Tugas Case Ke 4 Dewi444jkhuh
Tugas Case Ke 4 Dewi444jkhuh
LAPORAN KASUS
1
1.2 ANAMNESIS
B. Keluhan Tambahan : Batuk dan Pilek , Serta Demam Sejak 5 Hari SMRS
Pasien datang dibawa orang tua ke IGD RSU Kardinah Tegal tanggal 28 Desember
2018 dengan keluhan sesak sejak 5 hari SMRS, sesak semakin memberat dan terus menerus,
sesak juga timbul saat pasien batuk , sehigga pasien tampak biru, muntah setelah batuk dan
batuk diikuti tarikan nafas besar disangkal. Sebelumnya pasien demam dan pilek sejak 1
minggu SMRS. Demam terus meningkat dan menurun apabila diberikan obat penurun
panas. Kejang disangkal. Mual muntah hanya sesekali tidak terus menerus bila diberikan
ASI. BAB dan BAK lancar, tidak ada keluhan. Sebelum pasien mengalami keluhan batuk.
1 minggu sebelumnya ibu pasien mengeluh adanya batuk dan sudah berobat didokter
dikatakan radang tenggrokan. Sejak batuk ibu pasien tidak pernah memakai masker bila
kontak dengan pasien. Keluhan keringat malam, penurunan berat badan, sesak, nyeri sendi
atau pembengkakan tidak dikeluhkan oleh ibu pasien. Saat di IGD didapatkan TTV suhu
36.70C, HR: 139x/menit, RR: 28x/menit, SPO2: 98& dengan nasal canul. Pasien kemudian
dirawat inap di ruangan PICU RSU Kardinah Kota Tegal.
Orang Tua pasien mengaku tidak ada keluarga pasien yang pernah mengalami keluhan
serupa. Tidak ada keluarga yang memiliki penyakit jantung bawaan ataupun asma. Riwayat
penyakit batuk-batuk lama atau pengobatan flek paru juga disangkal. Riwayat hipertensi
dan diabetes mellitus pada orang tua juga disangkal.
2
F. Riwayat Lingkungan Perumahan
Pasien tinggal di rumah milik orang tua pasien. Rumah tersebut berukuran ± 4
x 9 m2, memiliki 1 kamar tidur dengan 1 kamar mandi dan 1 dapur, beratap genteng,
berlantai ubin, berdinding tembok. Di rumah tersebut tinggal kedua orang tua pasien
dan pasien sendiri. Rumah rajin dibersihkan setiap hari dari mulai disapu sampai
membersihkan debu-debu ruangan. Cahaya matahari dapat masuk ke dalam rumah,
lampu tidak dinyalakan pada siang hari. Jika jendela dibuka maka udara dalam rumah
tidak pengap. Jarak septic tank dengan wc ± 9 m.
Kesan: Keadaan lingkungan rumah dan sanitasi baik, ventilasi dan pencahayaan
baik.
3
Lingkar kepala : (orangtua pasien tidak ingat)
Langsung menangis (+)
Kemerahan: (orang pasien tidak ingat)
Nilai APGAR: (orangtua tidak tahu)
Kelainan bawaan: (-)
Kesan : Riwayat perawatan antenatal cukup baik Neonatus aterm, lahir SC,
bayi dalam keadaan bugar.
I. Riwayat Pemeliharaan Postnatal
o Pertumbuhan :
Berat badan lahir anak 3600 gram. Berat badan sekarang 6.4 kg dengan panjang
badan sekarang 57 cm. Usia pasien saat ini adalah 3 bulan
o Perkembangan :
Pertumbuhan gigi pertama: - bulan (Normal: 5-9 bulan)
Motorik Kasar
o Tengkurap : - bulan (Normal: 3-5 bulan)
o Duduk kepala tegak : - bulan (Normal: 6-9 bulan)
o Berdiri : - bulan (Normal: 9-12 bulan)
o Berjalan : - bulan (Normal: 12-18 bulan)
o Mengucapkan kata : - bulan (Normal: 9-12 bulan)
o Makan Sendiri : - bulan (Normal: 18-24 bulan)
Kesan : belum dapat dinilai pertumbuhan dan perkembangan pasien saat ini
4
M. Riwayat Makan dan Minum
Umur
(bulan) ASI/PASI Buah/ Biskuit Bubur Susu Nasi Tim
0–3 ASI - - -
5
1.3 PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 2 Januari 2019, Pukul 14.30, di Ruangan
Rawat PICU RSU Kardinah.
I. Keadaan Umum
Coma (GCS = E4, V6, M5) Tampak sakit berat.
II. Tanda Vital
Tekanan darah : Tidak dilakukan pemeriksaan
Nadi : 142x/menit reguler, kuat, isi cukup
Laju nafas : 35x/menit reguler
Suhu : 36,0 oC, Axilla
SpO2 : 95 % tanpa Oksigen
III. Data Antropometri
Berat badan sekarang : 6.4 kilogram
Tinggi badan sekarang : 57 cm
Lingkar lengan atas : - cm
Lingkar Kepala : 39 cm
IV. Status Internus
Kepala : Normosefali, lingkar kepala 39 cm, UUB dbn
Mata : Conjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), oedem palpebra (-/-), mata
Hidung : Bentuk normal, deformitas (-), deviasi (-), sekret (-/-), napas cuping
hidung (-)
Mulut : Bibir kering (-), bibir sianosis (-), stomatitis (-), labioschizis (-),
6
o Paru :
o Cor :
Abdomen :
Palpasi : Supel, distensi (-), turgor kembali < 2 detik, hepar tidak teraba,
lien tidak teraba , ascites (-)
Superior Inferior
Akral Dingin -/- -/-
Akral Sianosis -/- -/-
CRT <2” <2”
Oedem -/- -/-
Tonus Otot Normotonus Normotonus
Trofi Otot Normotrofi Normotrofi
7
V. Status Neurologis
Tanda rangsang meningeal :
- Kaku kuduk : (-)
- Brudzinski I : (-)
- Brudzinski II : (-)
- Kernig : (-)
- Laseque : (-)
Reflek fisiologis : (+/+)
Refleks patologis : (-/-)
D. PEMERIKSAAN KHUSUS
Lingkar Kepala (Kurva Nellhaus)
Lingkar kepala : 39 cm
Kesan: Normosefali
Pemeriksaan Status Gizi
8
9
1.4 Pemeriksaan Penunjang
Hasil pemeriksaan Laboratorium
28/12/18 02/01/19 Nilai Rujukan
CBC
Hemoglobin 10,1 11.4 10,1-12,9 g/dl
Lekosit 21.2 16.3 6.0-17.5 103/µl
Hematokrit 31.9 34.8 28-42%
Trombosit 604 591 229-553 103/µl
Eritrosit 3.8 4.1 3.2-5.2 106/µl
RDW 14.0 13.9 11,5-14,5%
MCV 84.8 85.3 73-109 U
MCH 26.7 27.9 21-33 Pcg
MCHC 33.9 32.8 28-32 g/dl
Netrofil 42.0 - 25-60 %
Limfosit 52.8 - 25-50 %
Monosit 4,8 - 1-6 %
Eosinofil 0 - 1-5
Basofil 0,3 - 0-1
KIMIA KLINIK
Elektrolit
Natrium 139.7 - 132-145 mmol/L
Kalium 6.74 - 3.1-5.1 mmol/L
Klorida 108.3 - 95-111 mmol/L
Glukosa seweaktu 101 - 50.0-80.0 mg/dL
10
Keterangan:
COR: bentuk dan letak jantung normal
Pulmo : corakan bronkovaskular tampak menigkat, tampak bercak pada kedua lapang paru, tak
tampak penebalan hilus kanan dan kiri, sinus costophrenicus kana dan kiri tampak
lancip.Tak tampak kelainan pada tulang dan soft tissue
Kesan :
Cor tak membesar
Gambaran Bronchopneumonia
RESUME
Pasien datang dibawa orang tua ke IGD RSU Kardinah Tegal tanggal 28 Desember 2018
dengan keluhan sesak sejak 5 hari SMRS, sesak semakin memberat dan terus menerus, sesak
juga timbul saat pasien batuk , sehigga pasien tampak biru, muntah setelah batuk dan batuk
diikuti tarikan nafas besar . Sebelumnya pasien demam dan pilek sejak 1 minggu SMRS.
Demam terus meningkat. Sebelum pasien mengalami keluhan batuk. 1 minggu sebelumnya ibu
pasien mengeluh adanya batuk dan sudah berobat didokter dikatakan radang tenggrokan. Sejak
11
batuk ibu pasien tidak pernah memakai masker bila kontak dengan pasien. Keluhan keringat
malam, penurunan berat badan, sesak, nyeri sendi atau pembengkakan tidak dikeluhkan oleh
ibu pasien. Saat di IGD didapatkan TTV suhu 36.70C, HR: 139x/menit, RR: 28x/menit, SPO2:
98& dengan nasal canul.
Pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis dengan GCS 15. Tampak sakit
berat. Nadi : 142x/menit reguler, kuat, isi cukup. Laju nafas : 35x/menit reguler.Suhu: 36,0oC,
Axilla.SpO2: 95 % tanpa Oksigen. Data antropemetri BB sekarang 6.4 kg dengan TB 57cm
pada kurva WHO didapatkan gizi baik. Status internus LK 39 cm inspeksi paru tampak sedikit
sesak saat di auskultasi terdengar Rh+/+ kedua lapang paru . pemeriksaan umum lainnya dalam
batas normal.
Pemeriksaan laboratorium pada tanggal 28/12/18 didapatkan leukositosis 21.2 103/µl dan
MCHC meningkat 33.9 g/dl, trombositosis 604 103/µl, kalium meningkat 6.74 mmol/L. GDS
101 mg/dL, dilakukan pemeriksaan ulang darah rutin tanggal 2/1/19 leukosit 16.3 103/µl,
trombosit 591 103/µl. Pada pemeriksaan foto Thorax AP COR: bentuk dan letak jantung normal
Pulmo : corakan bronkovaskular tampak menigkat, tampak bercak pada kedua lapang paru, tak
tampak penebalan hilus kanan dan kiri, sinus costophrenicus kana dan kiri tampak lancip.Tak
tampak kelainan pada tulang dan soft tissue KESAN : gambaran bronchopneumonia
F. DAFTAR MASALAH
Sesak
Batuk
Demam
Biru saat batuk
Ditemukan Rhonki pada kedua lapang paru
Imunisasi dasar tidak lengkap
Hasil pemeriksaan penunjang : leukositosis dan gambaran bronchopneumonia.
G. DIAGNOSIS BANDING
Sesak dan batuk dan biru Pneumonia
Bronkopneumonia
Like pertusis Syndrome
CHF
Status Gizi Gizi kurang
Gizi buruk
Gizi normal
12
F. PEMERIKSAAN ANJURAN
- Darah rutin
- Kultur pemerikasaan serologi positif
- PCR
G. PENATALAKSANAAN
a. Non Medikamentosa
02 nasal kanul
Po : ataroc 2x1,5ml
H. PROGNOSIS
13
FOLLOW UP (R.PICU)
29 Desember 2018
(R. PICU)
Hari Perawatan- 2
S Sesak (+) batuk (+) lemas(+) tampak biru (-) demam (-), mual (-)dan muntah saat
batuk ASI berkurang, BAK dan BAB tidak ada keluhan
O KU: CM, tampak sakit sedang
TTV : HR 158x/m, RR 45x/m, S 36.60C. SPO2: 99%
Status generalis:
Mata : CA(-/-), SI (-/-)
Thoraks : Retraksi (-/-), SNV (+/+), Rhonki (+/+), Wheezing (-/-), BJ I,II reguler,
murmur (-), Gallop (-),
Abdomen : supel, BU (+), distensi (-), turgor dbn
Ekstremitas : AH (+/+), OE (-/-) CTR <2 detik
A Like pertussis syndrome
Pneumonia
Gizi baik
P 02 nasal kanul
Po : ataroc 2x1,5ml
30 Desember 2018
(R. PICU)
Hari Perawatan- 3
S Sesak (+) batuk (+) lemas(+) tampak biru (-) demam (-), mual (-)dan muntah saat
batuk ASI berkurang, BAK dan BAB tidak ada keluhan
O KU: CM, tampak sakit sedang
TTV : HR 143x/m, RR 45x/m, S 370C. SPO2: 100%
Status generalis:
Mata : CA(-/-), SI (-/-)
Thoraks : Retraksi (-/-), SNV (+/+), Rhonki (+/+), Wheezing (-/-), BJ I,II reguler,
murmur (-), Gallop (-),
Abdomen : supel, BU (+), distensi (-), turgor dbn
Ekstremitas : AH (+/+), OE (-/-) CTR <2 detik
A Like pertussis syndrome
Pneumonia
Gizi baik
P 02 nasal kanul
14
Infus KAEN 1B 20cc/jam 5tpm
Po : ataroc 2x1,5ml
Diet 8x6occ
31 Desember 2018
(R. PICU)
Hari Perawatan- 4
S Sesak (+) batuk (+) lemas(+) tampak biru (-) demam (-), mual (-)dan muntah saat
batuk ASI berkurang, BAK dan BAB tidak ada keluhan
O KU: CM, tampak sakit sedang
TTV : HR 121x/m, RR 48x/m, S 36.70C. SPO2: 100%
Status generalis:
Mata : CA(-/-), SI (-/-)
Thoraks : Retraksi (-/-), SNV (+/+), Rhonki (+/+), Wheezing (-/-), BJ I,II reguler,
murmur (-), Gallop (-), Retraksi (+)
Abdomen : supel, BU (+), distensi (-), turgor dbn
Ekstremitas : AH (+/+), OE (-/-) CTR <2 detik
A Like pertussis syndrome
Pneumonia
Gizi baik
P 02 nasal kanul
Po : ataroc 2x1,5ml
Diet 8x6occ
1 januari 2019
(R. PICU)
Hari Perawatan- 5
S Sesak (+) batuk (+) lemas(+) tampak biru (-) demam (-), mual (-)dan muntah saat
batuk ASI berkurang, BAK dan BAB tidak ada keluhan
O KU: CM, tampak sakit sedang
TTV : HR 121x/m, RR 44x/m, S 36.00C. SPO2: 99%
15
Status generalis:
Mata : CA(-/-), SI (-/-)
Thoraks : Retraksi (-/-), SNV (+/+), Rhonki (+/+), Wheezing (-/-), BJ I,II reguler,
murmur (-), Gallop (-),
Abdomen : supel, BU (+), distensi (-), turgor dbn
Ekstremitas : AH (+/+), OE (-/-) CTR <2 detik
A Like pertussis syndrome
Pneumonia
Gizi baik
P 02 nasal kanul
Po : ataroc 2x1,5ml
2 Januari 2019
(R. WK Atas)
Hari Perawatan- 6
S Sesak (-) batuk (+) lemas(+) tampak biru (-) demam (-), mual (-)dan muntah saat
batuk ASI mulai meningkat BAK dan BAB tidak ada keluhan
O KU: CM, tampak sakit sedang
TTV : HR 138x/m, RR 44x/m, S 36.30C. SPO2 98%
Status generalis:
Mata : CA(-/-), SI (-/-)
Thoraks : Retraksi (-/-), SNV (+/+), Rhonki (+/+), Wheezing (-/-), BJ I,II reguler,
murmur (-), Gallop (-),
Abdomen : supel, BU (+), distensi (-), turgor dbn
Ekstremitas : AH (+/+), OE (-/-) CTR <2 detik
A Like pertussis syndrome
Pneumonia
Gizi baik
P 02 nasal kanul AF
Po : ataroc 2x1,5ml
16
Cek darah ruti ulang
3 Januari 2019
(R. WK Atas )
Hari Perawatan- 7
S Sesak (-) batuk (+) tampak aktif, tampak biru (-) demam (-), mual (-)dan muntah
saat batuk ASI meningkat, BAK dan BAB tidak ada keluhan
O KU: CM, tampak sakit sedang
TTV : HR 138x/m, RR 48x/m, S 36.60C. SPO2: 98%
Status generalis:
Mata : CA(-/-), SI (-/-)
Thoraks : Retraksi (-/-), SNV (+/+), Rhonki (+/+), Wheezing (-/-), BJ I,II reguler,
murmur (-), Gallop (-),
Abdomen : supel, BU (+), distensi (-), turgor dbn
Ekstremitas : AH (+/+), OE (-/-) CTR <2 detik
A Like pertussis syndrome
Pneumonia
Gizi baik
P
Infus KAEN 1B 20cc/jam 5tpm
Po : ataroc 2x1,5ml
4 Januari 2019
(R. WK atas )
Hari Perawatan- 8
S Sesak (-) batuk (+) lemas(-) tampak biru (-) demam (-), mual (-)dan muntah saat
batuk ASI mulai menigkat, BAK dan BAB tidak ada keluhan
O KU: CM, tampak sakit sedang
TTV : HR 148x/m, RR 45x/m, S 36.0C. SPO2 97%
Status generalis:
Mata : CA(-/-), SI (-/-)
Thoraks : Retraksi (-/-), SNV (+/+), Rhonki (+/+), Wheezing (-/-), BJ I,II reguler,
murmur (-), Gallop (-),
Abdomen : supel, BU (+), distensi (-), turgor dbn
Ekstremitas : AH (+/+), OE (-/-) CTR <2 detik
A Like pertussis syndrome
Pneumonia
Gizi baik
P
Infus KAEN 1B 20cc/jam 5tpm
17
Inj. Gentamicin 1x48 mg
Po : ataroc 2x1,5ml
18
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Defenisi
Pertusis adalah penyakit yang disebabkan oleh Bordetella Pertusis. Bordetella pertusis
adalah penyebab manifestasi klinis pertusis yang paling berat, bakteri gram negative
pleomorfik yang membutuhkan lingkungan tertentu untuk tumbuh. Pertusis sering juga disebut
batuk rejan, batuk seratus hari, tussis quinta, atau violent cough. Penularan pertusis melalui
droplet.
Pertusis (batuk rejan) adalah infeksi saluran nafas atas, yang pertama kali ditemukan pada
tahun 1.500an dan menjadi penyakit endemis di eropa pada tahun 1.600an. pertusis atau disebut
juga batuk rejan, “whooping cough” adalah batuk yang ditandai dengan adanya suara tarikan
nafas yang keras atau inspiratory. Yang mengikutsertakan batuk yang hebat sebelumnya.
Penyakit ini merupakaan penyakit yang sangay menular, disebabkan oleh Bordetella Pertusis.
Pertusis like syndrome disebabkan spesies Bordetella lain seperti B.parapertusis, B.
Bronchiseptica dan B.holmesii, dengan geja umum mirip dengan penyakit pertusis namun lebih
ringan.
Batuk pertusisi dapat berlangsung beberapa hari, minggu, hingga berbulan-bulan.
Gejala ini mengganggu kegiatan sehari-hari dan menyebabkan gangguan tidur yang signifikan.
Kejadian pertusis per tahunnya mencapai 100-200 per 100.000 populasi pada era
sebelumnya vaksinasi dilakukan. Dan saat ini angka kejadian cukup tinggi di Negara
Berkembang. Di Amerika Serikat ditemukan sebanyak 15.000 kasus ditemukan pada tahun
2006 dengan usia tertingi bayi di bawah 4 bulan. Di Inggris angka kejadian pertusis mengalami
penurunan sejak cakupan vaksinasi tinggi pada tahun 1970. Namun, angka kejadian kembali
meninggi saat cakupan vaksinasi menurun. Hal ini membuktikan efikasi vaksinasi.
Komplikasi utama yang sering terjadi pada anak kecil adalah hipoksia, apnea,
pneumonia, kejang, ensefalopati, dan malnutrisi. Batuk paroksimal dengan tekanan yang kuat
dapam mengakibatkan pneumomediastinum, pneumotoraks, emfisema subkutan, epistaksis,
dan hernia.
B. Epidemiologi
Batuk rejan merupakan epidemi pada era sebelum adanya vaksin, yaitu sebelem pertengahan
1940an. Pertussis bisa dicegah dengan vaksinasi dan sejak adanya imunisasi rutin. Morbiditas dan
19
mortalitas batuk rejan telah menurun tajam. Meskipun sudah ada vaksinasi, penyakit tersebut belum
diberantas dan dilaporkan terdapat peningkatan kejadian selama dua dekade terakhir pada tahun
1990an. Hal tersebut masing berlangsung hingga saat ini. Menurut WHO tahun 1999 terdapat 20 hingga
40 juta kasus batuk rejan setiap tahunnya. 90% kasus terjadi di negara berpendapatan rendah dan
mengakibatkan sekitar 200.000-300.000 kematian tiap tahunnya. Sementara menurut penelitian
didapatkan diseluruh duni, setiap tahunnya terdapat 16 juta kasus pertusis, 95% diantaranta terjadi di
negara berkembang, dan mengakibatkan 195.000 anak meninggal setiap tahunnya. Kejadian pertusisi
selalu meningkat dari tahun ke tahun dengan angka peningkatan yang bermakna, bahkan di negara-
negara yang cakupnya vaksinasinya tinggi sekalipun. Puncak insiden petusis di Amerika Serikat saat
ini terdapat kejadia pertusis terbanyak 50 tahun terakhir. Jumlah kejadian mencapai 800.000-1.000.000
kasus setiap tahunnya.
Meskipun orang dewasa dan anak-anak memiliki gejala ringan hingga sedang, bayi
kurang 6 bulan, yang belum menerima 3 dosis vaksin DTP (Difteri-Pertusis-Tetanus) dan
anak-anak pra sekolah yang belum diimunisasi lengkap memiliki risiko tinggi terjadinya
pertusis dan berujung pada komplikasi yaitu kematian. Batuk rejan sangat menular. 70-100%
anggota rumah tangga yang rentan dan 50%-80% kontak sekolah yang rentan menjadi
terinfeksi setelah terpapar kasus pertusis akut.
Penyakit ini menyerang semua kelompok umur, terutama pada anak-anak, dan dapat
menyebabkan kematian terutama anak berusia kurang dari 1 tahunn. CDC Pada tahun 1997-
2000 menunjukan bahwa 29.048 orang dengan batuk rejan, 8.390 orang (29%) berusia <1
tahun, 3.359 orang (12%) berusia 1-4 tahun, 2.835 orang (10%) berusia 5-9 tahun, 8.529
20
(29%) berusia 10-19 tahun. 5,5 kasus per 100.000 penduduk. Dan individu berusia >20 tahun
sebanyak 0,8 kasus per 100.000 penduduk.
Angka kematian di negara berkembang diperkirakan sekitar 3% hal ini dikarenakan
negara terbatas dalam hal sumber daya karena sejumlah faktor, termasuk misdiagnosis.
Kurangnya pengetauhan, dan pelaporan kasus.
Sebelum adanya antibiotik dan imunisasi, insiden dan case fatality rate dari penyakit
ini sangat tinggi. Adanya terapi antibiotik dan imunisasi sangat jauh menurunkan angka
kejadian dan kematian dari penyakit ini. Vaksinasi juga menggeser insiden penyakit dari yang
ada pada awalnya umum menyerang anak-anak usia dini, menjadi lebih sering pada dewasa.
Hal tersebut karena munculnya imunitas tubuh pasca vaksinasi dan menghilangnya kekebalan
setelah 14-12 tahun. Sementara apabila seorang terinfeksi pertusis secara alami, maka
kekebalan alaminya akan menghilang setelah 4-20 tahun.
21
Penelitian di belanda pada tahun 2007, menyatakan bahwa saudara yang lebih tua (usia 9-
13 tahun dan ibu memiliki peran yang sangat penting dalam penularan penyakit kepada bayi
baru lahir.
Di Asia Pasifik, persebaran penyakit perusis digambarkan seperti dalam gambar di bawah
ini pada rentang usia anak-anak. Di Indonesia penderita penyakit pertusis adalah usia dibawah
1 tahun.
C. Etiologi
Bordatella Pertusis (B. Pertusis) adalah penyebab pertusis dan biasanya menyebabkan pertussis
sporadic. B.pertussis adalah bakteri coccabacilus, menginfeksi saluran nafas, dan sangat mudah
menular melalui droplet. Pertussis adalah bakteri gram negatif yang menjadi patogen bagi manusia,
dengan tidak diketauhi adanya resevoir hewan maupun lingkungan. Bordatella pertusis pertama kali
ditemukan oleh Bordet dan Gengou pada tahun 1906.
22
Spesies lain bordatella, terutama bordatella parapertusis dan bordatella bronchiseptica, dapat
menyebabkan gejala seperti pertusis namun lebih ringan. Variasi dalam ekspresi faktor pertusis
mempengaruhi virulensi.
D. Patogenesis
Terdapat 3 fase dalam perjalanan penyakit pertusis, yaitu : fase kataral, paroksimal, dan
konvalesen. Fase paling infeksius adalah fase kataral dan awal fase paroksimal. Transmisi penyakit ini
terjadi melalui droplet respiratorik. Masa inkubasinya berkisar antara 7-10 hari. Gejala klinis yang
terjadi bergantung usia ketika terinfeksi, imunitas tubuh, vaksinasi, dan terapi antibiotik yang diterima,
E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada pertusis dibagi berdasarkan stadiumnya, antara lain stadium
kataral, stadium paroksisimal, dan stadium konvalesen, sebagai berikut:
1. Stadium Kataral
Stadium ini ditandai oleh gejala klinis yang tidak spesifik (mata merah,
peningkatan sekresi nasal, dan demam ringan) yang berlangsung selama 1-2
minggu
2. Stadium Paroksismal
23
3. Stadium Konvalesen
Pada stadium ini ditandai dengan perbaikan gejala klinis secara bertahap sekitar 1-
2 minggu dan batuk sudah mulai mereda, suara “whoop” juga sudah mulai
menghilang. Walaupun umumnya penyakit ini berlangsung 6-8 minggu akan tetapi
batuk masih dapat terjadi sampai berbulan-bulan apabila terjadi stress fisik ataupun
iritasi pada saluran pernapasan.
Pertussis ditandai dengan adanya batuk berat spasme (paroksims). Paroksims berlanjut
tanpa inspirasi hingga akhir dan sering ditandai dengan adanya whoop saat inspirasi. Muntah
post-tussive, atau keduanya. Onset penyakit tersebut perlahan namun mengejutkan, dengan
gejala mirip dengan infeksi saluran nafas atas atas minor. Selama 1-2 minggu pertama,
umumnya terjadi coryza (a head cold) dengan batuk non produktif yang intermiten. Fase ini
diikuti oleh episode batuk paroksismal yang berlangsung selama beberapa minggu. Puncak
keparahan penyakit terjadi setelah 1 atau beberapa minggu dari batuk paroksismal dan menurun
perlahan dengan periode konvalesan selama 2-6 minggu; periode konvalesan bisa berlangsung
hingga 3 bulan dalam beberapa kasus. Gejala pertusis berupa:
- Demam
- Rinorrhea
- Distress pernafasan
- Wheezing
- Kongesti faring
- Vomitus
- Nyeri abdomen
- Nyeri kepala
F. Pemeriksaan Penunjang
Gold standard penegakan diagnosis untuk pertusis adalah dengan kultur dan uji
molekuler salah satunya adalah isolasi B.pertusis pada spesimen klinis memiliki tingkat
spesifitas yang tinggi sehingga banyak digunakan untuk penegakan diagnosis, meskipun
24
tingkat sensitifitasnya bergantung dari berbagai macam faktor, seperti transportasi dan
metode pemeriksaan laboratorium yang digunakan, fase penyakit, usia pasien, status
vaksinasi dan terapi antibiotik yang telah diterima sebelumnya. Untuk mengatasi kekurangan
dari teknik kultur tersebut, telah dikembangkan amplifikasi DNA (seperti PRC) untuk
mendeteksi DNA pertusis dengan mentarget regio promoter dari gen yang mengkode ptxA,
elemen insersi IS481 dan IS 1001, gen adenylate cylase, dan gen porin. Teknik amplifikasi
DNA dapat lebih cepat dan lebih sensitif dalam mendeteksi B.Pertussis. namun dalam praktek
klinis,diagnosis biasanya ditegakan tanpa melakukan pemeriksaan mikrobiologi untuk
mempercepat pemberian terapi dan mencegah komplikasi.
B.pertussis banyak hidup di epitel bersilia pada saluran nafas, oleh karena itu,
pengambilan spesimen klinis dilakukan pada permukaan sel epitel bersilia yang terdapat di
tenggorokan, swab nasofaring, dan aspirasi nasofaring. Pengambilan sputum atau epitel
rongga hidung bagian anterior tidak disarankan karena tidak mengandung epitel bersilia yang
adekuat. Aspirasi melalui pipa endotrakheal dan bronkoalveolar juga bisa dilakukan untuk
mengambil spesimen.
Untuk swab nasofaring, digunakan swab dakron atau kalsium alginat yang fleksibel.
Swab kalsium alginat sebaiknya tidak digunakan untuk PCR. Swab dakron direkomendasikan
untuk PCR terutama apabila kedua prosedur kultur dan PCR dilakukan. Swab dengan ujung
kapas tidak direkomendasikan karena mengandung asam lemak yang bersifat toksik terhadap
Bordatella dan menginhibisi PCR. Gagang swab diinsersi secara perlahan melalui lubang
hidung dan diputar perlahan-lahan selama beberapa detik. Idealnya swab ditempelkan selama
10 detik pada dinding faring posterior sebelum ditarik keluar.
Untuk mengumpulkan sampel dengan cara aspirasi, feeding tube ukuran balita
disambungkan dengan hand-operated vacuum pump with tubing melalui mucus trap Ujung
kateter dimasukkan ke dalam lubang hidung menuju faring posterior, sepanjang dasar
nasofaring.Setelah aspirasi, kateter dibilas dengan 1ml normal saline untuk mengangkat
spesimen. Teknik aspirasi lebih disukai untuk dilakukan apabilamemungkinkan karena
memiliki tingkat isolasi B. pertussis yang lebih tinggi.Namun prosedur ini lebih sulit dan harus
dikerjakan oleh tenaga medis yang professional.
Transport sampel adalah proses yang penting dalam keberhasilan pemeriksaan. Untuk
keberhasilan transport, medium transport yang digunakan harus dapat mencegah hilangnya B.
pertussis dan mencegah pertumbuhan flora normal nasofaring. Medium yang banyak dipilih
25
adalah Regan-Lowe medium. Preinkubasi medium dilakukan pada suhu 360C selama semalam
sebelum digunakan memungkinkan pertumbuhan Bordatella maksimal dan meningkatkan
multiplikasinya media transport non-nutritif seperti asam Casamino yang terbuat dari asam
hydrolyzedcasein 1% juga bisa digunakan. waktu transport harusdiusahakan secepat mungkin,
jarak antara pengambilan sampel hingga dilakukan kultur tidak boleh melebihi 2+ jam
Medium klasik yang digunakan untuk mengisolasi Bordatella adalahagar Bordet-Gengou
(BG). Medium ini terbuat dari kentang sehingga mengandung banyak serat. Serat berfungsi
untuk menetralkan material toksik yang terkandung dalam agar maupun dalam spesimennya
sendiri.Medium ini juga mengandung gliserol sebagai agen penstabil dan sumber karbon.
Untuk mengisolasi Bordatella, agar plates diinkubasi pada suhu 36 0C ±10dengan
tekanan udara sama dengan lingkungan dan kelembabantinggi. Inkubasi pada udaran dengan
kadar karbondioksida tinggi harus dihindari. Plates diinkubasi selama 7-10 hari. Literatur
menunjukan bahwa isolasi B. Pertussis kebanyakan berhasil jika spesimen diambil antara fase
kataral hingga fase paroksismal.
Pertusis dapat sulit diagnosis pada anak kuranh dari 1 tahun pada musim dingin, karena
patogen lain seperti influenza juga umum menginfeksi. Pada kasus ini, gejala akut pertusis
dapat bertumpang tindih dengan bronkiolitis atau infeksi pernapasan lain yang tidak spesifik.
G. Diagnosis
b. Seseorang yang mengalami batuk yang berlangsung lebih dari 2 minggu dengan
minimal 1 dari gejala berikut:
Kriteria laboratorium :
1. Isolasi Bordatella pertussis
26
Berdasarkan CDC 2011, dinyatakan pertusis bila terjadi batuk >14 hari dengan minimal 1
dari gejala berikut :
1. Serangan batuk yang hebat
Kriteria laboratorium:
27
Uji laboratorium yang dapat menentukan jenis bakteri dan spesifik pada penyakit
pertussis adalah biakan sekret nasofaring pada saat stadium kataralis dan stadium paroksismal.
Waktu yang paling tepat untuk melakukan biakan adalah kurang dari 2 minggu pasca batuk
terjadi.
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam penegakan diagnosis pertussis antara lain :
a. Anamnesis
2. Karakteristik batuk : serangan batuk hebat, muntah setelah batuk, suara tarikan nafas
berat, memburuk ketika malam hari
3. Riwayat kontak dengan pasien pertusis pada masa inkubasi (7-21 hari)
b. Konfirmasi biologis
1. Bayi baru lahir dan balita di rumah sakit: kultur dan real-time PCR pada aspirasi
nasofaring atau swab nasofaring, kultur harus dilakukan untuk menganalisis evolusi
populasi bakteri.
2. Anak-anak,remaja,deawasa:
- Apabila terdapat pasien kedua terinfeksi setelah pasien pertama, maka PCR harus
dilakukan pada pasien kedua
- Jika tidak ada pasien kedua, analisis serologi harus dilakukan untuk memberi
antibodi toxin-pertussis jika pasien belum mendapatkan vaksinasi pertussis
sebelumnya, atau dalam 2 tahun terakhir.
3. Kultur
28
- Sensitifitas tinggi pada fase awal penyakit, penyakit yang berat, pasien yang belum
mendapat vaksin pertussis sebelumnya, atau dalam 2 tahun terakhir.
4. PCR
- PCR paling sensitif pada fase awal penyakit dan pada fase paroksismal
5. Serologi
- Diagnosis serum tunggal dapat berguna untuk fase akhir penyakit (3-4 minggu
setelah onset), pemeriksaan serologi berpasangan dengan pengambilan
spesimen klinis kedua pada fase selanjutnya dapat membantu penegakan
diagnosis
- Satu hasil titer IgG terhadap toksin pertussis tinggi (>100-125 U/ml pada
pemeriksaan ELISA) memiliki sensitifitas dan spesifitas yang tinggi untuk
diagnosis
- Interpretasi pada hasil serologi dapat sulit pada pasien yang baru saja mendapat
imunisasi.
29
H. Penatalaksanaan
B. pertussis secara sendirinya dapat hilang secara spontan darinasofaring dalam waktu 2
sampai 4 minggu pasca infeksi. Ketika mulai diawal perjalanan penyakit, selama tahap
katarhal, antibiotik dapatmempersingkat gejala dan mengurangi keparahan pertusis. 'etelah
tahap paroksismal antibiotic tidak efektif dalam mengubah perjalanan penyakit.Dengan ini
tahap, manifestasi klinis penyakit yang disebabkan oleh toksin Bordetella pertussis, dan
dengan demikian tidak terpengaruh oleh terapiantimikroba. Meskipun perjalanan klinis
pertusis tidak mudah dipengaruhioleh pengobatan, penggunaan antibiotik namun dapat
mengurangi masa penularan
Antibiotik yang direkomendasikan untuk tatalaksana pertusis untuk anak berusia lebih dari
1 tahun adalah makrolid, seperti eritromisin,claritromisin, dan a9itromisin. Sedangkan untuk
anak berusia kurang dari 1 tahun lebih direkomendasikan menggunakan azitromisin atau
claritromisinintravena.
30
Studi terbaru menurut Snyder dan fisher (2012) menunjukkan azitromisin adalah obat yang
memiliki efek samping gastrointestinal yang lebih sedikit, karena tidak menghambat sistem
sitokrom P450. Selain itu,eritromisin telah dikaitkan dengan peningkatan risiko stenosis pilorus
bila diberikan untuk bayi di pertama 2 minggu setelah kelahiran. Sementara menurut Bayhan
et al. (2012) claritromisin sangat efektif dan aman untuk terapi pada pasien dengan apnea,
hipoksia dan kesulitan makan.
- Azitromicin (10mg/kgBB) pada hari pertama terapi dan 5 mg/kgBB sekali sehari pada
hari kedua hingga ke-15 terapi.
regimen terbaik untuk microbiological clearance dengan sedikit efek samping adalah sebagai
berikut:
- azitromicin (10mg/kgBB) single dose selama 3 hari
- azitromicin (10mg/kgBB) pada hari pertama terapi dan 5 mg/kgBB sekali sehari pada
hari kedua hingga hari ke 15 terapi ‘
I. Pencegahan
Belum ada bukti ilmiah yang cukup yang membuktikan bahwa terapi profilaksis pertussis
memberikan keuntungan. Profilaksis dengan antibiotik berhubungan dengan efek samping dan
tidak secara signifikan memperbaiki gejala klinis, whoop batuk paroksismal, jumlah kasus
31
yang berkembang menjadi kultur positif B. pertussis atau batuk paroksismallebih dari 2
minggu. Karena resiko tinggi terjadinya morbiditas dankematian pada bayi <6 bulan yang
belum diimunisasi lengkap, profilaksiskontak direkomendasikan untuk keluarga. Pilihan
antibiotik dan dosisnya sama dengan regimen terapi.
selama wabah pertussis, perlu dilakukan vaksinasi pertussis dosis pertama tepat waktu
pada usia 6 minggu dan segera diberikan terapi antibiotik yang sudahdirekomendasikan secara
dini rekomendasi tersebut berlaku secara global, khususnya di negara-negara dimana
vaksinasi DTP/DaTP rutin dimulai pada usia 6 minggu. Bayi yang tidak memenuhi syarat
usia untuk vaksinasiakan mendapatkan keuntungan dan tercegah dari paparan B. pertussis.
Imunitas terhadap pertusis, baik yang diperoleh secara alami maupundidapat dengan
imunisasi tidak bertahan seumur hidup, imunitas yangdidapat dari vaksin hanya
melindungi selama 4-12 tahun saja. Sedangkan imunitas yang diperoleh secara
alami bertahan 4- 20 tahun. Vaksinasi pertussis perlu diulang saat dewasa, hal tersebut
juga termasuk untuk menjaga agar cakupan populasi yang tercover dengan vaksin tetap
tinggi. Penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa durasi imunitas protektif terhadap
pertussis setelah dosis kelima DaTP adalah 3-4 tahun,dengan rata-rata perlindungan
selama 8 tahun dengan sumsi efikasi vaksin 85%engan hilangnya perlindungan oleh
vaksin, diperkirakan bahwa hanya 10% anak yang divaksinasi DaTP akan terlindung 8,5
tahun setelah vaksin terakhir. Dengan diberikannya booster untuk anak prasekolah usia
>10tahun diperkirakan akan sangat sedikit anak >10 tahun yangterlindung dari pertussis,
sehingga diperlukan booster Adap untuk remaja awal.
32
J. Komplikasi
pertussis bisa menyebabkan sakit berat danmengarah pada komplikasi seperti apneu,
sianosis, kesulitan intake, pneumonia, dan ensefalopati. omplikasidari pertusis yang paling
penting adalah infeksi sekunder (seperti pneumonia dan otitis media!, gagal napas (apnea dan
hipertensi pulmonal,gangguan fisik karena serangan batuk yang hebat (fracture
costae, berdarahan konjunctiva, hernia inguinal, kejang, ensefalopati, dankematian. Pneumonia
akibat pertusis adalah keadaan serius dan membutuhkan prosedur ventilasi mekanik insasif
untuk memasang alat bentu pernafasan. kematian akibat pertussis banyak dihubungkan dengan
pneumonia.
K. Prognosis
Sebagian besar anak akan membaik, mengalami perbaikan epitel pada saluran
respiratori dan fungsi paru yang normal setelah sembuh. Padaanak dengan usia lebih muda
akan cenderung membutuhkan rawat inap,hal ini disebabkan memiliki angka kematian
lebih besar. Pada anak yangterkena pertusis dapat mengalami gangguan disabilitas akibat
enselopati.
Prognosis penyakit dapat memburuk pada tahun pertama dan keduakehidupan dimana
angka masuk rumah sakit dan angka kematiannya tinggi case fatality rate 0,2% dan 4%
pada negara maju dan negara berkembang!. Pada anak yang sudah mendapat imunisasi,
gejala biasanyaringan dan tidak spesifik, sehingga jarang terdiagnosis
33
PNEUMONIA
A. Defenisi
34
penyakit lain neumonia adalah peradangan yang mengenai parencim paru, dari broncheolus
terminalis yang mencakup broncheolus respiratorius dan alveoli, serta menimbulkan
konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat. UNICEF/WHO (2006)
menyatakan pneumonia merupakan sakit yang terbentuk dari infeksi akut dari daerah saluran
pernafasan bagian bawah yang secara spesifik mempengaruhi paru-paru dan Depkes RI (2007)
mendefenisikan pneumonia sebagai salah satu penyakit infeksi saluran pernafasan akut yang
mengenai bagian paru.
Etiologi
Diagnosis etiologi pneumonia pada balita sukar untuk ditegakkan karena dahak
biasanya sukar diperoleh. Sedangkan prosedur pemeriksaan imunologi belum memberikan
hasil yang memuaskan untuk menentukan adanya bakteri sebagai penyebab pneumonia. Hanya
biakan dari spesimen pungsi atau aspirasi paru serta pemeriksaan spesimen darah yang dapat
diandalkan untuk membantu menegakkan diagnosis etiologi pneumonia. Meskipun
pemeriksaan spesimen fungsi paru merupakan cara yang sensitif untuk mendapatkan dan
menentukan bakteri penyebab pneumonia pada balita akan tetapi pungsi paru merupakan
prosedur yang berbahaya dan bertentangan dengan etika, terutama jika hanya dimaksudkan
untuk penelitian.
Oleh karena alasan tersebut di atas maka penentuan etiologi pneumonia di Indonesia
masih didasarkan pada hasil penelitian di luar Indonesia. Menurut publikasi WHO, penelitian
di berbagai negara menunjukkan bahwa Streptococcus pneumoniae dan Hemophylus
influenzae merupakan bakteri yang selalu ditemukan pada penelitian tentang etiologi di negara
berkembang. Jenis jenis bakteri ini ditemukan pada dua pertiga dari hasil isolasi, yaitu 73,9%
aspirat paru dan 69,1% hasil isolasi dari spesimen darah. Sedangkan di negara maju, dewasa
ini pneumonia pada anak umumnya disebabkan oleh virus.
Berikut beberpa agent penyebab terjadinya pneumonia
1. bakteri
a. Streptococcus pneumonia
Streptococcus pneumoniae adalah diplokokus gram-positif. Bakteri ini, yang
sering berbentuk lanset atau tersusun dalam bentuk rantai, mempunyai simpai polisakarida
yang mempermudah penentuan tipe dengan antiserum spesifik. Organisme ini adalah penghuni
normal pada saluran pernapasan bagian atas manusia dan dapat menyebabkan pneumonia,
sinusitis, otitis, bronkitis, bakteremia, meningitis, dan proses infeksi lainnya. Pada orang
dewasa, tipe 1-8 menyebabkan kira-kira 75% kasus pneumonia pneumokokus dan lebih dari
35
setengah kasus bakteremia pneumokokus yang fatal; pada anak-anak, tipe 6, 14, 19, dan 23
merupakan penyebab yang paling sering. Pneumokokus menyebabkan penyakit melalui
kemampuannya berbiak dalam jaringan. Bakteri ini tidak menghasilkan toksin yang bermakna.
Virulensi organisme disebabkan oleh fungsi simpainya yang mencegah atau menghambat
penghancuran sel yang bersimpai oleh fagosit. Serum yang mengandung antibodi terhadap
polisakarida tipe spesifik akan melindungi terhadap infeksi. Bila serum ini dia bsorbsi dengan
polisakarida tipe spesifik, serum tersebut akan kehilangan daya pelindungnya. Hewan atau
manusia yang diimunisasi dengan polisakarida pneumokokus tipe tertentu selanjutnya imun
terhadap tipe pneumokokus itu dan mempunyai antibodi presipitasi dan opsonisasi untuk tipe
polisakarida tersebut
pada suatu saat tertentu, 40-70% manusia adalah pembawa pneumokokus virulen,
selaput mukosa pernapasan normal harus mempunyai imunitas alami yang kuat terhadap
pneumokokus. Infeksi pneumokokus menyebabkan melimpahnya cairan edema fibrinosa ke
dalam alveoli, diikuti oleh sel-sel darah merah dan leukosit,yang mengakibatkan konsolidasi
beberapa bagian paru-paru. Banyak pneumokokus ditemukan di seluruh eksudat, dan bakteri
ini mencapai aliran darah melalui drainase getah bening paru-paru. Dinding alveoli tetap
normal selama infeksi. Selanjutnya, sel-sel mononukleus secara aktif memfagositosis sisa-sisa,
dan fase cair ini lambat-laun diabsorbsi kembali. Pneumokokus diambil oleh sel fagosit dan
dicerna di dalam sel.
Pneumonia yang disertai bakteremia selalu menyebabkan angka kematian yang paling
tinggi. Pneumonia pneumokokus kira-kira merupakan 60-80% dari semua kasus pneumonia
oleh bakteri. Penyakit ini adalah endemik dengan jumlah pembawa bakteri yang tinggi.
Imunisasi dengan polisakarida tipe-spesifik dapat memberikan perlindungan 90% terhadap
bakteremia pneumonia.
b. Hemophylus influenza
Hemophylus influenzae ditemukan pada selaput mukosa saluran napas bagian atas pada
manusia. Bakteri ini merupakan penyebab meningitis yang penting pada anak-anak dan
kadang-kadang menyebabkan infeksi saluran napas pada anak-anak dan orang dewasa.
Hemophylus influenzae bersimpai dapat digolongkan dengan tes pembengkakan simpai
menggunakan antiserum spesifik. Kebanyakan Hemophylus influenzae pada flora normal
saluran napas bagian atas tidak bersimpai.
Pneumonitis akibat Hemophylus influenzae dapat terjadi setelah infeksi saluran pernapasan
bagian atas pada anak-anak kecil dan pada orang tua atau orang yang lemah. Orang dewasa
dapat menderita bronkitis atau pneumonia akibat influenzae. Hemophylus influenzae tidak
36
menghasilkan eksotoksin. Organisme yang tidak bersimpai adalah anggota tetap flora normal
saluran napas manusia. Simpai bersifat antifagositik bila tidak ada antibodi antisimpai khusus.
Bentuk Hemophylus influenzae yang bersimpai, khususnya tipe b, menyebabkan infeksi
pernapasan supuratif (sinusitis, laringotrakeitis, epiglotitis, otitis) dan, pada anak-anak kecil,
meningitis. Darah dari kebanyakan orang yang berumur lebih dari 3-5 tahun mempunyai daya
bakterisidal kuat terhadap Hemophylus influenzae,dan infeksi klinik lebih jarang terjadi.
Hemophylus influenzae tipe b masuk melalui saluran pernapasan. Tipe lain jarang
menimbulkan penyakit. Mungkin terjadi perluasan lokal yang mengenai sinus-sinus atau
telinga tengah. Hemophylus influenzae tipe b dan pneumokokus merupakan dua bakteri
penyebab paling sering pada otitis media bakterial dan sinusitis akut. Organisme ini dapat
mencapai aliran darah dan dibawa ke selaput otak atau, jarang, dapat menetap dalam sendi-
sendi dan menyebabkan artritis septik. Hemophylus influenzae sekarang merupakan penyebab
tersering meningitis bakteri pada anak-anak berusia 5 bulan sampai 5 tahun di AS.
Bayi di bawah umur 3 bulan dapat mengandung antibodi dalam serum yang diperoleh dari
ibunya. Selama masa ini infeksi Hemophylus influenzae jarang terjadi, tetapi kemudian
antibodi ini akan hilang. Anak-anak senng mendapatkan infeksi Hemophylus influenzae yang
biasanya asimtomatik tetapi dapat dalam bentuk penyakit pernapasan atau meningitis
(Hemophylus influenzae adalah penyebab paling sering dari meningitis bakterial pada anak-
anak dari umur 5 bulan sampai 5 tahun). Angka kematian meningitis Hemophylus influenzae
yang tidak diobati dapat mencapai 90%. Influenzae tipe b dapat dicegah dengan pemberian
vaksin konjugat Haemophilus b pada anak-anak. Anak-anak berusia 2 bulan atau lebih dapat
diimunisasi dengan vaksin konjugat Hemophylus influenzae tipe 6 dengan satu dari dua
pembawa dengan dosis boster yang diperlukan sesuai anjuran standard. Anak-aanakberusia 15
bulan atau lebih dapat menerima vaksin konjugat.
Hemophylus influenzae tipe b dengan toksoid difteri (yang tidak bersifat imunogenik pada
anak-anak yang lebih muda). Vaksin tidak mencegah timbulnya pembawa untuk Hemophylus
influenzae. Pemanfaatan vaksin Hemophylus influenzae tipe b secara luas telah sangat
menurunkan kejadian meningitis Hemophylus influenzae pada anak-anak. Kontak dengan
pasien yang menderita infeksi klinik Hemophylus influenzae memberi risiko kecil bagi orang
dewasa, tetapi member risiko nyata bagi saudara kandung yang nonimun dan anak-anak
nonimunlain yang berusia di bawah 4 tahun yang berkontak erat .
2. virus
Setengah kejadian pneumonia diperkirakan disebabkan oleh virus. Virus yang sering
menyebabkan pneumonia adalah Respiratory Syncial Virus (RSV). Meskipun virus-virus ini
37
kebanyakan menyerang saluran pernafasan bagian atas pada balita, gangguan ini bias memicu
pneumonia. Tetapi pada umumnya sebagian besar pneumonia jenis ini tidak berat dan sembuh
dalam waktu singkat. Namun bila infeksi terjadi bersamaan dengan virus influenza, gangguan
bias berat dan kadang menyebabkan kematian
3. Mikroplasma
Mikoplasma adalah agen terkecil di alam bebas yang menyebabkan penyakit pada
manusia. Mikoplasma tidak bias diklasifikasikan sebagai virus maupun bakteri, meski
memiliki karakteristik keduanya. Pneumonia yang dihasilkan biasanya berderajat ringan dan
tersebar luas. Mikoplasma menyerang segala jenis usia, tetapi paling sering pada anak pria
remaja dan usia muda.Angka kematian sangat rendah, bahkan juga pada yang tidak diobati.
4. Protozoa
Pneumonia yang disebabkan oleh protozoa sering disebut pneumonia pneumosistis.
Termasuk golongan ini adalah Pneumocysititis Carinii Pneumonia (PCP). Pneumonia
pneumosistis sering ditemukan pada bayi yang prematur. Perjalanan penyakitnya dapat lambat
dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan, tetapi juga dapat cepat dalam hitungan hari.
Diagnosis pasti ditegakkan jika ditemukan P. Carinii pada jaringan paru atau specimen yang
berasal dari paru
Patogenesis dan penularan
Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau aspirasi.
Umumnya mikroorganisme yang terdapat di saluran nafas bagian atas sama dengan di saluran
nafas bagian bawah, akan tetapi pada beberapa penelitian ditemukan jenis mikroorganisme
yang berbeda. Pneumonia terjadi jika mekanisme pertahanan paru mengalami gangguan
sehingga kuman patogen dapat mencapai saluran nafas bagian bawah. Agen-agen mikroba
yang menyebabkan pneumonia memiliki tiga bentuk transmisi primer yaitu aspirasi secret yang
berisi mikroorganisme patogen yang telah berkolonisasi pada orofaring, infeksi aerosol yang
infeksius dan penyebaran hematogen dari bagian ekstrapulmonal. Aspirasi dan inhalasi agen-
agen infeksius adalah dua cara tersering yang menyebabkan pneumonia, sementara penyebaran
secara hematogen lebih jarang terjadi .
Menurut WHO (2010), pneumonia dapat menyebar dalam beberapa cara. Virus dan
bakteri biasanya ditemukan di hidung atau tenggorokan anak yang dapat menginfeksi paru-
paru jika dihirup. Virus juga dapat menyebar melalui droplet udara lewat batuk atau bersin.
Selain itu, radang paru-paru bias menyebar melalui darah, terutama selama dan segera setelah
lahir.
Faktor Risiko
38
Di Indonesia, hasil Survei Kesehatan Nasional (SURKESNAS) menunjukkan bahwa
proporsi kematian bayi akibat ISPA 28%. Artinya bahwa dari 100 bayi yang meninggal 28
disebabkan oleh penyakit ISPA dan terutama 80% kasus kematian ISPA pada balita adalah
akibat pneumonia. Angka kematian akibat pneumonia pada akhir tahun 2000 diperkirakan
sekitar 4,9/1000 balita .
Menurut Depkes RI (2002), pneumonia dapat menyerang semua orang, semua umur,
jenis kelamin serta tingkat sosial ekonomi. Kejadian kematian pneumonia pada balita
berdasarkan SKRT (2001) urutan penyakit menular penyebab kematian pada bayi adalah
pneumonia, diare, tetanus, infeksi saluran pernafasan akut sementara proporsi penyakit
menular penyebab kematian pada balita yaitu pneumonia (22,5%), diare (19,2%), infeksi
pernafasan akut (7,5%), malaria (7%) serta campak (5,2%).
Dari tahun ke tahun pneumonia selalu menduduki peringkat atas penyebab kematian
bayi dan balita di Indonesia. Pneumonia merupakan penyebab kematian balita kedua setelah
diare (15,5% diantara semua balita) dan selalu berada pada daftar 10 penyakit terbesar yang
ada di fasilitas pelayanan kesehatan. Hal ini menunjukkan bahwa pneumonia merupakan
penyakit yang menjadi masalah kesehatan masyarakat utama yang berkontribusi terhadap
tingginya angka kematian pada balita di Indonesia. Kematian akibat pneumonia sangat terkait
dengan kekurangan gizi, kemiskinan dan akses pelayanan kesehatan. Lebih 98% kematian
balita akibat pneumonia dan diare terjadi di Negara berkembang.
Faktor Anak
a. umur
Bayi lebih mudah terkena pneumonia dibandingkan dengan anak balita. Anak berumur
kurang dari 1 tahun mengalami batuk pilek 30% lebih besar dari kelompok anak berumur
anatara 2 sampai 3 tahun. Mudahnya usia di bawah 1 tahun mendapatkan risiko pneumonia
disebabkan imunitas yang belum sempurna dan lubang saluran pernafasan yang relatif masih
sempit. , risiko untuk terkena pneumonia lebih besar pada anak berumur dibawah 2 tahun
dibandingkan yang lebih tua, hal ini dikarenakan status kerentanan anak dibawah 2 tahun
belum sempurna dan lumen saluran nafas yang masih sempit.
b. jenis kelamin
alam program pemberantasan penyakit infeksi saluran pernafasan akut (P2 ISPA)
dijelaskan bahwa laki-laki adalah faktor risiko yang mempengaruhi kesakitan pneumonia. Hal
ini disebabkan karena diameter saluran pernafasan anak laki-laki lebih kecil dibandingkan
dengan anak perempuan atau adanya perbedaan dalam daya tahan tubuh antara anak laki-laki
dan perempuan. Dari penelitian di Indramayu yang dilakukan selama 1,5 tahun didapatkan
39
kesimpulan bahwa pneumonia lebih banyak menyerang balita berjenis kelamin laki-laki
(52,9%) dibandingkan perempuan .
C. Status Imunisasi Campal
Kekebalan dapat dibawa secara bawaan, keadaan ini dapat dijumpai pada balita umur
5-9 bulan, dengan adanya kekebalan ini balita terhindar dari penyakit. Dikarenakan kekebalan
bawaan hanya bersifat sementara, maka diperlukan imunisasi untuk tetap mempertahankan
kekebalan yang ada pada balita. Salah satu pencegahan untuk mengurangi kesakitan dan
kematian akibat pneumonia adalah dengan pemberian imunisasi. Sekitar 43,1% -76,6%
kematian akibat ISPA yang berkembang dapat dicegah dengan imunisasi seperti Difteri,
Pertusis, dan Campak. Bila anak sudah dilengkapi dengan imunisasi DPT dan campak, dapat
diharapkan perkembangan penyakit ISPA tidak akan menjadi berat. Sebagian besar kematian
ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi seperti Difteri, Pertusis dan Campak. Maka peningkatan cakupan imunisasi akan
berperan besar dalam pemberantasan ISPA. Dengan imunisasi campak yang efektif, sekitar
11% kematian pneumonia balita dapat dicegah. Dari hasil pengamatan selama 58 tahun periode
penelitiandi Amerika Serikat terhadap kematian karena pneumonia balita diamati sejak tahun
1939 sampai 1996 menunjukkan vaksinasi campak berperan dalam menurunkan kematian
akibat pneumonia .
d. Imunisasi DPT
munisasi membantu mengurangi kematian anak dari pneumonia dalam dua cara.
Pertama, vaksinasi membantu mencegah anak dari infeksi yang berkembang langsung
menyebabkan pneumonia, misalnya Haemophilus influenza tipe b (Hib). Kedua, imunisasi
dapat mencegah infeksi yang dapat menyebabkan pneumonia sebagai komplikasi dari penyakit
(misalnya, campak dan pertusis). Tiga vaksin yang memiliki potensi untuk mengurangi
kematian anak dari pneumonia adalah vaksin campak, Hib, dan vaksin pneumokokus.
Imunisasi DPT merupakan salah satu imunisasi yang efektif untuk mengurangi faktor yang
meningkatkan kematian akibat ISPA (UNICEF, WHO 2006). alita yang tidak mendapatkan
imunisasi DPT mempunyai peluang mengalami pneumonia sebanyak 2,34 kali disbanding
balita yang mendapatkan imunisasi DPT dan hasil uji statistic menyatakan ada hubungan yang
bermakna antara riwayat imunisasi DPT pada balita dengan kejadian pneumonia.
Diagnosis pneumonia
42
Dalam pola tatalaksana penderita pneumonia yang dipakai
program P2 ISPA, diagnosis pneumonia pada balita didasarkan pada adanya batuk atau
kesukaran bernafas disertai dengan peningkatan frekuensi nafas (nafas cepat sesuai umur).
Panduan WHO dalammenentukan seorang anak menderita nafas
cepat dapat dilihat pada tabel 2.2 sebagai berikut :
Pemeriksaan penunjang
A. Gambaran radiologis
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk
menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai konsolidasi
dengan " air broncogram", penyebab bronkogenik dan interstisial Serta gambaran kaviti.
Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia, hanya
merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya gambaran pneumonia lobaris
tersering disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa sering
memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela
pneumonia sering menunjukkan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun
dapat mengenai beberapa lobus.
B.Pemeriksaan labolatorium
Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit, biasanya
lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis leukosit
terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis
etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat
positif pada 20-25% penderita yang tidak diobati. Analisis gas darah menunjukkan
hipoksemia dan hikarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.
43
PENGOBATAN
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian antibiotik pada
penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan datamikroorganisme dan hasil uji kepekaannya,
akan tetapi karena beberapa alasan yaitu :
1. penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
2. bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia.
3. hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu.
maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris. Secara umum
pemilihan antibiotik berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut :
44
Fluorokuinolon respirasi
Legionella
Makrolid
Fluorokuinolon
Rifampisin
Mycoplasma pneumoniae
Doksisiklin
Makrolid
Fluorokuinolon
Chlamydia pneumoniae
Doksisikin
Makrol
KOMPLIKASI
Efusi pleura.
Empiema.
Abses Paru.
Pneumotoraks.
Gagal napas.
Sepsis
45
DAFTAR PUSTAKA
1. Altunaji SM, Kukuruzovic RH, Curtis NC, Massie J (2012). Antibiotics for whooping cough
(pertussis) (rivew). Evid-based child health 7:3:893-956
2.
46