Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ekonomi Islam telah lahir sejak Rasulullah Saw menyebarkan ajaran Agama
Islam, kemudian dilanjutkan oleh para sahabat hingga memiliki kemajuan yang begitu
pesat pada masa Dinasti Abbasiyah dan pada akhirnya masih juga dilakukan sampai
zaman sekarang, walaupun saat ini masih banyak campur aduk ekonomi Barat dalam
aktifitas perekonomian masyarakat khususnya Umat Islam.
Kemunculan ekonomi Islam bukan karena ekonomi ortodok, melainkan karena
sejarah membuktikan bahwa kemunculan ekonomi Islam sejak Rasulullah Saw hidup.
Ekonomi Islam merupakan bagian integral ajaran Islam, bukan dampak dari sebuah
keadaan yang memaksa kemunculannya, jadi bukan karena ekonomi ortodok yang
memaksa kehadiran ekonomi Islam. Ekonomi Islam juga memiliki tujuan yang sangat
penting yaitu menciptakan kesejahteraan umat manusia khususnya terpenuhinya
kebutuhan setiap individu dengan cara yang disahkan oleh Undang-Undang Pemerintah
maupun hukum syariat (Agama).
Sebagai muslim kita yakin bahwa melalui Al-Qur’an dan As-Sunnah, telah diatur
garis besar aturan untuk menjalankan kehidupan ekonomi dan untuk mewujudkan
kehidupan ekonomi, sesungguhnya Allah telah menyediakan sumber daya-Nya dan
mempersilahkan manusai untuk memanfaatkannya.
Kita dituntut untuk menerapkan keislaman dalam seluruh aspek kehidupan,
termasuk dari aspek ekonomi. Maka mempelajari sistem ekonomi Islam secara mendalam
adalah suatu keharusan, dan untuk selanjutnya disosialisasikan dan diterapkan.
Inti asas ekonomi Islam adalah hak milik. Hak milik itu terdiri dari hak milik
pribadi, hak milik umum, dan milik Negara. Dalam realitas, banyak praktik ekonomi
(mikro maupun makro) mengalami kegagalan disebabkan kekeliruan pemahaman
mengenai hak milik, seperti mendapatkan harta korupsi atau suap untuk membangun
fasilitas umum dianggap benar, kebijakan sumber daya air, kebijakan sumber daya alam
dan energi, kebijakan pengentasan kemiskinan, kebijakan privatisasi BUMN Milik
Umum, kenaikan harga BBM dan berbagai penyimpangan lainnya.
Pada hakikatnya harta itu milik Allah (real and absolute ownership), yang
dititipkan kepada manusia (delegated and restricted ownership). Oleh karena itu,

1
pencarian harta atau aktivitas ekonomi harus diniatkan untuk memperoleh karunia dan
keridhaan Allah, yang berarti juga harus halal. Sebagaimana disebutkan dalam firman-
Nya:

“Dialah yang menjadikan bumi ini mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala
penjurunya dan makanlah sebagian dari rizki-Nya.” (Q.S. Al-Mulk: 15).

B. Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang masalah sebagaimana di ungkapkan diatas, maka
pemakalah dapat merumuskan sebagaimana berikut :
1. Apa saja prinsip-prinsip dasar ekonomi islam ?
2. Bagaimana kajian ekonomi islam ?

C. Tujuan
Berdasarkan pokok permasalahan sebagaimana dirumuskan diatas, tujuan yang
ingin dicapai dalam makalah ini adalah :
Untuk menjelaskan bagaimana kajian ekonomi islam.

D. Manfaat Makalah

Berdasarkan makalah ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut :


a. Memberikan sumbangan informasi dan pemikiran terutama bagi mahasiswa.
b. Diharapkan dapat bermanfaat secara khusus bagi mata kuliah Materi Pendidik
Islam.

2
BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian Ekonomi
Ilmu Ekonomi merupakan seni yang tertua didunia. Istilah ekonomi itu sendiri
berasal dari bahasa Yunani Oikos Nomos, yang berarti tata laksana rumah tangga atau
permilikan. Tokoh yang pertama sekali menulis permasalahan ekonomi adalah
Aristoteles dari Yunani sehingga orang sekarang menyebutnya sebagai Ahli Ekonomi
pertama. Sesudah melalui masa yang sangat panjang, barulah ilmu ekonomi mendapatkan
bentuk serta takrif (definisi) yang mantap seperti sekarang ini. Di sini, ilmu ekonomi
diartikan sebagai ilmu untuk memenuhi keinginan manusia yang tidak terbatas dengan
sumber daya yang terbatas. Di dalam takrif ini, ternyatalah bahwa masalah utama dan
setiap persoalan ekonomi adalah problem of choice (masalah pemilihan) diantara
pelbagai alternatif penggunaan sesuatu barang.
Sementara itu, masalah perekonomian yang paling pokok meliputi tiga masalah
yang fundamental dan saling berkait, yakni what, how, dan for whom goods should be
produced, yang secara lengkap menunjukan hubungan yang erat antara produksi dengan
konsumsi.
Perjalanan ilmu ekonomi tidak berhenti dengan revolusi Adam Smith itu.
Pemikirannya disusul oleh mereka yang melihat kelemahan teorinya. Para ahli ekonomi
Jerman, dimotori oleh Marx, merasa amat kecewa dengan kinerja Liberalisme yang
meletakkan rakyat kebanyakan sebagai sapi perahan para kapitalis. Mereka pun lalu
memunculkan aliran ekonomi baru yang disebut komunisme. Di barat, muncul aliran
Keynesian menjawab kegagalan liberalisme yang dimunculkan oleh Smith yang telah
melahirkan malaise, dan bahkan menyebutnya sebagai klasik. Akan tetapi pemikir-
pemikir klasik malah menyambutnya dengan memunculkan paham neo-klasik. Paham
Kainesiyan dan Neo klasik ini akhirnya diberlakukan bersama-sama oleh banyak Negara.
Namun, kegagalan ekonomi masih juga terjadi dimana-mana. Rupanya umat manusia
sedang menunggu lahirnya sebuah aliran ekonomi baru
B. Pengertian Islam
B.1. Islam Secara Etimologi
Berdasarkan ilmu bahasa (etimologi) kata “islam” berasal dari bahasa
Arab,yaitu kata salima yang berarti selamat, sentosa, dan damai. Dari kata itu

3
terbentuk kata aslama-yuslimu islaaman, yang berarti juga menyerahkan diri, tunduk,
patuh, dan taat.Sedangkan muslim yaitu orang yang telah menyatakan dirinya taat,
menyerahkan diri, patuh, dan tunduk kepada Allah SWT.

B.2. Islam Secara Terminilogi


Secara istilah (tertimologi), islam berarti suatu nama bagi agama yang ajaran-
ajarannya di wahyukan Allah kepada manusia melalui seorang rasul. Ajaran-ajaran
yang di bawa oleh islam merupakan ajaran manusia mengenai berbagai segi dan
kehidupan manusia. Islam merupakan ajaran yang lengkap, menyuluruh, dan
sempurna yang mengatur tata cara kehidupan seorang muslim baik ketika beribadah
maupun ketika berinteraksi dengan lingkunganya.
Cukup banyak para ahli dan ulama yang berusaha merumuskan definisi islam
secara teminilogi. Namun yang dapat kita ketahui bahwa agama islam adalah wahyu
yang di turunkan oleh Allah SWT kepada rasul-Nya untuk di sampaikan kepada
segenap umat manusia sepanjang masa.

C. Pengertian Ekonomi Islam


Menurut beberapa ahli ekonomi Islam bahwa pengertian ekonomi Islam adalah
“sebuah usaha sistematis untuk memahami masalah-masalah ekonomi, dan tingkah laku
manusia secara relasional dalam perspektif Islam”(Mustafa Edwin Nasution,2006 :17)
Sedangkan menurut Muhammad Abdul Manan adalah “ilmu pengetahuan sosial yang
mempelajari masalah-masalah ekonomi masyarakat yang diilhami oleh nilai-nilai
Islam”(muhammad Abdul Manan.1997:19).
Menurut Badan Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam, bahwa
pengertian dari ekonomi Islam adalah “ilmu yang mempelajari usaha manusia untuk
mengalokasikan dan mengolah sumber daya untuk mencapai falah berdasarkan pada
prinsip-prinsip dan nilai-nilai Alquran dan Sunnah”(P3EI,2008:19).
Dari beberapa teori-teori maka ekonomi Islam kami definisikan sebagai cabang
ilmu yang membantu merealisasikan kesejahteraan manusia melalui alokasi dan distribusi
sumber daya yang langka, yang sejalan dengan ajaran islam, tanpa membatasi kebebasan
individu ataupun menciptakan ketidakseimbangan makro dan ekonomi logis
(M.Sholahuddin,2007:5)
D. Sumber Hukum Ekonomi Islam
Adapun sumber-sumber hukum dalam ekonomi Islam adalah:

4
1. Alquranul Karim
Alquran adalah sumber utama, asli, abadi, dan pokok dalam hukum ekonomi
Islam yang Allah SWT turunkan kepada Rasul Saw guna memperbaiki, meluruskan
dan membimbing Umat manusia kepada jalan yang benar. Didalam Alquran banyak
tedapat ayat-ayat yang melandasi hukum ekonomi Islam, salah satunya dalam surat
An-Nahl ayat 90 yang mengemukakan tentang peningkatan kesejahteraan Umat
Islam dalam segala bidang termasuk ekonomi.
2. Hadis dan Sunnah
Setelah Alquran, sumber hukum ekonomi adalah Hadis dan Sunnah. Yang
mana para pelaku ekonomi akan mengikuti sumber hukum ini apabila didalam
Alquran tidak terperinci secara lengkap tentang hukum ekonomi tersebut.
3. Ijma'
Ijma' adalah sumber hukum yang ketiga, yang mana merupakan konsensus baik
dari masyarakat maupun cara cendekiawan Agama, yang tidak terlepas dari Alquran dan
Hadis.
4. Ijtihad atau Qiyas
Ijtihad merupakan usaha meneruskan setiap usaha untuk menemukan sedikit
banyaknya kemungkinan suatu persoalan syariat. Sedangkan qiyas adalah pendapat
yang merupakan alat pokok ijtihad yang dihasilkan melalui penalaran analogi.
5. Istihsan, Istislah dan Istishab
Istihsan, Istislah dan Istishab adalah bagian dari pada sumber hukum yang
lainnya dan telah diterima oleh sebahagian kecil oleh keempat mazhab (Muhammad
Abdul Manan,1997:28-38).

5
BAB III
PEMBAHASAN

A. Prinsip Ekonomi Islam


Beberapa prinsip dasar dalam ekonomi Islam adalah:
1. Pendayagunaan konsep ZIS dalam mengatasikan kemiskinan.

Pada prinsip ini umat Islam dianjurkan dengan sangat bahkan pada kondisi
tertentu diwajibkan untuk membelanjakan harta-hartanya di jalan Allah secara
optimal. Membelanjakan dalam arti membantu para kaum duha'afa, yatim piatu, fakir
miskin dan lain-lain yang termasuk dalam 8 asnaf mustahik Zakat. Hal ini dilakukan
agar dapat terwujud kesejahteraan dan keadilan sosial di masyarakat Islam karena
Islam sama sekali tidak mentolerir berlangsunganya atau situasi kesenjangan
mencolok antara kaum berpunya dan tidak berpunya (the have’s and the have
nots). Sebagai contoh, berdasarkan hasil penelitian apabila umat benar-benar
menunaikan zakat lalu dikelola oleh amilin (pengurus badan amil zakat) secara benar
maka tidak akan ada orang miskin (Kholilah, 2011). Pengelolaan ZIS perlu
profesional agar muzaki yang menunaikan zakat dan membelanjakan hartanya atas
dasar ajaran agama merasa percaya bahwa ZIS mereka sampai kepada mustahik yang
benar-benar membutuhkan

2. Larangan Riba

Amat jelas surat-surat dalam al Quran terutama surat al Baqarah tentang


laranga melakukan riba bagi umat Islam. Dalam dunia usaha dan perbankan riba
sering dikaitkan dengan bunga bank namun sebenarnya tidak hanya tentang bunga
bank tetapi menggandakan uang atau berharap mendapat keuntungan berlipat-lipat
sebagaimana koperasi berkedok syariah tetapi melakukan manipulasi dengan
mengiming-imingi nasabahnya dengan keuntungan banyak bahkan berkali-kali lipat
dari kewajaran suatu bisnis itu bisa juga dikatakan riba. Tentang bunga bank
memang ada sedikit perbedaan pendapat dari ulama yang mengatakan bahwa bunga
bank itu tidak riba namun sebagian besar ulama mengkategorikan bunga bank riba
karena sistem yang ada (ekenomi kapitalis) itu sudah bukan berlandaskan nilai-nilai
Islami sehingga turunan dari sistem itu yang berbentuk bunga juga bisa dikatakan
riba. Hal ini mengingat juga bahwa bunga bank itu ditetapkan bahkan bisa berlipat-
lipat bila misalnya nasabah gagal bayar sehingga akan terdapat siatuasi win-lose

6
(menang-kalah) antara nasabah dan pihak bank dan sebaliknya yang ini tidak
dibenarkan dalam prinsip ke dua ini. Dalam konteks ini jelas Allah akan memerangi
orang-orang yang menjalankan usahanya dengan sistem riba (QS al Baqarah 2: 278-
279) dan Allah melarang riba tetapi menghalalkan jual beli. .
ٍ ‫) فَإِ ْن لَ ْم تَ ْفعَلُوا فَأْذَنُوا بِ َح ْر‬278( َ‫الربَا إِ ْن ُك ْنت ُ ْم ُمؤْ ِمنِين‬
ِ‫ب ِمنَ َّللا‬ ِ َ‫ي ِمن‬ َ ‫يَا أَيُّ َها الذِينَ آ َمنُوا اتقُوا َّللاَ َوذَ ُروا َما بَ ِق‬
)279( َ‫ظلَ ُمون‬ ْ ُ ‫وس أ َ ْم َوا ِل ُك ْم ََل ت َْظ ِل ُمونَ َو ََل ت‬
ُ ‫سو ِل ِه َوإِ ْن ت ُ ْبت ُ ْم فَلَ ُك ْم ُر ُء‬
ُ ‫َو َر‬
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah
sisa-sisa riba. Jika memang kamu orang yang beriman.Jika kamu tidak
melakukannya,maka terimalah pernyataan perang dari Allah dan rasul Nya dan jika
kalian bertobat maka bagi kalian adalah modal-modal, kalian tidak berbuat zalim
dan tidak pula dizalimi”. (QS. Al-Baqarah : 278- 279)
Riba ini dalam sejarahnya amat disenangi oleh kaum Yahudi oleh karena itu
hingga kini pun kaum pebisnis Yahudi internasional masih menjalankan usahanya
dengan sistem model ini. Kita jangan sampai terjebak untuk mengikuti cara-cara
mereka (Yahudi dan Nasrani) karena mereka memang ingin “gaya hidup” mereka
ditiru dan mengglobal, apalagi mereka tidak rela Islam berkembang sehingga ingin
memisahkan agama (Islam) dari kehidupannya sehari-hari bahkan lebih jauh lagi
mereka berharap orang-orang Islam ikut dengan cara-cara dan gaya hidup mereka
sebagaimana Allah menggambarkan hal itu dalam QS al Baqarah ayat 120 yang
artinya “Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu sebelum
engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah, “sesungguhnya petunjuk Allah itulah
petunjuk yang (yang sebenarnya). Dan jika engkau mengikuti keinginan mereka
setelah ilmu (kebenaran) sampai kepadamu, tidak akan ada bagimu pelindung dan
penolong dari Allah”.

3. Membagi Resiko (Risk Sharing)

Ekonomi Islam yang berjalan dalam azas kebersamaan dan keadilan itu tidak
membolehkan salah satu pihak yang berkongsi menderita kerugian atau rugi
sendirian, oleh karena itu menanggung resiko kerugian pada usaha bersama secara
adil dan bijak mesti dilakukan agar tidak ada salah satu pihak yang merasa
terdzholimi dan tidak puas. Prinsip ini mengajak umat Islam yang berbisnis selalu
senasib dan sependeritaan, jika untung mesti sama-sama untung dan jika rugi mesti
sama-sama menanggungnya. Inilah suatu ajaran bisnis yang mengajarkan kita dalam
kebersamaan, adil, fair, transparan.Hal-hal seperti itulah yang seharusnya ditumbuh-
kembangkan dalam ekonomi Islam.
7
4. Dilarang terjadinya eksploitasi

Kegiatan ekonomi dilarang menyebabkan terjadinya fenomena eksploitasi.


Suatu kegiatan industri dan bisnis yang hanya mengeksploitasi kekayaan alam dan
sumber daya manusia tetapi tidak mampu menjaga keseimbangan ekonomi dan
jjmemerhatikan hak-hak pekerja amat sangat dibenci bahkan dilarang dalam prinsip
ekonomi Islam ini. Eksploitasi dimaksud jika dijabarkan lebih lanjut bisa berupa
pembagian keuntungan yang berat sebelah misalnya kontrak karya yang tidak adil
dan ternyata lebih besar mudharat dari pada manfaatnya. Jika hal ini terjadi maka
sesuai ajaran Islam dalam prinsip keempat ini kita semestinya menggugat kontrak
karya tersebut. Apakah misalnya kontrak karya penambangan di Indonesia oleh
perusahaan asing banyak yang melanggar prinsip keempat ini? Anda tentu tahu dan
bisa menjawabnya dengan mudah.

5. Menjauhi usaha yang bersifat spekulatif

Judi sudah tentu dilarang dan masuk dalam kategori usaha yang tinggi sifat
spekulasinya. Sistem ekonomi kapitalis berbagai bisnisnya banyak ditopang dan
didukung dengan usaha model spekulatif ini. Umat Islam jangan meniru model bisnis
macam ini, mesti dijauhi sejauh-jauhnya karena konsep ekonomi mereka tidak
dituntun oleh nilai-nilai agama (Islam) dan bisa menyesatkan bagi masyarakat Islam.
Meski kita ketahui bahwa dewasa ini umat islam tidak bisa terhindarkan dari sistem
ekonomi Islam, namun yang penting sekarang ini umat Islam mesti sadar terlebih
dulu bahwa umat Islam sebenarnya punya konsep ekonomi yang lebih baik. Apabila
suatu saat nanti umat Islam sudah tersadarkan dan memiliki pemimpin yang kuat,
amanah dan benar serta berkomitmen tinggi dalam menegakkan ajaran Islam, maka
saatnya ekonomi Islam dapat diimplementasikan oleh kita dengan meninggalkan cara
dan sistem ekonomi yang tidak Islami. Diperlukan kemauan dan tekad kuat untuk
memurnikan kegiatan ekonomi dari unsure-unsur yang bertentangan dengan prinsip
ajaran Islam (Al-Quran dan Hadist).

B. Praktik Ekonomi Islam


Ekonomi adalah suatu dimensi sosial manusia yang di rangkum dalam muamalah,
yaitu aturan-aturan dasar hubungan antara manusia. Menurut fiqih, muamalah ialah tukar
menukar barang atau sesuatu yang memberi manfaat dengan cara yang ditentukan. Yang
termasuk dalam hal muamalah adalah jual beli, sewa menyewa, upah mengupah, pinjam
meminjam, urusan bercocok tanam, berserikat dan lain-lain.
8
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa orang lain,
masing-masing berhajat kepada yang lain, bertolong-tolongan, tukar menukar keperluan
dalam urusan kepentingan hidup baik dengan cara jual beli, sewa menyewa, pinjam
meminjam atau suatu usaha yang lain baik bersifat pribadi maupun untuk kemaslahatan
umat. Dengan demikian akan terjadi suatu kehidupan yang teratur dan menjadi ajang
silaturrahmi yang erat.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas tentang macam-macam mu’āmalah, di sini
akan dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut.
B.1. Jual Beli
Jual-beli menurut syariat agama ialah kesepakatan tukar-menukar benda untuk
memiliki benda tersebut selamanya. Melakukan jual-beli dibenarkan, sesuai dengan

firman Allah Swt. berikut ini:


Artinya:”... dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...”(Q.S.
al-Baqarah/2: 275).

Apabila jual-beli itu menyangkut suatu barang yang sangat besar nilainya, dan agar
tidak terjadi kekurangan di belakang hari, al-Qur’ãn menyarankan agar dicatat, dan
ada saksi, lihatlah penjelasan ini pada Q.S. al-Baqarah/2: 282.

a. Syarat-Syarat Jual-Beli

Syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam Islam tentang jual-beli adalah


sebagai berikut.

1) Penjual dan pembelinya haruslah:


a) ballig,
b) berakal sehat,
c) atas kehendak sendiri.

2) Uang dan barangnya haruslah:


a) halal dan suci. Haram menjual arak dan bangkai, begitu juga babi dan
berhala, termasuk lemak bangkai tersebut;
b) bermanfaat. Membeli barang-barang yang tidak bermanfaat sama dengan
menyia-nyiakan harta atau pemboros.

9
c) Artinya: “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara
syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (Q.S. al-
Isrā’/17: 27)
d) Keadaan barang dapat diserahterimakan. Tidak sah menjual barang yang
tidak dapat diserahterimakan. Contohnya, menjual ikan dalam laut atau
barang yang sedang dijadikan jaminan sebab semua itu mengandung tipu
daya.
e) Keadaan barang diketahui oleh penjual dan pembeli.
f) Milik sendiri, sabda Rasulullah saw., “Tak sah jual-beli melainkan atas
barang yang dimiliki.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).

3) Ijab Qobul
Seperti pernyataan penjual, “Saya jual barang ini dengan harga sekian.”
Pembeli menjawab, “Baiklah saya beli.” Dengan demikian, berarti jual-beli itu
berlangsung suka sama suka. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya jual-beli
itu hanya sah jika suka sama suka.” (HR. Ibnu Hibban)

B.2.Khiyār
1) Pengertian Khiyār

Khiyār adalah bebas memutuskan antara meneruskan jual-beli atau


membatalkannya. Islam memperbolehkan melakukan khiyār karena jual-beli
haruslah berdasarkan suka sama suka, tanpa ada unsur paksaan sedikit pun.
Penjual berhak mempertahankan harga barang dagangannya, sebaliknya pembeli
berhak menawar atas dasar kualitas barang yang diyakininya. Rasulullah saw.
bersabda, “Penjual dan pembeli tetap dalam khiyar selama keduanya belum
berpisah. Apabila keduanya berlaku benar dan suka menerangkan keadaan
(barang)nya, maka jual-belinya akan memberkahi keduanya. Apabila keduanya
menyembunyikan keadaan sesungguhnya serta berlaku dusta, maka dihapus
keberkahan jual-belinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

2) Macam-Macam Khiyār
a) Khiyār Majelis, adalah selama penjual dan pembeli masih berada di tempat
berlangsungnya transaksi/tawar-menawar, keduanya berhak memutuskan
10
meneruskan atau membatalkan jual-beli. Rasulullah saw. bersabda, “Dua
orang yang berjual-beli, boleh memilih akan meneruskan atau tidak selama
keduanya belum berpisah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
b) Khiyār Syarat, adalah khiyar yang dijadikan syarat dalam jual-beli. Misalnya
penjual mengatakan, “Saya jual barang ini dengan harga sekian dengan
syarat khiyar tiga hari.” Maksudnya penjual memberi batas waktu kepada
pembeli untuk memutuskan jadi tidaknya pembelian tersebut dalam waktu
tiga hari. Apabila pembeli mengiya- kan, status barang tersebut sementara
waktu (dalam masa khiyār) tidak ada pemiliknya. Artinya, si penjual tidak
berhak menawarkan kepada orang lain lagi. Namun, jika akhirnya pembeli
memutuskan tidak jadi, barang tersebut menjadi hak penjual kembali.
Rasulullah saw. bersabda kepada seorang lelaki, “Engkau boleh khiyār pada
segala barang yang engkau beli selama tiga hari tiga malam.” (HR. Baihaqi
dan Ibnu Majah)
B.3. Ribā

1. Pengertian Ribā
Ribā adalah bunga uang atau nilai lebih atas penukaran barang. Hal ini
sering terjadi dalam pertukaran bahan makanan, perak, emas, dan pinjam-
meminjam.
Ribā, apa pun bentuknya, dalam syariat Islam hukumnya haram. Sanksi
hukumnya juga sangat berat. Diterangkan dalam hadis yang diriwayatkan
bahwa, “Rasulullah mengutuk orang yang mengambil ribā, orang yang
mewakilkan, orang yang mencatat, dan orang yang menyaksikannya.” (HR.
Muslim). Dengan demikian, semua orang yang terlibat dalam riba sekalipun
hanya sebagai saksi, terkena dosanya juga.

Guna menghindari riba, apabila mengadakan jual-beli barang sejenis


seperti emas dengan emas atau perak dengan perak ditetapkan syarat:

a) sama timbangan ukurannya; atau


b) dilakukan serah terima saat itu juga,
c) secara tunai.

Apabila tidak sama jenisnya, seperti emas dan perak boleh berbeda
takarannya, namun tetap harus secara tunai dan diserahterimakan saat itu juga.
Kecuali barang yang berlainan jenis dengan perbedaan seperti perak dan beras,
11
dapat berlaku ketentuan jual-beli sebagaimana barang-barang yang lain.

2) Macam-macam Riba’

a) Ribā Fadli, adalah pertukaran barang sejenis yang tidak sama


timbangannya.Misalnya, cincin emas 22 karat seberat 10 gram ditukar
dengan emas 22 karat namun seberat 11 gram. Kelebihannya itulah yang
termasuk riba.
b) Ribā Qordi, adalah pinjam- meminjam dengan syarat harus memberi
kelebihan saat mengembalikannya.Misal si A bersedia meminjami si B uang
sebesar Rp100.000,00 asal si B bersedia mengembalikannya sebesar
Rp115.000,00. Bunga pinjaman itulah yang disebut riba.
c) Ribā Yādi, adalah akad jual-beli barang sejenis dan sama timbangannya,
namun penjual dan pembeli berpisah sebelum melakukan serah terima.
Seperti penjualan kacang, ketela yang masih di dalam tanah.
d) Ribā Nas³’ah, adalah akad jual-beli dengan penyerahan barang beberapa
waktu kemudian. Misalnya, membeli buah-buahan yang masih kecil-kecil di
pohonnya, kemudian diserahkan setelah besar-besar atau setelah layak
dipetik. Atau, membeli padi di musim kemarau, tetapi diserahkan setelah
panen.
B.4. Utang Piutang

a. Pengertian Utang-piutang

Utang-piutang adalah menyerahkan harta dan benda kepada seseorang


dengan catatan akan dikembalikan pada waktu kemudian. Tentu saja dengan tidak
mengubah keadaannya. Misalnya utang Rp100.000,00 di kemudian hari harus
melunasinya Rp100.000,00. Memberi utang kepada seseorang berarti
menolongnya dan sangat dianjurkan oleh agama.

b. Rukun Utang-piutang

Rukun utang-piutang ada tiga, yaitu:


1) Yang berpiutang dan yang berutang
2) Ada harta atau barang

3) Lafadz kesepakatan. Misal: “Saya utangkan ini kepadamu.” Yang berutang


menjawab, “Ya, saya utang dulu, beberapa hari lagi (sebutkan dengan jelas)
atau jika sudah punya akan saya lunasi.”

12
Untuk menghindari keributan di belakang hari, Allah Swt. menyarankan
agar kita mencatat dengan baik utang-piutang yang kita lakukan.
Jika orang yang berutang tidak dapat melunasi tepat pada waktunya karena
kesulitan, Allah Swt. menganjurkan memberinya kelonggaran.

Artinya: “Dan jika (orang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu
sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan, itu lebih
baik bagimu, jika kamu mengetahui..” (Q.S. al-Baqarah/2: 280)

Apabila orang membayar utangnya dengan memberikan kelebihan atas


kemauannya sendiri tanpa perjanjian sebelumnya, kelebihan tersebut halal bagi
yang berpiutang, dan merupakan suatu kebaikan bagi yang berutang. Rasulullah
saw. bersabda: “Sesungguhnya sebaik-baik kamu, ialah yang sebaik-baiknya
ketika membayar utang.” (sepakat ahli hadis). Abu Hurairah ra. berkata,
”Rasulullah saw. telah berutang hewan, kemudian beliau bayar dengan hewan
yang lebih besar dari hewan yang beliau utang itu, dan Rasulullah saw.
bersabda, ”Orang yang paling baik di antara kamu ialah orang yang dapat
membayar utangnya dengan yang lebih baik.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).

Bila orang yang berpiutang meminta tambahan pengembalian dari orang


yang melunasi utang dan telah disepakati bersama sebelumnya, hukumnya tidak
boleh. Tambahan pelunasan tersebut tidak halal sebab termasuk riba.
Rasulullah saw. berkata “Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat maka ia
semacam dari beberapa macam ribā.” (HR. Baihaqi)

B.5. Sewa Menyewa

a. Pengertian Sewa-menyewa

Sewa-menyewa dalam fiqh Islam disebut ijārah, artinya imbalan yang harus
diterima oleh seseorang atas jasa yang diberikannya. Jasa di sini berupa penyediaan
tenaga dan pikiran, tempat tinggal, atau hewan.
Dasar hukum ijārah dalam firman Allah Swt.:

13
Artinya: “...dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada
dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut..” (Q.S.
al-Baqarah/2: 233)

Artinya: “...kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu maka

berikanlah imbalannya kepada mereka...”(Q.S. aṭ-Ṭalāq/65: 6)

b. Syarat dan Rukun Sewa-menyewa

1) Yang menyewakan dan yang menyewa haruslah telah ballig dan berakal sehat.
2) Sewa-menyewa dilangsungkan atas kemauan masing-masing, bukan karena
dipaksa.
3) Barang tersebut menjadi hak sepenuhnya orang yang menyewakan, atau walinya.
4) Ditentukan barangnya serta keadaan dan sifat-sifatnya.
Manfaat yang akan diambil dari barang tersebut harus diketahui secara jelas oleh
kedua belah pihak. Misalnya, ada orang akan menyewa sebuah rumah. Si
penyewa harus menerangkan secara jelas kepada pihak yang menyewakan,
apakah rumah tersebut mau ditempati atau dijadikan gudang. Dengan demikian, si
pemilik rumah akan mempertimbangkan boleh atau tidak disewa. Sebab
risikokerusakan rumah antara dipakai sebagai tempat tinggal berbeda dengan
risiko dipakai sebagai gudang. Demikian pula jika barang yang disewakan itu
mobil, harus dijelaskan dipergunakan untuk apa saja.
5) Berapa lama memanfaatkan barang tersebut harus disebutkan dengan jelas.
6) Harga sewa dan cara pembayarannya juga harus ditentukan dengan jelas serta
disepakati bersama.

Dalam hal sewa-menyewa atau kontrak tenaga kerja, haruslah diketahui secara
jelas dan disepakati bersama sebelumnya hal-hal berikut.

1) Jenis pekerjaan dan jam kerjanya.


14
2) Berapa lama masa kerja.
3) Berapa gaji dan bagaimana sistem pembayarannya: harian, bulanan, mingguan
ataukah borongan?
4) Tunjangan-tunjangan seperti transpor, kesehatan, dan lain-lain, kalau ada.
B.6. Syirkah

Secara bahasa, kata syirkah (perseroan) berarti mencampurkan dua bagian atau
lebih sehingga tidak dapat lagi dibedakan antara bagian yang satu dengan bagian yang
lainnya. Menurut istilah, syirkah adalah suatu akad yang dilakukan oleh dua pihak atau
lebih yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh
keuntungan.
a. Rukun dan Syarat Syirkah

Adapun rukun syirkah secara garis besar ada tiga, yaitu seperti berikut.

1) Dua belah pihak yang berakad (‘aqidani). Syarat orang yang melakukan akad
adalah harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan tasarruf (pengelolahan
harta).
2) Objek akad yang disebut juga ma’qud ‘alaihi mencakup pekerjaan atau modal.
Adapun syarat pekerjaan atau benda yang dikelola dalam syirkah harus halal dan
diperbolehkan dalam agama dan pengelolaannya dapat diwakilkan.
3) Akad atau yang disebut juga dengan istilah ṡigat. Adapun syarat sah akad harus berupa
taṡarruf, yaitu adanya aktivitas pengelolaan.

b. Macam-Macam Syirkah

Syirkah dibagi menjadi beberapa macam, yaitu syirkah `inān, syirkah ‘abdān,
syirkah wujūh, dan syirkah mufāwadah.

1) Syirkah ‘Inān
Syirkah ‘inān adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-
masing memberi kontribusi kerja (amal) dan modal (mal). Syirkah ini hukumnya
boleh berdasarkan dalil sunah dan ijma’ sahabat.

Contoh syirkah ‘inān: A dan B sarjana teknik komputer. A dan B sepakat


menjalankan bisnis perakitan komputer dengan membuka pusat service dan
penjualan komponen komputer. Masing-masing memberikan kontribusi modal
sebesar Rp10 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut.
Dalam syirkah jenis ini, modalnya disyaratkan harus berupa uang. Sementara
15
barang seperti rumah atau mobil yang menjadi fasilitas tidak boleh dijadikan
modal, kecuali jika barang tersebut dihitung nilainya pada saat akad. Keuntungan
didasarkan pada kesepakatan dan kerugian ditanggung oleh masing-masing
syārik (mitra usaha) berdasarkan porsi modal. Jika masing-masing modalnya
50%, masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%.

2) Syirkah ‘Abdān

Syirkah ‘abdān adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-
masing hanya memberikan kontribusi kerja (amal), tanpa kontribusi modal
(amal). Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti penulis naskah)
ataupun kerja fisik (seperti tukang batu). Syirkah ini juga disebut syirkah ‘amal.

Contohnya: A dan B sama- sama nelayan dan bersepakat melaut bersama untuk
mencari ikan. Mereka juga sepakat apabila memperoleh ikan akan dijual dan
hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B
sebesar 40%. Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau
keahlian, tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdān terdiri atas
beberapa tukang kayu dan tukang batu. Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan
yang dilakukan merupakan pekerjaan halal dan tidak boleh berupa pekerjan
haram, misalnya berburu anjing. Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan
kesepakatan, porsinya boleh sama atau tidak sama di antara syarik (mitra usaha).

3) Syirkah Wujūh

Syirkah wujūh adalah kerja sama karena didasarkan pada kedudukan,


ketokohan, atau keahlian (wujuh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujūh
adalah syirkah antara dua pihak yang sama-sama memberikan kontribusi kerja
(amal) dengan pihak ketiga yang memberikan konstribusi modal (mal).

Contohnya: A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B


bersyirkah wujuh dengan cara membeli barang dari seorang pedagang secara
kredit. A dan B bersepakat bahwa masing-masing memiliki 50% dari barang yang
dibeli. Lalu, keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua.
Sementara harga pokoknya dikembalikan kepada pedagang. Syirkah wujūh ini
hakikatnya termasuk dalam syirkah ‘abdān.

16
4) Syirkah Mufāwaḍah

Syirkah mufāwaḍah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang
menggabungkan semua jenis syirkah di atas. Syirkah mufāwaḍah dalam
pengertian ini boleh dipraktikkan. Sebab setiap jenis syirkah yang sah berarti
boleh digabungkan menjadi satu. Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai
dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis
syirkahnya, yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal jika berupa
syirkah ‘inān, atau ditanggung pemodal saja jika berupa mufāwaḍah, atau
ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang
dimiliki jika berupa syirkah wujūh.

Contohnya: A adalah pemodal, berkontribusi modal kepada B dan C. Kemudian,


B dan C juga sepakat untuk berkontribusi modal untuk membeli barang secara
kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C. Dalam hal ini, pada
awalnya yang terjadi adalah syirkah ‘abdān, yaitu ketika B dan C sepakat masing-
masing bersyirkah dengan memberikan kontribusi kerja saja. Namun, ketika A
memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka bertiga terwujud
muḍārabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola.
Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan kontribusi modal, di
samping kontribusi kerja, berarti terwujud syirkah ‘inān di antara B dan C. Ketika
B dan C membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada
keduanya, berarti terwujud syirkah wujūh antara B dan C. Dengan demikian,
bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua jenis syirkah dan disebut
syirkah mufāwaḍah.
5) Muḍārabah
Muḍārabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak, di mana pihak
pertama menyediakan semua modal (ṡāhibul māl), pihak lainnya menjadi pengelola
atau pengusaha (muḍarrib). Keuntungan usaha secara muḍārabah dibagi menurut
kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, namun apabila mengalami kerugian,
ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akibat kelalaian si
pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian
si pengelola, pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Kontrak bagi hasil disepakati di depan sehingga bila terjadi keuntungan,
pembagiannya akan mengikuti kontrak bagi hasil tersebut. Misalkan, kontrak bagi
hasilnya adalah 60:40, di mana pengelola mendapatkan 60% dari keuntungan,
17
pemilik modal mendapat 40% dari keuntungan.
Muḍārabah sendiri dibagi menjadi dua, yaitu muḍārabah muṭlaqah dan
muḍārabah muqayyadah. Muḍārabah muṭlaqah merupakan bentuk kerja sama
antara pemilik modal dan pengelola yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi
oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. Muḍārabah muqayyadah
adalah kebalikan dari muḍārabah muṭlaqah, yakni usaha yang akan dijalankan
dengan dibatasi oleh jenis usaha, waktu, atau tempat usaha.

6) Musāqah, Muzāra’ah, dan Mukhābarah

a. Musāqah

Musāqah adalah kerja sama antara pemilik kebun dan petani di mana sang
pemilik kebun menyerahkan kepada petani agar dipelihara dan hasil panennya
nanti akan dibagi dua menurut persentase yang ditentukan pada waktu akad.

Konsep musāqah merupakan konsep kerja sama yang saling


menguntungkan antara kedua belah pihak (simbiosis mutualisme). Tidak jarang
para pemilik lahan tidak memiliki waktu luang untuk merawat perkebunannya,
sementara di pihak lain ada petani yang memiliki banyak waktu luang namun tidak
memiliki lahan yang bisa digarap. Dengan adanya sistem kerja sama musāqah,
setiap pihak akan sama-sama mendapatkan manfaat.

b. Muzāra’ah dan Mukhābarah

Muzāra’ah adalah kerja sama dalam bidang pertanian antara pemilik lahan
dan petani penggarap di mana benih tanamannya berasal dari petani. Sementara
mukhābarah ialah kerja sama dalam bidang pertanian antara pemilik lahan dan
petani penggarap di mana benih tanamannya berasal dari pemilik lahan. Muzāra’ah
memang sering kali diidentikkan dengan mukhābarah. Namun demikian, keduanya
sebenarnya memiliki sedikit perbedaan. Apabila muzāra’ah, benihnya berasal dari
petani penggarap, sedangkan mukhābarah benihnya berasal dari pemilik lahan.
Muzāra’ah dan mukhābarah merupakan bentuk kerja sama pengolahan
pertanian antara pemilik lahan dan penggarap yang sudah dikenal sejak masa
Rasulullah saw. Dalam hal ini, pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada
penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan pembagian persentase tertentu dari
hasil panen. Di Indonesia, khususnya di kawasan pedesaan, kedua model
penggarapan tanah itu sama-sama dipraktikkan oleh masyarakat petani. Landasan
syariahnya terdapat dalam hadis dan ijma’ ulama.
18
B.7. Perbankan

a. Pengertian Perbankan

Bank adalah sebuah lembaga keuangan yang bergerak dalam menghimpun


dana masyarakat dan disalurkannya kembali dengan menggunakan sistem bunga.
Dengan demikian, hakikat dan tujuan bank ialah untuk membantu masyarakat yang
memerlukan, baik dalam menyimpan maupun meminjamkan, baik berupa uang
atau barang berharga lainnya dengan imbalan bunga yang harus dibayarkan oleh
masyarakat pengguna jasa bank.

Bank dilihat dari segi penerapan bunganya, dapat dikelompokkan


menjadi dua, yaitu seperti berikut.
a. Bank Konvensional

Bank konvensional ialah bank yang fungsi utamanya menghimpun


dana untuk disalurkan kepada yang memerlukan, baik perorangan maupun
badan usaha, guna mengembangkan usahanya dengan menggunakan sistem
bunga.

b. Bank Islam atau Bank Syari’ah

Bank Islam atau bank syari’ah ialah bank yang menjalankan


operasinya menurut syariat Islam. Istilah bunga yang ada pada bank
konvensional tidak ada dalam bank Islam. Bank syariah menggunakan
beberapa cara yang bersih dari riba, misalnya seperti berikut.
1) Muḍārabah, yaitu kerja sama antara pemilik modal dan pelaku usaha dengan
perjanjian bagi hasil dan sama-sama menanggung kerugian dengan persentase
sesuai perjanjian. Dalam sistem muḍārabah, pihak bank sama sekali tidak
mengintervensi manajemen perusahaan.
2) Musyārakah, yakni kerja sama antara pihak bank dan pengusaha di mana
masing-masing sama-sama memiliki saham. Oleh karena itu, kedua belah
pihak mengelola usahanya secara bersama-sama dan menanggung untung
ruginya secara bersama-sama pula.
3) Wad³’ah, yakni jasa penitipan uang, barang, deposito, maupun surat berharga.
Amanah dari pihak nasabah berupa uang atau barang titipan yang telah
disebutkan di atas dipelihara dengan baik oleh pihak bank. Pihak bank juga
memiliki hak untuk menggunakan dana yang dititipkan dan menjamin bisa
mengembalikan dana tersebut sewaktu- waktu pemiliknya memerlukan.
19
4) Qarḍul hasān, yakni pembiayaan lunak yang diberikan kepada nasabah yang
baik dalam keadaan darurat. Nasabah hanya diwajibkan mengembalikan
simpanan pokok pada saat jatuh tempo. Biasanya layanan ini hanya diberikan
untuk nasabah yang memiliki deposito di bank tersebut sehingga menjadi
wujud penghargaan bank kepada nasabahnya
5) Murābahah, yaitu suatu istilah dalam fiqh Islam yang menggambarkan suatu
jenis penjualan di mana penjual sepakat dengan pembeli untuk menyediakan
suatu produk, dengan ditambah jumlah keuntungan tertentu di atas biaya
produksi. Di sini, penjual mengungkapkan biaya sesungguhnya yang
dikeluarkan dan berapa keuntungan yang hendak diambilnya. Pembayaran
dapat dilakukan saat penyerahan barang atau ditetapkan pada tanggal tertentu
yang disepakati. Dalam hal ini, bank membelikan atau menyediakan barang
yang diperlukan pengusaha untuk dijual lagi dan bank meminta tambahan
harga atas harga pembeliannya. Namun demikian, pihak bank harus secara
jujur menginformasikan harga pembelian yang sebenarnya.
B.8. Asuransi

a. Prinsip-Prinsip Asuransi Syari’ah

Asuransi berasal dari bahasa Belanda, assurantie yang artinya


pertanggungan. Dalam bahasa Arab dikenal dengan at-Ta’m³n yang berarti
pertanggungan, perlindungan, keamanan, ketenangan atau bebas dari perasaan
takut. Si penanggung (assuradeur) disebut mu’ammin dan tertanggung
(geasrurrerde) disebut musta’min.

Dalam Islam, asuransi merupakan bagian dari muāmalah. Kaitan dengan


dasar hukum asuransi menurut fiqh Islam adalah boleh (jaiz) dengan suatu
ketentuan produk asuransi tersebut harus sesuai dengan ketentuan hukum Islam.
Pada umumnya, para ulama berpendapat asuransi yang berdasarkan syar³’ah
dibolehkan dan asuransi konvensional haram hukumnya.

Asuransi dalam ajaran Islam merupakan salah satu upaya seorang


muslim yang didasarkan nilai tauhid. Setiap manusia menyadari bahwa
sesungguhnya setiap jiwa tidak memiliki daya apa pun ketika menerima musibah
dari Allah Swt., baik berupa kematian, kecelakaan, bencana alam maupun takdir
buruk yang lain. Untuk menghadapi berbagai musibah tersebut, ada beberapa
cara untuk menghadapinya. Pertama, menanggungnya sendiri. Kedua,

20
mengalihkan risiko ke pihak lain. Ketiga, mengelolanya bersama-sama.
Dalam ajaran Islam, musibah bukanlah permasalahan individual,
melainkan masalah kelompok walaupun musibah ini hanya menimpa individu
tertentu. Apalagi jika musibah itu mengenai masyarakat luas seperti gempa bumi
atau banjir. Berdasarkan ajaran inilah, tujuan asuransi sangat sesuai dengan
semangat ajaran tersebut.
Allah Swt. menegaskan hal ini dalam beberapa ayat, di antaranya berikut ini:

Artinya: “...dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,


dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran...” (Q.S. al-
Māidah/5: 2)

Banyak pula hadis Rasulullah saw. yang memerintahkan umat Islam


untuk saling melindungi saudaranya dalam menghadapi kesusahan. Berdasarkan
ayat al-Qur’ān dan riwayat hadis, dapat dipahami bahwa musibah ataupun risiko
kerugian akibat musibah wajib ditanggung bersama. Bukan setiap individu
menanggungnya sendiri-sendiri dan tidak pula dialihkan ke pihak lain. Prinsip
menanggung musibah secara bersama-sama inilah yang sesungguhnya esensi dari
asuransi syar³’ah.
b. Perbedaan Asuransi Syar³’ah dan Asuransi Konvensional
Tentu saja prinsip tersebut berbeda dengan yang berlaku di sistem
asuransi konvensional, yang menggunakan prinsip transfer risiko. Seseorang
membayar sejumlah premi untuk mengalihkan risiko yang tidak mampu dia pikul
kepada perusahaan asuransi. Dengan kata lain, telah terjadi ‘jual-beli’ atas risiko
kerugian yang belum pasti terjadi. Di sinilah cacat perjanjian asuransi
konvensional. Sebab akad dalam Islam mensyaratkan adanya sesuatu yang
bersifat pasti, apakah itu berbentuk barang ataupun jasa.
Perbedaan yang lain, pada asuransi konvensional dikenal dana hangus, di
mana peserta tidak dapat melanjutkan pembayaran premi ketika ingin
mengundurkan diri sebelum masa jatuh tempo. Dalam konsep asuransi syari’ah,
mekanismenya tidak mengenal dana hangus. Peserta yang baru masuk sekalipun,
lantas karena satu dan lain hal ingin mengundurkan diri, dana atau premi yang

21
sebelumnya sudah dibayarkan dapat diambil kembali, kecuali sebagian kecil saja
yang sudah diniatkan untuk dana tabarru’ (sumbangan) yang tidak dapat
diambil.

C. Asas Sistem Ekonomi Islam

Kegunaan ( utility ) adalah kemampuan suatu barang untuk memuaskan kebutuhan


manusia. Karena itu, kegunaan ( utility ) tersebut terdiri dari dua hal : pertama, adalah
batas kesenangan yang bisa dirasakan oleh manusia ketika memperoleh barang tertentu.
Kedua, keistimewaan yang tersimpan pada zat barang itu sendiri, termasuk
kemampuannya untuk memuaskan kebutuhan manusia, dan bukan hanya kebutuhan orang
tertentu saja. Kegunaan ( utility ) ini kadang lahir dari tenaga manusia, atau lahir dari
harta kekayaan, atau lahir dari harta kekayaan, atau dari kedua duanya sekaligus.
Sesuai dengan fitrahnya, manusia bisa berusaha untuk memperoleh harta kekayaan
tersebut untuk dikumpulkan. Oleh karena itu, manusia dan harta kekayaan adalah sama
sama merupakan alat yang bisa dipergunakan untuk memuaskan kebutuhan kebutuhan
man]usia. Dua duanya merupakan kekayaan yang bisa diraih oleh manusia untuk
dikumpulkan. Jadi, kekayaan itu sebenarnya merupakan akumulasi dari kekayaan dan
tenaga. Asas-asas sistem ekonomi Islam ada tiga, yaitu kepemilikan (‫)الملكية‬, pengelolaan
kepemilikan ( ‫)الملكية في التصرف‬, distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat (‫توزيع‬
‫)الناس بن الثروة‬.
1. Asas Kepemilikan
Kepemilikan adalah tatacara yang ditempuh oleh manusia untuk
memperoleh kegunaan dari suatu jasa ataupun barang. Adapun definisi kepemilikan
menurut syara’ adalah idzin dari al-syaari’ (pembuat hukum) untuk memanfaatkan
suatu al-‘ain (dzat). Al-Syaari’ di sini adalah Allah swt. Adapun al-‘ain adalah
sesuatu yang bisa dimanfaatkan. Sedangkan ‘izin’ adalah hukum syara’. Jenis-jenis
kepemilikan ada tiga, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan
kepemilikan negara.
a. Kepemilikan Individu (al milkiyyah al fardiyyah)
Kepemilikan individu adalah izin dari Allah swt kepada individu untuk
memanfaatkan sesuatu.
b. Kepemilikan Umum (al-milkiyyah al-‘aammah)
Kepemilikan umum adalah izin dari al-Syaari’ kepada al- jamaa’ah(masyarakat)
untuk secara bersama-sama memanfaatkan sesuatu.
22
c. Kepemilikan Negara (al-milkiyyah al-daulah)
Kepemilikan negara adalah setiap harta yang pengelolaannya diwakilkan pada
khalifah sebagai kepala negara. Jenis-jenis harta tersebut adalah seperti; ghanimah
(rampasan perang), jizyah (pajak untuk orang kafir), kharâj, pajak, harta orang-orang
murtad, harta orang yang tidak memiliki ahli waris, panti-panti dan wisma-wisma
bagi aparat pemerintahan yang dibuka oleh daulah Islam, dan tanah-tanah yang
dimiliki oleh negara.
2. Asas Pengelolaan kepemilikan
Pengelolaan kepemilikan adalah tata cara yang seorang muslim wajib terikat dengan tata
cara tersebut tatkala ia mempergunakan harta. Syari’at Islam telah membatasi tata cara ini
dengan hukum-hukum syara’; dalam dua perkara, yaitu : pengembangan
kepemilikan dan pengeluaran harta.
a. Pengembangan Kepemilikan (‫)تنمية الملكية‬
slam telah mensyari’atkan hukum-hukum tertentu bagi pengembangan kepemilikan,
baik dalam perdagangan, pertanian, ataupun industri. Dalam urusan perdagangan
Islam telah memperbolehkan jual-beli, ijaarah (upah mengupahi)
dan syirkah(perseroan). Selain itu, Islam telah mengharamkan riba, penimbunan
(ihtikaar), penipuan, perjudian, dan lain-lain.
Dalam masalah pertanian, Islam membolehkan untuk memiliki tanah untuk ditanami.
Di sisi lain, Islam telah mengizinkan mengambil tanah tersebut dari pemiliknya jika
ia tidak mengelolanya selama 3 tahun berturut-turut.
Dalam persoalan industri, Islam membolehkan seorang muslim memiliki pabrik,
memproduksi, dan menjual hasil-hasil produksinya. Akan tetapi produk tersebut
terbatas pada hal-hal (benda/barang) yang dihalalkan.
b. Pengeluaran Harta (infaaq ul maal)
Syara’ telah menetapkan beberapa cara untuk mengeluarkan harta, yang antara lain
adalah:
1) Zakat, sebagai kewajiban bagi setiap individu yang terkena beban kewajiban ini.
2) Membelanjakan harta untuk keperluan dirinya dan untuk orang-orang yang harus
di beri nafkah seperti istri, kedua orang tua, anak-anak, yang hukumnya adalah
wajib.
3) Silaturahim dengan saling memberi hadiah, yang hukumnya adalah sunnah.
4) Shodaqoh untuk orang-orang fakir dan orang-orang yang membutuhkan, yang
hukumnya adalah sunnah.

23
5) Mengeluarkan harta untuk keperluan jihad, yakni membeli senjata,
mempersiapkan tentara, sebagaimana yang pernah dilakukan para shahabat Nabi
shahabat saat perang Tabuk dan perang lainnya, yang dalam hal ini hukumnya
adalah fardhu kifayah

c. Asas Distribusi Kekayaan Diantara Manusia


Terdapat 3 cara, yaitu:
1) Kewajiban Zakat.
2) Negara mendistribusikan hartanya kepada individu rakyat yang membutuhkan
tanpa imbalan, seperti sebidang tanah yang diberikan kepada orang yang mampu
(kuat) untuk mengelolanya (menanaminya), dan mengeluarkan harta kepada
mereka (orang yang membutuhkan) yang diambil dari harta kharaaj dan jizyah.
Syari’at Islam melarang penimbunan emas dan perak dalam kapasitasnya sebagai
alat tukar --harga untuk membeli barang dan jasa--, agar uang tetap
terinvestasikan di dalam lapangan pertanian, perdagangan dan industri. Dengan
demikian, niscaya pengangguran akan dapat dihapuskan, sekaligus akan sangat
membantu pendistribusian kekayaan.
3) Islam telah menetapkan aturan mengenai pembagian harta warisan di antara para
ahli waris. Dengan demikian, niscaya akan dapat terdistribusikan bentuk-bentuk
kekayaan yang berskala besar. Allahu Ta’ala A’lam.

D. Mekanisme dalam Sistem Ekonomi Islam


Mekanisme pasar adalah terjadinya interaksi antara permintaan dan penawaran
yang akan menentukan tingkat harga tertentu. Adanya interaksi tersebut akan
mengakibatkan terjadinya proses transfer barang dan jasa yang dimilki oleh setiap objek
ekonomi (konsumen, produsen, pemerintah). Dengan kata lain, adanya transaksi
pertukaran yang kemudian disebut sebagai perdagangan adalah satu syarat utama dari
berjalannya mekanisme pasar (Adi Warman Karim,2003:20).
Islam menempatkan pasar pada kedudukan yang penting dalam perekonomian.
Praktik ekonomi pada masa rasulullah dan khulafaurrasyidin menunjukkan adanya
peranan pasar yang besar. Rasullah sangat menghargai harga yang dibentuk oleh pasar
sebagai harga yang adil. Beliau menolak adanya price intervention seandainya perubahan
harga terjadi karena mekanisme pasar yang wajar. Namun, pasar disini mengahruskan
adanya moralitas (fair play), kejujuran (honesty), keterbukaan (transparancy) dan

24
keadilan (justice). Jika nilai-nilai ini ditegakkan, maka tidak ada alasan untuk menolak
harga pasar (P3EI,2008:301).

E. Pandangan Islam terhadap Ekonomi


Pandangan Islam terhadap masalah kekayaan berbeda dengan pandangan Islam
terhadap masalah pemnfaatan kekayaan. Menurut Islam, sarana-sarana yang memberikan
kegunaan (utility) adalah masalah tersendiri, sedangkan perolehan kegunaan (utility)
adalah masalah lain. Karna itu kekayaan dan tenaga manusia, dua-duanya merupakan,
sekaligus sarana yang bisa memberikan kegunaan (utility) atau manfaat sehingga,
kedudukan kedua-duanya dalam pandangan Islam, dari segi keberadaan dan produsinya
dalam kehidupan, berbeda dengan kedudukan pemanfaatan serta tata cara perolehan
manfaatnya (Taqyuddin An-Nabhani,1996:50).
Karena itu, Islam juga ikut campurtangan dalam masalah pemanfaatan kekayaan
dengan cara yang jelas. Islam, misalnya mengharamkan beberapa pemanfaatan harta
kekayaan, semisal khamer dan bangkai. Sebagaimana Islam juga mengharamkan
pemanfaatan tenaga manusia, seperti dansa, (tari-tarian) dan pelacuran. Islam juga
mengharamkan menjual harta kekayaan yang haram untuk dimakan, serta mengharamkan
menyewa tenaga untuk melakukan sesuatu yang haram dilakukan. Ini dari segi
pemanfaatan harta kekayaan dan pemanfaatan tenaga manusia. Sedangkan dari segi tata
cara perolehannya, Islam telah mensyariatkan hokum-hukum tertentu dalam rangka
memperoleh kekayaan, seperti hokum-hukum berburu, menghidupkan tanah mati,
hokum-hukum kontrak jasa, industry serta hukum-hukum waris, hibbah, dan wasiat.
Oleh karena itu, amatlah jelas bahwa Islam telah memberikan pandangan
(konsep) tentang system ekonomi, sedangkan ilmu ekonomi tidak. Dan Islam telah
menjadikan pemnfaatan kekayaan serta dibahas dalam ekonomi. Sementara, secara
mutlak Islam tidak menyinggung masalah bagaiamana cara memproduksi kekayaan dan
factor prodok yang bisa menghasilkan kekayaan.

25
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Setelah pemaparan di atas, dapat kita ketahui bahwa dalam kehidupan
ekonominya manusia memiliki masalah-masalah yang cukup rumit. Dan sebagai
solusinya, Islam telah menawarkan konsep-konsep yang berdasarkan Al-Qur’an dan As-
Sunnah. Dengan demikian, semakin terbukti bahwa ekonomi Islam adalah sistem
ekonomi yang paling sempurna
B. Saran
Sebagai pelaku ekonomi atau sebagai pendidik wajib memahami tentang sistem
ekonomi Islam atau dikenal sebagai mu'amalah adalah suatu sistem yang baik karena
berdasarkan wahyu yang jelas dari Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT. Namun akhir-
akhir ini menjadi compicated disebabkan karena terikut dengan rentak dan cara hidup
serta pendidikan barat yang mengabaikan aspek yang paling penting kepada manusia
yaitu pembangunan manusia hakiki berdasarkan paradigma Tauhid bagi menuju
pengiktirafan Allah SWT bagi mencapai Al-Falah (kemenangan dan kejayaan) dan bukan
semata-mata bangunan yang barangkali di diami oleh manusia-manusia yang tertandus
jiwa dan akhlaqnya.

26
DAFTAR PUSTAKA

Karim, Adi Warman. Ekonomi Mikro Islam (Jakarta: IIT Indonesia, 2003)

Muhammad Abdul Manan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT. Dana Bakhti
Prima Yas, 1997)

Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana, 2006)

P3EI, Ekonomi Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008)

27

Anda mungkin juga menyukai