Anda di halaman 1dari 23

BAB I

IDENTITAS PASIEN

 Identitas Pasien
Nama : Tn. RU
Umur : 25 th
Alamat : Popayato
Agama : Islam
Status : Menikah
Pekerjaan :Supir
Masuk : 05/03/2019 21.00 WITA

 Anamnesa
Keluhan Utama : Nyeri perut kanan bawah
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang rujukan dari PKM Popayato dengan diagnosa susp. Appendisitis akut.
Pasien mengeluh nyeri perut kanan bawah sejak kemarin malam, nyeri dirasakan terus
menerus dan dirasa seperti ditusuk-tusuk. Awalnya pasien mengeluh nyeri di perut tengah
namun beberapa jam kemudian nyeri berpindah ke kanan bawah. Nyeri tembus ke belakang
(-) nyeri menjalar(-). Mual(+) , muntah lebih dari 5x isi air liur bercampur makanan. Nafsu
makan berkurang dan perut dirasa penuh. BAB (+) kemarin, flatus (+), BAK tidak ada
keluhan. Demam dirasakan sejak kemarin malam dan tidak terlalu tinggi

Riwayat Pengobatan
Pasien tidak pernah berobat ke manapun terkait dengan keluhannya saat ini

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya.
Riwayat penyakit paru, ginjal, kencing manis, darah tinggi disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga yang sakit seperti pasien

PEMERIKSAAN FISIK
 Status Generalis
Tampak sakit sedang

Status Vitalis

Tekanan Darah: 100 / 60 mmHg

Nadi : 84 x / menit
Pernafasan : 20 x / menit

Suhu : 37oC

Kepala
Konjungtiva : anemis (-)
Sklera : ikterus (-)

Bibir : tidak ada sianosis

Gusi : perdarahan (-)

Mata

pupil bulat, isokor, 3mm/3mm, RC +/+

Paru
Inspeksi : simetris kiri dan kanan

Palpasi : nyeri tekan (-), massa tumor (-), fremitus raba kiri=kanan

Perkusi : sonor/sonor

Auskultasi : Bunyi pernapasan vesikuler +/+ , ronkhi - / -, Wheezing - / -

Jantung

Inspeksi : ictus cordis tidak tampak

Palpasi : ictus cordis teraba di ICS V midclavicularis (S)

Perkusi : batas jantung dalam batas normal

Auskultasi : S1 / S2 reguler,murmur (-)

Abdomen (Status Lokalis) :

Inspeksi : Datar, ikut gerak napas, warna kulit sama dengan sekitar. Darm

Contour (-), Darm Steifung (-)

Auskultasi : Peristaltik (+) kesan menurun

Palpasi : Massa Tumor (-), Nyeri Tekan (+) pada titik Mc Burney (+),

Rovsing Sign (-), Blumberg Sign (-), Psoas sign (+) Obturator

Sign (-) Hepar / Lien tidak teraba.

Perkusi : Timpani, Nyeri Ketok pada titik Mc Burney(+).


Rectal Touche :

Sfingter ani menjepit, ampula recti kolaps (-)

Handschoen: Feces (+) darah (-) lendir (-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Hasil Nilai normal

Leukosit 19,7 4,00-10,0

Eritrosit 4,6 4,00-6,00

Hb 15,3 12,0-16,0

PCV 43 37,0-48,0

Trombosit 163 150-400

SGOT 21 < 38

SGPT 17 < 41

GDS 106 140

CT 8’45” 4-10

BT 1’15” 1-7

Neutrofil segmen 97% 50-70%


Urinalisa

Urin

Warna : Kuning kemerahan

pH : 6.0

Berat Jenis: 1.020

Protein (-), Glukosa (-) Bilirubin (-)

Lekosit : (-)

eritrosit : 0-2

epitel : (+)

KESAN : diduga infeksi saluran kemih akibat appendisitis akut

Skor Alvarado

Gejala Klinik Value

Adanya migrasi nyeri 1

Anoreksia 1

Mual/muntah 1

Nyeri RLQ 2

Nyeri lepas 1

Febris 0

Leukositosis 2

Shift to the left 1

JUMLAH 9
B. RESUME
Laki-laki, 25 tahun, masuk rumah sakit dengan keluhan nyeri perut kanan bawah, dialami
sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dirasakan pada ulu hati lalu berpindah ke
perut kanan bawah. Riwayat demam ada, tetapi dirasa tidak terlalu tinggi. Riwayat mual
ada. Riwayat muntah ada. Riwayat nyeri ada ketika batuk.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan, nyeri tekan ada pada titik Mc Burney , Psoas sign dan
Nyeri Ketok pada titik Mc Burney ada .
Pemeriksaan lab, menunjukkan tanda-tanda leukositosis, peningkatan neutrofil segmen
dan infeksi saluran kemih akibat proses infeksi dari appendicitis yang meradang.
Berdasarkan skor Alvarado, diindikasikan pasien ini untuk dilakukan tindakan operasi.

C. DIAGNOSIS KERJA
Appendisitis Akut

D. RENCANA TINDAKAN
Appendectomy
FOLLOW UP PASIEN

Hari/ Tanggal/ Jam Subyektif Obyektif Assesment Rencana Terapi

06/03/19 Nyeri luka KU: TSS Post- IVFD RL:D5% 2:1 21


PH: 0 post-operaasi Kes: E4M6V5 appendiktomi tpm
Flatus (-) TD: 110/70 (H-0) Ceftriaxone 1gr/12
N: 70x/menit jam/iv [h-1]
RR: 20 x/menit Ranitidine50mg/12
S: 36.6 C jam/iv
Abdomen: Ketorolac 30mg/8 jam/iv
tampak luka Observasi KU dan tanda
operasi tertutup perdarahan
kasa. Darah- , Jika BU (+) boleh
pus - supel , NT minum sedikit-sedikit
+, BU +,
Genitalia: pus +
OUE
Hari/ Tanggal/ Jam Subyektif Obyektif Assesment Rencana Terapi
07/03/19 Nyeri luka KU: TSS Post- IVFD RL:D5% 2:1 21
PH: 1 post-operaasi Kes: E4M6V5 appendiktomi tpm
Flatus (-) TD: 120/80 (H-1) Ceftriaxone 1gr/12
N: 80x/menit jam/iv [h-2]
RR: 20 x/menit Ranitidine50mg/12
S: 36.7 C jam/iv
Abdomen: Ketorolac 30mg/8 jam/iv
tampak luka Observasi KU dan tanda
operasi tertutup perdarahan
kasa. Darah- , Diet minum air bebas
pus - supel , NT bila flatus (+) boleh
+, BU + 3x makan bubur
Hari/tgl/jam Subjektif Obyektif Assesment Rencana Terapi

08/03/19 Nyeri luka KU: TSS Post- IVFD RL:D5% 2:1 21


PH: 2 post-operaasi Kes: E4M6V5 appendiktomi tpm
Flatus (+) , TD: 110/80 (H-2) Ceftriaxone 1gr/12
makan (+) N: 84x/menit jam/iv [h-3]
RR: 20 x/menit Ranitidine50mg/12
S: 36.6 C jam/iv
Abdomen: Ketorolac 30mg/8 jam/iv
tampak luka Bladder training (+)
operasi tertutup Aff kateter
kasa. Darah- , Mobilisasi duduk
pus - supel , NT Diet makanan lunak
+, BU + 3x

Hari/tgl/jam Subyektif Objektif Assesment Rencana Terapi

09/03/19 Nyeri luka KU: TSS Post- IVFD RL:D5% 2:1 21


PH: 3 post-operaasi Kes: E4M6V5 appendiktomi tpm
BAB (+) , TD: 130/80 (H-3) Ceftriaxone 1gr/12
jalan (+) N: 88x/menit jam/iv [h-4]
RR: 20 x/menit Ranitidine50mg/12
S: 36.5 C jam/iv
Abdomen: Ketorolac 30mg/8 jam/iv
tampak luka Mobilisasi jalan
operasi tertutup Diet makanan
kasa. Darah- , lunak/bubur
pus - supel , NT
+, BU + 6x
Hari/tgl/jam Subyektif Objektif Assesment Rencana Terapi

10/03/19 Nyeri luka KU: TSS Post- IVFD RL:D5% 2:1 21


PH: 4 post-operaasi Kes: E4M6V5 appendiktomi tpm
TD: 110/80 (H-4) Ceftriaxone 1gr/12
N: 91x/menit jam/iv [h-5]
RR: 22 x/menit Ranitidine50mg/12
S: 36.3 C jam/iv
Abdomen: Ketorolac 30mg/8 jam/iv
tampak luka Diet makanan biasa
operasi tertutup
kasa. Darah- ,
pus - supel , NT
+, BU + 6x

Hari/tgl/jam Subyektif Objektif Assesment Rencana Terapi

11/03/19 Nyeri luka KU: TSS Post- Acc rawat jalan


PH: 5 post-operaasi Kes: E4M6V5 appendiktomi Terapi pulang:
TD: 110/80 (H-5) Cefadroxyl 2x200mg
N: 81x/menit Ranitidine 2x50mg
RR: 20 x/menit Ketorolac 3x30mg
S: 36.5 C
Abdomen:
tampak luka
operasi tertutup
kasa. Darah- ,
pus - supel , NT
+, BU + 6x
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI, FISIOLOGI, DAN EMBRIOLOGI APPENDIX

Appendix merupakan derivat bagian dari midgut yang terdapat di antara Ileum dan
Colon ascendens. Caecum terlihat pada minggu ke-5 kehamilan dan Appendix terlihat pada
minggu ke-8 kehamilan sebagai suatu tonjolan pada Caecum. Awalnya Appendix berada
pada apeks Caecum, tetapi kemudian berotasi dan terletak lebih medial dekat dengan Plica
ileocaecalis. Dalam proses perkembangannya, usus mengalami rotasi. Caecum berakhir pada
kuadran kanan bawah perut. Appendix selalu berhubungan dengan Taenia caecalis. Oleh
karena itu, lokasi akhir Appendix ditentukan oleh lokasi Caecum.1,2,3

Gambar 1. Appendix vermicularis4

Vaskularisasi apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan arteri tanpa


kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi, apendiks akan
mengalami gangrene. 1,
Gambar 2. Potongan transversa Appendix 5

Secara histologi, struktur apendiks sama dengan usus besar. Kelenjar submukosa dan
mukosa dipisahkan dari lamina muskularis. Diantaranya berjalan pembuluh darah dan
kelenjar limfe. Bagian paling luar apendiks ditutupi oleh lamina serosa yang berjalan
pembuluh darah besar yang berlanjut ke dalam mesoapendiks. Bila letak apendiks retrosekal,
maka tidak tertutup oleh peritoneum viserale. 1,
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti a.mesenterika
superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n.torakalis X. Oleh
karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula di sekitar umbilikus. 1
Panjang Appendix pada orang dewasa bervariasi antara 2-22 cm, dengan rata-rata
panjang 6-9 cm. Meskipun dasar Appendix berhubungan dengan Taenia caealis pada dasar
Caecum, ujung Appendix memiliki variasi lokasi seperti yang terlihat pada gambar di bawah
ini. Variasi lokasi ini yang akan mempengaruhi lokasi nyeri perut yang terjadi apabila
Appendix mengalami peradangan. 1,2

Gambar 3. Variasi lokasi Appendix vermicularis1


Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di
muara apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis apendisitis. Imunoglobulin sekreator
yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang
saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai
pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi
sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfe di sini kecil sekali jika dibandingkan dengan
jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh1

2.3 ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI

Obstruksi lumen adalah penyebab utama pada Appendicitis acuta. Fecalith merupakan
penyebab umum obstruksi Appendix, yaitu sekitar 20% pada anak dengan Appendicitis akut
dan 30-40% pada anak dengan perforasi Appendix. Penyebab yang lebih jarang adalah
hiperplasia jaringan limfoid di sub mukosa Appendix, barium yang mengering pada
pemeriksaan sinar X, biji-bijian, gallstone, cacing usus terutama Oxyuris vermicularis. Reaksi
jaringan limfatik, baik lokal maupun generalisata, dapat disebabkan oleh infeksi Yersinia,
Salmonella, dan Shigella; atau akibat invasi parasit seperti Entamoeba, Strongyloides,
Enterobius vermicularis, Schistosoma, atau Ascaris. Appendicitis juga dapat diakibatkan oleh
infeksi virus enterik atau sistemik, seperti measles, chicken pox, dan cytomegalovirus.
Insidensi Appendicitis juga meningkat pada pasien dengan cystic fibrosis. Hal tersebut terjadi
karena perubahan pada kelenjar yang mensekresi mukus. Obstruksi Appendix juga dapat
terjadi akibat tumor carcinoid, khususnya jika tumor berlokasi di 1/3 proksimal. Selama lebih
dari 200 tahun, corpus alienum seperti pin, biji sayuran, dan batu cherry dilibatkan dalam
terjadinya Appendicitis. Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya Appendicitis adalah
trauma, stress psikologis, dan herediter.6
Frekuensi obstruksi meningkat sejalan dengan keparahan proses inflamasi. Fecalith
ditemukan pada 40% kasus Appendicitis acuta sederhana, sekitar 65% pada kasus
Appendicitis gangrenosa tanpa perforasi, dan 90% pada kasus Appendicitis acuta gangrenosa
dengan perforasi. 1,2,6,7

Gambar 3.1. Appendicitis (dengan fecalith) 8


Obstruksi lumen akibat adanya sumbatan pada bagian proksimal dan sekresi normal
mukosa Appendix segera menyebabkan distensi. Kapasitas lumen pada Appendix normal 0,1
mL. Sekresi sekitar 0,5 mL pada distal sumbatan meningkatkan tekanan intraluminal sekitar
60 cmH2O. Distensi merangsang akhiran serabut saraf aferen nyeri visceral, mengakibatkan
nyeri yang samar-samar, nyeri difus pada perut tengah atau di bawah epigastrium. 2

Distensi berlanjut tidak hanya dari sekresi mukosa, tetapi juga dari pertumbuhan bakteri
yang cepat di Appendix. Sejalan dengan peningkatan tekanan organ melebihi tekanan vena,
aliran kapiler dan vena terhambat menyebabkan kongesti vaskular. Akan tetapi aliran arteriol
tidak terhambat. Distensi biasanya menimbulkan refleks mual, muntah, dan nyeri yang lebih
nyata. Proses inflamasi segera melibatkan serosa Appendix dan peritoneum parietal pada
regio ini, mengakibatkan perpindahan nyeri yang khas ke RLQ. 2,6,7

Mukosa gastrointestinal termasuk Appendix, sangat rentan terhadap kekurangan suplai


darah. Dengan bertambahnya distensi yang melampaui tekanan arteriol, daerah dengan suplai
darah yang paling sedikit akan mengalami kerusakan paling parah. Dengan adanya distensi,
invasi bakteri, gangguan vaskuler, infark jaringan, terjadi perforasi biasanya pada salah satu
daerah infark di batas antemesenterik. 1,2,6,7

Di awal proses peradangan Appendix, pasien akan mengalami gejala gangguan


gastrointestinal ringan seperti berkurangnya nafsu makan, perubahan kebiasaan BAB, dan
kesalahan pencernaan. Anoreksia berperan penting pada diagnosis Appendicitis, khususnya
pada anak-anak.6
Distensi Appendix menyebabkan perangsangan serabut saraf visceral yang
dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. Nyeri awal ini bersifat nyeri tumpul di
dermatom Th 10. Distensi yang semakin bertambah menyebabkan mual dan muntah dalam
beberapa jam setelah timbul nyeri perut. Jika mual muntah timbul mendahului nyeri perut,
dapat dipikirkan diagnosis lain.6
Appendix yang mengalami obstruksi merupakan tempat yang baik bagi
perkembangbiakan bakteri. Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal, terjadi
gangguan aliran limfatik sehingga terjadi oedem yang lebih hebat. Hal-hal tersebut semakin
meningkatan tekanan intraluminal Appendix. Akhirnya, peningkatan tekanan ini
menyebabkan gangguan aliran sistem vaskularisasi Appendix yang menyebabkan iskhemia
jaringan intraluminal Appendix, infark, dan gangren. Setelah itu, bakteri melakukan invasi ke
dinding Appendix; diikuti demam, takikardia, dan leukositosis akibat pelepasan mediator
inflamasi karena iskhemia jaringan. Ketika eksudat inflamasi yang berasal dari dinding
Appendix berhubungan dengan peritoneum parietale, serabut saraf somatik akan teraktivasi
dan nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi Appendix, khususnya di titik Mc Burney’s. Jarang
terjadi nyeri somatik pada kuadran kanan bawah tanpa didahului nyeri visceral sebelumnya.
Pada Appendix yang berlokasi di retrocaecal atau di pelvis, nyeri somatik biasanya tertunda
karena eksudat inflamasi tidak mengenai peritoneum parietale sebelum terjadi perforasi
Appendix dan penyebaran infeksi. Nyeri pada Appendix yang berlokasi di retrocaecal dapat
timbul di punggung atau pinggang. Appendix yang berlokasi di pelvis, yang terletak dekat
ureter atau pembuluh darah testis dapat menyebabkan peningkatan frekuensi BAK, nyeri
pada testis, atau keduanya. Inflamasi ureter atau Vesica urinaria akibat penyebaran infeksi
Appendicitis dapat menyebabkan nyeri saat berkemih, atau nyeri seperti terjadi retensi urine.
Perforasi Appendix akan menyebabkan terjadinya abscess lokal atau peritonitis difus.
Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas ke arah perforasi dan kemampuan tubuh
pasien berespon terhadap perforasi tersebut. Tanda perforasi Appendix mencakup
peningkatan suhu melebihi 38.6oC, leukositosis > 14.000, dan gejala peritonitis pada
pemeriksaan fisik. Pasien dapat tidak bergejala sebelum terjadi perforasi, dan gejala dapat
menetap hingga > 48 jam tanpa perforasi. Peritonitis difus lebih sering dijumpai pada bayi
karena bayi tidak memiliki jaringan lemak omentum, sehingga tidak ada jaringan yang
melokalisir penyebaran infeksi akibat perforasi. Perforasi yang terjadi pada anak yang lebih
tua atau remaja, lebih memungkinkan untuk terjadi abscess. Abscess tersebut dapat diketahui
dari adanya massa pada palpasi abdomen pada saat pemeriksaan fisik.6
Konstipasi jarang dijumpai. Tenesmus ad ani sering dijumpai. Diare sering dijumpai
pada anak-anak, yang terjadi dalam jangka waktu yang pendek, akibat iritasi Ileum terminalis
atau caecum. Adanya diare dapat mengindikasikan adanya abscess pelvis.6
Mekanisme terjadinya apendisitis dapat diliat pada bagan di bawah ini.

Penyumbatan
Fekalit
secret mukus

Mukus >>

Obstruksi
lumen
appendiks

Gangguan aliran mucus


dari Appendik - sekum

Bendungan
mukus
Peningkatan Gangguan edema,
tekanan aliran limfe diapedesis
intraluminal bakteri, dan
ulserasi mukosa

Obstruksi arteri (a. Obstruksi


terminalis appendikularis) vena apendisitis akut

Edema >>
Nyeri daerah
infark dinding
epigastrium
apendiks
bakteri akan
menembus dinding
apendiks.
gangren
Peradangan Appendisitis
peritoneum Supuratif akut

apendisitis
ganggrenosa Nyeri perut
kanan
bawah
A. Penegakan Diagnosa Apendisitis Akut
Gambaran klinis pada apendisitis akut yaitu :
 Tanda awal nyeri di epigastrium atau regio umbilicus disertai mual dan
anorexia. Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5 - 38,5C. Bila
suhu lebih tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi.
 Nyeri berpindah ke kanan bawah dan menunjukkan tanda rangsangan
peritoneum lokal di titik Mc Burney, nyeri tekan, nyeri lepas dan adanya
defans muskuler.
 Nyeri rangsangan peritoneum tak langsung nyeri kanan bawah pada tekanan
kiri (Rovsing’s Sign) nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri
dilepaskan (Blumberg’s Sign) batuk atau mengedan
Pemeriksaan Fisik
 Inspeksi
- Tidak ditemukan gambaran spesifik.
- Kembung sering terlihat pada komplikasi perforasi.
-Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada masaa atau abses
periapendikuler.
-Tampak perut kanan bawah tertinggal pada pernafasan
 Palpasi
- nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan, bisa disertai nyeri tekan lepas.
- defans muscular menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale.
- pada apendisitis retrosekal atau retroileal diperlukan palpasi dalam untuk
menentukan adanya rasa nyeri.
 Perkusi
- pekak hati menghilang jika terjadi perforasi usus.
 Auskultasi
- biasanya normal
- peristaltik dapat hilang karena ileus paralitik pada peritonitis generalisata
akibat apendisitis perforata
 Rectal Toucher
- tonus musculus sfingter ani baik
- ampula kolaps
- nyeri tekan pada daerah jam 9 dan 12
- terdapat massa yang menekan rectum (jika ada abses).
 Uji Psoas
Dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperekstensi sendi panggul
kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila
apendiks yang meradang menepel di m. psoas mayor, tindakan tersebut akan
menimbulkan nyeri.
 Uji Obturator
Digunakan untuk melihat apakah apendiks yang meradang kontak dengan m.
obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil. Gerakan fleksi dan
endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang akan menimbulkan nyeri pada
apendisitis pelvika. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan
pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk mengetahui letak apendiks.

 Alvarado Score
Characteristic Score
M = Migration of pain to the RLQ 1
A = Anorexia 1
N = Nausea and vomiting 1
T = Tenderness in RLQ 2
R = Rebound pain 1
E = Elevated temperature 1
L = Leukocytosis 2
S = Shift of WBC to the left 1
Total 10
Dinyatakan appendisitis akut bila skor > 7 poin
2.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG

2.5.1 Laboratorium2,3,6,7

Leukositosis ringan berkisar antara 10.000-18.000/ mm3, biasanya didapatkan pada


keadaan akut, Appendicitis tanpa komplikasi dan sering disertai predominan
polimorfonuklear sedang. Jika hitung jenis sel darah putih normal tidak ditemukan shift to the
left pergeseran ke kiri, diagnosis Appendicitis acuta harus dipertimbangkan. Jarang hitung
jenis sel darah putih lebih dari 18.000/ mm3 pada Appendicitis tanpa komplikasi. Hitung jenis
sel darah putih di atas jumlah tersebut meningkatkan kemungkinan terjadinya perforasi
Appendix dengan atau tanpa abscess.

CRP (C-Reactive Protein) adalah suatu reaktan fase akut yang disintesis oleh hati sebagai
respon terhadap infeksi bakteri. Jumlah dalam serum mulai meningkat antara 6-12 jam
inflamasi jaringan.

Kombinasi 3 tes yaitu adanya peningkatan CRP ≥ 8 mcg/mL, hitung leukosit ≥ 11000,
dan persentase neutrofil ≥ 75% memiliki sensitivitas 86%, dan spesifisitas 90.7%.

Pemeriksaan urine bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis infeksi dari saluran kemih.
Walaupun dapat ditemukan beberapa leukosit atau eritrosit dari iritasi Urethra atau Vesica
urinaria seperti yang diakibatkan oleh inflamasi Appendix, pada Appendicitis acuta dalam
sample urine catheter tidak akan ditemukan bakteriuria.

2.5.2.Ultrasonografi1,2,6,7

Ultrasonografi cukup bermanfaat dalam menegakkan diagnosis Appendicitis. Appendix


diidentifikasi/ dikenal sebagai suatu akhiran yang kabur, bagian usus yang nonperistaltik
yang berasal dari Caecum. Dengan penekanan yang maksimal, Appendix diukur dalam
diameter anterior-posterior. Penilaian dikatakan positif bila tanpa kompresi ukuran anterior-
posterior Appendix 6 mm atau lebih. Ditemukannya appendicolith akan mendukung
diagnosis. Gambaran USG dari Appendix normal, yang dengan tekanan ringan merupakan
struktur akhiran tubuler yang kabur berukuran 5 mm atau kurang, akan menyingkirkan
diagnosis Appendicitis acuta. Penilaian dikatakan negatif bila Appendix tidak terlihat dan
tidak tampak adanya cairan atau massa pericaecal. Sewaktu diagnosis Appendicitis acuta
tersingkir dengan USG, pengamatan singkat dari organ lain dalam rongga abdomen harus
dilakukan untuk mencari diagnosis lain. Pada wanita-wanita usia reproduktif, organ-organ
panggul harus dilihat baik dengan pemeriksaan transabdominal maupun endovagina agar
dapat menyingkirkan penyakit ginekologi yang mungkin menyebabkan nyeri akut abdomen.
Diagnosis Appendicitis acuta dengan USG telah dilaporkan sensitifitasnya sebesar 78%-96%
dan spesifitasnya sebesar 85%-98%. USG sama efektifnya pada anak-anak dan wanita hamil,
walaupun penerapannya terbatas pada kehamilan lanjut.

USG memiliki batasan-batasan tertentu dan hasilnya tergantung pada pemakai. Penilaian
positif palsu dapat terjadi dengan ditemukannya periappendicitis dari peradangan sekitarnya,
dilatasi Tuba fallopi, benda asing (inspissated stool) yang dapat menyerupai appendicolith,
dan pasien obesitas Appendix mungkin tidak tertekan karena proses inflamasi Appendix yang
akut melainkan karena terlalu banyak lemak. USG negatif palsu dapat terjadi bila
Appendicitis terbatas hanya pada ujung Appendix, letak retrocaecal, Appendix dinilai
membesar dan dikelirukan oleh usus kecil, atau bila Appendix mengalami perforasi oleh
karena tekanan.

Gambar 3.7.Ultrasonogram pada potongan longitudinal Appendicitis 6

2.5.3. Pemeriksaan radiologi1,2,6,7

Foto polos abdomen jarang membantu diagnosis Appendicitis acuta, tetapi dapat sangat
bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis banding. Pada pasien Appendicitis acuta, kadang
dapat terlihat gambaran abnormal udara dalam usus, hal ini merupakan temuan yang tidak
spesifik. Adanya fecalith jarang terlihat pada foto polos, tapi bila ditemukan sangat
mendukung diagnosis. Foto thorax kadang disarankan untuk menyingkirkan adanya nyeri alih
dari proses pneumoni lobus kanan bawah.

Teknik radiografi tambahan meliputi CT Scan, barium enema, dan radioisotop leukosit.
Meskipun CT Scan telah dilaporkan sama atau lebih akurat daripada USG, tapi jauh lebih
mahal. Karena alasan biaya dan efek radiasinya, CT Scan diperiksa terutama saat dicurigai
adanya Abscess appendix untuk melakukan percutaneous drainage secara tepat.

Diagnosis berdasarkan pemeriksaan barium enema tergantung pada penemuan yang tidak
spesifik akibat dari masa ekstrinsik pada Caecum dan Appendix yang kosong dan
dihubungkan dengan ketepatan yang berkisar antara 50-48 %. Pemeriksaan radiografi dari
pasien suspek Appendicitis harus dipersiapkan untuk pasien yang diagnosisnya diragukan dan
tidak boleh ditunda atau diganti, memerlukan operasi segera saat ada indikasi klinis.
Gambar 3.8. Gambaran CT Scan abdomen: Appendicitis perforata

dengan abscess dan kumpulan cairan di pelvis1

Gambar 3.9. Gambaran CT Scan abdomen: Penebalan Appendix

(panah) dengan appendicolith1

Tabel 3. Perbandingan USG dan CT Scan Appendix pada Appendicitis5

USG CT Scan Appendix

Sensitivitas 85% 90-100%

Spesifitas 92% 95-97%

Penggunaan Evaluasi pasien pada Evaluasi pasien pada


pasien Appendicitis pasien Appendicitis
Keuntungan Aman Lebih akurat

Relatif murah Lebih baik dalam


mengidentifikasi Appendix
Dapat menyingkirkan normal, phlegmon dan
penyakit pelvis pada abscess
wanita

Lebih baik pada anak-anak

Kerugian Tergantung operator Mahal

Secara teknik tidak Radiasi ionisasi


adekuat dalam menilai gas
Kontras
Nyeri

2.6 DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding dari Appendicitis acuta pada dasarnya adalah diagnosis dari akut
abdomen. Hal ini karena manifestasi klinik yang tidak spesifik untuk suatu penyakit tetapi
spesifik untuk suatu gangguan fisiologi atau gangguan fungsi. Jadi pada dasarnya gambaran
klinis yang identik dapat diperoleh dari berbagai proses akut di dalam atau di sekitar cavum
peritoneum yang mengakibatkan perubahan yang sama seperti Appendicitis acuta. 2,6

Ada beberapa keadaan yang merupakan kontraindikasi operasi, namun pada umumnya
proses-proses penyakit yang diagnosisnya sering dikacaukan oleh Appendicitis sebagian
besar juga merupakan masalah pembedahan atau tidak akan menjadi lebih buruk dengan
pembedahan. Diagnosis banding Appendicitis tergantung dari 3 faktor utama: lokasi anatomi
dari inflamasi Appendix, tingkatan dari proses dari yang simple sampai yang perforasi, serta
umur dan jenis kelamin pasien. 2,6

1. Gastroenteritis akut

Penyakit ini sangat umum pada anak-anak tapi biasanya mudah dibedakan dengan
Appendicitis. Gastroentritis karena virus merupakan salah satu infeksi akut self limited
dari berbagai macam sebab, yang ditandai dengan adanya diare, mual, dan muntah. Nyeri
hiperperistaltik abdomen mendahului terjadinya diare. Hasil pemeriksaan laboratorium
biasanya normal.

2. Diverticulitis Meckel

Penyakit ini menimbulkan gambaran klinis yang sangat mirip Appendicitis acuta.
Perbedaan preoperatif hanyalah secara teoritis dan tidak penting karena Diverticulitis
Meckel dihubungkan dengan komplikasi yang sama seperti Appendicitis dan memerlukan
terapi yang sama yaitu operasi segera.
3. Intususseption

Sangat berlawanan dengan Diverticulitis Meckel, sangat penting untuk membedakan


Intususseption dari Appendicitis acuta karena terapinya sangat berbeda. Umur pasien
sangat penting, Appendicitis sangat jarang dibawah umur 2 tahun, sedangkan
Intususseption idiopatik hampir semuanya terjadi di bawah umur 2 tahun. Pasien biasanya
mengeluarkan tinja yang berdarah dan berlendir. Massa berbentuk sosis dapat teraba di
RLQ. Terapi yang dipilih pada intususseption bila tidak ada tanda-tanda peritonitis adalah
barium enema, sedangkan terapi pemberian barium enema pada pasien Appendicitis acuta
sangat berbahaya.

4. Infeksi saluran kencing

Pyelonephritis acuta, terutama yang terletak di sisi kanan dapat menyerupai


Appendicitis acuta letak retroileal. Rasa dingin, nyeri costo vertebra kanan, dan terutama
pemeriksaan urine biasanya cukup untuk membedakan keduanya.

2.7 KOMPLIKASI

2.7.1. Perforasi

2.7.2. Peritonitis

2.7.3. Appendicular infiltrat

Appendicular infiltrat adalah Appendicular infiltrat adalah infiltrat/massa yang terbentuk


akibat mikro atau makro perforasi dari Appendix yang meradang yang kemudian ditutupi
oleh omentum, usus halus atau usus besar. Umumnya massa Appendix terbentuk pada hari
ke-4 sejak peradangan mulai apabila tidak terjadi peritonitis umum. Massa Appendix lebih
sering dijumpai pada pasien berumur lima tahun atau lebih karena daya tahan tubuh telah
berkembang dengan baik dan omentum telah cukup panjang dan tebal untuk membungkus
proses radang.6

Prognosis
Kebanyakan pasien setelah operasi appendektomi sembuh spontan tanpa penyulit,
namun komplikasi dapat terjadi apabila pengobatan tertunda atau telah terjadi
peritonitis/peradangan di dalam rongga perut. Cepat dan lambatnya penyembuhan setelah
operasi usus buntu tergantung dari usia pasien, kondisi, keadaan umum pasien, penyakit
penyerta misalnya diabetes mellitus, komplikasi dan keadaan lainya yang biasanya sembuh
antara 10 sampai 28 hari6

Alasan adanya kemungkinan ancaman jiwa dikarenakan peritonitis di dalam rongga


perut ini menyebabkan operasi usus buntu akut/emergensi perlu dilakukan secepatnya.
Kematian pasien dan komplikasi hebat jarang terjadi karena usus buntu akut. Namun hal ini
bisa terjadi bila peritonitis dibiarkan dan tidak diobati secara benar6
DAFTAR PUSTAKA

1. Lally KP, Cox CS, Andrassy RJ, Appendix. In: Sabiston Texbook of Surgery. 17th
edition. Ed:Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Philadelphia:
Elsevier Saunders. 2004: 1381-93

2. Jaffe BM, Berger DH. The Appendix. In: Schwartz’s Principles of Surgery Volume 2. 8th
edition. Ed: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Pollock RE.
New York: McGraw Hill Companies Inc. 2005:1119-34

3. Way LW. Appendix. In: Current Surgical Diagnosis & Treatment. 11 edition. Ed:Way
LW. Doherty GM. Boston: McGraw Hill. 2003:668-72

4. Human Anatomy 205. Retrieved at October 20th 2011 From: http://www


.talkorigins.org/faqs/vestiges/vermiform_Appendix.jpg

5. http://www.med.unifi.it/didonline/annoV/clinchirI/Casiclinici/Caso10/Appendicitis1x.jpg

6. Ellis H, Nathanson LK. Appendix and Appendectomy. In : Maingot’s Abdominal


Operations Vol II. 10th edition. Ed: Zinner Mj, Schwartz SI, Ellis H, Ashley SW,
McFadden DW. Singapore: McGraw Hill Co. 2001: 1191-222

7 Soybel DI. Appedix In: Surgery Basic Science and Clinical Evidence Vol 1. Ed: Norton
JA, Bollinger RR, Chang AE, Lowry SF, Mulvihill SJ, Pass HI, Thompson RW. New
York: Springer Verlag Inc. 2000: 647-62

Anda mungkin juga menyukai