Ketakutan menjadi tua dan tidak produktif lagi memunculkan gambaran yang
negatif tentang proses menua. Seseorang yang telah menginjak lansia biasanya
muncul sikap yang tidak disadari oleh dirinya sendiri seperti cerewet, pelupa, sering
mengeluh, bersikap egois, berkurangnya kelenturan dalam menghadapi perubahan
dll. Banyak kultur dan budaya yang ikut menumbuhkan anggapan negatif ini, dimana
lansia dipandang sebagai individu yang tidak mempunyai sumbangan apapun
terhadap masyarakat dan memboroskan sumber daya ekonomi. Perawat dapat
memberikan dorongan serta dalam membuat keputusan, kemandirian, aktivitas
sosial lansia. Selain itu juga adap poin-poin yang terjadi dalam psikososial :
1. Pensiun : nilai seseorang sering diukur berdasarkan produktivitasnya dan
identitas dikaitkan dengan peranan dalam pekerjaan. Bila seseorang pensiun
(purna tugas), ia akan mengalami kehilangan-kehilangan, antara lain :
Kehilangan finansial ( income berkurang).
Kehilangan status (dulu mempunyai jabatan posisi yang cukup tinggi,
lengkap dengan segara fasilitasnya).
Kehilangan teman/kenalan atau relasi.
Kehilangan pekerjaan/jabatan.
2. Merasakan atau sadar akan kematian.
3. Perubahan dalam cara hidup, yaitu memasuki rumah perawatan bergerak lebih
sempit.
4. Ekonomi akibat pemberhentian dari jabatan. Meningkatnya biaya hidup pada
penghasilan yang sulit, bertambahnya biaya pengobatan.
5. Penyakit kronis dan ketidakmampuan.
6. Perubahan dalam Peran Sosial, akibat berkurangnya fungsi indra pendengaran,
penglihatan, gerak fisik maka muncul gangguan fungsional atau bahkan
kecatatan pada lansia. Misalnya badan bungkuk, pendengaran sangat
berkurang, penglihtan kabur, dan sebagainya dicegah dengan selalu mengajak
mereka pada aktivitas, selama yang bersangkutan masih sanggup, agar tidak
merasa terasing. Oleh karena jika keterasingan terjadi akan semakin menolak
untuk berkomunikasi dan kadang-kadang terus muncul perilaku regresi seperti
mudah menagis, marah-marah, mengumpulkan barang-barang tak berguna
serta merengek-rengek dan menahan orang lain sehingga perilakunya seperti
anak kecil
B. Klasifikasi
Dokumen konsesus tahun 1997 oleh American Diabetes Association’s Expert
Committee on the Diagnosis and Classification of Diabetes Melitus, menjabarkan 4
kategori utama diabetes, yaitu: (Corwin, 2009)
1. Tipe I: Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM)/ Diabetes Melitus tergantung
insulin (DMTI)
Lima persen sampai sepuluh persen penderita diabetik adalah tipe I. Sel-sel beta
dari pankreas yang normalnya menghasilkan insulin dihancurkan oleh proses
autoimun. Diperlukan suntikan insulin untuk mengontrol kadar gula darah. Awitannya
mendadak biasanya terjadi sebelum usia 30 tahun.
2. Tipe II: Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)/ Diabetes Mellitus tak
tergantung insulin (DMTTI)
Sembilan puluh persen sampai 95% penderita diabetik adalah tipe II. Kondisi
ini diakibatkan oleh penurunan sensitivitas terhadap insulin (resisten insulin) atau
akibat penurunan jumlah pembentukan insulin. Pengobatan pertama adalah dengan
diit dan olah raga, jika kenaikan kadar glukosa darah menetap, suplemen dengan
preparat hipoglikemik (suntikan insulin dibutuhkan, jika preparat oral tidak dapat
mengontrol hiperglikemia). Terjadi paling sering pada mereka yang berusia lebih dari
30 tahun dan pada mereka yang obesitas.
3. DM tipe lain
Karena kelainan genetik, penyakit pankreas (trauma pankreatik), obat, infeksi,
antibodi, sindroma penyakit lain, dan penyakit dengan karakteristik gangguan
endokrin.
4. Diabetes Kehamilan: Gestasional Diabetes Melitus (GDM)
Diabetes yang terjadi pada wanita hamil yang sebelumnya tidak mengidap
diabetes.
C. Etiologi
1. Diabetes Melitus tergantung insulin (DMTI)
a. Faktor genetik
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri tetapi mewarisi
suatu presdisposisi atau kecenderungan genetic kearah terjadinya diabetes tipe I.
Kecenderungan genetic ini ditentukan pada individu yang memililiki tipe antigen
HLA (Human Leucocyte Antigen) tertentu. HLA merupakan kumpulan gen yang
bertanggung jawab atas antigen tranplantasi dan proses imun lainnya.
b. Faktor imunologi :
Pada diabetes tipe I terdapat bukti adanya suatu respon autoimun. Ini
merupakan respon abnormal dimana antibody terarah pada jaringan normal tubuh
dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah
sebagai jaringan asing.
c. Faktor lingkungan
Faktor eksternal yang dapat memicu destruksi sel β pancreas, sebagai contoh
hasil penyelidikan menyatakan bahwa virus atau toksin tertentu dapat memicu
proses autoimun yang dapat menimbulkan destuksi sel β pancreas.
2. Diabetes Melitus tak tergantung insulin (DMTTI)
Secara pasti penyebab dari DM tipe II ini belum diketahui, factor genetic
diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin. Diabetes
Melitus tak tergantung insulin (DMTTI) penyakitnya mempunyai pola familiar yang
kuat. DMTTI ditandai dengan kelainan dalam sekresi insulin maupun dalam kerja
insulin. Pada awalnya tampak terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja
insulin. Insulin mula-mula mengikat dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel
tertentu, kemudian terjadi reaksi intraselluler yang meningkatkan transport glukosa
menembus membran sel. Pada pasien dengan DMTTI terdapat kelainan dalam
pengikatan insulin dengan reseptor. Hal ini dapat disebabkan oleh berkurangnya
jumlah tempat reseptor yang responsif insulin pada membran sel. Akibatnya terjadi
penggabungan abnormal antara komplek reseptor insulin dengan system transport
glukosa. Kadar glukosa normal dapat dipertahankan dalam waktu yang cukup lama
dan meningkatkan sekresi insulin, tetapi pada akhirnya sekresi insulin yang beredar
tidak lagi memadai untuk mempertahankan euglikemia (Price, 1995 cit Indriastuti
2008). Diabetes Melitus tipe II disebut juga Diabetes Melitus tidak tergantung
insulin (DMTTI) atau Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM) yang
merupakan suatu kelompok heterogen bentuk-bentuk Diabetes yang lebih ringan,
terutama dijumpai pada orang dewasa, tetapi terkadang dapat timbul pada masa
kanak-kanak.
Faktor risiko yang berhubungan dengan proses terjadinya DM tipe II, diantaranya
adalah:
a. Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 tahun)
b. Obesitas
c. Riwayat keluarga
d. Kelompok etnik
D. Patofisiologi
Diabetes tipe I. Pada diabetes tipe satu terdapat ketidakmampuan untuk
menghasilkan insulin karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh proses
autoimun. Hiperglikemi puasa terjadi akibat produkasi glukosa yang tidak terukur oleh
hati. Di samping itu glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati
meskipun tetap berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia posprandial
(sesudah makan).
Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi maka ginjal tidak dapat menyerap
kembali semua glukosa yang tersaring keluar, akibatnya glukosa tersebut muncul dalam
urin (glukosuria). Ketika glukosa yang berlebihan di ekskresikan ke dalam urin, ekskresi
ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini
dinamakan diuresis osmotik. Sebagai akibat dari kehilangan cairan berlebihan, pasien
akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsia).
Defisiensi insulin juga akan menggangu metabolisme protein dan lemak yang
menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan selera
makan (polifagia), akibat menurunnya simpanan kalori. Gejala lainnya mencakup
kelelahan dan kelemahan. Dalam keadaan normal insulin mengendalikan glikogenolisis
(pemecahan glukosa yang disimpan) dan glukoneogenesis (pembentukan glukosa baru
dari dari asam-asam amino dan substansi lain), namun pada penderita defisiensi insulin,
proses ini akan terjadi tanpa hambatan dan lebih lanjut akan turut menimbulkan
hiperglikemia. Disamping itu akan terjadi pemecahan lemak yang mengakibatkan
peningkatan produksi badan keton yang merupakan produk samping pemecahan lemak.
Badan keton merupakan asam yang menggangu keseimbangan asam basa tubuh apabila
jumlahnya berlebihan. Ketoasidosis yang diakibatkannya dapat menyebabkan tanda-
tanda dan gejala seperti nyeri abdomen, mual, muntah, hiperventilasi, nafas berbau aseton
dan bila tidak ditangani akan menimbulkan perubahan kesadaran, koma bahkan
kematian. Pemberian insulin bersama cairan dan elektrolit sesuai kebutuhan akan
memperbaiki dengan cepat kelainan metabolik tersebut dan mengatasi gejala
hiperglikemi serta ketoasidosis. Diet dan latihan disertai pemantauan kadar gula darah
yang sering merupakan komponen terapi yang penting.
Diabetes tipe II. Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama yang berhubungan
dengan insulin yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin
akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya
insulin dengan resptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa
di dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai dengan penurunan reaksi
intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi
pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi resistensi insulin dan untuk
mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin
yang disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat
sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang
normal atau sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel-sel beta tidak mampu
mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat
dan terjadi diabetes tipe II. Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan
ciri khas DM tipe II, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk
mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton yang menyertainya. Karena itu
ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada diabetes tipe II. Meskipun demikian, diabetes tipe
II yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya yang dinamakan
sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketoik (HHNK).
Diabetes tipe II paling sering terjadi pada penderita diabetes yang berusia lebih dari
30 tahun dan obesitas. Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat (selama
bertahun-tahun) dan progresif, maka awitan diabetes tipe II dapat berjalan tanpa
terdeteksi. Jika gejalanya dialami pasien, gejala tersebut sering bersifat ringan dan dapat
mencakup kelelahan, iritabilitas, poliuria, polidipsi, luka pada kulit yang lama sembuh-
sembuh, infeksi vagina atau pandangan yang kabur (jika kadra glukosanya sangat tinggi).
E. Manifestasi Klinis
1. Diabetes Tipe I
a. Hiperglikemia berpuasa
b. Glukosuria, diuresis osmotik, poliuria, polidipsia, polifagia
c. Keletihan dan kelemahan
d. Ketoasidosis diabetik (mual, nyeri abdomen, muntah, hiperventilasi, nafas bau
buah, ada perubahan tingkat kesadaran, koma, kematian)
2. Diabetes Tipe II
a. Lambat (selama tahunan), intoleransi glukosa progresif
b. Gejala seringkali ringan mencakup keletihan, mudah tersinggung, poliuria,
polidipsia, luka pada kulit yang sembuhnya lama, infeksi vaginal, penglihatan
kabur
c. Komplikasi jangka panjang (retinopati, neuropati, penyakit vaskular perifer)
F. Data Penunjang
1 Glukosa darah: gula darah puasa > 130 ml/dl, tes toleransi glukosa > 200 mg/dl, 2 jam
setelah pemberian glukosa.
2 Aseton plasma (keton) positif secara mencolok.
3 Asam lemak bebas: kadar lipid dan kolesterol meningkat
4 Osmolalitas serum: meningkat tapi biasanya < 330 mOsm/I
5 Elektrolit: Na mungkin normal, meningkat atau menurun, K normal atau peningkatan
semu selanjutnya akan menurun, fosfor sering menurun.
6 Gas darah arteri: menunjukkan Ph rendah dan penurunan HCO3
7 Trombosit darah: Ht meningkat (dehidrasi), leukositosis dan hemokonsentrasi
merupakan respon terhadap stress atau infeksi.
8 Ureum/kreatinin: mungkin meningkat atau normal
9 Insulin darah: mungkin menurun/ tidak ada (Tipe I) atau normal sampai tinggi (Tipe
II)
10 Urine: gula dan aseton positif
11 Kultur dan sensitivitas: kemungkinan adanya ISK, infeksi pernafasan dan infeksi luka.
G. Komplikasi
Komplikasi yang berkaitan dengan kedua tipe DM (Diabetes Melitus) digolongkan
sebagai akut dan kronik (Mansjoer dkk, 2007)
1. Komplikasi akut
Komplikasi akut terjadi sebagai akibat dari ketidakseimbangan jangka
pendek dari glukosa darah
a. Hipoglikemia/ Koma Hipoglikemia
Hipoglikemik adalah kadar gula darah yang rendah. Kadar gula darah yang
normal 60-100 mg% yang bergantung pada berbagai keadaan. Salah satu bentuk
dari kegawatan hipoglikemik adalah koma hipoglikemik. Pada kasus spoor atau
koma yang tidak diketahui sebabnya maka harus dicurigai sebagai suatu
hipoglikemik dan merupakan alasan untuk pembarian glukosa. Koma
hipoglikemik biasanya disebabkan oleh overdosis insulin. Selain itu dapat pula
disebabkan oleh karana terlambat makan atau olahraga yang berlebih. Diagnosa
dibuat dari tanda klinis dengan gejala hipoglikemik terjadi bila kadar gula darah
dibawah 50 mg% atau 40 mg% pada pemeriksaaan darah jari.
b. Sindrom Hiperglikemik Hiperosmolar Non Ketotik (Hhnc/ Honk).
HONK adalah keadaan hiperglikemi dan hiperosmoliti tanpa terdapatnya
ketosis. Konsentrasi gula darah lebih dari 600 mg bahkan sampai 2000, tidak
terdapat aseton, osmolitas darah tinggi melewati 350 mOsm perkilogram, tidak
terdapat asidosis dan fungsi ginjal pada umumnya terganggu dimana BUN
banding kreatinin lebih dari 30 : 1, elektrolit natrium berkisar antara 100 – 150
mEq per liter kalium bervariasi.
c. Ketoasidosis Diabetic (Kad)
DM Ketoasidosis adalah komplikasi akut diabetes mellitus yang ditandai
dengan dehidrasi, kehilangan elektrolit dan asidosis.
2. Komplikasi kronik
a. Makrovaskular (penyakit pembuluh darah besar), mengenai sirkulasi koroner,
vaskular perifer dan vaskular serebral.
b. Mikrovaskular (penyakit pembuluh darah kecil), mengenai mata (retinopati) dan
ginjal (nefropati). Kontrol kadar glukosa darah untuk memperlambat atau
menunda awitan baik komplikasi mikrovaskular maupun makrovaskular.
c. Penyakit neuropati, mengenai saraf sensorik-motorik dan autonomi serta
menunjang masalah seperti impotensi dan ulkus pada kaki.
d. Rentan infeksi, seperti tuberkulosis paru dan infeksi saluran kemih
e. Ulkus/ gangren/ kaki diabetik
H. Penatalaksanaan
1. Medis
Tujuan utama terapi DM adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin dan
kadar glukosa darah dalam upaya mengurangi terjadinya komplikasi vaskuler serta
neuropatik. Tujuan terapeutik pada setiap tipe DM adalah mencapai kadar glukosa
darah normal tanpa terjadi hipoglikemia dan gangguan serius pada pola aktivitas
pasien. Ada lima komponen dalam penatalaksanaan DM, yaitu :
a. Diet
Syarat diet DM hendaknya dapat :
1) Memperbaiki kesehatan umum penderita
2) Mengarahkan pada berat badan normal
3) Menekan dan menunda timbulnya penyakit angiopati diabetic
4) Memberikan modifikasi diit sesuai dengan keadaan penderita
5) Menarik dan mudah diberikan
Prinsip diet DM, adalah :
1) Jumlah sesuai kebutuhan
2) Jadwal diet ketat
3) Jenis : boleh dimakan / tidak
Dalam melaksanakan diit diabetes sehari-hari hendaklah diikuti pedoman 3 J yaitu:
1) Jumlah kalori yang diberikan harus habis, jangan dikurangi atau ditambah
2) Jadwal diit harus sesuai dengan intervalnya
3) Jenis makanan yang manis harus dihindari
b. Latihan
Beberapa kegunaan latihan teratur setiap hari bagi penderita DM, adalah :
1) Meningkatkan kepekaan insulin, apabila dikerjakan setiap 1 1/2 jam sesudah
makan, berarti pula mengurangi insulin resisten pada penderita dengan
kegemukan atau menambah jumlah reseptor insulin dan meningkatkan
sensivitas insulin dengan reseptornya
2) Mencegah kegemukan bila ditambah latihan pagi dan sore
3) Memperbaiki aliran perifer dan menambah suplai oksigen
4) Meningkatkan kadar kolesterol – high density lipoprotein
5) Kadar glukosa otot dan hati menjadi berkurang, maka latihan akan dirangsang
pembentukan glikogen baru.
6) Menurunkan kolesterol (total) dan trigliserida dalam darah karena pembakaran
asam lemak menjadi lebih baik.
c. Penyuluhan
Penyuluhan merupakan salah satu bentuk penyuluhan kesehatan kepada
penderita DM, melalui bermacam-macam cara atau media misalnya: leaflet, poster,
TV, kaset video, diskusi kelompok, dan sebagainya.
d. Obat
1) Tablet OAD (Oral Antidiabetes)/ Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
a) Mekanisme kerja sulfanilurea
Obat ini bekerja dengan cara menstimulasi pelepasan insulin yang
tersimpan, menurunkan ambang sekresi insulin dam meningkatkan sekresi
insulin sebagai akibat rangsangan glukosa. Obat golongan ini biasanya
diberikan pada penderita dengan berat badan normal dan masih bisa dipakai
pada pasien yang berat badannya sedikit lebih.
b) Mekanisme kerja Biguanida
Biguanida tidak mempunyai efek pankreatik, tetapi mempunyai efek
lain yang dapat meningkatkan efektivitas insulin, yaitu
e. Insulin
Indikasi penggunaan insulin
1) DM tipe I
2) DM tipe II yang pada saat tertentu tidak dapat dirawat dengan OAD
3) DM kehamilan
4) DM dan gangguan faal hati yang berat
5) DM dan gangguan infeksi akut (selulitis, gangren)
6) DM dan TBC paru akut
7) DM dan koma lain pada DM
8) DM operasi
9) DM patah tulang
10) DM dan underweight
11) DM dan penyakit Graves
b. Pemeriksaan fisik
1) Status kesehatan umum
Meliputi keadaan penderita, kesadaran, suara bicara, tinggi badan, berat
badan, dan tanda-tanda vital
2) Kepala dan leher
Kaji bentuk kepala, keadaan rambut, adakah pembesaran pada leher, telinga
kadang berdenging, adakah gangguan pendengaran, gusi mudah berdarah dan
bengkak, adakah penglihatan kabur atau ganda, lensa mata keruh.
3) Sistem integument
Turgor kulit menurun, adanya luka atau warna kehitaman bekas luka,
kelembapan, dan suhu kulit di area sekitar ulkus atau gangren, kemerahan pada
kulit sekitar luka, tekstur rambut dan kuku.
4) Sistem pernafasaan
Adakah sesak nafas, batuk, sputum, nyeri dada, pada luka diabetes mellitus
mudah terjadi infeksi.
5) Sistem kardiovaskular
Perfusi jaringan menurun, nadi perifer lemah atau berkurang, takikardia atau
bradikardia, hipertensi atau hipotensi, aritmia
6) Sistem gastrointestinal
Terdapat polifagi, polidipsi, mual, muntah, diare, konstipasi, dehidrasi,
perubahan berat badan, peningkatan berat abdomen obesitas.
7) Sistem urinaria
Poliuri, retensio urin, inkontinensia urin
8) Sistem musculoskeletal
Penyebaran lemak, penyebaran massa otot, perubahan tinggi badan, cepat
lelah, lemah dan nyeri, ada gangguan di ekstremitas
9) Sistem neurologi
Terjadi penurunan sensori, parathesia, anesthesia, letargi, mengantuk, reflek
lambat, disorientasi
B. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan pemenuhan nutrisi berhubungan dengan mual, muntah, penurunan
penggunaan dan ambilan glukosa akibat kekurangan insulin.
C. Intervensi
2. Timbang berat badan setiap hari atau Mengkaji pemasukan makanan yang
sesuai indikasi adekuat (termasuk absorbsi dan
utilisasinya).
3. Identifikasi makanan yang Jika makanan yang disukai pasien dapat
disukai/dikehendaki termasuk dimasukkan dalam perencanaan makan,
kebutuhan etnik/kultural. kerjasama ini dapat diupayakan setelah
pulang
4. Libatkan keluarga pasien pada Meningkatkan keterlibatannya dalam
perencanaan makan sesuai indikasi. memberikan informasi pada keluarga
untuk memahami nutrisi pasien
5. Berikan oral hiegene kepada klien Memberikan sensasi rasa segar dan
nyaman sebelum makan
6. Berikan pengobatan insulin secara Insulin reguler memiliki awitan cepat
teratur sesuai indikasi dan karenanya dengan cepat pula dapat
membantu memindahkan glukosa ke
dalam sel
3. Catat omset, karakteristik dan durasi Mengetahui penyebab nafas tidak efektif
batuk
4. Catat hasil foto rontgen Mengetahui gambaran paru-paru klien
Intervensi Rasional
1. Pantau tanda-tanda vital Hypovolemia dapat di manifestasikan
oleh hipotensi dan takikardia
5. Berikan terapi cairan sesuai Tipe dan jumlah dari cairan tergantung
indikasi pada derajat kekurangan cairan dan
respons pasien secara individual.
e. Cemas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
Tujuan: Kontrol kecemasan dan koping, setelah dilakukan perawatan selama 2 x
24 jam cemas pasien hilang atau berkurang dengan indikator :
1. Mengungkapkan cara mengatasi cemas
2. Mampu menggunakan coping
3. Dapat tidur atau istirahat
4. Mengungkapkan tidak ada penyebab fisik yang dapat menyebabkan cemas
Intervensi Rasional
4. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan tahap terakhir dari proses keperawatan. Kegiatan evaluasi ini
adalah membandingkan hasil yang telah dicapai setelah implementasi keperawatan
dengan tujuan yang diharapkan dalam perencanaan.
Perawat mempunyai tiga alternatif dalam menentukan sejauh mana tujuan tercapai:
a. Berhasil: Perilaku pasien sesuai pernyatan tujuan dalam waktu atau tanggal yang
ditetapkan di tujuan.
b. Tercapai sebagian : pasien menunjukan perilaku tetapi tidak sebaik yang
ditentukan dalam pernyataan tujuan.
c. Belum tercapai. : pasien tidak mampu sama sekali menunjukkan prilaku yang
diharapakan sesuai dengan pernyataan tujuan.