Anda di halaman 1dari 32

SEJARAH PERKEMBANGAN POLITIK HUKUM DI INDONESIA

MakalahDisusunSebagaiTugasPadaMata KuliahSejarahHukum

Disusunoleh:
1. Ahmad Kennedy
2. BrinnaListiyani
3. Mayezi Leo Handika
4. Ponto Tri Anggoro
5. Sidik
6. Teddy Wahyudi

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM


PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
1439/1440 H, 2017/2018 M

1
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ______________________________________ 3
A. Latar Belakang Masalah ______________________________________ 3
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ______________________________________ 4
BAB II TINJAUAN UMUM SEJARAH HUKUM DAN
PENGARUHNYA TERHADAP SEJARAH
HUKUM INDONESIA ______________________________________ 5
A. Pengertian Sejarah Hukum ______________________________________ 5
B. Sejarah Hukum dan Pengaruhnya di
Nusantara ______________________________________ 6
C. Pengaruh Sejarah Hukum Romawi
terhadap Sejarah Hukum Indonesia ______________________________________ 8
BAB III PERKEMBANGAN SEJARAH HUKUM DI
INDONESIA _____________________________________ 10
A. Masa Kerajaan Nusantara _____________________________________ 10
B. Masa Penjajahan Belanda _____________________________________ 12
C. Zaman Penjajahan Jepang _____________________________________ 21
D. Periode Kemerdekaan sampai sekarang _____________________________________ 22
E. Perubahan Sistem Hukum Indonesia _____________________________________ 30
BAB IV PENUTUP _____________________________________ 30
A. Kesimpulan _____________________________________ 30
B. Saran _____________________________________ 30
DAFTAR PUSTAKA _____________________________________32

2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan Hukum di Indonesia tidak terlepas dari sejarah yang telah berjalan
cukup lama. Jika melihat sejarah panjang tersebut, Hukum (dalam arti tertulis) yang ada
di Indonesia masih merupakan hukum peninggalan Belanda, yang dulu pernah
menjajah Indonesia. Hampir semua hukum yang berjalan di Belanda juga ikut
diterapkan di Indonesia. Dengan kata lain, Hukum Indonesia adalah hukum yang masih
mengacu kepada hukum yang dibuat oleh Belanda.
Sistem Hukum Eropa Kontinental adalah sistem hukum yang diterapkan di negara
Belanda yang berasal dari Hukum Romawi Kuno. Sistem hukum ini muncul pada abad
ke ke tigabelas di Jerman dan sejak saat itu senantiasa mengalami perkembangan,
perubahan, atau menjalani suatu evolusi. Selama evolusi ini, system hukum Eropa
Kontinental mengalami penyempurnaan yaitu menyesuaikan kepada tuntutan dan
kebutuhan masyarakat yang berubah sehingga disebut juga sistem Hukum Romawi
Jerman.
Sistem hukum ini mula-mula berlaku di daratan Eropa Barat yaitu di Jerman
kemudian ke Prancis dan selanjutnya ke Belanda kemudian di negara-negara
sekitarnya. Belanda yang pernah menjajah bangsa Indonesia membawa sistem hukum
ini dan memberlakukannya di seluruh wilayah jajahannya.
Hukum Indonesia sendiri merupakan campuran dari sistem hukum Eropa
Kontinental, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik
perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari
Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan
dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian
besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam
lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di
Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat yang diserap dalam perundang-undangan
atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari
masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.

3
Melihat dari sistem hukum yang saat ini berlaku di Indonesia, tampak adanya
perpaduan antara satu sistem hukum dengan sistem hukum yang lainnya. Indonesia
tidak hanya menggunakann sistem hukum Eropa Kontinental saja, namun juga
terkadang menerapkan prinsip-prinsip sebagaimana hukum anglo saxon, hal ini
khususnya terlihat dari adanya putusan peradilan yang menjadikan putusan
sebelumnya (yurisprudensi) sebagai dasar pertimbangan putusan tersebut.
Dalam pembahasannya, makalah ini berusaha menemukan kontinuitas dan
keterkaitan sejarah hukum dunia dengan sejarah hukum Indonesia, dan menjelaskan
pula bagaimana pengaruh sejarah hukum Romawi yang dibawa melalui penjajahan
Belanda berpengaruh pada pilihan sistem hukum di Indonesia.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah


Sejarah hukum yang dimaksudkan dalam penulisan makalah ini adalah
sebagaimana dimaksud Munir Fuady dalam bukunya Sejarah Hukum, maupun John
Gilissen dan Frits Gorle dalam bukunya Sejarah Hukum; Suatu Pengantar. Jika kedua
buku tersebut membahas sejarah hukum secara luas dan hanya menyasar sejarah-
sejarah hukum “besar” dimulai dari Sejarah Hukum Babilonia, Mesir Kuno, India, Budha
dan Cina Klasik, Yunani dan Romawi, maka penulisan makalah ini membatasi diri pada
bahasan bagaimana pengaruh sejarah hukum: pertama, India (Hindu) dan China
(Budha) terhadap sejarah hukum kerajaan-kerajaan di Nusantara sebelum masa
penjajahan Belanda. Kedua, pengaruh sejarah hukum romawi yang dibawa penjajah
Belanda terhadap perkembangan sejarah hukum di Hindia Belanda dan Indonesia pasca
Kemerdekaan.
Melihat latar belakang dan pembatasan masalah diatas, maka rumusan yang akan
diajukan penulis adalah :
1. Bagaimanakah kaitan sejarah hukum dunia tersebut khususnya sejarah hukum
Romawi dengan Perkembangan Sejarah Hukum di Indonesia ?
2. Bagaimanakah sejarah hukum di Indonesia bisa menjadi landasan bagi terciptanya
sistem hukum baru di Indonesia ?

4
BAB II
TINJAUAN UMUM SEJARAH HUKUM DAN PENGARUHNYA TERHADAP SEJARAH
HUKUM INDONESIA

A. Pengertian Sejarah Hukum


Sebelum masuk kepada pengertian Sejarah Hukum baiknya kita memahami terlebih
dahulu yang dimaksud dengan Sejarah. Untuk memberikan definisi tentang sejarah ini
sangat sulit, mengingat bahwa banyak sekali pendekatan dari segi etimologi yang
digunakan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sejarah sebagai suatu
pengungkapan fakta dari kejadian-kejadian masa lalu. Sedangkan yang dimaksud
dengan Sejarah Hukum adalah suatu metode dan ilmu yang merupakan cabang dari
dari ilmu sejarah yang mempelajari, menganalisis, memverifikasi, menginterpretasi,
menyusun dalil dan kecenderungan dan menarik kesimpulan tertentu tentang setiap
fakta, konsep, kaidah dan aturan yang berkenaan dengan hukum yang pernah berlaku
baik secara kronologis dan sistematis, berikut sebab akibat dan ketersentuhannya
dengan bidang lain dari hukum.1 Jadi sejarah hukum merupakan cabang dari ilmu
sejarah dengan hukum sebagai objeknya.
Sementara itu, John Gilissen dan Frits Gorle menjelaskan bahwa sejarah hukum
merupakan bagian dari penyelenggaraan sejarah secara integral dengan memfokuskan
perhatian pada gejala-gejala hukum, dimana penulisan sejarah secara integral pula
mempergunakan hasil-hasil sejarah hukum dan sekaligus meredam efek samping yang
terpaksa ikut muncul ke permukaan sebagai akibat peletakan tekanan pada gejala-
gejala hukum.2Oleh karena itu tujuan akhir sejarah hukum yang spesifik adalah
menemukan dalil-dalil dan kecenderungan-kecenderungan perkembangan hukum.3
Menurut Lili Rasjidi, mempelajari hukum dari segi sejarahnya mulai dikenal setelah
Friedrich Carl von Savigny, pelopor Mazhab Sejarah, menggunakannya dalam
penyelidikan hukum yang dilakukannya. Dengan metode ini, dicari asa mula suatu

1MunirFuady, SejarahHukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2013), Cet.II, hlm.1.


2 John Gilissendan Frits Gorle, SejarahHukum; SuatuPengantar, Terjemahan, (Bandung: PT.
RefikaAditama, 2011), Cet. V, hlm. 12.
3Ibid.

5
system hukum dalam suatu Negara/masyarakat, perkembangannya dari dahulu hingga
sekarang.4
Ada dua hal yang mempengaruhi munculnya Mazhab sejarah saat itu, pertama
pengaruh Montesquieu dalam bukunya L’espirit de Lois yang terlebih dahulu
mengemukakan tentang adanya hubungan jiwa suatu bangsa dengan hukumnya dan
kedua, pengaruh paham nasionalisme yang mulai timbul diawal abad ke-19.5
Selanjutnya, pengaruh pandangan Savigny – menurutLiliRasjidi – terasasampai jauh
keluar batas-batas negeri Jerman. Terhadap Indonesia misalnya terdapat pada
pendapat para ahli hukum adat kita seperti Prof. Supomo, Prof. Sudirman, Prof
Djojodiguno dan lain-lain. Berkat pandangan von Savigny hukum adat kita diperlakukan
sebagai hukum yang berlaku bagi golongan Indonesia asli. Ini semua karena merupakan
perjuangan orang-orang Belanda sendiri seperti van Vollenhoven, Ter Haar maupun
Holleman dan lain-lain yang menganut pendapat von Savigny.6

B. Sejarah Hukum dan Pengaruhnya di Nusantara7


Sejarah hukum hanya dapat dipelajari sejak periode yang didalamnya dokumen-
dokumen pertama ditulis. Pada umumnya semua bangsa-bangsa pernah mengalami
evolusi hukum selama berabad-abad sebelum periode mereka menggunakan aksara.
Oleh karena itu pembedaan antara pra-sejarah dan sejarah hukum pada hakikatnya
terletak pada perbedaan antara bangsa-bangsa tuna aksara dan bangsa-bangsa
beraksara. Dengan demikian aksara ini dapat dikatakan merupakan faktor kebudayaan
penting pertama yang menentukan pengevolusian hukum. Periode peralihan dari pra-
sejarah ke sejarah hukum berbeda antara banagsa yang satu dengan bangsa yang lain.
Bagi bangsa Mesir hal tersebut berada sekitar abad ke-28 dan 27 SM, bagi bangsa
Romawi antara abad ke 6 dan 5 SM, sedangkan bagi bangsa Germania pada abad ke-5

4LiliRasjidi, Dasar-dasarFilsafatHukum, (Bandung: PT. Citra AdityaBakti: 1990), Cet.V, hlm. 20. Lihat

juga Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: YayasanKanisius, 1982), hlm. 118-
122.
5Ibid., hlm.45.
6Ibid.,hlm 46-47.
7MenurutLuthfiAssyaukani, orang yang memperkenalkan kata “nusantara” iniadalah Ki
HadjarDewantara (1889-1959), tokoknasionalpendiri Taman Siswa. LihatLuthfiAssyaukani, Pengantar, dalam
Bernard H.M. Vlekke, Nusantara; Sejarah Indonesia, (Jakarta, KPG: 2008), hlm. xiv.
6
sesudah Masehi dan bagi bangsa-bangsa Afrika tertentu, bangsa-bangsa yang mendiami
daerah Amazon dan sebagainya baru pada abad ke-20 ini.8
Kedudukan dan peranan yang dimainkan oleh undang-undang zaman kuno sangat
besar bagi masyarakatnya. Karena tidak seperti sekarang, dalam undang-undang zaman
kuno tersebut, tidak pernah dibeda-bedakan antara hukum dengan moral, agama, dan
aturan adat istiadat. Semua factor tersebut ditulis dalam suatu undang-undang dan
kitab undang-undang.9 Sekarang ini, dimana budaya tulis-menulis menjadi menu
makanan sehari-hari, banyak sekali undang-undang tertulis di semua Negara di dunia.
Hampir tidak ada aspek kehidupan manusia yang tidak diatur oleh undang-undang.
Namun, sejarah mencatat, yang dapat terbilang spektakuler sebenarnya hanya
beberapa undang-undang atau kitab undang-undang saja, yaitu Kitab Undang-Undang
Manu (India), Code Hammurabi (Babilonia), Kitab Undang-Undang 12 Pasal (Romawi),
Corpus Juris Civilis (Romawi), dan Code Napoleon (Prancis).10
Sebelum masa penjajahan Belanda dan kemerdekaan, dapat dikatakan bahwa
kerajaan-kerajaan di Nusantara telah terpengaruh hukum Manu (India) atau Hukum
Hindu dan Hukum Cina (Budha). Raja Dharmawangsa dari Jawa Timur, disekitar tahun
1000 menyuruh menyusun sebuah kitab undang-undang atau kitab hukum Ciwacasana.
Patih Majapahit dari tahun 1331 sampai tahun 1364, yakni Gajahmada (Ganesha Mada)
telah memberikan namanya kepada sebuah kitab undang-undang atau kitab hukum
Gajahmada yang juta tersimpan bagi kita dalam bentuk pegolahan yang lebih muda;
penggantinya, patih Kanaka dari tahun 1413 sampai tahun 1430 menyuruh
merancangkan kitab undang-undang atau kitab hukum Adigama, dan juga kitab
undang-undang atau kitab hukum Kutaramanawa sebelum tahun 1350, yang
ditemukan di Bali, menunjukkan keahlian orang pribumi kuno di bidang hukum.11

8 John Gilissendan Frits Gorle, SejarahHukum; SuatuPengantar, hlm. 38-39.


9MunirFuady, SejarahHukum, hlm. 16.
10Ibid., hlm. 27.
11 C. van Vollenhoven, PenemuanHukumAdat, Terjemahan, (Jakarta: Djambatan, 1987), cet.II, hlm. 3-

4.
7
C. Pengaruh Sejarah Hukum Romawi terhadap Sejarah Hukum Indonesia
Salah satu sumbangan besar bangsa Romawi kepada dunia adalah sektor hukum
yang masih berpengaruh hingga sekarang. Mesikipun selain itu masih ada sumbangsih
bangsa Romawi kepada dunia diantaranya abjad romawi, system pemerintahan
romawi, dan sebagainya.12
Diantarabeberapa faktor yang yang menjadikan hukum romawi sangat berkembang
dalam sejarah hukum,13 termasuk sampai berpengaruh pada sejarah hukum Indonesia,
salah satunya adalah pengembangan beberapa hukum nasional di Negara tertentu
berdasarkan hukum romawi. Menurut Munir Fuady, perkembangan beberapa hukum
nasional di Negara-negara tertentu sangat berpengaruh bagi dunia hukum dengan
membuat berbagai kodifikasi, seperti pembuatan Code Napoleon di Prancis yang
didasarkan pada Code Justinian, atau pembuatan Code Civil Jerman yang didasarkan
pada hukum Romawi sebelum era Code Justinian. Setelah hukum Romawi
dikembangkan oleh bangsa Romawi sendiri selama kurang lebih 2000 tahun, kemudian
hukum tersebut dikembangkan lagi oleh bangsa-bangsa lain dalam bentuk tradisi
hukum Eropa Kontitental, atau yang disebut juga dengan sebutan tradisi hukum Civil
Law.14
Dapat dikatakan bahwa kegemilangan hukum romawi bermula dari munculnya
undang-undang besar, yaitu Undang-Undang Dua Belas (the twelve tables) yang mulai
berlaku pada tahun 450 SM dan diakhiri oleh kodifikasi terbesar sepajang sejarah
hukum, yaitu Code Justinian yang disebut dengan Corpus Juris Civilis yang berlaku sejak
tahun 529 M.15
Namun, pada abad ke-16 dan 17, pusat-pusat pendidikan hukum telah berpindah ke
Perancis dan Belanda. Di Belanda, para ahli hukum mengembangkan sistem hukum
secara sistematis sebagai suatu hukum alam yang berlaku universal. Disamping itu,
pada abad pertengahan terdapat pula pengaruh hukum gereja (kanonik), sehingga
berdasarkan hukum romawi dan ajaran-ajaran Kristen, di abad pertengahan pernah
dibuat semacam kompilasi yang sistematis sehingga menjadi semacam kodifikasi

12MunirFuady, SejarahHukum, hlm. 197-198.


13Ibid.,hlm. 198-199.
14Ibid.,hlm. 203.
15Ibid.,hlm. 208.

8
hukum yang disebut Code of Canon Law (Corpus Iurist Canonic). Hukum Romawi yang
berlandaskan ajaran-ajaran Kristen di zaman pertengahan, kemudian hukum Romawi
versi Code Justinian atau bahkan versi sebelum Code Justinian terus berkembang ke
seluruh dunia, yang banyak dari kaidah hukumnya terus berlaku sampai sampai
sekarang.16

16MunirFuady, SejarahHukum, hlm. 245.


9
BAB III
PERKEMBANGAN SEJARAH HUKUM DI INDONESIA

Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum Eropa, hukum Agama
dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis
pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu
Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-
Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka
dominasi hukum atau Syari’at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan,
kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat yang
diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari
aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah
Nusantara.

A. Masa Kerajaan Nusantara


Pada masa kerajaan nusantara banyak kerajaan yang sudah mempunyai perangkat
aturan hukum. Aturan tersebut tertuang dalam keputusan para raja ataupun dengan kitab
hukum yang dibuat oleh para ahli hukum. Tidak dipungkiri lagi bahwa adagium ubi societas
ibi ius (dimana ada masyarakat ada hukum) sangatlah tepat. Karena dimanapun manusia
hidup, selama terdapat komunitas dan kelompok maka akan ada hukum.17 Hukum pidana
yang berlaku dahulu kala berbeda dengan hukum pidana modern. Hukum pada zaman
dahulu kala belum memegang teguh prinsip kodifikasi. Aturan hukum lahir melalui proses
interaksi dalam masyarakat tanpa ada campur tangan kerajaan. Hukum pidana adat
berkembang sangat pesat dalam masyarakat.
Hukum pidana yang berlaku saat itu belum mengenal unifikasi. Di setiap daerah
berlaku aturan hukum pidana yang berbeda-beda. Kerajaan besar macam Sriwijaya sampai
dengan kerajaan Demak pun menerapkan aturan hukum pidana. Kitab peraturan seperti
Undang-undang raja niscaya, undang-undang mataram, Jaya Lengkara, Kutaramanawa, dan

17Lihat, Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2012), hlm. 19-20.
10
kitab adilullah berlaku dalam masyarakat pada masa itu. Hukum pidana adat juga menjadi
perangkat aturan pidana yang dipatuhi dan ditaati oleh masyarakat nusantara.
Hukum pidana pada periode ini banyak dipengaruhi oleh agama dan kepercayaan
masyarakat. Agama mempunyai peranan dalam pembentukan hukum pidana di masa itu.
Pidana potong tangan yang merupakan penyerapan dari konsep pidana Islam serta konsep
pembuktian yang harus lebih dari tiga orang menjadi bukti bahwa ajaran agam Islam
mempengaruhi praktik hukum pidana tradisional pada masa itu.
Sebelum bangsa asing masuk ke Indonesia, terdapat hukum adat yang tumbuh dan
berkembang serta diberlakukan dimasyarakat, antara lain sebagai berikut:18
1. Tahun 1000M, pada zaman Hindu, Raja Dharmawangsa dari Jawa Timur dengan
Kitabnya yang disebut Civacasana.
2. Tahun 1331-1364M, Gajah Mada Patih Majapahit, membuat kitab Gajah Mada.
3. Tahun 1413-1430M, Kanaka Patih Majapahit, membuat kitab Adigama.
4. Tahun 1350, di Bali ditemukan Kitab Hukum Kutaramanava.

Disamping kitab-kitab hukum kuno tersebut yang mengatur kehidupan di lingkungan


istana, ada juga kitab-kitab yang mengatur kehidupan masyarakat sebagai berikut:19
1. Daerah Tapanuli, Ruhut Parsaoran di Habatohan (Kehidupan Sosial di Tanah Batak),
Patik Dohot Uhum ni Halak Batak (Undang-Undang dan Ketentuan-Ketentuan Batak).
2. Daerah Jambi, terdapat peraturan berupa Undang-Undang Jambi.
3. Daerah Palembang, Undang-Undang Simbur Cahaya (Undang-Undang tentang Tanah
di Dataran Tinggi Daerah Palembang)
4. Daerah Minangkabau, Undang-Undang Nan Dua Puluh (Undang-Undang tentang
Hukum Adat Delik di Minangkabau).
5. Daerah Sulawesi Selatan, Amana Gapa (Peraturan tentang Pelayaran dan
Pengangkatan Laut bagi Orang-orang Wajo).
6. Daerah Bali, Awig-awig (peraturan Subak dan Desa) dan Agama Desa (Peraturan
Desa) yang ditulis di daun lontar.

18Ratna Artha Windari, Pengantar Hukum Indonesia, (Depok:Rajawali Pers, 2017) Cet.I, hlm. 48. Lihat
juga C. van Vollenhoven, Penemuan Hukum Adat, terjemahan, (Jakarta: Djambatan, 1987), cet.II, hlm. 3-4.
19Ratna Artha Windari, Pengantar Hukum Indonesi, hlm. 49.

11
Mengenai hukum Islam, maka Abad XIII-XVIII merupakan abad mulai tumbuh dan
berkembangnya kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam. Di Aceh, untuk pertama kali,
berdiri kerajaan Samudra Pasai. Kemudian berdiri kerajaan Demak, Pajang, dan Banten
di Pu lau Jawa, Kerajaan Gowa di Sulawesi, dan di tempat-tempat lain.20 Berdirinya
kerajaan-kerajaan Islam tersebut juga membawa pada pemberlakuan hukum Islam.
MenurutRetno Lukito, Islam adalah “agama hukum”. Hukum dan teologi dalam Islam
tidak pernah dipisahkan; dari teologilah institusi hukum itu dibangun dan dengan
menaati hukum aspek teologi dapat dipertahankan. Dalam Islam, al-Quran dan Sunnah
Nabi Muhammad SAW menjadi dua sumber utama dari semua aturan hukum yang harus
ditaati setiap Muslim.21

B. Masa PenjajahanBelanda
Masa kolonialisme ditandai dengan datangnya orang Belanda di Indonesia yakni
pada tahun 1596. Menurut Prof .Mr. Dr. Cornelis van Vollenhoven yang mengatakan :
“Ketika pada tahun 1596 kapal Belanda yang pertama tiba di Nusantara Indonesia, maka
terdapatlah suatu negeri yang - ditinjau dari sudut hukum Negara – bukan Negeri
“tandus dan kosong”. Negeri tersebut penuh sesak dengan lembaga tata Negara dan tata
kuasa. Adalah kekuasaan oleh dan atas suku, desa perserikatan, republik, kerajaan”.22
Memang, ketika orang Belanda datang ke Indonesia telah ada suatu tata hukum
(rechtsorde) yaitu tata hukum asli, yang memang berlainan dengan tata hukum Belanda
tetapi orang Belanda yang menduduki beberapa wilayah menggantikannya dengan
suatu tata hukum barat (Belanda). Orang Belanda sendiri tidak menundukkan diri pada
tata hukum Indonesia asli itu. orang Indonesia asli dan orang Belanda masing-masing
hidup dibawah tata hukum sendiri sehingga ada dualisme dalam tata hukum pada saat

20 Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945; Kajian Perbandingan tentang

Dasar Hidup Bersama Dalam Masyarakat yang Majemuk, (Jakarta: UI-PRESS, 1995), Cet. I, hlm. 28-29. Lihat
juga Rachmadi Usman, Perkembangan Hukum Perdata Dalam Dimensi Sejarah dan Politik Hukum di Indonesia,
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2013) hlm.56. Amin Suma, Kedudukan dan Peanan Hukum Islam di Negara
Hukum Indonesia, (Jakarta : 2009) hlm. 39.
21 Retno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler; Studi Tentang Konflik dan Resolusi Dalam Sistem

Hukum Indonesia, Terjemahan, (Tangerang: Pustaka Alfabet, 2008), Cet. I, hlm. 73-74.
22C.S.T Kansil, Sejarah Hukum Di Indonesia, (Jakarta:SuaraHarapanBangsa,2014) Cet.I., hlm. 216.

12
itu. Disamping ada suatu tata hukum yang bercorak asli (hukum adat), ada juga suatu
tata hukum bercorak asing (hukum Belanda).
Kemudian periode kolonialisme terbagi ke dalam tiga tahapan besar, yakni: periode
VOC, Liberal Belanda dan Politik etis hingga penjajahan Jepang.

1. Periode VOC
Kongsi Dagang atau Perusahaan Hindia Timur Belanda (Vereenigde Oostindische
Compagnie atau VOC) didirikan oleh para pedagang orang Belanda pada tanggal 20
Maret1602dengan tujuan untuk menghindari terjadinya persaingan antara para
pedagang yang membeli rempah-rempah dari orang-orang pribumi dan untuk
memperoleh keuntungan yang besar di pasar Eropa. Pada masa berdagang di
Indonesia, VOC diberi hak-hak istimewa oleh pemerintah Belanda. Hak istimewa
tersebut adalah hak octrooi, yang meliputi monopoli pelayaran dan perdagangan,
mengumumkan perang, mengadakan perdamaian, dan mencetak uang. Karena hak
istimewa tersebut, VOC semakin menjadi dengan memaksakan aturan-aturan yang
dibawanya dari Belanda kepada penduduk pribumi.23
Sedangkan hukum yang berlaku bagi orang Belanda di pusat – pusat dagang VOC
yang pertama – tama di Indonesia ialah hukum yang dijalankan diatas kapal – kapal
VOC. Hukum kapal tersebut terdiri atas dua bagian yaitu hukum Belanda yang kuno
(oud Nederlands atau oudvaderlands recht) ditambah dengan asas-asas hukum
Romawi. Bagian terbesar hukum yang dipakai di kapal itu berupa “tuchtrecht”
(hukum disiplin). Sejak kedatangannya di Indonesia, maka yang merupakan dasar
tata hukum bagi orang Belanda adalah asas Konkordansi itu.24
Lama kelamaan hukum kapal di tidak lagi dapat menyelesaikan persoalan di
pusat – pusat dagang VOC, maka pada tahun 1609 Staten General di Negeri Belanda
memberi kepada pengurus pusat VOC di Banten kekuasaan untuk membuat sendiri
peraturan. Sebagai akibat penyerahan kekuasaan tersebut, maka di daerah – daerah
yang dikuasai oleh VOC dibuat beberapa peraturan yang bermaksud menyelesaikan

23Ratna Artha Windari, Pengantar Hukum Indonesia,hlm. 16. Bandingkan dengan Aqib Suminto,
Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1996), cet. III, hlm.100.
24 C.S.T Kansil, Sejarah Hukum di Indonesia,hlm. 216.

13
perkara khusus dan menyesuaikan keperluan hukum para pegawai VOC dengan
keadaan di masing – masing daerah yang diduduki VOC tersebut. Peraturan –
peraturan VOC itu diumumkan dalam bentuk plakat yang kemudian dihimpun
menjadi “Statuta Batavia/Statuta Betawi”.25
Bagi beberapa daerah para penguasa VOC mencoba melakukan kodifikasi dari
hukum adat untuk mengadili mereka yang tunduk dengan hukum adat:26
a. Kodifikasi hukum adat Tionghoa Compendium Haksteen, oleh penguasa VOC
(1761) , yang berlaku untuk orang-orang Tionghoa di Betawi dan sekitarnya.
b. Kodifikasi Pepakem Cirebon (1757) oleh penguasa VOC di Cirebon , yang
dimaksud untuk penduduk Bumiputera di Cirebon dan sekitarnya.
c. Kodifikasi kitab Hukum Mogharraer (1750), oleh penguasa Voc di Serang,
berlaku untuk penduduk Bumiputera di Serang dan sekitarnya.
d. Himpunan peraturan-peraturan hukum Islam Compendium Freijer (1760),
dibuat oleh penguasa VOC Freijer, mengenai warisan, nikah dan talak
(perceraian).
e. Kodifikasi hukum Bumiputera Bone dan Goa Compedium Van Clost Wijk (1759),
oleh penguasa VOC di Makassar yang berlaku untuk penduduk Bumiputera di
Makassar dan sekitarnya.

Dalam hubungannya dengan hukum adat dan hukum Islam, periode VOC ini oleh
Ratna Lukito diklasifikasi sebagai “Periode Ketakmengertian”.27Pada tahun-tahun
pertama kehadirannya di Nusantara, Belanda tidak terlalu ambil pusing dengan urusan
keadilan dan hukum masyarakat pribumi. Keterbatasan jangkauan control dan
ketidakmengertian mereka tentang hakikat dan keragaman tradisi hukum pribumi,
mendorong mereka untuk berkeyakinan bahwa penerapan regulasi-regulasi VOC hanya
dapat diharapkan berhasil di kota-kota besar taklukan dan wilayah-wilayah sekutunya.

25Ibid.,hlm.
217.
26Ibid.,hlm.
221-223.
27 Retno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler, hlm. 191.

14
Karena itu, yurisdiksi pengadilan Belanda dan institusi hukumnya hanya menjangkau
kota-kota yang sudah berada di bawah pengawasan langsung VOC.28
Ketidakpedulian VOC terhadap hukum-hukum masyarakat pribumi dengan jelas
tergambar dalam upaya mereka memasukkan tradisi perundang-undangan sipil Eropa.
Meskipun banyak hukum-hukum substantive Islam dan adat yang berlaku di tengah
masyarakat pribumi tidak dimengerti oleh pejabat-pejabat VOC, penjajah mulai
mengkodifikasi hukum-hukum ini setelah mereka berhasil merancang system peradilan
bagi masyarakat pribumi (Landraad). Menurut Retno ketidakmengertian VOC terhadap
hukum-hukum pribumi ini terbukti dari banyaknya kesalahan-kesalahan baik
substantive maupun formil dalam peng-kodifikasian dan hasil-hasil kodifikasi VOC atas
hukum Islam dan hukum adat.29
Di zaman VOC penggunaan hukum Islam kepada warga pribumi tercatat dalam
Statuta Batavia yang menyebutkan “sengketa warisan antara orang pribumi yang
beragama Islam harus di selesaikan dengan menggunakan hukum Islam.” Pada saat
yang sama seorang penulis bernama D.W. Freijer menulis buku tentang hukum
perkawinan dan hukum Islam guna di berlakukan secara resmi oleh pemerintahan
jaman VOC.30 Untuk menjamin pelaksaan hukum Islam, Belanda mengeluarkan
peraturan Resolutie der Indische Regeering pada tanggal 25 Mei 1760 yang kemudian
saat ini dikenal dengan Compendium Freijer.31

2. Masa Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda (1800-1811) dan Raffles (1811-


1814)

Sebelum memasuki masa Besluiten Regering (1845-1855), terjadi dua kali


pergantian kepemimpinan pada masa pemerintahan kolonial Belanda pasca
diambilalihnya kekuasaan VOC (1 Januari 1800) oleh pemerintah Bataafsche Republiek
(selanjutnya menjadi Koninklijk Holand). Raja Belanda yang monarki absolut pada saat

28 Ibid., hlm. 193.


29 Ibid., hlm. 195-196.
30 Idris Ramulyo, Asas-Asas Hukum Islam; Sejarah Timbul dan Berkembangnya Kedudukan Hukum

Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia, (Jakarta : SinarGrafika, 1997) Cet II, hlm. 49.
31 Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, (Jakarta : Penamadani, 2004) hlm.

11.
15
itu menunjuk Daendels sebagai Gubernur Jenderal yang bertugas mengurus daerah
jajahan sekaligus mempertahankan tanah jajahan dari kemungkinan serangan Inggris.
Dibidang pemerintahan, Daendels membagi Pulau Jawa menjadi sembilan Karesidenan
(prefektur). Para Bupati diangkat dan digaji oleh pemerintah Belanda.32

Pada tahun 1811 Daendels digantikan oleh Jansens, namun tidak berlangsung lama
akibat dikuasainya nusantara oleh Inggris. Selanjutnya pemerintah Inggris mengangkat
Thomas Stamford Raffles menjadi Letnan Gubernur (1811-1814). Dalam bidang hukum
Raffles mengutamakan pembaga pengadilan yang terdiri atas:33

1. Division’s Court, berwenang mengadili perkara perdata kecil dengan pembatasan


sampai 20 ropyen. Pelaksana terdiri atas beberapa pegawai pribumi yaitu
Wedana atau Demang dan pegawai bawahannya. Naik Banding dalam perkara
sipil dapat dilakukan melalui District’s Court.
2. District Court atau Bupati’s Court, berwenang mengadili perkara perdata pada
umumnya (antara 20 sampai dengan kurang dari 50 ropyen). Terdiri dari Bupati
sebagai Ketua, Penghulu, Jaksa dan beberapa pegawai Bumiputera dibawah
perintah Bupati.Jika tidak menghasilkan kesepakatan, maka perkara diajukan
kepada Resident’s Court.
3. Resident’s Court, berwenang mengadili perkara pidana dengan ancaman
hukuman mati dan perkara-perkara perdata besar hingga melebihi 50 ropyen.
Terdiri dari Residen, para Bupati, hooft Jaksa dan hooft Penghulu.
4. Court of Circuit, merupakan pengadilan keliling untuk menangani perkara pidana
dengan ancaman hukuman mati. Terdiri dari seorang ketua dan seorang
anggota. Dalam Pengadilan ini menganut sistem juri yang terdiri dari lima
hingga sembilan orang bumiputera.

Era Raffles berakhir pada tahun 1814. Secara garis besar tidak ada perubahan
dalam substansi hukum yang berlaku. Pada tahun 1816 Inggris menyerahkan
Nusantara kepada Belanda sebagai hasil Konvensi London 1814.34

32Ratna Artha Windari, Pengantar Hukum Indonesia,hlm. 17-18.


33Ibid.,hlm. 17-18.
34Ibid.,hlm. 18.

16
3. Masa Besluiten Regerings (1814-1855)

Pada tahun 1811-1814, negeri Belanda (dan negara-negara Eropa


daratan/continental lainnya) mengalami aneksasi oleh Perancis dibawah
kekaisaran Napoleon. Sejak saat itu mulai diterapkan prinsip Rechstaat (Negara
Hukum). Pasca aneksasi Prancis tahun 1814, di Belanda mulai dibuat konstitusi
dengan nama Nederland Gronwet 1814. Pada masa Besluiten Regerings (BR) raja
mempunyai kekuasaan mutlak dan tertinggi atas daerah-daerah jajahan termasuk
kekuasaan mutlak terhadap harta milik negara bagian yang lain. Kekuasaan mutlak
Raja tersebut diterapkan pula dalam membuat dan mengeluarkan peraturan yang
berlaku umum dengan nama Algemene Verordening atau peraturan pusat. Peraturan
pusat berupa keputusan Raja maka dinamakan koninklijk belsuit. Ada dua macam
keputusan raja sesuai dengan kebutuhannya :

1) Ketetapan Raja, yaitu belsuit sebagai tindakan eksekutif raja misalnya ketetapan
penangakatan Gubernur Jenderal.
2) Ketetapan Raja sebagai tindakan legislative, misalnya berbentuk Algemene
Verordening atau Algemene maatregel van bestuur di negeri Belanda.35

Tahun1848 menjadi tahun yang sangat penting dalam sejarah hukum Indonesia.
Karena pada tahun itu hukum privat yang berlaku bagi golongan hukum Eropa di
kodifikasi, dikumpulkan dan dicantumkan dalam beberapa kitab undang-undang
berdasarkan suatu system tertentu. Didalam pembuatan kodifikasi tersebut
dipertahankan pula asas Konkordansi, yang artinya sejak kedatangan orang Belanda
ke Indonesia maka hukum yang berlaku bagi mereka adalah hukum Belanda
sehingga hasil kodifikasi tahun 1848 di Indonesia adalah tiruan hasil kodifikasi yang
telah dilakukan di Negeri Belanda tahun 1938 dengan beberapa pengecualian, agar
dapat menyesuaikan hukum bagi golongan hukum Eropa di Indonesia dengan
keadaan istimewa di sini.36

35Ibid.,hlm. 19-20.
36CST.Kansil, Sejarah Hukum di Indonesia,hlm. 223-224.
17
Pada tahun 1839, oleh Raja Belanda dibentuk sebuah panitia yang bertugas
menyesuaikan Undang-Undang Belanda dengan keadaan istimewa Indonesia
dengan Ketua Panitia adalah Mr. Scholten van Oud Haarlem. Beberapa peraturan
yang berhasil ditangani oleh komisi itu dan disempurnakan oleh Mr.H.L.Whicher
adalah sebagai berikut:37

1. “Algemeene Bepalingen van Wetgeving voor Nederlandsch Indie” (disingkat A.B


Indonesia) (ketentuan-ketentuan umum mengenai perundang-undangan di
Indonesia) setelah diterima maka diundangkan dalam LNHB. 1847 No. 23.
2. “Burgerlijke Wetboek” (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), LNHB 1847 No.
23.
3. “Wetboek van Koophandel voor Indonesie” (Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang), LNHB 1847 No. 23.
4. “Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid de Justitie (disingkatkan
R.O) (Peraturan Susunan Pengadilan dan Kebijaksanaan Justisi) LNHB 1847 No.
23
5. “Enige Bepalingen betreffende de Misdrijven began tergelegenheid van
Faillissement en bij Kennelijk Onvermogen, mitsgaders bij Surseance van Betailing”
(Beberapa ketentuan mengenai kejahatan yang dilakukan dalam keadaan Pailit
(Kepailitan) dan dalam Keadaan Nyata tidak mampu membayar, juga dalam hal
Surseansi Pembayaran), tidak berlaku lagi.

Semua peraturan tersebut diatas, berdasarkan pengumuman Gubernur Jenderal


tanggal 3 Desember 1847 Staatsblad No. 57, mulai berlaku tanggal 1 Mei 1848.
Kemudian atas ketentuan Firman Raja tanggal 10 Februari 1866 diperlukan sebuah
kitab hukum pidana bagi orang Eropa, yang merupakan saduran dari Code Penal
yang saat itu berlaku di negeri Belanda.38

37Ibid.,hlm.
225.
38 R. Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia II, (Jakarta:Pradnya Paramita,1997),
Cet XV, hlm.108.
18
4. Masa Regerings Reglement (1855-1926)

Pada tahun 1848 terjadi perubahan Grond Wet (UUD) di negeri Belanda.
Perubahan UUD negeri Belanda ini mengakibatkan terjadinya pengurangan
terhadap kekuasaan Raja, karena Staten Generaal (Parlemen) campur tangan dalam
pemerintahan dan perundang-undangan jajahan Belanda di Indonesia. Peraturan-
peraturan yang menata daerah jajahan tidak semata-mata ditetapkan oleh Raja
dengan Koninklijk Belsuitnya, tetapi peraturan itu ditetapkan bersama oleh raja dan
parlemen. Dengan demikian sistem pemerintahannya berubah dari monarki
konstitusional menjadi monarki konstitusional parlemen. Peraturan tersebut adalah
Regerings Reglement (RR). Golongan penduduk ada tiga golongan, yaitu Golongan
Eropa, Timur Asing dan Pribumi. Pada masa berlakunya RR telah berhasil
diundangkan kitab hukum, yaitu sebagai berikut:39

1. Kitab Hukum Pidana untuk golongan Eropa melalui Staatsblad 1866:55;


2. Algemene Politie Strafeglement sebagai tambahan kitab hukum pidana untuk
golongan Eropa;
3. Kitab Hukum Pidana bagi orang buka Eropa melalui S.1872:85;
4. Politie Strafelegement bagi orang bukan Eropa;
5. Wetboek van Strafrecht, yang berlaku bagi semua golongan penduduk melalui
S.1915:732 mulai berlaku 1 Januari 1918.

5. Masa Indische Straatsregeling (1926-1942)

Indische Straatsregeling (IS) adalah RR yang sudah diperbaharui dan berlaku


tanggal 1 Januari 1926 melalui S.1925:415. Pembaruan RR atau perubahan RR
menjadi IS ini karena berubahnya pemerintahan Hindia Belanda yang berawal dari
perubahan Grond Wet negeri Belanda pada 1922. Pada masa berlakunya IS ini,
bangsa Indonesia sudah turut membentuk undang-undang dan turut menentukan
nasib bangsanya karena mereka turut dalam volksraad.40

39Ratna Artha Windari, PengantarHukum Indonesia,hlm. 21-22.


40 Ibid.
19
Pasal 131 IS menunjukkan hukum mana yang berlaku, apabila orang-orang yang
termasuk sesama golongan rakyat mengadakan perhubungan-perhubungan hukum
dengan seorang lainnya. Akan tetapi pasal itu sama sekali tidak memuat aturan
untuk hal orang-orang yang termasuk golongan rakyat lainnya.41

Pada Pasal 131 IS dapat diketahui bahwa pemerintah Hindia Belanda membuka
kemungkinan adanya unifikasi hukum bagi ketiga golongan penduduk Hindia
Belanda yang waktu itu ditetapkan dalam Pasal 163 IS. Sistem hukum yang berlaku
bagi masing-masing golongan adalah sebagai berikut :

1. Hukum yang berlaku bagi golongan Eropa adalah Hukum Perdata (Burgelijk
Wetboek dan Wetboek van Koophandel), Hukum Pidana Material (Wetboek van
Strafrecht) dan Hukum Acara (Reglement op de Burgelijk Rechtsvodering dan
Reglement op de Strafvodering).
2. Hukum yang berlaku bagi golongan pribumi adalah hukum adat dalam bentuk
tidak tertulis. Namun jika pemerintah Hindia Belanda menghendaki lain, hukum
dapat diganti dengan ordonansi yang dikeluarkan olehnya.
3. Hukum yang berlaku bagi golongan Timur Asing, hukum perdata dan pidana
adat mereka, hukum perdata golongan Eropa hanya bagi golongan Timur Asing
Cina untuk wilayah Hindia Belanda, WvS yang berlaku sejak 1 Januari 1918
untuk hukum pidana material.42

Berkenaan dengan hukum adat dan hukum Islam, maka pada peroiode
penjajahan Belanda pasca VOC, digambarkan oleh Retno Lukito sebagai “Periode
Pencampurtanganan”.43 Campurtangan ke dalam hukum pribumi selalu menjadi alat
kepentingan Belanda dalam melancarkan misi kolonisasinya. Hal ini sangat terbaca
dalam Pasal 75 Regerings Reglement (RR, konstitusi kolonial Belanda) tahun 1854,
yang tujuan utamanya adalah menegaskan kembali regulasi yang telah dinyatakan
dalam legislasi tahun 1848. RR memperkuat beberapa poin berikut: pertama,

41 R. Soepomo, SistemHukum di Indonesia SebelumPerangDunia II,hlm. 106.


42Ratna Artha Windari, Pengantar Hukum Indonesia,hlm. 22-23.
43 Ratna Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler, hlm. 197.

20
prinsip dualism hukum khususnya terkait hukum Belanda yang efektif berlaku bagi
para pendatang berkebangsaan Eropa; kedua, Gubernur Jendral diberik wewenang
istimewa untuk menerapkan hukum Belanda bagi orang-orang non-Eropa yang
berdiam di Hindia Belanda berdasarkan pertimbangan sendiri; ketiga, kecuali dalam
kasus dimana orang-orang non-Eropa telah menyatakan diri patuh pada hukum
Belanda, mereka ini diharapkan mau menaati hukum agama atau hukum adat
asalkan tidak bertentangan dengan asas-asas keadilan dan kelayakan; dan keempat,
dalam mengadili penduduk pribumi, hakim mesti selalu merujuk prinsip-prinsip
hukum eropa ketika solusi kasus yang diperkirakan tidak ditemukan dalam hukum
agama atau adat.44 Dengan demikian pemerintah colonial Belanda menjadikan
hukum Islam dan hukum adat subordinat dihadapan hukum Belanda/eropa.

C. ZamanPenjajahan Jepang

PadamasapenjajahanJepangperaturan-peraturan yang
digunakanuntukmengaturpemerintahan di
wilayahHindiaBelandadibuatdengandasarGun Seireimelalui Osamu Seirei.Dari
ketentuanPasal 3 Osamu Seirei No. 1/1942 dapatdiketahuibahwahukum yang
mengaturpemerintahandan lain-lain
tetapmenggunakanIndischeStaaregeling(IS).HanyasajapemerintahanJepangmelakuk
anperubahanatasbeberapalembagaperadilansehinggalembagaperadilan yang
adadiberlakukanbagisemuagolongan.Berdasarkanhaltersebut,
makalembagaperadilanmeliputi:45

1) HooggerrechtshofsebagaipengadilantertinggidengannamaSaikoHoin;
2) Raad van Justitie, berubahmenjadiKoto Hoy Hoin;
3) Landraad,berubahnamamenjadiTihoHoin(PengadilanNegeri);
4) Landgerecht,berubahmenjadiKeizaiHoin (Hakim Kepolisian);
5) Regentschapsgerecht, berubahmenjadiKen Hoin (PengadilanKabupaten);

44Ibid., hlm. 204.


45Ibid.,hlm. 24. Lihat juga Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional;
Dinamika Sosial-Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada), Cei. I,
hlm. 183-184.
21
6) Districtsgerecht, berubahmenjadiGun Hoi (PengadilanKewedanaan).

Kemudian, pemerintahJepangmengeluarkan Gun SeireiNomor Istimewa 1942


dan Osamu SeireiNomor 25 tahun 1944 yang memuataturan-aturanpidana yang
umumdanpidana yang khusus. Dengan Gun Seirei No. 34 tahun 1942, Osamu Rei No.
3 tahun 1942 dinyatakanbahwaGunseiHooinditambahdenganSaikoHooin
(PengadilanAgung) danKootooHooin (PengadilanTinggi). Semuaaturanhukumdan
proses pengadilannyaselamazamanpenjajahanJepangberlakusampai Indonesia
merdeka.46

D. Periode Kemerdekaan sampai sekarang


Keadaan hukum di Indonesia pada waktu bangsa Indonesia memproklamirkan
kemerdekaan pada dasarnya masih sama dengan keadaaan pada waktu balatentara
jepang mendarat di pulua Jawa. Hanya ada jasa dari Pemerintah pendudukan Jepang
yang menghapuskan badan-badan peradilan untuk bangsa Eropa yaitu Raad van
Justhie dan Hooggerechtshof. Untuk mencegah suatu kekosongan hukum, oleh UUD
tahun 1945 dinyatakan pada pasal II aturan peralihan “segala badan Negara dan
peraturan yang ada masih berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD
ini”.
Dengan demikian maka keadaan hukum pada waktu proklamasi itu dapat
digambarkan secara singkat sebagai berikut :
1. Dalam bidang kedinasan ada satu kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu
Wetboek van Strafrecht dari tahun 1918, yang sudah berlaku untuk seluruh
penduduk Indonesia. Namun karena beberapa daerah di luar Jawa masih saja
mempunyai peradilan asli, Wetboek van Strafrecht tadi tidak berlaku.
2. Dalam bidang keperdataan masih saja demikian bahwa resmi berlaku beraneka
warna kelompok hukum, sebagai peninggalan politik hukum pemerintah
kolonial Belanda. Adapun berbagai kelompok hukum tersebut adalah :
a) Hukum yang berlaku bagi semua penduduk, misalnya UU Hak Pengarang dll.;
b) Hukum Adat yang berlaku untuk semua orang Indonesia asli;

46Ibid.,hlm. 24-25.
22
c) Hukum Islam, untuk semua orang Indonesia asli yang beragama Islam,
mengenai beberapa bidang kehidupan;
d) Hukum yang khusus telah diciptakan untuk orang Indonesia asli, seperti UU
tentang perkawinan orang Indonesia Kristen dsb.;
e) “Burgerlijke Wetboek” dan “Wetboek van Koophandel voor Indonesie”, yang
diperuntukkan mula-mula bagi orang Eropa, kemudian dinyatakan berlaku
untuk orang Tionghoa, sedangkan beberapa bagian (terutama dari W.V.K)
juga telah dinyatakan berlaku untuk orang Indonesia asli, misalnya hukum
perkapalan (hukum laut).47

1) Periode Demokrasi Liberal


UUDS 1950 telah mengakui hak asasi manusia. Namun pada masa ini
pembaharuan hukum dan tata peradilan tidak banyak terjadi, yang ada adalah
dilema untuk mempertahankan hukum dan peradilan adat atau mengkodifikasi
dan mengunifikasinya menjadi hukum nasional yang peka terhadap perkembangan
ekonomi dan tata hubungan internasional. Kemudian yang berjalan hanyalah
unifikasi peradilan dengan menghapuskan seluruh badan-badan dan mekanisme
pengadilan atau penyelesaian sengketa di luar pengadilan negara, yang ditetapkan
melalui UU No. 9 Tahun 1950 tentang Mahkamah Agung dan UU Darurat No. 1
Tahun 1951 tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan.
2) Periode Demokrasi Terpimpin Sampai Orde Baru
Undang-undang Dasar yang menjadi pelaksanaan pemerintahan negara belum
berhasil dibuat sedangkan Undang-undang Dasar Sementara (UUDS 1950) dengan
sistem pemerintahan demokrasi liberal dianggap tidak sesuai dengan kondisi
kehidupan masyarakat Indonesia. Kegagalan konstituante dalam menetapkan
undang-undang dasar sehingga membawa Indonesia ke jurang kehancuran sebab
Indonesia tidak mempunyai pijakan hukum yang mantap. Situasi politik yang
kacau dan semakin buruk, dan Terjadinya sejumlah pemberontakan di dalam
negeri yang semakin bertambah gawat bahkan menjurus menuju gerakan

47C.S.T Kansil, Sejarah Hukum Indonesia,hlm.267-268.


23
sparatisme. Konflik antar partai politik yang mengganggu stabilitas nasional,
Banyaknya partai dalam parlemen yang saling berbeda pendapat sementara sulit
sekali untuk mempertemukannya. Masing-masing partai politik selalu berusaha
untuk menghalalkan segala cara agar tujuan partainya tercapai.Demi
menyelamatkan negara maka presiden melakukan tindakan mengeluarkan
keputusan Presiden RI No. 75/1959 sebuah dekrit yang selanjutnya dikenal
dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.48
Langkah-langkah pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang dianggap sangat
berpengaruh dalam dinamika hukum dan peradilan adalah:
1. Menghapuskan doktrin pemisahan kekuasaan dan mendudukan MA dan badan-
badan pengadilan di bawah lembaga eksekutif;
2. Mengganti lambang hukum dewi keadilan menjadi pohon beringin yang berarti
pengayoman;
3. Memberikan peluang kepada eksekutif untuk melakukan campur tangan secara
langsung atas proses peradilan berdasarkan UU No.19 Tahun 1964 dan UU
No.13 Tahun 1965;
4. Menyatakan bahwa hukum perdata pada masa kolonial tidak berlaku kecuali
sebagai rujukan, sehingga hakim mesti mengembangkan putusan-putusan yang
lebih situasional dan kontekstual.

Berkaitan dengan hukum Islam, pada masa Demokrasi Terpimpin dan lebih jauh
pada masa awal kemerdekaan, para pemimpin Islam dalam berbagai kesempatan
terbuka misalnya sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) saat melakukan persidangan untuk pesiapan kemerdekaan
pada masa penjajahan Jepang berusaha untuk mendudukkan Hukum Islam dalam
Negara Republik Indonesia. Sampai akhirnya lahir lah Piagam Jakarta pada tanggal

48Mengenai perubahan-perubahan kabinet Pemerintah sebagai juga dampak dari perundingan-


perundingan dengan Belanda yang UUD RIS dan UUDS dapat dilihat juga pada Muhammad Yamin, Proklamasi
dan Kostitusi Republik Indonesia, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1958), Cet. V, hlm. 45.
24
22 Juni 1945. Yang berisikan tentang kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluknya-pemeluknya. 49

Dalam rangka pembicaraan kedudukan hukum Islam dalam system Hukum di


Indonesia, pada tahun 1950 dalam konferensi Kementrian Kehakiman di Salatiga,
Profesor Hazairin mengemukakan pendapatnya bahwa berlakunya hukum Islam
untuk ornag Islam Indonesia tidak disandarkan pada hukum adat tetapi adanya
penunjukan peraturan perundang-undangan sendiri. Dengan menunjuk ketetapan
MPRS 1960/II yang mengatakan bahwa dalam penyempurnaan undnag-undang
perkawinan dan waris supaya diperhatikan adanya factor-faktor agama dan lain-
lain.50

3) Periode Orde Baru


Perkembangan dan dinamika hukum dan tata peradilan di bawah Orde Baru
justru diawali oleh penyingkiran hukum dalam proses politik dan pemerintahan. Di
bidang perundang-undangan, rezim Orde Baru membekukan pelaksanaan UU
Pokok Agraria, dan pada saat yang sama membentuk beberapa undang-undang
yang memudahkan modal asing berinvestasi di Indonesia, di antaranya adalah UU
Penanaman Modal Asing, UU Kehutanan, dan UU Pertambangan. Selain itu, orde
baru juga melakukan:
1. Penundukan lembaga-lembaga hukum di bawah eksekutif;
2. Pengendalian sistem pendidikan dan penghancuran pemikiran kritis, termasuk
dalam pemikiran hukum; Singkatnya, pada masa orde baru tak ada
perkembangan yang baik dalam hukum Nasional.

Pada masa Orde Baru, tolak-tarik hukum Islam ke dalam hukum Positif
mengalami pasang surut, bergantung pada kepentingan politik kekuasaan saat itu.
Pada masa awal kemunculannya, Orde Baru seperti memberikan angin segar pada
perubahan hukum, begitu juga dengan harapan kalangan Islam, terlebih dengan

49 Mohammad daud Ali, Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia,(Jakarta : Rajawali Pers, 2009) hlm. 259
50Ibid., hlm. 261-262

25
lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
bernafaskan Islam. Namun, setelah kekuasaan dirasa sudah stabil, pemerintah Orba
mulai menunjukkan otoritarianismenya sehingga berdampak pula pada hukum
Islam. Praktis tidak ada perubahan signifikan pasca diberlakukannya Undang-
undang Perkawinan, sampai pada tahun 1989 Pemerintah Orba menerbitkan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Hal itu pun dapat
diduga terjadi setelah hubungan pemerintah Orba dan Islam memanas pasca
peristiwa pembantaian umat Islam di Talangsari Lampung tahun 1984.
Kuatnya pengaruh intervensi presiden pada pemebentukan hukum, dalam hal
ini hukum Islam di Indonesia pada masa Orde Lama dan Orde Baru, menurut Arskal
Salim dan Azyumardi Azra, karena UUD 1945 memberikan kekuasaan yang besar
sekali pada eksekutif. Sehingga “Almost all the implemented sharia in Indonesia could
get a status national positive law after the President’s intervention into the
legislature”.51

4) EraReformasi(1998 – Sekarang)
Sejak pucuk eksekutif di pegang Presiden Habibie hingga sekarang, sudah
terjadi empat kali amandemen UUD RI. Di arah perundang-undangan dan
kelembagaan negara, beberapa pembaruan formal yang mengemuka adalah:
1. Pembaruan sistem politik dan ketetanegaraan;
2. Pembaruan sistem hukum dan hak asasi manusia;
3. Pembaruan sistem ekonomi.

Penyakit lama orde baru, yaitu KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) masih
kokoh mengakar pada masa pasca orde baru, bahkan kian luas jangkauannya.
Selain itu, kemampuan perangkat hukum pun dinilai belum memadai untuk dapat
menjerat para pelaku semacam itu. Aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa,
dan hakim (kini ditambah advokat) dilihat masih belum mampu mengartikulasikan

51 Arskal Salim dan Azyumardi Azra, The State and Sharia in the Perspective of Indonesian Legal
Politics, Pendahuluan, dalam Arskal Salim dan Azyumardi Azra, Ed., Shari’a and Politics in Modern Indonesia,
(Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2003), hlm. 6.
26
tuntutan pembaruan hukum, hal ini dapat dilihat dari ketidakmampuan Kejaksaan
Agung meneruskan proses peradilan mantan Presiden Soeharto, peradilan
pelanggaran HAM, serta peradilan para konglomerat hitam. Sisi baiknya,
pemberdayaan rakyat untuk menuntut hak-haknya dan mengembangkan sumber
daya hukumnya secara mandiri, semakin gencar dan luas dilaksanakan. Walaupun
begitu, pembaruan hukum tetap terasa lambat dan masih tak tentu arahnya.
Adapun hukum Indonesia adalah hukum atau peraturan perundang-undangan
yang didasarkan kepada landasan ideologi dan konstitusional negara, yaitu
Pancasila dan Undang-Undang. Sehubungan dengan itu, hukum Indonesia
sebenarnya tidak lain adalah sistem hukum yang bersumber dari nilai-nilai budaya
bangsa yang sudah lama ada dan berkembang. Dengan kata lain, hukum Indonesia
merupakan sistem hukum yang timbul sebagai buah usaha budaya rakyat
Indonesia yang berjangkauan Nasional, yaitu sistem hukum yang meliputi seluruh
rakyat sejauh batas-batas nasional negara Indonesia.
Perlu dijelaskan disini bahwa pengertian seperti itu tidak bisa dilepaskan dari
konteks sejarah. Sebagaimana diketahui, setelah merdeka bangsa Indonesia belum
memiliki hukum yang bersumber dari tradisinya sendiri tetapi masih
memanfaatkan peraturan perundang-undangan peninggalan pemerintah kolonial
Belanda. Kendati memang, atas dasar pertimbangan politik dan nasionalisme
peraturan perundang-undangan itu mengalami proses nasionalisasi, seperti
penggantian nama : Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan
nasionalisasi dari Wetboek Van Straafrechts, dll. Selain penggantian nama,
beberapa pasal tidak lagi sesuai dengan kebutuhan sebuah negara yang merdeka,
berdaulat dan relegius turut pula diganti dan ditambahkan yang baru.
Pendekatan seperti diatas dalam jangka pendek sangat bermanfaat karena
dapat menghindarkan terjadinya kekosongan hukum (Rechtsvacuum). Namun,
dalam jangka panjang upaya “Tambal Sulam” atau Transplantasi itu sebenarnya
kurang efektif dan cenderung kontra produktif bila terus menerus diberlakukan.
Ini didasarkan fakta bahwa upaya “Tambal Sulam” atau transplantasi pada
hakikatnya tidak mengubah watak dasar dari hukum warisan kolonial yang
cenderung represif, feodal, diskriminatif dan individualistik, sebagai salah satu
27
upaya pihak penjajah untuk menekan kaum inlender. Karakteristik hukum yang
seperti itu jelas bertentangan dengan ciri khas masyarakat Indonesia yang
menjunjung tinggi kolektivisme.
Berkaitan dengan hokum Islam dan penerapannya, maka dengan konfigurasi
politik yang terbuka dan demokratis, hokum Islam telah sedemikian rupa
berkembang pasca reformasi. Bahkan beberapa daerah tertentu menerbitkan dan
menerapkan peraturan-peraturan daerah (Perda) berbasis syariah, seperti
Provinsi Aceh dengan Qanunnya.
Pada tingkat undang-undang, setelah era reformasi, lahir pula beberapa
undang-undang yang mengatur secara khusus pelaksanaan hokum Islam dalam
arti fiqih atau syariat seperti Undang-undang Zakat, undang-undang Haji, undang-
undang produk halal, serta fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam masalah-masalah
tertentu.52

E. Perubahan Sistem Hukum Indonesia


Setelah mengalami penjajahan oleh negara Belanda, dimana Indonesia saat itu
masih ikut menggunakan sistem hukum yang berasal dari negara Belanda tersebut
yakni sistem hukum Eropa kontinental. Namun, seiring berjalannya waktu dan
berkembangnya kehidupan masyarakat Indonesia, setelah itu terjadi perubahan
dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Awal sistem hukum yang
diterapkan di Indonesia hanya sistem hukum Eropa Kontinental saja, setelah itu
sistem hukum yang berlaku di Indonesia mengalami perpaduan antara sistem Eropa
Kontinental dan sistem hukum Anglo Saxon.
Sistem Hukum Eropa Kontinental lebih mengedapankan hukum tertulis,
peraturan perundang-undangan menduduki tempat penting. Peraturan perundang-
undangan yang baik, selain menjamin adanya kepastian hukum, yang merupakan
syarat mutlak bagi terwujudnya ketertiban, juga dapat diharapkan dapat
mengakomodasi nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan. Lembaga peradilan harus

52 Mengenai fatwa MUI dalam hubungannya dengan politik dan hukum di Indonesia, dapat pula
dilihat Nadirsyah Hosen, Fatwa and Politics in Indonesia, dalam Arskal Salim dan Azyumardi Azra, Ed., Shari’a
and Politics in Modern Indonesia, (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2003), hlm. 168-180.
28
mengacu pada undang-undang. Sifat undang-undang tertulis yang statis diharapkan
dapat lebih fleksibel dengan sistem bertingkat dari norma dasar sampai norma yang
bersifat teknis, serta dengan menyediakan adanya mekanisme perubahan undang-
undang.
Sistem Hukum Anglo Saxon cenderung lebih mengutamakan hukum
kebiasaan, hukum yang berjalan dinamis sejalan dengan dinamika masyarakat.
Pembentukan hukum melalui lembaga peradilan dengan sistem jurisprudensi
dianggap lebih baik agar hukum selalu sejalan dengan rasa keadilan dan
kemanfaatan yang dirasakan oleh masyarakat secara nyata.
Sistem hukum di Indonesia dewasa ini adalah sistem hukum yang unik, sistem
hukum yang dibangun dari proses penemuan, pengembangan, adaptasi, bahkan
kompromi dari beberapa sistem yang telah ada. Sistem hukum Indonesia tidak
hanya mengedepankan ciri-ciri lokal, tetapi juga mengakomodasi prinsip-prinsip
umum yang dianut oleh masyarakat internasional.
Apapun sistem hukum yang dianut, pada dasarnya tidak ada negara yang
hanya didasarkan pada hukum tertulis atau hukum kebiasaan saja. Tidak ada negara
yang sistem hukumnya menafikan pentingnya undang-undang dan pentingnya
pengadilan.

29
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkanpembahasandiatas, dapatdisimpulkan:
1. Sejarahhukum Indonesia tidak terlepas dari sejarahhukumduniapadaumumnya,
terutamasejarahhukumRomawi.
2. Bahwapadajamankerajaan-kerajaan Nusantara,
atausebelummasapenjajahanBelanda, telahberlakuhukum-hukum yang
tercermindalamkitab-kitabhukum, putusan-putusan raja danadat-
istiadat/budayamasyarakat. Padamasakerajaan-kerajaan Nusantara,
tidakadapemisahan yang tegasantarahukum, moral dan agama;
3. SebagaidampakdaripenjajahanBelanda, hukum Indonesia jugamengadopsi
sistem hukum Belanda (civil law), namunpadasaat yang bersamaanIndonesia
jugamengakuikeberlakuanhukumadat (tidaktertulis).
4. Evolusihukum Indonesia, utamanyakitab-kitabhukumwarisanpenjajahan
Belanda,
sudahsaatnyasegeradilakukanperubahansecaramendasarkarenasudahtidaksesu
aidengancita-cita hukum(rechtidee) Indonesia sebagaimanadiamanatkan UUD
1945;

B. Saran
Berdasarkan pembahasandankesimpulandiatas, kami menyarankan:
1. KepadaPemerintah (Presidendan DPR) agar segeramenerbitkan Undang-
Undangbarusebagaipenggantikitab-kitabundang-undangwarisan Kolonial seperti
KUHP, KUHD danKUHPerdata yang berasal dari Belanda dimana di Belanda sendiri
telah mengalami beberapa kali perubahan demi menjawab perkembangan hukum di
Indonesia;
2. Kepadaaparat-aparatpenegakhukum, baik di lembagakekuasaankehakiman
(MahkamahKonstitusidanMahkamahAgungdanlembagaperadilandibawahnya),
maupun di lembaga-lembaga yang termasukdalam sistem peradilan (Kepolisian,
Kejaksaan, dll.,) agar lebih memperhatikansejarah hukum Indonesia dimana disana
30
ada hukumadatdankearifanlokal(local wisdom)sehingga didalammenanganiperkara-
perkara yang membenturkanantarahukumadatdenganhukumwarisankolonial dapat
lebih didahulukan pendekatan secara sosial didalam penyelesaiannya sehingga
dapat terbentuk suatu sistem hukum baru yaitu Restorative Justice.

31
DAFTAR PUSTAKA
Agil Husin Al-Munawar, Said. Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta : Penamadani,
2004.
ArthaWindari, Ratna. PengantarHukum Indonesia,Depok:Rajawali Pers, 2017, Cet.I.
Daud Ali,Mohammad. Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, Jakarta : Rajawali Pers, 2009.
Fuady, Munir.SejarahHukum, Bogor: Ghalia Indonesia, 2013, Cet.II.
Gilissen, John dan Frits Gorle.SejarahHukum; SuatuPengantar, Terjemahan, Bandung: PT.
RefikaAditama, 2011, Cet. V.
H.M. Vlekke, Bernard. Nusantara; Sejarah Indonesia, Terjemahan, Jakarta: KPG, 2008.
Huijbers,Theo.FilsafatHukumDalamLintasanSejarah, Yogyakarta: YayasanKanisius, 1982.
Kansil, C.S.T. SejarahHukum Indonesia, Jakarta:SuaraHarapanBangsa,2014, Cet.I.
Lukito, Retno.Hukum Sakral dan Hukum Sekuler; Studi Tentang Konflik dan Resolusi Dalam
Sistem Hukum Indonesia, Terjemahan, Tangerang: Pustaka Alfabet, 2008, Cet. I.
Mertokusumo, Sudikno.TeoriHukum, Yogyakarta: CahayaAtmaPustaka, 2012.
Rasjidi, Lili.Dasar-dasarFilsafatHukum, Bandung: PT. Citra AdityaBakti: 1990, Cet.V.
Ramulyo, Idris.Asas-Asas Hukum Islam; Sejarah Timbul dan Berkembangnya Kedudukan
Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia, Jakarta : SinarGrafika, 1997 Cet II.
Salim, Arskal dan Azyumardi Azra, Ed., Shari’a and Politics in Modern Indonesia, Singapore:
Institute of Southeast Asian Studies, 2003.
Soepomo, R.SistemHukum di Indonesia SebelumPerangDunia II,Jakarta:Pradnya
Paramita,1997, Cet XV.
Sukardja, Ahmad. Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945; Kajian Perbandingan
tentang Dasar Hidup Bersama Dalam Masyarakat yang Majemuk, Jakarta: UI-PRESS,
1995, Cet. I.
Suminto, Aqib. Politik Islam HindiaBelanda, Jakarta: LP3ES, 1996, cet. III.
Usman, Rachmadi.Perkembangan Hukum Perdata Dalam Dimensi Sejarah dan Politik Hukum
di Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2013.
Van Vollenhoven, C.PenemuanHukumAdat, terjemahan, Jakarta: Djambatan, 1987, cet.II.
Wignjosoebroto, Soetandyo.Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional; Dinamika Sosial-
Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
Cei. I.
Yamin, Muhammad.ProklamasidanKostitusiRepublik Indonesia,Jakarta: PenerbitDjambatan,
1958, Cet. V.

32

Anda mungkin juga menyukai