Anda di halaman 1dari 7

BAB VIII

TRANSFORMASI PAGREH PRAJA


Salah satu dampak penduduk Jepang dapat dilihat ndari perubahan peran pangreh
praja. Umumnya dipahami bahwa Jepang pada pokoknya mewarisi sistem serta mekanisme
pemerintahan Belanda yanga da ketika mereka menduduki Jawa. Namun, hal itu tidak
selalu berti bahwa sifat dan ciri-ciri pegawai negeri tetap dan tidak berubah. Sebaliknya,
mereka terkena campur tangan dan kontrol yang cukup besar, sehingga mengalami
perubahan-perubahan besar dalam peran dan sifatnya. Bab ini akan mengulas kebijakan
Jepang terhadap pengreh praja, dan akibat-akibat perubahan dalam peran dan sifat mereka.
I. Pangreh Praja pada Zaman Belanda
Pada zaman Belanda, rakyat pribumi diperintah secara langsung oleh penguasa
pribumi dan secara tidak langsung oleh penguasa Belanda yaitu, kelas penguasa tradisional
dari zaman prakolonial, yang disebut priayi, dipercayakan dengan administrasi sehari-hari
vis-à-vis penduduk pribumi. Langkah pertama dalam membentuk pemerintahan tidak
langsung ini diambil pada zaman Gubernur Jendral Daendels (18011-1811). Daendels
dalam upaya mengkonsolidasikan pemerintah kolonial , memasukkan atau menggabungkan
kelas penguasa tradisional dari kerajaan Mataram ke dalam lembaga kolonial, serta
memperkerjakan mereka sebagi pegawai-pegawai bergaji. Kemudian pada tahun 1820,
status penguasa tradisional sebagai pegawai diatur dalam peraturan tentang kewajiban,
jabatan dan gelar bupati di pulau Jawa. Pada tahun 1836 prinsip pemerintah tidak langsung
untuk pertama aklinya secara legal dimaut dalam 67 ayat Peraturan Konstitusional, yang
menyatakan bahwa penduduk pribumi harus ditemapatkan dibawah kepemimpinan dan
kewenangan langsung dari penguasa mereka, sejauh kondisinya mengizinkan.
Didalam kerangka acuan konstitusional semacam itu, hirarki pemerintah daerah
disusun dalam bentuk dualism yang jelas yaitu pemerintah pribumi disatu pihak dan
pemerintah eropa dilain pihak. Keduanya hidup sejajar namun dalam upah, keduanya
terdapat perbedaan.
Pegawai negeri pribumi disebut pangreh praja, yanag secara harfiah berrati
penguasa kerajaan. Pangreh praja mempunyai mempunyai fungsi ganda yang agak
ambivalen. Vis-avis penduduk pribumi mereka masih bertindak sebagai kepala tradisional
rakyat, semenatar vis-à-vis pemerintah colonial mereka bekerja sebagai pegawai negeri
upahan yang diletakkan ke dalam sistem birokrasi modern.
Pemerintah colonial berniat menjaga sifat pangreh praja sebagai penguasa
tradisional, dan demi tujuan tersebut mereka tetap merekrut pangreh praja hanya dari
kalangan anak-anak priyai, serta posisi-posisi yang lebih tinggi ahnya terbuka bagi
keluarga-keluarga tertentu dengan latar belakang yang lebih tinggi.
Pendidikan barat menjadi wajib bagi pegawai pribumi, dan didirikan sekolah-
sekolah untuk melatih para administrator. Namun, pendidikan barat tidak begitu bermakana
dalam memperkuat kewenangan pangreh paraja vis-à-vis penduduk pribumi. Dimata
rakyat, kewenangan pangreh praja bukan berasal dari keahlihan ataun kemampuan
administratif tetapi dari hal-hal seperti kewibawaan, tingkah laku, gaya berbahasa, dan
lingkungan mistik keagamaan.
II. Pendudukan Jepang dan Meningkatnya Peran Pangreh Praja
1. Penghapusan dualisme pemerintahan daerah
Langkah legislatif yang pertama kea rah ini ialah diberlakukannya Undang-Undang
Nomor 27 dan 28 Tanggal 5 Agustus 1942, yang menyangkut perubahan-perubahan
keorganisasian dalam pemerintahan daerah. Dengan ordonansi ini, hirarki dari Europess
Bestutur dihapuskan, dan nama-nama Jepang bagi unit-unit pemerintahan daerah serta
kepala-kepalanya didekritkan.

2. Sikap Jepang terhadap Pangreh Praja


Jepang mempunyai perasaan sangat ambivalen, dan bahkan bertentangan, terhadap
pangreh praja. Bayanagn mereka tentang pangreh praja ialah bahwa pangreh praja sangat
terpengaruh kebudayaan barat dalam cara berfikir, pola tingkah laku, dan gaya hidup,
sehingga terlihat sebagai pro-belanda. Hal ini membuat Jepang curiga tentang kesetiaan
pangreh praja dan menjaga diri tetap jauh dari pangreh praja. Pada permulaan pendudukan
Jeapang ialah memulihkan stabilitas politik dan sosial, menyebarkan penerangan mengenai
maksud Jepang dan berusaha memobilisasikan penduduk supaya membantu upaya perang
Jepang, dan demi tujuan demi, bantuan dari kelompok-kelompok elit lainnya yang kurang
berwarna Belanda terlihat lebih efektif. Terutama kaum politis nasionalis dan pemimpin
Islam, yang terasingkan pada zaman Belanda, merupakln koopertor yang ideal, baik dalam
pengertian orientasi ideologis maupun dalam pengaruh politik mereka atas rakyat.
Sekalipun ada kecurigaan yang mendalam mengenaio kesetiaan pangreh praja,
Jepang juga menyadari bahwa kelompok sosial yang paling bisa diandalakan dan
bergantung pada kelompok ini dalam pelaksanaan sesungguhnya dari pemerintahan dan
control keseharian atas penduduk.
4. Membesarnya Peran Pangreh Praja
Pangreh praja semakin diperkuat ketika situasi militer dan ekonomi memburuk.
Karena hilangnya kendali atas jalur perkapalan di laut, komunikasi anatar Jepang dan Jawa
sangat buruk semenjak akhir tahun 1943. Akibatnya, pemerintah militer di Jawa justru
harus lebig semakin berdiri diats kakai sendiri dalam hal mental dan material. Tenatar
pribumi Indonesia, yaitu PETA, juga dibangun dalam rangka melengkapi kekuatan militer
Jepang. Dibwah keadaan seperi itu, peran pangreh praja harus diperbesar dan ditingkatkan.
III. Meningkatnya Campur Tangan terhadap Pangreh Praja
1. Program pelatihan pangreh praja
Salah satu skema untuk mengindoktrinasi pangreh praja ialah memberkan pelatiahn
politik dan moral kepada meraka. Pelatihan telah dilakukan secara tidak teratur dengan
skala kecil sejak tahap-tahap awal pendudukan, tetapi baru melembaga setelah awal tahun
1944. Pelatihan ini dimaksudkan untuk menanamkan pandangan, kebiasaan, bahasa, moral
sejarah, pemrintahn Jepang, dan sebagainya kedalam pemikiran bupati seluruh Jawa, yang
dalam pendnagan Jepang terlalu terpengaruh oleh pandangan barat.
2. Campur tangan dalam pemecatan dan pengangkatan: 72 kasus pergantian kencho
Pelatihan menjadi sanagat tidak mencukupi untuk menjamin kesetiaan pangreh
praja secara penuh. Jepang menyadari perlunya member kejutan psikologis yang kuat
terhadap mereka seperti pemecatan, perekrutan, pengangkatan, dan promosi pragreh praja
serta memberikan rasa ketakutan dan harapan yang kuat terhadap meraka. Tentu saja,
alasan uatama bagai intervensi Jepang selalu untuk mematikan mereka, tetapi untuk
mengkonsolidasikan birokrasi serta meningkatkan efisiensinya dengan menyingkirkan
orang-orang yang tidak kooperatif dan menggantikan dengan orang-orang yang lebih
disukai.
3. Akibat-akibat campur tangan: Kasus Kabupaten Panarukan
Panaruakn merupakan kerasidenan yang luar biasa, tidak hanya dalam hal seringnya
pergantian personil pangreh praja sewaktu pendudukan Jepang, tetapi juga cara perubahan
tersebut dilakukan. Perubahan-perubahan dalam bentuk pemecatan dengan tidak hormat,
jauh lebih sering terjadi dibandingkan di karesidenan lain.
Tindakan sewenang-wennag yang dilakukan Jepang terhadap pangreh praja dalam
jangka pendek mungkin memuaskan bagi Jepang, akan tetapi damapak negatifnya.
Penguasa, yang mengetahui adanaya sikap antipasti dan apatis secara umum dikalangan
pangreh praja serta dampak terbatas dari manipulasi imbalan-hukuman, sangat rustasi dan
selalu mencari sarana-sarana yang lebih mendasar untukmmengubah siakp dasar dan
mentalis mereka.
4. Pola Pengangkatan Pangreh Praja seacra tidak konvensional
Pengangkatan yang dilakukan Jepang lebih mencolok, ialh pengangkatan-
pengakatan sering dilakukan dengan cara yang tidak konvensioanl, dengan mengabaikan
pola-pola dan metode tradisional. Jepang tidak ragu-ragu menghancurkan tradisi yang ada
mengenai suksesi kencho secara turu temurun, dan berani mengangkat kencho baru dari
luar keluarga bupati, bahkan dari luar korps pangreh praja.
5. Ujian Pegawai Negeri
Dalam rangka melembagakan dan mengabsakan perekrutan dari luar korps pangreh
praja csemacam itu, pemerintah memperkenalkan ujian kemampuan bagi pegawai negeri
pada februari tahun 1944. Ujian ini terbagi ke dalam tigas tingkat, yaitu untuk pegawai
kelas atas, menenagh, dan bawah. Ujian ini terbuka baik bagi pegawai yang sesng bekerja
maupun bagi mereka yang diluar kepegawaian. Nagi yang terdahuli ia merupakan ujia, dan
bagi n promosiyang belaakangan ia meruapakn ujian penerimaan.
IV. Koyaknya Gambaran tentang Pangreh Praja
Seringnya kontak dengan penduduk desa vis-à-vis seperti menyebabkan dua reaksi
pokok dari penduduk desa vis-à-vis pangreh praja. Pertama, menyempitkan jarak fisik
antara pangreh praja dan masyarakat praja. Hal ini, dipadukan dengan faktor-faktor lain,
akhirnya menyebabkan berkurangnya penghormatan dan gengsi pengreg praja di dalam
pandnagan petani. Kedua, pengamatan langsung atas tingkah laku pangreh praja, yang pada
zaman itu biasanya sangat tidak laku pangreh praja, yang zaman itu biasanya sangat tidak
sesuai di mata petani, mau tidak mau menciptakan suatu penilaian negative dan sering
mengusik kebencian terhadap mereka. Kedua reaksi ini berperab dalam mengakibatkan
perubahan anatara rakyat dan pangreh praja, yang dibeberapoa daerah mengakibatkan
serangkaian insiden yang biasa disebut “revolusi sosial”.
Belanda sangat berhati-hati untuk menjaga kewenangan dan gam abaran
kewibawaan pangreh praja, serta berusaha membangun segala macam “mitos “ melalui
upacara seremonial dan perlakuan keseharian mereka atas pangreh praja. Tetapi, Jepang
kurang berkeingan untuk mempertahankan sifat otoritatif dan lebih berkeinginan untuk
meningkatkan kepraktisan serta efisiensi pegawai negeri. Tampaknya pemerintah Jepang
bahkan berusaha”mendemokratisasikan” kors pangreh praja dengan mnegurangi warna
tradisional dan arostrokat mereka. Dengan demikian, mereka tidak ragu-ragu memasukkan
elemen-elemen baru ke dalam korps tersebut serta menyingkirkan segala macam upacara
yang merupakan pengungkapan kepatuhan umum kepada pengreh praja sejak lama.
Selain itu, pengankatan pegawai negeri secara tidak konvensional di luat korps
pengreh prja tradisional juga berakibat mengurangi gengsi mereka dimata masyarakat.
Jabatan-jabatan menjadi terbuka bagi setiap orang melaui ujian dan pengabdian menurut
kemampuan, sekurangnya dalam teori, dan tidak lagi dianggap sebagai suatu yang suci.
Pangreh praja harus memaksa rakayat samoai diperoleh hasil yang memuaskan,
kadang-kadang mereka bahkan menjalankan kekerasan fisik, sehingga terpaksa
menumbuhkan ketakutan di kalangan rakayar, yang dengan mudah akan menjadi
kebencian. Serangan-serangan terhadap pangreh praja, yang terdorong oleh kebencian yang
bertumpuk selama pendudukan Jepang, sering terlihat dalam sehari-hari awal pasca perang,
menyusuli proklamasi kemerdekaan.
DAFTAR PUSTAKA
Kurawa, Aiko. 198

Anda mungkin juga menyukai