Anda di halaman 1dari 5

LAPORAN EVALUASI PENGGUNAAN ANTIMIKROBA

DI RUMAH SAKIT PERMATA MEDICAL CENTER INDRAMAYU

A. LATAR BELAKANG
Pemerintah Indonesia berupaya untuk mewujudkan
suatu kondisi masyarakat Indonesia yang sehat baik secara
fisik maupun mental yang mampu menciptakan suatu sistem
pelayanan kesehatan yang bermutu dan berkualitas sehingga
dapat diandalkan pada saat dibutuhkan tanpa adanya
hambatan dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat di
semua kalangan. Upaya kesehatan bertujuan untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan, juga mewujudkan
derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat, yang
dilakukan dengan pendekatan, pemeliharaan, peningkatan
kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit dan
pemulihan kesehatan yang dilaksanakan secara menyeluruh,
terpadu dan berkesinambungan. Kesatuan konsep upaya
kesehatan ini, menjadi pedoman bagi sarana-sarana
kesehatan termasuk rumah sakit, tersedianya sarana
kesehatan berfungsi selain melakukan upaya kesehatan
dasar juga upaya kesehatan rujukan atau upaya kesehatan
penunjang.

B. MAKSUD DAN TUJUAN


1. Maksud
Dapat meningkatkan pemahaman dan pengawasan
terhadap penggunaan antimikroba secara rasional
sehingga dapat mengurangi resiko resistensi terhadap
antibiotika di masa yang akan datang.
2. Tujuan
a) Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman
tentang penggunan antibiotika secara rasional
b) Menigkatkan kepatuhan terhadap penggunaan
antimikroba secara rasional
c) Penggunaan antimikroba yang tepat sesuai
indikasi yang dpat dikendalikan sehingga
terhindar dari resistensi antibiotik (MDRO).

C. PENGERTIAN
Rasionalitas obat adalah penggunaan obat sesuai
indikasi pada pasien dengan dosis dan durasi pemberian yang
sesuai dengan kondisi pasien secara individual serta harga
yang serendah mungkin. Penggunaan obat yang rasional
dapat meningkatkan kualitas pengobatan dan efektivitas
biaya terapi, serta menjamin bahwa obat hanya di gunakan
sesuai keperluan. Pasien yang terlibat dalam penggunaan nya
benar-benar memahamo untuk apa dan bagaimana obat
tersebut dugunakan. Penggunaan obat yang rasional
mensyaratkan bahwa pasien menerima obat-obatan yang
sesuai kebutuhan klinik mereka dalam dosis sesuai
kebutuhan individu masing-masing untuk suatu periode
waktu yang memadai dan pada harga terendah untuk mereka
dan komunitasnya (siregar 2003).
Salah satu keputusan dibuat untuk menggunakan
terapi obat, maka suatu produk obat tertentu harus diseleksi
dari ratusan produk obat yang tersedia. Proses ini melibatkan
keputusan tentang kategori terapi, zat aktif, dan manufaktur
yang tepat. Apoteker harus memainkan peran penting dalam
menyeleksi produk obat. Apabila apoteker melakukan
substitusi, maka ia harus memberikan pasien suatu produk
obat yang zat aktifnya secara kimia dan terapi dianggap
setara zat aktif produk obat yang ditulis oleh dokter. Apoteker
dapat secara otomatis menyeleksi obat untuk pasien tertentu
berdasarkan kriteria seleksi yang diterapkan terlebih dahlu
oleh staf medis melalui Panitia Farmasi dan Terapi (PFT).
Apoteker berada dalam posisi yang strategis untuk
mempengaruhi keputusan dokter penulis resep dan pasien
dalam seleksi obat. Apoteker memainkan peran aktif pada
tahap ini untuk nproses penggunaan obat. Tujuan dari setiap
sistem manajemen obat adalah mengantarkan obat yang
benar kepada pasien yang membutuhkannya. Tahap seleksi,
pengadaan, dan distribusi merupakan perintis yang perlu
untuk penggunaan obat yang rasional (siregar 2006).
Bentuk-bentuk ketidak rasionalan dalam praktik
banyak dijumpai dan jarang terlintas dipikiran kita jika tidak
ditelaah secara dalam apakah suatu pola peresepan tertentu
sudah optimal atau belum. Beberapa contoh yang sering
dijumpai antara lain pemakaian antibiotik dan bukannya
oralit pada kasus-kasus diare akut, Pemakaian antibiotika
untuk infeksi-infeksi saluran nafas akut nonbakterial (ispa
ringan), pemakaian suntikan tanpa indikasi jelas meskipun
pemakaian obat secara oral juga di mungkinkan, Pemberian
obat secra berondongan (shotgun) denagan berbagai macam
obat tanpa dasar jelas, pemakaian steroid secara
sembarangan untuk terapi simtomatik berbagai kondisi,
pemakaian profilaksis antibiotik untuk semuan tin dakan
bedah tanpa indikasi jelas. Masih banyak lagi contoh-contoh
ketidak rasionalan pemakain obat yang sering dilihat dalan
praktik, tetapi kesemuaan nya sesuai denagn ciri-ciri
diatas(Anonim 2010).
Penelitian yang dilakukan Koley (2001) menyimpiulkan
bahwa dalam penggunaan efektif antibiotika diperlukan
adanya kerja tim antara farmasi, pengawas infeksi, staf
perawat, dokter, dan konsultan penyakit infeksi. Kerja tim ini
dapat meminimalkan resistensi antibiotika yang akan terjadi
di masa datang. Pengamatan awal menggambarkan bahwa
rumah sakit di indramayu belum di lengkapi dengan
laboratorium mikrobiologi sehingga penggunaan antibiotika
kemungkinan belum rasional, Penggunaan antibiotik di
Rumah Sakit Umum Permata Medical Center belum dapat
dikendalikan, penggunaan antimikroba masih didasarkan
pada analisis dokter penanggung jawab yang bersangkutan.

D. HASIL KEGIATAN
Dalam melakukan pengawasan penggunaan
antimikroba di RSU Permata Medical Center kami
melakuakan survailans secara konsisten pada setiap pasien
yang mendapatkan terapi antimikroba yang kami catat dalam
data survailan yang masuk kedalam data rekam medis
pasien. RSU Permata Medical Center belum memiliki PPRA
sehingga pada penggunaan antimikroba di tempat kami
masih di dasarkan pada analisis dokter penanggung jawab
(DPJP) yang bersangkutan, Antimikroba yang digunakan di
Rumah Sakit kami adalah golongan Sefalosforin generasi III,
IV, golongan quinolon dan golongan penisilin, golongan
lainnya.

E. RENCANA TINDAK LANJUT


Dari analisa hal tersebut perlu kiranya Rumah Sakit
segera membentuk tim PPRA untuk dapat mengawasi
penggunaan antimikroba secara rasional. Rumah sakit perlu
membuat formularium yang di tetapkan oleh Direktur.

F. PENUTUP
Penggunaan antimikroba di RSU permata Medical
Center Indramayu belum rasional dan belum dapat
dikendalikan secara baik, penggunaan antimikroba pada
pasien di berikan tanpa indikasi, sehingga penggunaan
antimikroba yang tidak efektif menjadi lebih besar, yang
selalu di dasarkan pada analisis dokter yang bersangkutan.
Hal ini dikarenakan belum adanya sarana laboratorium
mikrobiologi yang dapat menunjang efektifitas teamwork,
belum adanya pedoman penggunaan antimikroba (guideline
terapi antibiotik) di Rumah Sakit. Besar harapan kami
penggunaan antimikroba dapat dikendalikan dengan salah
satunya membentuk tim khusus untuk pengawasan dan
pengendalian antimikroba ( PPRA). Rumah sakit perlu
membuat formularium yang di tetapkan oleh Direktur.

Indramayu, 30 Maret 2019

IPCN Direktur

( Rossy Silvianita, Amd.Kep ) ( dr. H. Mas’ud Hanafiah )

Anda mungkin juga menyukai