Tugas Kelompok Fitokimia (Kelompok 3)
Tugas Kelompok Fitokimia (Kelompok 3)
Disusun oleh :
FARMASI D
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADYAH MALANG
2019
A. PENGARUH METODE
Uji t antara metode refluks dan maserasi biji kelor menggunakan pelarut metanol
80% (Lampiran 2), dapat diketahui bahwa nilai-p dari uji adalah 0,172. Karena nilai-p
nya lebih besar dari taraf nyata (α) 5%, maka kesimpulannya terima H0 artinya antara
metode refluk-heksana dan maserasi-heksana tidak berbeda nyata pada taraf nyata
5%, atau untuk menarik kesimpulan dapat dilihat dari nilai-t (t hitung), yakni nilai t
hitung didapat sebesar 1,59, sedangkan nilai t-tabel dengan df=5, dan α= 5% adalah
2,571, karena nilai t hitung < dari t-tabel maka kesimpulannya terima H0 artinya tidak
terdapat perbedaan diantara kedua metode tersebut.
Secara uji statistik tidak terdapat perbedaan nyata antara metode refluks dan
maserasi dengan menggunakan pelarut metanol 80%, tetapi metode refluks, dari segi
waktu memiliki efisiensi ekstraksi yang lebih singkat dibandingkan dengan metode
maserasi. Proses ekstraksi dengan refluks memerlukan waktu 4 × 2 jam, sedangkan
dengan maserasi memerlukan waktu sampai 3 × 24 jam. Kemudian dari segi pelarut
yang digunakan, metode maserasi relatif menggunakan pelarut lebih banyak
dibandingkan dengan metode refluks.
Metode refluks ataupun maserasi menggunakan pelarut heksana, secara rata–rata
pada sampel biji dihasilkan rendemen yang lebih besar, dengan demikian dapat
disimpulkan, bahwa pada biji kelor banyak terdapat senyawa metabolit sekunder yang
bersifat non-polar.
KESIMPULAN :
1. Golongan senyawa kimia pada ekstrak biji dengan pelarut methanol 80% dengan
refluks adalah alkaloid, phenol hidroquinin, flavonoid dan saponin, sedangkan
dengan maserasi hanya alkaloid dan saponin.
2. Metode refluks dapat mengekstrak senyawa kimia lebih besar dari pada metode
maserasi.
KESIMPULAN :
Kadar flavonoid yang diperoleh dari metode ekstraksi tidak bertingkat dan
metode ekstraksi bertingkat tidak ada perbedaan nyata, kedua metode ekstraksi tidak
memberikan pengaruh terhadap hasil kadar flavonoid.
3. PERBANDINGAN METODE EKSTRAKSI MASERASI DAN SOKLETASI
TERHADAP KADAR FLAVONOID TOTAL EKSTRAK ETANOL DAUN KERSEN
(Muntingia calabura)
(Anita Dwi Puspitasari, Lean Syam Proyogo )
Dilihat dari nilai kadar flavonoid total dari kedua metode ekstraksi, metode yang
menghasilkan kadar flavonoid total paling besar adalah metode sokletasi. Berdasarkan
rendemen ekstrak daun kersen yang diperoleh, metode sokletasi juga lebih banyak
dibandingkan dengan metode maserasi. hal inilah yang mendasari mengapa kadar
flavonoid total metode sokletasi lebih besar dibandingkan metode maserasi. selain itu
kemungkinan flavonoid total yang terdapat pada daun kersen lebih mudah tersari
dengan metode sokletasi dibandingkan metode maserasi.
KESIMPULAN
Kadar flavonoid total ekstrak etanol daun kersen (Muntingia calabura)
menggunakan metode sokletasi lebih besar di bandingkan metode maserasi.. Kadar
flavonoid total dalam ekstrak etanol daun kersen dengan metode maserasi adalah
0,1879% b/b sedangkan metode sokletasi adalah 0,2158% b/b.
4. PERBANDINGAN METODE EKSTRAKSI MASERASI DAN REFLUKS TERHADAP
KADAR FENOLIK DARI EKSTRAK TONGKOL JAGUNG (Zea mays L.)
(Susanty , Fairus Bachmid)
Dari tabel 5 diatas didapatkan kadar total fenolik hasil ekstraksi refluks lebih
besar daripada maserasi, yaitu sebesar 0,397 mg/gram atau 396,768 mg/kg. Perbedaan
hasil kadar fenolik yang diperoleh dari hasil kedua ekstraksi tidaklah terlalu
signifikan. Masing-masing metode memiliki kelebihan dan kekurangan. Metode
maserasi memerlukan waktu yang lebih lama untuk mengekstrak zat aktif dalam
sampel, sedangkan metode refluks tidak memerlukan waktu yang lama untuk
mengekstrak zat aktif dalam sampel karena pengaruh pemanasan.
KESIMPULAN :
Kadar Fenolik dalam ekstrak etanol 75 % pada tongkol jagung dengan metode
ekstraksi maserasi sebesar 0,312 mg/g atau 312,420 mg/kg. Kadar Fenolik dalam
ekstrak etanol 75 % pada tongkol jagung dengan metode ekstraksi refluks sebesar
0,397 mg/g atau 396,768 mg/kg. Metode ekstraksi refluks menghasilkan kadar fenolik
yang lebih besar dibandingkan dengan metode ekstraksi maserasi.
KESIMPULAN :
Berdasarkan hasil dan analisa data dapat disimpulkan bahwa perbedaan metode
ekstraksi, perbedaan bagian bambu laut dan perbedaan jenis pelarut memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap rendemen hasil ekstraksi bambu laut. Namun hanya
perbedaan metode ekstraksi yang memberikan pengaruh nyata terhadap aktifitas
antioksidan bambu laut. Hasil pemilihan perlakuan dengan metode Multiple Atribut
menunjukkan bahwa pelarut terbaik untuk esktraksi bambu laut (Isis hippuris) adalah
pelarut metanol, sedangkan pemilihan metode ekstraksi yang terpilih adalah metode
ektraksi ultrasonik walaupun baik eksktraksi ultrasonik dan maserasi memiliki nilai
terkecil yang sama, akan tetapi metode ektraksi ultrasonik memiliki waktu yang relatif
singkat.
Pada kode sampel 1 dan kode sampel 3 pengaruh pelarut yang digunakan serta
perlakuan sangat berperan penting dalam menghasilkan % yield antosianin. Hal ini
dapat kita lihat bahwa pada sampel 1 dengan % yield sebesar 42,475% dengan panjang
gelombang 600 nm menghasilkan absorbansi 0,327 sedangkan pada kode sampel 3
dengan % yield antosianin sebesar 74,970 pada panjang gelombang 600 nm
menghasilkan absorbansi 1,526. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin besar
%yield antosianin maka semakin besar daya absorbansi terhadap larutan.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang lakukan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Pelarut terbaik untuk ekstraksi antosianin dari kelopak bunga rosela adalah dengan
pelarut etanol (96%).
2. Kondisi terbaik untuk ekstakrsi antosianin dari kelopak bunga rosela adalah kondisi
kering oven.
3. Perlakuan terbaik dalam ekstrksi antosianin dari kelopak bunga rosela adalah
perlakuan gerus untuk memperluas area permukaan kontak terhadap pelarut
sehingga terjadi proses ekstraksi antosianin yang optimal.
4. Berat terbaik dalam ekstraksi antosianin dari kelopak bunga rosela adalah dengan
berat 25gr.
2. PENGARUH KONDISI PROSES PADA PENGOLAHAN EUCHEUMA COTTONII
TERHADAP RENDEMEN DAN SIFAT GEL KARAGENAN
(Sperisa Distantina, Fadilah1, YC. Danarto1, Wiratni, dan Moh. Fahrurrozi)
DAFTAR LAMBANG
Vk = volum koagulan, mL
Vs = volum sampel (filtrat hasil ekstraksi), Ml
KESIMPULAN
Berdasarkan data percobaan terlihat bahwa larutan KOH dapat menghasilkan
karagenan dengan sifat yang lebih unggul dibandingkan NaOH. Rumput laut yang telah
dipucatkan memberikan sifat gel yang lebih rendah dibandingkan rumput laut segar.
Kondisi optimum presipitasi pada penelitian ini dicapai jika digunakan koagulan etanol
90%, rasio koagulan-filtrat = 2,5, waktu presipitasi sekitar 30 menit.
Tabel 4 adalah hasil rata-rata luas puncak keempat komponen kurkuminoid pada
beberapa panjang gelombang spektra kurkuminoid, yaitu 300, 325, 350, 375, 400, 425,
450, dan 475. Dari tabel tersebut juga dapat dilihat rasio kandungan komponen-
komponen kurkuminoid. Kurkumin merupakan komponen utama dari ekstrak dengan
kandungan paling tinggi, yaitu 61-67%, kemudian demetoksi-kurkumin 22-26%,
bisdemetoksi-kurkumin 1-3%, dan isomer kurkumin 10-11%. Urutan komposisi
komponen-komponen tersebut tetap pada semua perlakuan sehingga dapat diduga bahwa
metode pengeringan tidak akan mengubah struktur kimia komponen kurkuminoid yang
satu ke yang lainnya.
KESIMPULAN:
Telah dapat ditunjukkan dari hasil penelitian ini bahwa metode pemanasan akan
berpengaruh pada waktu yang diperlukan untuk pengeringan bahan segar menjadi
simplisia. Pengolahan dengan oven lebih cepat dan memberikan hasil yang lebih baik
ditinjau dari segi tampilan fisik. Telah pula dapat ditunjukkan bahwa kadar total
kurkuminoid yang diekstrak dari simplisia kering memiliki kuantitas lebih banyak
daripada temulawak segar (dari berat segar yang sama), tetapi diduga tidak ada konversi
satu komponen kurkuminoid ke komponen lain selama proses pemanasan.
KESIMPULAN:
Perlakuan terbaik diperoleh dari rasio bahan:pelarut 1:9 dan lama ekstraksi 25 menit
dengan total karoten 254.77 mg/100g, nilai IC50 84.28 ppm, pH 6.45, rendemen
30.25%, kecerahan (L*) 19.30, kemerahan (a*) 13.40 dan kekuningan (b*) 15. Hasil uji
t antara perlakuan terbaik dan kontrol menunjukkan perbedaan nyata (α=0,05) pada
semua parameter selain pH yang tidak berbeda nyata. Uji stabilitas warna karotenoid
menunjukkan bahwa ekstrak pigmen karotenoid labu kabocha cenderung stabil
terhadap perlakuan kondisi pH netral hingga basa. Pengaruh suhu 60 C retensi
penurunan warna karotenoid masih stabil namun pada suhu 80 C dan 100 C, retensi
perubahan warnanya terlihat signifikan. Pengaruh iradiasi cahaya dengan lama
penyinaran 5 jam terhadap stabilitas karotenoid menyebabkan degradasi sebesar
36.39%.
KESIMPULAN:
Interaksi yang paling berpengaruh dalam ekstraksi zat sitotoksik dari daun sirsak
adalah berat daun, pengeringan, dan waktu ekstraksi. Berdasarkan hasil didapatkan
kondisi operasi dengan berat daun 7 gram waktu ekstraksi 2 hari dan dengan pengeringa.
Berdasarkan hasil dan penelusuran jurnal terkait pengaruh/ indikator bahan pada
proses ekstraksi yaitu :
C. PENGARUH PELARUT
1. PENGARUH PERBANDINGAN CAMPURAN PELARUT N-HEKSANA-
ETANOL TERHADAP KANDUNGAN SITRONELAL HASIL EKSTRAKSI
SERAI WANGI (Cymbopogon nardus)
KESIMPULAN :
Hasil analisis rerata pH ekstrak karotenoid labu kuning dengan gelombang ultrasonik
akibat perlakuan jenis pelarut dan lama ekstraksi dapat dilihat pada Tabel 3. Perlakuan
jenis pelarut dan lama ekstraksi tidak memberikan pengaruh nyata terhadap pH. Tabel 3.
menunjukkan bahwa nilai pH ekstrak karotenoid berkisar antara 6.49-6.55. pH karotenoid
bersifat antara asam hingga basa (pH 2-8) dimana kestabilan pH akan berpengaruh pada
warna yang dihasilkan oleh karotenoid sedangkan pH labu kuning berkisar antara 5.4-6.4 .
Pada penelitian ini menunjukkan bahwa pH yang didapat bersifat asam lemah dan
mendekati pH netral. Kandungan karotenoid labu kuning sebagian besar adalah β‐karoten,
α-karoten dan lutein. β-karoten dan lutein adalah senyawa yang tidak selabil karotenoid
yang lain sehingga lebih tahan terhadap kondisi asam.
KESIMPULAN :
Perlakuan terbaik diperoleh dari jenis pelarut n-heksan dan lama ekstraksi 25 menit
dengan total karotenoid 575.22 (µg/gr), aktivitas antioksidan IC50 134.17 ppm, pH 6.51,
rendemen 17.85%, tingkat kecerahan (L*) 18.13, tingkat kemerahan (a*) 13.70 dan tingkat
kekuningan (b*) 13.04. Hasil uji t antara perlakuan terbaik dan kontrol menunjukkan
perbedaan nyata (α=0.05) pada semua parameter selain pH yang tidak berbeda nyata.
Dari gambar 1. dapat dilihat bahwa ekstraksi dengan pelarut etanol memberikan hasil
terbaik, terutama pada siklus ketiga yaitu memberikan nilai persen yield sebesar 22 %.
Pelarut etanol digunakan dalam mengekstrak daun salam India, dikarenakan etanol
merupakan pelarut yang baik diantara kedua pelarut yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu air dan heksana. Pelarut etanol memiliki polaritas yang tinggi sehingga dapat
menghasilkan persen yield lebih banyak dibandingkan menggunakan pelarut lainnya.
Etanol juga mempunyai titik didih yang rendah dan cenderung aman, tidak beracun dan
tidak berbahaya. Pelarut etanol memiliki dua sisi yang terdiri dari gugus -OH yang
bersifat polar dan gugus CH2CH3 yang bersifat non polar, sifat non polar inilah yang
membuat etanol mampu mengekstrak kandungan minyak atsiri, dan alkaloid di dalam
daun salam India secara optimal. Penggunaan pelarut heksana pada penelitian ini
memperlihatkan hasil ekstraksi berwarna hijau tua, pertimbangan peneliti untuk tidak
menggunakan pelarut heksana selanjutnya disebabkan heksana menimbulkan efek
negatif berupa penyakit dan pencemaran udara karena sifat heksana yang beracun bila
dikonsumsi. Selain itu, pelarut heksana merupakan materi yang mudah terbakar dan
memiliki biodegradibilitas yang rendah. Selanjutnya penggunaan air sebagai pelarut,
dalam penelitian ini hasil ekstraksi dengan menggunakan pelarut air menunjukkan warna
coklat kekuning – kuningan, warna tersebut merubah warna daun yang disebabkan oleh
degradasi akibat suhu tinggi. Selain itu penggunaan pelarut air tidak efisien dari segi
waktu, karena dari siklus ekstraksi yang berlangsung membutuhkan waktu yang lama.
KESIMPULAN :
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, Ekstraksi terhadap Daun Salam
India dengan menggunakan pelarut etanol, heksana, dan air maka dapat disimpulkan : 1)
Dari ketiga jenis pelarut etanol, heksana dan air pelarut yang paling baik digunakan adalah
pelarut etanol, karena etanol dapat melarutkan kandungan alkaloid dari daun salam India,
aman digunakan sebagai pelarut makanan, ekonomis dan mudah didapatkan. 2) Dari
ketiga pelarut etanol, heksana, dan air dapat mengekstrak lebih banyak daun salam India
adalah pelarut etanol, yaitu sebesar 22 % (% yield). 3) Semakin banyak siklus ekstraksi,
maka efektivitas proses ekstraksi makin besar sehingga dapat menghasilkan % yield yang
tinggi. 4) Konsentrasi optimal dari pelarut etanol adalah 70 % .
Rendemen ekstrak yang diperoleh tidak berbeda jauh dari hasil penelitian yang
dilakukan oleh Devaraj (2010) yakni sebesar 5,2% (ekstrak etanol). Dilihat dari jumlah
ekstrak yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa sampel temulawak Indonesia sama
baiknya dengan sampel temulawak yang ada di Malaysia. Perlu dicatat bahwa metode
ekstraksi yang digunakan pada penelitian Devaraj dan penelitian ini berbeda. Pada
penelitian Devaraj digunakan metode ekstraksi dengan maserasi sedangkan pada
penelitian ini digunakan metode ekstraksi dengan refluks. Rendemen ekstrak yang
diperoleh dari hasil ekstraksi dengan defatisasi mengalami penurunan, dibandingkan
dengan hasil ekstraksi tanpa defatisasi. Rendemen ekstrak yang menurun tersebut akibat
serbuk temulawak yang dimaserasi dalam pelarut n-heksana. Menurut Revathy dkk.
(2011) yang menggunakan metode ekstraksi tanpa defatisasi dan defatisasi pada rimpang
kunyit, diperoleh rendemen hasil ekstraksi tanpa defatisasi lebih besar daripada metode
dengan defatisasi. Hal ini diduga lemak dan senyawa non polar seperti minyak atsiri, dan
terpenoid (Mangunwardoyo dkk., 2012) yang ada pada ekstrak hasil ekstraksi dengan
defatisasi telah terlarut dalam pelarut n-heksana.
KESIMPULAN :
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh pelarut yang paling tepat untuk
ekstraksi kurkuminoid yaitu aseton, karena kadar total kurkuminoid per gram ekstrak
paling tinggi baik pada ekstraksi tanpa defatisasi maupun dengan defatisasi.
5. KAJIAN SIFAT FISIKOKIMIA EKSTRAK RUMPUT LAUT COKLAT
SARGASSUM DUPLICATUM MENGGUNAKAN BERBAGAI PELARUT DAN
METODE EKSTRAKSI
KESIMPULAN :
• Jenis pelarut terbaik terhadap kajian sifat fisikokimia ekstrak rumput laut coklat
sargassum duplicatum adalah etil asetat
• Perbedaan jenis pelarut mempengaruhi kajian sifat fisikokimia ekstrak rumput laut
coklat sargassum duplicatum