Anda di halaman 1dari 9

FALSAFAH PANDAWA SUNAN KALIJAGA

Sunan Kalijaga atau Raden Seca atau Raden Syahid atau Raden Said adalah salah seorang
tokoh penyebar agama Islam di Indonesia yang media dakwahnya beraneka macam, dan salah
satunya adalah melalui seni pewayangan. Wayang purwa asli peninggalan zaman Hindu yang
disebut wayang beber karena tokoh-tokohnya dilukis hanya pada selembar kulit oleh Sunan
Kalijaga diubah, tiap tokoh ditatah sendiri-sendiri seperti yang kita jumpai sekarang. Untuk
menghindari larangan agama waktu itu, tokoh-tokoh tersebut dibuat serba pipih, tidak persis
seperti manusia biasa. Anehnya, malah membuat makin tinggi cita rasa dan nilai seninya serta
menimbulkan kesan unik. Dipadukannya ajaran Islam dengan falsafah pewayangan sehingga
banyak bangsawan dan cendekiawan yang tertarik untuk menjadi pengikutnya.

Rukun Islam yang lima perkara, misalnya, digambarkan melalui lima ksatria Pandawa.
Walaupun diancam dan dicurangi Kurawa, mereka selalu berjaya bahkan berhasil memenangkan
pertempuran di medan Kurusetra dalam palagan atau perang Bharatayudha.

Rukun pertama dijelmakan dalam tokoh tertua Yudhistira alias Samiaji atau Puntadewa. Dengan
senjata pamungkasnya, Jimat Kalimosodo, alih kata dari Kalimah Syahadat, raja bijaksana itu
tidak pernah kalah dan tidak pernah putus asa. Ia selalu sabar menghadapi musibah, senantiasa
berbaik sangka kepada setiap orang, dan kalau perlu mengalah demi menjaga persatuan menuju
kejayaan.

Rukun kedua, salat (fardhu), diisyaratkan melalui Raden Werkudara atau Bima (Brathasena),
yang tidak pernah duduk dan selalu siap dengan kuku Pancanakanya. Artinya, salat lima waktu
tidak boleh tidak mesti ditegakkan dalam keadaan apapun. Sedang sakit pun salat harus tetap
dikerjakan seperti halnya Bima yang selalu berdiri kokoh setiap saat. Lewat pelaksanaan salat,
derajat manusia tidak dibeda-bedakan, termasuk antara orang kecil dan pembesar negara
sekalipun. Hal itu diibaratkan sama dengan sikap Werkudara yang tidak pernah memakai bahasa
halus kromo inggil dan tetap berbicara ngoko kepada semua orang, tanpa bermaksud kurang ajar.

Rukun ketiga, puasa (dalam bulan Ramadan), menggunakan lambang Raden Arjuna (Raden
Permadi), ksatria Pandawa yang paling ganteng dan digandrungi kaum wanita. Persis seperti
orang berpuasa, godaan hawa nafsu banyak sekali. Andaikata tidak kuat menghindarinya, pasti
akan jebol pertahanannya.

Rukun keempat dan kelima, zakat dan haji, digambarkan sebagai dua ksatria kembar, Nakula dan
Sadewa. Mereka adalah tokoh yang tidak sering muncul, sebagaimana zakat dan haji yang hanya
diwajibkan bagi orang-orang yang mampu. Akan tetapi, tanpa Nakula dan Sadewa, Pandawa
akan rapuh dan hancur. Begitu pula umat Islam, jika tidak ada para hartawan yang sanggup
membayar zakat dan menunaikan haji, fakir miskin akan terancam oleh kekafiran dan
pemurtadan. Kesenjangan antara orang kaya dan orang melarat tidak akan terjembatani.

note:

Sunan Kalijaga mempunyai banyak gelar. Di Cirebon ia dikenal dengan nama Pangeran
Jayaprana, di daerah Pajajaran Ki Dalang Sida Brangti, di Tegal dan sekitarnya Ki Dalang
Bengkok, di Purbalingga Ki Dalang Kumendung, dan acap kali pun ia dipanggil Raka
Brangsang, Entol, Kajabur, dan sejumlah nama lainnya.
Kisah Pandawa Lima

Pandawa Lima merupakan tokoh yang tidak dapat dipisahkan dengan kisah
Mahabarata, karena Pandawa Lima merupakan tokoh sentralnya bersama dengan
Kurawa. Pertempuran antara Pandawa Lima dengan Kurawa yang masih mempunyai
hubungan saudara, karena Pandawa Lima memperjuangkan hak tahtanya atas Kerajaan
Hastinapura yang di kuasai oleh para Kurawa ( Prabu Suyudhana dengan saudara-
saudaranya yang berjumlah seratus ).
Pandawa lima adalah sebutan lima bersaudara, putra dari Pandu Dewanata yakni
Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa.

Yudistira dengan nama kecilnya Puntadewa, Bima dengan nama kecilnya Sena, dan
Arjuna dengan nama kecilnya Permadi dilahirkan dari ibu Dewi Kunti sedang Nakula
dengan nama kecilnya Punten dan Sadewa dengan nama kecilnya Tangsen dilahirkan
dari ibu Dewi Madrim.

Pandu Dewanata adalah Raja Hastinapura, tetapi mati muda dan anak-anaknya masih
kecil-kecil sehingga belum memungkinkan untuk memegang kendali pemerintahan,
untuk mengisi ke kosongan pemerintahan Hastinapura, maka diangkatlah Destaratra
yang buta, kakak Pandu Dewanata untuk menduduki jabatan sementara tahta Hastina,
kelak jika putra-putra Pandu telah dewasa, Hastinapura akan diserahkan pada Pandawa
Lima, putra Pandu yang mempunyai hak atas tahta Hastina secara syah.
Rencana penyerahan tahta Hastinapura ke para Pandawa Lima Putra Pandu secara
damai kelaknya hanya tinggal rencana saja, karena ren-cana tersebut terhalang oleh Dewi
Gendari Istri Destarastra yang sangat ambisius, apa lagi ambi si Dewi Gendari didukung
oleh adiknya Harya Su man alias Sengkuni, menjadi patih Hastinapura, mempunyai
watak iri, dengki dan syirik yang menghalakan segala cara untuk mencapai tujuannya.

Destarastra disamping buta, pendiriannya juga kurang kuat, mudah berubah, mudah
diha sut dan mudah dibujuk oleh anak-anaknya yang berjumlah seratus, dikenal dengan
Kurawa atau Sata Kurawa yang hampir seluruh anaknya berwatak pendusta, iri, dengki,
tamak, syirik dlsb.

Patih Harya Suman alias Sengkuni sangat besar sekali pengaruhnya pada para Kurawa
dalam membentuk anganggapan bahwa Pandawa Lima merupakan musuh dan saingan
terberatnya, karena itu harus disingkirkan dengan cara apapun juga, agar Hastinapura
tidak jatuh ketangan Pandawa Lima Putra Pandu, sebagai pewaris syah atas tahta
Hastinapura.
Meskipun Pandawa Lima dan Kurawa berguru pada guru yang sama yakni Resi Durna (
Druna ) dan Resi Krepa, tetapi permusuhan diantara mereka tidak dapat dipadamkan
untuk menjadi rukun, bahkan semakin menjadi-jadi.

Pandawa Lima selalu lebih unggul dlm ke-trampilan ulah senjata dan ulah krida dari pada
para Kurawa. Puntadewa selalu lebih unggul dibi dang sastra dan ketatanegaraan, Bima
unggul dibidang memainkan senjata gada, Harjuna unggul dibidang memanah dan ulah
pedang sedang kan Nakula dan Sadewa tidak ikut berguru kare-na masih terlalu kecil.

Bima bersosok tubuh besar, konon sangat jahil suka mengganggu Kurawa dengan tiada
sebab Kurawa sering ditampar dan ditempeleng oleh Bima terutama
Suyudhana/Duryudhana dan Dursasana ( adik Suyudhana ), akhirnya menimbulkan
perkelahian tetapi selalu dimenangkan oleh Bima meskipun Bima dikeroyok mereka
berdua, karena itu Bima selalu menjadi sasaran pelampiasan dari kekesalan mereka.

Suatu saat Bima yang sangat rakus, dalam makanannya diberi racun oleh Kurawa, setelah
Bima tidak sadarkan diri kemudian dibuang kedalam sumur Jalatunda yang berisi penuh
dengan ular beracun ganas. Karena pertolongan Batara Dadungnala, Bima dapat selamat
dan sejak itu Bima menjadi kebal terhadap segala macam racun betapapun ganasnya
racun tersebut.

Mengetahui usahanya menyingkirkan Bima gagal, maka Kurawa berusaha lagi untuk
menyingkirkan Pandawa Lima dengan cara membakar bale Sigala-gala tempat menginap
para Putra Pandu dan Ibunya Dewi Kunti, tetapi usaha itupun gagal lagi, karena Putra
Pandu memperoleh pertolongan dari Batara Naradha, Sang Hyang Antaboga dan Yama
Widura.

Untuk mencegah Pandawa Lima dan para Sata Kurawa agar tidak terjadi sengketa terus
menerus, para tetua mereka terutama Resi Bis- ma dan Yama Widura, menganjurkan
kepada Destarastra agar Pandawa Lima diberi hutan Kan dawaprastha atau Wanamarta,
saran tersebut diikuti oleh Destarastra dan hutan Wanamartalah yang diberikan pada
Pandawa Lima.

Dalam waktu singkat Pandawa Lima yang dibantu oleh beberapa Dewa dan sahabat saha-
batnya, berhasil merubah hutan belantara menja di sebuah kerajaan yang besar dengan
nama Amerta dan Indraprasta sebagai ibu kotanya.

Semakin lama Amerta menjadi semakin maju, kerajaannya menjadi semakin besar dan
kuat, banyak kerajaan kecil-kecil, bergabung berkat perjuangan Bima dan
Harjuna. Sebagai pernyataan syukur kepada Sang Hyang Widhi Wasa atau Sang Maha
Pencipta Jagad Raya ini, maka para pembesar Kerajaan Amarta mengadakan syukuran,
sesaji kepada Raja Suya dan para Kurawapun diundang untuk meng hadiri upacara sesaji
itu dan dalam pelaksanaan upacara sesaji tersebut terdapat keributan antara Prabu
Kresna dengan Prabu Si Supala, berakhir dengan meninggalnya Prabu Si Supala, tetapi
tidak menggangu kelancaran jalannya upacara sesaji.
Karena sudah mempunyai bibit rasa iri dan dengki pada Pandawa Lima, maka Kurawa
menilai bahwa upacara tersebut merupakan pameran kekuatan Pandawa Lima, hal
demikian dimanfaatkan oleh Patih Sengkuni untuk mempengaruhi para Kurawa agar
membuat sengsara pada Pandawa Lima (Putra Pandu).

Prabu Duryudhana atas nama Kurawa, mengundang Pendawa Lima untuk menghadiri
pes-ta yang diadakan di kerajaan Hastinapura, atas hal tersebut para tetua Hastinapura
seperti Pra bu Destarastra, Resi Bisma dan Yama Widura menilai bahwa antara Pandawa
Lima dengan para Sata Kurawa telah berdamai dan bersahabat.

Penilaian tetua Hastinapura ternyata mele-set, karena undangan Kurawa hanya


merupakan siasat untuk membuat sengsara Pandawa Lima.

Waktu itu Pandawa Lima diajak minum minuman yang memabukkan sampai mabuk dan
dalam kondisi mabuk itulah Pandawa Lima diajak main judi, Pandawa Lima diwakili oleh
Yudistira dan Hastinapura diwakili oleh Patih Sengkuni (Harya Suman). Dalam
permainan judi tersebut Pandawa Lima di kalahkan, karena di curangi oleh para Kurawa,
judi dan mabuk-mabukan sudah merupakan kebiasaan sehari-hari bagi para Kurawa.

Awalnya Pendawa Lima sering dimenangkan, tetapi setelah taruhan diperbesar dan
merupakan target Para Kurawa, maka Pendawa Lima dikalahkan, sesudah kerajaan
Amarta dipertaruhkan dan dikalahkan, keadaan semakin panas, kemudian setelah adik-
adiknya dan dirinya yang di jadikan taruhan kalah juga, maka Dewi Drupadi istrinyapun
dipertaruhkan pula.

Dewi Drupadi waktu itu dikaputren kemudian diseret kebalairung, dipermalukan dan
menarik rambutnya sampai terurai. Pada saat itulah Dewi Drupadi mengucapkan
sumpahnya, bahwa ia tidak akan menyanggul rambutnya lagi, kecuali setelah keramas
dengan darahnya Dursasana adik Prabu Duryudhana ( Suyudhana ), demikian juga Bima
bersumpah, bahwa dalam perang Bharatajuda nanti akan membunuh Prabu Duryudhana
(Suyudhana) dan meminum darahnya.

Nasib Pandawa Lima dan Dewi Drupadi agak tertolong dengan campur tangannya tetua
Hastinapura Resi Bisma dan Yama Widura. Dewi Drupadi diminta untuk diserahkan
kepada Resi Bisma dan diberikan, untuk ini para Kurawa salah sangka dikiranya Resi
Bisma ingin menikmati kemenangannya pada hal Dewi Drupadi akan diserahkan kembali
kepada Pandawa Lima oleh Resi Bisma.

Atas kekalahan judi para Pandawa Lima, tetua Hastina mengambil kebijaksanaan dan
jalan tengah, bahwa Pandawa Lima harus menjalani hukuman pembuangan di hutan
selama 12 tahun dan masa penyamaran selama 1 tahun, dalam masa penyamaran apabila
salah satu dari Pandawa lima dapat dipergoki, maka mereka semua harus menjalani
pembuangan ulang lagi selama 12 tahun, dan masa penyamaran 1 tahun.

Dewi Drupadi-pun mengikuti para Pandawa Lima dalam menjalani hukuman


pembuangan, sedangkan Dewi Kunti ibu para Pandawa Lima tetap tinggal Kerajaan
Hastinapura. Sebagian Istri dan anak-anaknya Raden Harjuna dititipkan di Kerajaan
Cempalaradya, Dewi Wara Subadra dan sebagian lagi istri-istri Raden Harjuna dan anak-
anaknya dititipkan di Kerajaan Dwarawati.

Dalam masa menjalani hukum pembuangan, Raden Harjuna dan Bima memanfaatkan
wak tunya untuk memperdalam ilmunya dan mencari senjata pusaka. Bima bertemu
dengan Anoman saudara tunggal Bayu yang mengajarkan berbagai ilmu kesaktian
kepadanya.

Setelah Pandawa Lima menyelesaikan masa pembuangan 12 tahun lamanya, kemudian


menjalani masa penyamaran di Kerajaan Wirata. Puntadewa menyamar sebagai ahli
sejarah dan tatanegara dengan nama Wijakangka, Bima sebagai Jagal/penyembelih
hewan dengan nama Jagal Abilawa, Harjuna sebagai guru tari yang kebanci-bancian
dengan nama Kandhi Wrahatmala, Nakula dan Sadewa sebagai pelatih dan pemelihara
kuda dengan nama Darmagranti dan Tantripala. Dewi Drupadi menjadi dayang istana
dengan nama Sailandri atau Salindri.
Disaat hari penyamaran Pandawa Lima berakhir terjadilah penyerbuan Hastinapura
dengan sekutu-kutunya ke Kerajaan Wirata. Para Pandawa Lima tidak dapat tinggal diam
ketika melihat kejadian penyerbuan yang telah mengganggu ketenangan dan
ketentraman Kerajaan Wirata tempat mereka menyamar selama ini.

Dengan ikutnya Pandawa turun kemedan perang, akibatnya para Sata Kurawa
mengetahui penyamaran Pandawa Lima. Maka ketika diada kan perundingan untuk
memulihkan hak Pandawa Lima atas Kerajaan Amarta dan setengah Kerajaan Hastina,
ditolak oleh Kurawa dengan alasan penyamarannya telah dipergoki, karena itu Pandawa
harus menjalani ulang kembali masa hukumannya 12 tahun dalam pembuangan dan 1
tahun masa penyamaran.

Menurut perhitungan tetua Hastina, Pandawa Lima telah menjalani masa hukuman
dengan sempurna, karena itu mereka harus dikembalikan hak-haknya termasuk
setengahnya Kerajaan Hastinapura, namun hal demikian ditolak oleh Kurawa. Meskipun
Pandawa Lima dalam perundingan diwakili oleh Prabu Kresna sebagai duta Pandawa
Lima.

Karena perundingan damai mengalami kegagalan, maka pecahlah pertempuran utk


mem-perjuangkan haknya, kemudian dikenal dengan kisah “MAHABHARATA”, masa
pertempurannya selama 18 hari, berakhir dengan kemenangan Pandawa Lima, tetapi
semua putra Pandawa Lima gugur dimedan perang di Tegal Kurusetra.

Yudistira dikenal sebagai sosok suci tanpa dosa, sedangkan Bima dan Raden Harjuna
dikenal sebagai sosok yang telah mencapai kesempurnaan diri, mengetahui sejatinya
urip/hidup.
Bima waktu itu diperintah oleh Resi Druna untuk mencari air suci, maksudnya untuk
mence lakakan Bima, tetapi sebaliknya Bima bertemu dengan Dewa Ruci yang memberi
wejangan tentang ilmu kasampurnan hidup, Raden Harjuna memperoleh wejangan ilmu
Hasta Brata dari Panembahan Kesawasidhi di Puncak gunung Suwelagiri Pertapaan
Kutharunggu. Hasta Brata merupakan ilmu spiritual setingkat dengan air suci yang
diperoleh Bima untuk mencapai kesempurnaan hidup.

Dihari tuanya, Pandawa Lima dengan sadar merupakan hari-hari utk menyongsong saat
ke-matian, setelah menobatkan Parikesit cucu Ra-den Harjuna sebagai Raja
Hastinapura, beberapa tahun kemudian Pandawa Lima mendaki kepun cak Gunung
Himalaya, termasuk Dewi Drupadi untuk menyongsong kematian, diikuti oleh anjing
berbulu putih.

Pertama kali yang dijemput oleh Batara Ya-madipati (Dewa penjemput nyawa) adalah
Dewi Drupadi, dinilai paling banyak dosanya diban -dingkan dengan kelima suaminya
yakni Panda wa Lima. Pertama karena dihati kecilnya ia lebih mencintai Raden Harjuna
dari pada dengan suami lain-lainnya. Kedua karena Dewi Drupadi bermulut tajam, kata-
katanya sering melukai hati orang lain, diantaranya adalah Narpati Basukarna (Adipati
Karna), Prabu Duryudhana, Resi Druna/ Drona, Dursasana dan Jayadrata, terluka
hatinya karena ucapan-ucapan Dewi Drupadi.

Berikutnya giliran Sadewa yang dijemput oleh Batara Yamadipati, karena sering
meremehkan atau memandang rendah orang lain termasuk kakak kakaknya meskipun
hanya didalam hati saja dan tidak pernah diucapkan. Sadewa mempunyai ilmu / aji
Pranawa Jati yang dapat mengetahui kejadian yang akan datang dan mengingat kejadian-
kejadian masa lalu yang pernah dialami.

Setelah Sadewa giliran berikutnya kemudian adalah Nakula yang dijemput oleh Batara
Ya-madipati, karena meskipun diam sebenarnya di-dalam hatinya Nakula selalu iri dan
dengki kepada saudara-saudaranya terutama dengan Sadewa.

Giliran berikutnya setelah Nakula adalah Raden Harjuna yang dijemput oleh Batara
Yama dipati, karena didalam hati kecilnya Raden Har-juna terlalu bangga dengan
ketampanan yang dimilikinya dan merasa paling dibutuhkan atau pa-ling penting
dibanding dengan saudara-saudaranya.
Bima giliran berikutnya dijemput oleh Bata ra Yamadipati, karena dinilai sering tidak
dapat menahan nafsu amarahnya.

Yudistira tidak dijemput oleh Batara Yama-dipati dan tidak menemui ajalnya, ia berjalan
sampai didepan pintu Syurga dan dijemput oleh Batara Indra, diajak untuk masuk syurga
tetapi anjingnya dilarang masuk. Yudistira menolak masuk syurga jika anjingnya tidak
diperbolehkan masuk syurga, karena Yudistira menganggap Dewa tidak menghargai
suatu kesetiaan. Maka sebaiknya hamba tidak usah masuk kesyurga jika anjing yang
menunjukkan kesetiaannya dilarang masuk syurga.

Atas ucapan Yudistira yang menghargai ke setiaan, seketika itu juga anjing putih yang
selalu menyertai perjalanan Pandawa Lima dengan setianya sejak dari Istana
Hastinapura sampai kepintu syurga, berubah wujudnya menjadi Batara Darma, jelmaan
ayahnya Yudistira yang sebenarnya .

Kisah berakhir hidupnya para Putra Pandu, mengandung suatu petunjuk, bahwa Allah
Maha Mengetahui segala-galanya, meskipun hanya didalam hati dan tidak pernah
dikeluarkan atau dinyatakan kepada orang lain, Allah sudah mengetahui kebaikan atau
kebathilan itu.
Jalan hidup dan pegangan hidup para Putra Pandu yang kemudian dikenal dengan
Pandawa Lima, tidak dapat dilepaskan dari punakawan Semar dan anak-anaknya yang
tidak lain dari jelmaan Dewa Ismaya yang selalu memberi petunjuk dan bimbingan serta
nasehat kepada para Putra Pandu.

Nama-nama atau sebutan orang tua laki-laki selalu disertakan dalam memberi nama
putra-putranya, seperti Pandawa Lima adalah keturunan Pan yaitu Pandu. Kurawa
adalah keturunan Kuru, Drupadi adalah keturunan Drupada, Madrim adalah keturunan
Raja Mandra dst.

Yudistira dalam pewayangan adalah simbul atau lambang sosok yang suci, tidak
mempunyai dosa dan diibaratkan darahnya berwarna putih tanpa noda sediktpun.
Bima dalam pewayang adalah simbul kete-gasan dan keadilan serta kejujuran dalam
menegakkan hukum, tidak pandang bulu, siapapun yang salah harus dihukum meskipun
itu saudara maupun anaknya sendiri. Bima selalu menepati janjinya, bertubuh tinggi
besar dan kokoh.

Raden Harjuna adalah lambang atau sim - bul sosok tampan dan rupawan tetapi
donyuan, banyak anak banyak istri tetapi semuanya rukun.
Kisah-kisah pewayangan banyak mengan-dung ajaran-ajaran Falsafah yang bermakna
spiri tual tinggi, kata-kata Adiluhung yang memben tuk budi luhur dan pekerti/perbuatan
mulia Bangsa Indonesia.

Dunia pewayangan mempunyai andil yang sangat besar dalam membentuk watak Budi
Luhur dan Hati Mulia Bangsa Indonesia yang dika gumi oleh bangsa lain didunia ini.
Menonton pertunjukan wayang yang memakan waktu panjang saja sudah mengandung
pendidikan, dimana penonton dididik untuk sabar dalam menghadapi kenyataan hidup,
dan tekun menerima/menanti ilmu atau wejangan spiritual yang bermakna tinggi lewat
dalangnya.

Anda mungkin juga menyukai