Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PORTFOLIO RUMAH SAKIT

KASUS BEDAH

SEORANG LAKI - LAKI 64 TAHUN DENGAN


STRIKTUR URETRA

Disusun Oleh :
dr. Muhammad Rio Nardo

Pendamping :
dr. Triyono
dr. Ismy Dianti

1
No. ID dan Nama Peserta : Presenter : dr. Muhammad Rio Nardo
dr. Muhammad Rio Nardo
No. ID dan Nama Wahana : Pendamping: 1. dr. Triyono
RSUD Muntilan, Magelang 2. dr. Ismy Dianti
TOPIK : SUSPEK ILEUS OBSTRUKTIF
Tanggal (Kasus) : 23 April 2018
Nama Pasien : bp. Sc. No. RM : 299195
Tanggal Presentasi : 9 April 2018 Pendamping : 1. dr. Triyono
2. dr. Ismy Dianti
Tempat Presentasi : Ruang Komite Medik RSUD Muntilan, Magelang
OBJEKTIF PRESENTASI
 Keilmuan  Keterampilan  Penyegaran  Tinjauan Pustaka
 Diagnostik  Manajemen  Masalah  Istimewa
 Neonatus  Bayi  Anak  Remaja  Dewasa  Lansia  Bumil
 Deskripsi :
±5 hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh nyeri saat buang air kecil. Nyeri
dirasakan oleh pasien terutama saat buang air kecil. Nyeri membaik bila pasien banyak minum
air putih dan semakin nyeri bila pasien menahan kencing. Nyeri buang air kecil disertai
anyang anyangen, demam dan juga mual. Pasien juga merasa tidak tuntas setelah buang air
kecil.
±2 hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh kencingnya sering tersendat dan
semakin nyeri, oleh keluarga di bawa ke mantri, diberi obat namun tidak ada perbaikan.
±1 hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh tidak bisa kencing. Tidak bisa kencing
disertai nyeri pada perut bagian bawah dan disertai mual. Nyeri dirasakan hilang timbul dan
semakin memberat.
 Tujuan :
Mengobati kegawatan penyakit dan mencegah komplikasi lebih lanjut
Bahan  Tinjauan Pustaka  Riset  Kasus  Audit
Bahasan
Cara  Diskusi  Presentasi  E-mail  Pos
Membahas dan Diskusi
DATA PASIEN Nama : Bp. Sc No. Registrasi : 2991195
Nama Klinik : IGD Telp : - Terdaftar sejak : 19 April 2018

2
Data utama untuk bahan diskusi :
1. Diagnosis : retensio urin et causa striktur uretra
2. Gambaran Klinis (Riwayat Penyakit Sekarang)
±5 hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh nyeri saat buang air kecil. Nyeri
dirasakan oleh pasien terutama saat buang air kecil. Nyeri membaik bila pasien banyak
minum air putih dan semakin nyeri bila pasien menahan kencing. Nyeri buang air kecil
disertai anyang anyangen, demam dan juga mual. Pasien juga merasa tidak tuntas setelah
buang air kecil.
±2 hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh kencingnya sering tersendat dan
semakin nyeri, oleh keluarga di bawa ke mantri, diberi obat namun tidak ada perbaikan.
±1 hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh tidak bisa kencing. Tidak bisa
kencing disertai nyeri pada perut bagian bawah dan disertai mual. Nyeri dirasakan hilang
timbul dan semakin memberat.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat asma/ alergi : disangkal
Riwayat operasi : disangkal
Riwayat sakit seperti ini : disangkal
Riwayat trauma : disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat asma/ alergi : disangkal
Riwayat tumor : disangkal
Riwayat sakit seperti ini : disangkal
5. Riwayat Sosio-Ekonomi
Pasien tidak bekerja. Pasien tinggal bersama anak, menentu, dan cucu. Pembayaran
menggunakan BPJS. Kesan ekonomi cukup.
HASIL PEMBELAJARAN :
1. Mengetahui diagnosis striktur uretra
2. Mengetahui penatalaksanaan striktur uretra

KASUS : striktur uretra


SUBJECTIVE
A. Keluhan Utama :
Tidak bisa buang air kecil

3
B. Keluhan Penyerta :
 Nyeri perut
 Demam
 Mual
C. Riwayat Penyakit Sekarang
±5 hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh nyeri saat buang air kecil. Nyeri
dirasakan oleh pasien terutama saat buang air kecil. Nyeri membaik bila pasien banyak
minum air putih dan semakin nyeri bila pasien menahan kencing. Nyeri buang air kecil
disertai anyang anyangen, demam dan juga mual. Pasien juga merasa tidak tuntas
setelah buang air kecil.
±2 hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh kencingnya sering tersendat dan
semakin nyeri, oleh keluarga di bawa ke mantri, diberi obat namun tidak ada perbaikan.
±1 hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh tidak bisa kencing. Tidak bisa
kencing disertai nyeri pada perut bagian bawah dan disertai mual. Nyeri dirasakan
hilang timbul dan semakin memberat.

D. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat asma/ alergi : disangkal
Riwayat operasi : disangkal
Riwayat sakit seperti ini : disangkal
Riwayat trauma : disangkal
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat asma/ alergi : disangkal
Riwayat tumor : disangkal
Riwayat sakit seperti ini : disangkal

F. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien tidak bekerja. Pasien tinggal bersama anak, menentu, dan cucu. Pembayaran
menggunakan BPJS. Kesan ekonomi cukup.

4
OBJECTIVE
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 19 April 2018
A. Keadaan Umum : tampak kesakitan. Vas 5
B. Kesadaran : composmentis
C. Tanda Vital
Tekanan Darah : 130/ 90 mmHg
Nadi : 98 x/menit
Respirasi : 22 x / menit
Suhu : 38,5° C (per axiller)
SiO2 : 100 %
D. Kulit : warna sawo matang, turgor kurang (-).
E. Kepala : bentuk mesocephal, rambut putih, ikal
F. Mata : conjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
G. Telinga : sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoideus (-).
H. Hidung : nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-)
I. Mulut : sianosis (-), gusi berdarah (-), kering (-), pucat (-), lidah tiphoid (-)
J. Leher : trachea ditengah, simetris, pembesaran tiroid (-), pembesaran
limfonodi cervical (-).
K. Limfonodi : kelenjar limfe retroaurikuler, submandibuler, servikalis,
supraklavikularis, aksilaris dan inguinalis tidak membesar
L. Thorax : bentuk simetris, retraksi suprasternal (-), pernafasan
abdominotorakal (-), sela iga melebar (-).

Jantung :
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak, pulsasi precardial, epigastrium dan parasternal
tidak tampak
Palpasi : ictus cordis teraba di spatium intercostale V, 1 cm medial linea
midclavicularis sinistra
Perkusi : batas jantung kiri atas : sulit dinilai
batas jantung kiri bawah : sulit dinilai
batas jantung kanan atas : sulit dinilai
batas jantung kanan bawah : sulit dinilai
Auskultasi : Heart Rate 120 kali/menit, reguler. Bunyi jantung S1 tunggal, S2 sulit
terdengar jelas, bising jantung (-), gallop (-)

5
Pulmo :
Inspeksi
Statis : normochest, simetris, sela iga tidak melebar, iga tidak mendatar.
Dinamis : pengembangan dada simetris, kanan = kiri
Palpasi
Statis : simetris
Dinamis : pengembangan dinding dada kanan = kiri, fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : paru kanan sonor, paru kiri sulit dinilai
Auskultasi
Kanan : suara dasar vesikuler normal, suara tambahan ronchi basah kasar (-),
ronchi basah halus (-), wheezing (-).
Kiri : suara dasar vesikuler normal, suara tambahan ronchi basah kasar (-),
ronchi basah halus (-), wheezing (-).
M. Abdomen
Inspeksi : dinding perut cembung, distended (+), ikterik (-), venectasi (-),
sikatriks (-), striae (-), edema (-)
Auskultasi : peristaltik (+)
Perkusi : tympani, undulasi (-), nyeri ketok costovertebral kiri dan kanan (-)
Palpasi : tegang, nyeri tekan (+) suprapubik, hepar dan lien tidak teraba.
N. Genitourinaria : ulkus (-), sekret (-), tanda-tanda radang (-).

O. Ekstremitas :
Extremitas superior Extremitas inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema - - - -
Sianosis - - - -
Pucat - - - -
Akral dingin - - - -
Purpura - - + +
Deformitas - - - -
Ikterik - - - -
Hiperpigmentasi - - - -
Fungsi motorik 5 5 5 5
Fungsi sensorik Normal Normal Normal Normal
Reflek fisiologis + + + +
Reflek patologis - - - -

6
P. Rectal touce
TSA baik
Sulcus medianus teraba
Ampula recti baik
Mukosa licin, massa (-)
Sarung tangan lendir (-) darah (-) feses (+)

ASSESSMENT SEMENTARA (IGD)


Striktur uretra

7
PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan Darah

ASSESSMENT
Striktur uretra
TERAPI IGD
Infus rl 20 tpm
Inj ranitidine 1 amp / 12 jam
Inj sanmol 500 mg / 8 j
Dc

Konsul dr. Wawan Sp. B


Mondok
Bila urin masih tidak bisa keluar lakukan pemasangan blas pungsi menggunakan
abocath no 16 kemudian disambungkan transet dn urin bag.
Inj ketorolac 1 amp / 8 jam
Inj ceftriaxone 1 gram / 12 jam

8
TINJAUAN PUSTAKA

I. Anatomi
Sistem kemih seluruhnya terletak di bagian retroperitoneal, sehingga proses
patologi seperti obstruksi, radang, dan pertumbuhan tumor terjadi di luar rongga
abdomen, tetapi gejalanya dan tandanya mungkin tampak di perut menembus
peritoneum parietal belakang. Gajala dan tanda jarang disertai tanda rangsang
peritoneum. Arteri renalis dan cabangnya merupakan arteri tunggal tanpa kolateral (end
artery) sehingga penyumbatan pada arteri atau cabangnya mengakibatkan infark ginjal.
Dinding ureter mempunyai lapisan otot yang kuat, yang dapat menyebabkan kontraksi
hebat disertai nyeri yang sangat hebat. Dinding muskuler tersebut mempunyai hubungan
langsung dengan lapisan otot dinding pielumdi sebelah cranial dan dengan otot dinding
buli-bulidi sebelah kaudal. Ureter menembus dinding muskuler masuk ke kandung
kemih secara miring sehingga dapat mencegah terjadinya aliran balik dari kandung
kemih ke ureter. Sistem pendarahan ureter bersifat segmental dan berasal dari pembuluh
arteri ginjal, gonad, dan buli-buli.3
Uretra adalah saluran kecil yang dapat mengembang, berjalan dari vesika
urinaria sampai keluar tubuh, yang berfungsi untuk menyalurkan urin dari vesika
urinaria hingga meatus bermuara ke meatus urinarius externus.4
Secara anatomis, urethra pada pria terbagi dua menjadi pars anterior dan pars
posterior, yang saling berbatasan pada diafragma urogenital. Urethra proksimal mulai
dari perbatasan dengan buli-buli, orificium uretra internum dan uretra prostatica.
Urethra postatica seluruhnya terdapat di dalam prostat dan berlanjut menjadi urethra
membranaceus. Struktur yang menjaga adalah ligamentum puboprostatika melekatkan
prostat membran pada arkus anterior pubis. Urethra membranaceus terdapat pada ujung
anterior diafragma urogenital dan menjadi bagian proksimal urethra anterior setelah
melewati membran perineum. Urethra bulbosa, agak menonjol pada proksimal anterior,
berjalan di sepanjang bagian proksimal korpus spongiosum dan berlanjut menjadi
urethra pendulosa di sepanjang uretra anterior. Ductus dari glandula Cowper bermuara
di urethra bulbosa. Urethra penil atau pendulosa berjalan di sepanjang penis dimana
berakhir pada fossa naviculare dan meatus urethra eksternus.2,5
Uretra diperlengkapi dengan sfingter uretra interna yang terletak pada
perbatasan buli – buli dan uretra, serta sfingter uretra eksterna yang terletak pada
perbatasan antara uretra anterior dan posterior. Sfingter uretra interna terdiri atas otot
polos yang dipersarafi oleh sistem simpatis sehingga pada saat buli – buli penuh, sfingter
9
ini terbuka. Sfingter uretra eksterna terdiri atas otot bergaris dipersarafi oleh sistem
somatik yang dapat diperintah sesuai dengan keinginan seseorang. Pada saat kencing
sfingter ini terbuka dan tetap tertutup pada saat menahan kencing. Panjang uretra pada
pria sekitar 8 inci (20 cm),
Gambar 1: Potongan sagital organ pelvis pada pria dan perempuan.5

sedangkan pada uretra wanita sekitar 11/2 inci (4cm), yang berada di bawah simfisis
pubis dan bermuara di sebelah anterior vagina. Di dalam uretra bermuara kelenjar
pariuretra, diantaranya adalah kelenjar skene. Kurang lebih sepertiga medial uretra,
terdapat sfingter uretra eksterna yang terdiri atas otot bergaris. Tonus otot sfingter uretra
eksterna dan tonus otot levator ani berfungsi mempertahankan agar urin tetap berada di
dalam buli – buli pada saat perasaan ingin miksi. Miksi terjadi jika tekanan intravesica
melebihi tekanan intrauretra akibat kontraksi otot detrusor, dan relaksasi sfingter uretra
eksterna.3,4

II. Etiologi
Terjadinya ruptur uretra dapat disebabkan oleh cedera eksternal yang meliputi
fraktur pelvis atau cedera tarikan ( shearing injury). Selain itu, juga dapat disebabkan
oleh cedera iatrogenik, seperti akibat pemasangan kateter, businasi, dan bedah
endoskopi.3,7
Ruptur uretra anterior biasanya terjadi karena trauma tumpul (paling sering) atau
trauma tusuk. Dan terdapat sekitar 85% kasus rupture uretra anterior pars bulbosa akibat
trauma tumpul.11

10
1. Fraktur pelvis
Cedera urethra posterior utamanya disebabkan oleh fraktur pelvis. Yang menurut
kejadiannya, terbagi atas 3 tipe, yaitu :
 Cedera akibat kompresi anterior-posterior
 Cedera akibat kompresi lateral
 Cedera tarikan vertikal.
Pada fraktur tipe I dan II mengenai pelvis bagian anterior dan biasanya lebih
stabil bila dibandingkan dengan fraktur tipe III dengan tipe tarikan vertical. Pada fraktur
tipe III ini seringkali akibat jatuh dari ketinggian, paling berbahaya dan bersifat tidak
stabil. Fraktur pelvis tidak stabil (unstable) meliputi cedera pelvis anterior disertai
kerusakan pada tulang posterior dan ligament disekitar articulation sacroiliaca sehingga
salah satu sisi lebih ke depan dibanding sisi lainnya (Fraktur Malgaigne). Cedera urethra
posterior terjadi akibat terkena segmen fraktur atau paling sering karena tarikan ke
lateral pada uretra pars membranaceus dan ligamentum puboprostatika.7
2. Cedera tarikan ( shearing injury)
Cedera akibat tarikan yang menimbulkan rupture urethra di sepanjang pars
membranaceus (5-10%). Cedera ini terjadi ketika tarikan yang mendadak akibat migrasi
ke superior dari buli-buli dan prostat yang menimbulkan tarikan di sepanjang urethra
posterior. Cedera ini juga terjadi pada fraktur pubis bilateral (straddle fraktur) akibat
tarikan terhadap prostat dari segmen fraktur berbentuk kupu-kupu sehingga
menimbulkan tarikan pada urethra pars membranaceus.7
3. Cedera uretra karena pemasangan kateter
Cedera uretra karena kateterisasi dapat menyebabkan obstruksi karena edema
atau bekuan darah. Abses periuretral atau sepsis dapat mengakibatkan demam.
Ekstravasasi urin dengan atau tanpa darah dapat lebih meluas. Pada ekstravasasi ini,
mudah timbul infiltrate urin yang mengakibatkan sellulitis dan septisemia bila terjadi
infeksi.3

III. Klasifikasi
Berdasarkan anatomi, rupture uretra dibagi menjadi:3
1. Rupture uretra posterior
Terletak di proksimal diafragma urogenital, hampir selalu disertai
fraktur tulang pelvis. Akibat fraktur tulang pelvis, terjadi robekan pars
membranasea karena prostat dengan uretra prostatika tertarik ke cranial
bersama fragmen fraktur, sedangkan uretra membranasea terikat di
11
diafragma urogenital. Ruptur uretra posterior dapat terjadi total atau
inkomplit. Pada rupture total, uretra terpisah seluruhnya dan ligamentum
puboprostatikum robek sehingga buli-bulidan prostat terlepas ke kranial.3
2. Rupture uretra anterior
Terletak di distal dari diafragma urogenital. Terbagi atas 3 segmen,
yaitu:8
_ Bulbous urethra
_ Pendulous urethra
_ Fossa navicularis
Namun, yang paling sering terjadi adalah rupture uretra pada pars
bulbosa yang disebabkan oleh Saddle Injury, dimana robekan uretra terjadi
antara ramus inferior os pubis dan benda yang menyebabkannya.3

Gambar 2: Uretra pada laki-laki.6

Menurut Collpinto dan McCallum tahun 1977 cedera uretra posterior dapat
diklasifikasikan berdasarkan luas dari cederanya, menjadi:1,10,11
♦ Tipe I : Cedera tarikan uretra
♦ Tipe II : Cedera pada proksimal diafragma genitourinaria
♦ Tipe III : Cedera uretra pada proksimal dan distal diafragma
genitourinaria

IV. Diagnosis
Dapat diduga terjadi cedera urethra dari anamnesis atau trauma yang nyata pada
pelvis atau perineum. Pada penderita yang sadar , riwayat miksi perlu diketahui untuk

12
mengetahui waktu terakhir miksi, pancaran urine, nyeri saat miksi dan adanya
hematuria.
1. Ruptur uretra posterior
Rupture uretra posterior harus dicurigai jika terdapat tanda fraktur pelvis.12
- Perdarahan per uretra
Merupakan tanda utama dari rupture uretra posterior, ditemukan pada
37%-93% penderita dengan cedera urethra posterior .Dengan timbulnya darah,
setiap instrumentasi terhadap urethra ditunda sampai keseluruhan urethra sudah
dilakukan pencitraan (uretrografi). Darah di introitus vagina ditemukan pada
80% penderita perempuan dengan fraktur pelvis dan cedera urethra.12
-
Retensi urin 12
-
Pada pameriksaan Rectal Tuse didapatkan Floating prostat yakni prostat seperti
mengapung karena tidak terfiksasi lagi pada diafragma urogenital.12
-
Pada pemeriksaan uretrografi didapatkan ekstravasasi kontras dan terdapat
fraktur pelvis.12

2. Ruptur uretra anterior


Trauma uretra anterior yang terdiri dari uretra pars glanularis, pars
pendulans, dan pars bulbosa.12

13
Pada ruptur uretra anterior, didapatkan:12, 14
- Perdarahan per-uretra/ hematuri.
- Kadang terjadi retensi urine.
- Hematom kupu-kupu/butterfly hematom/ jejas perineum.
Uretra anterior terbungkus di dalam korpus spongiosum penis. Korpus
spongiosum bersama dengan corpora kavernosa penis dibungkus oleh fasia Buck
dan fasia Colles. Jika terjadi
rupture uretra beserta korpus
spongiosum darah dan urin keluar
dari uretra tetapi masih terbatas
pada fasia Buck, dan secara klinis
terlihat hematoma yang terbatas
pada penis. Namun jika fasia Buck
ikut robek, ekstravasasi urin dan
darah hanya dibatasi oleh fasia
Colles sehingga darah dapat
menjalar hingga skrotum atau ke dinding abdomen. Oleh karena itu robekan ini
memberikan gambaran seperti kupu-kupu sehingga disebut butterfly hematoma atau
hematoma kupu-kupu.14,15
Gambar 3: Ruptur uretra pars anterior
dengan perdarahan per uretra, dan hematom
kupu-kupu

V. Penanganan
Pertama kali yang perlu dilakukan
dalam mengatasi kegawatan yang mungkin
timbul setelah trauma utamanya gangguan
hemodinamik .Syok sering terjadi akibat
perdarahan rongga pelvis. Bila hal ini terjadi,
maka ditangani dengan pemberian cairan maupun transfuse darah, obat-obat
koagulansia, analgetik dan antibiotika.9,10
Terdapat beberapa kontroversi akan penaganan ruptur urethra posterior akibat
fraktur pelvis, pilihan penanganan yang dapat dilakukan yaitu :
- Realignment primer

14
Awalnya teknik ini dilakukan repair secara open dengan mengeluarkan
hematom, jaringan dan melakukan jahitan secara langsung. Teknik ini tidak
dilakukan lagi karena dilaporkan menimbulkan banyak kehilangan darah selama
operasi, meningkatkan impotensi, striktur dan inkontinensia. Kemudian teknik ini
berubah yaitu melakukan stenting dengan kateter secara indirect maupun
endoskopik tanpa melakukan jahitan atau diseksi pelvis.1,2
Diskontinuitas uretra dapat dijembatani dengan beberapa variasi. Dapat
dilakukan open sistostomy dan melihat buli-buli untuk adanya kemungkinan
rupture, bila cedera penyerta lainnya tidak massif dapat dilakukan realignment.
Pertama kateter uretra dimasukkan dengan panduan jari kedalam buli-buli.
Kemudian dilakukan perabaan pada anterior prostat sehingga kateter dapat
diposisikan.Bila hal ini gagal dapat dilakukan dengan sistoskopi fleksibel. Ada pula
yang menggunakan teknik dengan memasang tube sonde no 8 secara antegrade
sampai tube keluar di meatus kemudian diikatkan dengan kateter utnuk kembali
dimasukkan ke buli-buli. Pemasangan kateter secara retrograde dapat pula
dilakukan dengan panduan melalui jari pada bladder neck.1,2
Pada penderita politrauma dengan fraktur pelvis yang berat paling mungkin
dilakukan teknik dengan memasukkan sistoskopi fleksibel melalui jalur suprapubik,
sistoskopi rigid melalui uretra dan kawat pemandu diantara keduanya sehingga
kateter dapat lewat melalui kawat pemandu .Pasien ditempatkan dalam posisi
litotomy rendah dengan tetap memperhatikan adanya segmen fraktur pelvis.1
Dengan stenting menggunakan kateter dilakukan lebih awal, kemungkinan
untuk timbulnya komplikasi striktur berkurang bila dibandingkan dengan hanya
memasang sistostomi saja. Keuntungan lainnya yaitu urethra yang avulse dan
prostat yang awalnya berjauhan kembali didekatkan sehingga akan memudahkan
saat dilakukan uretroplasty. Beberapa penulis menilai dengan pemasangan kateter
dini dapat memperpendek panjang striktur. Realignment ini sebaiknya dilakukan
sesegera mungkin (dalam 72 jam setelah cedera). Kateter urethra dipertahankan
selama 6 minggu, dan dilanjutkan dengan pemeriksaan uretrosistografi, bila tidak
didapatkan ekstravasasi maka kateter dapat dikeluarkan dengan tetap
mempertahankan kateter suprapubik.1
- Uretroplasty Primer
Repair primer dengan end-to-end anastomosis hanya dapat dilakukan pada
penderita non trauma atau tidak disertai dengan fraktur pelvis, pasien dalam keadaan
optimal dan terbukti mengalami ruptur urethra posterior.7
15
Standar baku dalam penanganan rekonstruksi uretra posterior adalah
kateterisasi suprapubik selama 3 bulan dan dilanjutkan anastomosis end-to-end
bulboprostatika. Setelah 3 bulan, jaringan scar pada tempat disrupsi urethra sudah
stabil dan matang menjadi indikasi untuk dilakukaknnya prosedur rekonstruksi.
selain itu cedera penyerta lainnya telah stabil dan pasien sudah rawat jalan.1
Sebelum rekonstruksi dilakukan, dilakukan pencitraan uretrosistografi
retrograde untuk mengetahui karakteristik defek uretra. Saat dilakukan pencitraan
ini pasien diminta untuk berusaha berkemih sehingga bladder neck terbuka dan
defek rupture dapat dievaluasi lebih akurat. Pemeriksaan yang lebih akurat yaitu
dengan MRI. Teknik yang digunakan yaitu transperineal, dimana pasien
ditempatkan pada posisi litotomi dan insisi midline atau flap inverted. Urethra
bulbosa dibebabaskan dan disisihkan menjauhi defek urethra ke mid-scrotum.
Jaringan skar defek rupture uretra dieksisi dan urethra prostatica diidentifikasi pada
apex prostat. Untuk membuat anastomosis yang non tension atau karena ujung-
ujung defek berjauhan, dapat dilakukan beberapa maneuver seperti pemisahan krus,
pubektomi inferior dan re-routing uretra untuk mendekatkan gap.1,7

VI. Komplikasi
Komplikasi dari cedera pada pelvis sulit dibedakan dengan komplikasi
akibat pasca uretroplasti atau cedera buli-buli. Komplikasi dini yang dapat terjadi
setelah rekonstruksi uretra adalah infeksi, hematoma, abses periuretral, fistel
uretrokutan. dan epididimitis.3
Sedangkan komplikasi lanjut yang sering terjadi, yaitu:1,2,7,9
1. Impotensi
Ditemukan 13-30% dari penderita dengan fraktur pelvis dan pada cedera
uretra yang dirawat dengan pemasangan kateter. Cedera pada saraf parasimpatis
penil merupakan penyebab terjadinya impotensi setelah fraktur pelvis.
2. Inkontinesia
Insiden terjadinya inkontinensia urine rendah ( 2-4 %), dan disebabkan oleh
kerusakan pada Bladder Neck. Oleh karena itu, inkontinensia meningkat pada
penderita yang dilakukan Open Bladder Neck sebelum dilakukan operasi.
3. Striktur
Setelah dilakukan rekonstruksi rupture uretra posterior, 12-15% penderita
terbentuk striktur. Biasanya 96% kasus berhasil ditangani dengan dilakukan
penangan secara endoskopi.
16
Batasan Striktur urethra adalah penyempitan lumen uretra karena fibrosis pada
dindingnya dengan berbagai kedalaman, densitas dan panjang fibrosis tergantung pada etiologi,
luas operasi endoskopik yang dilakukan dan intrumentasi. Penyempitan lumen karena fibrosis
pada dinding uretra pada tingkat yang lebih parah terjadi fibrosis korpus spongiosum karena
hilangnya lapisan epitel uretra (urothelium). Striktura uretra dapat disebabkan karena suatu
infeksi, trauma pada uretra, dan kelainan bawaan. Infeksi seperti uretritis gonokokus, saat ini
mungkin sudah jarang ditemukan, sering infeksi disebabkan karena pemakaian kateter uretra
dalam jangka lama.
Trauma yang menyebabkan striktura uretra adalah trauma tumpul pada selangkangan
(straddle injury) yang akan menimbulkan striktur uretra pars bulbosa, fraktur tulang pelvis yang
akan merusak uretra pars membranasea hingga dapat menimbulkan striktur uretra parsial atau
komplit, dan penggunaan intrumentasi atau tindakan transuretra yang kurang hati hati.
Gejala dan Tanda Gejala yang timbul sesuai dengan ukuran lumen uretra yang
menyempit biasa secara bertahap terlihat dari pancaran urine yang semakin lemah. Pancaran
urine menyemprot atau bercabang dan pada akhir miksi kencing menetes (terminal dribbling).
Sistitis akut atau terjadi infeksi atau prostatitis. Frekuensi dan disuria dapat dirasakan sebagai
awal keluhan. Tanda yang dapat dijumpai berupa didapatkan indurasi atau massa noduler pada
perabaan uretra, fistel uretrokutan, atau teraba buli-buli bila terjadi retensi urine yang kronik.
Pemeriksaan penunjang yang digunakan untuk mengetahui pola pancaran urine secara obyektif
dapat memakai alat uroflowmetri. Kecepatan pancaran urine pria normal adalah 20 ml/det. Jika
kecepatan pancaran urine kurang dari 10 ml/det menandakan adanya obstruksi.
Pemeriksaan sedimen dan kultur urine juga perlu dilakukan untuk melihat adanya
infeksi atau sistitis. Pemeriksaan urethrogram atau bipolar cystourethrogram (atau keduanya)
dapat menentukan lokasi dan panjangnya striktura uretra. USG juga dapat digunakan untuk
evaluasi striktura uretra. Untuk melihat langsung striktura uretra dapat menggunakan
urethroscopy.
Terapi / Tindakan yang dapat dilakukan:
1. Dilatasi Dilatasi striktura uretra atau businasi dengan busi logam jarang menjadi
terapi kuratif, tetapi dapat dilakukan sebagai tindakan sementara untuk memperlebar diameter
uretra. Uretra harus diberi lubrikasi sebelum instrument dilatasi dimasukan, gunakan terlebih
dahulu instrument dilatasi ukuran kecil dan dimasukkan secara hati-hati hingga masuk ke dalam
buli-buli. Tindakan ini dapat menimbulkan salah jalan (false route) bila melakukannay secara
kasar dan tidak hati-hati.
2. Uretrotomi interna dengan panduan alat endoskopi Uretrotomi yaitu memotong
jaringan sikatriks uretra dengan menggunakan pisau Otis atau pisau Sachse. Otis dikerjakan
17
jika belum terjadi striktura total, sedangkan pada striktura yang lebih berat, pemotongan
striktura memakai pisau sachse.
3. Bedah Terbuka Jika uretrotomi gagal maka pengangkatan jaringan sikatriks dapat
dilakukan melalui operasi terbuka. Striktura uretra anterior yang pendek ( ≤ 2 cm ) dapat
dilakukan eksisi secara komplit dan dilanjutkan anastomosis secara primer. Jika striktura uretra
lebih dari 2 cm maka dapat dilakukan uretroplasti menggunakan patch graft. Untuk striktura
uretra yang lebih panjang dapat menggunakan fasciocutaneous flap. Follow Up Pasca Tindakan
Striktura uretra seringkali kambuh, sehingga pasien harus sering menjalani pemeriksaan /
kontrol secara teratur minimal sampai 1 tahun setelah operasi dan tidaka menunjukkan tanda-
tanda kekambuhan. Setiap kontrol dilakukan pemeriksaan pancaran urine yang langsung dilihat
oleh dokter atau menggunakan rekaman uroflowmetri.
Beberapa tindakan yang dapat dilakukan tiap kontrol ;
1. dilatasi berkala dengan menggunakan busi
2. CIC ( clean intermitten catheterization) atau kateterisasi bersih mandiri berkala yaitu
pasien dianjurkan untuk melakukan kateterisasi secara periodik pada waktu tertentu dengan
kateter yang bersih ( tidak perlu steril) guna mencegah kekambuhan striktura.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Cook J, Sankaran B, Wasunna A.E.O. Uretra Pria, dalam: Penatalaksanaan


Bedah Umum di Rumah Sakit. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1995.
Hal;165-166.
2. Purnomo Basuki B. Striktura uretra, dalam: Dasar-dasar UROLOGI. Ed 2. CV.
Sagung, Jakarta, 2003. Hal; 153-156
3. Purwadianto A, Sampurna B. Retensi Urin, dalam: Kedaruratan Medik,
“Pedoman Penatalaksanaan Praktis”. Ed Revisi. Binarupa Aksara, Jakarta,
2000. Hal;145-148
4. Rochani. Striktur Urethra, dalam: Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Bagian
Bedah Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Binarupa
Aksara, Jakarta, 1995. Hal; 152-156.
5. Scott M. Gilbert, M.D., Department of Urology, Columbia-Presbyterian
Medical Center, New York. Urethral
Stricture. http://www.medlineplus.com/medicalencyclopedia.html, 5 Maret
2004. Diakses tanggal 19 April 2018.
6. Sjamsuhidayat R, Wim de Jong. Striktur Uretra, dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah
Ed. Revisi. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1996. Hal; 1018-1019.
7. Stricture Urethra. http://www.strictureurethra.com, diakses tanggal 19 April
2018.
8. The Male Urethra. http://www.bartleby.com/xI_splanchnology_
3b_4_themaleurethra_gray,henry_1918_anatomyofthehumanbody diakses
tanggal 19 April 2018.
9. Urethral Stricture Disease. http://www.urologyhealth.org/
adultconditionsbledder/urethralstricturedisease.html, diakses tanggal 19 April
2018.
10. Urethral Stricture. http://www.drrajmd.com/urology/urethral-stricture, diakses
tanggal 19 April 2018.
11. Urethral Stricture Disease. http://www.centerforreconstructive
urology.com/urethralstricture, diakses tanggal 19 April 2018

19

Anda mungkin juga menyukai