JURNAL
Diterbitkan oleh:
BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA
Jl. Ir. H. Juanda No. 36 Jakarta Pusat 10120
Telp. 021-3458400 Fax. 021-3458500
BNPB www.bnpb.go.id
Email : contact@bnpb.go.id
Facebook : www.facebook.com/infobnpb
Twitter : @BNPB_Indonesia
http://twitter.com/BNPB_Indonesia
Youtube : BNPBIndonesia
http://www.youtube.com/user/BNPBIndonesia
TERBITAN
TERBITANBERKALA
BERKALABADAN
BADANNASIONAL
NASIONALPENANGGULANGAN
PENANGGULANGANBENCANA
BENCANA
JURNAL PENANGGULANGAN BENCANA
Terbit 2 kali setahun, mulai Oktober 2010
Pembina:
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana
Penasihat:
Sekretaris Utama BNPB
Mitra Bestari
Prof. DR. Sudibyakto / Geologi dan Lingkungan
Prof. DR. Ir. H. Sarwidi MSCE, Ph.D / Teknik Sipil dan Rekayasa Struktural
Pelaksana Redaksi:
Ario Akbar Lomban, SE, Linda Lestari, S.Kom, I Gusti Ayu N, M.Si, Sulistyowati, SE,
Sri Dewanto Edi P, S.Si, Suprapto, S.Si, Nurul Maulidhini ST,
Ignasius Toto Satrio, Theophilus Yanuarto, S.S
Alamat Redaksi:
Pusat Data Informasi dan Humas
Badan Nasional Penanggulangan Bencana
Jln. Ir. H. Juanda, Nomor 36 Jakarta 10120 Indonesia
Telp. 021-3458400; Fax. 021-34558500, Email: redaksijurnal@bnpb.go.id
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas karunia-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan penerbitan Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1 pada bulan Juni 2012.
Dalam edisi ini, dimuat makalah yang berkaitan dengan Kontestasi Pengetahuan dan Pemaknaan
Tentang Ancaman Bencana Alam, dilakukan untuk bencana letusan Gunung Merapi. Materi selanjutnya yang
tersaji adalah Bencana Sedimen di DAS Bawakaraeng dan perhitungan ambang batas hujan penyebabnya.
Bagaimana kondisi mental seorang anak dalam menghadapi bencana dapat ditemukan pada materi ketiga di
jurnal ini. Edisi Jurnal Penanggulangan Bencana kali ini juga menampilkan Analisis Potensi Bencana Abrasi
dan Tsunami di Pesisir Cilacap. Jurnal akan ditutup dengan materi mengenai Aplikasi SSOP Bantal, sebuah
aplikasi dari Kementerian Kehutanan untuk memantau bencana banjir dan tanah longsor. Untuk lebih
meningkatkan hasil publikasi ilmiah mengenai penanggulangan bencana, kami atas nama Dewan
Redaksi Jurnal Penanggulangan Bencana mengundang para ahli penanggulangan bencana untuk
mengirimkan makalah ilmiah untuk diterbitkan pada jurnal edisi selanjutnya.
Kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penerbitan jurnal edisi ini, kami mengucapkan banyak
terima kasih.
i
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012
Daftar Isi
Kontestasi Pengetahuan dan Pemaknaan Tentang Ancaman Bencana Alam (Studi Kasus
Ancaman Bencana Gunung Merapi)
Syamsul Maarif, Rudy Pramono, Rilus A. Kinseng, dan Euis Sunarti .....................................1
Ambang Batas Curah Hujan untuk Bencana Sedimen di Kaldera Bawakaraeng, Sulawesi Selatan
Hasnawir ....................................................................................................................................14
Aplikasi “SSOP BANTAL” Berbasis DAS untuk Penanggulangan Banjir dan Tanah Longsor
Harry Santoso ...........................................................................................................................43
ii
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012
Oleh:
Syamsul Maarif1, Rudy Pramono2, Rilus A. Kinseng3, Euis Sunarti4
Abstract
A local community has its own knowledge and mechanism in order to cope
environment surrounds for survival purposes. The knowledge and mechanism are
known as local wisdom. In other hands, the knowledge and mechanisms developed
the community will confront with knowledge and mechanism from other communities
(outsiders). This will probably create contestation on the different knowledge and
mechanisms between the local community and outsiders in order to respond
phenomena.
In facing natural phenomena, in this case Mount Merapi, there was a
contestation between the local community and outsiders. Moreover, the contestation
itself occurred within the community around Mount Merapi. How the contestation
occurred, who were involved, and what implications towards the process of disaster
management are questions that will answered in this research.
1
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012
2
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012
3
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012
yang aman. Bagi penduduk desa yang tinggal pada kemampuan atau kesaktian sang Juru
di lereng Gunung Merapi maupun penduduk Kunci sehingga merasa dilindungi, sedangkan
Yogyakarta, letusan bukanlah sebagai bencana. orang-orang yang tinggal jauh dari Kinahrejo
Letusan gunung Merapi dipahami sebagai meskipun tinggal di jarak yang sama dari
peringatan dari dunia supranatural (Schlehe, kawah, memiliki tingkat kepercayaan yang
1996). Akibat kepercayaan ini banyak orang semakin kurang terhadap kesaktian sang Juru
yang tinggal dekat dengan sungai Boyong Kunci.
dan Gendol tidak merasa takut. Kegiatan rutin Kontestasi pengetahuan lokal dan
gunung berapi ini telah benar-benar terintegrasi modern tentang merapi dalam studi ini dapat
dalam kehidupan sehari-hari, dan telah menjadi dilacak melalui interaksi agen-agen penting
bagian informal bagi rakyat yang tinggal disitu. yang terlibat dalam memberikan wacana
Gunung Merapi telah dipersonifikasikan sebagai tentang Merapi dan aktivitasnya dalam fase
“Mbah Merapi”; Mbah berarti kakek atau nenek, erupsi. Sepanjang peristiwa Erupsi Merapi
milik dunia manusia. Alih-alih dianggap sebagai 2006 dan 2010 beberapa aktor penting yang
sumber bahaya, gunung berapi diangap sering terlibat dalam kontestasi wacana gunung
sebagai milik umum yang dihormati oleh semua merapi, secara umum dapat dibagi dalam
penduduk desa. Istilah Jawa wedhus gembel dua kelompok besar yaitu kelompok yang
(aliran piroklastik) dianggap sebagai kurang membangun wacana berdasarkan pengetahuan
sopan bagi sebagian orang. Mereka melakukan lokal dan kelompok yang membangun wacana
“koreksi” dengan mengatakan bahwa Merapi berdasarkan ilmu pengetahuan modern.
sedang buang hajad. Dalam ekspresi bahasa Aktor penting yang terlibat dalam
Indonesia, yaitu untuk membuang kotoran, membangun wacana dan tindakan
seperti yang dilakukan manusia. berdasarkan pengetahuan lokal yaitu Mbah
Di lereng Gunung Merapi, masyarakat Marijan. Mbah Maridjan, juru kunci Merapi
lokal menaruh kepercayaan mereka pada tokoh merupakan salah satu orang yang tetap
informal yang menjadi Juru Kunci lokal , Mbah bersikukuh tinggal di rumah, meskipun
Marijan. Selama letusan Merapi terakhir pada rumahnya di Dusun Kinahrejo hanya berjarak
bulan April 2006, Mbah Marijan menolak untuk lima kilometer dari puncak Merapi. “Saya
mengungsi meski ia mendukung evakuasi untuk masih kerasan dan betah tinggal di sini. Kalau
orang lain. Ia berhubungan dengan roh leluhur ditinggal nanti siapa yang mengurus tempat
sembilan (pepundhen) setelah 3 hari meditasi ini,” kata Mbah Maridjan. Meskipun demikian,
untuk meminta agar Gunung Merapi membatasi pria bernama asli Mas Penewu Suraksohargo
tingkat kerusakan. Juru Kunci ini hampir 80 ini justru meminta warga menuruti imbauan
tahun terus menerus menerima pengunjung pemerintah. “Saya minta warga untuk
untuk mencari informasi tentang gunung di menuruti perintah dari pemerintah, mau
rumahnya yang berada di dusun Kinahrejo, desa mengungsi ya monggo,” kata dia. Mbah
Umbulharjo Kec. Cangkringan. Mbah Marijan Maridjan justru berpendapat, jika ia pergi
ditunjuk oleh Sultan untuk melaksanakan mengungsi, dikhawatirkan warga akan salah
“ruwatan/perawatan” tahunan kepada gunung menanggapi lalu panik. Mereka dikhawatirkan
berapi, tradisi abad-lama (Triyoga, 1991). mengira kondisi Gunung Merapi sedemikian
Keberadaan rumah Mbah Marijan selaku Juru gawat. “Sebaiknya kita berdoa supaya Merapi
Kunci Gunung Merapi di Dusun Kinahrejo tidak batuk,” kata dia. Warga juga diimbau
menjelaskan penolakan untuk mengevakuasi memohon keselamatan pada Tuhan, agar
penduduk dusun tersebut sebelum letusan pada tak terjadi yang tak diinginkan kalau nantinya
tahun 2006, meskipun pihak yang memegang Merapi benar-benar meletus. Pengetahuan
otoritas telah memerintahkan untuk dievakuasi. tentang kapan Merapi meletus menurut
Orang-orang yang hidup dekat dengan wilayah Mbah Maridjan mengaku tak tahu. Apalagi,
Kinahrejo memiliki kepercayaan yang kuat ia tak punya alat canggih seperti yang
4
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012
dimiliki Badan Vulkanologi. “Hanya Tuhan yang merupakan pejabat pemerintah yang tuturnya
tahu kapan Merapi akan meletus. Saya tidak dianggap sama dengan pejabat lainnya:
punya kuasa apa-apa,” jawab dia. Sikap serupa memohon warga agar lekas mengungsi. Oleh
ditunjukkan Mbah Maridjan ketika Merapi sebab itu, meskipun ia adalah seorang abdi
mengalami erupsi pada tahun 2006. Saat itu, dalem, ia tidak wajib patuh pada Sultan yang
ia menolak untuk mengungsi meski dibujuk sekarang ini menjabat Gubernur DIY. Hal
langsung oleh Sultan Hamengku Buwono X tersebut karena Mbah Maridjan menganggap
dan dijemput dengan mobil evakuasi. hanya wajib mengindahkan “kata/instruksi”
Pilihan Mbah Maridjan ditanggapi almarhum Sultan Hamengku Buwono IX,
berbeda oleh masyarakat. Ada yang pro dan ayah Sultan Hamengku Buwono X, yang
kontra. Hari itu Mbah Maridjan mengatakan, mengangkatnya sebagai juru kunci Gunung
dia tetap tinggal di rumah, menepati janjinya Merapi, serta memberinya gelar Raden
terhadap Raja Yogyakarta Sri Sultan Ngabehi Suraksohargo 28 tahun silam. Dengan
Hamengku Buwono IX yang mengangkatnya, kematian mbah Maridjan, yang “yakin dan
sambil berdoa untuk keselamatan warga. ambil risiko” untuk tetap tinggal di rumahnya
Aksi itu dianggap sebagian orang semacam walaupun mbah Rono telah mengumumkan
pembangkangan Mbah Maridjan disebabkan bahwa penduduk di sekitar Merapi harus turun
oleh penolakan terhadap peringatan supaya gunung untuk mengungsi, maka hilanglah salah
warga di sekitar Merapi mengungsi lantaran satu aktor utama yang merepresentasikan
gunung ini telah ditentukan berstatus Awas. pengetahuan lokal tentang Merapi.
Penolakan pertama dijalankan Mbah Maridjan Di lain pihak, aktor penting yang menjadi
pada Mei 2006. Saat Merapi meletus pada Mei representasi dari wacana mengenai merapi dan
2006, aparat pemerintah termasuk penguasa aktivitasnya yang berdasarkan pengetahuan
Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku modern adalah Surono. Dia dijadikan
Buwono, memohon masyarakat Desa Kinahrejo rujukan utama untuk mengetahui aktivitas
agar mengungsi. Akan tetapi, Mbah Maridjan gunung Merapi berdasarkan prinsip-prinsip
justru berdiam di pelataran Srimanganti yang pengetahuan ilmiah atau modern. Pria yang
berlokasi di punggung selatan Merapi. Ia pun mempunyai gelar sarjana fisika dari ITB itu
tidak tersentuh awan panas. Akibatnya, dari adalah Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi
19 kepala keluarga atau 84 jiwa penduduk Bencana Geologi (KPVMBG) Kementerian
di Dusun Kinahrejo, tidak terdapat seorang Energi Sumberdaya Mineral (ESDM). Jika
pun yang mengungsi. Mulai anak-anak balita Mbah Maridjan dianggap tahu seluk beluk
sampai orang tua yang telah renta tetap Merapi karena menjadi juru kunci yang
mempertahankan diri di rumah mereka sembari dipilih oleh Sultan Hamengkubowon IX, dan
berdoa meminta perlindungan Tuhan seperti menggunakan pengetahuan lokal yang berbau
diserukan Mbah Maridjan. mistik dan klenik, maka Surono mengetahui
Namun dalam kejadian erupsi Merapi seluk beluk Merapi karena pengetahuan dan
tahun 2010 kakek berusia 83 tahun itu ditemui data-data yang dimiliki mengenai aktivitas
di antara reruntuhan rumahnya dalam kondisi gunung Merapi selama ini yang didukung oleh
tidak bernyawa oleh relawan Tim SAR pada peralatan modern. Surono yang sering dipanggil
Rabu (27/10) 06.05 WIB. Ia diketahui di kamar mbah Rono, adalah orang yang bertanggung
mandi rumahnya di dalam posisi sujud. Lelaki jawab terhadap penentuan status Merapi. Dan
yang mempunyai enam orang cicit itu meninggal mungkin mbah Rono adalah sedikit dari orang
ketika menjalankan tugasnya sebagai juru Indonesia yang mengetahui dan mendalami
kunci Gunung Merapi. Mbah Maridjan dua kali ilmu “kegunungan” di Indonesia. Mbah Rono
menolak perintah Sultan Hamengku Buwono bukan hanya tahu tentang Merapi, juga Kelud,
X buat mengevakuasi diri dari Desa Kinahrejo. Semeru dan gunung-gunung yang lain. Tentu
Buat Maridjan, Sultan Hamengku Buwono X saja Mbah Rono juga tidak dapat mengetahui
5
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012
dengan pasti kapan Gunung Merapi akan perubahan ini. Dia telah secara aktif berpartisipasi
meletus. Namun, dari data aktifitas Merapi dalam keberhasilan evakuasi pada tahun
yang ia terima, ia bisa mengisyaratkan bahwa 2006, karena ia menjelaskan perlunya untuk
tanda-tanda Merapi akan meletus sudah mengevakuasi penduduk setempat atas saran
terlihat dengan jelas, dan menjadi tanggung dari Juru Kunci itu. Rumah Sultan di Kaliurang
jawabnya untuk menurunkan atau menaikkan (Sanggrahan) seharusnya melindungi desa. Hal
status Merapi. Untuk menghindari korban yang ini diyakini telah dialihkan pada tahun 1994 (aliran
lebih banyak, tentu memerlukan kehati-hatian piroklastik dialihkan ke desa Turgo), dimana
dalam menentukan status Merapi itu. masyarakat lokal merasa dirinya dilindungi
Mbah Maridjan bisa dikatakan merupakan oleh kekuatan yang lain yang berasal dari situs
elite lokal yang merepresentasikan pengetahuan suci, yakni makam syekh Maulana Kubro di
lokal masyarakat yang tinggal di lereng Merapi puncak bukit Turgo. Hal ini menunjukkan bahwa
terhadap ancaman bencana, sedangkan Sultan masyarakat lokal sesungguhnya menyadari
merupakan elite lokal yang memegang otoritas adanya bahaya gunung berapi di lingkungan
budaya lokal dan sekaligus elite formal yang mereka, tetapi hanya sedikit dari mereka yang
memegang jabatan formal di pemerintahan. menganggapnya sebagai risiko bagi diri mereka
Masyarakat yang tinggal di lereng Merapi sendiri.
dan pemerintah sejak lama memiliki rujukan Alasan utama adanya kesenjangan
yang berbeda tentang ancaman Merapi dan pemahaman antara bahaya aktual dan bahaya
sejak lama pula perbedaan ini tidak pernah yang diketahui terkait dengan rujukan sumber
dipertemukan sebagai modal membangun informasi tentang suatu bahaya dan risiko. Di
skema penanggulangan bencana yang lebih Jawa, pengetahuan bahaya ditularkan melalui
komprehensif. Dove (2007) menyebutkan berbagai sumber, baik dari luar atau dari dalam
bahwa penduduk desa yang hidup di sekitar desa yang berisiko. Pihak-pihak luar yang terlibat
Merapi membangun sistem kepercayaan dalam transmisi pengetahuan adalah guru,
agama, dan praktik-praktik ekologis, yang wartawan atau pihak berwenang setempat. Aktor
“mendomestifikasi” ancaman bahaya vulkanik. internal meliputi para tua-tua, yang memiliki lebih
Penduduk desa melihat letusan Merapi sebagai banyak kesempatan daripada orang muda untuk
faktor pengubah, seringnya dilihat sebagai menyaksikan letusan gunung berapi di masa
faktor pengubah menuju kondisi yang lebih baik. lalu atau pernah mendengar tentang letusannya
Sementara agen pengetahuan modern melalui dari nenek moyang mereka. Dari mereka-
pemerintah, di sisi lain, menteknologisasi dan mereka inilah pengetahuan bahaya risiko yang
mengeksotisasi ancaman vulkanik, dan karena sebenarnya mengancam dapat ditularkan dan
itu secara konseptual dan material melepaskanya diajarkan. Rasa aman masyarakat lokal juga
dari dunia masyarakat. Negara memfokuskan meningkat dengan dibangunnya beberapa
perhatiannya secara eksklusif pada momen- fasilitas penanggulangan teknis terhadap
momen langka terjadinya aktivitas vulkanik bahaya vulkanik, misalnya drainase terowongan
tinggi, sementara masyarakat melihatnya lebih keluar dari danau kawah, tanggul beton
banyak pada periode singkat ketika aktivitas sepanjang tepi sungai rawan lahar meluap,
semacam itu sedikit atau bahkan tidak ada bendungan perlindungan (SABO), teknologi lain
(Dove 2007:329, Lavigne, De Coster, Juvin, termasuk tindakan mitigasi yang meningkatkan
Flohic, Gaillard, Texier, Morin, Sartohadi 2008). keselamatan. Hal ini dapat mengakibatkan
Sejak lama memang ada pengalaman ekologis mereka terlalu percaya diri (Adams, 1995).
yang berbeda antara negara dan masyarakat
dalam memandang ancaman Merapi. 4. Pemaknaan tentang Ancaman Merapi
Sultan Yogyakarta, yang mewakili
hubungan antara tradisional dan modernitas, Dalam konteks bencana Merapi,
mungkin telah memainkan peran penting dalam memang sejak lama hubungan antar elite
6
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012
lokal yang memiliki pengaruh besar dalam pandangan pemerintah dan masyarakat untuk
mengkonseptulisasi ancaman Merapi tidak membangun skema penanggulangan bencana
sejalan satu sama lain. Elite-elite lokal yang Merapi yang lebih komprehensif. Satu contoh
berpengaruh dalam konteks Merapi adalah elite- bisa disebutkan disini; riset Donovan (2009)
elite budaya. Di satu pihak elite lokal melihat sebenarnya sudah melihat bahwa satu faktor
Merapi bukan sebagai ancaman yang serius kuat bagi masyarakat lereng Merapi adalah
karena Merapi sudah menjadi bagian kehidupan ketergantungan mereka pada ternak. Ternak
sehari-harinya. Pandangan yang sering disebut merupakan satu-satunya investasi penting
pandangan tradisioal oleh elite ini tidak dapat bagi orang desa di sekitar Merapi, maka ketika
diabaikan dan memang memiliki banyak kebutuhan untuk melindunginya bercampur
pendukung. Karena itu, banyak pula warga dengan kepercayaan bahwa desa mereka aman
lereng Merapi yang memiliki konseptulisasi karena skema lahar dan letusan Merapi selama
seperti yang diyakini sebagian elite ini. ini masih dalam jangkauan yang bisa diprediksi,
Kontestasi pemaknaan tentang ancaman orang-orang desa ini melihat bahwa tidak ada
Merapi dapat lilihat dalam kontestasi yang terjadi alasan untuk mengevakuasi diri. Karena hal ini
antara Sultan di satu sisi yang lebih bersikap pula, ketika pada letusan-letusan sebelumnya,
modern dan rasional, dengan Juru Kunci Gunung pemerintah menyediakan alat angkut bagi
Merapi, yaitu Raden Panewu Sulaksohargo warga kembali ke rumah mereka untuk memberi
atau yang populer disebut Mbah Maridjan di makan ternak. Meskipun kenyataan ini sudah
sisi yang lain. Sultan dan Mbah Maridjan dua- banyak diketahui tetapi anehnya pada letusan
duanya merupakan elite kultural yang memiliki kali ini, pemerintah terlihat gagap menghadapi
pengaruh dalam membangun konsepsi tentang warga yang bersikukuh untuk kembali ke rumah
ancaman Merapi. Selain memegang otoritas mengurus ternak mereka. Pemerintah tidak
budaya, Sultan juga merupakan elite politik menyiapkan skema jauh hari sebelumnya untuk
antara lain sebagai gubernur DIY. Perbedaan mengevakuasi ternak-ternak korban Merapi
konsepsi ancaman Merapi antara dua elite ini (Donovan 2009:125).
mengemuka pada erupsi Merapi tahun 2006 Hal ini juga berparuh pada tahap
yang lalu. Mbah Maridjan sebagai abdi dalem tanggap darurat seperti yang disimpulkan
keraton Yogyakarta yang seharusnya tunduk dalam studi Johari (2011) yang melihat elite
pada titah sang raja menolak himbauan sultan lokal pemerintahan yang sekaligus elite
untuk mengungsi. Mbah Maridjan mengatakan kekuasaan tradisional gagap dan tidak cepat
bahwa ia hanya tunduk pada Sultan HB dalam menangani korban Merapi meskipun
IX, sedangkan himbauan Sultan HB X itu di permukaan banyak pernyataan kepedulian
dianggapnya sebagai seruan seorang gubernur yang besar. Justru warga masyarakat yang
daripada titah sang raja. memiliki inisiatif dan lebih cekatan dalam
Meskipun Merapi sering meletus tetapi menangani korban bencana. Hal ini juga
elite tidak pernah benar-benar bisa dipertemukan ditegaskan oleh studi yang dilakukan oleh
untuk meletakkan ancaman letusan Merapi Yusdani (2011:58) atas warga Merapi pasca
sebagai bagian dari kesadaran hidup bersama. erupsi, yang menunjukkan bahwa informasi
Titik-titik pengungsian dan jalur evakuasi tentang status Merapi bagi masyarakat adalah
memang dipersiapkan tetapi tampaknya yang disampaikan oleh pemerintah. Namun,
paradigma yang mendasarinya masih soal informasi yang diserap oleh warga ternyata tidak
emergensi. Ini tentu saja terkait dengan optimal, karena tidak adanya agen pemerintah
pandangan umum yang mengatakan bahwa di tempat saat terjadi erupsi merapi. Sebaliknya,
letusan Merapi umumnya berbentuk guguran informasi pokok seputar status Merapi dan
lava pijar dan jalur-jalur lahar sudah tersedia tatakelola bantuan lebih banyak dilakukan oleh
sejak lama. Adanya letusan atau ekplosif besar para relawan, lembaga komunitas dan lembaga
Merapi tampaknya memang belum menjadi swadaya masyarakat.
7
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012
5. Pengelolaan Risiko Merapi akan turun. Atau jika ada suara kemrosok di
Masyarakat Lokal atas maka itu tanda ada lahar dingin turun.
Singkatnya, di Kepuharjo ini ada hubungan
Dalam menghadapi kejadian-kejadian yang intim antara msyarakat secara sosial-
yang dapat menghilangkan harta benda ekonomi dan budaya dengan Gunung Merapi.
atau nyawa kerabat akibat erupsi Merapi, Interaksi antara masyarakat dan lingkungan
masyarakat cenderung tidak memberontak alam Merapi yang telah terbangun berabad-
terhadap penderitaan diri dan keluarga yang abad ini sebenaranya merupakan potensi yang
berkepanjangan tanpa solusi. Sebaliknya dalam perlu dijadikan dasar untuk pemulihan pasca
kepasrahan diri dan bersikap “nrimo”, mereka bencana. Hal ini juga dinyatakan oleh Carik
berpandangan bahwa pergumulan hidup masa Glagahharjo yang sepanjang hidupnya dilakoni
kini dan mendatang berada dalam tangan di sekitar Merapi. Ia mengatakan:
sang “Gusti”. Hal itu memampukan mereka “Kami sudah hidup dengan merapi
untuk bersikap tabah dan tawakal. Keyakinan sejak lahir, kami terikat dengan tanah kami
dan sikap ini diuji pada waktu mereka benar- di sini, dan kami sadar akan bencana yang
benar menghadapi kejadian erupsi Merapi, mengancam kami. Namun, kami juga tahu
misalnya pada tahun 2010 yang lalu. Kasus bagaimana menyikapi bencana. Karena sulit
erupsi merapi tersebut menunjukkan bahwa bagi kami kalau diminta meninggalkan tanah
prinsip yang “ideal” itu tidak sepenuhnya kelahiran kami ini..apapun risikonya kami akan
dapat mereka praktekan dalam keseharian tetap kembali dan hidup di sekitar merapi ini…”
mereka. Studi yang dilakukan oleh Agustina (Pak Carik Anglo Glagah Harjo)
dkk (2011:27), misalnya, menunjukkan bahwa Menurut Pak Carik, masyarakat di
dalam menghadapi situasi pasca erupsi Merapi, Glagahharjo, khususnya di Srunen dan
warga belum mampu sepenuhnya bersikap sekitarnya, sudah paham dan sadar hidup
sabar atas musibah yang dialami tersebut. di sekitar Gunung Merapi yang masih aktif,
Menurut Kepala Desa Kepuharjo sehingga mereka juga sadar akan menjadi
masyarakat pada dasarnya sudah memahami wilayah korban pertama jika ada bencana dari
dan mengerti risiko hidup di sekitar Gunung Gunung Merapi. Setiap keluarga secara turun
Merapi. Sudah dari nenek moyang dulu temurun diberitahukan adanya risiko bencana
masyarakat secara turun temurun bergantung ini. Kehidupan yang intim dengan Merapi juga
hidup dan dihidupi dari ekologi Merapi. terjadi karena kebutuhan hidup dan kehidupan
Hubungan manusia dengan alam inilah yang mereka mempunyai hubungan yang kuat
kemudian membentuk hubungan sosial, dengan alam di sekitar Merapi. Sebab itu,
nilai, norma dan budaya masyarakat yang masyarakat meyakini memiliki “insting” sendiri
kemudian menjadi tradisi yang dipraktekkan menghadapi bahaya bencana Merapi.
dalam kehidupan sehari-hari. Bagi masyarakat Hal inilah yang menjadi dasar, mengapa
Kepuharjo, Gunung Merapi itu kadang dianggap mereka menolak relokasi dari program
sebagai sahabat dan kadang sebagai musuh. Rekompak. Sebab kalau memang kawasan
Jika sedang menjadi musuh, masyarakat harus KRB III itu bertujuan untuk “meminimalisir
menjauh dan mengungsi. Namun sebagai korban” dari bencana Merapi, terbukti bahwa
sahabat mesti didekati. Hingga sekarang, dalam erupsi tahun 2010 lalu, tidak ada satupun
menurut Pak Lurah, masyarakat masih korban dari daerah ini. Hal ini menjadi dasar
memiliki sistem pengetahuan lokal soal mitigasi kuat bagi masyarakat bahwa mereka “taat
bencana, khusunya Gunung Merapi. Misalnya, aturan pemerintah untuk mitigasi bencana”.
jika ada kilatan-kilatan terjadi di puncak gunung, Saat aturan pemerintah mengharuskan semua
maka kemungkinan mbleduknya tinggi, dan mesti mengungsi dan turun gunung, mereka
masyarakat harus mengungsi. Kalau dulu turun mengungsi secara cepat. Mereka sadar
masih banyak hewan, maka pasti mereka jika bencana tersebut akan menghabiskan
8
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012
harta benda yang mereka usahakan dan miliki Marijan yang saat ini sebagi juru kunci
selama ini. Itu sudah risiko, tetapi akan bisa Merapi).
dibangun lagi. Selain sikap hidup yang “nrima” tersebut,
Maka tidak mengherankan, ketika belum rasa kebersamaan dan guyub-rukun serta
genap dua bulan pasca Merapi meletus, tolong menolong antar sesama yang masih
sudah banyak warga desa ini yang mulai kuat, merupakan faktor pendorong yang penting
membersihkan dan memperbaiki rumah bagi cepatnya pemulihan dan kebangkitan
mereka. Menurut Pak Carik, sekitar bulan masyarakat dari bencana erupsi Merapi ini.
keempat dan kelima masyarakat sudah
banyak yang kembali menghuni rumah mereka 6. Pilihan Hidup Nyaman atau Aman
(meski ala kadarnya) di wilayah Srunen dan
sekitarnya. Bantuan para sukarelawan dan Dusun Srunen merupakan satu dari tiga
donator yang datang menjadi tumpuan utama dusun (Srunen, Kalitengah Loh, Kalitengah
saat itu. Masyarakat juga bergotong royong Kidul) yang berlokasi di Desa Glagaharjo dan
saling membantu. Kenyataan ini menjadikan mengalami kerusakan akibat terjangan awan
mereka semakin yakin, ini sudah menjadi siklus panas. Namun saat ini aktivitas ketiga dusun
dan takdir hidup mereka sebagai masyarakat sudah pulih kembali baik dari segi tempat tinggal
yang hidup dan dihidupi oleh Merapi. maupun mata pencaharian masyarakatnya.
Keyakinan seperti inilah yang membuat warga Masyarakat Dusun Srunen cepat pulih setelah
di Glagaharjo khususnya di Dusun Srunen, Kali erupsi Merapi karena sikap kepasrahan
Tengah Lor dan Kali Tengah Kidul (ketiganya di terhadap takdir Tuhan. Masyarakat sejak lahir
desa Umbulharjo dan sekarang termasuk KRB sudah dihadapkan dengan kondisi Gunung
III) menolak direlokasi. Pemulihan kehidupan Merapi yang sering mengalami erupsi sehingga
masyarakat di desa lereng Merapi berlangsung adanya bencana erupsi tidak menakutkan lagi
cepat karena didorong oleh falsafah Jawa: dan mereka sadar bahwa tinggal di daerah
1. Nrima Ning Pandum, dalam hidup bencana harus selalu siap menghadapi risiko
manusia segala sesuatunya sudah apapun yang terjadi.
digariskan oleh Tuhan. Meskipun Secara historis kejadian bencana
mengalami bencana, namun kondisi di Dusun Srunen yang menyebabkan
mereka masih baik selama masih diberi masyarakatnya harus mengungsi sudah
kesempatan hidup. Bencana berlangsung mulai erupsi Merapi tahun 2006.
merupakan bagian dari hidup. Pada saat itu tidak ada korban jiwa sama sekali
2. Mangan ra mangan sing penting di dusun ini. Tahun 2010 terjadi erupsi kembali
ngumpul, mendorong rasa gotong bahkan lebih besar, sehingga masyarakat juga
royong. Sama-sama terkena bencana harus mengungsi. Pada kejadian inipun tidak
tetap saling menjaga dan berkumpul terjadi korban jiwa di dusun ini karena semua
menjadi satu saling bantu membantu. warga sudah siap, termasuk infrastruktur jalan
3. Hidup tidak boleh larut dalam kesedihan, sebagai jalur pengungsian pun sudah cukup
untuk dapat keluar dari kesusahan bagus disiapkan. Korban yang ada berupa harta
orang tidak boleh terus menerus benda yang menurut masyarakat memang wajar
bersedih. sebagai risiko tinggal dekat dengan alam yang
4. Masyarakat sudah terikat dengan sering mengalami erupsi. Namun, korban jiwa
gunung, warga masyarakat yang nol karena masyarakat sudah bisa membaca
berada di gunung memiliki keterikatan perilaku alam. Jika dulu hewan-hewan turun,
dengan gunung tersebut sehingga tidak saat ini tidak ada lagi tanda-tanda tersebut,
takut. Untuk menghubungkan keduanya namun masyarakat mempunyai tanda-tanda
dalam keharmonisan ada jurukunci di lain yang dapat digunakan sebagai “peringatan
Merapi (Pak Asih pengganti Mbah dini” yakni langit terlihat gelap di atas gunung
9
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012
Tabel 1. Pergeseran Sistem Nilai Masyarakat Dalam Bencana Letusan Gunung Merapi
3. Proses belajar sosial Keluarga dan masyarakat belum belajar mitigasi bencana
secara formal, pertautan sumber dan cara mendapatkan
4. Aktor atau pranata Kepala dukuh, relawan, Tagana, banser NU, FPUB,
sosial Petugas
5. Ingatan tentang letusan Ingatan langsung tak tertulis, belum ada buku sejarah
letusan
Selama Letusan
6. Tindakan penyelamatan Pengecekan ulang kebenaran informasi, kearifan lokal
diri
10. Ledakan penanda Pertautan diri dalam kemahakuasaan Gusti Allah; tidak
letusan merusak lingkungan Merapi; pentingnya hubungan sosial
Pasca Letusan
11. Kesan keberagaman Menyebut kebesaran Gusti Allah, berbagi dengan sesama
tentang letusan korban
12. Pengalaman sebagai Tata kelola barak tidak optimal, informasi tidak tertata,
warga yang mengungsi tanpa gugus kendali dari pemerintah; merasakan
kebersamaan sebagai warga
13. Kehadiran aktor atau Pemerintah tidak hadir saat Merapi meletus, pemerintah
pranata sosial hanya menyapa ketika warga di barak pengungsian tanpa
menjawab pokok persoalan yang menyangkut hajat hidup
peran lembaga non pemerintah langsung ke mereka
11
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012
12
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012
Larsen, S. C. (2006): The future’s past: politics Sindunata, 1998, Mata Air Bulan, Kanisius,
of time and territory among Dakelh First Yogyakarta.
Nations in British Columbia, Singgih, Gerrit Emanuel, 2006, Allah dan
Geografiska Annaler: Series B, Human Penderitaan Refleksi Teologis Rakyat
Geography 88 (3): 311–321. Indonesia, teologi Bencana, Pergumulan
Mercer, Jessica, et. al., 2009, Integrating Iman dalam Konteks Bencana Alam dan
indigenous and scientific knowledge Bencana Sosial, Makasar, Yayasan
bases for disaster risk reduction in Oase Intim.
Papua New Guinea, Journal compilation Steven Seidman, 1998, Contested Knowlede :
Swedish Society for Anthropology and Social Theory in the Posmodern
Geography Er, blackwell
Mitchell, T. (2006): Building a Disaster White, G. F., Kates, R. W. and Burton, I.
Resilient Future: Lessons from (2001): Knowing better and losing
Participatory Research on St. Kitts even more: the use of knowledge in
and Montserrat. Unpublished Ph.D. hazards management, Global
Thesis, Department of Geography, Environmental Change Part
University College London, London. B:Environmental Hazards 3 (3–4):
Seidman, Steven, 1998. Contested 81–92.
Knowledge. Social Theory in the Wisner, B. (1995): Bridging “expert” and “local”
Postmodern Era (Second Edition). knowledge for counter-disaster planning
Blackwell Publishers. in urban South Africa, Geo-Journal 37
Shaw, W. S., Herman, R. D. K. and Dobbs, G. (3): 335–348.
R. (2006): Encountering indigeneity: Yusdani, 2011, Studi Konvergensi dan
re-imaging and decolonizing geography, Divergensi Pengetahuan dan Tata Nilai
Geografiska Annaler: Series B, Human Warga Desa Girikerto Kecamatan Turi
Geography 88 (3): 267–276. Sleman terhadap Gunung Merapi Pasca
Sillitoe, P. (2000): Let them eat cake: Letusan 2010.
indigenous knowledge, science and the
“poorest of the poor”, Anthropology
Today 6 (6): 3–7.
13
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012
Oleh: Hasnawir
Abstract
A large scale landslide occurred on March 26, 2004 at Bawakaraeng caldera of
South Sulawesi is considered as one of the worst sediment disasters in Indonesia.
The volume of the landslide was about 232 million m3. The landslide was caused
by the collapse of the walls of the caldera leading to a flow of a large amount of
debris with significant damages including 32 people lost their lives and destruction
of properties. Since then the environmental hazard has been threatening till now. In
addition, the unstable deposited sediment and further collapse of the caldera may
lead to a large-scale landslide and debris-flow in the future. The objective of this study
is to determine rainfall thresholds for sediment disaster in the Bawakaraeng caldera.
Thirteen landslides including debris flows occurred after the large scale landslide were
studied to analyze rainfall thresholds. The threshold rainfall for sediment disaster is
very important information for the development of warning systems in the study area.
14
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012
Kesulitan ini muncul karena curah hujan Piedmont Italia (Aleotti, 2004), Korea (Kim et
hanya mempengaruhi stabilitas lereng secara al., 1991.), Cina bagian selatan (Li and Wang,
tidak langsung melalui pengaruhnya terhadap 1992), Jepang (Cotecchia, 1978 ; Yatabe et al.,
kondisi air-pori di dalam material lereng. 1986; Yano, 1990; Hiura et al., 2005), Puerto
Kemudian Caine (1980) menggunakan istilah Rico (Larsen and Simon, 1993) dan Himalaya,
“pengaruh pemicu” curah hujan terhadap tanah Nepal (Dahal and Hasegawa, 2008).
longsor atau aliran debris.
Karakterisasi curah hujan yang 1.2 Tujuan
memicu tanah longsor atau aliran debris telah
digunakan untuk membangun hubungan antara Tujuan penelitian ini adalah untuk
curah hujan dan tanah longsor/aliran debris di menentukan ambang batas curah hujan untuk
berbagai belahan dunia. Parameter curah hujan bencana sedimen di Kaldera Bawakaraeng,
paling sering diselidiki dalam kaitannya dengan Sulawesi Selatan. Ambang batas ini didefinisikan
inisiasi longsor meliputi curah hujan kumulatif, sebagai tingkat di mana batas curah hujan
curah hujan terdahulu, intensitas curah hujan, (intensitas-durasi) akan menyebabkan tanah
dan durasi curah hujan. longsor atau aliran debris dapat terjadi.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk
menentukan batasan dengan menggunakan 2. LOKASI PENELITIAN
berbagai kombinasi parameter. Sebagian
besar lereng runtuh/tanah longsor dipicu Lokasi penelitian terletak di kaldera
oleh curah hujan ekstrim, sejumlah peneliti Bawakaraeng, daerah aliran sungai (DAS)
(misalnya, Campbell, 1975; Cotecchia, 1978; Jeneberang, berlokasi 90 km dari kota
Caine, 1980; Cannon and Ellen, 1985; Neary Makassar, Sulawesi Selatan (Gambar 1).
and Swift, 1987; Kim et al., 1991; Wilson et al.,
1992; Larsen and Simon, 1993; Wilson and
Wieczorek, 1995; Terlien, 1998; Crosta, 1998;
Crozier, 1999; Glade et al., 2000; Wieczorek
et al., 2000; Aleotti, 2004; Guzzetti et al.,
2004; Hong et al., 2005) telah mencoba untuk
menetapkan ambang batas intensitas curah
hujan dalam memprediksi lereng runtuh/tanah
longsor secara akurat. Berbagai hasil penelitian
menentukan batas curah hujan dalam hal
intensitas curah hujan, durasi dengan rasio
intensitas curah hujan, curah hujan kumulatif
pada waktu tertentu, rasio curah hujan dengan
curah hujan harian, curah hujan terdahulu
dengan curah hujan rata-rata tahunan, dan
curah hujan harian dengan maksimum rasio
curah hujan terdahulu.
Gambar 1.
Lokasi penelitian di kaldera
Caine (1980) pertama kali menilai
Bawakaraeng, DAS Jeneberang,
ambang batas curah hujan di seluruh dunia
Sulawesi Selatan.
untuk tanah longsor. Nilai ambang batas serupa
telah diusulkan untuk California (Cannon and
Ellen, 1985; Wieczorek, 1987; Wieczorek et al., Kondisi vegetasi di lokasi penelitian
2000), Eropa Selatan Alpen (Cancelli and Nova, terdiri dari hutan alam dan hutan tanaman yang
1985; Ceriani et al., 1992), pra-Alpine bagian didominasi oleh jenis pinus merkusi. Morfologi
utara Italia (Guzzetti et al., 2004.), wilayah Kaldera Bawakaraeng ditandai dengan lereng
15
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012
yang curam, tingkat pelapukan yang tinggi mm/tahun yang terjadi dari bulan Desember
dengan aktivitas erosi seperti gerakan tanah hingga Maret. Kondisi curah hujan rata-rata
dan tanah longsor. Geologi menunjukkan bulanan dapat dilihat pada Gambar 3. Tanah
bahwa kaldera Bawakaraeng dihasilkan dari longsor skala besar tahun 2004 di kaldera
aktivitas gunung berapi pada periode Pleistosen Bawakaraeng dan perkembangan aktivitas
(Gambar 2). Kondisi hujan di daerah penelitian erosi bekas tanah longsoran akibat hujan dapat
dan sekitarnya cukup tinggi mencapai 4.000 dilihat pada Gambar 4 dan 5.
Gambar 2.
Peta geologi kaldera
Bawakaraeng dan sekitarnya
(modifikasi dari Sukamto dan
Supriatna, 1982).
16
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012
800
700
600
Gambar 3. Curah hujan rata-rata bulanan di lokasi penelitian (stasiun Malino, 1975 – 2010).
17
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012
18
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012
0
1 10 100 1,000
Durasi hujan,D (jam)
Curah hujan krits (mm)
Tanah longsor/
Gambar 7. Ambang batas curah hujan untuk
(mm) hujan Total
19
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012
untuk terjadinya tanah longsor. Namun jika aliran debris. Sistem peringatan ini pertama kali
durasi hujan melebihi 6 jam maka kaldera dikembangkan oleh USGS di San Francisco
Bawakaraeng membutuhkan intensitas curah (Keefer et al., 1987; Wilson and Wieczorek,
hujan lebih rendah dibanding ambang batas 1995). Sistem peringatan ini didasarkan pada
global (Caine, 1980) untuk tanah longsor terjadi. perkiraan kuantitatif curah hujan (6 jam curah
Demikian pula jika melewati 6 hari durasi hujan, hujan mendatang) dari kantor pelayanan cuaca
maka kaldera Bawakaraeng membutuhkan nasional dalam sebuah sistem jaringan alat
intensitas curah hujan lebih rendah dibanding pengukur curah hujan real-time lebih dari 40
ambang batas global (Crosta and Frattini, buah secara terus menerus dan ambang batas
2001) untuk tanah longsor terjadi. Tapi ketika curah hujan yang menginisiasi tanah longsor
dibandingkan dengan Himalaya ambang batas (Cannon and Ellen, 1985).
curah hujan (Dahal and hasegawa, 2008), Sistem serupa juga dikembangkan
kaldera Bawakaraeng membutuhkan intensitas di Hong Kong (Brand et al., 1984.), Italia
curah hujan yang lebih rendah untuk tanah (Sirangelo and Braca, 2001), Jepang (Onodera
longsor terjadi (Gambar 8). et al., 1974), Selandia Baru (Crozier, 1999),
Afrika Selatan (Gardland and Olivier,
100 Dahal and Hasegawa, 2008 1993) and Virginia (Wieczorek and
(Himalaya, Nepal) Guzzetti, 1999). Di Hong Kong telah
menerapkan sistem komputer secara
Intensitas hujan, I (mm/jam)
20
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012
40
Pemilihan dan strategi mitigasi bencana
yang tepat menjadi penting dalam mencegah
ataupun mengurangi tingkat kerusakan
30
KONDISI TIDAK STABIL
20 T
dan korban bencana yang mungkin dapat
ditimbulkan. Pendekatan mitigasi bencana
10 sedimen dapat dilakukan dengan berbagai
TOTAL CURAH HUJAN (mm)
Gambar 10.
a) Sabo Dam No 7.3 di Hulu Sungai
Jeneberang, 7 km dari kaldera yang
runtuh tahun 2004 (foto: Hazama-
Brantas, JO, 2007),
b) Pengamatan curah hujan untuk
informasi kemungkinan terjadinya
bahaya longsor atau aliran debris,
terletak 5 km dari kaldera yang runtuh
tahun 2004 (foto: Hasnawir, 2007),
c) Salah satu titik pengamatan untuk
aliran debris, 8 km dari kaldera yang
runtuh tahun 2004 (foto: Hasnawir,
2007), dan
d) Lokasi evakuasi penduduk korban
bencana tanah longsor tahun 2004
di Kabupaten Gowa, pemerintah
membangun rumah sebanyak 35 buah
pada tahun 2005 (foto: Hasnawir,
2006).
21
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012
22
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012
Hasnawir and Kubota, T., 2011. Landslide raininduced slope failure. Asian Technical
susceptibility evaluation by 3-D slope Committee on Geotechnology for Natural
stability analysis, International Journal of Hazards in International Society of Soil
Ecology & Development. Pp. 1–14. Mechanics and Foundation Engineering,
Hiura, H., Kaibori, M., Suemine, A., Yokoyama, pp. 72– 81.
S. and Murai, M., 2005. Sediment related Rahardjo, H., Li, X.W., Toll, D.G. and Leong, E.C.,
disasters generated by typhoons in 2004. 2001. The effect of antecedent rainfall
In: Senneset, K., Flaate, K., Larsen, J.O. (Eds.), on slope stability, Geotechnical and
Landslides and Avalanches ICFL 2005 Geological Engineering, Vol. 19, pp.371–
Norway, pp.157–163. 399.
Jakob, M. and Weatherly, H., 2003. A hydroclimatic Sirangelo, B. and Braca, G., 2001.
threshold for landslide initiation on the L’individuazione delle condizioni di
North Shore Mountains of Vancouver, pericolo di innesco delle colate rapide
British Columbia, Geomorphology, Vol. 54, di fango. Applicazione del modello FlaIR
pp. 137–156. al caso di Sarno. Atti del
Kim, S.K., Hong, W.P. and Kim, Y.M., 1991. Convegno: ‘‘Il dissesto idrogeologico:
Prediction of rainfall triggered landslides in inventario e prospettive’’, Roma.
Korea. In: Landslides (Bell, D.H. Ed.), Sukamto, R. dan S. Supriatna (1982): Peta geologi
Rotterdam: A.A, Balkema, Vol. 2, pp. Ujung Pandang, Bantaeng dan Sinjai,
989–994. Sulawesi. Pusat Penelitian dan
Keefer, D.K.,Wilson, R.C., Mark, R.K., Brabb, Pengembangan Geologi, Bandung,
E.E., Brown,W.M., Ellen, S.D., Harp, Indonesia.
E.L., Wieczorek, G.F., Alger, C.S. and Terlien, M.T.J., 1998. The determination of
Zatkin, R.S., 1987. Real time landslide statistical and deterministic hydrological
warning system during heavy rainfall. landslide - triggering thresholds,
Science 238, 921–925. Environmental Geology, Vol. 35, pp.
Larsen, M.C. and Simon, A., 1993. A rainfall 124–130.
intensity–duration threshold for landslides Wieczorek, G.F., 1987. Effect of rainfall intensity
in a humid- tropical environment, Puerto and duration on debris flows in central Santa
Rico, Geografiska Annaler, Vol. 75, pp. Cruz Mountains, California, In:
13–23. Crosta,G.,Wieczorek, G.F. (Eds.), Debris
Li, T. and Wang, S., 1992. Landslide hazards and Flows / Avalanches: Processes,
their mitigation in China, Science Press, Recognition and Mitigation, Geological
Beijing, pp.84. Society of America, Reviews in
Montgomery, D.R. and Dietrich, W.E., 1994. A Engineering Geology, Vol. 7, pp. 93–104.
physically based model for the topographic Wieczorek, G.F., Morgan, B.A. and Campbell,
control on shallow landsliding, Water R.H., 2000. Debris flow hazards in the Blue
Resources Research, Vol. 30, pp. Ridge of Central Virginia, Environmental
1153–1171. and Engineering Geoscience, Vol. 6,
Onodera, T., Yoshinaka, R. and Kazama, H., 1974. pp.3–23.
Slope failures caused by heavy rainfall Wieczorek, G.F., Guzzetti, F., 1999. A review of
in Japan. Proc. of the II International rainfall thresholds for triggering landslides.
Congress International Association of Proc. of the EGS Plinius Conference,
Engineering Geology, Sao Paulo, Brasil, Maratea, Italy October 1999, pp. 407– 414.
vol. 11, pp. 1 – 10. Wilson, R.C. and Wieczorek, G.F., 1995. Rainfall
Premchitt, J., 1997. Warning system based on 24 thresholds for the initiation of debris flow at
hour rainfall in Hong Kong. Manual for La Honda, California. Environmental and
zonation on areas susceptible to Engineering Geoscience 1 (1), 11 – 27.
23
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012
Wilson, R.C., Mark, R.K., Barbato, G.E., 1992. Yano, K., 1990. Studies on deciding rainfall
Operation of realtime warning system threshold from warning and evacuating
for debris flows in the San Francisco Bay from debris flow disaster by improving the
area, California. In: Shen, H.W., Wen, F. decision method of preceding rainfall.
(Eds.), Hydraulic Engineering ’93. Journal of Japan Erosion Control Society,
Proceedings of the 1993 Conference, Hydraulics Vol. 43, No.4, pp. 3–13 (in Japanese).
Division, 1993, vol. 2. American Society Yatabe, R., Yagi, N. and Enoki, M., 1986.
of Civil Engineers, San Francisco, CA, pp. Prediction of slope failure based on the
1908– 1913. amount of rainfall, Japanese Society of Civil
Engineers,Vol. 376, pp. 297–305
(in Japanese).
24
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012
Abstract
Disaster is inevitably affecting the mental health of the suffered community.
For the children, it not only damages their mental health but also disrupts their
development. It is therefore discernable that children belong to susceptible group
for they are insufficiently equipped with skill and resources to mitigate disaster and
highly dependent on the significant others during their recovery process. As the other
group age, children community has also natural adaptive-mechanism in overcoming
their trauma from disaster. It means that their reaction to disaster are relatively similar
namely from panic, fear, stress to traumatic stress, but alongside with passing time
they gradually adapt themselves to post-disaster situation. Eventually, it is observable
that the small amount of the victimized children shows the symptoms of psychological
malady while most of them live normal life. In many cases, the adaptive children are
not affected at all with disaster and behave normally as they did before the disaster.
They seem to posses high resiliency. The differences of their reaction to disaster
raises a question “ Why some children remain tough and behave normally in the
aftermath of disaster while the other don’t?” This study is aimed as well to invent the
factors influencing the resilience of children in overcoming the disaster aftermath.
25
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012
takut berpisah dari orangtua, dan mudah marah trauma akibat bencana. Gambaran anak yang
(UNICEF Indonesia, 2008). memiliki ketangguhan mental yang baik ini
Semua gejala ini merupakan reaksi yang terlihat pada sosok anak yang tetap mampu
normal dan wajar. Namun demikian, seiring berprestasi, terampil memecahkan masalah
dengan berjalannya waktu, maka umumnya mereka, mandiri, serta memiliki cita-cita dan
orang akan dapat berfungsi kembali secara tujuan untuk masa depan. Mereka merasa puas
normal karena pada dasarnya setiap manusia dan bahagia meski sebelumnya harus bergulat
memiliki mekanisme adaptasi alamiah untuk dengan banyak masalah dan kesulitan.
menghadapi situasi sulit seperti halnya peristiwa Ketangguhan mental anak dalam
bencana. Kondisi mental, kemampuan, serta menghadapi bencana tidak muncul begitu
dukungan dari lingkungan yang dimiliki oleh saja. Beberapa faktor yang membentuknya
tiap individu yang kemudian akan membedakan adalah kepribadian si anak, faktor lingkungan
bagaimana reaksi penyesuaian selanjutnya seperti keluarga dan pengalaman positif yang
terhadap bencana. dimiliki oleh anak. Semua faktor tersebut saling
Pengamatan di lapangan menunjukkan berinteraksi, sehingga terbangun ketangguhan
kadang justru tidak mudah untuk menemukan mental anak yang pada akhirnya akan
orang-orang yang menunjukkan gangguan menunjukkan variasi antara anak satu dengan
psikologis akibat bencana. Hal ini terjadi, karena yang lainnya. Sehubungan dengan upaya
meskipun mengalami guncangan mental pada penanggulangan bencana bagi komunitas
awalnya, namun kebanyakan orang akan dapat anak, pengaruh faktor lingkungan ini dapat
berfungsi kembali secara normal setelah butuh diberikan dalam bentuk adanya sikap dan
waktu tertentu untuk melakukan penyesuaian. dukungan yang tepat dalam menghadapi
Sementara itu, sebagian kecil orang akan bencana, sehingga akan dapat meminimalisir
mengalami gangguan psikologis dan ada yang dampak merugikan yang timbul akibat
tetap dapat berfungsi secara baik setelah bencana.
terjadinya bencana. Pada komunitas anak, Mengingat wilayah Indonesia yang rawan
gambaran seperti ini juga dapat diamati di bencana, maka mempersiapkan ketangguhan
lapangan, sehingga dapat dikenali adanya mental anak dalam menghadapi bencana
anak yang tetap tampil ceria, mampu berfungsi adalah hal yang perlu mendapat perhatian. Hal
kembali dengan baik setelah mendapatkan ini bukan hanya bertujuan agar mereka tidak
dukungan dan bimbingan, serta anak yang terganggu akibat bencana, namun sebagai
membutuhkan layanan profesional khusus generasi muda dengan masa depan yang
karena masih menunjukkan gejala gangguan lebih panjang, selayaknya mereka memiliki
meski bencana telah cukup lama berlalu. bekal yang cukup, agar nantinya dapat hidup
Anak yang tetap tampil ceria dan nyaman dan produktif di daerah yang berisiko
berfungsi dengan baik dapat disebut sebagai bencana. Untuk itu, perlu dipahami gambaran
anak yang tangguh. Ketangguhan mental ini tentang ketangguhan mental anak dalam
adalah kemampuan seseorang untuk tetap menghadapi bencana dan faktor-faktor yang
dapat bertahan menghadapi penderitaan yang mempengaruhinya.
amat berat, untuk bangkit kembali menghadapi
kesulitan hidup yang besar, dan menjalani 1.2. Tujuan
hidup secara relatif normal (Bautista et all.,
2001). Dalam situasi bencana, ketangguhan Penelitian dengan pendekatan kualitatif
mental anak menggambarkan kemampuannya yang dilakukan pada anak-anak di daerah
untuk tetap berkembang secara positif, mampu bencana ini bertujuan untuk mendapatkan
berfungsi dengan baik meski situasi lingkungan gambaran tentang ketangguhan mental anak
penuh dengan stres dan pulih kembali dari dalam menghadapi bencana.
26
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012
27
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012
berupa mobil truk dari kayu dan kipas yang bisa relawan dan kakak-kakak pendamping yang
digerakkan dengan listrik. Pada waktu dilakukan banyak hadir di desa pasca gempa. Pada
pendampingan psikososial di desanya, ia berbagai kegiatan yang diselenggarakan
dapat mengikuti dan berpartisipasi aktif dalam dalam program pendampingan psikososial, ia
kegiatan-kegiatan yang diberikan untuk anak. biasanya mendapat tugas sebagai pembawa
Salah satu prestasi yang ditampilkan adalah acara dan memimpin rapat dengan teman-
ia berhasil menjadi juara I lomba bulu tangkis teman sebayanya. Penampilannya yang ceria
pada PORSENI yang diselenggarakan saat itu dan penuh rasa percaya diri membuat banyak
di Kecamatan Pariaman Utara. orang di sekelilingnya senang dan merasa
RZ (laki-laki, 11 tahun) anak yang pintar terhibur. Kelak kalau dewasa ia bercita-cita
meski situasinya sulit. Ia adalah anak tunggal ingin menjadi orang yang bisa mengobati orang
yang dibesarkan oleh nenek dan kakeknya. yang menderita stres.
Orangtuanya bercerai ketika ia masih bayi dan EV (perempuan, 11 tahun) anak yang
kemudian ibunya bekerja di Malaysia. Dua optimis dan tangguh. Ia adalah anak ketiga
tahun sebelum terjadi gempa, nenek yang dari lima bersaudara. Ibunya bekerja sebagai
selama ini menyayangi dan membesarkannya pengrajin kain sulaman dan pembuat es lilin,
meninggal dunia, sehingga ia hanya tinggal sedangkan ayah berjualan ikan ke daerah Tiku,
di rumah berdua dengan kakeknya. Gempa sekitar kurang lebih 30 km dari tempat tinggal
yang terjadi ‘hanya’ menyisakan retak-retak mereka di Pariaman. Setiap hari ia membantu
di bangunan rumahnya. Rumah itu masih ibu berjualan es lilin di sekolah, saat pergi
layak huni, padahal rumah tetangga yang ada mengaji atau ke tempat bermain. Ciri khasnya
tepat di depan rumahnya rusak sangat parah. adalah ia selalu membawa termos es ke mana-
Dalam kesehariannya, untuk menepis rasa mana. Jadi meskipun masih kecil, ia sudah bisa
sunyi, ia menghabiskan waktu di luar rumah menghasilkan uang sendiri.
dengan bermain bola bersama teman-teman Selepas sekolah ia mengisi waktu dengan
sebayanya. Meski sejak kecil mengalami membantu ibu membuat sulaman kain untuk
situasi hidup yang sulit, namun ia tetap mampu dijual ke toko. Kain sulaman ini merupakan
berprestasi dengan menjadi juara kelas setiap bahan untuk dibuat pakaian yang biasanya
tahun di sekolahnya. Pada waktu dilakukan digunakan pada acara pesta adat di Pariaman.
pendampingan psikososial di desanya, ia Meskipun sambil membantu orangtua namun
dapat mengikuti dan berpartisipasi aktif dalam prestasi sekolahnya cukup membanggakan.
kegiatan-kegiatan yang diberikan untuk anak. Sejak kelas satu sampai kelas lima, ia selalu
AL (laki-laki, 11 tahun) anak yang ceria mendapat juara satu di kelas. Meskipun
dan penuh percaya diri. Ia adalah anak kedua sebagian besar waktunya dimanfaatkan untuk
dari empat bersaudara. Ayahnya adalah membantu ibu, namun di sela-selanya ia masih
pekerja pabrik di daerah Lubuk Alung, sekitar menyempatkan diri untuk bermain bersama
40 km jaraknya dari Pariaman. Seminggu dengan teman-temannya.
sekali Sang Ayah pulang ke rumah, sedang Mengingat peristiwa gempa yang terjadi
ibu membuka salon di rumah yang membuat pada tanggal 30 September 2009 membuatnya
sibuk hari-harinya. Akibat gempa yang terjadi, merasa sedih. Goncangan gempa telah
rumahnya rusak berat dan tidak layak huni. merobohkan dua sisi dinding rumahnya,
PMI kemudian membuatkan rumah sementara sehingga menjadi kurang layak huni. Mereka
di dekat rumah yang rusak itu. Di rumah kecil lalu tinggal di rumah hunian sementara yang
yang sederhana inilah mereka sekarang tinggal dibangun oleh PMI di sebelah rumah lama,
sambil menunggu rumah yang rusak diperbaiki. meskipun sebagian aktivitas masih dilakukan di
Dalam kesehariannya, ia senang bergaul rumah lama tersebut.
dan punya banyak teman. Ia juga mudah akrab SI (perempuan, 10 tahun) anak yang
dengan orang yang baru dikenal, seperti para penuh dengan prestasi. Ia adalah anak bungsu
28
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012
dari enam bersaudara. Ayahnya seorang petani, Dari uraian kelima sosok anak tangguh
sementara ibu berjualan makanan di rumah. Ia tersebut di atas, berikut dalam Tabel 1
termasuk anak yang mandiri karena setiap pagi dijelaskan rangkuman tentang latar belakang
bisa bangun sendiri di waktu subuh, mandi, anak, dampak yang dialami akibat bencana,
sarapan kemudian berangkat ke sekolah. Sore serta perkembangan yang ditunjukkan setelah
harinya ia pergi ke madrasah tempat mengaji. terjadinya bencana.
Selain selalu menjadi juara kelas, ia juga Berdasarkan data Tabel 1, terlihat bahwa
sering menjuarai berbagai macam lomba yang anak yang mengalami bencana akan bereaksi
diikutinya. Sewaktu duduk di Taman Kanak- dengan rasa takut, cemas, dan stres traumatik
Kanak ia pernah menjadi juara lomba mewarnai pada saat awal bencana. Sekitar kurang lebih
tingkat Kota Pariaman, kemudian ketika duduk sebulan sesudahnya, gejala-gejala tersebut
di SD ia menjuarai lomba membaca puisi, perlahan-lahan berkurang dan hilang dengan
menulis cerita, dan yang terakhir mendapat teralihnya perhatian anak pada aktivitas
juara dua lomba membaca cerita rakyat di Kota normal mereka seperti bersekolah, mengaji di
Pariaman. madrasah dan bermain dengan teman sebaya.
Sebagai anak bungsu, ia beruntung Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
bisa bertanya tentang pelajaran kepada anak-anak tersebut memiliki ketangguhan
kakak-kakaknya. Dua orang kakaknya mental dalam menghadapi bencana karena
sedang sekolah untuk menjadi guru. Hal ini mereka telah mampu bertahan melewati masa-
menjadi motivasi baginya agar kelak ia pun masa sulit akibat bencana, pulih kembali untuk
ingin menjadi guru. Menurutnya, sungguh menghadapi kesulitan hidup yang besar dan
menyenangkan bisa berbagi ilmu pada orang menjalani hidup secara relatif normal (Bautista
lain. Peristiwa gempa yang terjadi membuat et all., 2001).
rumah mereka rusak parah dan dinyatakan
tidak boleh ditinggali. Beruntung mereka hanya 3.2. Pembahasan
sekitar enam bulan tinggal di rumah hunian
sementara, karena ada paman yang tinggal di Reaksi penyesuaian anak terhadap
Malaysia membantu untuk membangun rumah bencana akan bervariasi, sehingga dapat
mereka kembali. dikenali adanya anak yang tangguh, normal, dan
29
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012
rapuh selepas bencana. Gambaran distribusi setelah butuh waktu tertentu untuk melakukan
dari ketiga kelompok anak tersebut dijelaskan penyesuaian, serta orang yang tetap dapat
dalam Gambar 1 yang menggambarkan bahwa berfungsi baik sewaktu terjadi bencana dan
jumlah terbesar adalah anak-anak dengan justru semakin lebih baik lagi dibanding
kategori normal, kemudian dalam proporsi sebelum terjadinya bencana. Pada komunitas
yang lebih kecil adalah kelompok anak yang anak, gambaran seperti ini juga dapat diamati
rapuh dan tangguh (Sulistyaningsih, 2011). di lapangan, sehingga dapat dikenali adanya
Kondisi mental, kemampuan, serta anak yang tetap tampil ceria dan berprestasi
dukungan dari lingkungan yang dimiliki oleh (anak tangguh), anak yang mampu berfungsi
tiap individu membedakan bagaimana reaksi kembali dengan baik setelah mendapatkan
penyesuaian selanjutnya terhadap bencana. dukungan dan bimbingan (anak normal), serta
Oleh karena itu, di lapangan akan dapat dikenali anak yang membutuhkan layanan profesional
adanya orang-orang yang menunjukkan khusus karena masih menunjukkan gejala
gangguan psikologis setelah bencana, orang gangguan meski bencana telah cukup lama
yang dapat berfungsi kembali secara normal berlalu (anak rapuh).
Tabel 1. Gambaran latar belakang, dampak bencana, dan perkembangan anak tangguh
3. - Laki -laki, 11 tahun - Rumah rusak parah tidak - Anak senang bergaul dan
- Anak ke 2 dr 4 bersaudara layak huni tetap tampil ceria
(AL) - Ayah bekerja di pabrik, - Tinggal di rumah hunian - Aktif dan proaktif dalam
ibu usaha salon di rumah sementara yg dibuat PMI
mengikuti kegiatan
- Tinggal bersama keluarga
pendampingan psikososial
anak
- Berani tampil dan menjadi
koordinator anak dalam
berbagai kegiatan yang
30 dilakukan
4. - Perempuan, 11 tahun - Rumah rusak kurang layak - Sambil bersekolah anak
- Anak ke 3 dr 5 bersaudara huni membantu orangtua dengan
3. - Laki -laki, 11 tahun - Rumah rusak parah tidak - Anak senang bergaul dan
- Anak ke 2 dr 4 bersaudara layak huni tetap tampil ceria
(AL) - Ayah bekerja di pabrik, - Tinggal di rumah hunian - Aktif dan proaktif dalam
Jurnal Penanggulangan
ibu usaha salonBencana
di rumah Volume 3 Nomor
sementara 1, Tahun
yg dibuat PMI 2012
mengikuti kegiatan
- Tinggal bersama keluarga
pendampingan psikososial
anak
- Berani tampil dan menjadi
koordinator anak dalam
berbagai kegiatan yang
dilakukan
4. - Perempuan, 11 tahun - Rumah rusak kurang layak - Sambil bersekolah anak
- Anak ke 3 dr 5 bersaudara huni membantu orangtua dengan
(EV) - Ayah berjualan ikan, ibu - Tinggal di rumah hunian berjualan es lilin
pengrajin kain sulaman sementara yang dibuat PMI
- Selalu menjadi juara I di kelas
- Tinggal bersama keluarga dengan sebagian aktivitas di
sejak kelas satu sekolah dasar
rumah lama
- Bisa tetap bermain bersama
teman-teman sambil
membantu orangtua dengan
berjualan
5. - Perempuan, 10 tahun - Rumah rusak parah tidak - Anak mandiri dan berprestasi
- Anak ke 6 d ari 6 layak huni - Juara kelas, juara membaca
(SI) bersaudara - Tinggal di rumah hunian puisi dan menulis cerita
- Ayah petani, ibu berjualan sementara dari PMI
- Rajin, tekun dan penuh rasa
di rumah - Kemudian famili membantu
percaya diri
- Tinggal bersama keluarga untuk rumah dibangun
kembali dan sekarang tinggal
di rumah yang nyaman
Untuk memahami bagaimana proses maka hal ini akan mempermudah ia menjadi
yang terjadi sehingga akhirnya dapat anak tangguh.
dikenali munculnya ketiga kelompok anak Menurut Meichenbaum (dalam www.
tersebut, dalam Gambar 2 secara skematis melissainstitute.org) ciri-ciri kepribadian yang
dijelaskan bahwa risiko perkembangan dimiliki oleh anak tangguh ini di antaranya
yang sama, yakni adanya bencana, akan adalah temperamen yang baik, terampil
disikapi dan dipersepsi secara berbeda memecahkan masalah atau cerdas, memiliki
oleh individu sehingga menghasilkan reaksi kompetensi sosial seperti empati, emosi yang
yang berlainan. Perbedaan hasil reaksi ini matang, dan terampil berkomunikasi, serta
terutama dipengaruhi oleh faktor protektif optimis dan berorientasi ke masa depan.
dan faktor risiko yang berproses secara khas
pada tiap diri anak, sehingga membentuk Stressor Moderator Hasil Proses
pola penyesuaiannya.
Semakin banyak dimiliki faktor protektif, Faktor Risiko
Anak Tangguh
-Persepsi Negatif Anak
maka akan berpengaruh positif terhadap -Keluarga Bermasalah
(Well-Adjusted)
31
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012
Berdasarkan identifikasi data pada anak- kegiatan anak. Sedangkan I am factor adalah
anak tangguh yang dibahas dalam penelitian kualitas kepribadian anak seperti misalnya
ini, maka dapat dirangkum faktor-faktor risiko, cerdas, sabar dan tabah, kreatif, mandiri, serta
faktor protektif, dan indikator gambaran karakter yang baik dan sehat.
ketangguhan mental anak yang disampaikan
dalam Tabel 2. 4. KESIMPULAN DAN SARAN
Model resiliensi yang dikemukakan
oleh Richardson dkk (dalam Henderson & 4.1. Kesimpulan
Milstein, 2003) menyatakan bahwa kesulitan
hidup tidak secara otomatis mengakibatkan Dalam menghadapi bencana, anak
disfungsi, namun sebaliknya justru dapat memiliki kemampuan mekanisme adaptasi
menghasilkan sejumlah capaian bagi individu alamiah yang membuatnya mampu untuk
yang mengalaminya. Selain itu, reaksi terhadap beradaptasi dengan situasi sulit akibat bencana.
kesulitan hidup yang pada awalnya bahkan Adapun reaksi penyesuaian terhadap bencana
bersifat disfungsional, lama kelamaan dapat akan bervariasi sehingga dapat dikenali adanya
membaik. Hal ini dapat dilihat pada kasus anak anak yang normal, rapuh, dan tangguh dalam
AS, yang pada awalnya menunjukkan gejala menghadapi bencana.
stres traumatik namun lambat laun menghilang Perbedaan reaksi penyesuaian anak
sehingga menjadi normal kembali. terhadap bencana ini dipengaruhi oleh
Lebih lanjut Henderson & Milstein kondisi mental dan kemampuan yang dimiliki
(2003) menjelaskan bahwa resiliensi atau anak serta dukungan dari lingkungan yang
ketangguhan mental menggambarkan tiga diberikan kepada mereka. Pada anak yang
keadaan, yakni hasil perkembangan yang tergolong tangguh, mereka memiliki tiga
positif dalam lingkungan berisiko, kemampuan faktor pembentuknya yaitu dukungan dari luar
yang tetap berfungsi meski situasi penuh dan daya yang memperkuat mental anak,
stres, dan pulih kembali dari trauma. Dengan ketrampilan sosial dan interpersonal, serta
demikian, kelima anak yang menjadi subjek kekuatan pribadi dalam diri anak. Anak yang
dalam penelitian ini memenuhi kriteria sebagai tangguh dalam menghadapi bencana ini
anak yang tangguh karena mereka dapat tetap dapat dikenali dari ciri-cirinya sebagai berikut:
berkembang dengan baik, bahkan berprestasi temperamen yang baik, terampil memecahkan
meski menghadapi situasi hidup yang penuh masalah atau cerdas, memiliki kompetensi
stres akibat bencana gempa bumi yang sosial seperti empati, emosi yang matang
menimpa desa mereka. dan terampil berkomunikasi, serta optimis dan
Adapun ketangguhan mental yang berorientasi ke masa depan.
terbentuk pada anak bersumber dari tiga
faktor, yaitu dukungan dari luar dan daya yang 4.2. Saran
memperkuat mental anak (I Have Factor),
ketrampilan sosial dan interpersonal anak (I Can a. Model resiliensi menyatakan bahwa
Factor), serta kekuatan pribadi dalam diri anak ketangguhan (resiliensi) merupakan
(I Am Factor). Pada subjek penelitian ini, I have suatu proses Hal ini berarti bahwa setiap
factor ditunjukkan dengan adanya dukungan anak dapat berkembang ketangguhan
dan keluarga yang teratur yang dimiliki oleh mentalnya sehingga anak yang belum
anak. Pada sebagian anak yang tidak memiliki tangguh dapat dibina menjadi lebih
figur orangtua, dukungan keluarga ini diberikan meningkat ketangguhannya.
oleh pengganti orangtua atau famili. I can factor b. Ketangguhan mental anak dalam
dapat dikenali dari kemampuan anak dalam menghadapi bencana dapat ditingkatkan
berinteraksi dengan teman sebaya dan orang sejak dini tanpa perlu harus menunggu
lain, serta tampil menonjol dalam kegiatan- terjadinya bencana. Hal ini dapat
32
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012
No. Gambaran
Faktor Risiko Faktor Protektif
Ketangguhan Mental
1. a. Mengalami bencana gempa a. Kepribadian anak: sabar dan a. Mampu pulih kembali dari
yang mengakibatkan rumah tabah, kreatif, mampu trauma psikologis akibat
(AS) roboh rata dengan tanah menerima dan menikmati gempa
b. Tinggal di gubug yang amat hidup b. Tabah menghadapi kesulitan
sederhana dengan ibu b. Ibu perhatian dan hidup setelah bencana,
c. Tidak memiliki figur ayah sejak menyayangi anak Meski berkekurangan
ia masih bayi c. Ada bibi sebagai pengganti namun anak tetap
d. Pengasuhan ibu kurang optimal ibu yang mengasuh anak berperilaku baik, patuh p ada
karena anak sering ditinggal ketika ibu pergi bekerja ke orangtua, dan bergaul
pergi kerja ke kota lain kota lain dengan anak-anak yang lain.
e. Kondisi ekonomi orangtua c. Mengisi waktu dengan
berkekurangan keterampilan membuat
mainan kreatif
d. Prestasi sekolah rata-rata
namun menjadi juara olah
raga bulu tangkis dalam
lomba antar desa
2. a. Mengalami bencana gempa a. Kepribadian anak: karakter a. Berprestasi di sekolah
yang mengakibatkan dinding yang baik dan sehat meski dengan selalu menjadi juara
(RZ) rumah retak-retak kesepian sejak kecil, cerdas kelas
b. Tinggal di rumah hanya berdua b. Kakek/nenek yang b. Mengatasi kesepian dengan
dengan kakek mengasuhnya perhatian dan bermain sepak bola dan
c. Pengasuhan anak yang kurang menyayangi anak bermain bersama teman
optimal karena anak ditinggal c. Ada famili (keluarga besar c. Tampil tenang dan tidak
ibu kerja di Malaysia, setelah ibu) yang peduli dan menunjukkan perilaku yang
orangtua bercerai memperhatikan bermasalah meski kurang
perkembangan anak kasih sayang orangtua sejak
ia masih kecil
3. a. Mengalami bencana gempa a. Kepribadian anak: mampu a. Berprestasi cukup baik di
yang mengakibatkan rumah membentuk hubungan yang sekolah
(AL) rusak berat positif, memiliki rasa humor b. Selalu tampil ceria dan
b. Tinggal di rumah hunian yang baik, percaya diri, dan membuat orang lain di
sementara yg dibuat oleh PMI cerdas sekelilingnya merasa
c. Ibu sibuk bekerja, ayah b. Ayah/ibu yang cukup terhibur
seminggu sekali pulang ke perhatian, hangat, dan c. Fleksibel dan pandai
rumah menyayangi anak bergaul dengan siapa saja
c. Orangtua mendukung bakat 33
dan aktivitas anak
4. a. Mengalami bencana gempa a. Kepribadian anak: tekun, a. Berprestasi di sekolah
yang mengakibatkan rumah sabar, karakter yang baik dengan selalu menjadi juara
perkembangan anak kasih sayang orangtua sejak
ia masih kecil
3. a. Mengalami bencana gempa a. Kepribadian anak: mampu a. Berprestasi cukup baik di
yang mengakibatkan rumahJurnal Penanggulangan Bencana
membentuk hubungan yangVolume 3 Nomor 1, Tahun 2012
sekolah
(AL) rusak berat positif, memiliki rasa humor b. Selalu tampil ceria dan
b. Tinggal di rumah hunian yang baik, percaya diri, dan membuat orang lain di
sementara yg dibuat oleh PMI cerdas sekelilingnya merasa
c. Ibu sibuk bekerja, ayah b. Ayah/ibu yang cukup terhibur
seminggu sekali pulang ke perhatian, hangat, dan c. Fleksibel dan pandai
rumah menyayangi anak bergaul dengan siapa saja
c. Orangtua mendukung bakat
dan aktivitas anak
4. a. Mengalami bencana gempa a. Kepribadian anak: tekun, a. Berprestasi di sekolah
yang mengakibatkan rumah sabar, karakter yang baik dengan selalu menjadi juara
(EV) rusak cukup parah dan sehat meski kelas
b. Tinggal di rumah hunian kekurangan, cerdas b. Membantu orang tua dengan
sementara yang dibuat oleh b. Tinggal bersama dengan berjualan makanan sambil
PMI orang tua sekolah
c. Kemampuan ekonomi orangtua c. Hubungan di dalam c. Tampil tenang dan tidak
kurang berkecukupan keluarga yang saling menunjukkan perilaku yang
mendukung bermasalah
34
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012
Endang Hilmi, et al., (2012), Analisis Potensi Bencana Abrasi dan Tsunami di Pesisir
Cilacap, Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012, hal 34-
42, 6 tabel 3 gambar.
Abstract
Disaster as an event that can threaten and disrupt people’s lives can occur
also in coastal areas, including Cilacap coastal. Cilacap Regency as the coastal
Regency were affected by any stretch of the North Serayu and South Serayu. Both
are separated by a stretch of Serayu Depression. The stretch is also traversed by
Eurasian plate that collided with the Indo Australian plate. Cilacap Regency are an
Estuary from several large rivers. This condition causes the Cilacap Regency at risk
of various kinds of disasters.
This scientific paper aims to build disaster vulnerability maps that could
potentially occur in Cilacap. The research was built using the method of mapping the
vulnerability of coastal erosion, tsunami and mapping the vulnerability of disaster risk
reduction methods.
Potential abrasion occurred in the District of South Cilacap, North Cilacap,
Adipala, Binangun and Nusawungu, while the potential tsunami occurred in the
District of Kesugihan, Adipala, Maos, Kroya, Binangun, Nusawungu, South Cilacap,
Cilacap Cilacap North and Central. To reduce the risk of disaster, the Government
make the evacuation routes, build a 66-396 meter wide greenbelt and build a seawall
and revertment waterbreak.
35
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012
Eurasia yang bertumbukan dengan lempeng kerusakan ekosistem mangrove, (3) penentuan
Indo-Australia. Akibat tumbukan tersebut, abrasi pantai, (4) penentuan kerawanan
lempeng Indo-Australia menunjam di bawah tsunami.
lempeng Eurasia dan terjadi akumulasi energi Setelah diukur potensi kerawanan
yang pada titik jenuhnya akan menyebabkan bencana, kemudian dilakukan analisis data
gempa. Kendati begitu, justru bencana tsunami yang berupa : (1) analisis pemetaan abrasi
dan abrasi yang sangat mengancam kehidupan yang dilakukan melalui tahapan penyusunan
masyarakat di Cilacap. peta perubahan garis pantai, penyusunan
Abrasi atau biasa disebut juga dengan peta garis pantai dan field check, (2) analisis
erosi pantai adalah proses pengikisan pantai pemetaan tsunami yang disusun melalui
oleh tenaga gelombang laut dan arus laut analisis faktor penutupan lahan, faktor kelas
yang sifatnya merusak. Sedangkan tsunami lereng, faktor ketinggian tempat, faktor indeks
adalah gelombang laut besar yang diawali oleh rasio antara kelas lereng dengan ketinggian
gempa yang terjadi di dasar laut, kedalaman tempat, faktor bentuk lahan, dan faktor indeks
pusat gempa kurang dari 60 km, magnitudo jarak wilayah atau objek terhadap tubuh
lebih besar dari 7,0 skala Richter, serta jenis air sebagai media penghantar gelombang
penyesaran gempa tergolong sesar naik atau tsunami., (3) membangun peta jalur evakuasi,
sesar turun yang memberikan dampak yang (4) membangun rencana rehabilitasi dan
sangat hebat bagi kehidupan manusia di rekontruksi dengan membangun jalur hijau
wilayah pesisir. dan pembuatan tanggul-tanggul penahan
Tulisan ini dimaksudkan untuk gempuran ombak (break water).
memberikan gambaran tentang tingkat
kerawanan bencana tsunami dan abrasi di 2. HASIL DAN PEMBAHASAN
wilayah pesisir Cilacap agar ada kesiapsiagaan
untuk mengurangi resiko bencana. 2.1. Kondisi Sosial Masyarakat
Pengurangan resiko bencana dapat dilakukan
melalui membangun jalur evakuasi, greenbelt Kepadatan penduduk di Kabupaten Cilacap
dan waterbreak. berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010 secara
umum adalah 767 jiwa/km2. Apabila diamati
1.2. Tujuan secara seksama terlihat bahwa daerah-daerah
yang memiliki kepadatan penduduk sangat tinggi
Tulisan ini bertujuan untuk (1) berada di wilayah Kota Cilacap yang meliputi 3
membangun peta wilayah rawan bencana kecamatan yaitu Cilacap Selatan, Cilacap Tengah
tsunami dan abrasi, dan (2) membangun model dan Cilacap Utara. Khusus untuk Kecamatan
pengurangan resiko bencana. Cilacap Selatan agar bisa dibandingkan
dengan kecamatan lain, perhitungan kepadatan
1.3. Metode penduduknya tidak memasukkan Luas Pulau
Nusakambangan. Secara umum terlihat bahwa
Tulisan ini dibangun berdasarkan hasil daerah Cilacap bagian timur terlihat memiliki
penelitian di Wilayah Pesisir Cilacap yang kepadatan penduduk yang lebih tinggi dibanding
mengukur variabel : (1) variabel bencana, terdiri daerah Cilacap bagian barat. Daerah-daerah
dari lebar abrasi pantai dan gejala tsunami, di Cilacap bagian barat yang tingkat kepadatan
(2) variabel fisik dan biologi, yaitu jenis tanah, penduduknya cukup tinggi umumnya adalah
tingkat kelerengan, tingkat kerusakan vegetasi, daerah-daerah yang berada di sekitar Kota
tingkat penutupan wilayah, penggunaan wilayah Majenang dan Kota Sidareja.
dan (3) analisis sosial ekonomi masyarakat. Potensi penduduk berdasarkan tingkat
Metode yang digunakan adalah (1) angkatan kerja di Kabupaten Cilacap dapat
analisis pemetaan, (2) analisis penentuan dilihat pada Tabel 1. Dari Tabel 1 dapat
36
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012
disimpulkan, bahwa angka beban 0-10 ppt, zona ini terdapat pada stasiun V.
tanggungan usia produktif adalah sekitar Zona ini didominasi oleh jenis N. fruticans
0.62. Hal ini berarti setiap tenaga kerja (INP= 57,78). Jenis lain yang diketemukan
produktif menanggung < 1 orang. Kondisi di zona ini antara lain S. Alba (INP= 40),
ini disebabkan karena jumlah tenaga kerja A. marina (INP= 35,56) dan R. apiculata
produktif masih lebih tinggi dibandingkan (INP= 31,11). (2) zona II dengan kelas
dengan tenaga kerja non produktif. salinitas 11-20 ppt, zona ini terdapat pada
stasiun I sampai IV. Zona ini didominasi
Tabel 1. Jumlah Penduduk berdasarkan Usia oleh B. gymnorrhiza (INP= 51,85), S. Alba
Kerja (INP= 59,46), R. mucronata (INP= 40) dan
A. marina (INP= 73,33). Jenis lain yang
Potensi penduduk
Kelas usia diketemukan di zona ini antara lain S. Alba,
laki-laki perempuan total R. apiculata, R. mucronata, A. alba dan B.
< 16 tahun 204.029 200.080 404.109 gymnorrhiza.
16 - 55 tahun 538.115 535.141 1.073.256
>55 tahun 128.151 133.087 261.238 2.3. Potensi Tsunami
Total 870.295 868.308 1.738.603
Ancaman tsunami di Kabupaten
Sumber: Sensus Penduduk BPS Tahun 2010 Cilacap jika terjadi gempa bumi 7 – 8 SR
akan tinggi pada kecamatan-kecamatan
2.2. Potensi Fisik dan Vegetasi Pesisir pesisir yang ada di sekitar pusat gempa.
Cilacap Kecamatan yang akan mengalami dampak
yang cukup besar jika terjadi tsunami adalah
Potensi penutupan lahan dan di kecamatan Kesugihan, Adipala, Maos,
penggunaan lahan di Kabupaten Cilacap Kroya, Binangun, Nusawungu, Cilacap
adalah belukar/semak, gedung, tambak, Selatan, Cilacap Utara dan Cilacap Tengah.
hutan, hutan rawa, kebun, permukiman, Sedangkan wilayah yang lain termasuk
tanah kosong, sawah irigasi, sawah tadah memiliki ancaman sedang jika tsunami
hujan, tanah berbatu dan tegalan/ladang. terjadi di Kabupaten Cilacap. Potensi
Potensi vegetasi, kerapatan mangrove Tsunami di Kabupaten Cilacap dapat dilihat
di Plawangan Barat, Segara Anakan Cilacap pada Tabel 2 dan Gambar 1 dan Gambar 2.
rata-rata untuk pohon 6.290±2.175,55
ind/ha. Kerapatan pancang rata-rata 2.4. Potensi Abrasi
77.920±33.721,68 ind/ha dan kerapatan
semai 455.000±174.902 ind/ha (Tabel Ancaman abrasi dan akresi di
15). Sedangkan indek keragaman (H’) Kabupaten Cilacap dapat dilihat pada
yang diperoleh di Plawangan Barat Segara Gambar 3 Ancaman arasi dan akresi
Anakan pada stasiun I sampai V berkisar di Kabupaten Cilacap terjadi di wilayah
1,50-2,07 dengan rataan 1,77±0,22. Nilai Kecamatan Cilacap Selatan, Cilacap
indek keragaman masing-masing stasiun Utara, Adipala, Binangun dan Nusawungu.
sebagai berikut: stasiun I, II, III, IV dan V Terjadinya abrasi di Kabupaten Cilacap
mempunyai nilai sebesar 1,91; 1,69; 2,07; disebabkan karena hilang dan rusaknya
1,50; dan 1,68. ekosistem hutan mangrove. Hal ini dapat
Potensi vegetasi di wilayah tersebut dilihat pada pantai di sekitar kecamatan
berdasarkan kelas salinitas masing-masing pesisir. Ekosistem mangrove yang rusak
stasiun di Plawangan Barat, Segara Anakan menyebakan tidak adanya bufferzone
Cilacap dapat digolongkan menjadi dua yang menahan deburan ombak yang dapat
zona yaitu, (1) zona I dengan kelas salinitas menyebabkan abrasi pantai.
37
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012
7°17'36"
%
Wanareja
Diagram Lokasi
%
% Cimanggu 105°1' 107°3' 109°5' 111°7' 113°9'
%
Karang Pucung
6°57'
6°57'
Cipari %
8°59'
8°59'
106°2' 108°4' 110°6' 112°8' 114°10'
KABUPATEN BANYUMAS
7°28'12"
7°28'12"
Sidareja Keterangan :
% Badan Air
Gandrung Mangu % Ibu Kota Kecamatan
% Aliran Sungai
Kedungreja
% Bantarsari Level Potensi Dampak Tsunami
Sedang
PROP. JAWA BARAT Tinggi
% Jeruklegi Sampang
Kawunganten % Maos
% %
Patimuan Kesugihan Kroya%
7°38'48"
7°38'48"
% %
Kampung Laut Cilacap Utara %
Adipala Binangun
Cilacap Tengah % Nusawungu
u
% ny
Pe
Cilacap Selatan luk
Te Sumber Data :
Peta Rupa Bumi Bakosurtanal skala 1:250.000
SAMUDERA HINDIA Citra Landsat TM th. 2007
7°17'36"
%
Wanareja Diagram Lokasi
%
% Cimanggu
105°1' 107°3' 109°5' 111°7' 113°9'
%
6°57'
6°57'
Karang Pucung
Cipari %
8°59'
8°59'
KABUPATEN BANYUMAS
7°28'12"
7°28'12"
Sidareja Keterangan :
% Badan Air
Gandrung Mangu % Ibu Kota Kecamatan
Aliran Sungai
%
Kedungreja
% Bantarsari Level Resiko :
Very High
PROP. JAWA BARAT High
% Jeruklegi Sampang Medium High
Medium
Kawunganten % Maos Low
% %
Patimuan Kesugihan Kroya%
7°38'48"
7°38'48"
% %
Kampung Laut Cilacap Utara %
Adipala Binangun
Cilacap Tengah % Nusawungu
% yu
en
Cilacap Selatan lukP
Te Sumber Data :
Peta Rupa Bumi Bakosurtanal skala 1:250.000
SAMUDERA HINDIA Citra Landsat TM th. 2007
38
Tabel 2. Potensi Terjadinya Tsunami Di Cilacap Jika Terjadi Gempa Bumi 7 – 8 SR.
Wanareja kebun-hutan rendah 40 180 Rendah 25 tinggi 30 1,2 Rendah 40 bukit curam rendah 40 >15 Rendah 5000 7- 8 tinggi 80 1,9 sedang
aliran lava
Majenang kebun-hutan rendah 40 23 Sedang 10 tinggi 30 3 Rendah 40 bukit dan rendah 40 >15 Rendah 5000 7- 8 tinggi 80 1,9 sedang
bukit kecil
dataran
Cimanggu sawah-irigasi tinggi 80 40 Sedang 10 sedang 5 0,5 Rendah 40 sedang 60 >15 Rendah 5000 7- 8 tinggi 80 2,9 sedang
aluvial
belukar- sedang- punggung
Karangpucung 60 50 Sedang 10 tinggi 30 3 Rendah 40 rendah 40 >15 Rendah 5000 7- 8 tinggi 80 2,2 sedang
pemukiman tinggi bukit
dataran
Cipari kebun sedang 60 50 Sedang 10 sedang 5 0,5 Rendah 40 sedang 60 >15 Rendah 5000 7- 8 tinggi 80 2,6 sedang
aluvial
kebun- sedang- punggung
Sidareja 60 26 Sedang 10 tinggi 30 3 Rendah 40 rendah 40 >15 Rendah 5000 7- 8 tinggi 80 2,2 sedang
pemukiman tinggi bukit
dataran
Kedungreja sawah tinggi 80 45 Sedang 10 sedang 5 0,5 Rendah 40 sedang 60 >15 Rendah 5000 7- 8 tinggi 80 2,9 sedang
gabungan
Patimuan sawah tinggi 80 5 tinggi 1 sedang 5 5 Sedang 60 dataran sedang 60 5,2 Sedang 5000 7- 8 tinggi 80 3,2 sedang
gabungan
sawah- dataran
Gandrungmangu tinggi 80 15 Sedang 10 sedang 5 0,5 Rendah 40 sedang 60 >15 Rendah 5000 7- 8 tinggi 80 2,9 sedang
pemukiman gabungan
dataran
Bantarsari rawa sedang 40 8 tinggi 1 sedang 5 5 Sedang 60 sedang 60 >15 rendah 5000 7- 8 tinggi 80 2,6 sedang
gabungan
dataran
Kawunganten rawa sedang 60 56 Rendah 25 sedang 5 0,2 Rendah 40 sedang 60 14,7 rendah 5000 7- 8 tinggi 80 2,6 sedang
gabungan
Kampunglaut rawa sedang 60 1 tinggi 1 rendah 1 1 Rendah 40 rawa tinggi 80 4,2 sedang 3000 7- 8 tinggi 80 4,8 sedang
Jeruklegi kebun sedang 60 9 tinggi 1 sedang 5 5 Sedang 40 dataran sedang 60 10 rendah 4000 7- 8 tinggi 80 3,2 sedang
Kesugihan pemukiman tinggi 80 8 tinggi 1 rendah 1 1 Rendah 40 beting pantai sedang 60 4,7 sedang 2500 7- 8 tinggi 80 5,8 Tinggi
Adipala pemukiman tinggi 80 8 tinggi 1 rendah 1 1 Rendah 40 beting pantai sedang 60 3,8 tinggi 1000 7- 8 tinggi 80 14,4 Tinggi
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012
sawah-
Maos tinggi 80 8 tinggi 1 sedang 5 5 Sedang 60 dataran sedang 60 8,6 sedang 3000 7- 8 tinggi 80 5,3 Tinggi
pemukiman
Sampang pemukiman tinggi 80 8 tinggi 1 sedang 5 5 Sedang 60 dataran sedang 60 >15 rendah 5000 7- 8 tinggi 80 3,2 sedang
Kroya pemukiman tinggi 80 10 tinggi 1 sedang 5 5 Sedang 60 dataran sedang 60 7,5 sedang 3000 7- 8 tinggi 80 5,3 Tinggi
Binangun pemukiman tinggi 80 8 tinggi 1 rendah 1 1 Rendah 40 beting pantai sedang 60 3,5 tinggi 1500 7- 8 tinggi 80 9,6 Tinggi
Nusawungu pemukiman tinggi 80 10 tinggi 1 rendah 1 1 Rendah 40 beting pantai sedang 60 4,1 tinggi 1500 7- 8 tinggi 80 9,6 Tinggi
rawa-
Cilacap Selatan pemukiman tinggi 80 6 tinggi 1 rendah 1 1 Rendah 40 rawa tinggi 80 1,4 tinggi 1500 7- 8 tinggi 80 10,72 Tinggi
rawa-
Cilacap tengah pemukiman tinggi 80 5 tinggi 1 rendah 1 1 Rendah 40 rawa tinggi 80 5 tinggi 1500 7- 8 tinggi 80 10,7 tinggi
Cilacap utara pemukiman tinggi 80 6 tinggi 1 rendah 1 1 Rendah 40 rawa tinggi 80 3,7 tinggi 1000 7- 8 tinggi 80 16,0 tinggi
39
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012
7°17'36"
%
Wanareja Diagram Lokasi
%
% Cimanggu
105°1' 107°3' 109°5' 111°7' 113°9'
6°57'
6°57'
Karang Pucung
Cipari %
8°59'
8°59'
106°2' 108°4' 110°6' 112°8' 114°10'
KABUPATEN BANYUMAS
7°28'12"
7°28'12"
Sidareja Keterangan :
% Badan Air
Gandrung Mangu % Ibu Kota Kecamatan
% Aliran Sungai
Kedungreja Administrasi
% Bantarsari
Pantai Awal (th. 1999)
PROP. JAWA BARAT Pantai Baru (th. 2007)
% Jeruklegi Sampang
Kawunganten % Maos
% %
Patimuan Kesugihan
Kroya%
7°38'48"
7°38'48"
% %
Kampung Laut Cilacap Utara %
Adipala Binangun
Cilacap Tengah % Nusawungu
% nyu
Pe Sumber Data :
Cilacap Selatan luk Peta Rupa Bumi Bakosurtanal skala 1:250.000
Te Peta RBI Bakosurtanal th. 1999
Citra Landsat TM th. 1999
SAMUDERA HINDIA Citra Landsat TM th. 2007
2.5. Penilaian Risiko Bencana Cilacap dapat dilihat pada Tabel. Jika ancaman
Tsunami terjadi, maka wilayah yang perlu
Penilaian risiko bencana yang terjadi di diperhatikan adalah daerah Cilacap Utara dan
wilayah kabupaten Cilacap dapat dilihat pada Adipala. Sedangkan ancaman abrasi terjadi di
Tabel 3. Potensi hazard dan vulnerability serta wilayah Adipala, Nusawungu, Binangun dan
nilai risiko bencana di seluruh Kecamatan di Cilacap Utara.
40
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012
fisik dan kimia perairan. Fungsi jalur hijau Cilacap Selatan sangat dibutuhkan untuk tsunami revetment dan seawall
Cilacap tengah
tersebut adalah : (1) sumber produktivitas Cilacap utara
sangat dibutuhkan untuk tsunami
sangat dibutuhkan untuk tsunami
revetment
revetment dan seawall
primer perairan, (2) tempat berlindungnya
organisme, (3) stabilisator proses pengendapan untuk pelaksanaan pekerjaan. Batu adalah
lumpur, (4) penyangga atau buffer terhadap salah satu bahan utama yang digunakan untuk
angin, gelombang, arus serta polutan yang membuat bangunan. Mengingat jumlah yang
berasal dari daratan dan laut. Jalur Hijau di diperlukan sangat besar, maka ketersediaan
pesisir Kabupaten Bengkalis dikembangkan batu di sekitar lokasi pekerjaan harus
melalui rumus penetapan jalur hijau yaitu 132 diperhatikan. Faktor penting lainnya adalah
x rata-rata pasang surut air laut. Di Kabupaten karakteristik dasar laut yang mendukung
Cilacap pasang surut air laut berkisar antara bangunan tersebut. Sistem waterbreak untuk
1.5-3 meter, maka potensi greenbelt adalah wilayah pesisir di Kabupaten Cilacap dan early
antara 66-396 meter. Lebar greenbelt dapat warning system dapat dilihat pada Tabel 5.
dilihat pada Tabel 4.
Tabel 6. Jalur Evakuasi Korban di Kabupaten
Tabel 4. Lebar Greenbelt Wilayah Pesisir Cilacap
Kabupaten Cilacap
Kecamatan Tingkat Tsunami Jalur evakuasi
Kecamatan Pesisir Gelombang (m) Lebar Greenbelt (m)
Kesugihan 1,5 198 Dayeuhluhur sedang jalur evakuasi
Patimuan 1,5 198 Wanareja sedang jalur evakuasi
Kawunganten 0,5 66
Kampunglaut Majenang sedang jalur evakuasi
1,5 198
Adipala 3 396 Cimanggu sedang jalur evakuasi
Binangun 3 396 Karangpucung sedang jalur evakuasi
Nusawungu 3 396
Cilacap Selatan 1,5 198 Cipari sedang jalur evakuasi
Cilacap tengah 1,5 198 Sidareja sedang jalur evakuasi
Cilacap utara 3 396
Kedungreja sedang jalur evakuasi
41
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012
42
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012
Abstract
Flood and landslide are disasters that happen frequently across Indonesia.
Quick and accurate information to a local government to locate prone areas and
direct a function of safe areas that is close to affected neighbourhood areas will mini-
mize the impact of any casualties or material losses.
Good management of drainage basin (DAS) is one of steps to prevent flood
and landslide. In order to overcome the disasters, Ditjen BPDASPS develops an ap-
plication of “SSOP Bantal” (System of Flood and Landslide Standard Operating Pro-
cedure) that is based on analysis unit of drainage basin. Besides for locating prone
areas of flood and landslide, the application also provides guidance on a function
for other areas around the prone areas, so that it will assist the local government for
preparedness to anticipate flood and landslide.
43
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012
merupakan salah satu instansi pemerintah yang konservasi yang dilaksanakan di daerah hulu
memiliki kewajiban untuk memberikan informasi dapat memberikan dampak di daerah hilir
mengenai lokasi yang rawan terhadap bencana dalam bentuk perubahan fluktuasi debit air
banjir dan tanah longsor kepada pemerintah dan transport sedimen serta material terlarut
daerah setempat. Hal ini terjadi karena Ditjen lainnya. Adanya bentuk keterkaitan daerah
BPDASPS memiliki Unit Pelaksana Teknis hulu–hilir seperti tersebut di atas, maka kondisi
(UPT) Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai suatu DAS dapat digunakan sebagai satuan
(BPDAS) di seluruh provinsi di Indonesia yang unit perencanaan sumberdaya alam termasuk
memiliki kemampuan untuk menganalisis dan pembangunan yang berkelanjutan.
memprediksi lokasi rawan bencana banjir dan Pentingnya posisi DAS sebagai
tanah longsor. unit perencanaan yang utuh merupakan
Untuk mempercepat kemampuan konsekuensi logis untuk menjaga
BPDAS menganalisa lokasi rawan bencana kesinambungan pemanfaatan sumberdaya
banjir dan tanah longsor, maka Ditjen BPDASPS hutan, tanah dan air. Kurang tepatnya
mengembangkan suatu aplikasi yang disebut perencanaan dapat menimbulkan adanya
Sistem Standar Operasi Prosedur Banjir degradasi DAS yang mengakibatkan bencana
dan Tanah Longsor (SSOP Bantal). Dalam banjir dan tanah longsor seperti yang
prosesnya, aplikasi tersebut melakukan analisa dikemukakan diatas. Dalam upaya menciptakan
dengan satuan unit DAS atau Sub DAS. Hal ini pendekatan pengelolaan DAS secara terpadu,
dilakukan, karena selain dapat menganalisis diperlukan perencanaan secara terpadu,
lokasi rawan bencana banjir dan tanah longsor, menyeluruh, berkelanjutan dan berwawasan
aplikasi ini dilengkapi dengan kemampuan lingkungan dengan mempertimbangkan DAS
untuk memberikan arahan fungsi terhadap DAS sebagai suatu unit pengelolaan. Dengan
atau Sub DAS yang sesuai dengan kondisi fisik demikian, bila ada bencana banjir dan tanah
wilayah dan hidrometeorologinya. Harapannya longsor, penanggulangannya dapat dilakukan
ke depan, pengelolaan DAS yang baik akan secara menyeluruh yang meliputi DAS mulai
terwujud dan meminimalisasi kejadian bencana dari daerah hulu sampai hilir.
banjir dan tanah longsor.
Berdasarkan Undang - Undang 1.2. Maksud dan Tujuan
Sumberdaya Air, Nomor 7 Tahun 2004, maka
yang dimaksud Daerah Aliran Sungai (DAS) Maksud dari penulisan ini adalah untuk
adalah suatu wilayah daratan yang merupakan menginformasikan aplikasi “SSOP Bantal” yang
satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sudah dikembangkan oleh Direktorat Jenderal
sungainya, yang berfungsi menampung, BPDASPS guna penentuan secara cepat dan
menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal tepat lokasi wilayah rawan bencana banjir dan
dari curah hujan ke danau atau ke laut secara tanah longsor.
alami, yang batas di darat merupakan pemisah Tujuannya adalah agar hasil dari
topografi dan batas di laut sampai dengan aplikasi ini dapat menjadi salah satu acuan
daerah perairan yang masih terpengaruh bagi pemerintah daerah setempat dalam
aktifitas daratan. mendapatkan informasi detil mengenai lokasi
DAS merupakan ekosistem, di mana wilayah rawan bencana banjir dan tanah
unsur organisme dan lingkungan biofisik serta longsor, serta penanganannya berdasarkan
unsur kimia berinteraksi secara dinamis dan di arahan fungsi, sehingga penanggulangan
dalamnya terdapat keseimbangan inflow dan kejadian bencana banjir dan tanah longsor
outflow dari material dan energi. Bagian hulu akan semakin baik. Akhirnya, diharapkan
dan hilir DAS mempunyai keterkaitan biofisik akan semakin meminimalkan dampak korban
melalui daur hidrologi. Aktivitas perubahan jiwa dan kerugian material yang diderita oleh
tataguna lahan dan atau pembuatan bangunan masyarakat di sekitar wilayah bencana.
44
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012
2. APLIKASI “SSOP BANTAL” dibagi menjadi tiga bagian, yaitu (1) sebelum
terjadi bencana, (2) pada saat terjadi
2.1. Gambaran Umum Aplikasi bencana, dan (3) pasca terjadi bencana.
Pengembangan aplikasi SSOP Bantal di Balai
Aplikasi ”SSOP Bantal” dikembangkan Pengelolaan DAS ini lebih diutamakan pada
oleh Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan kejadian sebelum terjadi bencana. Dalam
DAS dan Perhutanan Sosial bekerjasama perjalanannya, aplikasi ini terus mengalami
dengan PUSPICS Universitas Gajahmada penyempurnaan. Hal ini disebabkan adanya
sejak tahun 2007. Pada awalnya aplikasi perkembangan teknologi perangkat lunak
ini dibuat untuk mempermudah Balai sistem informasi geografis dan juga adanya
Pengelolaan DAS dalam menjalankan tugas berbagai masalah yang dihadapi terkait
pokok dan fungsinya, yaitu merencanakan proses pengerjaan database, serta kriteria
dan memantau serta mengevaluasi atau pedoman yang digunakan dalam proses
pengelolaan DAS, di mana kerusakan analisa aplikasi tersebut.
ekosistem dalam tatanan DAS di Indonesia
semakin banyak teridentifikasi kritis, seperti 2.2. Parameter Aplikasi
ditunjukkan dengan sering terjadinya banjir,
erosi, sedimentasi dan tanah longsor. Dalam Parameter dan kriteria seluruh analisa
PP Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana yang terdapat dalam aplikasi SSOP Bantal ini
Pembangunan Jangka Menengah Nasional mengacu kepada semua pedoman dan petunjuk
Tahun 2004-2009, disebutkan bahwa DAS teknis yang dihasilkan oleh Direktorat Jenderal
berkondisi kritis semakin meningkat dari 22 Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial
DAS (1984) menjadi 39 DAS (1994), dan dan juga Badan Penelitian dan Pengembangan
kemudian 62 DAS (1999). Kehutanan Kementerian Kehutanan. Beberapa
Proses penanganan bencana banjir contoh parameter yang digunakan adalah
dan tanah longsor pada dasarnya dapat sebagai berikut :
4. Manajemen Penerapan teknologi konservasi tanah lengkap dan 1. Baik 5 Survei lapangan *)
(10) sesuai Petunjuk Teknis*) Tata batas ada,
Tidak lengkap atau tidak dipelihara 2. Sedang 3 ada pengawas,
dan dilaksanakan
Tidak ada 3. Buruk 1 penyuluhan
45
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012
46
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012
2.3. Manual Penggunaan Aplikasi ketik “1234” untuk password dan selanjutnya
klik “Login”, maka program SSOP akan tampil
Setelah aplikasi ”SSOP Bantal” diinstal, di layar monitor seperti gambar di bawah ini :
maka langkah awal untuk pengoperasiannya
adalah dengan mengakses dari menu All
Programs – SSOP – ExpertSystem_SIMDAS
atau dari All Programs – SSOP&EWS – SSOP
& EWS-Banjir, seperti Gambar 1.
atau
47
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012
48
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012
Setelah itu, aplikasi ini akan mengkalkulasi 1. Jendela view yang berfungsi untuk
secara otomatis parameter-parameter tersebut. menampilkan peta/grafis,
Akhirnya parameter itu akan menentukan tingkat 2. Toolbar menu menyediakan perangkat
kekritisan DAS yang siap untuk dianalisis lebih yang berhubungan dengan operasi pada
lanjut ataupun dicetak. jendela view,
3. Button menu menyediakan perintah dalam
2.3.3. Menu SIMDAS bentuk icon,
4. Menu utama yang menyediakan perintah
Identifikasi kerusakan dan perintah dan fasilitas penunjang
pewilayahan DAS secara lebih detil dalam SIMDAS.
bentuk analisis spasial dilakukan melalui
menu SIMDAS. Letak 4 komponen utama SIMDAS
Untuk menjalankan program SIMDAS, tersebut ditunjukkan pada Gambar 7.
diperlukan perangkat lunak ArcView 3.x.
Hal ini disebabkan karena perangkat lunak
SIMDAS dibuat dalam lingkungan ArcView
dan menggunakan bahasa pemrograman
avenue. Aplikasi SIMDAS memiliki empat
kapasitas utama, yaitu:
1. Menampilkan grafis peta
2. Identifikasi dan penelusuran objek pada
peta
3. Pemodelan spasial
4. Operasi pada data atribut (tabel).
49
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012
50
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012
51
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012
Gambar 15.
Tampilan setting EWS-Banjir
pada saat status TIDAK BANJIR
3. HASIL APLIKASI “SSOP BANTAL” Gambar 18. Peta Lahan Kritis Wilayah Kerja
BPDAS Sampean
Beberapa hasil analisa yang dilakukan
oleh Balai Pengelolaan DAS dengan
menggunakan aplikasi ”SSOP Bantal” ini dapat
dilihat pada Gambar 16 sampai dengan 23.
Gambar 16. Peta Rawan Banjir Wilayah Kerja Gambar 19. Peta Arahan Fungsi Wilayah
BPDAS Sampean Kerja BPDAS Sampean
52
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012
Gambar 20. Peta Rawan Banjir Wilayah Kerja Gambar 23. Peta Arahan Fungsi Wilayah
BPDAS Barito Kerja BPDAS Barito
4. PENUTUP
53
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012
keberadaan aplikasi “SSOP Bantal” ini semakin Gunawan Totok, Pengantar Sistim
kuat dalam mendukung tugas pokok dan fungsi Standar Operasi Prosedur Banjir dan
dari Balai Pengelolaan DAS. Tanah Longsor, Yogyakarta 2010
Direktorat Kehutanan dan Konservasi
DAFTAR PUSTAKA Sumberdaya Air Bappenas, Kajian
Model Pengelolaan Daerah Aliran
Direktorat Rehabilitasi dan Konservasi Tanah, Sungai (DAS) Terpadu, Jakarta 2010
Direktorat Jenderal Reboisasi dan Nur. M. Farda dan Bayu Prayudha, Manual SSOP
Rehabilitasi Lahan Departemen Pengendalian Banjir dan Longsor,
Kehutanan, Pedoman Identifikasi Yogyakarta 2010
Karakteristik DAS, Jakarta 1996 UN Office for the Coordination of Humanitarian
Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Affairs (OCHA) Indonesia, Monthly
Perhutanan Sosial Departemen Humanitarian Update, Jakarta,
Kehutanan, Petunjuk Teknis Januari 2011 www.seputar-indonesia
Penyusunan Data Spasial Lahan Kritis, .com, Bencana Banjir dan Tanah
Jakarta 2004 Longsor Mengancam, 7 Januari 2011
Paimin, Sukresno, Purwanto, Sidik Cepat
Degradasi Sub DAS Pusat Penelitian
dan Pengembangan Hutan dan
Konservasi Alam, Badan Penelitian
dan Pengembangan Kehutanan,
Bogor 2006
54
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012
55
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012
56
ISSN 2087636X
JURNAL
Diterbitkan oleh:
BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA
Jl. Ir. H. Juanda No. 36 Jakarta Pusat 10120
Telp. 021-3458400 Fax. 021-3458500
BNPB www.bnpb.go.id
Email : contact@bnpb.go.id
Facebook : www.facebook.com/infobnpb
Twitter : @BNPB_Indonesia
http://twitter.com/BNPB_Indonesia
Youtube : BNPBIndonesia
http://www.youtube.com/user/BNPBIndonesia
TERBITAN
TERBITANBERKALA
BERKALABADAN
BADANNASIONAL
NASIONALPENANGGULANGAN
PENANGGULANGANBENCANA
BENCANA