Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu tujuan pendidikan Islam menurut al-Ghazali adalah beribadah
kepada Allah, dan kesempurnaan insani yang tujuan utamanya adalah
kebahagiaan dunia akhirat. Secara umum tujuan pendidikan Islam adalah
menjadikan manusia sebagai insan pengabdi kepada sang Khaliq, guna mampu
membangun dunia dan mengelola alam semesta sesuai dengan konsep yang telah
ditetapkan Allah SWT.
Berdasarkan tujuan pendidikan Islam adalah untuk mengabdi atau
beribadah kepada Allah, maka orang tua haruslah membimbing dan mengajarkan
anak-anaknya untuk beribadah kepada Allah. Ibadah kepada Allah banyak
bentuknya tetapi shalatlah yang membawa sesuatu yang amat dekat dengan Allah,
di dalamnya terdapat komunikasi antara Tuhan dan hamba-Nya. Dalam shalat
manusia menuju ke kesucian Tuhan. Berserah diri kepada Tuhan, memohon
pertolongan, perlindungan, ampunan, dan memohon di jauhkan dari kesesatan.
Dilihat dari kehidupan perasaan, ibadah dapat mendidik manusia agar
mempunyai perasaan rabbani yang murni dan selalu tunduk dan taat kepada
perintah Allah SWT semata.
Dilihat dari segi nilai-nilai sosial, ibadah dapat mendidik manusia untuk
selalu terpaut kepada sesama muslim dimanapun ia berada dan dalam keadaan
apapun. Sebagian besar ibadah yang dilakukan secara rutin, didirikan secara
berjamaah dan teratur dalam suasana yang penuh kecintaan, mempunyai satu
tujuan dan mempersatukan.
Berdasarkan hal tersebut orang tua bertanggung jawab dalam
membimbing, mengajarkan, dan membiasakan anak-anaknya untuk melaksanakan
shalat.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian shalat pada anak usia dini?

1
2. Bagaimana pembinaan shalat pada anak umur 7-10 tahun?
3. Bagaimana mengajak anak kecil ke masjid?

C. Tujuan
1. Untuk menjelaskan pengertian shalat pada anak usia dini
2. Untuk menjelaskan pembinaan shalat pada anak umur 7-10 tahun
3. Untuk menjelaskan mengajak anak kecil ke masjid

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Shalat
Shalat adalah suatu ibadah yang mengandung beberapa ucapan dan
perbuatan tertentu, yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.1
Menurut Dr. Shalih shalat ialah rukun-rukun yang khusus dan bacaan-bacaan
tertentu dengan ikatan waktu yang sudah ditentukan atau ucapan dan perbuatan
yang dibuka dengan takbir dan diakhiri dengan salam disertai niat.
Dari pengertian di atas dapat ditarik suatu definisi tentang shalat yaitu
suatu perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam
berdasarkan syarat dan rukun-rukun tertentu, dikerjakan dengan penuh khusyu’
dan ikhlas untuk mengagungkan kebesaran Allah serta mengharapkan keridhaan-
Nya.
Shalat merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang mukallaf. Dalil-
dalil mengenai perintah shalat banyak terdapat di dalam al-Quran, di antaranya:

“…Sungguh salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas


orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa: 103).

“Dan dia menyuruh keluarganya, untuk (melaksanakan) salat dan


(menunaikan) zakat, dan dia seorang yang diridai di sisi Tuhannya”. (QS.
Maryam: 55).
Terdapat pula hadits nabi yang memerintahkankan para orang tua untuk
mengajarkan anak melaksanakan shalat. Rasulullah SAW bersabda:

“Perintahlah anak-anak kalian untuk shalat saat umur tujuh tahun dan
pukullah mereka jika tidak shalat saat berumur sepuluh tahun, dan pisahkanlah
mereka dalam tempat tidur.” (HR. Abu Dawud)

1
Masjfuk Zuhdi, Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), cet ke2, h. 13.

3
Dalam ajaran Islam ibadah shalat mempunyai kedudukan yang tertinggi
dibandingkan ibadah-ibadah lainnya. Shalat merupakan tiang agama islam. Islam
tidak dapat tegak kecuali dengan shalat. Hal ini dijelaskan Rasulullah dalam
hadits nya:

“Shalat itu tiang agama, maka barang siapa yang mendirikan shalat
berarti ia menegakkan agama. Dan barang siapa meninggalkannya, berarti ia
telah merobohkan agama.” (HR. Baihaqy).

Shalat juga merupakan kewajiban manusia yang pertama-tama dimintai


Pertanggung jawabannya oleh Allah pada hari kiamat. Bila shalat seseorang itu
baik, maka baik pulalah seluruh amalnya, begitupun sebaliknya jika rusak
shalatnya maka rusak pula seluruh amalnya.2
Dalam sebuah hadits Rasulullah dengan tegas menyebutkan bahwa shalat
merupakan ibadah yang pertama kali dihisab di hari kiamat. Rasulullah SAW
bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah:

“Sesungguhnya amal (manusia) yang pertama kali dihisab pada hari


kiamat adalah shalat. Jika shalatnya baik maka ia beruntung; dan kalau jelek
maka ia gagal dan akan merugi”. (H.R. at-Tirmidzi).

Melihat begitu besar pentingnya shalat, maka menjadi tanggung jawab


orang tua untuk bisa mengajarkan pendidikan shalat kepada anak-anaknya.
Karena selain merupakan pesan dari nabi, shalat adalah sarana untuk mensyukuri
dan memuji nikmat-nikmat Allah SWT, tiang dan fondasi agama, penghapus
dosa, serta penyuci hati dan jiwa.

2
Masjfuk Zuhdi, Studi Islam…, h. 13-14

4
B. Pembinaan Ibadah Shalat Pada Anak Umur 7-10 Tahun
Pembinaan ketaatan beribadah pada anak mulai dari dalam keluarga,
dengan membimbing dan mengajarkan atau melatih anak dengan ajaran agama,
seperti syahadat, shalat (bacaan dan gerakannya), berwudhu, doa-doa, bacaan al-
Qur’an. Lafaz zikir dan akhlak terpuji, seperti bersyukur ketika mendapat
anugerah, bersikap jujur, menjalin persaudaraan dengan orang lain, dan
menjauhkan diri dari perbuatan yang dilarang Allah.3 Anak yang masih kecil
kegiatan ibadah yang lebih menarik baginya adalah yang mengandung gerak.
Anak-anak suka melakukan shalat, meniru orang tuanya kendatipun ia tidak
mengerti apa yang dilakukannya itu. Pengalaman keagamaan yang menarik bagi
anak di antaranya shalat berjamaah. Di samping itu, anak senang melihat dan
berada di dalam tempat ibadah (masjid, mushala, surau dan sebagainya) yang
bagus, rapi dan dihiasi dengan lukisan atau tulisan yang indah. Pengalaman-
pengalaman tersebut merupakan unsur-unsur positif dalam pembentukan
kepribadiannya yang sedang tumbuh dan berkembang itu.
Orang tua perlu mengetahui tahapan-tahapan dalam membiasakan anak
melakukan ibadah shalat agar orang tua bisa memahami cara yang tepat dalam
menanamkan pembiasaan ibadah shalat sesuai dengan perkembangan usia anak.
Dalam buku Begini Seharusnya Mendidik Anak, al-Magribi menjelaskan bahwa
ada tiga tahapan dalam membiasakan anak untuk melakukan shalat4, yaitu:

1. Tahap Pertama: Perintah untuk shalat


Ini adalah masa pertumbuhan kesadaran anak hingga umur tujuh tahun,
pada masa ini anak gemar melihat dan meniru, ketika anak melihat kedua orang
tuanya sedang shalat maka dengan cepat menirunya sehingga bila kedua orang tua
melatih dan membiasakan hal itu sejak usia dini, yang demikian itu lebih baik.

Secara praktis, orang tua menumbuhkan kecintaan anak terhadap shalat


bisa dilakukan pada usia antara 2-7 tahun. Di masa ini orang tua bisa mengajak
3
Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2010), Cet. XII, h. 139.
4
Al- Maghribi bin as-Said al –Maghribi, Begini Seharusnya Mendidik Anak, Panduan Mendidik
Anak Sejak Masa Kandungan hingga Dewasa, Terj. Dari Kaifa Turabbi Waladan Shalihan oleh
Zainal Abidin, (Jakarta: Darul Haq, 2007), Cet. V, h. 282-286.

5
anak membiasakan diri untuk shalat berjamaah. Misalnya, suami atau seorang
ayah menjadi imam di depan dan seorang ibu bersama anak menjadi makmum.
Bila hal ini dilakukan setiap waktu, maka lama kelamaan anak akan terbiasa.
Dalam menumbuhkan kecintaan anak pada shalat, beberapa pakar
mengemukakan berbagai cara yang bisa membantu orang tua dalam
mewujudkannya, diantaranya:

a. Orang tua sebagai teladan


Orang tua seringkali mengeluh karena anak-anak mereka melalaikan
shalat. Padahal mereka telah menasehati dan memperingatkan agar anak tidak
meninggalkannya. Namun satu hal yang kadang-kadang tidak disadari adalah
bahwa seringkali orang tua yang melalaikannya sendiri. Padahal anak akan
banyak “bercermin” pada orang tua. Setiap tingkah laku orang tua akan mudah
ditiru oleh anak. Oleh karena itu bila orang tua menyuruh anak, maka orang tua
pun harus melaksanakannya terlebih dahulu atau langsung mengajak anak-anak
secara bersama-sama berjamaah dimasjid. Dengan cara tersebut anakpun akan
mudah mengikuti seruan orang tua.5
Pada tahap ini keteladanan merupakan cara yang paling baik dalam
menanamkan nilai ibadah pada anak. Keteladanan dalam pendidikan merupakan
metode yang berpengaruh dan terbukti paling berhasil dalam mempersiapkan dan
membentuk aspek moral, spiritual, dan etos sosial anak.
Orang tua khususnya ibu perlu memberikan contoh dan teladan yang dapat
diterima dalam mengembangkan kepribadian dan membentuk sikap anak. Seorang
anak yang sering mendengar perintah-perintah diiringi suara keras dan bentakan-
bentakan, tidak bisa diharapkan untuk bicara lemah lembut, karena itu untuk
menanamkan kelembutan dan sikap ramah pada anak dibutuhkan contoh dari ibu
yang penuh kelembutan dan keramahan.
Demikian halnya dalam pembinaan ibadah shalat wajib, seorang anak
membutuhkan contoh teladan dari orang tuanya sejak kecil. Jika sejak kecil orang
tua menanamkan akan pentingnya pelaksanaan ibadah shalat maka anak akan

5
Imam Musbikin, Kudidik Anakku Dengan Bahagia, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003), Cet. I, h.
414.

6
terbawa suasana tersebut. Dengan adanya teladan tersebut, seorang anak akan
belajar shalat dan menekuninya ketika melihat orang tuanya tekun
menunaikannya di setiap waktunya, demikian juga ibadah-ibadah lainnya.

b. Shalat di awal waktu.


Orang tua bisa menanamkan rasa cinta anak terhadap shalat, melalui cara
membiasakan diri mengajak anak untuk shalat berjamaah di awal waktu. Dengan
cara ini anak akan tergerak hatinya untuk cepat-cepat mendirikan shalat ketika
terdengar suara adzan.6

c. Menghargai tiap tindakan anak


Apapun yang dilakukan orang tua untuk mengajarkan anaknya shalat,
namun tidak jarang orang tua akan mendapati tindakan anak yang bermacam-
macam. Misalnya anak setelah berdiri langsung sujud tanpa rukuk, menoleh ke
sana-kemari, bahkan kadang baru mendapatkan satu rakaat saja, anak telah berlari.
Walaupun demikian, orang tua perlu menghargai dan menghormati setiap
tindakan anak. Sebagai orang tua harus tetap bersyukur, Alhamdulillah, sebab
bagaimanapun juga anak masih dalam tahap belajar. Walaupun sedikit, anak telah
belajar untuk berbuat kebajikan. Orang tua harus tekun, sabar, dalam
membimbing, mengarahkan dan memberi contoh agar anak sedikit demi sedikit
bisa menjalankan dengan baik.7

d. Memisahkan tempat anak.


Anak biasanya sering ramai sendiri dalam shalatnya. Kadang antara satu
dengan yang lain saling mengganggu, menjahili dan saling dorong. Kebiasaan
seperti ini, anak tidak lagi bisa berkonsentrasi dalam shalat, bahkan mengundang
pertengkaran hingga anak menangis. Kondisi seperti ini, biasanya akan membawa
trauma pada anak. Akibatnya anak tidak mau lagi diajak ke masjid untuk shalat,
karena takut dijahili oleh temannya.

6
Imam Musbikin, Kudidik Anakku dengan Bahagia, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003), Cet. I, h.
415.
7
Hana binti Abdul Azis ash-Shani, Mendidik Anak Agar Terbiasa Shalat, (Jakarta: Akbar Media
Eka Sarana, 2008), Cet. I, h. 107

7
Oleh karena itu, memisahkan posisi antar anak dalam shalat sangat
berguna dan banyak sekali manfaatnya. Misalnya bila ada dua anak yang akan
mengerjakan shalat, orang tua bisa berada di tengah-tengah. Dengan cara ini, anak
tidak lagi saling dorong dan dengan senang akan mengikuti shalat hingga selesai.
Melatih anak untuk mencintai shalat membutuhkan kebijaksanaan dan
kesabaran. Memberi contoh yang baik lagi kreatif sangat bermanfaat. Orang tua
yang rajin dan mempunyai disiplin dalam shalat akan sangat berpengaruh dan
menjadi teladan yang baik bagi belahan jiwanya, yakni menjadi anak yang shaleh
dan shalehah yang taat beribadah kepada Allah SWT.8

2. Tahapan Kedua: Mengajarkan Tata Cara Shalat


Periode ini mulai diajarkan ketika anak berumur antara tujuh hingga
sepuluh tahun, maka pengarahan dan bimbingan pada anak tentang tata cara shalat
dari mulai rukunnya, syaratnya, waktunya, dan hal-hal yang merusak shalat harus
sudah dimulai.
Dari Sabirah bin Ma’bad al-Juhani bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“Ajarilah anakmu untuk shalat ketika berumur tujuh tahun dan pukullah
untuk shalat ketika berumur sepuluh tahun.”9

Dalam mendidik anak untuk melaksanakan shalat orang tua harus


mengajarkan tata cara shalat dengan benar berdasarkan ketentuan-ketentuan yang
telah dijelaskan di atas, sehingga anak dapat mengetahui dan mempraktekkan nya
dengan benar.

3. Tahap Ketiga: Memukul Anak Karena Tidak Shalat


Tahapan ini dimulai semenjak anak berusia sepuluh tahun, ketika anak
mulai teledor, sembrono, atau malas dalam menunaikan shalat. Orang tua atau
pendidik boleh memukul anak sebagai bentuk pemberian sanksi kepada anak yang

8
Imam Musbikin, Kudidik Anakku dengan Bahagia, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003), Cet. I, h.
416-418
9
Al-Maghribi bin as-Said al-Maghribi, Begini Seharusnya Mendidik Anak ...., h. 283

8
teledor menunaikan kewajibannya terhadap Tuhan karena mengikuti jalan
syetan.10
Ketika anak berusia sepuluh tahun, anak sudah harus diarahkan untuk aktif
melaksanakan shalat. Orang tua harus memberikan teguran bila anak
meninggalkan shalat. Tidaklah kasihan melihat anak harus dipukul sebab tidak
melaksanakan shalat pada usianya yang masih sepuluh tahun.
Orang tua sudah diwajibkan untuk mengenalkan shalat pada anak sejak
berusia tujuh tahun hingga sepuluh tahun. Dalam rentang tiga tahun tersebut.
Sudah ada ribuan perintah untuk melaksanakan shalat oleh orang tua, baik itu
dengan perintah maupun lisan. Jika anak telah berusia sepuluh tahun dan tetap
malas melaksanakan shalat, orangtua bisa mmberi teguran berupa nasihat terlebih
dahulu. Pukulan merupakan cara akhir bila anak tidak bisa dinasihati dengan baik.
Jangan ragu mengingatkan dan menasihati anak untuk melaksanakan
shalat. Tidak ada toleransi di bidang ini, sebab shalat merupakan asas agama yang
sangat penting dan wajib dilakukan. Bila orang tua salah didik sejak kecil, ke
depannya anak akan menjadi malas dan merasa sepele pada shalat. Apalagi bila
orang tua tidak memberi contoh yang baik.
Syekh Ibnu Utsaimin menjelaskan terkait cara memukul anak bila tidak
mau mengerjakan shalat. “Nabi SAW, telah memerintahkan agar kita
memerintahkan anak-anak kita melakukan shalat saat mereka berusia tujuh
tahun, atau kita memukul mereka saat mereka berusia sepuluh tahun. Padahal
ketika itu usia mereka belum baligh. Tujuannya adalah agar mereka terbiasa
melakukan ketaatan dan akrab dengannya. Sehingga terasa mudah dilakukan
apabila mereka telah besar dan mereka mencintainya. Begitu pula dengan
perkara-perkara tidak terpuji, tidak selayaknya mereka dibiasakan sejak kecil
meskipun mereka belum balig, agar merekatidak terbiasa dan akrab ketika sudah
besar.” (Fatawa Nurun ala Darb, 11/386)
Beliau juga menambahkan, “Perintah ini bermakna wajib, akan tetapi
dibatasi apabila pemukulan itu mendatangkan manfaat. Karena kadang-kadang,
anak kecil dipukul tapi tidak bermanfaat pukulan tersebut, hanya sekedar jeritan

10
34 Al-Maghribi bin as-Said al-Maghribi, Begini Seharusnya Mendidik Anak ...., h. 286

9
dan tangis yang tidak bermanfaat. Kemudian yang dimaksud dengan pukulan
adalah pukulan yang tidak melukai. Pukulan yang mendatangkan pernbaikan
bukan yang mencelakakan.” (Liqo Al-Bab Al-Maftuh 95/18)
“Tidak boleh dipukul dengan pukulan yang melukai, juga tidak boleh
memukul wajah atau di bagian yang dapat mematikan. Hendaknya dipukul di
bagian punggung atau pundak atau semacamnya yang tidak membahayakannya.
Mmukul wajah mengandung bahaya, karena wajah merupakan bagian teratas
dari tubuh manusia dan paling mulia. Jika dipukul dibagian wajah, maka sang
anak merasakan terhinakan melebihi jika dipukul di bagian punggung. Karena
itu, memukul wajah dilarang.” (Fatawa Nurun ala Darb 13/2).11
Hukuman dan menghukum itu bukanlah soal perseorangan, melainkan
mempunyai sifat kemasyarakatan. Hukuman tidak dapat dilakukan sewenang-
wenang menurut kehendak seseorang, tetapi menghukum itu adalah suatu
perbuatan yang tidak bebas, yang selalu mendapat pengawasan dari masyarakat
dan negara. Apalagi hukuman yang bersifat pendidikan, harus memenuhi syarat-
syarat tertentu. Adapun syarat-syarat hukuman itu antara lain:
a. Hukuman itu harus bersifat memperbaiki. Ini berarti bahwa hukuman harus
mempunya nilai mendidik (normatif) bagi si terhukum. Sehingga dengan
hukuman itu dapat memperbaiki kelakuan dan moral anak.
b. Hukuman tidak boleh bersifat ancaman atau balas dendam, karena hukuman
yang seperti ini tidak memungkinkan adanya hubungan baik antara si pendidik
dengan yang didik.
c. Jangan menghukum ketika dalam keadaan sedang marah. Sebab jika
demikian, kemungkinan hukuman itu tidak adil atau terlalu berat.
d. Tiap-tiap hukuman harus diberikan dengan sadar dan sudah diperhitungkan
atau dipertimbangkan terlebih dahulu.
e. Bagi si terhukum (anak), hukuman itu hendaklah dapat dirasakannya sebagai
penderitaan yang sebenarnya. Sehingga dengan hukuman itu anak merasa
menyesal dan merasa bahwa untuk sementara waktu ia kehilangan kasih
sayang orang tuanya.

11
Eva Rianty Lubis, Pesan Dari Nabi Tentang Anak, (Jakarta: PT Alex Media, 2018), h. 102-105

10
f. Jangan melakukan hukuman badan. Sebab pada hakikatnya hukuman badan
itu dilarang oleh negara, tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan merupakan
penganiayaan sesama makhluk, lagi pula, hukuman badan tidak meyakinkan
kita adanya perbaikan bagi si terhukum, tetapi sebaliknya hanya menimbulkan
sikap suka melawan.
g. Hukuman tidak boleh merusak hubungan baik antara si pendidikan dan anak
didiknya. Untuk itu perlulah hukuman yang diberikan itu dapat dimengerti dan
dipahami oleh anak. Anak hendaknya memahami bahwa hukuman itu akibat
yang sewajarnya dari pelanggaran yang telah diperbuatnya.12

Tokoh-tokoh cendekiawan muslim memberikan komentar dan


pendapatnya mengenai hukuman, diantaranya: Al-Aghazali berpendapat seorang
pendidik laksana dokter, apabila dia berlebihan memberi obat (hukuman) kepada
anak, hati mereka akan beku dan jiwanya akan mati. Maksudnya penerapan
hukuman harus proporsional, tidak boleh berlebihan dan diusahakan memberi
kesempatan terlebih dahulu kepada anak untuk memperbaiki. Sedangkan ibnu
Khaldun berpendapat bahwa seorang pendidik memberikan pengajaran pada anak
didik harus memahami/menguasai ilmu jiwa anak, apabila tidak, dikhawatirkan
seorang pendidik bertindak ceroboh, kasar, keras dan mudah marah. Hal ini tentu
akan menyebabkan anak menjadi pendusta, pemalas, pemurung, tidak percaya diri
dan akan mengemukakan sesuatu yang tidak sesuai dengan fakta karena takut
dihukum.13

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa hukuman memiliki


tujuan untuk merubah tingkah laku manusia menjadi lebih baik. Hukuman
merupakan upaya akhir yang dilakukan pendidik apabila upaya prefentif yang
bersifat lemah lembut tidak menunjukkan perubahan atau hasil yang positif.
Dalam menerapkan hukuman harus dilakukan dengan hati-hati dan proporsional

12
M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2007), Cet. XVIII, h. 191-192.
13
Abuddin Nata, dan Fauzan, Pendidikan dalam Perspektif Hadits, (Jakarta: UIN Jakarta Press,
2005), Cet. I, h. 375-376.

11
dalam arti sesuai dengan tingkat kesalahan anak dan yang terpenting adalah
hukuman dapat merubah perilaku anak menjadi lebih baik.

C. Mengajak Anak Kecil ke Masjid


Penting bagi orang tua untuk mengajak anak-anaknya pergi ke mesjid.
Karena bagaimana hati anak bisa terpaut dengan masjid, jika orang tuanya tak
pernah mengajaknya ke mesjid.
Mengajarkan anak untuk mencintai masjid akan menjadikan kekuatan
iman dan aqidah terpelihara dalam dirinya. Mesjid adalah rumah Allah yang tentu
ada banyak keutamaan yang akan diperoleh bila seseorang gemar memakmurkan
masjid.14
Selain menanamkan ibadah juga mengajari mereka untuk menghormati
orang lain, bersikap tenang, tidak mengganggu orang lain, tidak bermain, belajar
berkomunikasi dengan orang-orang diluar rumah, juga akan bermanfaat bagi si
anak untuk mengenal lingkungan sekitar. Hikmah lain yaitu untuk membiasakan
mereka dalam ketaatan dan menghadiri sholat jamaah, mulai sejak kecil, karena
sesungguhnya pemandangan-pemandangan yang mereka lihat dan dengar saat di
masjid seperti: dzikir, bacaan qur’an, takbir, tahmid, dan tasbih itu memiliki
pengaruh yang kuat dalam jiwa mereka, tanpa mereka sadar. Pengaruh tersebut,
tidak akan atau sangat sulit hilang saat mereka dewasa dan memasuki perjuangan
hidup dan gemerlap dunia. Banyak hadits yang menerangkan tentang kehidupan
Nabi bersama anak-anak di masjid. Diantaranya hadits-hadits sebagai berikut:

1. Menggendong Anak ketika Shalat


Abu Qotadah radhiallahu ‘anhu mengatakan: Ketika kami sedang duduk-
duduk di masjid, Rosulullah shallallahu alaihi wasallam muncul ke arah kami
sambil menggendong Umamah binti Abil Ash, ibunya adalah Zainab binti
Rosulullah, ketika itu Umamah masih kecil (belum disapih), beliau
menggendongnya di atas pundak, kemudian Rosulullah mengerjakan sholat,
sedang Umamah masih di atas pundak beliau, apabila ruku’ beliau meletakkan

14
Hani Fatma Yuniar, a Lifetime Islamic Parenting, (Jawa Tengah: Caesar Media Pustaka, 2018),
h. 62.

12
Umamah, dan apabila berdiri beliau menggendongnya kembali, beliau melakukan
yang demikian itu hingga selesai sholatnya. (HR. Abu Daud no. 783, an-Nasa’i
no. 703 dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahumullah).

Hadis di atas menerangkan tentang diperbolehkannya melaksanakan shalat


sambil menggendong anak kecil. Ketika melakukan gerakan shalat, maka anak
kecil itu kemudian diturunkan terlebih dahulu. Tentu saja anak kecil yang
digendong itu harus suci dari najis.15

2. Meringankan Bacaan Ketika Mendengar Tangisan Anak


Anas radhiallahu ‘anhu mengatakan: Rasulullah SAW pernah mendengar
tangisan seorang anak kecil bersama ibunya, sedang beliau dalam keadaan
sholat, karena itu beliau membaca surat yang ringan, atau surat yang pendek.
(HR. Muslim no. 722).

3. Berhenti Berkhutbah untuk Menyambut Anak


Buroidah mengatakan: Suatu saat Nabi saw berkhutbah, lalu datanglah
Hasan dan Husain radhiallahu‘anhu yang memakai baju merah, keduanya
berjalan tertatih-tatih dengan baju tersebut, maka beliau pun turun (dari
mimbarnya) dan memotong khutbahnya, lalu beliau menggendong keduanya dan
kembali ke mimbar, lalu mengatakan: “Maha benar Allah dalam firman-Nya:
‘Sungguh harta-harta dan anak-anak kalian itu adalah fitnah (cobaan)’, aku
melihat kedua anak ini tertatih-tatih dengan bajunya, maka aku tidak sabar,
hingga aku memotong khutbahku, lalu aku menggendong keduanya”. (HR. an-
Nasa’i no. 1396, Ibnu Majah no. 5390 dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani
rahimahumullah).

4. Menuntaskan keinginan Anak


Syaddad radhiallahu ‘anhu mengatakan: Suatu ketika Rasulullah SAW
pernah datang kepada kami dalam salah satu sholat fardhu malamnya (maghrib
atau isya’), sambil menggendong Hasan atau Husein, lalu Rasulullah SAW maju
ke depan (untuk mengimami), beliau pun menurunkannya (Hasan atau Husein),

15
Brilly El-Rasheed, Hukum Mengajak Anak Kecil ke dalam Masjid, Indonesia, h. 1-2.

13
lalu bertakbir untuk memulai sholatnya, di tengah-tengah sholatnya beliau sujud
dengan sujud yang panjang.
Syaddad mengatakan: maka aku pun mengangkat kepalaku, dan ternyata
ada anak kecil (Hasan atau Husein) di atas punggung Rosulullah yang sedang
sujud, lalu aku kembali sujud. Setelah Rasulullah menyelesaikan sholatnya, para
sahabatnya bertanya: Wahai Rasulullah, sungguh engkau telah bersujud dengan
sujud yang panjang di tengah-tengah sholatmu, sehingga kami mengira terjadi
sesuatu, atau ada wahyu yang turun kepadamu? Beliau menjawab: Bukan karena
itu semua, akan tetapi cucuku (Hasan atau Husein) menunggangiku, dan aku
tidak ingin segera menyudahinya sampai ia puas dengan keinginannya. (HR. an-
Nasa’I no. 1129, Hakim no. 4759 dan dishahihkannya serta disepakati oleh adz-
Dzahabi).16
Asy-Syaikh Fuhaim Mushthafa dalam buku spektakulernya di bidang
pendidikan anak bertajuk Minhaj Ath-Thifl Al-Muslim mendaftar sebelas manfaat
mendekatkan Anak ke masjid, sebagai berikut:
1) Menjelaskan kepada anak bahwa dia akan mendapat kesenangan batin ketika
melaksanakan syiar-syiar Islam di dalam masjid.
2) Melatih anak untuk selalu mengunjungi masjid secara teratur.
3) Melatih anak agar menjaga sopan santun ketika mendatangi masjid dan
mengerjakan shalat di dalamnya. Juga melatihnya agar menghormati orang-
orang yang mengerjakan shalat berjamaah bersamanya.
4) Memperkuat hubungan dan ikatannya dengan kaum muslimin yang lain
melalui keberadaan dan kunjungannya yang terus menerus terhadap masjid.
5) Melatih anak selalu mempraktekkan tingkah laku yang lurus dan mulia seperti
mengucapkan salam, bertindak hormat, berbicara, dan berdialog dengan sopan
terhadap jamaah yang shalat di dalam masjid.
6) Mempererat hubungan anak dengan jamaah kaum muslimin. Inilah salah satu
tujuan shalat berjamaah yaitu mewujudkan ruh bermasyarakat yang tinggi
pada setiap individunya.

16
https://cianjurkotasantri.com/mengajak-anak-ke-masjid/(diakses pada tanggal 19 April 2019
pukul 16.50 WIB)

14
7) Selalu menanyakan kaum muslimin yang tidak hadir, selalu mengunjungi
mereka yang sakit, dan lain sebagainya dari perbuatan-perbuatan mulia yang
disukai.
8) Menumbuhkan ruh berjamaah, bekerja sama, saling mengun-jungi, dan saling
mencintai di antara sesama.
9) Melatih anak selalu memelihara masjid dan barang-barang yang ada di
dalamnya, serta tidak merusak masjid atau mengganggu orang-orang yang
shalat di dalamnya.
10) Membiasakan anak selalu berinisiatif dan berjiwa sosial sesuai ajaran Islam.
Seperti membagibagi shadaqah, zakat mal, zakat fithrah, dan amal-amal sosial
lainnya yang sangat bermanfaat bagi kehidupan sosial manusia.
11) Membiasakan anak selalu melayani orang-orang yang shalat. Juga
membiasakannya dengan perbuatan-perbuatan lain yang menanamkan rasa
tawadhu` (rendah diri) dan cinta beramal secara ikhlas di jalan Allah. 17

Jadi, mari dekatkan masjid kepada anak-anak sehingga mereka mencintai


masjid, dan mari kita dekatkan anak-anak kepada masjid sehingga masjid tidak
kehilangan calon generasi penerus yang nantinya akan menjaga masjid dari
tindak-tanduk bejat orang-orang jahil, dan mempertahankan kelestarian masjid
dan keagungannya.

17
Brilly El-Rasheed, Hukum Mengajak Anak Kecil ke dalam Masjid, Indonesia, h. 6-7.

15
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1. shalat yaitu suatu perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan
salam berdasarkan syarat dan rukun-rukun tertentu, dikerjakan dengan penuh
khusyu’ dan ikhlas untuk mengagungkan kebesaran Allah serta mengharapkan
keridhaan-Nya. Shalat merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang
mukallaf.
2. Al-Magribi menjelaskan bahwa ada tiga tahapan dalam membiasakan anak
untuk melakukan shalat umur 7-10 tahun yaitu: a) Perintah untuk shalat, b)
Mengajarkan Tata Cara Shalat, c) Memukul Anak Karena Tidak Shalat.
3. Penting bagi orang tua untuk mengajak anak-anaknya pergi ke mesjid. Karena
bagaimana hati anak bisa terpaut dengan masjid, jika orang tuanya tak pernah
mengajaknya ke mesjid. Mengajarkan anak untuk mencintai masjid akan
menjadikan kekuatan iman dan aqidah terpelihara dalam dirinya. Selain
menanamkan ibadah juga mengajari mereka untuk menghormati orang lain,
bersikap tenang, tidak mengganggu orang lain, tidak bermain, belajar
berkomunikasi dengan orang-orang diluar rumah, juga akan bermanfaat bagi
si anak untuk mengenal lingkungan sekitar.

16
DAFTAR PUSTAKA

Al- Maghribi bin as-Said al –Maghribi, 2007, Begini Seharusnya Mendidik Anak,
Panduan Mendidik Anak Sejak Masa Kandungan hingga Dewasa, Terj.
Dari Kaifa Turabbi Waladan Shalihan oleh Zainal Abidin, Jakarta: Darul
Haq.
El-Rasheed, Brilly, Hukum Mengajak Anak Kecil ke dalam Masjid, Indonesia.
Hana binti Abdul Azis ash-Shani, 2008, Mendidik Anak Agar Terbiasa Shalat,
Jakarta: Akbar Media Eka Sarana.
Musbikin, Imam, 2003, Kudidik Anakku Dengan Bahagia, Yogyakarta: Mitra
Pustaka.
Nata, Abuddin dan Fauzan, 2005, Pendidikan dalam Perspektif Hadits, Jakarta:
UIN Jakarta Press.
Purwanto, M. Ngalim, 2007, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Rianty Lubis, Eva, 2018, Pesan Dari Nabi Tentang Anak, Jakarta: PT Alex
Media.
Yusuf LN, Syamsu, 2010, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
Yuniar, Hani Fatma, 2018, a Lifetime Islamic Parenting, Jawa Tengah: Caesar
Media Pustaka.
Zuhdi, Masjfuk, 1992, Studi Islam, Jakarta: Rajawali Pers.
https://cianjurkotasantri.com/mengajak-anak-ke-masjid/(diakses pada tanggal 19
April 2019 pukul 16.50 WIB)

17

Anda mungkin juga menyukai