Anda di halaman 1dari 29

TUGAS KELOMPOK FITOKIMIA

MENELAAH PENGARUH METODE, PELARUT DAN BAHAN


PADA BERBAGAI PENELITIAN

Disusun oleh :

Ketua : Agus pratiwi (201610410311192)


Sekretaris : Widya Merinda (201610410311165)
Anggota : 1. Graceia Yuanata P (201610410311026)
2. Kartika Nanda P (201610410311149)
3. Erga Widy Anggita (201610410311152)
4. Nur Ilmi Hikmatul (201610410311196)
5. Khusnul Aniyah (201510410311056)

FARMASI D
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADYAH MALANG
2019
A. PENGARUH METODE

1. SKRINING SENYAWA KIMIA DAN PENGARUH METODE MASERASI DAN


REFLUKS PADA BIJI KELOR (Moringa oleifera, Lamk) TERHADAP RENDEMEN
EKSTRAK YANG DIHASILKAN
( Agung Abadi Kiswandono)

Uji t antara metode refluks dan maserasi biji kelor menggunakan pelarut metanol
80% (Lampiran 2), dapat diketahui bahwa nilai-p dari uji adalah 0,172. Karena nilai-p
nya lebih besar dari taraf nyata (α) 5%, maka kesimpulannya terima H0 artinya antara
metode refluk-heksana dan maserasi-heksana tidak berbeda nyata pada taraf nyata
5%, atau untuk menarik kesimpulan dapat dilihat dari nilai-t (t hitung), yakni nilai t
hitung didapat sebesar 1,59, sedangkan nilai t-tabel dengan df=5, dan α= 5% adalah
2,571, karena nilai t hitung < dari t-tabel maka kesimpulannya terima H0 artinya tidak
terdapat perbedaan diantara kedua metode tersebut.
Secara uji statistik tidak terdapat perbedaan nyata antara metode refluks dan
maserasi dengan menggunakan pelarut metanol 80%, tetapi metode refluks, dari segi
waktu memiliki efisiensi ekstraksi yang lebih singkat dibandingkan dengan metode
maserasi. Proses ekstraksi dengan refluks memerlukan waktu 4 × 2 jam, sedangkan
dengan maserasi memerlukan waktu sampai 3 × 24 jam. Kemudian dari segi pelarut
yang digunakan, metode maserasi relatif menggunakan pelarut lebih banyak
dibandingkan dengan metode refluks.
Metode refluks ataupun maserasi menggunakan pelarut heksana, secara rata–rata
pada sampel biji dihasilkan rendemen yang lebih besar, dengan demikian dapat
disimpulkan, bahwa pada biji kelor banyak terdapat senyawa metabolit sekunder yang
bersifat non-polar.

KESIMPULAN :
1. Golongan senyawa kimia pada ekstrak biji dengan pelarut methanol 80% dengan
refluks adalah alkaloid, phenol hidroquinin, flavonoid dan saponin, sedangkan
dengan maserasi hanya alkaloid dan saponin.
2. Metode refluks dapat mengekstrak senyawa kimia lebih besar dari pada metode
maserasi.

2. PERBANDINGAN METODE EKSTRAKSI BERTINGKAT DAN TIDAK BERTINGKAT


TERHADAP FLAVONOID TOTAL HERBA CIPLUKAN (Physalis angulata L.)
SECARA KOLORIMETRI
(Afif Permadi, Sutanto , Sri Wardatun)

Tabel 4. Hasil Uji Fitokimia Ekstrak Cair Herba Ciplukan


Metode maserasi yang berbeda pada penelitian ini setelah dilakukan analisis
statistik tidak memberikan pengaruh terhadap hasil kadar flavonoid total ekstrak cair
herba ciplukan. Namun, jika dilihat dari data yang diperoleh tanpa analisis statistik
maserasi tidak bertingkat menghasilkan kadar flavonoid total lebih tinggi
dibandingkan maserasi bertingkat yaitu hasil perolehan kadar flavonoid total maserasi
satu tahap sebesar 0,5339±0,11 dan maserasi bertingkat sebesar 0,5311±0,17, data
kadar flavonoid total ekstrak cair herba ciplukan dapat dilihat pada Tabel 6.
Maserasi tidak bertingkat dan maserasi bertingkat pada prinsipnya sama saja yaitu
sama-sama menarik senyawa akhir yang diinginkan dimana maserasi satu tahap
menarik senyawa polar dengan pelarut etanol, dan maserasi bertingkat membuang
senyawa non-polar dan semi polar dengan n-heksan dan etil asetat sehingga
menyisakan senyawa polar dan akhir diekstrasi kembali dengan etanol, yang
membedakan hanya penggunaan pelarut berdasarkan kepolarannya.

KESIMPULAN :
Kadar flavonoid yang diperoleh dari metode ekstraksi tidak bertingkat dan
metode ekstraksi bertingkat tidak ada perbedaan nyata, kedua metode ekstraksi tidak
memberikan pengaruh terhadap hasil kadar flavonoid.
3. PERBANDINGAN METODE EKSTRAKSI MASERASI DAN SOKLETASI
TERHADAP KADAR FLAVONOID TOTAL EKSTRAK ETANOL DAUN KERSEN
(Muntingia calabura)
(Anita Dwi Puspitasari, Lean Syam Proyogo )

Dilihat dari nilai kadar flavonoid total dari kedua metode ekstraksi, metode yang
menghasilkan kadar flavonoid total paling besar adalah metode sokletasi. Berdasarkan
rendemen ekstrak daun kersen yang diperoleh, metode sokletasi juga lebih banyak
dibandingkan dengan metode maserasi. hal inilah yang mendasari mengapa kadar
flavonoid total metode sokletasi lebih besar dibandingkan metode maserasi. selain itu
kemungkinan flavonoid total yang terdapat pada daun kersen lebih mudah tersari
dengan metode sokletasi dibandingkan metode maserasi.

KESIMPULAN
Kadar flavonoid total ekstrak etanol daun kersen (Muntingia calabura)
menggunakan metode sokletasi lebih besar di bandingkan metode maserasi.. Kadar
flavonoid total dalam ekstrak etanol daun kersen dengan metode maserasi adalah
0,1879% b/b sedangkan metode sokletasi adalah 0,2158% b/b.
4. PERBANDINGAN METODE EKSTRAKSI MASERASI DAN REFLUKS TERHADAP
KADAR FENOLIK DARI EKSTRAK TONGKOL JAGUNG (Zea mays L.)
(Susanty , Fairus Bachmid)

Dari tabel 5 diatas didapatkan kadar total fenolik hasil ekstraksi refluks lebih
besar daripada maserasi, yaitu sebesar 0,397 mg/gram atau 396,768 mg/kg. Perbedaan
hasil kadar fenolik yang diperoleh dari hasil kedua ekstraksi tidaklah terlalu
signifikan. Masing-masing metode memiliki kelebihan dan kekurangan. Metode
maserasi memerlukan waktu yang lebih lama untuk mengekstrak zat aktif dalam
sampel, sedangkan metode refluks tidak memerlukan waktu yang lama untuk
mengekstrak zat aktif dalam sampel karena pengaruh pemanasan.

KESIMPULAN :
Kadar Fenolik dalam ekstrak etanol 75 % pada tongkol jagung dengan metode
ekstraksi maserasi sebesar 0,312 mg/g atau 312,420 mg/kg. Kadar Fenolik dalam
ekstrak etanol 75 % pada tongkol jagung dengan metode ekstraksi refluks sebesar
0,397 mg/g atau 396,768 mg/kg. Metode ekstraksi refluks menghasilkan kadar fenolik
yang lebih besar dibandingkan dengan metode ekstraksi maserasi.

5. Pengaruh Perbedaan Metode Ekstraksi, Bagian Dan Jenis Pelarut Terhadap


Rendemen Dan Aktifitas Antioksidan Bambu Laut (Isis Hippuris)
(Mohammad Sayuti)
Hasil pemilihan perlakuan dengan metode Multiple Atribut menunjukkan bahwa
nilai terkecil untuk metode ekstraksi pada bagian kulit dan axial adalah 0,182 (metode
ekstraksi ultrasonik maupun maserasi) dengan pelarut metanol. Sehingga pelarut terbaik
untuk esktraksi bambu laut (Isis hippuris) adalah pelarut metanol. Hasil pengujian DPPH
menunjukkan bahwa dengan pelarut metanol mengahasilkan aktifitas antioksidan yang
lebih kuat serta rendemen yang lebih banyak dibandingkan dengan menggunakan pelarut
n heksan dan etil asetat. Metanol merupakan pelarut yang dapat melarutkan hampir
semua senyawa organik baik polar maupun non polar karena metanol memiliki gugus
polar (-OH) dan gugus nonpolar (-CH3) .
Sedangkan pemilihan metode ekstraksi menunjukkan antara metode eksktraksi
ultrasonik dan maserasi memiliki nilai terkecil yang sama yaitu 0.182. Namun metode
ektraksi ultrasonik memiliki waktu yang relatif singkat dibandingkan dengan metode
maserasi maka metode terpilih adalah metode ekstraksi ultrasonik. Metode ektraksi yang
paling optimal untuk mengekstrak suatu bahan pangan adalah metode ultrasonik, karena
metode ini hanya memerlukan waktu yang singkat, sehingga lebih efisien [20].
Keuntungan utama penggunaan ultrasonik adalah meningkatkan hasil ekstrak dan
kinetika yang lebih cepat . Hasil ekstraksi dengan ultrasonik pada pengujian total fenol,
klorofil a dan b, total karoten, aktifitas antioksidan dan rendemen rumput laut hijau
menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan ekstraksi maserasi .

KESIMPULAN :
Berdasarkan hasil dan analisa data dapat disimpulkan bahwa perbedaan metode
ekstraksi, perbedaan bagian bambu laut dan perbedaan jenis pelarut memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap rendemen hasil ekstraksi bambu laut. Namun hanya
perbedaan metode ekstraksi yang memberikan pengaruh nyata terhadap aktifitas
antioksidan bambu laut. Hasil pemilihan perlakuan dengan metode Multiple Atribut
menunjukkan bahwa pelarut terbaik untuk esktraksi bambu laut (Isis hippuris) adalah
pelarut metanol, sedangkan pemilihan metode ekstraksi yang terpilih adalah metode
ektraksi ultrasonik walaupun baik eksktraksi ultrasonik dan maserasi memiliki nilai
terkecil yang sama, akan tetapi metode ektraksi ultrasonik memiliki waktu yang relatif
singkat.

KESIMPULAN DARI KELIMA JURNAL


Berdasarkan hasil dan penelusuran jurnal terkait pengaruh/ indikator metode pada
proses ekstraksi yaitu :
1. Metode yang digunakan antara lain ; metode maserasi (bertingkat & tidak
bertingkat), metode refluks, , metode sokletasi dan metode ekstraksi ultrasonik
2. Berdasarkan waktu ekstraksi metode refluks memiliki efisiensi ekstraksi yang
lebih singkat dibandingkan dengan metode maserasi. Kemudian dari segi pelarut
yang digunakan, metode maserasi relatif menggunakan pelarut lebih banyak
dibandingkan dengan metode refluks.
3. Berdasarkan hasil rendemen ekstrak metode sokletasi meghasilkan ekstrak yang
lebih banyak dibandingkan dengan maserasi
4. Metode ektraksi yang paling optimal untuk mengekstrak suatu bahan pangan
adalah metode ultrasonik, karena metode ini hanya memerlukan waktu yang
singkat, sehingga lebih efisien. Keuntungan utama penggunaan ultrasonik adalah
meningkatkan hasil ekstrak dan kinetika yang lebih cepat.
5. Berdasarkan % rendemen ekstrak, dari metode ekstraksi ultrasonik menghasilkan
hasil rendeman yang lebih besar dari pada metode maserasi, metode refluks, dan
metode sokletasi.
B. PENGARUH BAHAN

1. PENGARUH KONDISI, PERLAKUAN DAN BERAT SAMPEL TERHADAP


EKSTRAKSI ANTOSIANIN DARI KELOPAK BUNGA ROSELA DENGAN
PELARUT AQUADEST DAN ETANOL
(Rosdiana Moeksin, Stevanus Ronald HP)
Tabel 4.2 Identifikasi Analisa Absorbansi Antosianin

Pada kode sampel 1 dan kode sampel 3 pengaruh pelarut yang digunakan serta
perlakuan sangat berperan penting dalam menghasilkan % yield antosianin. Hal ini
dapat kita lihat bahwa pada sampel 1 dengan % yield sebesar 42,475% dengan panjang
gelombang 600 nm menghasilkan absorbansi 0,327 sedangkan pada kode sampel 3
dengan % yield antosianin sebesar 74,970 pada panjang gelombang 600 nm
menghasilkan absorbansi 1,526. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin besar
%yield antosianin maka semakin besar daya absorbansi terhadap larutan.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang lakukan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Pelarut terbaik untuk ekstraksi antosianin dari kelopak bunga rosela adalah dengan
pelarut etanol (96%).
2. Kondisi terbaik untuk ekstakrsi antosianin dari kelopak bunga rosela adalah kondisi
kering oven.
3. Perlakuan terbaik dalam ekstrksi antosianin dari kelopak bunga rosela adalah
perlakuan gerus untuk memperluas area permukaan kontak terhadap pelarut
sehingga terjadi proses ekstraksi antosianin yang optimal.
4. Berat terbaik dalam ekstraksi antosianin dari kelopak bunga rosela adalah dengan
berat 25gr.
2. PENGARUH KONDISI PROSES PADA PENGOLAHAN EUCHEUMA COTTONII
TERHADAP RENDEMEN DAN SIFAT GEL KARAGENAN
(Sperisa Distantina, Fadilah1, YC. Danarto1, Wiratni, dan Moh. Fahrurrozi)

DAFTAR LAMBANG
Vk = volum koagulan, mL
Vs = volum sampel (filtrat hasil ekstraksi), Ml
KESIMPULAN
Berdasarkan data percobaan terlihat bahwa larutan KOH dapat menghasilkan
karagenan dengan sifat yang lebih unggul dibandingkan NaOH. Rumput laut yang telah
dipucatkan memberikan sifat gel yang lebih rendah dibandingkan rumput laut segar.
Kondisi optimum presipitasi pada penelitian ini dicapai jika digunakan koagulan etanol
90%, rasio koagulan-filtrat = 2,5, waktu presipitasi sekitar 30 menit.

3. PENGARUH PROSES PENGERINGAN RIMPANG TEMULAWAK (Curcuma


xanthorriza ROXB) TERHADAP KANDUNGAN DAN KOMPOSISI
KURKUMINOID
(Cahyono dkk.)
Perlakuan pengeringan pada penelitian ini dilakukan dengan dua cara, yaitu
pengeringan menggunakan sinar lampu listrik 30 watt dengan suhu 30°C dan
pengeringan oven pada suhu 60°C. Pengeringan dengan sinar lampu listrik diaplikasikan
sebagai alternatif pengganti sinar matahari. Dilihat secara makroskopik sampel
pengeringan oven menghasilkan warna kuning orange yang lebih cerah, sedangkan
sampel pengeringan lampu lebih pucat. Pada tinjauan teksturnya, kecuali sampel L1,
semua sampel yang memiliki kadar air >10% jika diremas mudah meremah atau mudah
patah. Dilihat dari faktor bau, juga terlihat adanya perbedaan. Secara keseluruhan sampel
pengeringan oven mempunyai bau khas temulawak lebih menyengat daripada
pengeringan lampu.

Secara keseluruhan, kandungan sampel yang dikeringkan cenderung lebih besar


daripada sampel segar, diduga disebabkan perlakuan pengeringan dapat meratakan
penyebaran kurkuminoid dalam rimpang temulawak, sehingga akan memudahkan pelarut
mengekstrak kurkuminoid. Perbedaan kandungan kurkuminoid sampel segar dan sampel
yang mengalami proses pengeringan juga ditentukan oleh kadar air sampel yang berbeda
lebih tinggi pada sampel segar.

Tabel 4 adalah hasil rata-rata luas puncak keempat komponen kurkuminoid pada
beberapa panjang gelombang spektra kurkuminoid, yaitu 300, 325, 350, 375, 400, 425,
450, dan 475. Dari tabel tersebut juga dapat dilihat rasio kandungan komponen-
komponen kurkuminoid. Kurkumin merupakan komponen utama dari ekstrak dengan
kandungan paling tinggi, yaitu 61-67%, kemudian demetoksi-kurkumin 22-26%,
bisdemetoksi-kurkumin 1-3%, dan isomer kurkumin 10-11%. Urutan komposisi
komponen-komponen tersebut tetap pada semua perlakuan sehingga dapat diduga bahwa
metode pengeringan tidak akan mengubah struktur kimia komponen kurkuminoid yang
satu ke yang lainnya.

KESIMPULAN:

Telah dapat ditunjukkan dari hasil penelitian ini bahwa metode pemanasan akan
berpengaruh pada waktu yang diperlukan untuk pengeringan bahan segar menjadi
simplisia. Pengolahan dengan oven lebih cepat dan memberikan hasil yang lebih baik
ditinjau dari segi tampilan fisik. Telah pula dapat ditunjukkan bahwa kadar total
kurkuminoid yang diekstrak dari simplisia kering memiliki kuantitas lebih banyak
daripada temulawak segar (dari berat segar yang sama), tetapi diduga tidak ada konversi
satu komponen kurkuminoid ke komponen lain selama proses pemanasan.

4. EKSTRAKSI PIGMEN KAROTENOID LABU KABOCHA MENGGUNAKAN


METODE ULTRASONIK (KAJIAN RASIO BAHAN: PELARUT DAN LAMA
EKSTRAKSI)
(Manasika, dkk)
Perbedaan kandungan karoten pada Kabocha segar dan Kabocha bubuk dianalisis
melalui tahapan ekstraksi dimana Kabocha segar ketika diekstrak masih memiliki kadar
air yang tinggi sehingga adanya air dalam bahanmenghambat proses ekstraksi.
Sedangkan bubuk Kabocha yang sudah dihilangkan kadar airnya dan luas permukaannya
meningkat, total karoten yang dihasilkan jauh lebih besar.
Tabel 2 menunjukkan bahwa ekstraksi metode ultrasonik dengan menggunakan rasio
bahan:pelarut 1:9 dan lama ekstraksi 25 menit menghasilkan total karoten dan nilai
aktivitas antioksidan IC50 tertinggi. Semakin banyaknya rasio bahan:pelarut dan
bertambahnya waktu ekstraksi akan memberikan peningkatan kadar total karoten dan
diikuti dengan nilai aktivitas antioksidan.
Kedua perlakuan tersebut tidak memberikan pengaruh nyata terhadap pH. Karotenoid
pada labu Kabocha masih cenderung stabil. pH labu kuning berkisar antara 5.40-6.40
yang menunjukkan bahwa pH bersifat asam lemah dan mendekati pH netral [16]. pH
karotenoid bersifat antara asam hingga basa dimana kestabilan pH akan berpengaruh
pada warna yang dihasilkan oleh karotenoid.
Tabel 4. menunjukkan bahwa rerata rendemen tertinggi diperoleh pada perlakuan
ekstrak karotenoid dengan rasio bahan:pelarut 1:9 dan lama ekstraksi 25 menit yaitu
30.25%. Adanya komponen lain selain karoten yang ikut terlarut dalam pelarut serta
residu pelarut yang masih tersisa juga bisa mempengaruhi tingginya rendemen. Pelarut
non-polar akan melarutkan senyawa-senyawa yang bersifat non-polar juga misalnya
lemak.
Tabel 5 terlihat bahwa semakin tinggi rasio bahan:pelarut menyebabkan rerata tingkat
kecerahan semakin tinggi namun rerata tingkat kemerahan (a*) dan tingkat kekuningan
(b*) nya cenderung menunjukan nilai yang meningkat.
Tabel 6. terlihat bahwa semakin lama waktu ekstraksi menyebabkan rerata tingkat
kecerahan semakin menurun namun rerata tingkat kemerahan (a*) dan tingkat
kekuningan (b*) nya cenderung menunjukan nilai yang meningkat.

KESIMPULAN:
Perlakuan terbaik diperoleh dari rasio bahan:pelarut 1:9 dan lama ekstraksi 25 menit
dengan total karoten 254.77 mg/100g, nilai IC50 84.28 ppm, pH 6.45, rendemen
30.25%, kecerahan (L*) 19.30, kemerahan (a*) 13.40 dan kekuningan (b*) 15. Hasil uji
t antara perlakuan terbaik dan kontrol menunjukkan perbedaan nyata (α=0,05) pada
semua parameter selain pH yang tidak berbeda nyata. Uji stabilitas warna karotenoid
menunjukkan bahwa ekstrak pigmen karotenoid labu kabocha cenderung stabil
terhadap perlakuan kondisi pH netral hingga basa. Pengaruh suhu 60 C retensi
penurunan warna karotenoid masih stabil namun pada suhu 80 C dan 100 C, retensi
perubahan warnanya terlihat signifikan. Pengaruh iradiasi cahaya dengan lama
penyinaran 5 jam terhadap stabilitas karotenoid menyebabkan degradasi sebesar
36.39%.

5. EKSTRAKSI DAUN SIRSAK (ANNONA MURICATA L) MENGGUNAKAN


PELARUT ETANOL
(Hermawan dkk)
Dari grafik probabilitas vsefek posisi variabel interaksi pengeringan-berat daun-waktu
ekstraksi paling jauh dari garis. Jadi dapat disimpulkan variabel interaksi pengeringan-
berat, daun-waktu ekstraksi merupakan variabel yang berpengaruh diantara variable pada
kisaran level yang telah ditentukan.
Tabel 3 menunjukkan bahwa %Fenol yang terbesar yaitu 1,36% pada kondisi daun
kering dengan berat daun 7 gr, dan waktu ekstraksi 2 hari. Ditinjau dari berat daun
semakin banyak daun yang diekstrak maka fenol yang dapat terekstrak semakin banyak.
Ditinjau dari variabel kondisi kadar air, kondisi daun kering memiliki berat dasar daun
yang lebih banyak ketimbang daun basah karena kadar air terkandung sudah dihilangkan.
Ditinjau dari lama perendaman selama 2 hari akan menghasilakn %fenol lebih banyak.
Sehingga semakin lama bahan diekstrak maka semakin banyak pula zat yang dapat
terekstrak.

KESIMPULAN:
Interaksi yang paling berpengaruh dalam ekstraksi zat sitotoksik dari daun sirsak
adalah berat daun, pengeringan, dan waktu ekstraksi. Berdasarkan hasil didapatkan
kondisi operasi dengan berat daun 7 gram waktu ekstraksi 2 hari dan dengan pengeringa.

KESIMPULAN DARI KELIMA JURNAL

Berdasarkan hasil dan penelusuran jurnal terkait pengaruh/ indikator bahan pada
proses ekstraksi yaitu :

1. Metode pemanasan berpengaruh pada waktu yang diperlukan untuk pengeringan


bahan segar menjadi simplisia.
2. Ditinjau dari segi tampilan fisik pengolahan dengan oven lebih cepat dan
memberikan hasil yang lebih baik untuk proses ekstraksi.
3. Kadar metabolit sekunder pada bahan yang diekstraksi dengan simplisia kering
memiliki kuantitas yang lebih banyak daripada bahan segar (dengan berat yang
sama).
4. Pada bahan yang masih segar ketika diekstrak masih memiliki kadar air yang
tinggi, sehingga dapat menghambat dari proses ekstraksi.
5. Pada perlakuan gerus (kelopak bunga) yang bertujuan untuk memeperluas area
permukaan kontak terhadap pelarut merupakan kondisi yang baik sebab proses
ekstraksi akan optimal.
6. Pada rumput laut yang masih segar akan memberikan sifat gel yang lebih tinggi
dibandingkan pada rumput laut yang telah dipucatkan.

C. PENGARUH PELARUT
1. PENGARUH PERBANDINGAN CAMPURAN PELARUT N-HEKSANA-
ETANOL TERHADAP KANDUNGAN SITRONELAL HASIL EKSTRAKSI
SERAI WANGI (Cymbopogon nardus)

(Mery Yulvianti, Rosianah Meida Sari, Efa Rujatul, Amaliah)


Perbandingan banyaknya volume n-heksanaetanol sebagai pelarut mempengaruhi
kadar sitronelal dalam minyak serai wangi yang dihasilkan. Pada perbandingan pelarut
campuran n-heksanaetanol dengan perbandingan 4:1 diperoleh kadar sitronelal yang
terbesar. Ekstraksi dengan menggunakan perbandingan volume heksana paling besar
pada bagian daun memberikan hasil kadar sitronelal yang lebih besar. Hal ini terkait
dengan sifat minyak serai yang non polar ini dapat dilihat dari panjangnya rantai karbon
yang terdapat dalam struktur minyak serai, sehingga minyak serai wangi cenderung larut
ke pelarut yang bersifat nonpolar. Selain itu jumlah n-heksana-etanol dapat masuk
kedalam bahan sehingga minyak akan larut secara optimal. Kandungan sitronelal
terbesar yang dihasilkan adalah pada ekstraksi bagian batang serai wangi. Hal ini
dikarenakan adanya proses pemotongan dan pelayuan pada saat persiapan bahan yang
bertujuan untuk memperluas area penguapan dan kontak dengan pelarut sehingga minyak
serai yang ada lebih mudah untuk terekstrak. Tipisnya jaringan pada daun ditambah
dengan proses pemotongan dan pelayuan, menyebabkan minyak serai yang ada di dalam
sel-sel daun lebih mudah menguap dan hilang sebelum dilakukannya proses ekstraksi.
Sedangkan pada batang kualitas terbaik adalah saat kondisi batang layu, hal ini
dikarenakan ketebalan jaringan pada batang cukup besar sehingga pada proses
pemotongan dan pelayuan sangat membantu mengurangi ketebalan jaringan dan
mengurangi kadar air yang terdapat pada kelenjar bahan (Yuni, 2013). Karena jaringan
pada batang cukup besar ketebalannya, dengan adanya pengurangan ketebalan, jaringan
yang ada masih dapat melindungi minyak serai yang terkandung di dalam sel-sel batang,
dan minyak serai yang ada di dalam batang hanya akan mengalami penguapan dan
tertarik keluar ketika dilakukan proses ekstraksi. Pelarut dengan mudah masuk dan
berdifusi ke dalam jaringan batang yang telah berkurang ketebalannya, dan menarik
keluar minyak yang terdapat dalam sel-sel yang ada di dalam batang

KESIMPULAN :

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa kadar


tertinggi sitronelal yang dihasilkan yaitu 27,3 % yang diperoleh pada perbandingan
volume pelarut 3 : 2 untuk bagian batang. Volume pelarut mempengaruhi hasil dari kadar
sitronelal yang dihasilkan, dimana semakin banyak volume masing-masing pelarut yang
digunakan pada campuran pelarut, maka kadar sitronelal yang dihasilkan akan semakin
tinggi. Kadar sitronelal tertinggi terkandung pada bagian batang serai wangi untuk
kondisi layu.

2. PENGARUH JENIS PELARUT DAN LAMA EKSTRAKSI TERHADAP


EKSTRAK KAROTENOID LABU KUNING DENGAN METODE GELOMBANG
ULTRASONIK

(Dyah Tri Wahyuni , Simon Bambang Widjanarko)

Tabel 2. menunjukkan bahwa ekstraksi dengan menggunakan jenis pelarut n-heksan


dan lama ekstraksi 25 menit menghasilkan total karotenoid dan aktivitas antioksidan
IC50 tertinggi. Hal ini menunjukkan kecenderungan dimana semakin non polar pelarut
dan semakin lama ekstraksi maka total karotenoid dan aktivitas antioksidan semakin
meningkat ditandai dengan nilai IC50 yang menurun. Hasil ini membuktikan bahwa
kepolaran n-heksan mendekati kepolaran karotenoid dari pada pelarut aseton dan etil
asetat. Komponen karotenoid larut dalam pelarut non polar seperti n-heksan dan
petroleum eter sedangkan kelompok xantofil larut dalam pelarut polar seperti alkohol.
Nilai IC50 yang semakin kecil menunjukkan semakin tingginya aktivitas antioksidan.
Ekstrak karotenoid dari n-heksan, etil asetat dan aseton termasuk mempunyai aktivitas
antioksidan yang kuat karena ekstrak yang memiliki nilai IC50 kurang dari 200 ppm
tergolong mempunyai aktivitas antioksidan yang kuat. Karotenoid merupakan
scavenger yang efisien untuk radikal bebas sehingga dapat berfungsi sebagai
antioksidan. Pengaruh waktu dalam ekstraksi adalah semakin lama ekstraksi maka
semakin banyak pula karotenoid yang terekstrak sehingga aktivitas antioksidan IC50
yang dihasilkan semakin turun. Semakin lamanya waktu ekstraksi maka terjadinya
kontak antara pelarut dengan bahan akan semakim lama sehingga dari keduanya akan
terjadi pengendapan massa secara difusi sampai terjadi keseimbangan konsentrasi
larutan di dalam dan diluar bahan ekstraksi.
Tabel 4. menunjukkan bahwa rerata rendemen tertinggi diperoleh pada perlakuan
ekstrak karotenoid menggunakan pelarut n-heksan yaitu 15.01%. Hal tersebut
membuktikan bahwa karotenoid di dalam labu kuning sebagian besar bersifat non polar
sehingga lebih banyak yang terekstrak pada pelarut non polar seperti n-heksan, karena
banyak senyawa yang terekstrak sehingga rendemen dapat meningkat. Ekstraksi dengan
pelarut masih berupa ekstrak kasar sehingga dalam ekstrak yang dihasilkan masih banyak
senyawasenyawa pengotor yang berpengaruh terhadap rendemen yang didapat.

Hasil analisis rerata pH ekstrak karotenoid labu kuning dengan gelombang ultrasonik
akibat perlakuan jenis pelarut dan lama ekstraksi dapat dilihat pada Tabel 3. Perlakuan
jenis pelarut dan lama ekstraksi tidak memberikan pengaruh nyata terhadap pH. Tabel 3.
menunjukkan bahwa nilai pH ekstrak karotenoid berkisar antara 6.49-6.55. pH karotenoid
bersifat antara asam hingga basa (pH 2-8) dimana kestabilan pH akan berpengaruh pada
warna yang dihasilkan oleh karotenoid sedangkan pH labu kuning berkisar antara 5.4-6.4 .
Pada penelitian ini menunjukkan bahwa pH yang didapat bersifat asam lemah dan
mendekati pH netral. Kandungan karotenoid labu kuning sebagian besar adalah β‐karoten,
α-karoten dan lutein. β-karoten dan lutein adalah senyawa yang tidak selabil karotenoid
yang lain sehingga lebih tahan terhadap kondisi asam.

KESIMPULAN :

Perlakuan terbaik diperoleh dari jenis pelarut n-heksan dan lama ekstraksi 25 menit
dengan total karotenoid 575.22 (µg/gr), aktivitas antioksidan IC50 134.17 ppm, pH 6.51,
rendemen 17.85%, tingkat kecerahan (L*) 18.13, tingkat kemerahan (a*) 13.70 dan tingkat
kekuningan (b*) 13.04. Hasil uji t antara perlakuan terbaik dan kontrol menunjukkan
perbedaan nyata (α=0.05) pada semua parameter selain pH yang tidak berbeda nyata.

3. PENGARUH JENIS PELARUT TERHADAP PERSEN YIELD ALKALOID DARI


DAUN SALAM INDIA (MURRAYA KOENIGII)

(Tamzil Azil, Sendry Febrizky, Aeis D. Mario)

Dari gambar 1. dapat dilihat bahwa ekstraksi dengan pelarut etanol memberikan hasil
terbaik, terutama pada siklus ketiga yaitu memberikan nilai persen yield sebesar 22 %.
Pelarut etanol digunakan dalam mengekstrak daun salam India, dikarenakan etanol
merupakan pelarut yang baik diantara kedua pelarut yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu air dan heksana. Pelarut etanol memiliki polaritas yang tinggi sehingga dapat
menghasilkan persen yield lebih banyak dibandingkan menggunakan pelarut lainnya.
Etanol juga mempunyai titik didih yang rendah dan cenderung aman, tidak beracun dan
tidak berbahaya. Pelarut etanol memiliki dua sisi yang terdiri dari gugus -OH yang
bersifat polar dan gugus CH2CH3 yang bersifat non polar, sifat non polar inilah yang
membuat etanol mampu mengekstrak kandungan minyak atsiri, dan alkaloid di dalam
daun salam India secara optimal. Penggunaan pelarut heksana pada penelitian ini
memperlihatkan hasil ekstraksi berwarna hijau tua, pertimbangan peneliti untuk tidak
menggunakan pelarut heksana selanjutnya disebabkan heksana menimbulkan efek
negatif berupa penyakit dan pencemaran udara karena sifat heksana yang beracun bila
dikonsumsi. Selain itu, pelarut heksana merupakan materi yang mudah terbakar dan
memiliki biodegradibilitas yang rendah. Selanjutnya penggunaan air sebagai pelarut,
dalam penelitian ini hasil ekstraksi dengan menggunakan pelarut air menunjukkan warna
coklat kekuning – kuningan, warna tersebut merubah warna daun yang disebabkan oleh
degradasi akibat suhu tinggi. Selain itu penggunaan pelarut air tidak efisien dari segi
waktu, karena dari siklus ekstraksi yang berlangsung membutuhkan waktu yang lama.

Dari gambar 3. dapat diketahui bahwa ekstraksi dengan menggunakan konsentrasi


etanol 90 % pada siklus ketiga menghasilkan persen yield paling tinggi yaitu sebesar 20
%. Hal ini dikarenakan semakin tinggi konsentrasi etanol maka akan semakin rendah
tingkat kepolaran pelarut yang digunakan, yang pada akhirnya dapat meningkatkan
kemampuan pelarut dalam mengekstrak kandungan minyak atsiri dan alkaloid yang juga
bersifat kurang polar (Phaza, 2010). Namun dalam penelitian ini, konsentrasi etanol yang
paling optimal pada ekstraksi daun salam India adalah 70 %, dikarenakan etanol dengan
konsentrasi 70% sangat efektif dalam menghasilkan jumlah bahan aktif yang optimal,
dimana bahan penganggu hanya skala kecil yang turut ke dalam cairan pengekstraksi
(Indraswari, 2008). Selain daripada itu, etanol 70 % mudah ditemukan dan memiliki
harga yang lebih ekonomis dibandingkan dengan etanol 90 %.

KESIMPULAN :

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, Ekstraksi terhadap Daun Salam
India dengan menggunakan pelarut etanol, heksana, dan air maka dapat disimpulkan : 1)
Dari ketiga jenis pelarut etanol, heksana dan air pelarut yang paling baik digunakan adalah
pelarut etanol, karena etanol dapat melarutkan kandungan alkaloid dari daun salam India,
aman digunakan sebagai pelarut makanan, ekonomis dan mudah didapatkan. 2) Dari
ketiga pelarut etanol, heksana, dan air dapat mengekstrak lebih banyak daun salam India
adalah pelarut etanol, yaitu sebesar 22 % (% yield). 3) Semakin banyak siklus ekstraksi,
maka efektivitas proses ekstraksi makin besar sehingga dapat menghasilkan % yield yang
tinggi. 4) Konsentrasi optimal dari pelarut etanol adalah 70 % .

4. PENGARUH JENIS PELARUT PADA EKSTRAKSI KURKUMINOID DARI


RIMPANG TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb)

(Dyah Lasna Nurvita Sari, Bambang Cahyono, Anri Cahyo Kumoro)

Rendemen ekstrak yang diperoleh tidak berbeda jauh dari hasil penelitian yang
dilakukan oleh Devaraj (2010) yakni sebesar 5,2% (ekstrak etanol). Dilihat dari jumlah
ekstrak yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa sampel temulawak Indonesia sama
baiknya dengan sampel temulawak yang ada di Malaysia. Perlu dicatat bahwa metode
ekstraksi yang digunakan pada penelitian Devaraj dan penelitian ini berbeda. Pada
penelitian Devaraj digunakan metode ekstraksi dengan maserasi sedangkan pada
penelitian ini digunakan metode ekstraksi dengan refluks. Rendemen ekstrak yang
diperoleh dari hasil ekstraksi dengan defatisasi mengalami penurunan, dibandingkan
dengan hasil ekstraksi tanpa defatisasi. Rendemen ekstrak yang menurun tersebut akibat
serbuk temulawak yang dimaserasi dalam pelarut n-heksana. Menurut Revathy dkk.
(2011) yang menggunakan metode ekstraksi tanpa defatisasi dan defatisasi pada rimpang
kunyit, diperoleh rendemen hasil ekstraksi tanpa defatisasi lebih besar daripada metode
dengan defatisasi. Hal ini diduga lemak dan senyawa non polar seperti minyak atsiri, dan
terpenoid (Mangunwardoyo dkk., 2012) yang ada pada ekstrak hasil ekstraksi dengan
defatisasi telah terlarut dalam pelarut n-heksana.

KESIMPULAN :

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh pelarut yang paling tepat untuk
ekstraksi kurkuminoid yaitu aseton, karena kadar total kurkuminoid per gram ekstrak
paling tinggi baik pada ekstraksi tanpa defatisasi maupun dengan defatisasi.
5. KAJIAN SIFAT FISIKOKIMIA EKSTRAK RUMPUT LAUT COKLAT
SARGASSUM DUPLICATUM MENGGUNAKAN BERBAGAI PELARUT DAN
METODE EKSTRAKSI

(Aisyah Tri Septiana, Ari Asnani)

Komponen bioaktif dalam rumput laut S. duplicatum dapat diekstrak menggunakan


pelarut yang mempunyai polaritas yang berbeda, sehingga ekstrak yang dihasilkan juga
memiliki sifat fisiko kimia yang berbeda. Secara kualitatif, semua ekstrak mengandung
flavonoid, saponin dan terpenoid dalam jumlah yang hampir sama tetapi ekstrak heksan
dan ekstrak air mengandung tanin yang lebih rendah dibandingkan ekstrak etanol, metanol
dan ekstrak etil asetat. Ekstrak etil asetat mempunyai kadar total fenol tertinggi yaitu
377,250 mg/g., yang tidak berbeda dengan ekstrak etanol. Sesuai dengan pelarutnya,
kelarutan tertinggi dalam air adalah ekstrak air dan kelarutan dalam etanol tertinggi adalah
ekstrak etanol. Perlakuan metode ekstraksi satu tahap menghasilkan ekstrak yang
mempunyai kelarutan dalam akuades dan total fenol yang lebih tinggi dibandingkan
dengan metode ekstraksi bertingkat, tetapi metode ekstraksi satu tahap menghasilkan
kelarutan dalam etanol yang lebih rendah dibandingkan metode ekstraksi bertingkat.
Ekstrak metanol hasil ekstraksi menggunakan metode satu tahap mempunyai sifat
fisikokimia terbaik. Ekstrak tersebut mempunyai kelarutan dalam etanol sebesar 39,450
persen, kelarutan dalam akuades sebesar 28,283 persen dan total fenol sebesar 297,170
mg/g

KESIMPULAN :

• Jenis pelarut terbaik terhadap kajian sifat fisikokimia ekstrak rumput laut coklat
sargassum duplicatum adalah etil asetat

• Perbedaan jenis pelarut mempengaruhi kajian sifat fisikokimia ekstrak rumput laut
coklat sargassum duplicatum

KESIMPULAN DARI KELIMA JURNAL


Dari jurnal pertama didapatkan hasil pelarut yang terbaik adalah n-heksana- etanol
dengan perbandingan 3:2 jurnal kedua adalah n-heksan jurnal ketiga adalah etanol 70%
jurnal keempat aseton jurnal kelima adalah etil asetat dimana semua ini diujikan pada
tanaman yang berbeda dengan senyawa yang di ekstraksi berbeda pula sehingga hasil pelarut
terbaik tiap jurnal tidaklah sama, hal ini tergantung dari tingkat kepolaran masing masing
senyawa karena seperti prinsip pelarut pada umumnya like disolve like yakni senyawa akan
melarut pada pelarut yang memiliki sifat yang sama seperti senyawa yang akan di
ekstraksi.(Estein,2015)

Anda mungkin juga menyukai