternokleidomastoideus
- Sianosis
- BGA Pa o2 kurang dari 80%
- Ro paru terdapat peningkatan gambaran bronchovaskuler kanan dan kiri
- Hipokapnea dan alkalosis bahkan asidosis respiratorik (Danukusumo, 2010).
Gejala bersifat poroksimal : yaitu membaik pada siang hari dan memburuk
pada malam hari (Mansjoer, 2009).

D. PATOFISIOLOGI
Asma adalah obstruksi jalan nafas difus riversibel obstruksi disebabkan oleh
satu atau lebih dari yang berikut ini (1) kontraksi otot-otot yang mengelilingi
bronkus yang menyempitkan jalan nafas, (2) pembengkakan membran yang
melapisi bronkus dan (3) pengisian dengan mukus yang kental. Selain itu, otot-otot
bronkial dan kelenjar mukosa membesar, sputum yang kental, banyak dihasilkan
dan alveoli menjadi hiper inflasi dengan udara yang terperangkap di dalam jaringan
paru. Mekanisme yang pasti dari perubahan ini tidak diketahui, tetapi apa yang
paling diketahui adalah keterlibatan sistem immunologis dan sistem saraf otonom.
Beberapa individu dengan asma mengalami respons imun yang buruk
terhadap lingkungan mereka. Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian menyerang
sel-sel masa dalam paru. Pemajanan ulang terhadap antigen mengakibatkan ikatan
antigen dengan antibodi, menyebabkan pelepasan produk sel-sel mast (disebut
mediator) seperti histamin, bradikinin dan prostaglandin serta anafilaksis dari
substansi yang bereaksi lambat (SRS-A). Pelepasan mediator ini dalam jaringan
paru mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan nafas, menyebabkan
bronkospasme, pembengkakan membran mukosa dan pembentukan mukus yang
sangat banyak.
Sistem saraf otonom mempersarafi paru, tonus otot bronkial diatur oleh
impuls saraf legal melalui sistem parasimpatis. Pada asma idiopatik atau non alergi,
ketika ujung saraf pada jalan napas dirangsang oleh faktor, seperti infeksi, latihan,
dingin, merokok, emosi dan polutan. Jumlah asetilkolin yang dilepaskan meningkat
pelepasan asetilkolin ini secara langsung menyebabkan bronkokonstriksi juga
merangsang pembentukan mediator kimiawi yang dibahas diatas. Individu dengan
asma dapat mempunyai toleransi rendah terhadap respons parasimpatis.
Selain itu reseptor  dan  adrenergik dari sistem saraf simpatis terletak
dalam bronki. Ketika reseptor  adrenergik dirangsang, terjadi bronkokonstriksi;
bronkodilatasi terjadi ketika reseptor  adrenergik yang dirangsang. Keseimbangan
antara reseptor  -  adrenergik dikendalikan terutama oleh siklik adenosia
monofosfat (c Amp).Stimulasi reseptor alfa mengakibatkan penurunan (c Amp),
yang mengarah pada peningkatan mediator kimian, yang dilepaskan oleh sel-sel
mast bronkokonstriksi. Stimulasi reseptor-beta mengakibatkan peningkatan tingkat c
Amp yang mengambat pelepasan mediator kimiawi dan menyebabkan
bronkodilatasi. Teori yang diajukan adalah bahwa penyekatan  adrenergik terjadi
pada individu dengan asma. Akibatnya, asmatik rentan terhadap peningkatan pelepasan
mediator kimiawi dan konstraksi otot polos (Smeltzer, 2010).
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan radiologi: Gambaran radiologi pada asma umumnya normal. Pada
waktu serangan menunjukkan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni
radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta diafragma
yang menurun. Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang
didapat adalah sebagai berikut:
- Bila disertai dengan bronkhitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah.
- Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka gambaran radiolusen akan
semakin bertambah.
- Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrat pada paru.
- Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal.
- Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneutoraks, dan pneumoperikardium,
maka dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru.
2. Pemeriksaan tes kulit: Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai
alergen yang dapat menimbulkan reaksi yang positif pada asma. Untuk
menunjukkan adanya antibody IgE hipersensitif yang spesifik dalam tubuh.
3. Elektrokardiografi (EKG): Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama
serangan dapat dibagi menjadi 3 bagian dan disesuaikan dengan gambaran yang
terjadi pada empisema paru, yaitu:
- Perubahan aksis jantung, pada umumnya terjadi right axis deviasi dan clock
wise rotation.
- Terdapat tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya RBB (Right
Bundle branch Block).
- Tanda-tanda hipoksemia, yaitu terdapatnya sinus takikardia, SVES, dan VES
atau terjadinya depresi segmen ST negatif.
4. Scanning Paru: Dapat diketahui bahwa redistribusi udara selama serangan asma
tidak menyeluruh pada paru-paru.
5. Spirometri: Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan napas reversibel.
Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi
juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan. Bertujuan
mengukur volume paru secara static dan dinamik serta untuk mengetahui
gangguan pada faal paru.
6. Tes Provokasi Bronkhus
Tes provokasi bronchus, untuk menunjang adanya hiperaktifitas
bronchus (histamine, metakolin, allergen, kegiatan jasmani, hiperventilasi
dengan udara dingin dan inhalasi dengan aqua destilata).
7. Pemeriksaan Laboratoium
a) Analisa Gas Darah (AGD/ astrup)
Hanya dilakukan pada serangan asma berat karena terdapat
hipoksemia, hiperkapnea, dan asidosis respiratorik. Pada pasien asma
terdapat hasil abnormal sebagai berikut:
- Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi
hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis.
- Kadang-kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH.
- Hiponatremia dan kadar leukosit di atas 15.000/mm3 dimana menandakan
terdapatnya suatu infeksi.
- Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari Ig E pada
waktu serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan.
b) Sputum
Pada pemeriksaan sputum ditemukan sebagai berikut:
- Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari kristal
eosinopil.
- Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari
cabang bronkus.
- Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus.
- Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat
mukoid dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug.
c) Sel Eosinofil
Sel eosinofil pada klien dengan status asmatikus dapat mencapai
1000-1500/mm³ baik asma intrisik ataupun ekstrisik, sedangkan hitung sel
eosinofil normal antara 100-200/mm³.
d) Pemeriksaan darah rutin dan kimia
Jumlah sel leukosit yang lebih dari 15.000/mm³ terjadi karena adanya
infeksi. SGOT dan SPGT meningkat disebabkan kerusakan hati akibat
hipoksia atau hiperkapnea.

F. PENATALAKSANAAN
Prinsip umum pengobatan asma bronchial adalah :
1. Menghilangkan obstruksi jalan nafas dengan segara.
2. Mengenal dan menghindari fakto-faktor yang dapat mencetuskan serangan
asma.
3. Memberikan penerangan kepada penderita ataupun keluarganya mengenai
penyakit asma, baik pengobatannya maupun tentang perjalanan penyakitnya
sehingga penderita mengerti tujuan penngobatan yang diberikan dan
bekerjasama dengan dokter atau perawat yang merawatnya. Pengobatan pada
asma bronkhial terbagi 2, yaitu:
a) Pengobatan Nonfarmakologi
1) Penyuluhan, penyuluhan ini ditunjukan untuk peningkatan pengetahuan
klien tentang penyakit asma sehingga klien secara sadar menghindari
faktor-faktor pencetus, menggunakan obat secara benar, dan
berkonsultasi pada tim kesehatan.
2) Menghindari faktor pencetus. Klien perlu dibantu mengidentifikasi
pencetus serangan asma yang ada pada lingkungannya, diajarkan cara
menghindari dan mengurangi faktor pencetus, temasuk intake cairan
yang cukup bagi klien.
3) Fisioterapi, dapat digunakan untuk mempermudah pengeluaran mukus.
Ini dapat dilakukan dengan postural drainase, perkusi dan fibrasi dada.
b) Pengobatan Farmakologi
1) Agonis beta : metaproterenol (alupent, metrapel). Bentuknya aerosol,
bekerja sangat cepat, diberikan sebanyak 3-4 kali semprot, dan jarak
antara semprotan pertama dan kedua adalah 10 menit.
2) Metilxantin, dosis dewasa diberikan 125-200 mg 4 kali sehari. Golongan
metilxantin adalah aminofilin dan teofilin obat ini diberikan bila
golongan beta agonis tidak memberikan hasil yang memuaskan.
3) Kortikosteroid, jika agonis beta dan metilxantin tidak memberikan
respon yang baik harus diberikan kortikosteroid. Steroid dalam bentuk
aerosol dengan dosis 4 kali semprot tiap hari. Pemberian steroid dalam
jangka yang lama mempunyai efek samping, maka klien yang mendapat
steroid jangka lama harus diawasi dengan ketat.
4) Kromalin dan iprutropioum bromide (atroven). Kromalin merupakan
obat pencegah asma khususnya untuk anak-anak. Dosis iprutropioum
bromide diberikan 1-2 kapsul 4 kali sehari.

G. KOMPLIKASI
Berbagai komplikasi yang mungkin timbul adalah:
1. Status asmatikus adalah setiap serangan asma berat atau yang kemudian menjadi
berat dan tidak memberikan respon (refrakter) adrenalin dan atau aminofilin
suntikan dapat digolongkan pada status asmatikus. Penderita harus dirawat
dengan terapi yang intensif.
2. Atelektasis adalah pengerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat
penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan
yang sangat dangkal.
3. Hipoksemia adalah tubuh kekurangan oksigen
4. Pneumotoraks adalah terdapatnya udara pada rongga pleura yang menyebabkan
kolapsnya paru.
5. Emfisema adalah penyakit yang gejala utamanya adalah penyempitan (obstruksi)
saluran nafas karena kantung udara di paru menggelembung secara berlebihan
dan mengalami kerusakan yang luas.
H. PATHWAYS ASMA BRONCHIALE

Etiologi

Faktor Predisposisi Faktor Presipitasi


 Virus (respiratory syntitial virus)  Alergi
dan virus parainfluenza  Iritan
 Bakteri (pertusis dan streptoccus)  Cuaca
 Jamur (aspergillus)  Kegiatan jasmani
 Parasit (ascaris)  Psikis

Reaksi hiperaktivitas bronkus



Antibody muncul (IgE)

Sel mast mengalami degranulasi

Mengeluarkan mediator (histamin dan bradikinin)

Peningkatan Edema Kontraksi otot Gangguan


whezing
produksi mukus mukosa polos bronkus pola napas

Anoreksia Mempermudah proliferasi



Terjadi sumbatan dan daya konsolidasi  Batuk, pilek
Perubahan nutrisi   Mengi / wheezing
kurang dari Gangguan ventilasi  Sesak
kebutuhan tubuh
Hipoventilasi Hiperventilasi Bersihan
jalan nafas
tak efektif
Konsentrasi O2 dalam Konsentrasi CO2 dalam
alveolus menurun alveolus meningkat

Gangguan difusi

Oksigenasi ke jaringan tidak memadai

Gangguan perfusi

Hipoksemia dan hipoksia


 Kelelahan Dada terasa
 Sianosis  Lemah tertekan / sesak,
nyeri dada, nadi
 Takipnea meningkat
 Gelisah
 Nafas cuping hidung Intoleransi
 Retraksi otot dada aktivitas Nyeri
 Bertanya tentang penyakit
 Cemas dan gelisah
Kerusakan
pertukaran gas
Ansietas
I. FOKUS PENGKAJIAN
1. Pengkajian Primer
- Airway
Krekels, ronkhi, batuk keras, kering/produktif
Penggunaan otot –otot aksesoris pernapasan ( retraksi interkosta)
- Breathing
Perpanjangan ekspirasi, mengi, perpendekan periode inspirasi, sesak napas,
hipoksia
- Circulation
Hipotensi, diaforesis, sianosis, pulsus paradoxus > 10 mm
2. Pengkajian Sekunder
a) Keluhan utama pada pasien asma : pada pasien terjadi penyempitan jalan
nafas, terjadinya batuk, frekuensi pernapasan yang dirasakan tidak normal.
b) Riwayat Sekarang
Riwayat sekarang pada pasien asma adalah berapa lama pasien
mengalami kesulitan pernapasan, kapan pasien mengeluh paling letih dan
sesak nafas, berapa frekuensi nadi dan pernapasan pasien, apa warna sputum,
jumlah dan konsistensi.
c) Riwayat Keperawatan Dahulu
Pada pasien asma apakah pasien pernah mengalami penyakit asma
sebelumnya, gejala batuk, sesak nafas, mengi.
d) Riwayat Keperawatan Keluarga
Pada pasien dengan asma alergik biasanya yang difokuskan pada
riwayat keluarga.
Alergik oleh alergen misal: serbuk sari, binatang, makanan, dan
berhubungan dengan interaksi genetik dengan lingkungan, merokok, polusi
udara (Smeltzer, 2012).
3. Pengkajian fisik pada asma :
a) Dada dengan pemeriksaan inspeksi pada pola dan jumlah pada nafas klien
dengan kecepatan otot pernapasan, pernapasan dangkal, pola bernafas dapat
terlihat pada klien dengan otot pernapasan, perawat mengauskultasi dada
untuk mengetahui inspirasi dan adanya suara nafas yang tidak biasa dada
yang diam mungkin dapat menimbulkan tanda dari penyempitan jalan nafas
pada pemeriksaan palpitasi pada pasien dada depan untuk merasakan pada
area tersebut dan pergerakan retraksi yang abnormal pada palpasi pada saat
dada berekspansi mengkaji pernapasan sampai hitungan 60 detik, karena
dapat menimbulkan komplikasi pada klien untuk memanggil kembali bila
merasakan nyaman dan adanya oedem.
b) Abdominal
Pada abdominal diafragma tidak akan berfungsi bila bernafas dengan
menggunakan otot intercosta dan otot abdominal.
c) Ekstremitas
Mengobservasi pasien saat bernafas dengan menggunakan otot
pernapasan dan retraksi abnormal, perawat mengobservasi klien bila
ditemukan pada sianosis, kapilar revil, clapping pada jari kuku, dengan
indikator menurunkan tingkat oksigen pada arteri.
d) Kulit
Terjadi perubahan sedikit gejala awal kebiru-biruan, kemerah-
merahan.

J. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNCUL


1. Tidak efektifnya bersihan jalan nafas b.d. bronkospasme, peningkatan produksi
sekret, sektet kental.
Tujuan : Jalan nafas kembali efektif.
Kriteria hasil: Sesak dan batuk berkurang, klien dapat mengeluarkan sputum,
wheezing berkurang/hilang, vital dalam batas normal keadaan umum baik.
Intervensi :
a) Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas, misalnya: wheezing,
ronkhi.
Rasional : Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan
nafas. Bunyi nafas redup dengan ekspirasi mengi (empysema), tak
ada fungsi nafas (asma berat).
b) Kaji / pantau frekuensi pernafasan catat rasio inspirasi dan ekspirasi.
Rasional : Takipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan
pada penerimaan selama stress atau adanya proses infeksi akut.
Pernafasan dapat melambat dan frekuensi ekspirasi memanjang
dibanding inspirasi.
c) Kaji pasien untuk posisi yang aman, misalnya: peninggian kepala tidak
duduk pada sandaran.
Rasional : Peninggian kepala tidak mempermudah fungsi pernafasan dengan
menggunakan gravitasi.
d) Observasi karakteristik batuk, menetap, batuk pendek, basah. Bantu tindakan
untuk keefektifan memperbaiki upaya batuk.
Rasional : batuk dapat menetap tetapi tidak efektif, khususnya pada klien
lansia, sakit akut/kelemahan.
e) Berikan air hangat.
Rasional : penggunaan cairan hangat dapat menurunkan spasme bronkus.
f) Kolaborasi pemberian Oksigen kanul
Rasional : Membantu pemenuhan suplai oksigen ke tubuh agar adekuat.
g) Kolaborasi obat sesuai indikasi, Bronkodilator.
Rasional : Membebaskan spasme jalan nafas, mengi dan produksi mukosa.

2. Tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru.


Tujuan : Pola nafas kembali efektif.
Kriteria hasil : Pola nafas efektif, bunyi nafas normal atau bersih, TTV dalam
batas normal, batuk berkurang, ekspansi paru mengembang.
Intervensi :
a) Kaji frekuensi kedalaman pernafasan dan ekspansi dada. Catat upaya
pernafasan termasuk penggunaan otot bantu pernafasan / pelebaran nasal.
Rasional : kecepatan biasanya mencapai kedalaman pernafasan bervariasi
tergantung derajat gagal nafas. Expansi dada terbatas yang
berhubungan dengan atelektasis dan atau nyeri dada.
b) Auskultasi bunyi nafas dan catat adanya bunyi nafas seperti krekels,
wheezing.
Rasional : ronki dan wheezing menyertai obstruksi jalan nafas / kegagalan
pernafasan.
c) Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi.
Rasional : duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru dan memudahkan
pernafasan.
d) Observasi pola batuk dan karakter sekret.
Rasional : Kongesti alveolar mengakibatkan batuk sering/iritasi.
e) Dorong/bantu pasien dalam nafas dan latihan batuk.
Rasional: dapat meningkatkan/banyaknya sputum dimana gangguan ventilasi
dan ditambah ketidak nyaman upaya bernafas.
f) Kolaborasi
Berikan oksigen tambahan
Berikan humidifikasi tambahan misalnya : nebulizer
Rasional: memaksimalkan bernafas dan menurunkan kerja nafas,
memberikan kelembaban pada membran mukosa dan membantu
pengenceran sekret.

3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.


Tujuan : Klien dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri.
Kriteria hasil : KU klien baik, badan tidak lemas, klien dapat beraktivitas secara
mandiri, kekuatan otot terasa pada skala sedang.
Intervensi :
a) Evaluasi respons pasien terhadap aktivitas. Catat laporan dyspnea
peningkatan kelemahan/kelelahan dan perubahan tanda vital selama dan
setelah aktivitas.
Rasional: menetapkan kebutuhan/kemampuan pasien dan memudahkan
pilihan intervensi.
b) Jelaskan pentingnya istirahat dalam rencana pengobatan dan perlunya
keseimbangan aktivitas dan istirahat.
Rasional : Tirah baring dipertahankan selama fase akut untuk menurunkan
kebutuhan metabolik, menghemat energi untuk penyembuhan.
c) Bantu pasien memilih posisi nyaman untuk istirahat dan atau tidur.
Rasional : pasien mungkin nyaman dengan kepala tinggi atau menunduk
kedepan meja atau bantal.
d) Bantu aktivitas keperawatan diri yang diperlukan. Berikan kemajuan
peningkatan aktivitas selama fase penyembuhan.
Rasional :meminimalkan kelelahan dan membantu keseimbangan suplai dan
kebutuhan oksigen.
e) Berikan lingkungan tenang dan batasi pengunjung selama fase akut sesuai
indikasi.
Rasional : menurunkan stress dan rangsangan berlebihan meningkatkan
istirahat.

4. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang
tidak adekuat.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi.
Kriteria hasil : Keadaan umum baik, mukosa bibir lembab, nafsu makan baik,
tekstur kulit baik, klien menghabiskan porsi makan yang disediakan, bising usus
6-12 kali/menit, berat badan dalam batas normal.
Intervensi :
a) Kaji status nutrisi klien (tekstur kulit, rambut, konjungtiva).
Rasional : menentukan dan membantu dalam intervensi selanjutnya.
b) Jelaskan pada klien tentang pentingnya nutrisi bagi tubuh.
Rasional : peningkatan pengetahuan klien dapat menaikan partisipasi bagi
klien dalam asuhan keperawatan.
c) Timbang berat badan dan tinggi badan.
Rasional : Penurunan berat badan yang signifikan merupakan indikator
kurangnya nutrisi.
d) Anjurkan klien minum air hangat saat makan.
Rasional : air hangat dapat mengurangi mual.
e) Anjurkan klien makan sedikit-sedikit tapi sering
Rasional : memenuhi kebutuhan nutrisi klien.
f) Kolaborasi
Konsul dengan tim gizi/tim mendukung nutrisi.
Rasional : menentukan kalori individu dan kebutuhan nutrisi dalam
pembatasan.
Berikan obat sesuai indikasi.
Vitamin B squrb 2×1.
Rasional : defisiensi vitamin dapat terjadi bila protein dibatasi.
Antiemetik rantis 2×1
Rasional : untuk menghilangkan mual / muntah.

5. Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakitnya berhubungan dengan


kurangnya informasi
Tujuan : Pengetahuan klien tentang proses penyakit menjadi bertambah.
Kriteria hasil :
- Klien mengerti tentang definisi asma
- Klien mengerti tentang penyebab dan pencegahan dari asma
- Klien mengerti komplikasi dari asma
Intervensi :
a) Diskusikan aspek ketidak nyamanan dari penyakit, lamanya penyembuhan,
dan harapan kesembuhan.
Rasional: informasi dapat manaikkan koping dan membantu menurunkan
ansietas dan masalah berlebihan.
b) Berikan informasi dalam bentuk tertulis dan verbal.
Rasional: kelemahan dan depresi dapat mempengaruhi kemampuan untuk
mangasimilasi informasi atau mengikuti program medik.
c) Tekankan pentingnya melanjutkan batuk efektif atau latihan pernafasan.
Rasional: selama awal 6-8 minggu setelah pulang, pasien beresiko besar
untuk kambuh dari penyakitnya.
d) Identifikasi tanda atau gejala yang memerlukan pelaporan pemberi
perawatan kesehatan.
Rasional: upaya evaluasi dan intervensi tepat waktu dapat mencegah
meminimalkan komplikasi.
e) Buat langkah untuk meningkatkan kesehatan umum dan kesejahteraan,
misalnya : istirahat dan aktivitas seimbang, diet baik.
Rasional: menaikan pertahanan alamiah atau imunitas, membatasi terpajan
pada patogen.

6. Cemas b.d krisis situasi


Tujuan : cemas berkurang/ hilang
KH:
- Klien tampak rileks
- Klien menyatakansesak berkurang
- Tanda – tanda vital normal
Intervensi:
a) Kaji tingkat kecemasan klien
Rasional : mengetahui tingkat kecemasan klien
b) Observasi respon non verbal (gelisah)
Rasional : reaksi non verbal dengan menunjukkan kegelisahan, tidak ada
kontak mata.
c) Ukur tanda-tanda vital
Rasional : kecemasan bisa meningkatkan nilai tanda-tanda vital.
d) Dengarkan keluhan klien dengan empati
Rasional : memberikan rasa nyaman pada pasien
e) Jelaskan informasi yang diperlukan klien tentang penyakitnya, perawatan
dan pengobatannya.
Rasional : kecemasan pasien bia disebabkan karena ketidak tahuannya
tentang proses penyakit serta perawatan. Dengan memberikan
informasi yang dibutuhkan diharapkan dapat mengurangi tingkat
kecemasan klien.
f) Ajarkan klien tehnik relaksasi (memejamkan mata, menarik nafas panjang)
Rasional : relaksasi membuat otot-otot rileks dan mengurangi kecemasan.
g) Menganjurkan klien untuk istirahat.
Rasional : istirahat akan merilekskan otot-otot yang tegang.
DAFTAR PUSTAKA

Alsagaff Hood, Abdul Mukty. 2005. Dasar – Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya:
Airlangga University Press.
Carpenito, L.J. 2010. Diagnosa keperawatan. Jakarta: EGC.
Danukusantoso, Halim. 2010. Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Penerbit
Hipokrates.
Herdman, T. Heather. 2012. Nanda International (Nursing Diagnoses: Definitions &
Classification 2012-2014). Jakarta: EGC.
Hudak & Gallo. 2011. Keperawatan Kritis, Edisi VI Vol I. Jakarta: EGC.
Mansjoer, A. 2010). Kapita Selekta Kedokteran. (Edisi 3), Jilid 1. Jakarta: Media
Aesculapius.
Price, S.A & Wilson, L.M. 2005. Patofisiologi. (Edisi 6). Jakarta: EGC.
Smeltzer, C . Suzanne, dkk. 2012. Buku Ajar keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8
Vol 1. Jakarta : EGC.
Soeparman, Sarwono Waspadji. 2009. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
Sylvia Anderson Price, Lorraine McCarty Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis
Proses - Proses Penyakit. Jakarta: EGC.
Tucker S. Martin. 2008. Standart Perawatan Pasien, Jilid 2. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai