Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah bakteri

Staphylococcus aureus yang mengalami kekebalan terhadap antibiotik jenis metisilin.

MRSA mengalami resistensi karena perubahan genetik yang disebabkan oleh paparan

terapi antibiotik yang tidak rasional. Transmisi bakteri berpindah dari satu pasien ke

pasien lainnya melalui alat medis yang tidak diperhatikan sterilitasnya. Transmisinya

dapat pula melalui udara maupun fasilitas ruangan, misalnya selimut atau kain tempat

tidur (Nurkusuma, 2009).

Faktor-faktor resiko terjadinya MRSA antara lain lingkungan, populasi, kontak

olahraga, kebersihan individu, riwayat perawatan, riwayat operasi, riwayat infeksi dan

penyakit, riwayat pengobatan, serta kondisi medis (Biantoro, 2008). MRSA

diklasifikasikan menjadi dua, yaitu Healthcare Associated Methicillin-Resistant

Staphylococcus aureus (HA-MRSA) dan Community Aquired Methicillin-Resistant

Staphylococcus aureus (CA-MRSA).

Data terbaru tahun 2005 dari Pusat Kontrol Penyakit dan Pencegahan Penyakit

menunjukkan bahwa 59,9% dari infeksi terkait Staphylococcus aureus di pusat-pusat

kesehatan disebabkan oleh MRSA. Data dari Pusat Program Surveilans Antimikroba
juga menunjukkan terjadinya peningkatan MRSA di antara Staphylococcus aureus yang

diisolasikan dari pasien Intensive Care Unit (ICU) di seluruh dunia. Ditemukan adanya

kejadian MRSA maupun infeksi luka operasi karena bakteri lainnya di rumah sakit

besar di Indonesia termasuk di bangsal perawatan pasien bedah. Beberapa studi juga

telah dilakukan yang menghubungkan antara kejadian MRSA dengan asuhan

keperawatan dan terapi antibiotik (Nurkusuma, 2009). Royal College of Nursing (RCN)

membagi area resiko klinis transmisi MRSA menjadi 4 kategori.

Ruang Intensive Care Unit (ICU) menjadi ruangan yang memiliki resiko tinggi

terjadinya MRSA karena peralatan yang dipakai oleh pasien terutama ventilator tidak

steril akibat saat pemasangan ventilator tidak sesuai dengan prosedur, sehingga
menyebabkan koloni bakteri dapat menyebar kepada orang-orang yang berada di dalam

ruangan tersebut (Gordon et al, 2008). Pada beberapa tahun terakhir juga ditemukan

peningkatan angka kejadian MRSA yang terjadi di ruang perawatan bedah akibat luka

dan pemakaian antibiotik.

Perbedaan kondisi antara rumah sakit di Indonesia, khususnya Rumah Sakit Umum

Daerah Abdul Moeloek di Bandar Lampung dengan rumah sakit di negara-negara

lainnya dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain iklim, konstruksi gedung, kondisi

ruangan, fasilitas ruangan, standar prosedur operasional dan kebersihan. Selain itu juga

terdapat perbedaan pada tenaga medis dan paramedis di Indonesia dengan negara-

negara lain, seperti lamanya bekerja di rumah sakit. Beberapa hal di atas menyebabkan

terjadinya perbedaan tingkat kejadian MRSA di suatu negara dengan negara lainnya.

Adanya MRSA meningkatkan kejadian infeksi nosokomial di rumah sakit.

Persentase infeksi nosokomial oleh Staphylococcus aureus sebesar 21, 7%. Sekitar 40%

bakteri S. aureus yang dapat diisolasi di rumah sakit, diketahui resisten terhadap

beberapa jenis antibiotik turunan β-laktam dan sefalosporin, tetapi masih sensitif

terhadap antibiotik vankomisin dan klindamisin. Pada beberapa dekade belakangan,

insiden infeksi MRSA terus meningkat di berbagai belahan dunia. Di Asia, prevalensi

infeksi MRSA kini mencapai 70%, sementara di Indonesia pada tahun 2006

prevalensinya berada pada angka 23,5% (Sulistyaningsih, 2010). Suffoletto dan

rekannya melakukan survei sampel dari bulan Oktober sampai dengan Desember 2006
antara bagian gawat darurat di lima rumah sakit pendidikan di Pittsburgh. Di antara 255

peserta, 81 peserta (31,8%) memiliki kolonisasi Staphylococcus aureus pada hidung

mereka, termasuk 11 peserta (4,3%) dengan MRSA. MRSA mengenai semua pekerja

perawat, asisten perawat, atau teknisi pemeliharaan pasien. Hal ini disebabkan oleh

penyebaran MRSA dari pasien kepada perawat atau asisten perawat saat melakukan

penanganan atau perawatan terhadap pasien (Ellison, 2008).

Berdasarkan latar belakang diatas kami tertarik untuk memberikan asuhan

keperawatan secara komprehensif pada An. dengan MRSA di bangsal anak RSUP. Dr.

M. Djamil Padang, Tahun 2018”.

B. TUJUAN

1. Tujuan Umum

Mampu melakuakan asuhan keperawatan pada An. dengan MRSA di bangsal anak

RSUP. Dr. M. Djamil Padang 2018.

2. Tujuan Khusus

a. Mampu melakukan pengkajian pada An. dengan MRSA di bangsal anak RSUP.

Dr. M. Djamil Padang 2018.

b. Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada An. dengan MRSA di bangsal

anak RSUP. Dr. M. Djamil Padang 2018.

c. Mampu melakukan intervensi keperawatan pada An. dengan MRSA di bangsal

anak RSUP. Dr. M. Djamil Padang 2018.


d. Mampu melakukan implementasi keperawatan pada An. dengan MRSA di

bangsal anak RSUP. Dr. M. Djamil Padang 2018.

e. Mampu melakukan evaluasi keperawatan pada An. dengan MRSA di bangsal

anak RSUP. Dr. M. Djamil Padang 2018.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

1. Pengertian MRSA

MRSA adalah galur S. Aureus yang resisten terhadap metisilin, antibiotik

golongan β-laktam. MRSA pertama kali ditemukan pada tahun 1961. Galur MRSA

dibagi menjadi dua yaitu HA-MRSA dan CA-MRSA. HA-MRSA didefinisikan

sebagai infeksi MRSA yang terdapat pada individu yang pernah dirawat di rumah

sakit atau menjalani tindakan operasi dalam satu tahun terakhir, memiliki alat bantu

medis permanen dalam tubuhnya, bertempat tinggal di fasilitas perawatan jangka

panjang, atau individu yang menjalani dialisis (Jawetz et al., 2008).

HA-MRSA memiliki resistensi yang sangat tinggi dan merupakan penyakit

nosokomial yang penting. CA-MRSA merupakan galur MRSA yang sama sekali

tidak berhubungan dengan infeksi nosokomial atau infeksi di rumah sakit. CA-

MRSA berbeda dengan HA-MRSA secara fenotip, genotip dan virulensi. CA-

MRSA memiliki virulensi lebih tinggi dan resistensi terhadap antimikroba non β-

laktam lebih rendah jika dibandingkan HA-MRSA (Jawetz et al., 2008).

Infeksi MRSA merupakan infeksi oportunistik, sama halnya dengan infeksi

Staphylococcus aureus. 12 Staphylococcus aureus adalah kuman gram positif


berbentuk bulat dan tersusun bergerombol seperti anggur. Bakteri tersebut tidak

memiliki spora dan tidak motil. Staphylococcus aureus merupakan jenis kuman

Staphylococcus yang menghasilkan katalase dan memberikan hasil positif bila

dilakukan tes koagulase (Kusuma, 2009).

2. Anatomi Fisiologi

a. Darah

Darah merupakan alat transportasi berbagai zat ditubuh manusia, darah

berperan untuk proses homeostasis dalam mempertahankan stabilitas

lingkungan dalam tubuh dan untuk mengembalikan fungsi tubuh dalam keadaan

semula, dari proses hemoestasis ini muncul perubahan seperti :

1) Berkeringat serta menguapnya keringat serta munculnya panas dalam tubuh

untuk menguapkan keringat.

2) Sirkulasi darah meningkat, peningkatan sirkulasi ini karena kerja jantung

dan penyesuaian pembuluh darah.

3) Pernafasan meningkat dalam usaha memenuhi kebutuhan oksigen

Darah terdiri atas plasma 55% dan sel 45%, sel dalam darah antara lain

adalah trombosit, sel darah putih, sel darah merah. Plasma mengandung ion

Na+, K+, Ca+, Mg+. Adapun zat organik seperti asam amino, protein,

glukosa. Plasma mudah beku karena terdapat protein fibrinogen yang dapat
berubah menjadi fibrin yang berperan dalam pembekuan darah. Protein

plasma darah berupa albumin, globulin dan fibrinogen, yang memberikan

(tekanan osmotic) tekanan ini berfungsi menarik air kembali ke kapiler dan

intersisial setelah terfibrasi.

b. Sel Darah Putih

Sel darah putih terdiri dari granulosit, limfosit, monosit.

Granulosit terdiri dari :

1) Netrofil yang berfungsi membunuh bakteri, pada infeksi akut jumlah sel ini

meningkat.

2) Basofil, melepaskan histamin, sel ini berperan pada reaksi hipersensitif tipe

cepat seperti urtikaria, rhinitis alergika, syok anafilaktik.

3) Menyerang beberapa jenis parasit, sel ini meningkat pada penderita alergi

4) Monosit : monosit termasuk darah dari sumsum tulang kemudian masuk

jaringan, berubah namanya menjadi magrofag jaringan, berfungsi seperti

netrofil membunuh bakteri.

c. System Kekebalan Tubuh

Apabila ada benda asing yang masuk kedalam tubuh, maka tubuh akan

bereaksi membentuk suatu zat anti (anti bodi) yang khas untuk masing-masing

benda asing tersebut. Kekebalan mungkin dapat dibawah sejak lahir, melalui

zat anti yang diberikan ibu atau dapat pula diperoleh kemudian. Kekebalan
yang diperoleh kemudian bisa terjadi karena infeksi secara alamiah yang

kemudian menimbulkan penyakit atau tidak sampai menimbulkan penyakit,

atau dapat pula kekebalan yang sifatnya dibuat dengan memberi vaksin tertentu,

contohnya :

1) Vaksin BCG untuk mencegah penyakit TBC pada anak

2) Vaksin polio

3) Vaksin DPT

4) Vaksin TT

5) Vaksin morbili

6) Vaksin rubella

Jenis kekebalan terbagi dalam 2 bentuk:

1) Kekebalan humoral, terjadi karena terbentuknya gama globulin yang

spesifik untuk suatu antigen setelah bereaksi dengan limfosit B tersebut.

Umumnya kekebalan ini tidak berlangsung lama hanya sekitar beberapa

bulan.

2) Kekebalan seluler merupakan kekebalan yang dibawah oleh sel T untuk

antigen tertentu, umumnya kekebalan ini berlangsung lama hingga

bertahun-tahun.
d. Sel darah merah

Eritrosit sebagai sel darah merah berumur rata-rata 120 hari, sel ini

berbentuk cakram, dengan jumlah rata-rata sekitar5 juta/mm3 atau sekitar 25

Triliun dalam 5 liter darah, jikadalam perhitungan detik maka didapatkan dalam

1 detik akan terbentuk 2. 400. 000 sel baru dan selama hidupnya eritrosit ini

akan melewati aliran darah dengan menempuh lebih dari 1.000 km dalam

hidupnya

Eritrosit yang tua akan mengalami kematian dan dihancurkan di limpa,

limpa juga tempat penyimpanan trombosit dan limfosit serta menyimpan

eritrosit yang sehat. Apabila darah dilakukan sentrifugal maka akan didapatkan

hematokrit yang merupakan bagian terbesarnya berisi eritrosit, nilai hematokrit

pada laki-laki berkisar 47% dan pada perempuan 42%. Didalam eritrosit

terdapat hemoglobin (Hb) yang berfungsi mengikat oksigen untuk

didistribusikan keseluruh jaringan tuubuh, kadar Hb untuk laki-laki 16gr/dl dan

perempuan 14gr/dl. Eritopoesis atau pembentukan eritrosit pada anak-anak

berlangsung di seluruh sumsum tulang, sedangkan pada dewasa terjadi pada

tulang-tulang pipi, eritopoisis terjadi karena rangsangan hormon eritropoitin

yang dihasilkan di ginjal.

Apabila kadar O2 arteri menurun maka produksi eritopoitin meningkat dan

peningkatan ini akan merangsang pembentukan eritrosit lebih banyak lagi


sehingga kadar Hb sebagai pembawa oksigen juga ikut meningkat. Kerusakan

pada ginjal menyebabkan penurunan eritopoitin akibatnya pembentukan

eritrosit juga berkurang sehingga menyebabkan anemia.

3. Etiologi

Staph Staphylococcus adalah jenis umum bakteri. Pada sekitar 1 dari setiap 4

orang sehat, kuman Staph hidup di kulit atau pada bagian hidung, tetapi tidak

menyebabkan masalah atau infeksi. Orang-orang ini dikatakan dijajah dengan

Staph.

Jika bakteri Staph memasuki tubuh seseorang melalui luka, sakit, kateter, atau

tabung pernapasan, dapat menyebabkan infeksi.

1. Infeksi bisa ringan dan lokal (misalnya, jerawat), atau lebih serius (melibatkan

jantung, paru-paru, darah, atau tulang).

2. Infeksi Staph serius lebih umum pada orang dengan sistem kekebalan tubuh

lemah. Ini termasuk pasien di rumah sakit dan jangka panjang fasilitas

perawatan dan orang-orang yang menerima dialisis ginjal atau pengobatan

kanker.

Di masa lalu, infeksi Staph yang paling menanggapi Gorup antibiotik yang

disebut beta-laktam. Antibiotik ini termasuk methicillin dan lainnya, lebih

banyak antibiotik umum seperti oksasilin, penisilin, dan amoksisilin.

Sekitar 2 dari setiap 100 orang membawa strain Staph yang resisten terhadap
antibiotik ini. Menjadi tahan berarti antibiotik tidak dapat untuk mengobati dan

menyembuhkan infeksi dengan jenis bakteri. Ini strain Staph disebut MRSA,

atau methicillin-resistant Staphylococcus aureus. Infeksi MRSA sering terjadi

pada orang yang berada di rumah sakit atau layanan kesehatan lainnya. Mereka

yang telah dirawat di rumah sakit atau menjalani operasi dalam satu tahun

terakhir juga meningkatkan risiko. Bakteri MRSA yang menyebabkan jumlah

yang lebih tinggi dari infeksi Staph yang dimulai di rumah sakit. Infeksi MRSA

yang terjadi di masyarakat terlihat pada orang sehat yang tidak baru-baru ini di

rumah sakit. Sebagian besar infeksi ini melibatkan kulit.

3. Infeksi telah terjadi di antara atlet yang memiliki peralatan atau barang-barang

pribadi (seperti handuk atau pisau cukur) dan anak-anak di fasilitas penitipan.

4. Anggota militer dan mereka yang mendapatkan tato juga berisiko. Jumlah

masyarakat yang didapat kasus MRSA meningkat.

4. Pathofisiology

Perkembangan penyakit stafilokokus terkait dengan ketahanan hospes terhadap

infeksi dan virulensi organisme. Kulit dan membrana mukosa utuh berperan sebagai

perintang terhadap invasi oleh stafilokokus. Defek pada perintang mukokutan

karena trauma, pembedahan, permukaan asing (misal jahitan, shunt, kateter

intravaskuler) dan luka bakar menambah resiko infeksi. Adhesi S. Aureus pada sel
mukosa diperantarai oleh asam teikoat pada dinding sel, dan pemajanan pada

tempat-tempat submukosa atau subkutan menambah adhesi terhadap fibrinogen,

fibronektin, laminin, dan mungkin kolagen IV. Kemampuan stafilokokus virulen

untuk membentuk penyakit dapat dikaitkan secara langsung pada kapasitasnya

menghambat kemotaksis.

Protein A. ada pada kebanyakan strain S. Aureus tetapi tidak ada pada S.

Epidermidis, beraksi secara spefisik dengan IgG1, IgG2, dan IgG4. Protein ini

terletak pada selaput bakteri paling luar dan dapat menyerap imunoglobulin serum,

mencegah antibodi antibakteri bekerja sebagai opsonin dan dengan demikian

menghambat fagositosis. Leukosidin, menyebakan degranulasi leukasit, dan

hemolisin stafilokokus yang toksik terhadap eritrosit dan leukosit juga turut

membantu terhadap virulensi S. aureus.

Proliferasi stafilokokus pada saluran gastrointestinal juga dikendalikan oleh

prevalensi spesies bakteri lain. Jika keseimbangan ini terganggu selama terapi

antibiotik, stafilokokus beresisten dapat berproliferasi dan menginvasi dinding usus.

Perluasan enterotoksin oleh stafilokokus dalam saluran gastrointestinal atau

penelanan enterotoksin yang telah terbentuk dapat menimbulkan penyakit bila tidak

ada invasi jaringan.

Bayi mungkin mendapat imunitas humoral tipe-spesifik terhadap stafilokokus

secara transplasenta. Anak yang lebih tua dan orang dewasa mengembangkan
antibodi terhadap stafilokokus sebagai akibat infeksi minor kulit dan jaringan lunak

sebentar-sebentar, titer antistafilokokus serum biasanya naik pasca-penyakit

stafilokokus yang jelas. Namun, adanya antibodi tidak selalu melindungi individu

dari penyakit stafilokokus. Ada beberapa indikasi yang menyebarkan penyakit S.

aureus pada anak yang sebelumnya sehat dapat terjadi sesudah infeksi virus yang

menekan fungsi neutrofil atau sel epitel saluran pernapasan.

Individu dengan cacat kongenital atau didapat pada sistem komplemen yang

diperlukan untuk kemotaksis, kemotaksis yang tidak sempurna (sindrom Job,

Chediak Higashi, Wikott Aldrich, dan leukosit malas), fagositosis tidak sempurna,

dan imunitas humoral tidak sempurna (antibodi diperlukan untuk opsonisasi) serta

individu yang dengan kapasitas bakterisid intraseluler terganggu bertambah resiko

infeksinya dengan stafilokokus.

Penderita dengan penyakit granulomatosis kronis, yang fagositosisnya

berlangsung secara normal tetapi pembunuhan bakteri katalase-positif yang tertelan

sangat terganggu, terutama rentan terhadap penyakit stafilokokus. Mobilisasi

leukosit polimorfonuklear yang terganggu telah didokumentasi pada anak dengan

ketoasidosis diabetik dan pada individu sehat sesudah minum alkohol. Penderita

dengan infeksi virus imunodefisiensi manusia (HIV) mempunyai neutrofil yang

tidak sempurna dalam kemampuannya membunuh S. aureus in vitro.


5. Gejala Klinis

Infeksi kulit Staph menyebabkan area merah, bengkak, dan nyeri pada kulit.

Mungkin ada drainase nanah atau cairan lain dari situs. Gejala lebih mungkin terjadi

di mana kulit telah dipotong atau digosok, atau di daerah di mana ada rambut tubuh

lebih.

Ketika pasien mendapatkan MRSA di fasilitas perawatan kesehatan, infeksi

cenderung menjadi parah. Infeksi ini dapat Staph dalam aliran darah, jantung atau

paru-paru, urin, atau di lokasi operasi terakhir.

Gejala infeksi ini parah termasuk:

1) Nyeri dada

2) Kedinginan

3) Batuk

4) Kelelahan

5) Demam

6) Merasa sakit umum (Malaise)

7) Sakit kepala

8) Otot nyeri

9) Ruam

10) Sesak napas


6. Komplikasi

1) Impetigo

Impetigo merupakan infeksi kulit yang paling menular yang kebanyakan

menyerang bayi dan anak-anak. Impetigo biasanya ditandai dengan munculnya

luka borok warna merah pada wajah, terutama di sekitar hidung, mulut anak-

anak. Meski infeksi ini umumnya terjadi akibat masuknya bakteri ke dalam kulit

melalui luka atau gigitan serangga, tapi impetigo bisa juga tumbuh dalam kulit

yang benar-benar sehat. Pada orang dewasa, impetigo biasanya mengakibatkan

luka pada kulit.

2) Infeksi luka pasca-operasi Infeksi luka pasca-operasi merupakan komplikasi

yang sering ditemukan pada tindakan operasi superfisial, profunda, dan organ.

Salah satu agen biologis penyebab penting adalah MRSA yang merupakan

bakteri gram positif yang resisten terhadap antibiotik semisintesis.

3) Pneumonia

Pneumonia karena Stafilokokus aureus dapat merupakan infeksi primer

(Hematogen) atau sekunder sesudah infeksi virus seperti influensa.pneumonia

inhalasi disebabkan oleh perubahan pembersihan mukosiliare, disfungsi leukosit,

atau perlekatan bakteri yang dimulai oleh infeksi virus. Pada anak yang lebih

muda dari usia lebih dari 1 tahun, mulainya dapat ditunjukan oleh mengi

ekspiratoir, dengan cepat menyerupai bronkitis. Lebih lazim adalah demam


tinggi, nyeri perut, takipnea, dispneadan bronkopneumania setempat atau

penyakit lobar.

4) Abses

Abses merupakan kumpulan nanah (netrofil yang telah mati) yang

terakumulasi di sebuah kavitas jaringan karena adanya proses infeksi (biasanya

oleh bakteri dan parasit) atau karena adanya benda asing (misalnya, serpihan,

luka peluru, atau jarum suntik).

7. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan mikrobiologi adalah satu pemeriksaan yang sangat penting dalam

menunjang penegakkan diagnosis serta terapi penyakit infeksi terutama dalam

penanganan infeksi Nosokomial.

Salah satu penyebab infeksi nosokomial adalah Methicillin Resistent

Staphylococcus aureus (MRSA). Prosedur yang tepat pada pengambilan spesimen

yang aseptis, penanganan pemeriksaan laboratorium mikrobiologi untuk

menegakkan diagnosis infeksi MRSA dan prosedur standar uji bioaktivitas obat

antimikroba berguna dalam diagnosis dan terapi infeksi MRSA.


B. Asuhan Keperawatan Teoritis

1. Pengkajian

a. Identitas

Identitas meliputi (nama, alamat, no.mr, umur, jenis kelamin, agama, tanggal

masuk, data penanggung jawab dan lain-lain) (muttaqin, 2011).

b. Keluhan Utama

Biasanya klien mengeluhkan demam tinggi, sesak nafas, adanya lendir, sakit

kepala, suara nafas terdengar ngorok

c. Riwayat Kehamilan dan Persalinan

i. Pre natal care

Dikaji kesehatan ibu waktu hamil, apakah mengalami hiperemesis

gravidarum, apakah ada perdarahan vagina, ekslamasi, preeklamasi, penyakit

infeksi atau gangguan kesehatan lainnya. Pemeriksaan kehamilan kurang

teratur atau tidak, diperiksa oleh siapa, hasil pemeriksaan, riwayat pengobatan

selama kehamilan, hamilan yang keberapa dan apakah ada riwayat kelahiran

premature atau aborsi.

ii. Natal care

Dikaji usia kehamilan saat kelahiran, cara persalinan (spontan, oprasi atau

dengan bantuan alat), ditolong oleh siapa,keadaan sewaktu lahir yaitu berat

badan, panjang badan lingkar kepala, pengobatan yang didapatkan.


iii. Neonatal

Dikaji apakah ada cacat kongenital, kejang paralis, pendarahan, trauma

persalinan, kemerahan (rash), pemberian ASI atau PASI.

d. Riwayat kesehatan

1. Riwayat kesehatan sekarang

Biasanya klien mengeluhkan demam tinggi, nafas sesak, adanya lendir pada

mulut, batuk.

2. Riwayat kesehatan dahulu

Kaji apakah anak sebelumnya pernah terpapar dengan orang yang

menglami TB Paru atau batuk lama. Kaji lingkungan tempat tinggal klien

apakah tidak bersih.

3. Riwayat kesehatan keluarga

Biasanya ada atau tidak anggota keluarga yang menderita penyakit yang

sama dengan klien

e. Riwayat tumbuh kembang

Biasanya terdapat gangguan atau tidak pada motorik halus, motorik kasar,

kognitif dan bahasa, serta social dan kemandirian.

f. Imunisasi

Biasanya imunisasi anak lengkap atau tidak, kaji berpa kali pemberian imunisasi

dan reaksi setelah pemberian imunisasi


g. Pemeriksaan fisik

a. Keadaan umum : biasanya composmentis

b. TB /BB : TB biasanya tidak ada kelainan, BB biasanya mengalami

penurunan

c. Tanda-tanda vital

Pernapasan : biasanya meningkat dan cepat

Nadi : biasanya meningkat atau cepat

Suhu : biasanya suhu meningkat dan tinggi

d. Kepala : biasanya simetris kiri dan kanan, rambut berwarna hitam, bersih

atau tidak, tdak ada edema, tidak ada lesi

e. Mata : biasanya simetris kiri dan kanan, Sclera tidak ikterik, konjungtiva

tidak anemis

f. Telinga : biasanaya simetris kiri dan kanan, ada sedikit serumen,

pendengaran baik

g. Hidung : biasanya simetris kiri dan kanan, tidak ada polip, ada atau tidak ada

serumen

h. Mulut : biasanya mulut bersih, bibir pucat, lidah bersih, gigi lengkap / tidak,

terdapat keputihan pada kerongkongan

i. Leher : biasanya edema, tidak ada pembesaaran kelenjar getah bening, tiroid

j. Dada
I : biasanya simetris kiri dan kanan, menggunakan otot bantu nafas / tidak,

P : biasanya fremitus kiri dan kanan

P : Biasanya sonor

A : Biasanya rongki, atau whezzing

k. Jantung

I : Biasanya IC tidak terlihat

P : biasanya IC teraba di RIC ke V midklavikularis sinistra

P : biasanya batas jantung normal

A : biasanya regular

l. Perut

I : biasanya simetris kiri dan kanan, tidak ada edema, tidak ada lesi

P : biasanya tidak ada nyeri

P : biasnyanya tympani

A : biasanya bising usus normal

m. Ekstremitas : biasanya ada atau tidak ada kelainan

n. Genitalia : biasanya tidak ada kelainan

o. Kulit : biasanya terdapat bintik bintik merah pada kulit

p. Pemeriksaan penunjang

a) Pemeriksaan labor lengkap : Darah, sputum, analisa gas darah, kultur

darah
b) Darah rutin : Hb, leukosit, hitung jenis, eritrosit, albumin

c) Renthogen Thorak, laringoskopi / bronkoskop

2. Diagnosa Keperawatan

1. Ketidak efektifan jalan nafas b/d peningkatan sputum

2. Pola nafas napas tidak efektif b/d edema laring.

Sumber : (Diagnosa Keperawatan : defiisi dan klasifikasi 2009-2011/editor, T.

Heather Herdman ; ahli bahasa, Made Surmawati, Dwi Widiatri, Estu Tiar ; editor

edisi bahasa Indonesia, Monica Ester, – Jakarta : EGC, 2010 )

3. Intervensi Keperawatan

Diagnosa Rencana Keperawatan


NO
Keperawatan NOC NIC
1 Ketidakefektifa Indikator : Manajamen jalan nafas :
n bersihan jalan 1. jalan nafas yang  Buka jalan nafas dengan teknik
nafas b/d paten chin lift
peningkatan 2.  Lakukan fisioterapi dada
sputum  Lakukan suction
 Auskultasi suara nafas tambahan
catat area yang ventilasinya
menurun
 Monitoring status pernafasan

2 Pola nafas Respiratory status : Respiratory status : Airway patency


napas tidak Airway patency.
efektif b/d  Vital sign status  Observasi tanda – tanda vital.
edema laring. Indicator :  Posisikan pasien semi fowler.
 Anjurkan pasien agar tidak terlalu
banyak bergerak.
1. Frekuensi  Ajarkan pasien untuk melakukan
pernafasan dlm batuk efektif
rentang normal  Kolaborasi dengan tim medis dalam
2. Irama nafas sesuai pemberian terapi Oxygen
dengan yang
diharapkan.
3. Pengeluaran
sputum pada jalan
nafas
4. Tidak ada suara
nafas tambahan
5. Bernafas mudah
Tidak ada dyspnea

Sumber : ( Buku saku diagnosa dengan intervensi NIC dan criteria hasil NOC/ Judith M.

Wilkinson : ahli bahasa, Widyawati.. [et al.] : editor edisi Bahasa Indonesia, Eny Meiliya,

Monica Ester. – Ed. 7. – Jakarta : EGC, 2006.)

Anda mungkin juga menyukai