Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam sejarah panjang perjuangan kemerdekaan Indonesia, era pergerakan
nasional merupakan titik awal dalam merebut kemerdekaan dari tangan – tangan
penjajah. Era ini juga merupakan titik tolak untuk menyatukan nusantara, para
pemuda dan tokoh – tokoh elite pribumi bersatu yang sebelumnya para tokoh masih
berjuang yang sifatnya mementingkan daerahnya. Di era pergerakan nasional ini para
pejuang dari berbagai daerah sudah mulai sadar untuk bersatu.
Berlakunya politik etis menjadi pintu gerbang menuju pergerakan nasional
yang lebih terbuka dan radikal terhadap kemajuan berpikir masyarakat nusantara
terutama Pendidikan. Pendidikan nampaknya menjadi hal yang begitu penting untuk
membuka pikiran masyarakat Hindia saat itu bahwa kita selama ini ditindas oleh
feodalisme serta kolonialisme. Sekolah – sekolah yang difokuskan untuk pribumi
mulai bermunculan. Sehingga muncul berbagai organisasi – organisasi yang
mengawali perjuangan kemerdekaan Indonesia. Organisasi – organisasi ini menjadi
ujung tombak awal perjuangan dan pergerakan dalam mencapai cita – cita
kemerdekaan bangsa serta mewadahi dan membina masyarakat – masyarakat untuk
turut andil menyampaikan aspirasi dan berjuang bersama dalam melakukan perlawan
terhadap penindasan kepada mereka selama ini.
Di era pergerakan nasional ini kita mengalami masa transisi antara
pemerintahan Belanda menuju Jepang. Saat memasuki masa penjajahan jepang
masyarakat kita disiapkan untuk perang asia raya, dimana kita dijejeli pendidikan
militer agar masyarakat siap dalam menghadapi perang. Di sisi lain, sistem
pendidikan jepang mengharuskan kita tunduk terhadap perintah – perintah jepang itu
sendiri, nasionalisme jepang harus ditanamkan sejak dini kepada para masyarakat
kita saat itu.
Di makalah kelompok 3 ini, kita akan mengupas mengenai sistem pendidikan
pada era Pergerakan Nasional, seperti Politik Etis, Perjuangan Indonesia melalui

1
pendidikan, sistem militerisme serta etatisme Jepang, hingga relevansinya hingga
pada zaman ini.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana sistem pendidikan Indonesia pada zaman pergerakan nasional?
2. Apa saja organisasi-organisasi yang ada pada zaman pergerakan nasional?
3. Apa saja sisa-sisa sistem pendidikan pada zaman pergerakan nasional untuk saat
ini?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui bagaimana sistem pendidikan Indonesia pada zaman
pergerakan nasional.
2. Untuk mengetahui berbagai organisasi-organisasi yang ada pada zaman
pergerakan nasional menyangkut dengan sistem pendidikan di Indonesia.
3. Untuk mengetahui apa yang diwariskan dari sistem pendidikan Indonesia pada
zaman pergerakan nasional di zaman ini.

1.4 Manfaat Penulisan


Manfaat yang diharapkan dari makalah yang berjudul Sistem Pendidikan Indonesia
pada zaman pergerakan nasional adalah untuk memberikan suatu pemahaman yang
mudah dipahami tentang sistem pendidikan Indonesia pada zaman pergerakan
nasional.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Trilogi Van Deventer


Indonesia pada masa kolonial, bernama Hindia-Belanda merupakan wilayah
jajahan Belanda pada masa itu. Belanda menjajah dengan cara-cara yang tidak
manusiawi, mereka memaksa para pribumi untuk menanam tanaman tertentu untuk
memenuhi tuntutan pasar, setelah VOC berhasil memonopoli pasar di Nusantara,
Nusantara pun semakin sengsara kemudian setelah VOC mulai runtuh VOC
digantikan dengan kekuasaan kolonialis Belanda Nusantara pun berganti nama
menjadi Hindia-Belanda yang membuat rakyat pribumi semakin melarat dan
sengsara dengan berbagai kebijakannya.
Kebijakan tanam paksa (Cultuurstelsel) memaksa orang - orang Belanda
untuk memaksimalkan pendapatan pada sektor pertanian. Pihak yang dirugikan oleh
kebijakan ini lebih mengarah kepada pribumi sebagai subjek tanam paksa. Pribumi
Indonesia terutama Jawa menjadi pihak yang tertindas, banyak diantara mereka
mengalami kerugian bahkan ada yang meninggal karena adanya praktek tanam paksa
ini. Keadaan ini membuat salah seorang Belanda bernama C.Th. van Deventer
merasa prihatin terhadap apa yang dialami orang - orang Indonesia ketika
diadakannya tanam paksa. Sementara itu Belanda mengakui bahwa bangsanya adalah
bangsa yang memiliki peradaban yang tinggi dan menghargai nilai - nilai
kemanusiaan, sangat berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di Indonesia oleh
pemerintahan Belanda. Van Deventer menilai bahwa kebijakan yang dilakukan
Belanda di Indonesia merupakan ekspoitasi alam untuk Belanda. Menurut van
Deventer apa yang dilakukan Belanda merupakan hutang kepada Hindia Belanda.
Dengan begitu van Deventer berpendapat pemerintah Belanda harus menyediakan
anggaran belanja mereka untuk rakyat Hindia Belanda.
Dengan apa yang dikemukakan van Deventer, kemudian pemerintah Belanda
mengubah kebijakan tanam paksa dengan kebijakan baru yaitu kebijakan yang
dikenal dengan politik etis. Politik etis ini kemudian dikenal dengan trilogi van

3
Deventer sesuai apa yang dituntut van Deventer ketika menentang adanya praktek
tanam paksa. Trilogi van Deventer mencakup tiga kebijakan yaitu:
1. Irigasi (pengairan), yaitu diusahakan pembangunan irigasi untuk mengairi
sawah-sawah milik penduduk untuk membantu peningkatan kesejahteraan
penduduk. Negara Belanda dikenal mempunyai keahlian dalam bidang
teknologi perairan. Laut di Belanda dapat dibendung dan dijadikan daerah
perkotaan. Oleh karena itu, dalam hal teknologi pengairan, Belanda
memang jagonya. Melalui kebijakan irigasi, Belanda membangun jaringan
irigasi yang diperlukan untuk pengairan teknis sawah dan perkebunan
yang dicetak Belanda. Lagi-lagi kebijakan ini sesungguhnya bukanlah
sebagai politik balas budi Belanda, melainkan semata-mata untuk
mengeruk lebih banyak lagi kekayaan dari tanah jajahan.
2. Edukasi (pendidikan), yaitu penyelenggaraan pendidikan bagi masyarakat
pribumi agar mampu menghasilkan kualitas sumber daya manusia yang
lebih baik. Kebijakan edukasi adalah pemberian kesempatan untuk
bersekolah bagi rakyat jajahan. Untuk itu, maka perluasan besar-besaran
jumlah sekolah dilakukan oleh Belanda. Pembukaan sekolah itu kemudian
juga membuka peluang untuk mendirikan sekolah-sekolah guru untuk
penyediaan gurunya. Diperoleh catatan dari Kementerian Jajahan pada
tanggal 16 Desember 1901 bahwa jumlah siswa sekolah guru di Bandung
ditambah dari 50 menjadi 100 orang, di Yogyakarta dari 75 menjadi 100
orang, di Probolinggo dari 75 menjadi 100 orang, di Semarang dibuka
sekolah guru baru dengan siswa sebanyak 100 orang (Dedi Supriadi, 2003:
11).
3. Migrasi (perpindahan penduduk), yaitu perpindahan penduduk dari daerah
yang padat penduduknya (khususnya Pulau Jawa) ke daerah lain yang
jarang penduduknya agar lebih merata. Migrasi adalah proses pemindahan
penduduk dari Jawa ke luar Jawa, untuk dijadikan buruh yang akan
dipekerjakan di daerah perkebunan atau daerah pertambangan milik
Belanda. Kuli kontrak dari Pulau Jawa dipindahkan ke perkebunan karet
di Pematang Siantar, Sumatera Utara, di daerah pertambangan batubara di

4
Sawahlunto, Sumatera Barat, dan bahkan juga di negeri jajahan Belanda
di luar negeri. Maksud awal kebijakan ini memang dipandang sebagai
kebijakan yang bersifat simbiose mutualistis, karena dapat
menguntungkan pihak Belanda di satu sisi, tetapi juga untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat di sisi lainnya. Namun, kenyataanya tidak demikian.
Jauh panggang dari api. Kebijakan itu semata-mata juga menguntungkan
Belanda. Makin banyak hasil bumi dan hasil tambang yang dikeruk oleh
Belanda dari bumi pertiwi Indonesia. Sementara rakyat tetap dalam
keadaan miskin dan tertindas.
Politik balas budi yang di usung oleh van Deventer dalam pelaksanaannya
memiliki kecacatan, yaitu berbedanya ekspetasi dari Belanda yang memberikan
hadiah berupa balas budi kepada rakyat pribumi, tetapi Belanda menggunakan politik
etis tersebut sebagai sarana untuk meningkatkan daya eksploitas rakyat pribumi
untuk keperluan Belanda.

2.2 School tot Opleiding van Indische (STOVIA)


Penjajahan yang dilakukan Belanda kepada Indonesia sangat membuat rakyat
Indonesia menderita, maka dari itu Van Deventer, seorang ahli hukum menulis
artikel yang berjudul “Een Eereschuld” (Suatu Hutang Kehormatan) yang lalu
menjadi landasan dari kebijakan adanya Politik Etis. Adapun Politik Etis ini memiliki
misi di beberapa bidang, yaitu pengairan, transmigrasi dan pendidikan. Dalam
bidang pendidikan, kebijakan Politik Etis merupakan upaya mendidik kaum
bumiputra untuk meningkatkan kemakmuran di tanah jajahannya, yaitu Indonesia.
Setelah hal ini, banyak lembaga pendidikan mulai berdiri. Untuk pendidikan tinggi,
ada Pendidikan Tinggi Teknik (Koninklijk Instituut voor Joget Technisch Ondewisj
in Nederlandsh Indie), Sekolah Tinggi Hukum ((Rechschool), dan Sekolah Tinggi
Kedokteran yang berkembang sejak dari Sekolah Dokter Djawa, STOVIA, NIAS,
dan GHS.1

1
Sugiharsono, dkk. Ilmu Pengetahuan Sosial, (Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan
Nasional, 2008), hlm.72

5
Pada mulanya tercipta sekolah kedokteran adalah, karena para pemerintah
kolonial Belanda mulai khawatir akan kurangnya juru tenaga kerja di bidang
kesehatan untuk menangani berbagai macam penyakit di tanah jajahannya terutama
pada pulau Jawa yaitu Banyumas. Sehingga, pada tanggal 2 Januari 1849,
dikeluarkan surat Gubernumen no.22 mengenai akan diadakannya kursus kesehatan,
dan menetapkan tempat pendidikannya di Rumah Sakit Militer (sekarang RSPAD
Gatot Subroto) di kawasan Weltevreden, Batavia (sekarang Gambir dan sekitarnya).
Lalu kegiatan kursus ini ditingkatkan pada tanggal 5 Juni 1853 melalui Surat
Keputusan Gubernumen no.10 menjadi Sekolah Dokter Djawa, yang memilki masa
pendidikan tiga tahun. 2
Lulusannya bergelar “Dokter Djawa”, namun sebagian lulusannya bekerja
sebagai mantri cacar, mengingat penyakit cacar pada saat itu sedang merebak dan
mengkhawatirkan. Sekolah Dokter Djawa ini terus mengalami kemajuan, sehingga
pada tahun 1889 namanya berubah menjadi School tot Opleiding van Indlansche
Geneeskundigen (Sekolah pendidikan Ahli Ilmu Kedokteran Pribumi) lalu diubah
kembali pada tahun 1898 menjadi STOVIA (School tot Opleiding van Indlansche
Artsen – Sekolah untuk Pendidikan Dokter Pribumi), yang kemudian pada tahun
1913 kata Inlandsche (pribumi) di ubah menjadi Indische (Hindia) karena kemudian
sekolah ini dibuka untuk siapa saja, termasuk untuk keturunan Timur asing dan
Eropa. Nama sekolah tersebut terus mengalami perubahan hingga pada akhirnya
sejak tanggal 2 Februari 1950, setelah kemerdekaan, Pemerintah Republik Indonesia
mengubahnya menjadi Fakultas Kedokteran Indonesia, yang masih berlaku hingga
sekarang.3
STOVIA ( School tot Opleiding van Indische Artsen – Sekolah untuk
Pendidikan Dokter Pribumi), pada mulanya didirikan di Batavia pada tahun 1851.4
STOVIA bertujuan untuk menyediakan tenaga kesehatan di berbagai wilayah
pedesaan. Adapun busana siswa merupakan pakaian tradisonal jawa lengkap dengan
blangkonnya, sampai akhirnya ada permintaan dari para siswa agar diizinkan

2
Rosihan, Anwar. Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia, ( Jakarta: Kompas, 2009), hlm. 23
3
Sugiharsono, Loc. Cit.
4
Graves, Elizabeth.Asal-Usul Elite Minangkabau Modern Respons terhadap Kolonial Belanda Abad
XIX/XX, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), hlm. 236.

6
memakai busana cara barat, kemudian busana adat jawa pun dihentikan. Siswa
STOVIA disebut dengan sebutan eleves yang diambil dari bahasa Perancis yang
berarti “murid-murid”.5 Gubernumen akan memberikan kepada eleves gaji 15 gulden
(rupiah) sebulan, juga gratis tempat tinggal. Siswa minimal berusia 16 tahun.
6
Pelajaran diberikan oleh guru Belanda dalam bahasa Melayu. Lulusan STOVIA
pada dasarnya adalah teknisi tenaga kesehatan umum. Belajar di STOVIA memiliki
kelebihan yaitu biaya sekolah siswa yang ditanggung oleh pemerintah, termasuk
ongkos perjalanan ke Batavia bagi siswa dari luar Batavia. Pada waktu itu, terdapat
anggapan bahwa Sekolah Dokter Djawa adalah sekolah untuk orang miskin.
Penilaian tersebut terjadi karena pemerintahan menerapkan sistem beasiswa. Oleh
karena itu, hanya orang tua yang kurang mampu saja yang berminat mengirim
anaknya untuk belajar di STOVIA. Akan tetapi justru di kalangan anak-anak miskin
inilah muncul tokoh-tokoh nasional Indonesia yang militan.
Pada tahun 1898 terjadi perubahan penataan di.STOVIA, dimana siswa
diharuskan mampu menguasai bahasa Belanda dengan baik sebelum diterima dan
kurikulum diperluas dengan memusatkan ilmu kesehatan lanjutan fisika.7 Sebelum
tamat, para siswa diminta untuk praktik latihan di Rumah Sakit Militer. Para siswa
juga melakukan praktik dengan merawat orang-orang miskin. Adapun untuk
Pendidikan juru cacar pada awalnya hanya memerlukan pendidikan satu tahun, yang
kemudian berubah menjadi dua tahun karena adanya penambahan mata pelajaran
menjadi 17 mata pelajaran diantara lain ialah pendidikan Bahasa Belanda,
menghitung, ilmu ukur, ilmu bedah, dan lain-lain. Sejak tahun 1864 lama sekolah
berubah menjadi berlangsung selama tiga tahun dengan syarat yang semakin
diperberat. Mata pelajaran pun ditambah menjadi 27 mata pelajaran. Pada tahun 1903
barulah STOVIA turut menerima siswa pribumi dari tamatan sekolah pribumi, dari
yang tadinya hanya menerima siswa pribumi yang merupakan tamatan sekolah
Belanda. Kemudian lama pendidikan menjadi tujuh tahun, termasuk dua tahun
persiapan untuk belajar Bahasa Belanda, lalu pendidikan selanjutnya menjadi lima

5
Rosihan, Loc. Cit.
6
Ibid.
7
Graves, Op. Cit., hlm. 237

7
tahun. Pada tahun 1889 masa persiapan menjadi tiga tahun, lalu masa belajar menjadi
5-6 tahun. Sejak tahun 1875 kegiatan belajar menggunakan Bahasa Belanda. Seiring
berjalannya waktu lulusan STOVIA yang tadinya hanya menjadi mantri cacar,
kemudian berubah bisa menjadi dokter privat dibawah pengawasan pemerintahan.
Namun, karena khawatir akan kemampuan para lulusan mengahadapi keadaan
lapangan, maka pada tahun 1864 wewenang dokter privat kembali dicabut dan hanya
pada tahap mantri cacar saja. Pada tahun 1922 seorang siswa perempuan mendapat
ijazah Indische Arts, yaitu Mejuffrow Marie Thomas. Pada tahun 1924 menyusul
siswa perempuan kedua sebagai Indisch Arts, yakni Mwjuffrow Anna Warouw.
Kedua orang tadi merupakan pionir dokter perempuan. 8
Dokter-dokter lulusan STOVIA banyak yang aktif dalam pergerakan rakyat
untuk mencapai Indonesia merdeka. Mereka berasal dari berbagai daerah, mayoritas
dari Pulau Jawa. Mereka sering berdiskusi tentang isu-isu terkait politik di
perpustakaan Douwes Dekker selepas pembelajaran selesai. Antar siswa timbul rasa
persaudaraan dan solidaritas yang akhirnya menimbulkan diskusi untuk saling
bertukar pikiran. Dari diskusi tersebut timbulah berbagai ide untuk membentuk
organisasi pribumi yang akan semakin mendorong terwujudnya Bangsa Indonesia
yang mampu berdiri sendiri. Maka selanjutnya lahirlah Budi Utomo, Indische Partij,
Taman Siswa dan lainnya. Mereka menyadari bahwa pergerakan melawan
penjajahan lebih efektif melalui pemikiran, strategi, dan tentunya persatuan untuk
menciptakan kerjasama antara rakyat. Maka melalui STOVIA pemikiran generasi
muda mulai terbuka dan kepiawaian mereka terus terasah, sehingga pergerakan
nasional dapat berjalan untuk menunjang kemerdekaan.

2.3 Pendidikan sebagai Alat Perjuangan


Pada zaman pergerakan nasional ini, pendidikan menjadi senjata yang ampuh
dalam melawan dominasi kolonialisme melalui idealisme dan semangat kaum muda
sehingga timbullah banyak organisasi modern mulai dari tahun 1908.

8
Rosihan, Op. Cit., hlm, 16.

8
1. Budi Utomo
Budi utomo awalnya muncul atas dasar keprihatinan Dr. Wahidin
Soedirohoesodo terhadap kondisi penduduk jawa yang semakin buruk dan tidak
mendapat akses pendidikan yang setara dengan kaum priyayi. Akhirnya Dr. Wahidin
tergerak hatinya untuk mengadakan pendidikan serta penyadaran terhadap orang
Jawa. Sekitar tahun 1906 – 1907 Dr. Wahidin berkeliling jawa untuk menyebarkan
propagandanya tentang kaum tertindas serta pendidikan bagi penduduk jawa. Hingga
akhirnya hal itu mendapat dukungan dari mahasiswa STOVIA salah satunya Sutomo,
dan berdirilah Budi Utomo di Jakarta 20 Mei 1908.
Budi Utomo merupakan organisasi modern pertama dengan struktur yang
jelas serta pembagian kerja yang cukup teratur pada zaman itu. Organisasi ini bisa
dibilang adalah perpaduan antara tradisi, kultur, dan edukasi Barat. Program utama
dari organisasi ini adalah perbaikan pendidikan dan pengajaran bagi anak pribumi.
Tujuan Budi Utomo menurut Panyarikan (1993: 20-21) ialah: a. Mengadakan studie
fonds untuk menolong anak-anak Indonesia di tanah Jawa yang akan melanjutkan
belajar tetapi tidak memiliki biaya. b. Mengusahakan supaya bumiputera di tanah
Jawa mengetahui adat istiadatnya.9 Dalam kongres – kongres Budi Utomo terjadi
perdebatan apakah organisasi ini merupakan organisasi politik atau hanya organisasi
yang bersifat sosial biasa. Namun dikarenakan berlakunya peraturan Belanda
Regeering Reglement pasal 111 yang melarang mendirikan perkumpulan politik,
akhirnya budi utomo bergerak dalam lingkup sosial yang bertujuan mensejahterakan
kaum jawa dengan pendidikan.10 Lingkupnya juga bukan satu hindia melainkan
hanya terbatas jawa dan madura saja dikarenakan juga pemerintah hindia belanda
yang mengawasi pergerakan organisasi ini.
Pada tahun 1918, dibentuklah volkstraad (dewan rakyat), tokoh – tokoh Budi
Utomo cukup banyak menduduki kursi volkstraad untuk mewakilkan aspirasi –
aspirasi kaum pribumi. Namun, sangat disayangkan wakil dari Budi Utomo ragu –
ragu dalam mengeluarkan aspirasinya dan kritik terhadap pemerintah belanda di

9
Susilo, Agus. Politik Etis dan Pengaruhnya Bagi Lahirnya Pergerakan Bangsa Indonesia. (Lubuklinggau :
STKIP PGRI Lubuklinggau, 2018) Vol. 6 No. 2 Hal. 411
10
Yasmis. Peranan Budi Utomo Dalam Meningkatkan Kesadaran Masyarakat. (Jakarta : Universitas
Negeri Jakarta) Hal. 6

9
dalam sidang.11 Hal itulah yang membuat banyak kaum muda atau pribumi yang
radikal mencerca wakil – wakil Budi Utomo, mereka dianggap menyia – nyiakan
kesempatan. Dari sinilah Budi Utomo sudah mulai pecah dan berkurang
pengaruhnya.
Meskipun begitu Budi Utomo mempunyai andil banyak dalam memajukan
masyarakat jawa dan madura melalui pendidikannya, organisasi ini juga menjadi
pelopor bagi keasadaran masyarakat jawa dan madura bahwa kita harus bangkit dari
keterpurukan saat ini. Pendidikan sangat penting bagi kaum pribumi karena
pendidikan merupakan alat yang begitu penting bagi kemajuan bangsa serta
memperjuangkan nasib – nasib kaum tertindas oleh kejamnya para penjajah. Periode
1918 – 1925 merupakan periode kemersosotan dan pudarnya pengaruh yang
membuat Budi Utomo bergabung dengan Parindra.12 Akan tetapi peranan partai
tersebut sangat terbatas seperti peranan Budi Utomo.

2. Sarekat Islam
Pada tahun 1905 didirikan sebuah organisasi bernama Sarekat Dagang Islam.
Tujuan pendirian Sarekat Dagang Islam antara lain untuk menentang kecurangan
pedagang tionghoa yang menjual bahan dagangan dengan prinsip “menjual barang
busuk dengan harga murah”13. Sarekat dagang Islam inilah menjadi cikal bakal
organisasi modern pertama dan terbesar sepanjang sejarah pergerakan nasional
Indonesia yaitu Sarekat Islam (SI). Sarekat Dagang Islam mengalami masa kejayaan
ketika H.O.S Tjokroaminoto bergabung. Di bawah kepemimpinan H.O.S
Tjokroaminoto, Sarekat Dagang Islam menjadi sebuah organisasi Islam besar yang
sempat membuat pemerintah Belanda merasa khawatir jika suatu saat dapat
mengancam eksistensinya di Indonesia. H.O.S Tjokroaminoto mempunyai sebuah

11
Yasmis. Peranan Budi Utomo Dalam Meningkatkan Kesadaran Masyarakat. (Jakarta : Universitas
Negeri Jakarta) Hal. 8

12
Yasmis. Peranan Budi Utomo Dalam Meningkatkan Kesadaran Masyarakat. (Jakarta : Universitas
Negeri Jakarta) Hal. 9
13
Susilo, Agus. Politik Etis dan Pengaruhnya Bagi Lahirnya Pergerakan Bangsa Indonesia. (Lubuklinggau
: STKIP PGRI Lubuklinggau, 2018) Vol. 6 No. 2 Hal. 412

10
prinsip, berjuang untuk pembebasan bangsanya dari belenggu penjajahan. Oleh
karena itu, ia tidak pernah berhenti berjuang sampai akhir hayatnya.
Di tangan Tjokroaminoto lah, SI mengubah konsep pergerakannya dari
pergerakan di bidang ekonomi menjadi organisasi pergerakan nasional yang
berorientasi sosial politik dan kepemimpinannya beralih dari kelompok borjuis
pribumi ke kaum intelektual yang terdidik secara barat. SI didirikan atas empat pokok
pikiran yang menjadi tujuan gerakannya. Pertama, memperbaiki nasib rakyat dalam
bidang sosial ekonomi. Kedua, mempersatukan pedagang batik agar dapat bersaing.14
Ketiga, hendak mempertinggi harkat dan martabat bangsa Indonesia yang pada saat
itu sering disebut bumi putera. Keempat, memperkembangkan serta memajukan
Islam melalui pendidikan.15
Kongres Sarekat Islam Nasional dipimpin oleh H.O.S Tjokroaminoto, kata
nasional dimaksudkan bahwa Sarekat Islam menuju ke arah persatuan yang teguh
dari semua golongan bangsa indonesia.16 Dalam kongres inilah menyusun konsep
mengenai parlemen baik di tingkat pusat maupun ditingkat daerah. Kenyataan ini
memperlihat bahwa Sarekat Islam mulai melangkah ke bidang politik. Sarekat Islam
juga membentuk sebuah organisasi pusat untuk mengkoordinasi hubungan antar
cabang SI di tiap daerah dikarenakan jumlah anggota SI tiap daerah yang semakin
membludak, organisasi tersebut bernama Central Sarekat Islam (CSI) pada tahun
1916. Peran CSI adalah sebagai badan pimpinan pusat yang tidak langsung membina
anggota – anggota dan bergerak lebih banyak ditujukan kepada pemerintah kolonial
belanda secara parlemen.17
Dalam kongres – kongresnya CSI malah menunjukkan dukungannya dengan
program – program yang dicanagkan oleh pemerintah kolonial. Hal inilah yang
membuat Semaun dari kalangan sosialis yang mengkritik habis – habisan CSI, ia
menganggap CSI telah dipergunakan sebagai alat propaganda untuk pertahanan

14
Mansur. Kontribusi Sarekat Islam dalam Membentuk Masyarakat Madani Melalui Pendidikan. (Jurnal
Penelitian Sosial Keagamaan, 2013)
15
Mansur. Kontribusi Sarekat Islam dalam Membentuk Masyarakat Madani Melalui Pendidikan. (Jurnal
Penelitian Sosial Keagamaan, 2013) 409-430
16
Yasmis. Sarikat Islam Dalam Pergerakan Nasional Indonesia. (Jakarta : FIS UNJ, 2017) vol. 6 hal. 27
17
Rahmawati, Shela. Peran Tan Malaka di Sekolah Sarekat Islam Semarang. Yogyakarta : Universitas
Negeri Yogyakarta, 2016) hal. 6

11
militer yang merugikan rakyat sendiri.18 Aksi penolakan tersebut berujung pada
pecahnya Sarekat Islam dimana PKI tumbuh tahun 1920 dan Semaun menjadi
ketuanya. Konflik – konflik ideologi berkecamuk di dalam tubuh Sarekat Islam yang
mengakibatkan mundurnya organisasi Sarekat Islam.

3. Indische Partij
Indische Partiji merupakan Organisasi Modern yang bergerak di bidang
politik pertama dalam sejarah Indonesia. Pengagas organisasi ini beridiri adalah
E.F.E Douwes Dekker (Danurdirdjo Setiabudi), beliau melihat praktik perbedaan ras
dan suku bangsa antar bangsa Barat dengan keturunan Indonesia. Akhirnya Douwes
Dekker mengajak, dr. Cipto Mangunkusumo, dan Raden Mas Suwardi Suryaningrat
alias Ki Hajar Dewantara. 3 tokoh terpelajar ini mendirikan Indische Partij atau Partai
Hindia pada tanggal 25 Desember 1912. Sebagai suatu organisasi Indische Partij
harus mendapat pengakuan langsung dari pemerintah Hindia Belanda, agar
pergerakan dan perkembangan organisasi ini bisa beroperasi dengan lancar karena
keberadaannya sudah diakui oleh pemerintahan saat itu. Sayangnya, permintaan itu
terus ditolak oleh pemerintah Hindia Belanda sampai berkali – kali. Secara terang –
terangan Belanda mengatakan Indische Partij mengancam kepentingan Belanda di
bumi Nusantara, namun akhirnya sepak terjang 3 serangkai ini banyak menyita
perhatian dan membakar semangat nasionalisme kaum pribumi.
Meskipun begitu, Indische Partij tetap berjalan dengan semangat idealisme
dan perjuangannya, mereka terang – terangan menyatakan tujuan dibentuknya
Idische Partij adalah mencapai kemerdekaan Nusantara melalui jalur politik dengan
memupuk nasionalisme dan patriotisme di dalam kaum pribumi maupun bumi
putera. Indsiche Partij memakai majalah Het Tijdschrifc dan surat kabar De Expres
sebagai sarana untuk meluapkan opini – opini tajam yang ditunjukkan kepada
pemerintah Hindia Belanda. Melalui majalah dan surat kabar tersebut 3 serangkai
ditangkap oleh pemerintah Belanda karenq

18
Rahmawati, Shela. Peran Tan Malaka di Sekolah Sarekat Islam Semarang. Yogyakarta : Universitas
Negeri Yogyakarta, 2016) hal. 11

12
menulis artikel yang muatannya adalah sarkasme. Pertama, Suwardi Suryaningrat
menulis artikel yang berjudul Als ik een Nederlander was ( Andaikan aku seorang
Belanda) tulisan itu dilatarbelakangi ketika Belanda merayakan 100 tahun bebasnya
Belanda dari tangan Prancis namun dananya diambil dari pajak rakyat – rakyat
jelata.19 Akhirnya Suwardi Suryaningrat ditangkap dan mendekam di dinginnya
penjara Belanda. Kedua, dr. Cipto Mangunkusomo juga ditangkap akibat menulis
artikel yang berjudul “Kracht en Vrees” (Kekuatan dan Ketakutan). Pada artikelnya
itu Tjipto menekankan, semakin pemerintah kolonial bersikap represif pada
komitenya, perlawanan keras akan semakin tumbuh dan konsekuensinya Comite
Boemi Poetra akan terus berjuang; Hindia untuk Hindia! Pemerintah kolonial
bersikap cepat, pada 30 Juli, Tjipto, Soewardi, Sutatmo dan Wignya ditangkap. Dan,
dibuang.20
Melihat kedua kawannya di tangkap Douwes Dekker juga ikut mengkritik
dalam sebuah artikel pula yang berjudul Onze Heiden : Tjipto Mangoenkoesomo en
Soewardi Soerjaningrat (Pahlawan kita : Tjipto Mangoenkoesomo dan Soewardi
Soerjaningrat). Artikel – artikel sarkasme ini akhirnya mengantarkan 3 serangkai
diasingkan ke pulau – pulau pada tahun 1913 hingga 1919. Setelah itu 3 serangkai
terjun dalam dunia Pendidikan seperti Suwardi Suryaningrat atau Ki Hajar
Dewantara mendirikan Taman Siswa, Douwes Dekker juga mendirikan yayasan
pendidikan Ksatrian Institue di Sukabumi. Akhirnya organisasi ini dilarang
beroperasi dan tenggelam karena tidak adanya pemimpin seperti 3 serangkai yang
sebelumnya.

4. Taman Siswa
Ki Hajar Dewantara adalah seorang nasionalis yang mengenal dan memahami
jiwa dan kebudayaan bangsanya. Pada tahun 1922, Ki Hajar Dewantara dapat
menciptakan konsepsi tentang Pendidikan dan Pengajaran bagi anak-anak Bangsa
Indonesia yang sedang bergerak dan berjuang untuk mencapai kemerdekaan dan

19
Prakoso, Tyo. Indische Partij : Sebuah Narasi tentang Indonesia. (Jakarta : Universitas Negeri
Jakarta,2014) hal. 9
20
Prakoso, Tyo. Indische Partij : Sebuah Narasi tentang Indonesia. (Jakarta : Universitas Negeri
Jakarta,2014) hal. 10

13
keluhuran21. Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa jauh sebelum Indonesia
merdeka. Taman siswa didirikan tepatnya pada 3 Juli 1922.
Pendidikan bagi Ki Hajar adalah cara yang dipakai untuk meneruskan nilai-
nilai kebudayaan dari satu generasi ke generasi lain, sedangkan kebudayaan itu
merupakan semangat yang menjiwai pendidikan. Konsepsi Taman Siswa dibuat oleh
Ki Hajar Dewantara sebagai solusi menyikapi kegelisahan-kegelisahan rakyat
terhdapa keadaan pendidikan bangsa yang kurang pada saat itu. Kelahiran Taman
Siswa ini sebagai titik balik dalam pergerakan Indonesia. Kaum revolusioner yang
mencoba menggerakan rakyat dengan cara radikal pun terpaksa memberikan ruang
terhadap gerakan yang di buat oelh Ki Hajar ini. 22Adapun konsepsi Taman Siswa,
yaitu
1. Taman Indria atau biaa disebut Taman Kanak-kanak,
2. Taman Muda yang memberi Pendidikan dan Pengajaran Rendah,
3. Taman Dewasa yang merupakan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
4. Taman Madya atau Sekolah Menengah Tingkat Atas,
5. Taman Guru, yang mendidik calon guru taman indria, taman muda, dan
taman dewasa,
6. Taman Pra Sarjana yang merupakan persiapan calon guru untuk Taman
Dewasa.
Taman siswa memiliki istilah “Mil Wuri Andayani” yang memili makna
tentang pendidikan Taman Siswa yang selalu menuju kepada pertumbuhan dan
perkembangan secara harmonis. Pendidikan kecerdasan, pikiran, kesusilaan,
keindahan, dan budi pekerti, dan juga pertumbuhan dan perkembangan jasmani.
Pekerjaan tangan di Taman Siswa juga mendapat perhatian dan juga pendidikan
kesenian pun mendapat perhatian istimewa.23
Dalam Wasita Jilid I/No. 2 Edisi Novemeber 1928 yang dijabarkan dalam
buku Ki Hajar Dewantara Biografi Singkat 1889 – 1959, Ki Hajar dewantara
menyebutkan ada tujuh asas Taman Siswa. Tujuh asas tersebut anatara lain:

21
Leo Agung, T. Suparman. Sejarah Pendidikan. Yogyakarta: Ombak. 2012, hlm 28
22
Suparto Rahardjo. Ki Hajar Dewantara Biografi Singkat 1889 – 1959. Yogyakarta: Garasi. 2012, hlm 53
23
Leo Agung, T. Suparman. Sejarah Pendidikan. Yogyakarta: Ombak. 2012, hlm 30

14
1. Mengatur Diri Sendiri. Kebebasan untuk mengatur diri sendiri bukanlah
suatu kebebasan yang leluasa, melainkan kebebsan yang terbatas dan harus
berdiri bersama dengan tertib dan damai dan bertumbuh menurut kodrat.
2. Kemerdekaan Batin, Pikiran, dan Tenaga bagi Anak-anak. Pengajaran
berarti mendidik anak untuk mencari sendiri ilmu pengetahuan yang baik
untuk lahir, batin, dan umum. Oleh karena itu, guru tidak dibenarkan untuk
sellau memberi ilmu pengetahuan, tetapi juga harus mampu mendidik anak
untuk mandiri dan merdeka.24
3. Kebudayaan Sendiri. Asas ini mengandung makna bahwa pendidikan yang
tidak boleh memisahkan orang-orang terpelajar dari rakyatnya.
4. Pendidikan yang Merakyat. Pendidikan dan pengajaran harus mengena
pada segala lapisan rakyat.
5. Percaya pada Kekuatan Diri Sendiri. Kerja yang berasal dari kekuatan
sendiri dapat membantu dalam mengejar ketetinggalan seseorang dan meraih
kemerdekaan hidup.
6. Membelanjai Diri Sendiri. Segala usaha untuk perubahan harus
menggunakan biaya sendiri.
7. Keikhlasan dari Para Pendidik dan Pengajar dalam Mendidik. Dengan
ketulusan hatilah usaha pendidikan dan pengajaran dapat berhasil.
Pendidikan bagi Taman Siswa bukanlah tujuan melainkan media untuk
mencapai tujuan perjuangan, yaitu mewujudkan masyarakat Indonesia yang
merdeka lahir dan batin. Taman siswa bersifat anti-intelektualisme yang artinya siapa
pun tidak boleh mengagungkan kecerdasan dengan mengabaikan faktor-faktor
lainnya.25 Taman siswa mengajarkan asas keseimbangan yang mana intelektualitas
dan personalitas harus berjlan seimbang dalam diri individu.
Taman Siswa memiliki “Konsep Trianga” yang terdiri dari ngerti
(mengetahui), ngrasa (memahami), dan nglakoni (melakukan). Artinya, tujuan
belajar itu ialah meningkatkan pengetahuan anak didik, mengasar rasa untuk

24
Suparto Rahardjo. Ki Hajar Dewantara Biografi Singkat 1889 – 1959. Yogyakarta: Garasi. 2012, hlm 60
25
Ibid.,hlm 63

15
meningkatkan pemahaman tentang sesuatu yang diketahuinya, serta meningkatkan
kemampuan untuk melaksanakan apa yang diketahuinya.
Pendidikan Taman Siswa dilaksanakan berdasarkan Metode Among, yaitu
suatu sistem pendidikan yang berjiwa kekeluargaan dan bersendikan kodrat alam dan
kemerdekaan. Dalam sistem ini, pendidik harus meluangkan waktu kepada anak
didik sebanyak 24 jam untuk memberikan pelayanan kepada anak didik sebagaimana
yang dilakukan orang tua. Sistem Among berdasarkan cara berlakunya disebut sistem
Tut Wuri Handayani. Orientasi pendidikan dalam system ini terpaku pada anak didik,
yang dalam terminology baru disebut student centered. Pelaksanaan pendidik lebih
didasarkan pada minat dan potensi apa yang perlu dikembangkan pada anak didik,
bukan pada minat dan potensi apa yang dimiliki oleh pendidik.26
Taman Siswa dalam usaha mencapai tujuannya, mereka menyelenggarakan
gerakan kerja sama yang selaras antara tiga pusat pendidikan, yaitu keluarga,
perguruan, dan lingkungan masyarakat. Pusat pendidikan anatar satu sama lain harus
saling berkoordinasi dan saling mengisi kekurangan yang ada agar menjadi kesatuan
yang utuh. System pendidikan seperti ini disebut dnegan Sistem Trisentra Pendidikan
atau Sistem Tripusat Pendidikan.

2.4 Pembela Tanah Air (PETA)


Pendidikan pada era PETA atau Pembela Tanah Air lebih menekankan pada
pembelajaran persenjataan yang diprakasai oleh R. Gatot Mangkoepradja pada
tanggal 3 Oktober 1943. Peta dapat dikatakan menjadi cikal bakal TNI (Tentara
Nasional Indonesia). Peta merupakan kesatuan militer yang dihasilkan bentuk Jepang
di Indonesia dalam masa pendudukan Jepang. Pembentukan PETA dianggap berawal
dari surat Raden Gatot Mangkoepradja kepada Gunseikan (kepala pemerintahan
militer Jepang) pada bulan September 1943 yang antara lain berisi permohonan agar
bangsa Indonesia diperkenankan membantu pemerintahan Jepang di medan perang.
Pada pembentukannya, banyak anggota Seinen Dojo (Barisan Pemuda) yang
kemudian menjadi anggota senior dalam barisan PETA. Ada pendapat bahwa hal ini

26
Ibid., hlm 64

16
merupakan strategi Jepang untuk membangkitkan semangat patriotisme dengan
memberi kesan bahwa usul pembentukan PETA berasal dari kalangan pemimpin
Indonesia sendiri. Beberapa tokoh nasional yang tergabung dalam PETA, yaitu
Soeharto dan Soedirman.
Peta terdapat tingkatan – tingkatan yang berbeda, misalnya Daidanco
(komandan batalion) yang dipilih dari kalangan tokoh – tokoh masyarakat atau orang
– orang terkemuka seperti pemimpin agama, pegawai pemerintah, dan penegak
hukum. Cudanco (komandan kompi) untuk yang sudah bekerja tetapi memiliki
pangkat yang masih rendah seperti guru – guru, sekolah. Shodanco (komandan
peleton) yang dipilih dari kalangan pelajar sekolah lanjutan. Budanco (komandan
regu) dipilih dari kalangan pelajar tingkat sekolah dasar. Dan Giyuhei (prajurit suka
rela) untuk yang belum pernah sekolah boleh bergabung. Untuk mencapai ketingkat
perwira Peta para anggota harus mengikuti pendidikan khusus. Pendidikan tersebut
pertama kali dilaksanakan di Bogor dalam lembaga pelatihan yang diberi nama Korps
Latihan Pemimpin Tentara Sukarela Pembela Tanah Air di Jawa ( Jawa Boei
Giyugun Kanbu Kyoikuta). Setelah menyelesaikan pelatihan baru anggota Peta
ditempatkan keberbagai daidan (batalion) yang tersebar di Jawa, Madura dan Bali.27
Pendidikan yang dapat diambil dari Peta adalah pendidikan bersenjata yang
diajarkan oleh Jepang. Pendidikan persenjataan ini yang sampai sekarang Indonesia
memiliki TNI (Tentara Nasional Indonesia). Selain itu, karena rata-rata anggota Peta
merupakan seorang pelajar, Jepang menyadari masyarakat Indonesia mencapai
kemerdekaan yang membuat anggota Peta rajin berlatih dan berjiwa pemberani dan
memiliki semangat yang tinggi.

2.5 Etatisme
Etatisme merupakan keharusan untuk tunduk dan patuh pada pimpinan atau
atasan. Pengertian pemimpin itu sendiri sebagai orang yang dianut oleh orang-orang
lain untuk mencapai tujuan. Seorang pimpinan memiliki kekuasaan untuk melakukan
hal-hal yang dikehendakinya. Dalam konteks sejarah Jawa, raja adalah seorang

27
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sejarah Indonesia. (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. 2014.) Hal.32

17
pemimpin atas pemimpin-pemimpin yang lain. Pemimpin- pemimpin lain harus
tunduk kepadanya dalam berbagai tanda ketundukan. Namun, pada masa penjajahan
Jepang saat itu terjadi perubahan dalam kehidupan dalam berbangsa dan cara
berpikir sebagai persepsi suatu bangsa. Jepang seolah memberikan kebebsasan dalam
mengekspresikan impian rakyat Indonesia, namun mereka juga myadari bahwa
moncong senapan dan bayonet tentara asing ada di sekeliling mereka. Untuk itu,
ketika berbicara mengutarakan apa yang diyakini sebagai kebenaran rakyat dan
petingginya harus hati-hati untuk tidak membangkitkan kecurigaan dan kemarahan
penguasa Jepang saat itu.
Para elite pelajar saat masa Pendudukan Jepang merupakan hasil produk dari
sistem pendidikan Belanda, dalam Badan Penyelidik terdapat lapisan pemimpin lain
yang tumbuh dalam tradsisi, agama dan kultur Islam. Tidak mengherankan bahwa
dalam Badan Penyelidik itu terjadi polarisasi ataupun persekutuan. Dalam polarisasi
itu ada dua kubu yakni kaum kebangsaan dan kaum Islam. Dalam sidang Badan
Penyelidik disebutkan bahwa faktor pendidikan menentukan menentukan sekali
dalam pemahaman tentang kepemimpinan. Sebagian adari para anggota Badan
Penyelidik amat terendam dalam alam pendidikan Barat, sedangkan yang lainnya
lebih terendam dalam tradisi, entah itu tradisi etnis atau keagamaan. Pemerintah
pendudukan Jepang tidak suka terhadap segala yang benada Barat. Konsep
kepemimpinan dalam Badan Penyelidik dan tercermin dalam UUD 1945 pada
dasrnya merupakan hasil atau produk dari para pemimpin Indonesia yang pada masa
Pendudukan Jepang yang sudak masak secara intelektual. Pengaruh masa
Pendudukan Jepang berupa paham kepemimpinan dan kebudayaan melekat di hati
angkatan muda. Perbedaan yang sanat terlihat adalah alam pikiran yang berasal dari
pendidikan. Tradisi pendidikan Barat diputus pada awal masa pendududkan Jepang.
Lembaga-lembaga pendidikan tinggi ditutup, bahkan kondisi pendidikan menegah
pun pada umumnya tidak memungkinkan anak-anak belajar dengan tentram. Banyak
dari mereka memilih mencari pekerjaan daripada melanjutkan sekolah.
Etatisme pada zaman Pendudukan Jepang di Indonesia, dimana arah
pendidikan di Indonesia harus patuh pada pemerintahan Jepang dan kurikulum yang
mengagung-agungkan Jepang serta mendapatkan pembinaan dari pemerintah Jepang

18
yang bertujuan untuk membentuk kedisiplinan dan ketaatan siswa terhadap
kewajiban yang harus dilakukan setiap hari disekolah. Adapun beberapa kewajiban
tersebut seperti menyanyikan lagu kebangsaan Jepang (Kimigato) setiap hari saat
pagi hari. Kedua, mengibarkan bendera Jepang (Hinomura) serta menunduk
menghadap timur untuk menghormati Tenno Haika Kaisar Jepang di setiap paginya.
Ketiga, melakukan sumpah setia (Dai Toa) pada cita-cita Asia Raya. Keempat,
melakukan senam Jepang (Taiso) setiap pagi harinya. Kelima, pelatihan fisik ala
militer Jepang. Keenam, penggunaan Bahasa Indonesia dan Baha Jepang dalam
proses belajar-mengajar.
Pada zaman Pendudukan Jepang, pendidikan yang dikembangkan didasari
oleh spirit pembebasan dan persamaan, dalam wujud penghapusan sekolah yang
diskriminatif yang diterapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Jepang menyadari
bahwa sekolah mempunyai arti penting dalam menunjang program indoktrinasinya.
Melalui pendidikan itu mentalitas dan cara berpikir masyarakat dapat diubah dan
dialihkan, dari mentalitas Eropa kepada alam pikiran Nipon. Dari sinilah kader-kader
mulai dibentuk, terutama dari golongan muda. Hal terbaik bagi Indonesia di masa
pendudukan Jepang adalah dipakainya bahasa Indonesia dan boleh berkibarnya
bendera merah-putih. Diskriminasi rasial antara anak Indonesia dengan anak Belanda
juga dihilangkan. Sistem persekolahan pun makin terbuka. Bahasa Belanda di
sekolah tak ada lagi, berganti menjadi bahasa Jepang.
Pada masa pemerintahan pendudukan Jepang di Indonesia, Jepang
mengadakan perubahan-perubahan yang besar dengan menghapus berbagai jenis
pendidikan rendah berdasarkan golongan-golongan penduduk itu, yang ada hanya
satu jenis sekolah rendah untuk sekolah lapisan masyarakat yang disebut “Syoo-
gekkoo” (sekolah rendah) lama belajarnya 6 tahun. Selanjutnya, ada “TYUU
Gakkoo” (sekolah menengah pertama) 3 tahun “Kootoo gakkoo”. Sedangkan sekolah
pendidikan gurunya ialah “Kyoin Yoogoi Sho” (sekolah guru B) lamanya 4 tahun
dan “si han Gakkoo” (sekolah guru atas). 28
Pendidikan ala Jepang mempunyai
progravisitas dan lebih dinamis, tetapi dinamika dan progravisitas itu lebih

28
Atmoko, Dwirjo. Politik Penguasa dan Siasat Pemoeda. (Yogyakarta: Kansius), hlm 23

19
ditekankan pada physical training, bukan mental disiplin. Demokratisasi pendidikan
pada masa penjajahan Jepang juga mempunyai tujuan politis, dan tidak bersifat
dinamis.
Pendidikan pada zaman Jepang, tujuan pendidikan bukan untuk memajukan
bangsa Indonesia, tetapi mendidik anak-anak untuk dapat menunjang kepentingan
perang Jepang melawan sekutu. Berikut adalah kekurangan pendidikan zaman
Jepang yaitu:
1. Kerja bakti tanpa upah (Romusha) bagi guru rendahan,
2. Bahasa Inggris dilarang karena dianggap sebagai penghambat pengetahuan /
menjadikan pengetahuan sempit
3. Latihan kemiliteran (Kyoren) karena Jepang menanamkan semangat
kemiliteran dengan menggunduli rambut anak laki-laki. Juga dengan latihan
baris-berbaris yang menyita waktu pelajaran anak-anak di sekolah.
4. Terlalu banyak senam (Taisho) dengan tujuan mengurangi kefokusan para
siswa yang bersekolah.
5. Kewajiban melakukan Seikerei yakni membungkukan badan ke arah Tokyo
Berikut adalah keuntungan pendidikan zaman Jepang yaitu:
1. Dibukanya sekolah rakyat dengan jangka waktu belajar selama 6 tahun
2. Diperbolehkan pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar
3. Diperbolehkannya mengibarkan bendera merah putih disekolah
4. Senam pagi (Taisho) yang bisa menyehatkan tubuh.
Dari zaman pendudukan Jepang, lebih banyak dokumentasi foto yang
menggambarkan anak sekolah baris-berbaris ketimbang belajar fisika, sastra, bahasa,
sejarah, matematika, biologi, atau yang lainnya. Bagi militer negara matahari terbit
itu, latihan baris berbaris memang latihan terpenting untuk menempa disiplin. Anak-
anak dididik agar selalu melaksanakan perintah atasan dengan tepat dan rapi.
Sementara itu, ilmu pengetahuan jadi terabaikan karena sedikitnya proses belajar
yang diakibatkan terpotongnya waktu belajar. Pagi-pagi yang seharusnya jadi waktu
yang segar untuk menyerap pelajaran sudah diganggu dengan taisho (senam), lalu
terpotong lagi dengan seikirei (membungkukkan badan ke arah Tokyo untuk
mengormati Dewa Jepang). Belum lagi ada latihan baris-berbaris atau perang-

20
perangan siang harinya. Fisik anak-anak tentu semakin terkuras, padahal waktu itu
nutrisi pangan masih minim.
Guru-guru pun terbatas, hanya terdiri dari guru Indonesia dan Jepang.
Sebagian guru kompeten sepertiorang Belanda seringkali tidak mengajar lagi karena
harus masuk kamp interniran. Guru-guru Jepang biasanya mengajar bahasa Jepang
atau olahraga. Kebanyakan siswa sekolah menengah yang tadinya sekolah di zaman
Belanda tidak terbiasa memakai bahasa Jepang, sehingga kerap memakai bahasa
Indonesia. Masalah besar akan muncul ketika guru mata pelajarannya orang Jepang
yang tak bisa berbahasa Indonesia, sementara murid-muridnya belum fasih berbahasa
Jepang. Ini membuat para siswa kesulitan memahami bahan pelajaran. Belum lagi
jika melihat kualitas guru. Karena guru dari Belanda tak mengajar, sekolah-sekolah
kekurangan guru bidang eksakta. Maka, mahasiswa-mahasiswa kedokteran tingkat
empat ikut membantu mengajar eksakta atau ilmu pasti di sekolah-sekolah.
Kondisi memprihatinkan ini berlanjut setelah Jepang pergi. Karena pada
kurun 1945-1949 Indonesia mengalami perang kemerdekaan melawan Belanda dan
Sekutu, dan anak-anak Indonesia pun belajar di antara peperangan. Meski masih ada
tradisi baris-berbaris dan upacara yang dipertahankan hingga sekarang, di zaman
perang kemerdekaan itu tak ada lagi yang mewajibkan anak-anak sekolah selalu
berbaris ala militer seperti pada pendudukan Jepang. Selepas pendudukan Jepang,
anak-anak sekolah menengah tak berlatih perang-perangan, melainkan turun di
medan perang sungguhan.
Barisan dari sistem etatisme yang masih berlangsung saat ini adalah upacara
bendera, baris-berbaris setiap pagi sebelum masuk kelas dan mengadakan senam
bersama biasanya diadakan Jumat pagi untuk anak SD.

21
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pada era pergerakan nasional ini pendidikan memegang peranan penting,
dimulainya dari politik etis yang menjadi gerbang bagi para kaum pribumi dalam
memperoleh pendidikan, muncul STOVIA yang merupakan salah satu sekolah
program politik etis, sekolah inilah yang melahirkan banyak pejuang – pejuang
muda. Selanjutnya timbullah organisasi – organisasi modern yang berbasis massa
yang turut ikut serta andil dalam kemerdekaan Indonesia. Hingga sistem Etatisme
Jepang yang dikenal taat akan pemimpin.
Pendidikan di era pergerakan nasional menjadi tonggak awal Indonesia dalam
mencapai kemerdekaan, sistem – sistem pendidikannya merubah pola pikir
masyarakat – masyarakat pribumi saat itu sehingga melek akan penindasan yang
mereka alami selama ini.

22
LAMPIRAN PERTANYAAN

1. Latar belakang apa yang membuat van Deventer mencetuskan politik etis?
Bagaimana respon dari Masyarakat dan pemerintahan kolonial pada saat itu ?
2. Kenapa taman siswa disebut juga sebagai titik balik dalam pergerakan nasional?
3. Apa peran stovia yang sangat berpengaruh terhadap adanya generasi bangsa yang
berketrampilam dan berpengetahuan ?
4. Apa saja semangat organisasi - organisasi pendidikan pada zaman pergerakan
nasional yang harus kita warisi hingga saat ini?
5. Mengapa hanya tokoh atau orang – orang terkemuka saja yang dapat menempati
daidanco dalam PETA?
6. Apakah sistem etatisme masih berjalan pada pendidikan di Indonesia saat ini? Apa
wujud dari sistem ini?

23
DAFTAR PUSTAKA

Atmoko, Dwijo. Politik Penguasa dan Siasat Pemoeda. Yogyakarta: Kansius. 1994.

Graves, Elizabeth E. 2007. Asal-Usul Elite Minangkabau Modern Respons terhadap


Kolonial Belanda Abad XIX/XX. Edisi 1. Diterjemahkan oleh: Novi Andri, Leni
Marlina, Nurasni. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sejarah Indonesia. Jakarta: Kementerian


Pendidikan dan Kebudayaan. 2014.

Leo Agung, T. Suparman. Sejarah Pendidikan. Yogyakarta: Ombak. 2012.

Mansur. 2013 Kontribusi Sarekat Islam dalam Membentuk Masyarakat Madani Melalui
Pendidikan. (Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan)

Prakoso, Tyo. 2014. Indische Partij : Sebuah Narasi tentang Indonesia. Jakarta :
Universitas Negeri Jakarta

Rahmawati, Shela.2016. Peran Tan Malaka di Sekolah Sarekat Islam Semarang.


Yogyakarta : Universitas Negeri Yogyakarta.

Rosihan, Anwar. 2009. Sejarah Kecil “ Petite Histoire" Indonesia. Jakarta:Kompas.

Sugiharsono, dkk. 2008. Ilmu Pengetahuan Sosial. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen
Pendidikan Nasional.

Suparto Rahardjo. Ki Hajar Dewantara Biografi Singkat 1889 – 1959. Yogyakarta:


Garasi. 2012.

Susilo, Agus. 2018 Politik Etis dan Pengaruhnya Bagi Lahirnya Pergerakan Bangsa
Indonesia. Lubuklinggau : STKIP PGRI Lubuklinggau.

Yasmis. Peranan Budi Utomo Dalam Meningkatkan Kesadaran Masyarakat. Jakarta :


Universitas Negeri Jakarta

Yasmis. 2017. Sarikat Islam Dalam Pergerakan Nasional Indonesia. Jakarta : FIS
Universitas Negeri Jakarta

24
Vikasari, Melinda. 2012. Pengaruh Politik Etis Terhadap Perkembangan Pendidikan di
Indonesia tahun 1901 – 1942.

25

Anda mungkin juga menyukai