PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ekonomi Islam telah lahir sejak Rasulullah Saw menyebarkan ajaran Agama
Islam, kemudian dilanjutkan oleh para sahabat hingga memiliki kemajuan yang begitu
pesat pada masa Dinasti Abbasiyah dan pada akhirnya masih juga dilakukan sampai
zaman sekarang, walaupun saat ini masih banyak campur aduk ekonomi Barat dalam
aktifitas perekonomian masyarakat khususnya Umat Islam.
Kemunculan ekonomi Islam bukan karena ekonomi ortodok, melainkan karena
sejarah membuktikan bahwa kemunculan ekonomi Islam sejak Rasulullah Saw hidup.
Ekonomi Islam merupakan bagian integral ajaran Islam, bukan dampak dari sebuah
keadaan yang memaksa kemunculannya, jadi bukan karena ekonomi ortodok yang
memaksa kehadiran ekonomi Islam. Ekonomi Islam juga memiliki tujuan yang sangat
penting yaitu menciptakan kesejahteraan umat manusia khususnya terpenuhinya
kebutuhan setiap individu dengan cara yang disahkan oleh Undang-Undang Pemerintah
maupun hukum syariat (Agama).
Sebagai muslim kita yakin bahwa melalui Al-Qur’an dan As-Sunnah, telah diatur
garis besar aturan untuk menjalankan kehidupan ekonomi dan untuk mewujudkan
kehidupan ekonomi, sesungguhnya Allah telah menyediakan sumber daya-Nya dan
mempersilahkan manusai untuk memanfaatkannya.
Kita dituntut untuk menerapkan keislaman dalam seluruh aspek kehidupan,
termasuk dari aspek ekonomi. Maka mempelajari sistem ekonomi Islam secara mendalam
adalah suatu keharusan, dan untuk selanjutnya disosialisasikan dan diterapkan.
Inti asas ekonomi Islam adalah hak milik. Hak milik itu terdiri dari hak milik
pribadi, hak milik umum, dan milik Negara. Dalam realitas, banyak praktik ekonomi
(mikro maupun makro) mengalami kegagalan disebabkan kekeliruan pemahaman
mengenai hak milik, seperti mendapatkan harta korupsi atau suap untuk membangun
fasilitas umum dianggap benar, kebijakan sumber daya air, kebijakan sumber daya alam
dan energi, kebijakan pengentasan kemiskinan, kebijakan privatisasi BUMN Milik
Umum, kenaikan harga BBM dan berbagai penyimpangan lainnya.
Pada hakikatnya harta itu milik Allah (real and absolute ownership), yang
dititipkan kepada manusia (delegated and restricted ownership). Oleh karena itu,
1
pencarian harta atau aktivitas ekonomi harus diniatkan untuk memperoleh karunia dan
keridhaan Allah, yang berarti juga harus halal. Sebagaimana disebutkan dalam firman-
Nya:
“Dialah yang menjadikan bumi ini mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala
penjurunya dan makanlah sebagian dari rizki-Nya.” (Q.S. Al-Mulk: 15).
B. Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang masalah sebagaimana di ungkapkan diatas, maka
pemakalah dapat merumuskan sebagaimana berikut :
1. Apa saja prinsip-prinsip dasar ekonomi islam ?
2. Bagaimana kajian ekonomi islam ?
C. Tujuan
Berdasarkan pokok permasalahan sebagaimana dirumuskan diatas, tujuan yang
ingin dicapai dalam makalah ini adalah :
Untuk menjelaskan bagaimana kajian ekonomi islam.
D. Manfaat Makalah
2
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Ekonomi
Ilmu Ekonomi merupakan seni yang tertua didunia. Istilah ekonomi itu sendiri
berasal dari bahasa Yunani Oikos Nomos, yang berarti tata laksana rumah tangga atau
permilikan. Tokoh yang pertama sekali menulis permasalahan ekonomi adalah
Aristoteles dari Yunani sehingga orang sekarang menyebutnya sebagai Ahli Ekonomi
pertama. Sesudah melalui masa yang sangat panjang, barulah ilmu ekonomi mendapatkan
bentuk serta takrif (definisi) yang mantap seperti sekarang ini. Di sini, ilmu ekonomi
diartikan sebagai ilmu untuk memenuhi keinginan manusia yang tidak terbatas dengan
sumber daya yang terbatas. Di dalam takrif ini, ternyatalah bahwa masalah utama dan
setiap persoalan ekonomi adalah problem of choice (masalah pemilihan) diantara
pelbagai alternatif penggunaan sesuatu barang.
Sementara itu, masalah perekonomian yang paling pokok meliputi tiga masalah
yang fundamental dan saling berkait, yakni what, how, dan for whom goods should be
produced, yang secara lengkap menunjukan hubungan yang erat antara produksi dengan
konsumsi.
Perjalanan ilmu ekonomi tidak berhenti dengan revolusi Adam Smith itu.
Pemikirannya disusul oleh mereka yang melihat kelemahan teorinya. Para ahli ekonomi
Jerman, dimotori oleh Marx, merasa amat kecewa dengan kinerja Liberalisme yang
meletakkan rakyat kebanyakan sebagai sapi perahan para kapitalis. Mereka pun lalu
memunculkan aliran ekonomi baru yang disebut komunisme. Di barat, muncul aliran
Keynesian menjawab kegagalan liberalisme yang dimunculkan oleh Smith yang telah
melahirkan malaise, dan bahkan menyebutnya sebagai klasik. Akan tetapi pemikir-
pemikir klasik malah menyambutnya dengan memunculkan paham neo-klasik. Paham
Kainesiyan dan Neo klasik ini akhirnya diberlakukan bersama-sama oleh banyak Negara.
Namun, kegagalan ekonomi masih juga terjadi dimana-mana. Rupanya umat manusia
sedang menunggu lahirnya sebuah aliran ekonomi baru
B. Pengertian Islam
B.1. Islam Secara Etimologi
Berdasarkan ilmu bahasa (etimologi) kata “islam” berasal dari bahasa
Arab,yaitu kata salima yang berarti selamat, sentosa, dan damai. Dari kata itu
3
terbentuk kata aslama-yuslimu islaaman, yang berarti juga menyerahkan diri, tunduk,
patuh, dan taat.Sedangkan muslim yaitu orang yang telah menyatakan dirinya taat,
menyerahkan diri, patuh, dan tunduk kepada Allah SWT.
4
1. Alquranul Karim
Alquran adalah sumber utama, asli, abadi, dan pokok dalam hukum ekonomi
Islam yang Allah SWT turunkan kepada Rasul Saw guna memperbaiki, meluruskan
dan membimbing Umat manusia kepada jalan yang benar. Didalam Alquran banyak
tedapat ayat-ayat yang melandasi hukum ekonomi Islam, salah satunya dalam surat
An-Nahl ayat 90 yang mengemukakan tentang peningkatan kesejahteraan Umat
Islam dalam segala bidang termasuk ekonomi.
2. Hadis dan Sunnah
Setelah Alquran, sumber hukum ekonomi adalah Hadis dan Sunnah. Yang
mana para pelaku ekonomi akan mengikuti sumber hukum ini apabila didalam
Alquran tidak terperinci secara lengkap tentang hukum ekonomi tersebut.
3. Ijma'
Ijma' adalah sumber hukum yang ketiga, yang mana merupakan konsensus baik
dari masyarakat maupun cara cendekiawan Agama, yang tidak terlepas dari Alquran dan
Hadis.
4. Ijtihad atau Qiyas
Ijtihad merupakan usaha meneruskan setiap usaha untuk menemukan sedikit
banyaknya kemungkinan suatu persoalan syariat. Sedangkan qiyas adalah pendapat
yang merupakan alat pokok ijtihad yang dihasilkan melalui penalaran analogi.
5. Istihsan, Istislah dan Istishab
Istihsan, Istislah dan Istishab adalah bagian dari pada sumber hukum yang
lainnya dan telah diterima oleh sebahagian kecil oleh keempat mazhab (Muhammad
Abdul Manan,1997:28-38).
5
BAB III
PEMBAHASAN
Pada prinsip ini umat Islam dianjurkan dengan sangat bahkan pada kondisi
tertentu diwajibkan untuk membelanjakan harta-hartanya di jalan Allah secara
optimal. Membelanjakan dalam arti membantu para kaum duha'afa, yatim piatu, fakir
miskin dan lain-lain yang termasuk dalam 8 asnaf mustahik Zakat. Hal ini dilakukan
agar dapat terwujud kesejahteraan dan keadilan sosial di masyarakat Islam karena
Islam sama sekali tidak mentolerir berlangsunganya atau situasi kesenjangan
mencolok antara kaum berpunya dan tidak berpunya (the have’s and the have
nots). Sebagai contoh, berdasarkan hasil penelitian apabila umat benar-benar
menunaikan zakat lalu dikelola oleh amilin (pengurus badan amil zakat) secara benar
maka tidak akan ada orang miskin (Kholilah, 2011). Pengelolaan ZIS perlu
profesional agar muzaki yang menunaikan zakat dan membelanjakan hartanya atas
dasar ajaran agama merasa percaya bahwa ZIS mereka sampai kepada mustahik yang
benar-benar membutuhkan
2. Larangan Riba
6
(menang-kalah) antara nasabah dan pihak bank dan sebaliknya yang ini tidak
dibenarkan dalam prinsip ke dua ini. Dalam konteks ini jelas Allah akan memerangi
orang-orang yang menjalankan usahanya dengan sistem riba (QS al Baqarah 2: 278-
279) dan Allah melarang riba tetapi menghalalkan jual beli. .
ٍ ) فَإِ ْن لَ ْم تَ ْفعَلُوا فَأْذَنُوا بِ َح ْر278( َالربَا إِ ْن ُك ْنت ُ ْم ُمؤْ ِمنِين
ِب ِمنَ َّللا ِ َي ِمن َ يَا أَيُّ َها الذِينَ آ َمنُوا اتقُوا َّللاَ َوذَ ُروا َما بَ ِق
)279( َظلَ ُمون ْ ُ وس أ َ ْم َوا ِل ُك ْم ََل ت َْظ ِل ُمونَ َو ََل ت
ُ سو ِل ِه َوإِ ْن ت ُ ْبت ُ ْم فَلَ ُك ْم ُر ُء
ُ َو َر
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah
sisa-sisa riba. Jika memang kamu orang yang beriman.Jika kamu tidak
melakukannya,maka terimalah pernyataan perang dari Allah dan rasul Nya dan jika
kalian bertobat maka bagi kalian adalah modal-modal, kalian tidak berbuat zalim
dan tidak pula dizalimi”. (QS. Al-Baqarah : 278- 279)
Riba ini dalam sejarahnya amat disenangi oleh kaum Yahudi oleh karena itu
hingga kini pun kaum pebisnis Yahudi internasional masih menjalankan usahanya
dengan sistem model ini. Kita jangan sampai terjebak untuk mengikuti cara-cara
mereka (Yahudi dan Nasrani) karena mereka memang ingin “gaya hidup” mereka
ditiru dan mengglobal, apalagi mereka tidak rela Islam berkembang sehingga ingin
memisahkan agama (Islam) dari kehidupannya sehari-hari bahkan lebih jauh lagi
mereka berharap orang-orang Islam ikut dengan cara-cara dan gaya hidup mereka
sebagaimana Allah menggambarkan hal itu dalam QS al Baqarah ayat 120 yang
artinya “Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu sebelum
engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah, “sesungguhnya petunjuk Allah itulah
petunjuk yang (yang sebenarnya). Dan jika engkau mengikuti keinginan mereka
setelah ilmu (kebenaran) sampai kepadamu, tidak akan ada bagimu pelindung dan
penolong dari Allah”.
Ekonomi Islam yang berjalan dalam azas kebersamaan dan keadilan itu tidak
membolehkan salah satu pihak yang berkongsi menderita kerugian atau rugi
sendirian, oleh karena itu menanggung resiko kerugian pada usaha bersama secara
adil dan bijak mesti dilakukan agar tidak ada salah satu pihak yang merasa
terdzholimi dan tidak puas. Prinsip ini mengajak umat Islam yang berbisnis selalu
senasib dan sependeritaan, jika untung mesti sama-sama untung dan jika rugi mesti
sama-sama menanggungnya. Inilah suatu ajaran bisnis yang mengajarkan kita dalam
kebersamaan, adil, fair, transparan.Hal-hal seperti itulah yang seharusnya ditumbuh-
kembangkan dalam ekonomi Islam.
7
4. Dilarang terjadinya eksploitasi
Judi sudah tentu dilarang dan masuk dalam kategori usaha yang tinggi sifat
spekulasinya. Sistem ekonomi kapitalis berbagai bisnisnya banyak ditopang dan
didukung dengan usaha model spekulatif ini. Umat Islam jangan meniru model bisnis
macam ini, mesti dijauhi sejauh-jauhnya karena konsep ekonomi mereka tidak
dituntun oleh nilai-nilai agama (Islam) dan bisa menyesatkan bagi masyarakat Islam.
Meski kita ketahui bahwa dewasa ini umat islam tidak bisa terhindarkan dari sistem
ekonomi Islam, namun yang penting sekarang ini umat Islam mesti sadar terlebih
dulu bahwa umat Islam sebenarnya punya konsep ekonomi yang lebih baik. Apabila
suatu saat nanti umat Islam sudah tersadarkan dan memiliki pemimpin yang kuat,
amanah dan benar serta berkomitmen tinggi dalam menegakkan ajaran Islam, maka
saatnya ekonomi Islam dapat diimplementasikan oleh kita dengan meninggalkan cara
dan sistem ekonomi yang tidak Islami. Diperlukan kemauan dan tekad kuat untuk
memurnikan kegiatan ekonomi dari unsure-unsur yang bertentangan dengan prinsip
ajaran Islam (Al-Quran dan Hadist).
Apabila jual-beli itu menyangkut suatu barang yang sangat besar nilainya, dan agar
tidak terjadi kekurangan di belakang hari, al-Qur’ãn menyarankan agar dicatat, dan
ada saksi, lihatlah penjelasan ini pada Q.S. al-Baqarah/2: 282.
a. Syarat-Syarat Jual-Beli
9
c) Artinya: “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara
syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (Q.S. al-
Isrā’/17: 27)
d) Keadaan barang dapat diserahterimakan. Tidak sah menjual barang yang
tidak dapat diserahterimakan. Contohnya, menjual ikan dalam laut atau
barang yang sedang dijadikan jaminan sebab semua itu mengandung tipu
daya.
e) Keadaan barang diketahui oleh penjual dan pembeli.
f) Milik sendiri, sabda Rasulullah saw., “Tak sah jual-beli melainkan atas
barang yang dimiliki.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).
3) Ijab Qobul
Seperti pernyataan penjual, “Saya jual barang ini dengan harga sekian.”
Pembeli menjawab, “Baiklah saya beli.” Dengan demikian, berarti jual-beli itu
berlangsung suka sama suka. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya jual-beli
itu hanya sah jika suka sama suka.” (HR. Ibnu Hibban)
B.2.Khiyār
1) Pengertian Khiyār
2) Macam-Macam Khiyār
a) Khiyār Majelis, adalah selama penjual dan pembeli masih berada di tempat
berlangsungnya transaksi/tawar-menawar, keduanya berhak memutuskan
10
meneruskan atau membatalkan jual-beli. Rasulullah saw. bersabda, “Dua
orang yang berjual-beli, boleh memilih akan meneruskan atau tidak selama
keduanya belum berpisah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
b) Khiyār Syarat, adalah khiyar yang dijadikan syarat dalam jual-beli. Misalnya
penjual mengatakan, “Saya jual barang ini dengan harga sekian dengan
syarat khiyar tiga hari.” Maksudnya penjual memberi batas waktu kepada
pembeli untuk memutuskan jadi tidaknya pembelian tersebut dalam waktu
tiga hari. Apabila pembeli mengiya- kan, status barang tersebut sementara
waktu (dalam masa khiyār) tidak ada pemiliknya. Artinya, si penjual tidak
berhak menawarkan kepada orang lain lagi. Namun, jika akhirnya pembeli
memutuskan tidak jadi, barang tersebut menjadi hak penjual kembali.
Rasulullah saw. bersabda kepada seorang lelaki, “Engkau boleh khiyār pada
segala barang yang engkau beli selama tiga hari tiga malam.” (HR. Baihaqi
dan Ibnu Majah)
B.3. Ribā
1. Pengertian Ribā
Ribā adalah bunga uang atau nilai lebih atas penukaran barang. Hal ini
sering terjadi dalam pertukaran bahan makanan, perak, emas, dan pinjam-
meminjam.
Ribā, apa pun bentuknya, dalam syariat Islam hukumnya haram. Sanksi
hukumnya juga sangat berat. Diterangkan dalam hadis yang diriwayatkan
bahwa, “Rasulullah mengutuk orang yang mengambil ribā, orang yang
mewakilkan, orang yang mencatat, dan orang yang menyaksikannya.” (HR.
Muslim). Dengan demikian, semua orang yang terlibat dalam riba sekalipun
hanya sebagai saksi, terkena dosanya juga.
Apabila tidak sama jenisnya, seperti emas dan perak boleh berbeda
takarannya, namun tetap harus secara tunai dan diserahterimakan saat itu juga.
Kecuali barang yang berlainan jenis dengan perbedaan seperti perak dan beras,
11
dapat berlaku ketentuan jual-beli sebagaimana barang-barang yang lain.
2) Macam-macam Riba’
a. Pengertian Utang-piutang
b. Rukun Utang-piutang
12
Untuk menghindari keributan di belakang hari, Allah Swt. menyarankan
agar kita mencatat dengan baik utang-piutang yang kita lakukan.
Jika orang yang berutang tidak dapat melunasi tepat pada waktunya karena
kesulitan, Allah Swt. menganjurkan memberinya kelonggaran.
Artinya: “Dan jika (orang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu
sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan, itu lebih
baik bagimu, jika kamu mengetahui..” (Q.S. al-Baqarah/2: 280)
a. Pengertian Sewa-menyewa
Sewa-menyewa dalam fiqh Islam disebut ijārah, artinya imbalan yang harus
diterima oleh seseorang atas jasa yang diberikannya. Jasa di sini berupa penyediaan
tenaga dan pikiran, tempat tinggal, atau hewan.
Dasar hukum ijārah dalam firman Allah Swt.:
13
Artinya: “...dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada
dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut..” (Q.S.
al-Baqarah/2: 233)
1) Yang menyewakan dan yang menyewa haruslah telah ballig dan berakal sehat.
2) Sewa-menyewa dilangsungkan atas kemauan masing-masing, bukan karena
dipaksa.
3) Barang tersebut menjadi hak sepenuhnya orang yang menyewakan, atau walinya.
4) Ditentukan barangnya serta keadaan dan sifat-sifatnya.
Manfaat yang akan diambil dari barang tersebut harus diketahui secara jelas oleh
kedua belah pihak. Misalnya, ada orang akan menyewa sebuah rumah. Si
penyewa harus menerangkan secara jelas kepada pihak yang menyewakan,
apakah rumah tersebut mau ditempati atau dijadikan gudang. Dengan demikian, si
pemilik rumah akan mempertimbangkan boleh atau tidak disewa. Sebab
risikokerusakan rumah antara dipakai sebagai tempat tinggal berbeda dengan
risiko dipakai sebagai gudang. Demikian pula jika barang yang disewakan itu
mobil, harus dijelaskan dipergunakan untuk apa saja.
5) Berapa lama memanfaatkan barang tersebut harus disebutkan dengan jelas.
6) Harga sewa dan cara pembayarannya juga harus ditentukan dengan jelas serta
disepakati bersama.
Dalam hal sewa-menyewa atau kontrak tenaga kerja, haruslah diketahui secara
jelas dan disepakati bersama sebelumnya hal-hal berikut.
Secara bahasa, kata syirkah (perseroan) berarti mencampurkan dua bagian atau
lebih sehingga tidak dapat lagi dibedakan antara bagian yang satu dengan bagian yang
lainnya. Menurut istilah, syirkah adalah suatu akad yang dilakukan oleh dua pihak atau
lebih yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh
keuntungan.
a. Rukun dan Syarat Syirkah
Adapun rukun syirkah secara garis besar ada tiga, yaitu seperti berikut.
1) Dua belah pihak yang berakad (‘aqidani). Syarat orang yang melakukan akad
adalah harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan tasarruf (pengelolahan
harta).
2) Objek akad yang disebut juga ma’qud ‘alaihi mencakup pekerjaan atau modal.
Adapun syarat pekerjaan atau benda yang dikelola dalam syirkah harus halal dan
diperbolehkan dalam agama dan pengelolaannya dapat diwakilkan.
3) Akad atau yang disebut juga dengan istilah ṡigat. Adapun syarat sah akad harus berupa
taṡarruf, yaitu adanya aktivitas pengelolaan.
b. Macam-Macam Syirkah
Syirkah dibagi menjadi beberapa macam, yaitu syirkah `inān, syirkah ‘abdān,
syirkah wujūh, dan syirkah mufāwadah.
1) Syirkah ‘Inān
Syirkah ‘inān adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-
masing memberi kontribusi kerja (amal) dan modal (mal). Syirkah ini hukumnya
boleh berdasarkan dalil sunah dan ijma’ sahabat.
2) Syirkah ‘Abdān
Syirkah ‘abdān adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-
masing hanya memberikan kontribusi kerja (amal), tanpa kontribusi modal
(amal). Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti penulis naskah)
ataupun kerja fisik (seperti tukang batu). Syirkah ini juga disebut syirkah ‘amal.
Contohnya: A dan B sama- sama nelayan dan bersepakat melaut bersama untuk
mencari ikan. Mereka juga sepakat apabila memperoleh ikan akan dijual dan
hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B
sebesar 40%. Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau
keahlian, tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdān terdiri atas
beberapa tukang kayu dan tukang batu. Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan
yang dilakukan merupakan pekerjaan halal dan tidak boleh berupa pekerjan
haram, misalnya berburu anjing. Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan
kesepakatan, porsinya boleh sama atau tidak sama di antara syarik (mitra usaha).
3) Syirkah Wujūh
16
4) Syirkah Mufāwaḍah
Syirkah mufāwaḍah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang
menggabungkan semua jenis syirkah di atas. Syirkah mufāwaḍah dalam
pengertian ini boleh dipraktikkan. Sebab setiap jenis syirkah yang sah berarti
boleh digabungkan menjadi satu. Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai
dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis
syirkahnya, yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal jika berupa
syirkah ‘inān, atau ditanggung pemodal saja jika berupa mufāwaḍah, atau
ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang
dimiliki jika berupa syirkah wujūh.
a. Musāqah
Musāqah adalah kerja sama antara pemilik kebun dan petani di mana sang
pemilik kebun menyerahkan kepada petani agar dipelihara dan hasil panennya
nanti akan dibagi dua menurut persentase yang ditentukan pada waktu akad.
Muzāra’ah adalah kerja sama dalam bidang pertanian antara pemilik lahan
dan petani penggarap di mana benih tanamannya berasal dari petani. Sementara
mukhābarah ialah kerja sama dalam bidang pertanian antara pemilik lahan dan
petani penggarap di mana benih tanamannya berasal dari pemilik lahan. Muzāra’ah
memang sering kali diidentikkan dengan mukhābarah. Namun demikian, keduanya
sebenarnya memiliki sedikit perbedaan. Apabila muzāra’ah, benihnya berasal dari
petani penggarap, sedangkan mukhābarah benihnya berasal dari pemilik lahan.
Muzāra’ah dan mukhābarah merupakan bentuk kerja sama pengolahan
pertanian antara pemilik lahan dan penggarap yang sudah dikenal sejak masa
Rasulullah saw. Dalam hal ini, pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada
penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan pembagian persentase tertentu dari
hasil panen. Di Indonesia, khususnya di kawasan pedesaan, kedua model
penggarapan tanah itu sama-sama dipraktikkan oleh masyarakat petani. Landasan
syariahnya terdapat dalam hadis dan ijma’ ulama.
18
B.7. Perbankan
a. Pengertian Perbankan
20
mengalihkan risiko ke pihak lain. Ketiga, mengelolanya bersama-sama.
Dalam ajaran Islam, musibah bukanlah permasalahan individual,
melainkan masalah kelompok walaupun musibah ini hanya menimpa individu
tertentu. Apalagi jika musibah itu mengenai masyarakat luas seperti gempa bumi
atau banjir. Berdasarkan ajaran inilah, tujuan asuransi sangat sesuai dengan
semangat ajaran tersebut.
Allah Swt. menegaskan hal ini dalam beberapa ayat, di antaranya berikut ini:
21
sebelumnya sudah dibayarkan dapat diambil kembali, kecuali sebagian kecil saja
yang sudah diniatkan untuk dana tabarru’ (sumbangan) yang tidak dapat
diambil.
23
5) Mengeluarkan harta untuk keperluan jihad, yakni membeli senjata,
mempersiapkan tentara, sebagaimana yang pernah dilakukan para shahabat Nabi
shahabat saat perang Tabuk dan perang lainnya, yang dalam hal ini hukumnya
adalah fardhu kifayah
24
keadilan (justice). Jika nilai-nilai ini ditegakkan, maka tidak ada alasan untuk menolak
harga pasar (P3EI,2008:301).
25
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah pemaparan di atas, dapat kita ketahui bahwa dalam kehidupan
ekonominya manusia memiliki masalah-masalah yang cukup rumit. Dan sebagai
solusinya, Islam telah menawarkan konsep-konsep yang berdasarkan Al-Qur’an dan As-
Sunnah. Dengan demikian, semakin terbukti bahwa ekonomi Islam adalah sistem
ekonomi yang paling sempurna
B. Saran
Sebagai pelaku ekonomi atau sebagai pendidik wajib memahami tentang sistem
ekonomi Islam atau dikenal sebagai mu'amalah adalah suatu sistem yang baik karena
berdasarkan wahyu yang jelas dari Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT. Namun akhir-
akhir ini menjadi compicated disebabkan karena terikut dengan rentak dan cara hidup
serta pendidikan barat yang mengabaikan aspek yang paling penting kepada manusia
yaitu pembangunan manusia hakiki berdasarkan paradigma Tauhid bagi menuju
pengiktirafan Allah SWT bagi mencapai Al-Falah (kemenangan dan kejayaan) dan bukan
semata-mata bangunan yang barangkali di diami oleh manusia-manusia yang tertandus
jiwa dan akhlaqnya.
26
DAFTAR PUSTAKA
Karim, Adi Warman. Ekonomi Mikro Islam (Jakarta: IIT Indonesia, 2003)
Muhammad Abdul Manan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT. Dana Bakhti
Prima Yas, 1997)
Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana, 2006)
27