Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN PENDAHULUAN PRAKTIK PREKLINIK

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
STIKES PAYUNG NEGERI

Nama Mahasiswa : Juniatul Rahmi


NIM : 08.3. 0. 1. 0051
Tanggal : 12, Februari 2011
Ruangan Praktek : Nuri I

I. Diagnosa Medis
CAD (Coronari Atherosclerotik Disease) atau penyakit jantung koroner.

II. Defenisi

Coronary arteri diesease adalah penyempitan atau penyumbatan arteri koroner, arteri
yang menyalurkan darah ke otot jantung. Bila aliran darah melambat, jantung tak mendapat
cukup oksigen dan zat nutrisi. Hal ini biasanya mengakibatkan nyeri dada yang disebut angina.
Bila satu atau lebih dari arteri koroner tersumbat sama sekali, akibatnya adalah serangan jantung
(kerusakan pada otot jantung). (Lewis ,2000).

CAD yaitu ditandai dengan adanyanya penimbunan abnormal lipid atau bahan lemak dan
ringan fibrosa di dinding pembuluh darah yang mengakibatkan perubahan strukrur dan fungsi
arteri dan penurunan aliran darah kearteri. (Suddarth, 2002).

III. Etiologi

Penyakit arteri koroner bisa menyerang semua ras, tetapi angka kejadian paling tinggi
ditemukan pada orang kulit putih. Tetapi ras sendiri tampaknya bukan merupakan factor penting
dalam gaya hidup seseorang. Secara spesifik, factor-faktor yang meningkatkan resiko terjadinya
arteri koroner adalah :
a. Diet kaya lemak
b. Merokok
c. Malas berolah raga

Resiko terjadinya penyakit arteri koroner meningkat padapeningkatan kadar kolesterol


total dan kolesterol LDL (kolesterol jahat) dalam darah. Jika terjadi peningkatan kadar kolesterol
HDL (kolesterol baik), maka resiko terjadinya penyakit arteri koroner akan menurun.

Makanan mempengaruhi kadar kolesterol total dan karena itu makanan juga
mempengaruhi resiko terjadinya penyakit arteri koroner. Merubah pola makan (dan bila perlu
mengkonsumsi obat dari rokter) bisamenurunkan kadar kolesterol total dankolesterol LDL bisa
memperlambat atau mencegah berkembangnya arteri koroner. Menurunkan kadar LDL sangat
besar keuntungannya bagi seseorang yang memiliki factor resiko berikut :

a. merokok sigaret
b. tekanan darah tinggi
c. Kegemukan
d. malas berolah raga
e. kadar trigliserida tinggi
f. keturunan
g. steroid pria (androgen).

Factor resiko ada yang dapat dimodifikasi (modifiable) dan ada yang tidak dapat
dimodifikasi (nonmodifiable). Factor resiko modifiable dapat dikontrol dengan mengubah gaya
hidup atau kebiasaan pribadi; factor resiko nonmodifiable merupakan konsekuensi genetic yang
tidak dapat dikontrol. (Kaplan, 1991).

IV. Patofisiologi ( Web of Cauntion)


Terlampir
V. Menisfestasi klinis
1. Iskemik miokard
2. Angina fektoris
3. Infark miokard
VI. Pemeriksaan fisik
Penderita sering tampak ketakutan, gelisah, dan tegang. Mereka sering mengurut-urut
dadanya (Levine sign). Penderita dengan disfungsi ventrikel kiri teraba dingin. Nadi bervariasi,
bisa bradikardi dan takikardi. Kadang disertai dengan nadi yang tidak teratur oleh karena terjadi
aritmia. Tekanan darah biasanya normal, tetapi karena terjadi penurunan curah jantung tekanan
sistolik sering turun. Tekanan nadi sering menurun oleh karena tekanan diastolik sedikit
meningkat.

VII. Pemeriksaan laboratorium & diagnosis penunjang


. Pemeriksaan diagnostic

Tergantung kebutuhannya beragam jenis pemeriksaan dapat dilakukan untuk


menegakkan diagnosis PJK dan menentukan derajatnya. Dari yang sederhana sampai yang
invasive sifatnya.

b. Elektrokardiogram (EKG)

Kurva EKG merupakan hasil rekam aktivitas bioelektrik jantung yang pada keadaan
normal pada setiap sadapan berbeda- beda, karena arah dan itensitas gelombang yang
terbentuk dalam urutan depolarisasi- depolarisasi jantung membentuk defleksi yang berbeda
pula. Biasanya pada CAD adanya elevasi segmen-ST

Secara klinis konfigurasi EKG yang normal adalah:

 Gelombang P (depolarisasi atrial)


 Gelombang QRS (depolarisasi ventrikel)
 Gelombang T (repolarisasi ventrikel)
 Gelombang U (belum diketahui asal usulnya)
c. Foto rontgen dada

Foto roentgen dada dokter dapat menilai ukuran jantung, ada-tidaknya pembesaran. Di
samping itu dapat juga dilihat gambaran paru. Kelainan pada koroner tidak dapat dilihat
dalam foto rontgen ini. Dari ukuran jantung dapat dinilai apakah seorang penderita sudah
berada pada PJK lanjut. Mungkin saja PJK lama yang sudah berlanjut pada payah jantung.
Gambarannya biasanya jantung terlihat membesar.

d. Pemeriksaan laboratorium
 Pemeriksaan darah lengkap : HB ↓

 Troponin T dan I : pada infark miokard terjadi peningkatan troponin T

 Profil lemak : kolesteril serum total yang meningkat diatas 200 mg/ml

e. Tredmil

Kamus kedokteran Indonesia disebut jentera, alat ini digunakan untuk pemeriksaan
diagnostic PJK. Berupa ban berjalan serupa dengan alat olah raga umumnya, namun
dihubungkan dengan monitor dan alat rekam EKG. Prinsipnya adalah merekam aktifitas fisik
jantung saat latihan. Dapat terjadi berupa gambaran EKG saat aktifitas,

f. Kateterisasi jantung
Pemeriksaan ini dilakukan dengan memasukkan kateter semacam selang seukuran ujung
lidi. Selang ini dimasukkan langsung ke pembuluh nadi (arteri). Bisa melalui pangkal paha,
lipatanlengan atau melalui pembuluh darah di lengan bawah. Kateter didorong dengan
tuntunan alar rontgen langsung ke muara pembuluh koroner. Setelah tepat di lubangnya,
kemudian disuntikkan cairan kontras sehingga mengisi pembuluh koroner yang dimaksud.
Setelah itu dapat dilihat adanya penyempitan atau malahan mungkin tidak ada penyumbatan.
Penyempitan
VIII. Penatalaksanaan
 Nitrogliserin : senyawa nitrat obar utama unntuk menangani angina pectoris
 Modifikasi diet mengurani makanan yang menganduung kolesterol dan pasien harus
berheti merokok
 Pemakaina oksigen
 Analgetik : dibatasi hanya untk pasien yang tidak efektif diobati dengan nitrat dann
antikoagulan

IX. Diagnosa keperawatan


a. Nyeri akut b/d iskemia miokard akibat sumbatan arteri koroner.

b. Intoleransi aktivitas b/d ketidakseimbangan suplai oksigen miokard dengan kebutuhan tubuh.

c. Kecemasan (uraikan tingkatannya) b/d ancaman/perubahan kesehatan-status sosio ekonomi;

d. Risiko tinggi) Perubahan perfusi jaringan b/d penurunan/sumbatan aliran darah koroner.

X. Intervensi dan Rasional


a. Nyeri akut b/d iskemia miokard akibat sumbatan arteri koroner. (Carpenito, 2000).

Intervensi:

1) Pantau nyeri (karakteristik, lokasi, intensitas, durasi), catat setiap respon verbal/non
verbal, perubahan hemo-dinami.
2) Berikan lingkungan yang tenang dan tunjukkan perhatian yang tulus kepada klien.
3) Bantu melakukan teknik relaksasi (napas dalam/perlahan, distraksi, visualisasi,
bimbingan imajinasi)
4) Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi:

- Antiangina seperti nitogliserin (Nitro-Bid, Nitrostat, Nitro-Dur)

- Beta-Bloker seperti atenolol (Tenormin), pindolol (Visken), propanolol (Inderal)

- Analgetik seperti morfin, meperidin (Demerol)


- Penyekat saluran kalsium seperti verapamil (Calan), diltiazem (Prokardia).
Nyeri adalah pengalaman subyektif yang tampil dalam variasi respon verbal non verbal
yang juga bersifat individual sehingga perlu digambarkan secara rinci untuk menetukan
intervensi yang tepat.

Rasional :

1) Menurunkan rangsang eksternal yang dapat memperburuk keadaan nyeri yang terjadi.
2) Membantu menurunkan persepsi-respon nyeri dengan memanipulasi adaptasi fisiologis
tubuh terhadap nyeri.
3) Nitrat mengontrol nyeri melalui efek vasodilatasi koroner yang meningkatkan sirkulasi
koroner dan perfusi miokard.
4) Agen yang dapat mengontrol nyeri melalui efek hambatan rangsang simpatis.(Kontra-
indikasi: kontraksi miokard yang buruk)
5) Morfin atau narkotik lain dapat dipakai untuk menurunkan nyeri hebat pada fase akut atau
nyeri berulang yang tak dapat dihilangkan dengan nitrogliserin.

- Bekerja melalui efek vasodilatasi yang dapat meningkatkan sirkulasi koroner dan kolateral,
menurunkan preload dan kebu-tuhan oksigen miokard. Beberapa di antaranya bekerja
sebagai antiaritmia.

b. Intoleransi aktivitas b/d ketidakseimbangan suplai oksigen miokard dengan


kebutuhan tubuh. (Doenges ,2000).

Intervensi:

1) Pantau HR, irama, dan perubahan TD sebelum, selama dan sesudah aktivitas sesuai indikasi.
2) Tingkatkan istirahat, batasi aktivitas
3) Anjurkan klien untuk menghindari peningkatan tekanan abdominal.
4) Batasi pengunjung sesuai dengan keadaan klinis klien.
5) Bantu aktivitas sesuai dengan keadaan klien dan jelaskan pola peningkatan aktivitas
bertahap.
6) Kolaborasi pelaksanaan program rehabilitasi pasca serangan IMA.
Rasional:

1) Menentukan respon klien terhadap aktivitas.


2) Menurunkan kerja miokard/konsumsi oksigen, menurunkan risiko komplikasi.
3) Manuver Valsava seperti menahan napas, menunduk, batuk keras dan mengedan dapat
mengakibatkan bradikardia, penurunan curah jantung yang kemudian disusul dengan
takikardia dan peningkatan tekanan darah.
4) Keterlibatan dalam pembicaraan panjang dapat melelahkan klien tetapi kunjungan orang
penting dalam suasana tenang bersifat terapeutik.
5) Mencegah aktivitas berlebihan; sesuai dengan kemampuan kerja jantung.
6) Menggalang kerjasama tim kesehatan dalam proses penyembuhan klien.

c. Kecemasan (uraikan tingkatannya) b/d ancaman/perubahan kesehatan-status sosio-


ekonomi; ancaman kematian. (Carpenito, 2000).

Intervensi:

1) Pantau respon verbal dan non verbal yang menunjukkan kecemasan klien.
2) Dorong klien untuk mengekspresikan perasaan marah, cemas/takut terhadap situasi krisis
yang dialaminya.
3) Orientasikan klien dan orang terdekat terhadap prosedur rutin dan aktivitas yang diharapkan.
4) Kolaborasi pemberian agen terapeutik anti cemas/sedativa sesuai indikasi
(Diazepam/Valium, Flurazepam/Dal-mane, Lorazepam/Ativan). Klien mungkin tidak
menunjukkan keluhan secara langsung tetapi kecemasan dapat dinilai dari perilaku verbal
dan non verbal yang dapat menunjukkan adanya kegelisahan, kemarahan, penolakan dan
sebagainya. (Doenges ,2000).

Rasional:

1) Respon klien terhadap situasi IMA bervariasi, dapat berupa cemas/takut terhadap ancaman
kematian, cemas terhadap ancaman kehilangan pekerjaan, perubahan peran sosial dan
sebagainya.
2) Informasi yang tepat tentang situasi yang dihadapi klien dapat menurunkan kecemasan/rasa
asing terhadap lingkungan sekitar dan membantu klien mengantisipasi dan menerima situasi
yang terjadi.
3) Meningkatkan relaksasi dan menurunkan kecemasan.
d. Risiko tinggi) Perubahan perfusi jaringan b/d penurunan/sumbatan aliran darah
koroner. (Carpenito,2000).

Intervensi:

1) Pantau perubahan kesadaran/keadaan mental yang tiba-tiba seperti bingung, letargi, gelisah,
syok.
2) Pantau tanda-tanda sianosis, kulit dingin/lembab dan catat kekuatan nadi perifer.
3) Pantau fungsi pernapasan (frekuensi, kedalaman, kerja otot aksesori, bunyi napas)
4) Pantau fungsi gastrointestinal (anorksia, penurunan bising usus, mual-muntah, distensi
abdomen dan konstipasi)
5) Pantau asupan caiaran dan haluaran urine, catat berat jenis.
6) Kolaborasi pemeriksaan laboratorium (gas darah, BUN, kretinin, elektrolit)
7) Kolaborasi pemberian agen terapeutik yang diperlukan:

- Hepari / Natrium Warfarin (Couma-din)

- Simetidin (Tagamet), Ranitidin (Zantac), Antasida.

- Trombolitik (t-PA, Streptokinase)

Rasional:

1) Perfusi serebral sangat dipengaruhi oleh curah jantung di samping kadar elektrolit dan variasi
asam basa, hipoksia atau emboli sistemik.
2) Penurunan curah jantung menyebabkan vasokonstriksi sistemik yang dibuktikan oleh
penurunan perfusi perifer (kulit) dan penurunan denyut nadi.
3) Kegagalan pompa jantung dapat menimbulkan distres pernapasan. Di samping itu dispnea
tiba-tiba atau berlanjut menunjukkan komplokasi tromboemboli paru.
4) Penurunan sirkulasi ke mesentrium dapat menimbulkan disfungsi gastrointestinal
5) Asupan cairan yang tidak adekuat dapat menurunkan volume sirkulasi yang berdampak
negatif terhadap perfusi dan fungsi ginjal dan organ lainnya. BJ urine merupakan indikator
status hidrsi dan fungsi ginjal.
6) Penting sebagai indikator perfusi/fungsi organ.
7) Heparin dosis rendah mungkin diberikan mungkin diberikan secara profilaksis pada klien
yang berisiko tinggi seperti fibrilasi atrial, kegemukan, anerisma ventrikel atau riwayat
tromboplebitis. Coumadin merupakan antikoagulan jangka panjang.
8) Menurunkan/menetralkan asam lambung, mencegah ketidaknyamanan akibat iritasi gaster
khususnya karena adanya penurunan sirkulasi mukosa.
9) Pada infark luas atau IM baru, trombolitik merupakan pilihan utama (dalam 6 jam pertama
serangan IMA) untuk memecahkan bekuan dan memperbaiki perfusi miokard.

XI. Daftar pustaka

1. Brunner & Suddarth.2002. Keperawatan Medical Bedah Vol 2. EGC: Jakarta

2. Carpenito .2000. Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis, Ed.6, EGC:


Jakarta
3. Depkes.2001.Proses Keperawatan pada Pasien dengan Ganguan Sistem Kardiovaskuler.
EGC: Jakarta

4. Doenges at al .2000 .Rencana Asuhan Keperawatan, Ed.3. EGC:Jakarta

Price,S & Wilson,L.2002. Patofisiologi Vol 1. EGC: Jakarta

5. Soeparman & Waspadji .1998. Ilmu Penyakit Dalam. BP FKUI: Jakarta.


6. Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem edisi 2. EGC:Jakarta

Anda mungkin juga menyukai