Anda di halaman 1dari 46

BAB I

LAPORAN KASUS

STATUS PASIEN LAPORAN KASUS


KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH KOTA TEGAL

Nama : Dewi Rizqi Matdoan Pembimbing : dr. Raden Setiyadi, Sp.A

NIM : 030.12.073 Tanda tangan :

1.1 IDENTITAS PASIEN

2.1 DATA PASIEN AYAH IBU

Nama An. SK Tn. M Ny. SA


Umur 3 Bulan 34 Tahun 34 Tahun
Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki Perempuan
Alamat Lumingser 12/02. Adiwerna Kabupaten
Agama Islam Islam Islam
Suku Bangsa Jawa Jawa Jawa
Pendidikan SD STM SMA
Pekerjaan - Buruh Ibu Rumah Tangga
Penghasilan Rp. 1.000.000 – Rp. 2.000.000 /bulan
Keterangan Hubungan orangtua dengan anak adalah anak kandung
Asuransi BPJS
No. RM 937436

1
1.2 ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara Alloanamnesis terhadap ibu kandung pasien pada


tanggal 2 Januari 2019 pukul 14.30 WIB, di ruang PICU RSU Kardinah Tegal

A. Keluhan Utama : Sesak Sejak 5 Hari SMRS

B. Keluhan Tambahan : Batuk dan Pilek , Serta Demam Sejak 5 Hari SMRS

C. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dibawa orang tua ke IGD RSU Kardinah Tegal tanggal 28 Desember
2018 dengan keluhan sesak sejak 5 hari SMRS, sesak semakin memberat dan terus menerus,
sesak juga timbul saat pasien batuk , sehigga pasien tampak biru, muntah setelah batuk dan
batuk diikuti tarikan nafas besar disangkal. Sebelumnya pasien demam dan pilek sejak 1
minggu SMRS. Demam terus meningkat dan menurun apabila diberikan obat penurun
panas. Kejang disangkal. Mual muntah hanya sesekali tidak terus menerus bila diberikan
ASI. BAB dan BAK lancar, tidak ada keluhan. Sebelum pasien mengalami keluhan batuk.
1 minggu sebelumnya ibu pasien mengeluh adanya batuk dan sudah berobat didokter
dikatakan radang tenggrokan. Sejak batuk ibu pasien tidak pernah memakai masker bila
kontak dengan pasien. Keluhan keringat malam, penurunan berat badan, sesak, nyeri sendi
atau pembengkakan tidak dikeluhkan oleh ibu pasien. Saat di IGD didapatkan TTV suhu
36.70C, HR: 139x/menit, RR: 28x/menit, SPO2: 98& dengan nasal canul. Pasien kemudian
dirawat inap di ruangan PICU RSU Kardinah Kota Tegal.

D. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien belum pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Riwayat kejang


sebelumnya disangkal. Riwayat Asma dan Alergi disangkal. Pasien juga tidak memiliki
riwayat operasi sebelumnya
E. Riwayat Penyakit Keluarga

Orang Tua pasien mengaku tidak ada keluarga pasien yang pernah mengalami keluhan
serupa. Tidak ada keluarga yang memiliki penyakit jantung bawaan ataupun asma. Riwayat
penyakit batuk-batuk lama atau pengobatan flek paru juga disangkal. Riwayat hipertensi
dan diabetes mellitus pada orang tua juga disangkal.

2
F. Riwayat Lingkungan Perumahan

Pasien tinggal di rumah milik orang tua pasien. Rumah tersebut berukuran ± 4
x 9 m2, memiliki 1 kamar tidur dengan 1 kamar mandi dan 1 dapur, beratap genteng,
berlantai ubin, berdinding tembok. Di rumah tersebut tinggal kedua orang tua pasien
dan pasien sendiri. Rumah rajin dibersihkan setiap hari dari mulai disapu sampai
membersihkan debu-debu ruangan. Cahaya matahari dapat masuk ke dalam rumah,
lampu tidak dinyalakan pada siang hari. Jika jendela dibuka maka udara dalam rumah
tidak pengap. Jarak septic tank dengan wc ± 9 m.

Kesan: Keadaan lingkungan rumah dan sanitasi baik, ventilasi dan pencahayaan
baik.

G. Riwayat Sosial Ekonomi


Ayah pasien berprofesi sebagai Wiraswasta dengan penghasilan ± Rp
3.000.000,- per bulan. Ibu pasien berprofesi sebagai Ibu Rumah Tangga. Penghasilan
tersebut menanggung hidup 3 orang, kedua orang tua pasien dan pasien sendiri.

H. Riwayat Kehamilan, Pemeriksaan Prenatal, dan Kelahiran


Anemia (-), hipertensi (+), diabetes melitus (-),
penyakit jantung (-), penyakit paru (-),
Morbiditas kehamilan
merokok(-), infeksi (-), minum alkohol (-),
KPD(+)
Rutin kontrol ke puskesmas 1 kali setiap bulan
Kehamilan
sampai usia kehamilan 7 bulan dan setiap 2
minggu sekali setelahnya sampai menjelang masa
Perawatan antenatal
persalinan. Riwayat imunisasi TT (+) 2 x,
konsumsi suplemen selama kehamilan (-), riwayat
minum obat tanpa resep dokter dan jamu (-)
Tempat persalinan Rumah Sakit
Penolong persalinan Dokter spesialis Kandungan
Cara persalinan SC
Kelahiran
Masa gestasi Cukup bulan (9 bulan)
Berat lahir : 3600 gr
Keadaan bayi
Panjang lahir: 50 cm

3
Lingkar kepala : (orangtua pasien tidak ingat)
Langsung menangis (+)
Kemerahan: (orang pasien tidak ingat)
Nilai APGAR: (orangtua tidak tahu)
Kelainan bawaan: (-)
Kesan : Riwayat perawatan antenatal cukup baik Neonatus aterm, lahir SC,
bayi dalam keadaan bugar.
I. Riwayat Pemeliharaan Postnatal

Pemeliharaan setelah kelahiran dilakukan di Rumah Sakit oleh dokter spesialis


kandungan, bayi dalam keadaan sehat.

J. Corakan Reproduksi Ibu

No Tahun Jenis Hidup Lahir Abortus Mati Keterangan


Lahir Kelamin mati (sebab) Kesehatan
1. 2018 P + - - - Pasien

K. Riwayat Keluarga Berencana


Ibu pasien mengaku saat ini menggunakan KB Pil secara berkala.
I. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Anak

o Pertumbuhan :

Berat badan lahir anak 3600 gram. Berat badan sekarang 6.4 kg dengan panjang
badan sekarang 57 cm. Usia pasien saat ini adalah 3 bulan
o Perkembangan :
Pertumbuhan gigi pertama: - bulan (Normal: 5-9 bulan)
Motorik Kasar
o Tengkurap : - bulan (Normal: 3-5 bulan)
o Duduk kepala tegak : - bulan (Normal: 6-9 bulan)
o Berdiri : - bulan (Normal: 9-12 bulan)
o Berjalan : - bulan (Normal: 12-18 bulan)
o Mengucapkan kata : - bulan (Normal: 9-12 bulan)
o Makan Sendiri : - bulan (Normal: 18-24 bulan)
Kesan : belum dapat dinilai pertumbuhan dan perkembangan pasien saat ini

4
M. Riwayat Makan dan Minum

 Umur
(bulan) ASI/PASI Buah/ Biskuit Bubur Susu Nasi Tim

0–3 ASI - - -

Kesimpulan riwayat makanan: Pasien mendapatkan ASI ekslusif, kualitas dan


kuantitasnya cukup.
N. Riwayat Imunisasi
ULANGAN
VAKSIN DASAR (umur)
(umur)
BCG 1 bulan - - - - - -
DPT - - - - - - -
POLIO 0 bulan - - - - - -
CAMPAK - - - - - - -
HEPATITIS B 0 bulan - - - - - -
Kesan : pasien belum melakukan imunisasi dasar usia 2 dan 3 bulan
O. Silsilah Keluarga

Ayah Pasien Ibu pasien Pasien

5
1.3 PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 2 Januari 2019, Pukul 14.30, di Ruangan
Rawat PICU RSU Kardinah.

I. Keadaan Umum
Coma (GCS = E4, V6, M5) Tampak sakit berat.
II. Tanda Vital
Tekanan darah : Tidak dilakukan pemeriksaan
Nadi : 142x/menit reguler, kuat, isi cukup
Laju nafas : 35x/menit reguler
Suhu : 36,0 oC, Axilla
SpO2 : 95 % tanpa Oksigen
III. Data Antropometri
Berat badan sekarang : 6.4 kilogram
Tinggi badan sekarang : 57 cm
Lingkar lengan atas : - cm
Lingkar Kepala : 39 cm
IV. Status Internus
 Kepala : Normosefali, lingkar kepala 39 cm, UUB dbn

 Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut

 Mata : Conjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), oedem palpebra (-/-), mata

cekung (-/-), ptosis (-/-) pupil bulat, isokor

 Hidung : Bentuk normal, deformitas (-), deviasi (-), sekret (-/-), napas cuping

hidung (-)

 Telinga : Normotia, discharge (-/-)

 Mulut : Bibir kering (-), bibir sianosis (-), stomatitis (-), labioschizis (-),

palatochizis (-), gusi berdarah (-)

 Leher : Simetris, tidak terdapat pembesaran KGB,

 Thorax : Dinding thorax normothorax dan simetris

6
o Paru :

 Inspeksi : Tampak sedikit sesak, Bentuk dada simetris kanan – kiri.


Sternum dan iga normal. Retraksi (-) Gerak napas simetris, tidak ada
hemithorax yang tertinggal.

 Palpasi : Simetris, tidak ada yang tertinggal

 Perkusi : tidak dilakukan

 Auskultasi : Suara nafas vesikuler(+/+), rhonki (+/+), wheezing (-/-).

o Cor :

 Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

 Palpasi : Tidak ada hemithoraks yang tertinggal

 Perkusi : Tidak dilakukan pemeriksaan

 Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)

 Abdomen :

 Inspeksi : Datar, simetris

 Auskultasi : Bising usus (+)

 Palpasi : Supel, distensi (-), turgor kembali < 2 detik, hepar tidak teraba,
lien tidak teraba , ascites (-)

 Perkusi : Redup di 2 kuadran atas, timpani 2 kuadran bawah

 Genitalia : tidak ada kelainan, jenis kelamin laki-laki

 Ekstremitas: Keempat ekstrimitas lengkap, simetris

Superior Inferior
Akral Dingin -/- -/-
Akral Sianosis -/- -/-
CRT <2” <2”
Oedem -/- -/-
Tonus Otot Normotonus Normotonus
Trofi Otot Normotrofi Normotrofi

7
V. Status Neurologis
 Tanda rangsang meningeal :
- Kaku kuduk : (-)
- Brudzinski I : (-)
- Brudzinski II : (-)
- Kernig : (-)
- Laseque : (-)
 Reflek fisiologis : (+/+)
 Refleks patologis : (-/-)
D. PEMERIKSAAN KHUSUS
Lingkar Kepala (Kurva Nellhaus)

Lingkar kepala : 39 cm
Kesan: Normosefali
 Pemeriksaan Status Gizi

 Data Antropometri Perhitungan status gizi (menurut WHO)

Anak perempuan usia 3 bulan BB/U =


TB 57 cm TB/U=
BB 6.4 cm BB/TB =
Kesan : Status gizi baik

8
9
1.4 Pemeriksaan Penunjang
Hasil pemeriksaan Laboratorium
28/12/18 02/01/19 Nilai Rujukan
CBC
Hemoglobin 10,1 11.4 10,1-12,9 g/dl
Lekosit 21.2 16.3 6.0-17.5 103/µl
Hematokrit 31.9 34.8 28-42%
Trombosit 604 591 229-553 103/µl
Eritrosit 3.8 4.1 3.2-5.2 106/µl
RDW 14.0 13.9 11,5-14,5%
MCV 84.8 85.3 73-109 U
MCH 26.7 27.9 21-33 Pcg
MCHC 33.9 32.8 28-32 g/dl
Netrofil 42.0 - 25-60 %
Limfosit 52.8 - 25-50 %
Monosit 4,8 - 1-6 %
Eosinofil 0 - 1-5
Basofil 0,3 - 0-1
KIMIA KLINIK
Elektrolit
Natrium 139.7 - 132-145 mmol/L
Kalium 6.74 - 3.1-5.1 mmol/L
Klorida 108.3 - 95-111 mmol/L
Glukosa seweaktu 101 - 50.0-80.0 mg/dL

Hasil pemeriksaan Foto Thorax AP/Lat/keduanya

10
Keterangan:
COR: bentuk dan letak jantung normal
Pulmo : corakan bronkovaskular tampak menigkat, tampak bercak pada kedua lapang paru, tak
tampak penebalan hilus kanan dan kiri, sinus costophrenicus kana dan kiri tampak
lancip.Tak tampak kelainan pada tulang dan soft tissue
Kesan :
Cor tak membesar
Gambaran Bronchopneumonia

RESUME
Pasien datang dibawa orang tua ke IGD RSU Kardinah Tegal tanggal 28 Desember 2018
dengan keluhan sesak sejak 5 hari SMRS, sesak semakin memberat dan terus menerus, sesak
juga timbul saat pasien batuk , sehigga pasien tampak biru, muntah setelah batuk dan batuk
diikuti tarikan nafas besar . Sebelumnya pasien demam dan pilek sejak 1 minggu SMRS.
Demam terus meningkat. Sebelum pasien mengalami keluhan batuk. 1 minggu sebelumnya ibu
pasien mengeluh adanya batuk dan sudah berobat didokter dikatakan radang tenggrokan. Sejak

11
batuk ibu pasien tidak pernah memakai masker bila kontak dengan pasien. Keluhan keringat
malam, penurunan berat badan, sesak, nyeri sendi atau pembengkakan tidak dikeluhkan oleh
ibu pasien. Saat di IGD didapatkan TTV suhu 36.70C, HR: 139x/menit, RR: 28x/menit, SPO2:
98& dengan nasal canul.
Pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis dengan GCS 15. Tampak sakit
berat. Nadi : 142x/menit reguler, kuat, isi cukup. Laju nafas : 35x/menit reguler.Suhu: 36,0oC,
Axilla.SpO2: 95 % tanpa Oksigen. Data antropemetri BB sekarang 6.4 kg dengan TB 57cm
pada kurva WHO didapatkan gizi baik. Status internus LK 39 cm inspeksi paru tampak sedikit
sesak saat di auskultasi terdengar Rh+/+ kedua lapang paru . pemeriksaan umum lainnya dalam
batas normal.
Pemeriksaan laboratorium pada tanggal 28/12/18 didapatkan leukositosis 21.2 103/µl dan
MCHC meningkat 33.9 g/dl, trombositosis 604 103/µl, kalium meningkat 6.74 mmol/L. GDS
101 mg/dL, dilakukan pemeriksaan ulang darah rutin tanggal 2/1/19 leukosit 16.3 103/µl,
trombosit 591 103/µl. Pada pemeriksaan foto Thorax AP COR: bentuk dan letak jantung normal
Pulmo : corakan bronkovaskular tampak menigkat, tampak bercak pada kedua lapang paru, tak
tampak penebalan hilus kanan dan kiri, sinus costophrenicus kana dan kiri tampak lancip.Tak
tampak kelainan pada tulang dan soft tissue KESAN : gambaran bronchopneumonia

F. DAFTAR MASALAH
 Sesak
 Batuk
 Demam
 Biru saat batuk
 Ditemukan Rhonki pada kedua lapang paru
 Imunisasi dasar tidak lengkap
 Hasil pemeriksaan penunjang : leukositosis dan gambaran bronchopneumonia.
G. DIAGNOSIS BANDING
Sesak dan batuk dan biru  Pneumonia
 Bronkopneumonia
 Like pertusis Syndrome
 CHF
Status Gizi  Gizi kurang
 Gizi buruk
 Gizi normal

12
F. PEMERIKSAAN ANJURAN
- Darah rutin
- Kultur pemerikasaan serologi positif

- Isolasi bordetella Pertussis

- PCR

G. PENATALAKSANAAN

a. Non Medikamentosa

 Pengawasan keadaan Umum dan Tanda Vital


 Rawat Inap Intensif
 Pemberian nutrisi melalui NGT
 Memberi penjelasan dan komunikasi tentang kondisi pasien kepada keluarga
 Edukasi pada ibu bila batuk sebaiknya memakai masker
b. Medikamentosa

 02 nasal kanul

 Infus KAEN 1B 20cc/jam 5tpm

 Inj. Amoxicilin 3x250 mg

 Inj. Gentamicin 1x48 mg

 Inj. Dexamethasone 3x1/3 amp

 Po : ataroc 2x1,5ml

H. PROGNOSIS

Quo ad vitam : Dubia ad bonam


Quo ad sanationam : Dubia ad bonam
Quo ad fungtionam : Dubia ad bonam

13
FOLLOW UP (R.PICU)

29 Desember 2018
(R. PICU)
Hari Perawatan- 2
S Sesak (+) batuk (+) lemas(+) tampak biru (-) demam (-), mual (-)dan muntah saat
batuk ASI berkurang, BAK dan BAB tidak ada keluhan
O KU: CM, tampak sakit sedang
TTV : HR 158x/m, RR 45x/m, S 36.60C. SPO2: 99%
Status generalis:
Mata : CA(-/-), SI (-/-)
Thoraks : Retraksi (-/-), SNV (+/+), Rhonki (+/+), Wheezing (-/-), BJ I,II reguler,
murmur (-), Gallop (-),
Abdomen : supel, BU (+), distensi (-), turgor dbn
Ekstremitas : AH (+/+), OE (-/-) CTR <2 detik
A  Like pertussis syndrome
 Pneumonia
 Gizi baik
P  02 nasal kanul

 Infus KAEN 1B 20cc/jam 5tpm

 Inj. Amoxicilin 3x250 mg

 Inj. Gentamicin 1x48 mg

 Inj. Dexamethasone 3x1/3 amp

 Po : ataroc 2x1,5ml

30 Desember 2018
(R. PICU)
Hari Perawatan- 3
S Sesak (+) batuk (+) lemas(+) tampak biru (-) demam (-), mual (-)dan muntah saat
batuk ASI berkurang, BAK dan BAB tidak ada keluhan
O KU: CM, tampak sakit sedang
TTV : HR 143x/m, RR 45x/m, S 370C. SPO2: 100%
Status generalis:
Mata : CA(-/-), SI (-/-)
Thoraks : Retraksi (-/-), SNV (+/+), Rhonki (+/+), Wheezing (-/-), BJ I,II reguler,
murmur (-), Gallop (-),
Abdomen : supel, BU (+), distensi (-), turgor dbn
Ekstremitas : AH (+/+), OE (-/-) CTR <2 detik
A  Like pertussis syndrome
 Pneumonia
 Gizi baik
P  02 nasal kanul

14
 Infus KAEN 1B 20cc/jam 5tpm

 Inj. Amoxicilin 3x250 mg

 Inj. Gentamicin 1x48 mg

 Inj. Dexamethasone 3x1/3 amp

 Po : ataroc 2x1,5ml

 Diet 8x6occ

31 Desember 2018
(R. PICU)
Hari Perawatan- 4
S Sesak (+) batuk (+) lemas(+) tampak biru (-) demam (-), mual (-)dan muntah saat
batuk ASI berkurang, BAK dan BAB tidak ada keluhan
O KU: CM, tampak sakit sedang
TTV : HR 121x/m, RR 48x/m, S 36.70C. SPO2: 100%
Status generalis:
Mata : CA(-/-), SI (-/-)
Thoraks : Retraksi (-/-), SNV (+/+), Rhonki (+/+), Wheezing (-/-), BJ I,II reguler,
murmur (-), Gallop (-), Retraksi (+)
Abdomen : supel, BU (+), distensi (-), turgor dbn
Ekstremitas : AH (+/+), OE (-/-) CTR <2 detik
A  Like pertussis syndrome
 Pneumonia
 Gizi baik
P  02 nasal kanul

 Infus KAEN 1B 20cc/jam 5tpm

 Inj. Amoxicilin 3x250 mg

 Inj. Gentamicin 1x48 mg

 Inj. Dexamethasone 3x1/3 amp (STOP)

 Po: azitromisin 1x1,5 ml

 Po : ataroc 2x1,5ml

 Diet 8x6occ

1 januari 2019
(R. PICU)
Hari Perawatan- 5
S Sesak (+) batuk (+) lemas(+) tampak biru (-) demam (-), mual (-)dan muntah saat
batuk ASI berkurang, BAK dan BAB tidak ada keluhan
O KU: CM, tampak sakit sedang
TTV : HR 121x/m, RR 44x/m, S 36.00C. SPO2: 99%
15
Status generalis:
Mata : CA(-/-), SI (-/-)
Thoraks : Retraksi (-/-), SNV (+/+), Rhonki (+/+), Wheezing (-/-), BJ I,II reguler,
murmur (-), Gallop (-),
Abdomen : supel, BU (+), distensi (-), turgor dbn
Ekstremitas : AH (+/+), OE (-/-) CTR <2 detik
A  Like pertussis syndrome
 Pneumonia
 Gizi baik
P  02 nasal kanul

 Infus KAEN 1B 20cc/jam 5tpm

 Inj. Amoxicilin 3x250 mg

 Inj. Gentamicin 1x48 mg

 Po : ataroc 2x1,5ml

 Po: azitromisin 1x1,5 ml

 Rencan pindah Ruangan

2 Januari 2019
(R. WK Atas)
Hari Perawatan- 6
S Sesak (-) batuk (+) lemas(+) tampak biru (-) demam (-), mual (-)dan muntah saat
batuk ASI mulai meningkat BAK dan BAB tidak ada keluhan
O KU: CM, tampak sakit sedang
TTV : HR 138x/m, RR 44x/m, S 36.30C. SPO2 98%
Status generalis:
Mata : CA(-/-), SI (-/-)
Thoraks : Retraksi (-/-), SNV (+/+), Rhonki (+/+), Wheezing (-/-), BJ I,II reguler,
murmur (-), Gallop (-),
Abdomen : supel, BU (+), distensi (-), turgor dbn
Ekstremitas : AH (+/+), OE (-/-) CTR <2 detik
A  Like pertussis syndrome
 Pneumonia
 Gizi baik
P  02 nasal kanul AF

 Infus KAEN 1B 20cc/jam 5tpm

 Inj. Amoxicilin 3x250 mg

 Inj. Gentamicin 1x48 mg

 Po : ataroc 2x1,5ml

 Po: azitromisin 1x1,5 ml

16
 Cek darah ruti ulang

3 Januari 2019
(R. WK Atas )
Hari Perawatan- 7
S Sesak (-) batuk (+) tampak aktif, tampak biru (-) demam (-), mual (-)dan muntah
saat batuk ASI meningkat, BAK dan BAB tidak ada keluhan
O KU: CM, tampak sakit sedang
TTV : HR 138x/m, RR 48x/m, S 36.60C. SPO2: 98%
Status generalis:
Mata : CA(-/-), SI (-/-)
Thoraks : Retraksi (-/-), SNV (+/+), Rhonki (+/+), Wheezing (-/-), BJ I,II reguler,
murmur (-), Gallop (-),
Abdomen : supel, BU (+), distensi (-), turgor dbn
Ekstremitas : AH (+/+), OE (-/-) CTR <2 detik
A  Like pertussis syndrome
 Pneumonia
 Gizi baik
P
 Infus KAEN 1B 20cc/jam 5tpm

 Inj. Amoxicilin 3x250 mg

 Inj. Gentamicin 1x48 mg

 Po: azitromisin 1x1,5 ml

 Po : ataroc 2x1,5ml

4 Januari 2019
(R. WK atas )
Hari Perawatan- 8
S Sesak (-) batuk (+) lemas(-) tampak biru (-) demam (-), mual (-)dan muntah saat
batuk ASI mulai menigkat, BAK dan BAB tidak ada keluhan
O KU: CM, tampak sakit sedang
TTV : HR 148x/m, RR 45x/m, S 36.0C. SPO2 97%
Status generalis:
Mata : CA(-/-), SI (-/-)
Thoraks : Retraksi (-/-), SNV (+/+), Rhonki (+/+), Wheezing (-/-), BJ I,II reguler,
murmur (-), Gallop (-),
Abdomen : supel, BU (+), distensi (-), turgor dbn
Ekstremitas : AH (+/+), OE (-/-) CTR <2 detik
A  Like pertussis syndrome
 Pneumonia
 Gizi baik
P
 Infus KAEN 1B 20cc/jam 5tpm

 Inj. Cefotaxim 3x250 mg

17
 Inj. Gentamicin 1x48 mg

 Po: azitromisin 1x1,5 ml

 Po : ataroc 2x1,5ml

 Rencana pulang besok

18
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Defenisi

Pertusis adalah penyakit yang disebabkan oleh Bordetella Pertusis. Bordetella pertusis
adalah penyebab manifestasi klinis pertusis yang paling berat, bakteri gram negative
pleomorfik yang membutuhkan lingkungan tertentu untuk tumbuh. Pertusis sering juga disebut
batuk rejan, batuk seratus hari, tussis quinta, atau violent cough. Penularan pertusis melalui
droplet.

Pertusis (batuk rejan) adalah infeksi saluran nafas atas, yang pertama kali ditemukan pada
tahun 1.500an dan menjadi penyakit endemis di eropa pada tahun 1.600an. pertusis atau disebut
juga batuk rejan, “whooping cough” adalah batuk yang ditandai dengan adanya suara tarikan
nafas yang keras atau inspiratory. Yang mengikutsertakan batuk yang hebat sebelumnya.
Penyakit ini merupakaan penyakit yang sangay menular, disebabkan oleh Bordetella Pertusis.
Pertusis like syndrome disebabkan spesies Bordetella lain seperti B.parapertusis, B.
Bronchiseptica dan B.holmesii, dengan geja umum mirip dengan penyakit pertusis namun lebih
ringan.
Batuk pertusisi dapat berlangsung beberapa hari, minggu, hingga berbulan-bulan.
Gejala ini mengganggu kegiatan sehari-hari dan menyebabkan gangguan tidur yang signifikan.
Kejadian pertusis per tahunnya mencapai 100-200 per 100.000 populasi pada era
sebelumnya vaksinasi dilakukan. Dan saat ini angka kejadian cukup tinggi di Negara
Berkembang. Di Amerika Serikat ditemukan sebanyak 15.000 kasus ditemukan pada tahun
2006 dengan usia tertingi bayi di bawah 4 bulan. Di Inggris angka kejadian pertusis mengalami
penurunan sejak cakupan vaksinasi tinggi pada tahun 1970. Namun, angka kejadian kembali
meninggi saat cakupan vaksinasi menurun. Hal ini membuktikan efikasi vaksinasi.

Komplikasi utama yang sering terjadi pada anak kecil adalah hipoksia, apnea,
pneumonia, kejang, ensefalopati, dan malnutrisi. Batuk paroksimal dengan tekanan yang kuat
dapam mengakibatkan pneumomediastinum, pneumotoraks, emfisema subkutan, epistaksis,
dan hernia.

B. Epidemiologi

Batuk rejan merupakan epidemi pada era sebelum adanya vaksin, yaitu sebelem pertengahan
1940an. Pertussis bisa dicegah dengan vaksinasi dan sejak adanya imunisasi rutin. Morbiditas dan

19
mortalitas batuk rejan telah menurun tajam. Meskipun sudah ada vaksinasi, penyakit tersebut belum
diberantas dan dilaporkan terdapat peningkatan kejadian selama dua dekade terakhir pada tahun
1990an. Hal tersebut masing berlangsung hingga saat ini. Menurut WHO tahun 1999 terdapat 20 hingga
40 juta kasus batuk rejan setiap tahunnya. 90% kasus terjadi di negara berpendapatan rendah dan
mengakibatkan sekitar 200.000-300.000 kematian tiap tahunnya. Sementara menurut penelitian
didapatkan diseluruh duni, setiap tahunnya terdapat 16 juta kasus pertusis, 95% diantaranta terjadi di
negara berkembang, dan mengakibatkan 195.000 anak meninggal setiap tahunnya. Kejadian pertusisi
selalu meningkat dari tahun ke tahun dengan angka peningkatan yang bermakna, bahkan di negara-
negara yang cakupnya vaksinasinya tinggi sekalipun. Puncak insiden petusis di Amerika Serikat saat
ini terdapat kejadia pertusis terbanyak 50 tahun terakhir. Jumlah kejadian mencapai 800.000-1.000.000
kasus setiap tahunnya.

Meskipun orang dewasa dan anak-anak memiliki gejala ringan hingga sedang, bayi
kurang 6 bulan, yang belum menerima 3 dosis vaksin DTP (Difteri-Pertusis-Tetanus) dan
anak-anak pra sekolah yang belum diimunisasi lengkap memiliki risiko tinggi terjadinya
pertusis dan berujung pada komplikasi yaitu kematian. Batuk rejan sangat menular. 70-100%
anggota rumah tangga yang rentan dan 50%-80% kontak sekolah yang rentan menjadi
terinfeksi setelah terpapar kasus pertusis akut.
Penyakit ini menyerang semua kelompok umur, terutama pada anak-anak, dan dapat
menyebabkan kematian terutama anak berusia kurang dari 1 tahunn. CDC Pada tahun 1997-
2000 menunjukan bahwa 29.048 orang dengan batuk rejan, 8.390 orang (29%) berusia <1
tahun, 3.359 orang (12%) berusia 1-4 tahun, 2.835 orang (10%) berusia 5-9 tahun, 8.529

20
(29%) berusia 10-19 tahun. 5,5 kasus per 100.000 penduduk. Dan individu berusia >20 tahun
sebanyak 0,8 kasus per 100.000 penduduk.
Angka kematian di negara berkembang diperkirakan sekitar 3% hal ini dikarenakan
negara terbatas dalam hal sumber daya karena sejumlah faktor, termasuk misdiagnosis.
Kurangnya pengetauhan, dan pelaporan kasus.
Sebelum adanya antibiotik dan imunisasi, insiden dan case fatality rate dari penyakit
ini sangat tinggi. Adanya terapi antibiotik dan imunisasi sangat jauh menurunkan angka
kejadian dan kematian dari penyakit ini. Vaksinasi juga menggeser insiden penyakit dari yang
ada pada awalnya umum menyerang anak-anak usia dini, menjadi lebih sering pada dewasa.
Hal tersebut karena munculnya imunitas tubuh pasca vaksinasi dan menghilangnya kekebalan
setelah 14-12 tahun. Sementara apabila seorang terinfeksi pertusis secara alami, maka
kekebalan alaminya akan menghilang setelah 4-20 tahun.

21
Penelitian di belanda pada tahun 2007, menyatakan bahwa saudara yang lebih tua (usia 9-
13 tahun dan ibu memiliki peran yang sangat penting dalam penularan penyakit kepada bayi
baru lahir.
Di Asia Pasifik, persebaran penyakit perusis digambarkan seperti dalam gambar di bawah
ini pada rentang usia anak-anak. Di Indonesia penderita penyakit pertusis adalah usia dibawah
1 tahun.

C. Etiologi

Bordatella Pertusis (B. Pertusis) adalah penyebab pertusis dan biasanya menyebabkan pertussis
sporadic. B.pertussis adalah bakteri coccabacilus, menginfeksi saluran nafas, dan sangat mudah
menular melalui droplet. Pertussis adalah bakteri gram negatif yang menjadi patogen bagi manusia,
dengan tidak diketauhi adanya resevoir hewan maupun lingkungan. Bordatella pertusis pertama kali
ditemukan oleh Bordet dan Gengou pada tahun 1906.

22
Spesies lain bordatella, terutama bordatella parapertusis dan bordatella bronchiseptica, dapat
menyebabkan gejala seperti pertusis namun lebih ringan. Variasi dalam ekspresi faktor pertusis
mempengaruhi virulensi.

D. Patogenesis

Terdapat 3 fase dalam perjalanan penyakit pertusis, yaitu : fase kataral, paroksimal, dan
konvalesen. Fase paling infeksius adalah fase kataral dan awal fase paroksimal. Transmisi penyakit ini
terjadi melalui droplet respiratorik. Masa inkubasinya berkisar antara 7-10 hari. Gejala klinis yang
terjadi bergantung usia ketika terinfeksi, imunitas tubuh, vaksinasi, dan terapi antibiotik yang diterima,

E. Manifestasi Klinis

Manifestasi dari infeksi B. Pertusis bermacam-macam mulai dari asimptomatis, batu-batuk


ringan sampai batuk yang tak menentu sampai muntah pasca batuk. Manifestasi bergantung
dari beberapa faktor seperti riwayat infeksi sebelumnya, riwayat imunisasi, jenis bakteri, dan
jenis kelamin. Pasien dengan riwayat infeksi atau imunisasi tidak terjadi limfositosis dan
berbeda dengan dengan pasien yang baru pertama kali terinfeksi. Pada pasien pertussis demam
bukan manifestasi klinis utama kecuali terdapat infeksi sekunder seperti pneumonia.

Manifestasi klinis pada pertusis dibagi berdasarkan stadiumnya, antara lain stadium
kataral, stadium paroksisimal, dan stadium konvalesen, sebagai berikut:

1. Stadium Kataral

Stadium ini ditandai oleh gejala klinis yang tidak spesifik (mata merah,
peningkatan sekresi nasal, dan demam ringan) yang berlangsung selama 1-2
minggu

2. Stadium Paroksismal

Stadium paroksismal merupakan gejala paling khas pada pertusis yang


berlangsung selama 2-4 minggu. Batuk terjadi saat ekspirasi, sehingga pada anak
kecil tidak sempat bernapas dan menjadi sesak. Hal ini terjadi karena epitel pada
saluran napas mengalami nekrotik selain itu terdapat cairan mukus yang kental
hingga menambah keparahan dari batuk. Bunyi “whoop” terjadi akibat tekanan
inhalasi pada glottis yang mengalami penyempitan setelah batuk paroksismal
terjadi. Sering pasien akan muntah ketika batuk.

23
3. Stadium Konvalesen

Pada stadium ini ditandai dengan perbaikan gejala klinis secara bertahap sekitar 1-
2 minggu dan batuk sudah mulai mereda, suara “whoop” juga sudah mulai
menghilang. Walaupun umumnya penyakit ini berlangsung 6-8 minggu akan tetapi
batuk masih dapat terjadi sampai berbulan-bulan apabila terjadi stress fisik ataupun
iritasi pada saluran pernapasan.

Pertussis ditandai dengan adanya batuk berat spasme (paroksims). Paroksims berlanjut
tanpa inspirasi hingga akhir dan sering ditandai dengan adanya whoop saat inspirasi. Muntah
post-tussive, atau keduanya. Onset penyakit tersebut perlahan namun mengejutkan, dengan
gejala mirip dengan infeksi saluran nafas atas atas minor. Selama 1-2 minggu pertama,
umumnya terjadi coryza (a head cold) dengan batuk non produktif yang intermiten. Fase ini
diikuti oleh episode batuk paroksismal yang berlangsung selama beberapa minggu. Puncak
keparahan penyakit terjadi setelah 1 atau beberapa minggu dari batuk paroksismal dan menurun
perlahan dengan periode konvalesan selama 2-6 minggu; periode konvalesan bisa berlangsung
hingga 3 bulan dalam beberapa kasus. Gejala pertusis berupa:
- Demam

- Batuk yang berat

- Rinorrhea

- Distress pernafasan

- Wheezing

- Kongesti faring

- Vomitus

- Nyeri abdomen

- Nyeri kepala

F. Pemeriksaan Penunjang

Gold standard penegakan diagnosis untuk pertusis adalah dengan kultur dan uji
molekuler salah satunya adalah isolasi B.pertusis pada spesimen klinis memiliki tingkat
spesifitas yang tinggi sehingga banyak digunakan untuk penegakan diagnosis, meskipun

24
tingkat sensitifitasnya bergantung dari berbagai macam faktor, seperti transportasi dan
metode pemeriksaan laboratorium yang digunakan, fase penyakit, usia pasien, status
vaksinasi dan terapi antibiotik yang telah diterima sebelumnya. Untuk mengatasi kekurangan
dari teknik kultur tersebut, telah dikembangkan amplifikasi DNA (seperti PRC) untuk
mendeteksi DNA pertusis dengan mentarget regio promoter dari gen yang mengkode ptxA,
elemen insersi IS481 dan IS 1001, gen adenylate cylase, dan gen porin. Teknik amplifikasi
DNA dapat lebih cepat dan lebih sensitif dalam mendeteksi B.Pertussis. namun dalam praktek
klinis,diagnosis biasanya ditegakan tanpa melakukan pemeriksaan mikrobiologi untuk
mempercepat pemberian terapi dan mencegah komplikasi.

B.pertussis banyak hidup di epitel bersilia pada saluran nafas, oleh karena itu,
pengambilan spesimen klinis dilakukan pada permukaan sel epitel bersilia yang terdapat di
tenggorokan, swab nasofaring, dan aspirasi nasofaring. Pengambilan sputum atau epitel
rongga hidung bagian anterior tidak disarankan karena tidak mengandung epitel bersilia yang
adekuat. Aspirasi melalui pipa endotrakheal dan bronkoalveolar juga bisa dilakukan untuk
mengambil spesimen.

Untuk swab nasofaring, digunakan swab dakron atau kalsium alginat yang fleksibel.
Swab kalsium alginat sebaiknya tidak digunakan untuk PCR. Swab dakron direkomendasikan
untuk PCR terutama apabila kedua prosedur kultur dan PCR dilakukan. Swab dengan ujung
kapas tidak direkomendasikan karena mengandung asam lemak yang bersifat toksik terhadap
Bordatella dan menginhibisi PCR. Gagang swab diinsersi secara perlahan melalui lubang
hidung dan diputar perlahan-lahan selama beberapa detik. Idealnya swab ditempelkan selama
10 detik pada dinding faring posterior sebelum ditarik keluar.

Untuk mengumpulkan sampel dengan cara aspirasi, feeding tube ukuran balita
disambungkan dengan hand-operated vacuum pump with tubing melalui mucus trap Ujung
kateter dimasukkan ke dalam lubang hidung menuju faring posterior, sepanjang dasar
nasofaring.Setelah aspirasi, kateter dibilas dengan 1ml normal saline untuk mengangkat
spesimen. Teknik aspirasi lebih disukai untuk dilakukan apabilamemungkinkan karena
memiliki tingkat isolasi B. pertussis yang lebih tinggi.Namun prosedur ini lebih sulit dan harus
dikerjakan oleh tenaga medis yang professional.
Transport sampel adalah proses yang penting dalam keberhasilan pemeriksaan. Untuk
keberhasilan transport, medium transport yang digunakan harus dapat mencegah hilangnya B.
pertussis dan mencegah pertumbuhan flora normal nasofaring. Medium yang banyak dipilih

25
adalah Regan-Lowe medium. Preinkubasi medium dilakukan pada suhu 360C selama semalam
sebelum digunakan memungkinkan pertumbuhan Bordatella maksimal dan meningkatkan
multiplikasinya media transport non-nutritif seperti asam Casamino yang terbuat dari asam
hydrolyzedcasein 1% juga bisa digunakan. waktu transport harusdiusahakan secepat mungkin,
jarak antara pengambilan sampel hingga dilakukan kultur tidak boleh melebihi 2+ jam
Medium klasik yang digunakan untuk mengisolasi Bordatella adalahagar Bordet-Gengou
(BG). Medium ini terbuat dari kentang sehingga mengandung banyak serat. Serat berfungsi
untuk menetralkan material toksik yang terkandung dalam agar maupun dalam spesimennya
sendiri.Medium ini juga mengandung gliserol sebagai agen penstabil dan sumber karbon.
Untuk mengisolasi Bordatella, agar plates diinkubasi pada suhu 36 0C ±10dengan
tekanan udara sama dengan lingkungan dan kelembabantinggi. Inkubasi pada udaran dengan
kadar karbondioksida tinggi harus dihindari. Plates diinkubasi selama 7-10 hari. Literatur
menunjukan bahwa isolasi B. Pertussis kebanyakan berhasil jika spesimen diambil antara fase
kataral hingga fase paroksismal.
Pertusis dapat sulit diagnosis pada anak kuranh dari 1 tahun pada musim dingin, karena
patogen lain seperti influenza juga umum menginfeksi. Pada kasus ini, gejala akut pertusis
dapat bertumpang tindih dengan bronkiolitis atau infeksi pernapasan lain yang tidak spesifik.
G. Diagnosis

Berdasarkan WHO 2003 , Pertusis didefinisikan sebagai:

a. Penyakit yang diagnosis oleh dokter sebagai pertusis,

b. Seseorang yang mengalami batuk yang berlangsung lebih dari 2 minggu dengan
minimal 1 dari gejala berikut:

1. Serangan batuk yang hebat

2. Tarikan nafas yang keras/berat

3. Munta pasca batuk tanpa penyebab jelas

Kriteria laboratorium :
1. Isolasi Bordatella pertussis

2. Terdeteksinya sekuens genom yang bermakna pada pemeriksaan PCR

3. Pemeriksaan serologi positif

26
Berdasarkan CDC 2011, dinyatakan pertusis bila terjadi batuk >14 hari dengan minimal 1
dari gejala berikut :
1. Serangan batuk yang hebat

2. Suara nafas keras atau berat

3. Muntah pasca batuk

Kriteria laboratorium:

1. Isolasi Bordatela Pertussis dari spesimen klinis

2. Pemeriksaan PCR positif untuk B.pertussis

Tabel metode laboratorium untuk diagnosis pertussis:


Total Sensitifitas Spesifitas Waktu Keuntungan Kerugian
(%) (%) optimal
Kultur 12-60 100 <2 Sangat Kurang sensitif,
minggu spesifik terdapat jangka
setelah waktu antara
onset pengambilan
spesimen dan
diagnosis
PCR 97-99 86-100 <4 Rapid test Tidak
Minggu lebih sensitif terstandarisasi
setelah dibandingkan FDA
onset kultur, potensial positif
organisme palsu, dapat
tidak harus terjadi
viable, hasil kontaminasi
tetap (+) DNA silang
meskipun
pasca terapi
antibiotik
Serologi 90-92 72-100 Awal Efektif untuk Diagnosis
berpasangan gejala s/d menentukan terlambat, tidak
4-6 antibiotik ada standarisasi
minggu yang efektif FDA
setelahnya
Serologi 36-76 99 Minimal 2 Berguna Tidak ada
tunggal minggu untuk stndarisasi FDA,
setelah diagnosis bisa bias akibat
onset, yang vaksinasi
sebaiknya terlambat
4-8 atau paska
minggu terapi
setelah antibiotik
onset

27
Uji laboratorium yang dapat menentukan jenis bakteri dan spesifik pada penyakit
pertussis adalah biakan sekret nasofaring pada saat stadium kataralis dan stadium paroksismal.
Waktu yang paling tepat untuk melakukan biakan adalah kurang dari 2 minggu pasca batuk
terjadi.

Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam penegakan diagnosis pertussis antara lain :
a. Anamnesis

1. Waktu muncul gejala

2. Karakteristik batuk : serangan batuk hebat, muntah setelah batuk, suara tarikan nafas
berat, memburuk ketika malam hari

3. Riwayat kontak dengan pasien pertusis pada masa inkubasi (7-21 hari)

4. Status vaksinasi : vaksinasi pertusis terdahulu

b. Konfirmasi biologis

1. Bayi baru lahir dan balita di rumah sakit: kultur dan real-time PCR pada aspirasi
nasofaring atau swab nasofaring, kultur harus dilakukan untuk menganalisis evolusi
populasi bakteri.

2. Anak-anak,remaja,deawasa:

- PCR dan kultur tidak lagi bermakna

- Apabila terdapat pasien kedua terinfeksi setelah pasien pertama, maka PCR harus
dilakukan pada pasien kedua

- Jika tidak ada pasien kedua, analisis serologi harus dilakukan untuk memberi
antibodi toxin-pertussis jika pasien belum mendapatkan vaksinasi pertussis
sebelumnya, atau dalam 2 tahun terakhir.

3. Kultur

- Aspirasi nasofaring dan transport ke laboratorium secepatnya

28
- Sensitifitas tinggi pada fase awal penyakit, penyakit yang berat, pasien yang belum
mendapat vaksin pertussis sebelumnya, atau dalam 2 tahun terakhir.

- Hasil kultur bergantung pada antibiotik yang dikonsumsi sebelumnya

4. PCR

- Kemungkinan diagnosis meningkat apabila dikombinasi dengan kultur

- PCR paling sensitif pada fase awal penyakit dan pada fase paroksismal

- Akurasi diagnostik mungkin bervariasi pada berbagai laboratorium

5. Serologi

- Diagnosis serum tunggal dapat berguna untuk fase akhir penyakit (3-4 minggu
setelah onset), pemeriksaan serologi berpasangan dengan pengambilan
spesimen klinis kedua pada fase selanjutnya dapat membantu penegakan
diagnosis

- Antibodi (IgG dan IgA) terhadap toksin pertussis atau filamentous


heamagglutinin dapat ditemukan serum

- Satu hasil titer IgG terhadap toksin pertussis tinggi (>100-125 U/ml pada
pemeriksaan ELISA) memiliki sensitifitas dan spesifitas yang tinggi untuk
diagnosis

- Interpretasi pada hasil serologi dapat sulit pada pasien yang baru saja mendapat
imunisasi.

29
H. Penatalaksanaan

Regimen antibiotik untuk terapi dan profilaksis pertussis

B. pertussis secara sendirinya dapat hilang secara spontan darinasofaring dalam waktu 2
sampai 4 minggu pasca infeksi. Ketika mulai diawal perjalanan penyakit, selama tahap
katarhal, antibiotik dapatmempersingkat gejala dan mengurangi keparahan pertusis. 'etelah
tahap paroksismal antibiotic tidak efektif dalam mengubah perjalanan penyakit.Dengan ini
tahap, manifestasi klinis penyakit yang disebabkan oleh toksin Bordetella pertussis, dan
dengan demikian tidak terpengaruh oleh terapiantimikroba. Meskipun perjalanan klinis
pertusis tidak mudah dipengaruhioleh pengobatan, penggunaan antibiotik namun dapat
mengurangi masa penularan
Antibiotik yang direkomendasikan untuk tatalaksana pertusis untuk anak berusia lebih dari
1 tahun adalah makrolid, seperti eritromisin,claritromisin, dan a9itromisin. Sedangkan untuk
anak berusia kurang dari 1 tahun lebih direkomendasikan menggunakan azitromisin atau
claritromisinintravena.

30
Studi terbaru menurut Snyder dan fisher (2012) menunjukkan azitromisin adalah obat yang
memiliki efek samping gastrointestinal yang lebih sedikit, karena tidak menghambat sistem
sitokrom P450. Selain itu,eritromisin telah dikaitkan dengan peningkatan risiko stenosis pilorus
bila diberikan untuk bayi di pertama 2 minggu setelah kelahiran. Sementara menurut Bayhan
et al. (2012) claritromisin sangat efektif dan aman untuk terapi pada pasien dengan apnea,
hipoksia dan kesulitan makan.

pemberian antibiotik untuk pengobatan pertussis efektif dalam mengeliminasi B.pertussis


agar tidak menular tetapi tidak mengubah perjalanan klinis dari penyakit. Regimen antibiotik
yang efektif antara lain:

- Azitromicin (10mg/kgBB) single dose selama 3 hari

- Azitromicin (10mg/kgBB) pada hari pertama terapi dan 5 mg/kgBB sekali sehari pada
hari kedua hingga ke-15 terapi.

- Clarithrimycin (7,5 mg/KgBB/dosis 2xKhari) selama 7 hari

- Eritromicin (60mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis) selama 7-14 hari

- Eritromicin (60mg/KgBB/hari dibagi dalam 3 dosis ) selama 14 hari

- Oxytetracylin (50mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis) selama 7 hari

- kloramfenikol (50mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis) selama 7 hari

regimen terbaik untuk microbiological clearance dengan sedikit efek samping adalah sebagai
berikut:
- azitromicin (10mg/kgBB) single dose selama 3 hari

- azitromicin (10mg/kgBB) pada hari pertama terapi dan 5 mg/kgBB sekali sehari pada
hari kedua hingga hari ke 15 terapi ‘

- claritromycin (7,5mg/kgBB/dosis) dua kali sehari selama 7 hari

I. Pencegahan

Belum ada bukti ilmiah yang cukup yang membuktikan bahwa terapi profilaksis pertussis
memberikan keuntungan. Profilaksis dengan antibiotik berhubungan dengan efek samping dan
tidak secara signifikan memperbaiki gejala klinis, whoop batuk paroksismal, jumlah kasus

31
yang berkembang menjadi kultur positif B. pertussis atau batuk paroksismallebih dari 2
minggu. Karena resiko tinggi terjadinya morbiditas dankematian pada bayi <6 bulan yang
belum diimunisasi lengkap, profilaksiskontak direkomendasikan untuk keluarga. Pilihan
antibiotik dan dosisnya sama dengan regimen terapi.

penyebaran infeksi hanya dapat dicegahdengan meningkatkan cakupan imunisasi di atas


92%. Pertusis merupakan salah satu penyakit terbanyak di dunia yang kejadiannya dapat
dicegah dengan vaksinasi. Daksin pertusis ada 2 jenis yaitu whole pertussis (wP) dan acellular
pertussis (aP). vaksin WPw terbukti lebih baik dibandingkan vaksin aP karena memiliki
efektifitas yang lebih tinggi dan Waktu perlindungan yang lebih lama dibandingkan aP.
vaksinasi memiliki peran yang sangat penting dalam pencegahan pertusis. Pada
tahun 2006, WHO menyatakan terjadi sekitar 16 juta kasus pertusis di seluruh dunia, 95%.
diantaranya terdapat di negara berkembang,dan terjadi sekitar 195.000 kematian. Pada tahun
tersebut, imunisasi telah berhasil mencegah sekitar 680.000 kematian.

selama wabah pertussis, perlu dilakukan vaksinasi pertussis dosis pertama tepat waktu
pada usia 6 minggu dan segera diberikan terapi antibiotik yang sudahdirekomendasikan secara
dini rekomendasi tersebut berlaku secara global, khususnya di negara-negara dimana
vaksinasi DTP/DaTP rutin dimulai pada usia 6 minggu. Bayi yang tidak memenuhi syarat
usia untuk vaksinasiakan mendapatkan keuntungan dan tercegah dari paparan B. pertussis.

Imunitas terhadap pertusis, baik yang diperoleh secara alami maupundidapat dengan
imunisasi tidak bertahan seumur hidup, imunitas yangdidapat dari vaksin hanya
melindungi selama 4-12 tahun saja. Sedangkan imunitas yang diperoleh secara
alami bertahan 4- 20 tahun. Vaksinasi pertussis perlu diulang saat dewasa, hal tersebut
juga termasuk untuk menjaga agar cakupan populasi yang tercover dengan vaksin tetap
tinggi. Penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa durasi imunitas protektif terhadap
pertussis setelah dosis kelima DaTP adalah 3-4 tahun,dengan rata-rata perlindungan
selama 8 tahun dengan sumsi efikasi vaksin 85%engan hilangnya perlindungan oleh
vaksin, diperkirakan bahwa hanya 10% anak yang divaksinasi DaTP akan terlindung 8,5
tahun setelah vaksin terakhir. Dengan diberikannya booster untuk anak prasekolah usia
>10tahun diperkirakan akan sangat sedikit anak >10 tahun yangterlindung dari pertussis,
sehingga diperlukan booster Adap untuk remaja awal.

32
J. Komplikasi

pertussis bisa menyebabkan sakit berat danmengarah pada komplikasi seperti apneu,
sianosis, kesulitan intake, pneumonia, dan ensefalopati. omplikasidari pertusis yang paling
penting adalah infeksi sekunder (seperti pneumonia dan otitis media!, gagal napas (apnea dan
hipertensi pulmonal,gangguan fisik karena serangan batuk yang hebat (fracture
costae, berdarahan konjunctiva, hernia inguinal, kejang, ensefalopati, dankematian. Pneumonia
akibat pertusis adalah keadaan serius dan membutuhkan prosedur ventilasi mekanik insasif
untuk memasang alat bentu pernafasan. kematian akibat pertussis banyak dihubungkan dengan
pneumonia.

K. Prognosis

Sebagian besar anak akan membaik, mengalami perbaikan epitel pada saluran
respiratori dan fungsi paru yang normal setelah sembuh. Padaanak dengan usia lebih muda
akan cenderung membutuhkan rawat inap,hal ini disebabkan memiliki angka kematian
lebih besar. Pada anak yangterkena pertusis dapat mengalami gangguan disabilitas akibat
enselopati.

Prognosis penyakit dapat memburuk pada tahun pertama dan keduakehidupan dimana
angka masuk rumah sakit dan angka kematiannya tinggi case fatality rate 0,2% dan 4%
pada negara maju dan negara berkembang!. Pada anak yang sudah mendapat imunisasi,
gejala biasanyaringan dan tidak spesifik, sehingga jarang terdiagnosis

33
PNEUMONIA
A. Defenisi

Pneumonia adalah peradangan akut pada parenkim paru, bronkiolus


respiratorius dan alveoli, menimbulkan konsolidasi jaringan paru sehingga dapat
mengganggu pertukaran oksigen dan karbon dioksida di paru-paru. Pada
perkembangannya , berdasarkan tempat terjadinya infeksi, dikenal dua bentuk
pneumonia, yaitu pneumonia-masyarakat (community-acquired
pneumonia/CAP),apabila infeksinya terjadi di masyarakat; dan pneumonia-RS
atau pneumonia nosokomial (hospital-acquired pneumonia/HAP), bila infeksinya
didapat di rumah sakit.
Pneumonia-masyarakat (community-acquired pneumonia) adalah pneumonia yang
terjadi akibat infeksi diluar rumah sakit , sedangkan pneumonia nosokomial adalah
pneumonia yang terjadi >48 jam atau lebih setelah dirawatdi rumah sakit, baik di ruang
rawat umum ataupun di ICU tetapi tidak sedang menggunakan ventilator. Pneumonia
berhubungan dengan penggunaan ventilator (ventilator-acquired pneumonia/VAP) adalah
pneumonia yang terjadi setelah 48-72 jam atau lebih setelah intubasi tracheal. Pneumonia
yang didapat di pusat perawatan kesehatan(healthcare-associated pneumonia) adalah
pasien yang dirawat oleh perawatan akut di rumah sakit selama 2 hari atau lebih dalam
waktu 90 hari dari proses infeksi, tinggal dirumah perawatan (nursing home atau long-
term care facility), mendapatkan antibiotik intravena, kemoterapi, atau perawatan luka
dalam waktu 30 hari proses infeksi ataupun datang ke klinik rumah sakit atau klinik
hemodialisa.
Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli).
Terjadinya pneumonia pada anak seringkali bersamaan dengan proses infeksi akut pada
bronkus (biasa disebut bronchopneumonia). Gejala penyakit ini berupa napas cepat dan napas
sesak, karena paru meradang secara mendadak. Batas napas cepat adalah frekuensi pernapasan
sebanyak 60 kali permenit pada anak usia < 2 bulan, 50 kali per menit atau lebih pada anak
usia 2 bulan sampai kurang dari 1 tahun, dan 40 kali permenit atau lebih pada anak usia 1 tahun
sampai kurang dari 5 tahun.
Definisi lainnya disebutkan pneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang
biasanya terjadi pada anak-anak tetapi lebih sering terjadi pada bayi dan awal masa kanak-
kanak dan secara klinis pneumonia terjadi sebagai penyakit primer atau komplikasi dari

34
penyakit lain neumonia adalah peradangan yang mengenai parencim paru, dari broncheolus
terminalis yang mencakup broncheolus respiratorius dan alveoli, serta menimbulkan
konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat. UNICEF/WHO (2006)
menyatakan pneumonia merupakan sakit yang terbentuk dari infeksi akut dari daerah saluran
pernafasan bagian bawah yang secara spesifik mempengaruhi paru-paru dan Depkes RI (2007)
mendefenisikan pneumonia sebagai salah satu penyakit infeksi saluran pernafasan akut yang
mengenai bagian paru.

Etiologi
Diagnosis etiologi pneumonia pada balita sukar untuk ditegakkan karena dahak
biasanya sukar diperoleh. Sedangkan prosedur pemeriksaan imunologi belum memberikan
hasil yang memuaskan untuk menentukan adanya bakteri sebagai penyebab pneumonia. Hanya
biakan dari spesimen pungsi atau aspirasi paru serta pemeriksaan spesimen darah yang dapat
diandalkan untuk membantu menegakkan diagnosis etiologi pneumonia. Meskipun
pemeriksaan spesimen fungsi paru merupakan cara yang sensitif untuk mendapatkan dan
menentukan bakteri penyebab pneumonia pada balita akan tetapi pungsi paru merupakan
prosedur yang berbahaya dan bertentangan dengan etika, terutama jika hanya dimaksudkan
untuk penelitian.
Oleh karena alasan tersebut di atas maka penentuan etiologi pneumonia di Indonesia
masih didasarkan pada hasil penelitian di luar Indonesia. Menurut publikasi WHO, penelitian
di berbagai negara menunjukkan bahwa Streptococcus pneumoniae dan Hemophylus
influenzae merupakan bakteri yang selalu ditemukan pada penelitian tentang etiologi di negara
berkembang. Jenis jenis bakteri ini ditemukan pada dua pertiga dari hasil isolasi, yaitu 73,9%
aspirat paru dan 69,1% hasil isolasi dari spesimen darah. Sedangkan di negara maju, dewasa
ini pneumonia pada anak umumnya disebabkan oleh virus.
Berikut beberpa agent penyebab terjadinya pneumonia
1. bakteri
a. Streptococcus pneumonia
Streptococcus pneumoniae adalah diplokokus gram-positif. Bakteri ini, yang
sering berbentuk lanset atau tersusun dalam bentuk rantai, mempunyai simpai polisakarida
yang mempermudah penentuan tipe dengan antiserum spesifik. Organisme ini adalah penghuni
normal pada saluran pernapasan bagian atas manusia dan dapat menyebabkan pneumonia,
sinusitis, otitis, bronkitis, bakteremia, meningitis, dan proses infeksi lainnya. Pada orang
dewasa, tipe 1-8 menyebabkan kira-kira 75% kasus pneumonia pneumokokus dan lebih dari
35
setengah kasus bakteremia pneumokokus yang fatal; pada anak-anak, tipe 6, 14, 19, dan 23
merupakan penyebab yang paling sering. Pneumokokus menyebabkan penyakit melalui
kemampuannya berbiak dalam jaringan. Bakteri ini tidak menghasilkan toksin yang bermakna.
Virulensi organisme disebabkan oleh fungsi simpainya yang mencegah atau menghambat
penghancuran sel yang bersimpai oleh fagosit. Serum yang mengandung antibodi terhadap
polisakarida tipe spesifik akan melindungi terhadap infeksi. Bila serum ini dia bsorbsi dengan
polisakarida tipe spesifik, serum tersebut akan kehilangan daya pelindungnya. Hewan atau
manusia yang diimunisasi dengan polisakarida pneumokokus tipe tertentu selanjutnya imun
terhadap tipe pneumokokus itu dan mempunyai antibodi presipitasi dan opsonisasi untuk tipe
polisakarida tersebut
pada suatu saat tertentu, 40-70% manusia adalah pembawa pneumokokus virulen,
selaput mukosa pernapasan normal harus mempunyai imunitas alami yang kuat terhadap
pneumokokus. Infeksi pneumokokus menyebabkan melimpahnya cairan edema fibrinosa ke
dalam alveoli, diikuti oleh sel-sel darah merah dan leukosit,yang mengakibatkan konsolidasi
beberapa bagian paru-paru. Banyak pneumokokus ditemukan di seluruh eksudat, dan bakteri
ini mencapai aliran darah melalui drainase getah bening paru-paru. Dinding alveoli tetap
normal selama infeksi. Selanjutnya, sel-sel mononukleus secara aktif memfagositosis sisa-sisa,
dan fase cair ini lambat-laun diabsorbsi kembali. Pneumokokus diambil oleh sel fagosit dan
dicerna di dalam sel.
Pneumonia yang disertai bakteremia selalu menyebabkan angka kematian yang paling
tinggi. Pneumonia pneumokokus kira-kira merupakan 60-80% dari semua kasus pneumonia
oleh bakteri. Penyakit ini adalah endemik dengan jumlah pembawa bakteri yang tinggi.
Imunisasi dengan polisakarida tipe-spesifik dapat memberikan perlindungan 90% terhadap
bakteremia pneumonia.
b. Hemophylus influenza
Hemophylus influenzae ditemukan pada selaput mukosa saluran napas bagian atas pada
manusia. Bakteri ini merupakan penyebab meningitis yang penting pada anak-anak dan
kadang-kadang menyebabkan infeksi saluran napas pada anak-anak dan orang dewasa.
Hemophylus influenzae bersimpai dapat digolongkan dengan tes pembengkakan simpai
menggunakan antiserum spesifik. Kebanyakan Hemophylus influenzae pada flora normal
saluran napas bagian atas tidak bersimpai.
Pneumonitis akibat Hemophylus influenzae dapat terjadi setelah infeksi saluran pernapasan
bagian atas pada anak-anak kecil dan pada orang tua atau orang yang lemah. Orang dewasa
dapat menderita bronkitis atau pneumonia akibat influenzae. Hemophylus influenzae tidak
36
menghasilkan eksotoksin. Organisme yang tidak bersimpai adalah anggota tetap flora normal
saluran napas manusia. Simpai bersifat antifagositik bila tidak ada antibodi antisimpai khusus.
Bentuk Hemophylus influenzae yang bersimpai, khususnya tipe b, menyebabkan infeksi
pernapasan supuratif (sinusitis, laringotrakeitis, epiglotitis, otitis) dan, pada anak-anak kecil,
meningitis. Darah dari kebanyakan orang yang berumur lebih dari 3-5 tahun mempunyai daya
bakterisidal kuat terhadap Hemophylus influenzae,dan infeksi klinik lebih jarang terjadi.
Hemophylus influenzae tipe b masuk melalui saluran pernapasan. Tipe lain jarang
menimbulkan penyakit. Mungkin terjadi perluasan lokal yang mengenai sinus-sinus atau
telinga tengah. Hemophylus influenzae tipe b dan pneumokokus merupakan dua bakteri
penyebab paling sering pada otitis media bakterial dan sinusitis akut. Organisme ini dapat
mencapai aliran darah dan dibawa ke selaput otak atau, jarang, dapat menetap dalam sendi-
sendi dan menyebabkan artritis septik. Hemophylus influenzae sekarang merupakan penyebab
tersering meningitis bakteri pada anak-anak berusia 5 bulan sampai 5 tahun di AS.
Bayi di bawah umur 3 bulan dapat mengandung antibodi dalam serum yang diperoleh dari
ibunya. Selama masa ini infeksi Hemophylus influenzae jarang terjadi, tetapi kemudian
antibodi ini akan hilang. Anak-anak senng mendapatkan infeksi Hemophylus influenzae yang
biasanya asimtomatik tetapi dapat dalam bentuk penyakit pernapasan atau meningitis
(Hemophylus influenzae adalah penyebab paling sering dari meningitis bakterial pada anak-
anak dari umur 5 bulan sampai 5 tahun). Angka kematian meningitis Hemophylus influenzae
yang tidak diobati dapat mencapai 90%. Influenzae tipe b dapat dicegah dengan pemberian
vaksin konjugat Haemophilus b pada anak-anak. Anak-anak berusia 2 bulan atau lebih dapat
diimunisasi dengan vaksin konjugat Hemophylus influenzae tipe 6 dengan satu dari dua
pembawa dengan dosis boster yang diperlukan sesuai anjuran standard. Anak-aanakberusia 15
bulan atau lebih dapat menerima vaksin konjugat.
Hemophylus influenzae tipe b dengan toksoid difteri (yang tidak bersifat imunogenik pada
anak-anak yang lebih muda). Vaksin tidak mencegah timbulnya pembawa untuk Hemophylus
influenzae. Pemanfaatan vaksin Hemophylus influenzae tipe b secara luas telah sangat
menurunkan kejadian meningitis Hemophylus influenzae pada anak-anak. Kontak dengan
pasien yang menderita infeksi klinik Hemophylus influenzae memberi risiko kecil bagi orang
dewasa, tetapi member risiko nyata bagi saudara kandung yang nonimun dan anak-anak
nonimunlain yang berusia di bawah 4 tahun yang berkontak erat .
2. virus
Setengah kejadian pneumonia diperkirakan disebabkan oleh virus. Virus yang sering
menyebabkan pneumonia adalah Respiratory Syncial Virus (RSV). Meskipun virus-virus ini
37
kebanyakan menyerang saluran pernafasan bagian atas pada balita, gangguan ini bias memicu
pneumonia. Tetapi pada umumnya sebagian besar pneumonia jenis ini tidak berat dan sembuh
dalam waktu singkat. Namun bila infeksi terjadi bersamaan dengan virus influenza, gangguan
bias berat dan kadang menyebabkan kematian
3. Mikroplasma
Mikoplasma adalah agen terkecil di alam bebas yang menyebabkan penyakit pada
manusia. Mikoplasma tidak bias diklasifikasikan sebagai virus maupun bakteri, meski
memiliki karakteristik keduanya. Pneumonia yang dihasilkan biasanya berderajat ringan dan
tersebar luas. Mikoplasma menyerang segala jenis usia, tetapi paling sering pada anak pria
remaja dan usia muda.Angka kematian sangat rendah, bahkan juga pada yang tidak diobati.
4. Protozoa
Pneumonia yang disebabkan oleh protozoa sering disebut pneumonia pneumosistis.
Termasuk golongan ini adalah Pneumocysititis Carinii Pneumonia (PCP). Pneumonia
pneumosistis sering ditemukan pada bayi yang prematur. Perjalanan penyakitnya dapat lambat
dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan, tetapi juga dapat cepat dalam hitungan hari.
Diagnosis pasti ditegakkan jika ditemukan P. Carinii pada jaringan paru atau specimen yang
berasal dari paru
Patogenesis dan penularan
Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau aspirasi.
Umumnya mikroorganisme yang terdapat di saluran nafas bagian atas sama dengan di saluran
nafas bagian bawah, akan tetapi pada beberapa penelitian ditemukan jenis mikroorganisme
yang berbeda. Pneumonia terjadi jika mekanisme pertahanan paru mengalami gangguan
sehingga kuman patogen dapat mencapai saluran nafas bagian bawah. Agen-agen mikroba
yang menyebabkan pneumonia memiliki tiga bentuk transmisi primer yaitu aspirasi secret yang
berisi mikroorganisme patogen yang telah berkolonisasi pada orofaring, infeksi aerosol yang
infeksius dan penyebaran hematogen dari bagian ekstrapulmonal. Aspirasi dan inhalasi agen-
agen infeksius adalah dua cara tersering yang menyebabkan pneumonia, sementara penyebaran
secara hematogen lebih jarang terjadi .
Menurut WHO (2010), pneumonia dapat menyebar dalam beberapa cara. Virus dan
bakteri biasanya ditemukan di hidung atau tenggorokan anak yang dapat menginfeksi paru-
paru jika dihirup. Virus juga dapat menyebar melalui droplet udara lewat batuk atau bersin.
Selain itu, radang paru-paru bias menyebar melalui darah, terutama selama dan segera setelah
lahir.
Faktor Risiko
38
Di Indonesia, hasil Survei Kesehatan Nasional (SURKESNAS) menunjukkan bahwa
proporsi kematian bayi akibat ISPA 28%. Artinya bahwa dari 100 bayi yang meninggal 28
disebabkan oleh penyakit ISPA dan terutama 80% kasus kematian ISPA pada balita adalah
akibat pneumonia. Angka kematian akibat pneumonia pada akhir tahun 2000 diperkirakan
sekitar 4,9/1000 balita .
Menurut Depkes RI (2002), pneumonia dapat menyerang semua orang, semua umur,
jenis kelamin serta tingkat sosial ekonomi. Kejadian kematian pneumonia pada balita
berdasarkan SKRT (2001) urutan penyakit menular penyebab kematian pada bayi adalah
pneumonia, diare, tetanus, infeksi saluran pernafasan akut sementara proporsi penyakit
menular penyebab kematian pada balita yaitu pneumonia (22,5%), diare (19,2%), infeksi
pernafasan akut (7,5%), malaria (7%) serta campak (5,2%).
Dari tahun ke tahun pneumonia selalu menduduki peringkat atas penyebab kematian
bayi dan balita di Indonesia. Pneumonia merupakan penyebab kematian balita kedua setelah
diare (15,5% diantara semua balita) dan selalu berada pada daftar 10 penyakit terbesar yang
ada di fasilitas pelayanan kesehatan. Hal ini menunjukkan bahwa pneumonia merupakan
penyakit yang menjadi masalah kesehatan masyarakat utama yang berkontribusi terhadap
tingginya angka kematian pada balita di Indonesia. Kematian akibat pneumonia sangat terkait
dengan kekurangan gizi, kemiskinan dan akses pelayanan kesehatan. Lebih 98% kematian
balita akibat pneumonia dan diare terjadi di Negara berkembang.
Faktor Anak
a. umur
Bayi lebih mudah terkena pneumonia dibandingkan dengan anak balita. Anak berumur
kurang dari 1 tahun mengalami batuk pilek 30% lebih besar dari kelompok anak berumur
anatara 2 sampai 3 tahun. Mudahnya usia di bawah 1 tahun mendapatkan risiko pneumonia
disebabkan imunitas yang belum sempurna dan lubang saluran pernafasan yang relatif masih
sempit. , risiko untuk terkena pneumonia lebih besar pada anak berumur dibawah 2 tahun
dibandingkan yang lebih tua, hal ini dikarenakan status kerentanan anak dibawah 2 tahun
belum sempurna dan lumen saluran nafas yang masih sempit.
b. jenis kelamin
alam program pemberantasan penyakit infeksi saluran pernafasan akut (P2 ISPA)
dijelaskan bahwa laki-laki adalah faktor risiko yang mempengaruhi kesakitan pneumonia. Hal
ini disebabkan karena diameter saluran pernafasan anak laki-laki lebih kecil dibandingkan
dengan anak perempuan atau adanya perbedaan dalam daya tahan tubuh antara anak laki-laki
dan perempuan. Dari penelitian di Indramayu yang dilakukan selama 1,5 tahun didapatkan
39
kesimpulan bahwa pneumonia lebih banyak menyerang balita berjenis kelamin laki-laki
(52,9%) dibandingkan perempuan .
C. Status Imunisasi Campal
Kekebalan dapat dibawa secara bawaan, keadaan ini dapat dijumpai pada balita umur
5-9 bulan, dengan adanya kekebalan ini balita terhindar dari penyakit. Dikarenakan kekebalan
bawaan hanya bersifat sementara, maka diperlukan imunisasi untuk tetap mempertahankan
kekebalan yang ada pada balita. Salah satu pencegahan untuk mengurangi kesakitan dan
kematian akibat pneumonia adalah dengan pemberian imunisasi. Sekitar 43,1% -76,6%
kematian akibat ISPA yang berkembang dapat dicegah dengan imunisasi seperti Difteri,
Pertusis, dan Campak. Bila anak sudah dilengkapi dengan imunisasi DPT dan campak, dapat
diharapkan perkembangan penyakit ISPA tidak akan menjadi berat. Sebagian besar kematian
ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi seperti Difteri, Pertusis dan Campak. Maka peningkatan cakupan imunisasi akan
berperan besar dalam pemberantasan ISPA. Dengan imunisasi campak yang efektif, sekitar
11% kematian pneumonia balita dapat dicegah. Dari hasil pengamatan selama 58 tahun periode
penelitiandi Amerika Serikat terhadap kematian karena pneumonia balita diamati sejak tahun
1939 sampai 1996 menunjukkan vaksinasi campak berperan dalam menurunkan kematian
akibat pneumonia .
d. Imunisasi DPT
munisasi membantu mengurangi kematian anak dari pneumonia dalam dua cara.
Pertama, vaksinasi membantu mencegah anak dari infeksi yang berkembang langsung
menyebabkan pneumonia, misalnya Haemophilus influenza tipe b (Hib). Kedua, imunisasi
dapat mencegah infeksi yang dapat menyebabkan pneumonia sebagai komplikasi dari penyakit
(misalnya, campak dan pertusis). Tiga vaksin yang memiliki potensi untuk mengurangi
kematian anak dari pneumonia adalah vaksin campak, Hib, dan vaksin pneumokokus.
Imunisasi DPT merupakan salah satu imunisasi yang efektif untuk mengurangi faktor yang
meningkatkan kematian akibat ISPA (UNICEF, WHO 2006). alita yang tidak mendapatkan
imunisasi DPT mempunyai peluang mengalami pneumonia sebanyak 2,34 kali disbanding
balita yang mendapatkan imunisasi DPT dan hasil uji statistic menyatakan ada hubungan yang
bermakna antara riwayat imunisasi DPT pada balita dengan kejadian pneumonia.

e. Status Gizi Balita


Keadaan gizi adalah faktor yang sangat penting bagi timbulnya pneumonia. Tingkat
pertumbuhan fisik dan kemampuan imunologik seseorang sangat dipengaruhi adanya
40
persediaan gizi dalam tubuh dan kekurangan zat gizi akan meningkatkan kerentanan dan
beratnya infeksi suatu penyakit seperti pneumonia.Beberapa studi melaporkan kekurangan gizi
akan menurunkan kapasitas kekebalan untuk merespon infeksi pneumonia termasuk gangguan
fungsi granulosit, penurunan fungsi komplemen dan menyebabkan kekurangan mikronutrien.
f. Pemberian AI Ekslusif
Air susu ibu diketahui memiliki zat yang unik bersifat anti infeksi. ASI juga
memberikan proteksi pasif bagi tubuh balita untuk menghadapi patogen yang masuk ke dalam
tubuh. Pemberian ASI eksklusif terutama pada bulan pertama kehidupan bayi dapat
mengurangiinsiden dan keparahan penyakit infeksi. Sehingga pemberian ASI secara Eksklusif
selama 6 bulan dapat mencegah pneumonia oleh bakteri dan virus.
Klasifikasi Dan Diagnosis Pneumonia
Klasifikasi pneumonia berdasarkan klinis dan epidemiologi dapat dibedakan menjadi
3 kategori yaitu:
1. Community Acquired Pneumonia (CAP) atau pneumonia komunitas yaitu
pneumonia yang terjadi infeksi diluar rumah sakit, seperti rumah jompo, home
care.
2.Hospital Acquired Pneumonia (HAP) atau pneumonia nosokomial yaitu pneumonia
yang terjadi lebih 48 jam atau lebih setelah penderita dirawat dirumah sakit baik di
ruang perawatan umum maupun di ICU tetapi tidak sedang menggunakan ventilator.
Hampir 1% dari penderita yang dirawat di rumah sakit mendapatkan pneumonia selama
dalam perawatan dan sepertiganya mungkin akan meninggal
3.Ventilator Associated Pneumonia (VAP) yaitu, pneumonia yang terjadi setelah 48-72
jam intubasi tracheal atau menggunakan ventilasi mekanik di ICU
Klasifikasi Dan Diagnosis Pneumonia
Klasifikasi pneumonia berdasarkan klinis dan epidemiologi dapat
dibedakan menjadi 3 kategori yaitu:
1. Community Acquired Pneumonia (CAP) atau pneumonia komunitas yaitu
pneumonia yang terjadi infeksi diluar rumah sakit, seperti rumah jompo, home
care.
2.Hospital Acquired Pneumonia (HAP) atau pneumonia nosokomial yaitu pneumonia
yang terjadi lebih 48 jam atau lebih setelah penderita dirawat dirumah sakit baik di
ruang perawatan umum maupun di ICU tetapi tidak sedang menggunakan ventilator.
Hampir 1% dari penderita yang dirawat di rumah sakit mendapatkan pneumonia selama
dalam perawatan dan sepertiganya mungkin akan meninggal
41
3.Ventilator Associated Pneumonia (VAP) yaitu, pneumonia yang terjadi setelah 48-72
jam intubasi tracheal atau menggunakan ventilasi mekanik di ICU
Pada balita klasifikasi penyakit pneumonia dibedakan untuk golongan umur < 2 bulan dan
umur 2 bulan sampai 5 tahun yaitu sebagai berikut:
1. Untuk golongan umur kurang dari 2 bulan, diklasifikasikan menjadi 2 yaitu:
a. Pneumonia berat: ditandai dengan adanya nafas cepat, yaitu frekuensi pernafasan
sebanyak 60 kali per menit atau lebih, atau adanya tarikan yang kuat pada dinding
dada bagian bawah ke adalam (severe chest indrawing)
b. Bukan pneumonia: batuk pilek biasa, bila tidak ditemukan tarikan kuat dinding dada
bagian bawah atau nafas cepat
2. Untuk golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun, diklasifikasikan menjadi 3 yaitu:
a. Pneumonia berat: bila disertai nafas sesak yaitu adanya tarikan dinding bagian
bawah ke dalam pada waktu anak menarik nafas (pada saat anak diperiksa anak
harus dalam keadaan tenang tidak menangis atau meronta)
b. Pneumonia: bila disertai nafas cepat
c. Bukan pneumonia: mencakup kelompok penderita balita dengan batuk yang tidak
menunjukkan gejala peningkatan frekuensi nafas (nafas cepat) dan tidak
menunjukkan adanya tarikan dinding dada bawah ke dalam.
WHO merekomendasikan klasifikasi klinis dan pengobatan yang diberikan pada balita
usia 2 bulan sampai 5 tahun yang memiliki batuk atau kesukaran bernafas, dapat dilihat pada
tabel 1 sebagai berikut :

Diagnosis pneumonia

42
Dalam pola tatalaksana penderita pneumonia yang dipakai
program P2 ISPA, diagnosis pneumonia pada balita didasarkan pada adanya batuk atau
kesukaran bernafas disertai dengan peningkatan frekuensi nafas (nafas cepat sesuai umur).
Panduan WHO dalammenentukan seorang anak menderita nafas
cepat dapat dilihat pada tabel 2.2 sebagai berikut :

Pemeriksaan penunjang
A. Gambaran radiologis
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk
menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai konsolidasi
dengan " air broncogram", penyebab bronkogenik dan interstisial Serta gambaran kaviti.
Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia, hanya
merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya gambaran pneumonia lobaris
tersering disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa sering
memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela
pneumonia sering menunjukkan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun
dapat mengenai beberapa lobus.
B.Pemeriksaan labolatorium
Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit, biasanya
lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis leukosit
terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis
etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat
positif pada 20-25% penderita yang tidak diobati. Analisis gas darah menunjukkan
hipoksemia dan hikarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.

43
PENGOBATAN
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian antibiotik pada
penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan datamikroorganisme dan hasil uji kepekaannya,
akan tetapi karena beberapa alasan yaitu :
1. penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
2. bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia.
3. hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu.
maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris. Secara umum
pemilihan antibiotik berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut :

Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)


 Golongan Penisilin
 TMP-SMZ
 Makrolid
Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)
 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)
 Sefotaksim, Seftriakson dosis tinggi
 Marolid baru dosis tinggi
 Fluorokuinolon respirasi
Pseudomonas aeruginosa
 Aminoglikosid
 Seftazidim, Sefoperason, Sefepim
 Tikarsilin, Piperasilin
 Karbapenem : Meropenem, Imipenem
 Siprofloksasin, Levofloksasin
Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)
 Vankomisin
 Teikoplanin
 Linezolid
Hemophilus influenzae
 TMP-SMZ
 Azitromisin
 Sefalosporin gen. 2 atau 3

44
 Fluorokuinolon respirasi
Legionella
 Makrolid
 Fluorokuinolon
 Rifampisin
Mycoplasma pneumoniae
 Doksisiklin
 Makrolid
 Fluorokuinolon
Chlamydia pneumoniae
 Doksisikin
 Makrol
KOMPLIKASI
 Efusi pleura.
 Empiema.
 Abses Paru.
 Pneumotoraks.
 Gagal napas.
 Sepsis

45
DAFTAR PUSTAKA
1. Altunaji SM, Kukuruzovic RH, Curtis NC, Massie J (2012). Antibiotics for whooping cough
(pertussis) (rivew). Evid-based child health 7:3:893-956

2.

46

Anda mungkin juga menyukai