LP Asma
LP Asma
ASMA BRONKHIALE
Disusun Oleh :
Dewi Hananing Sari G3A015022
A. DEFINISI
Asma adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten, reversibel
dimana trakea dan bronchi berspon dalam secaa hiperaktif terhadap stimuli tertentu
(Smeltzer, 2012).
Istilah asma berasal dari bahasa Yunani yang artinya “terengah-engah” dan
berarti serangan napas pendek. Asma merupakan suatu penyakit yang dicirikan oleh
hipersensivitas cabang-cabang trackheo bronkial terhadap berbagai jenis
rangsangan. Keadaan ini bermanifestasi sebagai penyempitan saluran-saluran napas
secara periodik dan reversible akibat bronkospasme (Price, 2005).
Asma merupakan gangguan inflamasi kronik jalan nafas yang melibatkan
berbagai sel inflamasi. Dasar penyakit ini adalah hiperaktivitas bronkus dalam
berbagai tingkat obstruksi jalan napas dan gejala pernapasan (mengi dan seseg).
Obstruksi jalan nafas umumnya bersifat revesible, namun dapat menjadi kurang
resersible bahkan relatif non reversible tergantung berat dan lamanya penyakit
(Mansjoer, 2009).
Asma adalah penyakit jalan nafas yang tidak dapat pulih yang terjadi karena
spasme bronchus disebabkan oleh berbagai penyebab (misalnya: alergen infeksi,
latihan dan latihan lain-lain) (Hudak dan Gallo, 2007).
Asma dapat dibagi menjadi tiga kategori :
a. Asma ekstrinsik atau alergik
Asma alergik merupakan suatu bentuk asma dengan allergen seperti bulu
binatang, debu, ketombe, tepung sari, makanan dll. Allergen terbanyak adalah
airborne dan musiman. Klien dengan asma alergik biasanya mempunyai riwayat
penyakit alergi pada keluarga dan riwayat pengobatan eksim atau rhinitis
alergik. Paparan terhadap alergi akan mencetuskan serangan asma. Bentuk asma
ini biasanya dimulai sejak anak-anak dengan riwayat keluarga yang mempunyai
penyakit atopik.
b. Asma Instrinsik atau idiopatik
Asma nonalergik tidak berhubungan secara langsung dengan alergi
spesifik. Faktor – faktor seperti common cold, infeksi saluran napas atas
aktivitas, emosi atau stress dan polusi lingkungan akan mencetuskan serangan.
Beberapa agen farmakologi, seperti antagonis β-adrenergi dan bahan sulfat
(penyedap makanan) juga dapat menjadi faktor penyebab. Serangan dari asma
idiopatik atau nonalergi menjadi lebih berat dan sering kali dengan berjalannya
waktu dapat berkembang menjadi bronkhitis dan empisema. Biasanya serangan
ini timbul setelah mengalami infeksi sinus hidung atau percabangan trakheo
bronkhial. Pada beberapa kasus dapat berkembang menjadi asma campuran.
Bentuk asma ini biasanya dimulai ketika dewasa (>35 tahun).
c. Asma campuran atau gabungan
Adalah bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai
karakteristik dari bentuk alergik maupun bentuk idiopatik atau non alergik
(Price, 2005).
B. ETIOLOGI
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi
timbulnya serangan asma bronchial.
1. Faktor predisposisi
Genetik
Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun, belum
diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit
alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi.
Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma
bronkhial. Jika terpapar dengan faktor pencetus. Selain itu hipersensivitas
saluran pernafasannya juga bisa diturunkan (Smeltzer, 2012).
2. Faktor Presipitasi
a) Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis yaitu :
1) Inhalan yang masuk melalui saluran pernapasan.
Ex : debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi.
2) Ingestan yang masuk melalui mulut.
Ex : makanan dan obat-obatan.
3) Kentraktan yang masuk kontak dengan kulit
Ex : perhiasan, logam dan jam tangan (Tjokronegoro, 2001 : 24).
b) Perubahan cuaca
Perubahan tahanan : perubahan suhu udara, angin dan kelembaban
udara dihubungkan dengan percepatan dan terjadinya serangan asma.
c) Infeksi
Pilek dan infeksi virus lain, serangan seringkali dicetuskan oleh
infeksi pada sinus atau cabang bronchus.
d) Stress
Stress atau gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma.
Selain itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping
gejala asma yang timbul harus segera diobati penderita asma yang
mengalami stress atau gangguan emosi perlu diberi nasehat untuk
menyelesaikan masalah pribadinya, karena jika stressnya belum diatasi maka
gejala asmanya belum bisa diobati.
e) Kegiatan olahraga atau jasmani yang berat
Kegiatan jasmani berat misalnya berlari atau naik sepeda dapat
memicu serangan asma. Bahkan tertawa dan menangis yang berlebihan dapat
merupakan pencetus.
f) Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan
asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang
bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik absbes, polisi lalu
lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.
C. MANIFESTASI KLINIS
1. Stadium dini
Faktor hipersekresi yang lebih menonjol
- Batuk dengan dahak bisa dengan maupun tanpa pilek
- Rochi basah halus pada serangan kedua atau ketiga, sifatnya hilang timbul
- Whezing belum ada
- Belum ada kelainan bentuk thorak
- Ada peningkatan eosinofil darah dan IG E
- BGA belum patologis
Faktor spasme bronchiolus dan edema yang lebih dominan
- Timbul sesak napas dengan atau tanpa sputum
- Whezing (mengi) yang terdengar dengan cara tanpa stetoskop
- Ronchi basah bila terdapat hipersekresi
- Penurunan tekanan parsial O2
2. Stadium lanjut/kronik
- Batuk produktif sering pada malam hari, ronchi
- Sesak nafas berat dan dada seolah –olah tertekan
- Dahak lengket dan sulit untuk dikeluarkan
- Suara nafas melemah bahkan tak terdengan (silent Chest)
- Thorak seperti barel chest
- Napas atau dada seperti tertekan (sesek nafas)
- Tampak tarikan otot sternokleidomastoideus
- Sianosis
- BGA Pa o2 kurang dari 80%
- Ro paru terdapat peningkatan gambaran bronchovaskuler kanan dan kiri
- Hipokapnea dan alkalosis bahkan asidosis respiratorik (Danukusumo, 2010).
Gejala bersifat poroksimal : yaitu membaik pada siang hari dan memburuk
pada malam hari (Mansjoer, 2009).
D. PATOFISIOLOGI
Asma adalah obstruksi jalan nafas difus riversibel obstruksi disebabkan oleh
satu atau lebih dari yang berikut ini (1) kontraksi otot-otot yang mengelilingi
bronkus yang menyempitkan jalan nafas, (2) pembengkakan membran yang
melapisi bronkus dan (3) pengisian dengan mukus yang kental. Selain itu, otot-otot
bronkial dan kelenjar mukosa membesar, sputum yang kental, banyak dihasilkan
dan alveoli menjadi hiper inflasi dengan udara yang terperangkap di dalam jaringan
paru. Mekanisme yang pasti dari perubahan ini tidak diketahui, tetapi apa yang
paling diketahui adalah keterlibatan sistem immunologis dan sistem saraf otonom.
Beberapa individu dengan asma mengalami respons imun yang buruk
terhadap lingkungan mereka. Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian menyerang
sel-sel masa dalam paru. Pemajanan ulang terhadap antigen mengakibatkan ikatan
antigen dengan antibodi, menyebabkan pelepasan produk sel-sel mast (disebut
mediator) seperti histamin, bradikinin dan prostaglandin serta anafilaksis dari
substansi yang bereaksi lambat (SRS-A). Pelepasan mediator ini dalam jaringan
paru mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan nafas, menyebabkan
bronkospasme, pembengkakan membran mukosa dan pembentukan mukus yang
sangat banyak.
Sistem saraf otonom mempersarafi paru, tonus otot bronkial diatur oleh
impuls saraf legal melalui sistem parasimpatis. Pada asma idiopatik atau non alergi,
ketika ujung saraf pada jalan napas dirangsang oleh faktor, seperti infeksi, latihan,
dingin, merokok, emosi dan polutan. Jumlah asetilkolin yang dilepaskan meningkat
pelepasan asetilkolin ini secara langsung menyebabkan bronkokonstriksi juga
merangsang pembentukan mediator kimiawi yang dibahas diatas. Individu dengan
asma dapat mempunyai toleransi rendah terhadap respons parasimpatis.
Selain itu reseptor dan adrenergik dari sistem saraf simpatis terletak
dalam bronki. Ketika reseptor adrenergik dirangsang, terjadi bronkokonstriksi;
bronkodilatasi terjadi ketika reseptor adrenergik yang dirangsang. Keseimbangan
antara reseptor - adrenergik dikendalikan terutama oleh siklik adenosia
monofosfat (c Amp).Stimulasi reseptor alfa mengakibatkan penurunan (c Amp),
yang mengarah pada peningkatan mediator kimian, yang dilepaskan oleh sel-sel
mast bronkokonstriksi. Stimulasi reseptor-beta mengakibatkan peningkatan tingkat c
Amp yang mengambat pelepasan mediator kimiawi dan menyebabkan
bronkodilatasi. Teori yang diajukan adalah bahwa penyekatan adrenergik terjadi
pada individu dengan asma. Akibatnya, asmatik rentan terhadap peningkatan pelepasan
mediator kimiawi dan konstraksi otot polos (Smeltzer, 2010).
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan radiologi: Gambaran radiologi pada asma umumnya normal. Pada
waktu serangan menunjukkan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni
radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta diafragma
yang menurun. Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang
didapat adalah sebagai berikut:
- Bila disertai dengan bronkhitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah.
- Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka gambaran radiolusen akan
semakin bertambah.
- Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrat pada paru.
- Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal.
- Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneutoraks, dan pneumoperikardium,
maka dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru.
2. Pemeriksaan tes kulit: Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai
alergen yang dapat menimbulkan reaksi yang positif pada asma. Untuk
menunjukkan adanya antibody IgE hipersensitif yang spesifik dalam tubuh.
3. Elektrokardiografi (EKG): Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama
serangan dapat dibagi menjadi 3 bagian dan disesuaikan dengan gambaran yang
terjadi pada empisema paru, yaitu:
- Perubahan aksis jantung, pada umumnya terjadi right axis deviasi dan clock
wise rotation.
- Terdapat tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya RBB (Right
Bundle branch Block).
- Tanda-tanda hipoksemia, yaitu terdapatnya sinus takikardia, SVES, dan VES
atau terjadinya depresi segmen ST negatif.
4. Scanning Paru: Dapat diketahui bahwa redistribusi udara selama serangan asma
tidak menyeluruh pada paru-paru.
5. Spirometri: Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan napas reversibel.
Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi
juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan. Bertujuan
mengukur volume paru secara static dan dinamik serta untuk mengetahui
gangguan pada faal paru.
6. Tes Provokasi Bronkhus
Tes provokasi bronchus, untuk menunjang adanya hiperaktifitas
bronchus (histamine, metakolin, allergen, kegiatan jasmani, hiperventilasi
dengan udara dingin dan inhalasi dengan aqua destilata).
7. Pemeriksaan Laboratoium
a) Analisa Gas Darah (AGD/ astrup)
Hanya dilakukan pada serangan asma berat karena terdapat
hipoksemia, hiperkapnea, dan asidosis respiratorik. Pada pasien asma
terdapat hasil abnormal sebagai berikut:
- Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi
hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis.
- Kadang-kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH.
- Hiponatremia dan kadar leukosit di atas 15.000/mm3 dimana menandakan
terdapatnya suatu infeksi.
- Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari Ig E pada
waktu serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan.
b) Sputum
Pada pemeriksaan sputum ditemukan sebagai berikut:
- Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari kristal
eosinopil.
- Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari
cabang bronkus.
- Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus.
- Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat
mukoid dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug.
c) Sel Eosinofil
Sel eosinofil pada klien dengan status asmatikus dapat mencapai
1000-1500/mm³ baik asma intrisik ataupun ekstrisik, sedangkan hitung sel
eosinofil normal antara 100-200/mm³.
d) Pemeriksaan darah rutin dan kimia
Jumlah sel leukosit yang lebih dari 15.000/mm³ terjadi karena adanya
infeksi. SGOT dan SPGT meningkat disebabkan kerusakan hati akibat
hipoksia atau hiperkapnea.
F. PENATALAKSANAAN
Prinsip umum pengobatan asma bronchial adalah :
1. Menghilangkan obstruksi jalan nafas dengan segara.
2. Mengenal dan menghindari fakto-faktor yang dapat mencetuskan serangan
asma.
3. Memberikan penerangan kepada penderita ataupun keluarganya mengenai
penyakit asma, baik pengobatannya maupun tentang perjalanan penyakitnya
sehingga penderita mengerti tujuan penngobatan yang diberikan dan
bekerjasama dengan dokter atau perawat yang merawatnya. Pengobatan pada
asma bronkhial terbagi 2, yaitu:
a) Pengobatan Nonfarmakologi
1) Penyuluhan, penyuluhan ini ditunjukan untuk peningkatan pengetahuan
klien tentang penyakit asma sehingga klien secara sadar menghindari
faktor-faktor pencetus, menggunakan obat secara benar, dan
berkonsultasi pada tim kesehatan.
2) Menghindari faktor pencetus. Klien perlu dibantu mengidentifikasi
pencetus serangan asma yang ada pada lingkungannya, diajarkan cara
menghindari dan mengurangi faktor pencetus, temasuk intake cairan
yang cukup bagi klien.
3) Fisioterapi, dapat digunakan untuk mempermudah pengeluaran mukus.
Ini dapat dilakukan dengan postural drainase, perkusi dan fibrasi dada.
b) Pengobatan Farmakologi
1) Agonis beta : metaproterenol (alupent, metrapel). Bentuknya aerosol,
bekerja sangat cepat, diberikan sebanyak 3-4 kali semprot, dan jarak
antara semprotan pertama dan kedua adalah 10 menit.
2) Metilxantin, dosis dewasa diberikan 125-200 mg 4 kali sehari. Golongan
metilxantin adalah aminofilin dan teofilin obat ini diberikan bila
golongan beta agonis tidak memberikan hasil yang memuaskan.
3) Kortikosteroid, jika agonis beta dan metilxantin tidak memberikan
respon yang baik harus diberikan kortikosteroid. Steroid dalam bentuk
aerosol dengan dosis 4 kali semprot tiap hari. Pemberian steroid dalam
jangka yang lama mempunyai efek samping, maka klien yang mendapat
steroid jangka lama harus diawasi dengan ketat.
4) Kromalin dan iprutropioum bromide (atroven). Kromalin merupakan
obat pencegah asma khususnya untuk anak-anak. Dosis iprutropioum
bromide diberikan 1-2 kapsul 4 kali sehari.
G. KOMPLIKASI
Berbagai komplikasi yang mungkin timbul adalah:
1. Status asmatikus adalah setiap serangan asma berat atau yang kemudian menjadi
berat dan tidak memberikan respon (refrakter) adrenalin dan atau aminofilin
suntikan dapat digolongkan pada status asmatikus. Penderita harus dirawat
dengan terapi yang intensif.
2. Atelektasis adalah pengerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat
penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan
yang sangat dangkal.
3. Hipoksemia adalah tubuh kekurangan oksigen
4. Pneumotoraks adalah terdapatnya udara pada rongga pleura yang menyebabkan
kolapsnya paru.
5. Emfisema adalah penyakit yang gejala utamanya adalah penyempitan (obstruksi)
saluran nafas karena kantung udara di paru menggelembung secara berlebihan
dan mengalami kerusakan yang luas.
H. PATHWAYS ASMA BRONCHIALE
Etiologi
Gangguan difusi
Oksigenasi ke jaringan tidak memadai
Gangguan perfusi
4. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang
tidak adekuat.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi.
Kriteria hasil : Keadaan umum baik, mukosa bibir lembab, nafsu makan baik,
tekstur kulit baik, klien menghabiskan porsi makan yang disediakan, bising usus
6-12 kali/menit, berat badan dalam batas normal.
Intervensi :
a) Kaji status nutrisi klien (tekstur kulit, rambut, konjungtiva).
Rasional : menentukan dan membantu dalam intervensi selanjutnya.
b) Jelaskan pada klien tentang pentingnya nutrisi bagi tubuh.
Rasional : peningkatan pengetahuan klien dapat menaikan partisipasi bagi
klien dalam asuhan keperawatan.
c) Timbang berat badan dan tinggi badan.
Rasional : Penurunan berat badan yang signifikan merupakan indikator
kurangnya nutrisi.
d) Anjurkan klien minum air hangat saat makan.
Rasional : air hangat dapat mengurangi mual.
e) Anjurkan klien makan sedikit-sedikit tapi sering
Rasional : memenuhi kebutuhan nutrisi klien.
f) Kolaborasi
Konsul dengan tim gizi/tim mendukung nutrisi.
Rasional : menentukan kalori individu dan kebutuhan nutrisi dalam
pembatasan.
Berikan obat sesuai indikasi.
Vitamin B squrb 2×1.
Rasional : defisiensi vitamin dapat terjadi bila protein dibatasi.
Antiemetik rantis 2×1
Rasional : untuk menghilangkan mual / muntah.
Alsagaff Hood, Abdul Mukty. 2005. Dasar – Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya:
Airlangga University Press.
Carpenito, L.J. 2010. Diagnosa keperawatan. Jakarta: EGC.
Danukusantoso, Halim. 2010. Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Penerbit
Hipokrates.
Herdman, T. Heather. 2012. Nanda International (Nursing Diagnoses: Definitions &
Classification 2012-2014). Jakarta: EGC.
Hudak & Gallo. 2011. Keperawatan Kritis, Edisi VI Vol I. Jakarta: EGC.
Mansjoer, A. 2010). Kapita Selekta Kedokteran. (Edisi 3), Jilid 1. Jakarta: Media
Aesculapius.
Price, S.A & Wilson, L.M. 2005. Patofisiologi. (Edisi 6). Jakarta: EGC.
Smeltzer, C . Suzanne, dkk. 2012. Buku Ajar keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8
Vol 1. Jakarta : EGC.
Soeparman, Sarwono Waspadji. 2009. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
Sylvia Anderson Price, Lorraine McCarty Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis
Proses - Proses Penyakit. Jakarta: EGC.
Tucker S. Martin. 2008. Standart Perawatan Pasien, Jilid 2. Jakarta: EGC.