Anda di halaman 1dari 29

GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN DAN

PRAKTIK YANG MENYANGKUT PENGENDALIAN


INFEKSI HEPATITIS B DARI PASIEN KE
OPERATOR DI PUSKESMAS MONTA

Disusun oleh :

dr. Dwirama Ivan Prakoso Rahmadi

Pendamping :

dr. Hj. Wahyuni

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


PUSKESMAS MONTA
2019

1
LEMBAR PERSETUJUAN

JUDUL : GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN DAN PRAKTIK YANG


MENYANGKUT PENGENDALIAN INFEKSI HEPATITIS B DARI
PASIEN KE OPERATOR DI PUSKESMAS MONTA KABUPATEN
BIMA
PENYUSUN : dr. Dwirama Ivan Prakoso Rahmadi

Monta, 28 Januari 2019,


Menyetujui

Kepala Puskesmas Monta,

dr. Hj. Wahyuni

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya
yang tak terhingga sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Mini Project Program
Dokter Internsip ini. Penelitian ini dilakukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam kegiatan
kami selama Program Internsip Dokter Indonesia (PIDI) di UPTD Puskesmas Monta.
Dalam proses penyusunan Laporan Mini P ini, penulis mendapat banyak bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak. Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada :
1. Yang terhormat, dr. Hj. Wahyuni selaku kepala Puskesmas monta dan pendamping dokter
internship.
2. Terima kasih saya ucapkan kepada seluruh tenaga kesehatan, staf dan karyawan Puskesmas
Monta yang telah berpartisipasi secara aktif dalam penelitian ini.
3. Rekan-rekan profesi dokter dan semua pihak yang telah membantu penyelesaian laporan
ini.
4. Semua yang ikut membantu, namun tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga Tuhan membalas semua kebaikan kalian yang telah diberikan kepada penulis.
Penulis mengharapkan saran dan kritikan dari pembaca.
Akhir kata penulis berharap agar Laporan Mini Project ini bisa bermanfaat untuk
perkembangan dan perbaikan pelayanan UPTD Puskesmas Monta di kemudian hari.

Monta, 28 Januari 2019

dr. Dwirama Ivan Prakoso Rahmadi

3
DAFTAR ISI

JUDUL PENELITIAN ...........................................................................................


LEMBAR PERSETUJUAN ...................................................................................1
KATA PENGANTAR ............................................................................................2
DAFTAR ISI...........................................................................................................3
BAB I. PENDAHULUAN ......................................................................................5
1.1. Latar Belakang .....................................................................................5
1.2. Identifikasi Masalah .............................................................................7
1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian.............................................................7
1.4. Kerangka Konseptual ...........................................................................8
1.4.1. Keterangan Kerangka Konsep Penelitian .............................8
1.5. Metode Penelitian ................................................................................9
1.5.1. Jenis Penelitian......................................................................9
1.5.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................10
1.5.3. Populasi Penelitian ................................................................10
1.5.4. Teknik Pengambilan Sampel ................................................10
1.5.5. Besar Sampel ........................................................................10
1.5.6. Definisi Operasional .............................................................10
1.5.7. Instrumen Penelitian .............................................................10
1.5.8. Alur Kerja .............................................................................11
1.6. Manfaat Akademik...............................................................................12
1.6.1 Manfaat Praktis ......................................................................13
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................14
2.1 Hepatitis B ............................................................................................14
2.1.1. Definisi ..................................................................................14
2.1.2. Epidemiologi .........................................................................14
2.1.3. Penularan Hepatitis B ..........................................................15
2.1.4. Patofisiologi Hepatitis B .......................................................15
2.1.5. Manifestasi Klinis Hepatitis B ..............................................16

4
BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................19
3.1. Hasil Penelitian ....................................................................................19
3.1.1. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Tindakan Terhadap
Pengendalian Infeksi Hepatitis B…………………………..19
3.2. Pembahasan..........................................................................................21
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN............................................................... 25
5.1. Kesimpulan..........................................................................................25
5.2 Saran.....................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................26
Lampiran………………………………………………………………………….27

5
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pelayanan kesehatan yang diberikan di Puskesmas harus didukung oleh sumber daya
manusia yang berkualitas untuk mencapai pelayanan yang prima dan optimal. Pelayanan
yang prima dan optimal dapat diwujudkan dengan kemampuan kognitif dan motorik yang
cukup yang harus dimiliki oleh setiap petugas kesehatan khususnya di Puskesmas Monta.
Bagi masyarakat umum, sarana kesehatan merupakan tempat pemeliharaan kesehatan.
Pasien mempercayakan sepenuhnya kesehatan dirinya atau keluarganya kepada petugas
kesehatan, maka kewajiban petugas kesehatan adalah menjaga kepercayaan tersebut.
Pelaksanaan Kewaspadaan Universal merupakan langkah penting untuk menjaga sarana
kesehatan (Rumah Sakit, Puskesmas, dll) sebagai tempat penyembuhan, bukan menjadi
sumber infeksi.

Penyakit menular merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh suatu agen
biologi seperti virus, bakteri atau parasit. Penyakit ini bukan disebabkan faktor fisik
seperti luka bakar dan trauma benturan atau kimia seperti keracunan yang bisa ditularkan
atau menular kepada orang lain melalui media tertentu atau vector (binatang pembawa),
(Rinendy, 2012).

Dalam menjalankan profesinya, dokter tidak akan pernah terlepas dari


kemungkinan untuk berkontak secara langsung ataupun tidak langsung dengan
mikroorganisme dalam saliva, darah, dan berbagai jenis cairan yang berasal dari pasien
yang bisa bersifat fisiologis maupun patologis. Praktik kedokteran merupakan salah satu
bidang yang rawan untuk terjadinya kontaminasi silang antara pasien-dokter, pasien-
pasien dan pasien-perawat. Adanya medical history pada rekam medis dapat
mempermudah dokter untuk mencurigai adanya penyakit infeksi yang diderita pasien
(Siampa, 2012).

6
Menurut American Medical Association (2011) pencegahan universal precaution
mengacu pada metode kontrol infeksi pada semua darah manusia dan cairan tubuh (pada
bidang kedokteran gigi: saliva) dan proteksi diri yang dilakukan dokter gigi. Pencegahan
universal adalah prosedur kontrol infeksi dan proteksi dokter gigi yang diterapkan pada
semua pasien.

American Medical Association dan Centers for Disease Control and Prevention
(CDC) mempublikasikan tindakan untuk mencegah penularan infeksi penyakit menular
termasuk tuberkulosis, Acquired Immunodeficiency Syndrom (AIDS), dan hepatitis B
yang tujuannya yaitu untuk menurunkan prevalensi dengan pencegahan, memutuskan
rantai penularan dan penemuan penyakit secara dini. Tindakan tersebut antara lain
pengembangan dan penerapan suatu program pengendalian infeksi yang menyeluruh,
penggunaan pakaian pelindung dan pencegahan standar oleh petugas, penggunaan
teknik aseptik oleh petugas, imunisasi vaksin virus hepatitis B pada petugas kesehatan
yang rentan, dekontaminasi sumber lingkungan, serta pembersihan, desinfeksi, dan
sterilisasi instrumen secara tepat (Arias, 2009).

Indonesia merupakan negara dengan pengidap hepatitis B nomor 2 terbesar sesudah


Myanmar diantara negara-negara anggota WHO SEAR (South East Asian Region
(Kemenkes, 2014). Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh World Health Organization
(2009), diperkirakan bahwa lebih dari dua miliar orang telah terinfeksi virus hepatitis B
(HBV), dimana 360 juta orang diantaranya mengalami infeksi kronis serta 240 juta
orang terdapat di Asia, termasuk Indonesia. Berdasarkan pemeriksaan HBsAg pada
kelompok donor darah di Indonesia, prevalensi hepatitis B berkisar antara 2,5% -
36,17%. Selain itu di Indonesia infeksi virus hepatitis B terjadi pada bayi dan anak,
diperkirakan 25% - 45% karena infeksi perinatal. Hal ini berarti bahwa Indonesia
merupakan daerah endemis (Siampa, 2012).
Sepanjang tahun 2018 sendiri, terdapat 805 laporan pemeriksaan Hepatitis B di
Puskesmas Monta, dengan catatan 19 orang (2,4%) HBsAg positif yang menjadikan
mereka penderita Hepatitis B akut. Angka ini memang tergolong kecil, namun
kemungkinan besar akan banyaknya penderita yang enggan datang berobat, tetap
menjadikan penyakit ini masalah yang cukup serius di wilayah kerja puskesmas Monta.

7
Berdasarkan uraian diatas, maka diperlukan rangkaian program yang
berkesinambungan dalam rangka pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI) di suatu
UPTD terkait untuk meminimalisir risiko terjadinya penularan silang antara pasien-
dokter, pasien-pasien dan pasien-perawat. Maka dari itu, peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian mengenai “Gambaran Tingkat Pengetahuan dan Praktik yang
Menyangkut Pengendalian Infeksi Hepatitis B dari Pasien ke Operator di Tempat Praktik
Dokter di Puskesmas Monta Kabupaten Bima”.

1.2. Identifikasi Masalah

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran tingkat pengetahuan


dan praktik yang menyangkut pengendalian infeksi hepatitis B dari pasien ke operator
di tempat praktik dokter di Puskesmas Monta Kabupaten Bima.

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan dan praktik
yang menyangkut pengendalian infeksi hepatitis B dari pasien ke operator di tempat
praktik dokter di Puskesmas Monta Kabupaten Bima.

1.3.2. Tujuan Khusus

Untuk mengetahui apakah prosedur kerja yang diterapkan oleh dokter umum dan
para tenaga kesehatan yang melakukan praktik di wilayah kerja Puskesmas Monta
kabupaten Bima sudah sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP).

8
1.4. Kerangka Konseptual

Dokter Umum /
Tenaga Kesehatan
1. Pendidikan
2. Umur
3. Minat
4. Pengalaman
Pengetahuan 5. Kebudayaan
dan
lingkungan
sekitar
6. Informasi
Tindakan Pengendalian
Hepatitis B menurut SOP

Sesuai SOP Tidak sesuai SOP

Resiko Tertular Hepatitis B Resiko Tertular Hepatitis B

Keterangan:

Diteliti

Tidak Diteliti

1.4.1. Keterangan Kerangka Konsep Penelitian

Seluruh tenaga medis Puskesmas Monta yang berjumlah 60 orang dalam


melaksanakan praktik mandiri diharapkan memiliki pengetahuan menyeluruh tentang
penyakit menular. Pengetahuan merupakan respon seseorang terhadap stimulus atau
9
rangsangan yang masih bersifat terselubung yang masih terbatas pada perhatian,
persepsi, dan kesadaran, dimana terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi
pengetahuan diantaranya pendidikan, pekerjaan, umur, minat, pengalaman, kebudayaan
lingkungan sekitar, dan informasi. Para tenaga medis dalam melaksanakan praktik tidak
terlepas dari kemugkinan untuk kontak langsung ataupun tidak langsung dengan
mikroorganisme yang terdapat dalam saliva, darah dan berbagai jenis cairan fisilogis
maupun patologis dari pasien, sedangkan tidak semua pasien dengan penyakit menular
dapat langsung diidentifikasi dengan anamnesa (medical history) maka pemeriksaan
fisik atau tes laboratorium perlu dilakukan, keterbatasan inilah yang mengantar para
tenaga medis untuk menerapkan konsep pencegahan yang mengacu pada metode kontrol
infeksi terhadap semua produk darah manusia, cairan tubuh dan proktesi diri terutama
pada tindakan pengendalian diri dari infeksi hepatitis B.

Berdasarkan pemikiran diatas, praktik yang diterapkan oleh responden mengenai


tindakan pengendalian infeksi hepatitis B terdapat 2 kemungkinan yaitu jika tindakan
pengendalian infeksi hepatitis B diterapkan sesuai dengan Standar Operasional Prosedur
(SOP) maka akan meminimalkan resiko tertularnya penyakit hepatitis B dari pasien ke
operator, dan sebaliknya jika tindakan pengendalian infeksi hepatitis B tidak diterapkan
sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) maka resiko tertular penyakit
hepatitis B dari pasien ke operator akan meningkat.

1.5. Metode Penelitian

1.5.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian non eksperimental dengan rancangan


deskriptif observasional. Dikatakan penelitian deskriptif observasional, karena
penelitian tidak memberikan perlakuan terhadap sampel, bertujuan mengamati dan
mendeskripsikan kejadian atau fenomena tertentu secara sistematika, faktual, dan
mengenai sifat atau faktor tertentu (Maryani dan Muliani, 2010).

10
1.5.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Monta, kabupaten Bima. Penelitian ini


dilakukan pada bulan Januari 2019.

1.5.3. Populasi Penelitian

Populasi penelitian semua tenaga kesehatan yang terdaftar sebagai kepegawaian


Puskesmas Monta yang berjumlah 60 orang.

1.5.4. Teknik Pengambilan Sampel

Metode pengambilan sampel dilakukan dengan metode non random sampling


dengan menggunakan teknik accidental sampling. Pengambilan sampel secara
accidental sampling dilakukan dengan mengambil kasus atau responden yang kebetulan
ada atau tersedia disuatu tempat sesuai dengan konteks penelitian. (Notoadmojo, 2010).

1.5.5. Besar Sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini, dengan jumlah sampel minimal 30
sampel (Sugiono, 2013).

1.5.6. Definisi Operasional

(1) Dokter adalah seorang praktisi kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga
kesehatan, yang bertanggung jawab secara luas dalam berbagai upaya kesehatan
masyarakat khususnya dalam upaya kesehatan masyarakat di bidang promotif,
preventif dan kuratif.
(2) Pengetahuan adalah respon seseorang terhadap stimulus atau rangsangan yang
masih bersifat terselubung dan disebut perilaku tertutup (covert behavior).

11
(3) Praktik kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter terhadap
pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan.
(4) Hepatitis B adalah penyakit infeksi yang terjadi pada hati yang disebabkan oleh virus
Hepatitis B, bersifat akut atau kronis yang dapat menyebabkan sirosis hati, kanker
hati dan kematian.

1.5.7. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian dalam penelitian ini adalah :

1. Alat Tulis.
2. Kuesioner dan Check List.
3. Inform consent.

12
1.5.8. Alur Kerja

Penentuan Populasi

Penentuan sampel

Informed Consent

Kuesioner

Check List

Pengumpulan Data

Pengolahan Data

Kesimpulan

1.6. Manfaat Akademik

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan penulis dan petugas
kesehatan lainnya mengenai pengetahuan akan praktik yang sesuai dengan SOP standar
program pengendalian infeksi di Puskesmas Monta, kabupaten Bima.

13
1.6.1. Manfaat praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi kepada instansi terkait dan
petugas kesehatan sehingga dapat digunakan untuk masukan dalam pembuatan standar
operasional program pengendalian infeksi di UPTD terkait, khususnya di wilayah
kabupaten Bima.

14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hepatitis B

2.1.1. Definisi
.
Hepatitis B adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh virus Hepatitis B, suatu
anggota famili hepadnavirus yang dapat menyebabkan peradangan hati akut atau kronis
yang dapat berlanjut menjadi sirosis hati atau kanker hati. Hepatitis B akut jika
perjalanan penyakit kurang dari 6 bulan sedangkan Hepatitis B kronis bila penyakit
menetap, tidak menyembuh secara klinis atau laboratorium atau pada gambaran patologi
anatomi selama 6 bulan (Mustofa & Kurniawaty, 2013).

2.1.2. Epidemiologi

Infeksi VHB merupakan penyebab utama hepatitis akut, hepatitis kronis, sirosis, dan
kanker hati di dunia. Infeksi ini endemis di daerah Timur Jauh, sebagian besar kepulaan
Pasifik, banyak negara di Afrika, sebagian Timur Tengah, dan di lembah Amazon.
Center for Disease Control and Prevention (CDC) memperkirakan bahwa sejumlah
200.000 hingga 300.000 orang (terutama dewasa muda) terinfeksi oleh VHB setiap
tahunnya. Hanya 25% dari mereka yang mengalami ikterus, 10.000 kasus memerlukan
perawatan di rumah sakit, dan sekitar 1-2% meninggal karena penyakit fulminan (Price
& Wilson, 2012).

Sepertiga penduduk dunia diperkirakan telah terinfeksi oleh VHB dan sekitar 400
juta orang merupakan pengidap kronik Hepatitis B, sedangkan prevalensi di Indonesia
dilaporkan berkisar antara 3-17% (Hardjoeno, 2007). Virus Hepatitis B diperkirakan
telah menginfeksi lebih dari 2 milyar orang yang hidup saat ini selama kehidupan
mereka. Tujuh puluh lima persen dari semua pembawa kronis hidup di Asia dan pesisir
Pasifik Barat (Kumar et al, 2012).
15
Prevalensi pengidap VHB tertinggi ada di Afrika dan Asia. Hasil Riset Kesehatan
Dasar tahun 2007 menunjukkan bahwa Hepatitis klinis terdeteksi di seluruh provinsi di
Indonesia dengan prevalensi sebesar 0,6% (rentang: 0,2%-1,9%). Hasil Riskesdas
Biomedis tahun 2007 dengan jumlah sampel 10.391 orang menunjukkan bahwa
persentase HBsAg positif 9,4%. Persentase Hepatitis B tertinggi pada kelompok umur
45- 49 tahun (11,92%), umur >60 tahun (10.57%) dan umur 10-14 tahun (10,02%),
selanjutnya HBsAg positif pada kelompok laki-laki dan perempuan hampir sama (9,7%
dan 9,3%). Hal ini menunjukkan bahwa 1 dari 10 penduduk Indonesia telah terinfeksi
virus Hepatitis B (Kemenkes, 2012).

2.1.3. Penularan Hepatitis B

Cara utama penularan VHB adalah melalui parenteral dan menembus membran
mukosa, terutama berhubungan seksual (Price & Wilson, 2012). Penanda HBsAg telah
diidentifikasi pada hampir setiap cairan tubuh dari orang yang terinfeksi yaitu saliva, air
mata, cairan seminal, cairan serebrospinal, asites, dan air susu ibu. Beberapa cairan
tubuh ini (terutama semen dan saliva) telah diketahui infeksius (Thedja, 2012).

Jalur penularan infeksi VHB di Indonesia yang terbanyak adalah secara parenteral
yaitu secara vertikal (transmisi) maternal-neonatal atau horizontal (kontak antar
individu yang sangat erat dan lama, seksual, iatrogenik, penggunaan jarum suntik
bersama). Virus Hepatitis B dapat dideteksi pada semua sekret dan cairan tubuh
manusia, dengan konsentrasi tertinggi pada serum (Juffrie et al, 2010).

2.1.4. Patofisiologi Hepatitis B

Sel hati manusia merupakan target organ bagi virus Hepatitis B. Virus Hepatitis B
mula-mula melekat pada reseptor spesifik di membran sel hepar kemudian mengalami
penetrasi ke dalam sitoplasma sel hepar. Virus melepaskan mantelnya di sitoplasma,
sehingga melepaskan nukleokapsid. Selanjutnya nukleokapsid akan menembus sel
dinding hati.

16
Asam nukleat VHB akan keluar dari nukleokapsid dan akan menempel pada DNA
hospes dan berintegrasi pada DNA tersebut. Proses selanjutnya adalah DNA VHB
memerintahkan sel hati untuk membentuk protein bagi virus baru. Virus Hepatitis B
dilepaskan ke peredaran darah, terjadi mekanisme kerusakan hati yang kronis
disebabkan karena respon imunologik penderita terhadap infeksi (Mustofa &
Kurniawaty, 2013).

Proses replikasi virus tidak secara langsung bersifat toksik terhadap sel, terbukti
banyak carrier VHB asimtomatik dan hanya menyebabkan kerusakan hati ringan.
Respon imun host terhadap antigen virus merupakan faktor penting terhadap kerusakan
hepatoseluler dan proses klirens virus, makin lengkap respon imun, makin besar klirens
virus dan semakin berat kerusakan sel hati. Respon imun host dimediasi oleh respon
seluler terhadap epitop protein VHB, terutama HBsAg yang ditransfer ke permukaan sel
hati. Human Leukocyte Antigen (HLA) class I-restricted CD8+ cell mengenali fragmen
peptida VHB setelah mengalami proses intrasel dan dipresentasikan ke permukaan sel
hati oleh molekul Major Histocompability Complex (MHC) kelas I. Proses berakhir
dengan penghancuran sel secara langsung oleh Limfosit T sitotoksik CD8+ (Hardjoeno,
2007).

2.1.5. Manifestasi Klinis Hepatitis B

Manifestasi klinis infeksi VHB pada pasien hepatitis akut cenderung ringan. Kondisi
asimtomatis ini terbukti dari tingginya angka pengidap tanpa adanya riwayat hepatitis akut.
Apabila menimbulkan gejala hepatitis, gejalanya menyerupai hepatitis virus yang lain
tetapi dengan intensitas yang lebih berat (Juffrie et al, 2010). Gejala hepatitis akut terbagi
dalam 4 tahap yaitu:

1.) Fase Inkubasi.


Merupakan waktu antara masuknya virus dan timbulnya gejala atau ikterus. Fase
inkubasi Hepatitis B berkisar antara 15-180 hari dengan rata-rata 60-90 hari.

17
2.) Fase Prodromal (pra - ikterik).
Fase diantara timbulnya keluhan-keluhan pertama dan timbulnya gejala ikterus.
Awitannya singkat atau insidous ditandai dengan malaise umum, mialgia, artalgia,
mudah lelah, gejala saluran napas atas dan anoreksia. Diare atau konstipasi dapat terjadi.
Nyeri abdomen biasanya ringan dan menetap di kuadran kanan atas atau epigastrum,
kadang diperberat dengan aktivitas akan tetapi jarang menimbulkan kolestitis.

3.) Fase Ikterus.


Ikterus muncul setelah 5-10 hari, tetapi dapat juga muncul bersamaan dengan
munculnya gejala. Banyak kasus pada fase ikterus tidak terdeteksi. Setelah timbul
ikterus jarang terjadi perburukan gejala prodromal, tetapi justru akan terjadi perbaikan
klinis yang nyata.

4.) Fase Konvalesen (penyembuhan).


Diawali dengan menghilangnya ikterus dan keluhan lain, tetapi hepatomegali dan
abnormalitas fungsi hati tetap ada. Muncul perasaan sudah lebih sehat dan kembalinya
nafsu makan. Sekitar 5-10% kasus perjalanan klinisnya mungkin lebih sulit ditangani,
hanya <1% yang menjadi fulminan (Sudoyo et al, 2009). Hepatitis B kronis
didefinisikan sebagai peradangan hati yang berlanjut lebih dari enam bulan sejak timbul
keluhan dan gejala penyakit.

18
Perjalanan hepatitis B kronik dibagi menjadi tiga fase penting yaitu :

1.) Fase Imunotoleransi.

Sistem imun tubuh toleren terhadap VHB sehingga konsentrasi virus tinggi dalam darah,
tetapi tidak terjadi peradangan hati yang berarti. Virus Hepatitis B berada dalam fase
replikatif dengan titer HBsAg yang sangat tinggi.

2.) Fase Imunoaktif (Clearance)

Sekitar 30% individu persisten dengan VHB akibat terjadinya replikasi virus yang
berkepanjangan, terjadi proses nekroinflamasi yang tampak dari kenaikan konsentrasi ALT.
Fase clearance menandakan pasien sudah mulai kehilangan toleransi imun terhadap VHB.

3.) Fase Residual

Tubuh berusaha menghancurkan virus dan menimbulkan pecahnya sel-sel hati yang terinfeksi
VHB. Sekitar 70% dari individu tersebut akhirnya dapat menghilangkan sebagian besar
partikel virus tanpa ada kerusakan sel hati yang berarti. Fase residual ditandai dengan titer
HBsAg rendah, HBeAg yang menjadi negatif dan anti-HBe yang menjadi positif, serta
konsentrasi ALT normal (Sudoyo et al, 2009).

19
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil Penelitian

Penelitian tentang “Gambaran Tingkat Pengetahuan dan Praktik yang Menyangkut


Pengendalian Infeksi Hepatitis B dari Pasien ke Operator di Puskesmas Monta
Kabupaten Bima” dilakukan pada bulan Januari 2019 di puskesmas Monta. Sampel
dipilih dengan metode non random sampling. Penelitian dilakukan dengan cara
membagikan kuesioner dan pengamatan langsung oleh peneliti menggunakan check list.

Pada kuesioner yang dibagikan dan check list yang diamati peneliti, pada variabel
pengetahuan tidak disediakan pertanyaan dengan anggapan rerata pengetahuan
mengenai prosedur pencegahan penyakit infeksi dianggap cukup sedangkan untuk
variabel tindakan (Praktik) terdiri dari 15 pernyataan.

3.1.1. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Tindakan Terhadap Pengendalian


Infeksi Hepatitis B.

Hasil pengamatan tindakan pencegahan penyakit menular pada daftar check list dari
30 responden dapat dilihat pada tabel berikut ini:

20
Tabel III.1 Distribusi frekuensi tindakan berdasarkan jumlah tenaga
kesehatan yang melakukan dan tidak melakukan prosedur
yang telah ditetapkan.

Check List Benar Persentase Salah Persentase


No. Jumlah % Jumlah %
1. Vaksinasi HBV. 5 17 % 25 83 %
2. Sterilisasi alat. 25 83 % 5 17 %
3. Pakaian
pelindung. 30 100 % 0 0%
4. Kuku
bersih/pendek. 30 100 % 0 0%
5. Perhiasan
pribadi. 28 93 % 2 7%
6. Masker. 28 93 % 2 7%
7. Mencuci tangan. 30 100 % 0
8. Anamnesa
penyakit 28 93 % 2 7%
menular.
9. Kacamata
pelindung. 0 0% 30 100 %
10. Sarung tangan. 28 93 % 2 7%
11. Sterilisasi
alat setiap 25 83 % 5 17 %
pergantian
pasien.
12. Membersihkan
area terkait 30 100 % 0 0%
tindakan.
13. Menutup jarum
suntik (waste). 27 90 % 3 10 %
14. Riwayat
mendapat luka
dari perawatan 28 93 % 2 7%
pasien.
15. Peringatan
tertulis. 7 24 % 23 76 %

21
Dari hasil tabel III.1 menunjukkan responden yang tidak melakukan tindakan sesuai
prosedur yang telah ditetapkan 3 terbanyak yaitu pertanyaan nomor 9 sebanyak 30
responden (100%) tanpa kaca mata pelindung yang berfungsi melindungi mata dan
selaput lendir dari kerusakan partikel makroskopik, cidera kimia, dan infeksi mikroba,
dan check list selanjutnya terbanyak ke dua yaitu nomor 15 sebanyak 23 responden
(76,6%) menandakan masih kurangnya peringatan tertulis yang berada di ruangan untuk
mengingatkan operator, untuk meminimalkan terjadinya penularan penyakit kemudian
nomor 1 sebanyak 25 responden (83%) belum mendapatkan vaksinasi HBV yang
berfungsi untuk perlindungan diri dari terjangkitnya virus hepatitis B.

3.2 Pembahasan

Penyakit menular adalah penyakit yang dapat ditularkan melalui berbagai media.
Penyakit jenis ini merupakan masalah kesehatan yang besar di hampir semua negara
berkembang karena angka kesakitan dan kematiannya yang relatif tinggi dalam kurun
waktu yang relatif singkat. Penyakit menular umumnya bersifat akut (mendadak) dan
menyerang semua lapisan masyarakat. Penyakit jenis ini diprioritaskan penanganannya
mengingat sifat menularnya yang bisa menimbulkan wabah dan menimbulkan kerugian
baik sosial maupun material dalam jumlah yang signifikan. (Widoyono, 2011).

Hepatitis B merupakan infeksi pada hati yang disebabkan oleh virus Hepatitis B (HBV),
yang menyebabkan peradangan dan pembengkakan hati, dan bisa sampai terjadi kerusakan
hati yang nyata dan bersifat berbahaya. Penderita seringkali tidak merasakan dan
menyadari bahwa dirinya sedang terinfeksi oleh virus Hepatitis B, karena keluhan akan
penyakit ini terkadang tidak bersifat spesifik, atau bahkan tidak memunculkan gejala sama
sekali (Lukman, 2008).

Pada kuesioner yang dibagikan dan check list yang diamati peneliti, pada variabel
pengetahuan tidak disediakan pertanyaan dengan anggapan rerata pengetahuan
mengenai prosedur pencegahan penyakit infeksi dianggap cukup sedangkan untuk
variabel tindakan (Praktik) terdiri dari 15 pernyataan.

22
Tabel III.1 menunjukkan hasil pengamatan tindakan pengendalian penyakit infeksi
Hepatitis B di puskesmas Monta. Pada daftar check list masih terdapat responden yang
belum melaksanakan semua prosedur. Berdasarkan hasil dari tabel III.1 menunjukkan
responden yang tidak melakukan tindakan sesuai prosedur yang berlaku telah ditetapkan 3
terbanyak yaitu pertanyaan nomor:

1.) No. 9 sebanyak 30 responden (100%) tanpa kacamata pelindung, berdasarkan


hasil pengamatan peneliti belum terdapat adanya tenaga kesehatan yang menerapkan hal
tersebut, hal ini pun terkait oleh minimnya pengadaan APD kacamata pelindung, sehingga
para tenaga kesehatan tidak memenuhi salah satu poin prosedur dalam penanganan dan
pencegahan penyakit infeksi. Kacamata pelindung berfungsi melindungi mata dan selaput
lender dari kerusakan partikel makroskopik, cedera kimia, dan infeksi mikroba. Namun,
berdasarkan hasil pengamatan peneliti (0%) yang menerapkan hal tersebut maka jalan
menuju penularan infeksi semakin tinggi.

2.) No. 15 yaitu peringatan tertulis yang berada di ruangan tindakan atau perawatan
untuk mengingatkan operator, guna meminimalisir terjadinya penularan penyakit menular
sebanyak 23 responden (76%) dari 30 responden. Dari pengamatan peneliti mendapatkan
bahwa belum ada peringatan yang terdapat di dinding ruang tindakan ataupun perawatan,
untuk mengingatkan operator terhadap pencegahan dan pengendalian program infeksi,
yang diharapkan bisa meminimalisir terjadinya penularan penyakit.

3.) Selanjutnya no 1 yaitu 25 dari 30 responden (83%) yang belum mendapatkan


vaksin HBV, dalam hal ini hanya 5 orang dari keseluruhan sampel yang pernah mendapatkan
vaksin hepatitis B. Menurut WHO (2011), pemberian vaksin Hepatitis B diyakini 95% efektif
mencegah berkembangnya penyakit menjadi carrier, dan dengan ditemukannya vaksin
hepatitis B, maka program pencegahan infeksi terhadap HBV dapat dilaksanakan dengan lebih
efektif. Dimana sesuai dengan basic 6 program puskesmas, lebih khususnya terletak di poin 4,
yaitu salah satu program pokok puskesmas yaitu pencegahan dan pemberantasan penyakit
menular.

23
Berdasarkan penelitian – penelitian pendahuluan yang pernah dilakukan baik itu
didalam negeri maupun diluar negeri, yang meneliti tentang topik pembahasan yang sama
dengan peneliti terkait, maka didapatkan hasil yang signifikan, yaitu :

1.) Pada penelitian ini didapatkan bahwa ada 30 responden (100%) yang tidak pernah
mengenakan kacamata pelindung, serta ada 23 responden (76%) menandakan masih kurangnya
peringatan tertulis yang ditempel di ruangan tindakan maupun perawatan untuk mengingatkan
operator agar meminimalisir angka penularan penyakit. Paparan langsung dari beberapa
responden mengungkapkan bahwa mereka berusaha menciptakan suasana yang nyaman saat
bekerja, dalam hal ini menurut mereka bila menggunakan kacamata pelindung, dapat
menghambat mereka saat bekerja. Ha ini juga serupa dijumpai pada penelitian Wibowo
Parisihni dan Haryanto pada tahun 2015 tentang “Proteksi Dokter Sebagai Pemutus Rantai
Infeksi Silang” dimana didapatkan hanya 12 responden (37,5%) yang menggunakan kacamata
pelindung. Selain itu, hal ini mungkin disebabkan karena mahalnya harga kacamata pelindung
dan berkurangnya efek kenyamanan ketika pemakaian APD terkait.

2.) Pada penelitian ini pula terlihat bahwa masih banyaknya responden yang belum
melakukan vaksinasi Hepatitis B, sebanyak 25 responden (83%), dan yang telah divaksinasi
sebanyak 5 responden (17%). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Razak,
Joffrey dan Ahmadi pada tahun 2014 dengan judul “Cross Infection Control Methods Adopted
by Medical and Dental Practitioners in Benin City, Nigeria”. Dimana dari 113 sampel yang
diteliti hanya ada 12 orang (22,1%) yang telah divaksin Hepatitis, dan 101 sisanya (88.9%)
belum mendapatkan vaksin Hepatitis. Hal ini menunjukkan bahwa masih kurangnya kesadaran
tenaga kesehatan terkait dalam hal proteksi diri dari penyakit menular. Sudah seharusnya
pemberian edukasi, dan pelatihan mengenai langkah – langkah pengendalian infeksi perlu
dilakukan sebelum memasuki kegiatan praktik.

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan peneliti pada tempat penelitian yaitu


puskesmas Monta, salah satu alasan terkait tingginya angka tenaga kesehatan yang tidak
mendapatkan vaksin Hepatitis B yaitu, karena belum tersedianya vaksin ketika waktu optimal
pemberian vaksin tersebut seharusnya diberikan, dan juga cenderung menyepelekan
pentingnya vaksin Hepatitis B sebagai langkah pertama pencegahan penyakit menular
24
Hepatitis B. Selain itu, keterbatasan waktu untuk menyempatkan diri mendapatkan vaksinasi
karena kesibukan masing – masing. Diharapkan kedepan, kesadaran akan pentingnya vaksinasi
menjadi pertimbangan utama untuk mendapatkan proteksi bagi tubuh dari Hepatitis B dan
dianjurkan terlebih dahulu melakukan pemeriksaan lab HBsAg dan melakukan vaksinasi
booster.

25
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian tentang “Gambaran Tingkat Pengetahuan dan Praktik yang


Menyangkut Pengendalian Infeksi Hepatitis B Dari Pasien Ke Operator Di Puskesmas Monta”,
dapat diambil kesimpulan :

Pelaksanaan praktik pengendalian infeksi hepatitis B di Puskesmas Monta belum


sepenuhnya optimal sehingga memberikan potensi terhadap infeksi hepatitis B dari pasien
ke operator. Diperlukan perbaikan dari berbagai aspek yang memang belum terdapat di
Puskesmas Monta, hal – hal yang antara lain sudah disebutkan dan dibahas pada kuesioner
yang dibagikan, juga dalam hal pembuatan mekanisme SOP PPI (pencegahan dan
pengendalian penyakit infeksi) yang sesuai dengan standar pada UPTD terkait. Selain itu,
kaitannya dengan pengetahuan tenaga kesehatan, diharapkan kesadaran akan perilaku yang
lebih baik dalam penanganan pasien dan pencegahan penularan penyakit yang bisa dimulai
dari individu itu sendiri.

4.2 Saran
Untuk Dinas Kesehatan Kabupaten Bima agar penelitian ini dapat dijadikan informasi
tentang perbaikan manajemen program pengendalian dan pencegahan penyakit infeksi.

Untuk Puskesmas Monta :


1. Agar memahami pentingnya imunisasi terkait penyakit infeksi, khususnya dalam hal
ini adalah penyakit Hepatitis B.
2. Pemahaman menyeluruh akan hal – hal terkait upaya promotif, dan preventif terkait
penanganan penyakit Hepatitis B.
3. Diperlukan adanya pembuatan SOP terkait PPI yang memudahkan upaya perbaikan
kesehatan di wilayah kerja Puskesmas Monta.

26
DAFTAR PUSTAKA

Akbar H. N., 2007. Hepatitis B in: Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati. 1st ed. Jakarta: Jayabadi
pp. 201-4.

Akib K, M., et al. (2008). Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit
dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Lainnya. Jakarta: Departemen Kesehatan RI &
PERDALIN.

CDC.2007. Guidelines for Isolation Precautions: Preventing Transmission of Infections


Agents in Health Setting
http://cdc.gov/hicpac//pdf/isolation/isolations2007.pdf (20 Januari 2019)

Depkes. (2017). Profil Kesehatan NTB Tahun 2017. mataram: Marjito, S.Si., SKM., M.Kes.

Dienstag J. L., Wands J. R., Koff R. S., 1995. Acute Hepatitis, in: Harrison’s Principles of
Internal Medicine 1. 11th ed. USA: McGrawHill pp. 1325-38.

Hendrarahardja., 2003. Hepatitis Viral Akut, in: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 1st ed.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI pp. 253-8.

Rinendy D. Hubungan antara pengetahuan dan sikap mahasiswa profesi dengan tindakan
pencegahan penyakit menular di RSGM Universitas Jember.
Jember: Universitas Jember, 2012: 32.

Schaffer, et al. (2000). Seri Pedoman Praktis: Pencegahan Infeksi dan Praktik Yang Aman.
Jakarta: Penerbit EGC.

Tietjen,L (2004). Panduan Pencegahan Infeksi untuk Fasilitas Pelayanan Kesehatan.


Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

27
LAMPIRAN
KUISIONER PENELITIAN

Peneliti: dr. Dwirama Ivan Prakoso Rahmadi


(Dokter Internsip Puskesmas Monta Periode Oktober 2018 – Februari 2019)

Gambaran Tingkat Pengetahuan Dan Praktik Yang Menyangkut Pengendalian Infeksi


Hepatitis B Dari Pasien Ke Operator Di Puskesmas Monta
Kabupaten Bima

Mohon dijawab sesuai dengan perilaku anda (responden) saat penanganan pasien, untuk
pertanyaan berikut ini:
KADANG –
NO PERTANYAAN YA TIDAK KADANG ALASAN
(Y) (T) (K)
Apakah diri anda sudah
1 pernah mendapat
vaksinasi HBV secara
lengkap?
Apakah anda senantiasa
2 melakukan sterilisasi
alat post tindakan
terhadap pasien Hepatitis
B?
Apakah anda senantiasa
mengenakan pakaian
3 pelindung yang
dianjurkan saat
menangani pasien
Hepatitis B?
Apakah anda senantiasa
memastikan kebersihan
4 kuku tangan sebelum
dan sesudah melakukan
tindakan terhadap pasien
Hepatitis B?
Apakah anda
5 mengenakan perhiasan
pribadi saat menangani
pasien Hepatitis B?
6 Apakah anda senantiasa
memakai masker saat
menangani pasien
Hepatitis B?

28
Apakah anda senantiasa
7 mencuci tangan sebelum
dan sesudah menangani
pasien Hepatitis B?
Apakah anda
menanyakan (anamnesis)
8 riwayat penyakit
menular pada pasien
Hepatitis B?
Apakah anda senantiasa
memakai kacamata
9 pelindung saat
menangani pasien
Hepatitis B?
Apakah anda senantiasa
10 memakai sarung tangan
sebelum menangani
pasien Hepatitis B?
Apakah anda senantiasa
melakukan sterilisasi
11 alat setiap pergantian
penanganan pasien
Hepatitis B?
Apakah anda senantiasa
membersihkan area
12 terkait tindakan sesudah
menangani pasien
Hepatitis B?
Apakah anda senantiasa
melakukan prosedur
13 penanganan jarum
suntik sesudah
menangani pasien
Hepatitis B?
Apakah anda pernah
14 mendapat luka
saat/sesudah menangani
pasien Hepatitis B?
Apakah anda melakukan
edukasi akan
15 peringatan tertulis pada
pasien Hepatitis
B/keluarga pasien?

29

Anda mungkin juga menyukai