Anda di halaman 1dari 60

ISSN 2087636X

JURNAL

JURNAL PENANGGULANGAN BENCANA


PENANGGULANGAN
BENCANA
Volume 3, Nomor 1, Tahun 2012

Volume 3, Nomor 1, Tahun 2012

Diterbitkan oleh:
BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA
Jl. Ir. H. Juanda No. 36 Jakarta Pusat 10120
Telp. 021-3458400 Fax. 021-3458500
BNPB www.bnpb.go.id

Email : contact@bnpb.go.id
Facebook : www.facebook.com/infobnpb
Twitter : @BNPB_Indonesia
http://twitter.com/BNPB_Indonesia
Youtube : BNPBIndonesia
http://www.youtube.com/user/BNPBIndonesia
TERBITAN
TERBITANBERKALA
BERKALABADAN
BADANNASIONAL
NASIONALPENANGGULANGAN
PENANGGULANGANBENCANA
BENCANA
JURNAL PENANGGULANGAN BENCANA
Terbit 2 kali setahun, mulai Oktober 2010

ISSN : 2087 636X

Volume 3 Nomor 1, Juni 2012

Pembina:
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana

Penasihat:
Sekretaris Utama BNPB

Pemimpin/Penanggung Jawab Redaksi:


Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB

Ketua Dewan Penyunting:


DR. Sutopo Purwo Nugroho
Hidrologi dan Pengurangan Risiko Bencana

Anggota Dewan Penyunting:


DR. Sugimin Pranoto, M. Eng / Teknik Sipil dan Lingkungan
Prof. DR. Zainuddin Maliki, M.Si / Sosial dan Politik
DR. Iwan Gunawan. M.Sc / Geodesi dan Penginderaan Jauh
DR. Rudy Pramono / Sosiologi Bencana
Ir. B. Wisnu Widjaja M.Sc / Geologi dan Kesiapsiagaan Bencana
DR. Ir. Agus Wibowo / Database dan GIS
Ir. Neulis Zuliasri, M.Si / Teknologi Informasi
Drs. Hartje Robert W / Komunikasi

Mitra Bestari
Prof. DR. Sudibyakto / Geologi dan Lingkungan
Prof. DR. Ir. H. Sarwidi MSCE, Ph.D / Teknik Sipil dan Rekayasa Struktural

Pelaksana Redaksi:
Ario Akbar Lomban, SE, Linda Lestari, S.Kom, I Gusti Ayu N, M.Si, Sulistyowati, SE,
Sri Dewanto Edi P, S.Si, Suprapto, S.Si, Nurul Maulidhini ST,
Ignasius Toto Satrio, Theophilus Yanuarto, S.S

Alamat Redaksi:
Pusat Data Informasi dan Humas
Badan Nasional Penanggulangan Bencana
Jln. Ir. H. Juanda, Nomor 36 Jakarta 10120 Indonesia
Telp. 021-3458400; Fax. 021-34558500, Email: redaksijurnal@bnpb.go.id

Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas karunia-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan penerbitan Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1 pada bulan Juni 2012.
Dalam edisi ini, dimuat makalah yang berkaitan dengan Kontestasi Pengetahuan dan Pemaknaan
Tentang Ancaman Bencana Alam, dilakukan untuk bencana letusan Gunung Merapi. Materi selanjutnya yang
tersaji adalah Bencana Sedimen di DAS Bawakaraeng dan perhitungan ambang batas hujan penyebabnya.
Bagaimana kondisi mental seorang anak dalam menghadapi bencana dapat ditemukan pada materi ketiga di
jurnal ini. Edisi Jurnal Penanggulangan Bencana kali ini juga menampilkan Analisis Potensi Bencana Abrasi
dan Tsunami di Pesisir Cilacap. Jurnal akan ditutup dengan materi mengenai Aplikasi SSOP Bantal, sebuah
aplikasi dari Kementerian Kehutanan untuk memantau bencana banjir dan tanah longsor. Untuk lebih
meningkatkan hasil publikasi ilmiah mengenai penanggulangan bencana, kami atas nama Dewan
Redaksi Jurnal Penanggulangan Bencana mengundang para ahli penanggulangan bencana untuk
mengirimkan makalah ilmiah untuk diterbitkan pada jurnal edisi selanjutnya.

Kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penerbitan jurnal edisi ini, kami mengucapkan banyak
terima kasih.

i
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012

JURNAL PENANGGULANGAN BENCANA


Volume 3 Nomor 1, Juni 2012

Daftar Isi

Kata Pengantar ..............................................................................................................................i

Daftar Isi ........................................................................................................................................ii

Kontestasi Pengetahuan dan Pemaknaan Tentang Ancaman Bencana Alam (Studi Kasus
Ancaman Bencana Gunung Merapi)
Syamsul Maarif, Rudy Pramono, Rilus A. Kinseng, dan Euis Sunarti .....................................1

Ambang Batas Curah Hujan untuk Bencana Sedimen di Kaldera Bawakaraeng, Sulawesi Selatan
Hasnawir ....................................................................................................................................14

Ketangguhan Mental Anak dalam Menghadapi Bencana


Wiwik Sulistyaningsih ..............................................................................................................25

Analisis Potensi Bencana Abrasi dan Tsunami di Pesisir Cilacap


Endang Hilmi, Eko Hendarto, Riyanti dan Asrul Sahri ............................................................35

Aplikasi “SSOP BANTAL” Berbasis DAS untuk Penanggulangan Banjir dan Tanah Longsor
Harry Santoso ...........................................................................................................................43

ii
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012

KONTESTASI PENGETAHUAN DAN PEMAKNAAN TENTANG


ANCAMAN BENCANA ALAM
(Studi Kasus Ancaman Bencana Gunung Merapi)

Oleh:
Syamsul Maarif1, Rudy Pramono2, Rilus A. Kinseng3, Euis Sunarti4

Syamsul Maarif et al., (2012) Kontestasi Pengetahuan dan Pemaknaan tentang


Ancaman Bencana Alam, Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1,
Tahun 2012, hal 1-13, 1 tabel.

Abstract
A local community has its own knowledge and mechanism in order to cope
environment surrounds for survival purposes. The knowledge and mechanism are
known as local wisdom. In other hands, the knowledge and mechanisms developed
the community will confront with knowledge and mechanism from other communities
(outsiders). This will probably create contestation on the different knowledge and
mechanisms between the local community and outsiders in order to respond
phenomena.
In facing natural phenomena, in this case Mount Merapi, there was a
contestation between the local community and outsiders. Moreover, the contestation
itself occurred within the community around Mount Merapi. How the contestation
occurred, who were involved, and what implications towards the process of disaster
management are questions that will answered in this research.

Keywords: local wisdom, contestation

1. PENDAHULUAN tsunami. Mekanisme dalam menghadapi


kejadian (coping mechanism) terbentuk
Setiap kelompok masyarakat mempunyai dan lahir dari pengalaman, pengetahuan,
pengetahuan dan cara untuk menghadapi pemahaman, dan pemaknaan terhadap setiap
lingkungan demi kelangsungan hidupnya. kejadian, fenomena, harapan dan masalah
Pengetahuan dan cara ini dikenal sebagai yang terjadi di sekitarnya. Mekanisme tersebut
“wisdom to cope with the local events” atau diteruskan lewat proses sosialisasi dari
sering disingkat dengan istilah “local wisdom”. generasi ke generasi dan pelaksanaannya
Sebagai contoh, di masyarakat Simeuleue tergantung pada kadar kualitas pemahaman
dikenal local wisdom yang disebut smong, yaitu dan implikasinya dalam kehidupan mereka.
suatu pengetahuan yang diwariskan secara Sementara itu, berbagai pihak yang
turun-temurun dari generasi ke generasi untuk lain mungkin pula memiliki pengetahuan dan
bertindak bila masyarakat menghadapi bencana pemaknaan yang berbeda terhadap suatu
kejadian atau fenomena yang dihadapi oleh
suatu masyarakat lokal. Hal ini juga terbentuk
Penulis adalah dari proses panjang dan berkaitan dengan
1
Kepala BNPB berbagai faktor seperti sistem pengetahuan
2
Dosen Universitas Pertahanan Indonesia
3
Dosen Universitas Indonesia
yang digunakan, pengalaman, kepentingan,
4
Dosen IPB Bogor posisi sosial, dan sebagainya. Oleh sebab

1
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012

itu, tidak mengherankan jika seringkali terjadi Bertens (1985:487) berpendapat,


kontestasi pengetahuan dan pemaknaan terdapat beberapa pandangan Foucault tentang
atas suatu fenomena antara masyarakat kekuasaan. Pertama, bukanlah hak milik tetapi
lokal dengan pihak “luar” seperti pemerintah, sebagai strategi seseorang/kelompoknya dalam
akademisi, swasta, maupun LSM. Jika satu ruangan tertentu di mana satu sama
Steven Seidman (1998) mengatakan bahwa lain saling berkompetisi untuk mewujudkan
“Knowledge in a postmodern culture will be tujuannya masing-masing. Kedua, kekuasaan
permanently contested...”, maka tampaknya bersifat menyebar di mana-mana dan tidak dapat
kontestasi pengetahuan dan pemaknaan dilokalisir.
tersebut merupakan bagian dari kehidupan Ketiga, kekuasaan tidak selalu bekerja
masyarakat itu sendiri, terlepas apakah melalui penindasan dan represi, tetapi terutama
masyarakat tersebut dikategorikan sebagai melalui normalisasi dan regulasi. Keempat,
“postmodern” atau tidak. kekuasaan tidak bersifat destruktif melainkan
Dalam konteks itu, pengetahuan dan produktif yang menghasilkan sesuatu yang dapat
pemaknaan atas fenomena alam, yakni mengubah sesuatu dalam tatanan sosial politik
Gunung Merapi, tampaknya juga mengalami yang aktual. Sementara itu, menurut Bourdieu
kontestasi yang cukup “sengit”. Kontestasi itu (1993) kekuasaan merupakan suatu perjuangan
terjadi bukan hanya antara masyarakat lokal setiap agen (individu, kelompok maupun institusi)
di sekitar Gunung Merapi dengan “pihak luar”, dalam mendapatkan berbagai modal dalam
melainkan juga antara sesama masyarakat suatu ranah (field) tertentu.
di sekitar Gunung Merapi itu sendiri. Seperti Akhir-akhir ini, berkembang perhatian
apa kontestasi itu, siapa saja yang terlibat tentang peran pengetahuan lokal dalam upaya
dalam kontestasi itu, apa implikasinya bagi pengurangan risiko bencana (Jigyasu 2002;
penanggulangan bencana, merupakan isu-isu Howell 2003; Cronin et al., 2004; Haynes 2005;
yang akan dibahas dalam tulisan ini. Mitchell 2006; Dekens 2007; Mercer et al., 2007).
Mercer et al., (2009) mendefinisikan pengetahuan
2. Pengetahuan dan Kekuasaan lokal sebagai seperangkat pengetahuan yang
ada dan diyakini masyarakat lokal dalam
Pandangan Foucault (1980) suatu jangka waktu tertentu melalui akumulasi
dalam Power and Knowledge tentang pengalaman, relasi masyarakat dengan alam,
konsep kekuasaan menjelaskan bahwa praktik dan institusi masyarakat dan diteruskan
konstelasi kekuasaan menyebar dan antar generasi (lihat juga Brokensha et al., 1980;
bekerja dalam interaksi antar aktor sosial Sillitoe 2000; Fernando 2003).
dalam masyarakat. Menurut Foucault Seluruh pengetahuan bersifat
kekuasaan selalu terartikulasikan melalui dinamis, terus berubah, berkembang dan
pengetahuan dan pengetahuan memiliki beradaptasi karena respon masyarakat pada
efek kekuasaan. Penyelenggara kekuasaan perubahan lingkungannya. Selama bertahun-
selalu memproduksi pengetahuan sebagai tahun masyarakat lokal telah memberikan
basis kekuasaannya. Pengetahuan beserta tanggapan pada lingkungan mereka dan
institusi penopang yang diproduksi kelompok menyesuaikannya dengan perubahan,
dominan tidaklah memuat kategori benar menggunakan baik ilmu pengetahuan modern
atau salah, karena masyarakat dan zaman maupun pengetahuan lokal (Agrawal 1995).
memiliki bentuk-bentuk wacananya sendiri di Interaksi antara pengetahuan modern dan
dalamnya di mana kebenaran-kebenaran itu pengetahuan lokal bukanlah sesuatu yang
dibangun. Pengetahuan lokal diproduksi oleh baru. Pengetahuan modern dan pengetahuan
kelompok dominan pada waktu yang lampau, lokal seringkali terlibat dalam hubungan
sedangkan pengetahuan modern diproduksi kekuasaan (Wisner 1995; Dekens 2007).
oleh kelompok pada waktu saat ini. Ilmu pengetahuan modern seringkali menjadi

2
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012

acuan dominan dalam kehidupan masyarakat berada di sekitarnya (Singgih, 2006:254-255).


modern dan menyingkirkan pengetahuan lokal Sindhunata (1998) mendeskripsikan bagaimana
(Laws 1994; Shaw et al., 2006). Oleh karena penduduk memahami dan berusaha merespon
itu, seringkali pengetahuan lokal diabaikan fenomena Gunung Merapi. Bagi masyarakat
dalam upaya pengurangan risiko bencana lokal di sekitar Gunung Merapi, “Mbah Merapi”
(Dekens 2007). Konflik kepentingan dalam menampakan dua sisi yang kontradiksi; pada
dan di antara kelompok pelaku dan kurangnya satu sisi letusan Gunung Merapi dimaknai
kemauan politik memberikan sumbangan sebagai ancaman yang dapat mematikan
pada pengabaian pengetahuan lokal dalam atau menuntut korban manusia, namun di sisi
pengurangan risiko bencana (Wisner, 1995; lain ia memberikan kesuburan dan kehidupan
White et al., 2001). Namun demikian, semakin bagi manusia yang tinggal di sekitarnya. Pada
meningkatnya kesadaran tentang pengurangan waktu masyarakat mendapatkan ancaman dan
risiko bencana dan kerentanan menghadapi musibah dari “Mbah Merapi”, pada umumnya
ancaman bencana, telah dikembangkan mereka berpandangan bahwa “sakersanipun
upaya untuk membangun hubungan baru dan gusti, kaula nampi mawon” (Sindhunata, 1998).
berkelanjutan berdasarkan kekuatan masing- Pandangan ini menunjukkan bahwa eksistensi
masing pengetahuan (Agrawal 1995; Wisner, Gunung Merapi dan potensinya diterima dan
1995; Larsen 2006; Mercer et al., 2008). dihayati dalam perspektif seimbang (dual
Namun demikian, dalam banyak kejadian dimensions). Di satu sisi Gunung Merapi dapat
interaksi antar pengetahuan memperburuk mengakibatkan bencana melalui letusan dan
kerentanan komunitas lokal menghadapi “wedus gembel” (awan panas) yang dapat
ancaman lingkungan dan pertimbangan yang menghancurkan, namun di sisi lain, Gunung
tidak memadai untuk mengintegrasikan antara Merapi menjadi berkah bagi masyarakat yang
pengetahuan modern dan pengetahuan tinggal di sekitarnya berupa kesuburan tanah,
lokal secara efektif dalam pengurangan material pasir hasil letusan, obyek kegiatan
risiko bencana (Dekens 2007; Mercer et al., wisata, dsb.
2007). Padahal melalui identifikasi kekuatan Selanjutnya, menurut De Coster (2002),
masing-masing dasar pengetahuan dan kepercayaan masyarakat pada Gunung Merapi
mengintegrasikannya akan memperkuat merupakan percampuran antara kepercayaan
masyarakat lokal dalam mempersiapkan dan animisme, Hindu, Buddha dan pengaruh Islam.
upaya mitigasi menghadapi ancaman bencana. Mereka mempercayai bahwa kerugian aktual
Kontestasi dalam tulisan ini dipahami sebagai dan potensial yang terkait dengan letusan
bentuk untuk menggambarkan hubungan gunung berapi berada di bawah kendali
persaingan dan perjuangan dalam hubungan kekuatan Ilahi. Pemaknaan mereka tentang
atau interaksi di mana yang nantinya akan Gunung Merapi ini berkaitan dengan praktek
muncul ‘pemenang’ yang akan menjadi rujukan kultus roh, pemujaan leluhur, penyembuhan
utama dalam tatanan masyarakat, sedangkan semangat dan bentuk shamanistic
yang ‘kalah’ akan terpinggirkan bahkan bisa (‘dukunisme’). Pengetahuan dan keyakinan
hilang. dalam bentuk-bentuk mitos ini dikenal luas dan
mendapat banyak dukungan rakyat, khususnya
3. Kontestasi Pengetahuan tentang di daerah pedesaan (Triyoga, 1991), (Schlehe,
Merapi 1996), (Schlehe, 2007), (Dove, 2007) dan
(Dove, 2008).
Pada kasus Gunung Merapi, local Letusan Gunung Merapi pada tahun
coping mechanism terhadap kondisi alam 1994 mendorong terjadinya revitalisasi terhadap
ini, termasuk bencana meletusnya gunung pengaruh kepercayaan mistik tersebut dan
tersebut, telah berlangsung selama bertahun- mendorong pemerintah untuk melakukan upaya
tahun di kalangan masyarakat Jawa yang pemindahan penduduk ke tempat lebih jauh

3
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012

yang aman. Bagi penduduk desa yang tinggal pada kemampuan atau kesaktian sang Juru
di lereng Gunung Merapi maupun penduduk Kunci sehingga merasa dilindungi, sedangkan
Yogyakarta, letusan bukanlah sebagai bencana. orang-orang yang tinggal jauh dari Kinahrejo
Letusan gunung Merapi dipahami sebagai meskipun tinggal di jarak yang sama dari
peringatan dari dunia supranatural (Schlehe, kawah, memiliki tingkat kepercayaan yang
1996). Akibat kepercayaan ini banyak orang semakin kurang terhadap kesaktian sang Juru
yang tinggal dekat dengan sungai Boyong Kunci.
dan Gendol tidak merasa takut. Kegiatan rutin Kontestasi pengetahuan lokal dan
gunung berapi ini telah benar-benar terintegrasi modern tentang merapi dalam studi ini dapat
dalam kehidupan sehari-hari, dan telah menjadi dilacak melalui interaksi agen-agen penting
bagian informal bagi rakyat yang tinggal disitu. yang terlibat dalam memberikan wacana
Gunung Merapi telah dipersonifikasikan sebagai tentang Merapi dan aktivitasnya dalam fase
“Mbah Merapi”; Mbah berarti kakek atau nenek, erupsi. Sepanjang peristiwa Erupsi Merapi
milik dunia manusia. Alih-alih dianggap sebagai 2006 dan 2010 beberapa aktor penting yang
sumber bahaya, gunung berapi diangap sering terlibat dalam kontestasi wacana gunung
sebagai milik umum yang dihormati oleh semua merapi, secara umum dapat dibagi dalam
penduduk desa. Istilah Jawa wedhus gembel dua kelompok besar yaitu kelompok yang
(aliran piroklastik) dianggap sebagai kurang membangun wacana berdasarkan pengetahuan
sopan bagi sebagian orang. Mereka melakukan lokal dan kelompok yang membangun wacana
“koreksi” dengan mengatakan bahwa Merapi berdasarkan ilmu pengetahuan modern.
sedang buang hajad. Dalam ekspresi bahasa Aktor penting yang terlibat dalam
Indonesia, yaitu untuk membuang kotoran, membangun wacana dan tindakan
seperti yang dilakukan manusia. berdasarkan pengetahuan lokal yaitu Mbah
Di lereng Gunung Merapi, masyarakat Marijan. Mbah Maridjan, juru kunci Merapi
lokal menaruh kepercayaan mereka pada tokoh merupakan salah satu orang yang tetap
informal yang menjadi Juru Kunci lokal , Mbah bersikukuh tinggal di rumah, meskipun
Marijan. Selama letusan Merapi terakhir pada rumahnya di Dusun Kinahrejo hanya berjarak
bulan April 2006, Mbah Marijan menolak untuk lima kilometer dari puncak Merapi. “Saya
mengungsi meski ia mendukung evakuasi untuk masih kerasan dan betah tinggal di sini. Kalau
orang lain. Ia berhubungan dengan roh leluhur ditinggal nanti siapa yang mengurus tempat
sembilan (pepundhen) setelah 3 hari meditasi ini,” kata Mbah Maridjan. Meskipun demikian,
untuk meminta agar Gunung Merapi membatasi pria bernama asli Mas Penewu Suraksohargo
tingkat kerusakan. Juru Kunci ini hampir 80 ini justru meminta warga menuruti imbauan
tahun terus menerus menerima pengunjung pemerintah. “Saya minta warga untuk
untuk mencari informasi tentang gunung di menuruti perintah dari pemerintah, mau
rumahnya yang berada di dusun Kinahrejo, desa mengungsi ya monggo,” kata dia. Mbah
Umbulharjo Kec. Cangkringan. Mbah Marijan Maridjan justru berpendapat, jika ia pergi
ditunjuk oleh Sultan untuk melaksanakan mengungsi, dikhawatirkan warga akan salah
“ruwatan/perawatan” tahunan kepada gunung menanggapi lalu panik. Mereka dikhawatirkan
berapi, tradisi abad-lama (Triyoga, 1991). mengira kondisi Gunung Merapi sedemikian
Keberadaan rumah Mbah Marijan selaku Juru gawat. “Sebaiknya kita berdoa supaya Merapi
Kunci Gunung Merapi di Dusun Kinahrejo tidak batuk,” kata dia. Warga juga diimbau
menjelaskan penolakan untuk mengevakuasi memohon keselamatan pada Tuhan, agar
penduduk dusun tersebut sebelum letusan pada tak terjadi yang tak diinginkan kalau nantinya
tahun 2006, meskipun pihak yang memegang Merapi benar-benar meletus. Pengetahuan
otoritas telah memerintahkan untuk dievakuasi. tentang kapan Merapi meletus menurut
Orang-orang yang hidup dekat dengan wilayah Mbah Maridjan mengaku tak tahu. Apalagi,
Kinahrejo memiliki kepercayaan yang kuat ia tak punya alat canggih seperti yang

4
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012

dimiliki Badan Vulkanologi. “Hanya Tuhan yang merupakan pejabat pemerintah yang tuturnya
tahu kapan Merapi akan meletus. Saya tidak dianggap sama dengan pejabat lainnya:
punya kuasa apa-apa,” jawab dia. Sikap serupa memohon warga agar lekas mengungsi. Oleh
ditunjukkan Mbah Maridjan ketika Merapi sebab itu, meskipun ia adalah seorang abdi
mengalami erupsi pada tahun 2006. Saat itu, dalem, ia tidak wajib patuh pada Sultan yang
ia menolak untuk mengungsi meski dibujuk sekarang ini menjabat Gubernur DIY. Hal
langsung oleh Sultan Hamengku Buwono X tersebut karena Mbah Maridjan menganggap
dan dijemput dengan mobil evakuasi. hanya wajib mengindahkan “kata/instruksi”
Pilihan Mbah Maridjan ditanggapi almarhum Sultan Hamengku Buwono IX,
berbeda oleh masyarakat. Ada yang pro dan ayah Sultan Hamengku Buwono X, yang
kontra. Hari itu Mbah Maridjan mengatakan, mengangkatnya sebagai juru kunci Gunung
dia tetap tinggal di rumah, menepati janjinya Merapi, serta memberinya gelar Raden
terhadap Raja Yogyakarta Sri Sultan Ngabehi Suraksohargo 28 tahun silam. Dengan
Hamengku Buwono IX yang mengangkatnya, kematian mbah Maridjan, yang “yakin dan
sambil berdoa untuk keselamatan warga. ambil risiko” untuk tetap tinggal di rumahnya
Aksi itu dianggap sebagian orang semacam walaupun mbah Rono telah mengumumkan
pembangkangan Mbah Maridjan disebabkan bahwa penduduk di sekitar Merapi harus turun
oleh penolakan terhadap peringatan supaya gunung untuk mengungsi, maka hilanglah salah
warga di sekitar Merapi mengungsi lantaran satu aktor utama yang merepresentasikan
gunung ini telah ditentukan berstatus Awas. pengetahuan lokal tentang Merapi.
Penolakan pertama dijalankan Mbah Maridjan Di lain pihak, aktor penting yang menjadi
pada Mei 2006. Saat Merapi meletus pada Mei representasi dari wacana mengenai merapi dan
2006, aparat pemerintah termasuk penguasa aktivitasnya yang berdasarkan pengetahuan
Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku modern adalah Surono. Dia dijadikan
Buwono, memohon masyarakat Desa Kinahrejo rujukan utama untuk mengetahui aktivitas
agar mengungsi. Akan tetapi, Mbah Maridjan gunung Merapi berdasarkan prinsip-prinsip
justru berdiam di pelataran Srimanganti yang pengetahuan ilmiah atau modern. Pria yang
berlokasi di punggung selatan Merapi. Ia pun mempunyai gelar sarjana fisika dari ITB itu
tidak tersentuh awan panas. Akibatnya, dari adalah Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi
19 kepala keluarga atau 84 jiwa penduduk Bencana Geologi (KPVMBG) Kementerian
di Dusun Kinahrejo, tidak terdapat seorang Energi Sumberdaya Mineral (ESDM). Jika
pun yang mengungsi. Mulai anak-anak balita Mbah Maridjan dianggap tahu seluk beluk
sampai orang tua yang telah renta tetap Merapi karena menjadi juru kunci yang
mempertahankan diri di rumah mereka sembari dipilih oleh Sultan Hamengkubowon IX, dan
berdoa meminta perlindungan Tuhan seperti menggunakan pengetahuan lokal yang berbau
diserukan Mbah Maridjan. mistik dan klenik, maka Surono mengetahui
Namun dalam kejadian erupsi Merapi seluk beluk Merapi karena pengetahuan dan
tahun 2010 kakek berusia 83 tahun itu ditemui data-data yang dimiliki mengenai aktivitas
di antara reruntuhan rumahnya dalam kondisi gunung Merapi selama ini yang didukung oleh
tidak bernyawa oleh relawan Tim SAR pada peralatan modern. Surono yang sering dipanggil
Rabu (27/10) 06.05 WIB. Ia diketahui di kamar mbah Rono, adalah orang yang bertanggung
mandi rumahnya di dalam posisi sujud. Lelaki jawab terhadap penentuan status Merapi. Dan
yang mempunyai enam orang cicit itu meninggal mungkin mbah Rono adalah sedikit dari orang
ketika menjalankan tugasnya sebagai juru Indonesia yang mengetahui dan mendalami
kunci Gunung Merapi. Mbah Maridjan dua kali ilmu “kegunungan” di Indonesia. Mbah Rono
menolak perintah Sultan Hamengku Buwono bukan hanya tahu tentang Merapi, juga Kelud,
X buat mengevakuasi diri dari Desa Kinahrejo. Semeru dan gunung-gunung yang lain. Tentu
Buat Maridjan, Sultan Hamengku Buwono X saja Mbah Rono juga tidak dapat mengetahui

5
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012

dengan pasti kapan Gunung Merapi akan perubahan ini. Dia telah secara aktif berpartisipasi
meletus. Namun, dari data aktifitas Merapi dalam keberhasilan evakuasi pada tahun
yang ia terima, ia bisa mengisyaratkan bahwa 2006, karena ia menjelaskan perlunya untuk
tanda-tanda Merapi akan meletus sudah mengevakuasi penduduk setempat atas saran
terlihat dengan jelas, dan menjadi tanggung dari Juru Kunci itu. Rumah Sultan di Kaliurang
jawabnya untuk menurunkan atau menaikkan (Sanggrahan) seharusnya melindungi desa. Hal
status Merapi. Untuk menghindari korban yang ini diyakini telah dialihkan pada tahun 1994 (aliran
lebih banyak, tentu memerlukan kehati-hatian piroklastik dialihkan ke desa Turgo), dimana
dalam menentukan status Merapi itu. masyarakat lokal merasa dirinya dilindungi
Mbah Maridjan bisa dikatakan merupakan oleh kekuatan yang lain yang berasal dari situs
elite lokal yang merepresentasikan pengetahuan suci, yakni makam syekh Maulana Kubro di
lokal masyarakat yang tinggal di lereng Merapi puncak bukit Turgo. Hal ini menunjukkan bahwa
terhadap ancaman bencana, sedangkan Sultan masyarakat lokal sesungguhnya menyadari
merupakan elite lokal yang memegang otoritas adanya bahaya gunung berapi di lingkungan
budaya lokal dan sekaligus elite formal yang mereka, tetapi hanya sedikit dari mereka yang
memegang jabatan formal di pemerintahan. menganggapnya sebagai risiko bagi diri mereka
Masyarakat yang tinggal di lereng Merapi sendiri.
dan pemerintah sejak lama memiliki rujukan Alasan utama adanya kesenjangan
yang berbeda tentang ancaman Merapi dan pemahaman antara bahaya aktual dan bahaya
sejak lama pula perbedaan ini tidak pernah yang diketahui terkait dengan rujukan sumber
dipertemukan sebagai modal membangun informasi tentang suatu bahaya dan risiko. Di
skema penanggulangan bencana yang lebih Jawa, pengetahuan bahaya ditularkan melalui
komprehensif. Dove (2007) menyebutkan berbagai sumber, baik dari luar atau dari dalam
bahwa penduduk desa yang hidup di sekitar desa yang berisiko. Pihak-pihak luar yang terlibat
Merapi membangun sistem kepercayaan dalam transmisi pengetahuan adalah guru,
agama, dan praktik-praktik ekologis, yang wartawan atau pihak berwenang setempat. Aktor
“mendomestifikasi” ancaman bahaya vulkanik. internal meliputi para tua-tua, yang memiliki lebih
Penduduk desa melihat letusan Merapi sebagai banyak kesempatan daripada orang muda untuk
faktor pengubah, seringnya dilihat sebagai menyaksikan letusan gunung berapi di masa
faktor pengubah menuju kondisi yang lebih baik. lalu atau pernah mendengar tentang letusannya
Sementara agen pengetahuan modern melalui dari nenek moyang mereka. Dari mereka-
pemerintah, di sisi lain, menteknologisasi dan mereka inilah pengetahuan bahaya risiko yang
mengeksotisasi ancaman vulkanik, dan karena sebenarnya mengancam dapat ditularkan dan
itu secara konseptual dan material melepaskanya diajarkan. Rasa aman masyarakat lokal juga
dari dunia masyarakat. Negara memfokuskan meningkat dengan dibangunnya beberapa
perhatiannya secara eksklusif pada momen- fasilitas penanggulangan teknis terhadap
momen langka terjadinya aktivitas vulkanik bahaya vulkanik, misalnya drainase terowongan
tinggi, sementara masyarakat melihatnya lebih keluar dari danau kawah, tanggul beton
banyak pada periode singkat ketika aktivitas sepanjang tepi sungai rawan lahar meluap,
semacam itu sedikit atau bahkan tidak ada bendungan perlindungan (SABO), teknologi lain
(Dove 2007:329, Lavigne, De Coster, Juvin, termasuk tindakan mitigasi yang meningkatkan
Flohic, Gaillard, Texier, Morin, Sartohadi 2008). keselamatan. Hal ini dapat mengakibatkan
Sejak lama memang ada pengalaman ekologis mereka terlalu percaya diri (Adams, 1995).
yang berbeda antara negara dan masyarakat
dalam memandang ancaman Merapi. 4. Pemaknaan tentang Ancaman Merapi
Sultan Yogyakarta, yang mewakili
hubungan antara tradisional dan modernitas, Dalam konteks bencana Merapi,
mungkin telah memainkan peran penting dalam memang sejak lama hubungan antar elite

6
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012

lokal yang memiliki pengaruh besar dalam pandangan pemerintah dan masyarakat untuk
mengkonseptulisasi ancaman Merapi tidak membangun skema penanggulangan bencana
sejalan satu sama lain. Elite-elite lokal yang Merapi yang lebih komprehensif. Satu contoh
berpengaruh dalam konteks Merapi adalah elite- bisa disebutkan disini; riset Donovan (2009)
elite budaya. Di satu pihak elite lokal melihat sebenarnya sudah melihat bahwa satu faktor
Merapi bukan sebagai ancaman yang serius kuat bagi masyarakat lereng Merapi adalah
karena Merapi sudah menjadi bagian kehidupan ketergantungan mereka pada ternak. Ternak
sehari-harinya. Pandangan yang sering disebut merupakan satu-satunya investasi penting
pandangan tradisioal oleh elite ini tidak dapat bagi orang desa di sekitar Merapi, maka ketika
diabaikan dan memang memiliki banyak kebutuhan untuk melindunginya bercampur
pendukung. Karena itu, banyak pula warga dengan kepercayaan bahwa desa mereka aman
lereng Merapi yang memiliki konseptulisasi karena skema lahar dan letusan Merapi selama
seperti yang diyakini sebagian elite ini. ini masih dalam jangkauan yang bisa diprediksi,
Kontestasi pemaknaan tentang ancaman orang-orang desa ini melihat bahwa tidak ada
Merapi dapat lilihat dalam kontestasi yang terjadi alasan untuk mengevakuasi diri. Karena hal ini
antara Sultan di satu sisi yang lebih bersikap pula, ketika pada letusan-letusan sebelumnya,
modern dan rasional, dengan Juru Kunci Gunung pemerintah menyediakan alat angkut bagi
Merapi, yaitu Raden Panewu Sulaksohargo warga kembali ke rumah mereka untuk memberi
atau yang populer disebut Mbah Maridjan di makan ternak. Meskipun kenyataan ini sudah
sisi yang lain. Sultan dan Mbah Maridjan dua- banyak diketahui tetapi anehnya pada letusan
duanya merupakan elite kultural yang memiliki kali ini, pemerintah terlihat gagap menghadapi
pengaruh dalam membangun konsepsi tentang warga yang bersikukuh untuk kembali ke rumah
ancaman Merapi. Selain memegang otoritas mengurus ternak mereka. Pemerintah tidak
budaya, Sultan juga merupakan elite politik menyiapkan skema jauh hari sebelumnya untuk
antara lain sebagai gubernur DIY. Perbedaan mengevakuasi ternak-ternak korban Merapi
konsepsi ancaman Merapi antara dua elite ini (Donovan 2009:125).
mengemuka pada erupsi Merapi tahun 2006 Hal ini juga berparuh pada tahap
yang lalu. Mbah Maridjan sebagai abdi dalem tanggap darurat seperti yang disimpulkan
keraton Yogyakarta yang seharusnya tunduk dalam studi Johari (2011) yang melihat elite
pada titah sang raja menolak himbauan sultan lokal pemerintahan yang sekaligus elite
untuk mengungsi. Mbah Maridjan mengatakan kekuasaan tradisional gagap dan tidak cepat
bahwa ia hanya tunduk pada Sultan HB dalam menangani korban Merapi meskipun
IX, sedangkan himbauan Sultan HB X itu di permukaan banyak pernyataan kepedulian
dianggapnya sebagai seruan seorang gubernur yang besar. Justru warga masyarakat yang
daripada titah sang raja. memiliki inisiatif dan lebih cekatan dalam
Meskipun Merapi sering meletus tetapi menangani korban bencana. Hal ini juga
elite tidak pernah benar-benar bisa dipertemukan ditegaskan oleh studi yang dilakukan oleh
untuk meletakkan ancaman letusan Merapi Yusdani (2011:58) atas warga Merapi pasca
sebagai bagian dari kesadaran hidup bersama. erupsi, yang menunjukkan bahwa informasi
Titik-titik pengungsian dan jalur evakuasi tentang status Merapi bagi masyarakat adalah
memang dipersiapkan tetapi tampaknya yang disampaikan oleh pemerintah. Namun,
paradigma yang mendasarinya masih soal informasi yang diserap oleh warga ternyata tidak
emergensi. Ini tentu saja terkait dengan optimal, karena tidak adanya agen pemerintah
pandangan umum yang mengatakan bahwa di tempat saat terjadi erupsi merapi. Sebaliknya,
letusan Merapi umumnya berbentuk guguran informasi pokok seputar status Merapi dan
lava pijar dan jalur-jalur lahar sudah tersedia tatakelola bantuan lebih banyak dilakukan oleh
sejak lama. Adanya letusan atau ekplosif besar para relawan, lembaga komunitas dan lembaga
Merapi tampaknya memang belum menjadi swadaya masyarakat.

7
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012

5. Pengelolaan Risiko Merapi akan turun. Atau jika ada suara kemrosok di
Masyarakat Lokal atas maka itu tanda ada lahar dingin turun.
Singkatnya, di Kepuharjo ini ada hubungan
Dalam menghadapi kejadian-kejadian yang intim antara msyarakat secara sosial-
yang dapat menghilangkan harta benda ekonomi dan budaya dengan Gunung Merapi.
atau nyawa kerabat akibat erupsi Merapi, Interaksi antara masyarakat dan lingkungan
masyarakat cenderung tidak memberontak alam Merapi yang telah terbangun berabad-
terhadap penderitaan diri dan keluarga yang abad ini sebenaranya merupakan potensi yang
berkepanjangan tanpa solusi. Sebaliknya dalam perlu dijadikan dasar untuk pemulihan pasca
kepasrahan diri dan bersikap “nrimo”, mereka bencana. Hal ini juga dinyatakan oleh Carik
berpandangan bahwa pergumulan hidup masa Glagahharjo yang sepanjang hidupnya dilakoni
kini dan mendatang berada dalam tangan di sekitar Merapi. Ia mengatakan:
sang “Gusti”. Hal itu memampukan mereka “Kami sudah hidup dengan merapi
untuk bersikap tabah dan tawakal. Keyakinan sejak lahir, kami terikat dengan tanah kami
dan sikap ini diuji pada waktu mereka benar- di sini, dan kami sadar akan bencana yang
benar menghadapi kejadian erupsi Merapi, mengancam kami. Namun, kami juga tahu
misalnya pada tahun 2010 yang lalu. Kasus bagaimana menyikapi bencana. Karena sulit
erupsi merapi tersebut menunjukkan bahwa bagi kami kalau diminta meninggalkan tanah
prinsip yang “ideal” itu tidak sepenuhnya kelahiran kami ini..apapun risikonya kami akan
dapat mereka praktekan dalam keseharian tetap kembali dan hidup di sekitar merapi ini…”
mereka. Studi yang dilakukan oleh Agustina (Pak Carik Anglo Glagah Harjo)
dkk (2011:27), misalnya, menunjukkan bahwa Menurut Pak Carik, masyarakat di
dalam menghadapi situasi pasca erupsi Merapi, Glagahharjo, khususnya di Srunen dan
warga belum mampu sepenuhnya bersikap sekitarnya, sudah paham dan sadar hidup
sabar atas musibah yang dialami tersebut. di sekitar Gunung Merapi yang masih aktif,
Menurut Kepala Desa Kepuharjo sehingga mereka juga sadar akan menjadi
masyarakat pada dasarnya sudah memahami wilayah korban pertama jika ada bencana dari
dan mengerti risiko hidup di sekitar Gunung Gunung Merapi. Setiap keluarga secara turun
Merapi. Sudah dari nenek moyang dulu temurun diberitahukan adanya risiko bencana
masyarakat secara turun temurun bergantung ini. Kehidupan yang intim dengan Merapi juga
hidup dan dihidupi dari ekologi Merapi. terjadi karena kebutuhan hidup dan kehidupan
Hubungan manusia dengan alam inilah yang mereka mempunyai hubungan yang kuat
kemudian membentuk hubungan sosial, dengan alam di sekitar Merapi. Sebab itu,
nilai, norma dan budaya masyarakat yang masyarakat meyakini memiliki “insting” sendiri
kemudian menjadi tradisi yang dipraktekkan menghadapi bahaya bencana Merapi.
dalam kehidupan sehari-hari. Bagi masyarakat Hal inilah yang menjadi dasar, mengapa
Kepuharjo, Gunung Merapi itu kadang dianggap mereka menolak relokasi dari program
sebagai sahabat dan kadang sebagai musuh. Rekompak. Sebab kalau memang kawasan
Jika sedang menjadi musuh, masyarakat harus KRB III itu bertujuan untuk “meminimalisir
menjauh dan mengungsi. Namun sebagai korban” dari bencana Merapi, terbukti bahwa
sahabat mesti didekati. Hingga sekarang, dalam erupsi tahun 2010 lalu, tidak ada satupun
menurut Pak Lurah, masyarakat masih korban dari daerah ini. Hal ini menjadi dasar
memiliki sistem pengetahuan lokal soal mitigasi kuat bagi masyarakat bahwa mereka “taat
bencana, khusunya Gunung Merapi. Misalnya, aturan pemerintah untuk mitigasi bencana”.
jika ada kilatan-kilatan terjadi di puncak gunung, Saat aturan pemerintah mengharuskan semua
maka kemungkinan mbleduknya tinggi, dan mesti mengungsi dan turun gunung, mereka
masyarakat harus mengungsi. Kalau dulu turun mengungsi secara cepat. Mereka sadar
masih banyak hewan, maka pasti mereka jika bencana tersebut akan menghabiskan

8
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012

harta benda yang mereka usahakan dan miliki Marijan yang saat ini sebagi juru kunci
selama ini. Itu sudah risiko, tetapi akan bisa Merapi).
dibangun lagi. Selain sikap hidup yang “nrima” tersebut,
Maka tidak mengherankan, ketika belum rasa kebersamaan dan guyub-rukun serta
genap dua bulan pasca Merapi meletus, tolong menolong antar sesama yang masih
sudah banyak warga desa ini yang mulai kuat, merupakan faktor pendorong yang penting
membersihkan dan memperbaiki rumah bagi cepatnya pemulihan dan kebangkitan
mereka. Menurut Pak Carik, sekitar bulan masyarakat dari bencana erupsi Merapi ini.
keempat dan kelima masyarakat sudah
banyak yang kembali menghuni rumah mereka 6. Pilihan Hidup Nyaman atau Aman
(meski ala kadarnya) di wilayah Srunen dan
sekitarnya. Bantuan para sukarelawan dan Dusun Srunen merupakan satu dari tiga
donator yang datang menjadi tumpuan utama dusun (Srunen, Kalitengah Loh, Kalitengah
saat itu. Masyarakat juga bergotong royong Kidul) yang berlokasi di Desa Glagaharjo dan
saling membantu. Kenyataan ini menjadikan mengalami kerusakan akibat terjangan awan
mereka semakin yakin, ini sudah menjadi siklus panas. Namun saat ini aktivitas ketiga dusun
dan takdir hidup mereka sebagai masyarakat sudah pulih kembali baik dari segi tempat tinggal
yang hidup dan dihidupi oleh Merapi. maupun mata pencaharian masyarakatnya.
Keyakinan seperti inilah yang membuat warga Masyarakat Dusun Srunen cepat pulih setelah
di Glagaharjo khususnya di Dusun Srunen, Kali erupsi Merapi karena sikap kepasrahan
Tengah Lor dan Kali Tengah Kidul (ketiganya di terhadap takdir Tuhan. Masyarakat sejak lahir
desa Umbulharjo dan sekarang termasuk KRB sudah dihadapkan dengan kondisi Gunung
III) menolak direlokasi. Pemulihan kehidupan Merapi yang sering mengalami erupsi sehingga
masyarakat di desa lereng Merapi berlangsung adanya bencana erupsi tidak menakutkan lagi
cepat karena didorong oleh falsafah Jawa: dan mereka sadar bahwa tinggal di daerah
1. Nrima Ning Pandum, dalam hidup bencana harus selalu siap menghadapi risiko
manusia segala sesuatunya sudah apapun yang terjadi.
digariskan oleh Tuhan. Meskipun Secara historis kejadian bencana
mengalami bencana, namun kondisi di Dusun Srunen yang menyebabkan
mereka masih baik selama masih diberi masyarakatnya harus mengungsi sudah
kesempatan hidup. Bencana berlangsung mulai erupsi Merapi tahun 2006.
merupakan bagian dari hidup. Pada saat itu tidak ada korban jiwa sama sekali
2. Mangan ra mangan sing penting di dusun ini. Tahun 2010 terjadi erupsi kembali
ngumpul, mendorong rasa gotong bahkan lebih besar, sehingga masyarakat juga
royong. Sama-sama terkena bencana harus mengungsi. Pada kejadian inipun tidak
tetap saling menjaga dan berkumpul terjadi korban jiwa di dusun ini karena semua
menjadi satu saling bantu membantu. warga sudah siap, termasuk infrastruktur jalan
3. Hidup tidak boleh larut dalam kesedihan, sebagai jalur pengungsian pun sudah cukup
untuk dapat keluar dari kesusahan bagus disiapkan. Korban yang ada berupa harta
orang tidak boleh terus menerus benda yang menurut masyarakat memang wajar
bersedih. sebagai risiko tinggal dekat dengan alam yang
4. Masyarakat sudah terikat dengan sering mengalami erupsi. Namun, korban jiwa
gunung, warga masyarakat yang nol karena masyarakat sudah bisa membaca
berada di gunung memiliki keterikatan perilaku alam. Jika dulu hewan-hewan turun,
dengan gunung tersebut sehingga tidak saat ini tidak ada lagi tanda-tanda tersebut,
takut. Untuk menghubungkan keduanya namun masyarakat mempunyai tanda-tanda
dalam keharmonisan ada jurukunci di lain yang dapat digunakan sebagai “peringatan
Merapi (Pak Asih pengganti Mbah dini” yakni langit terlihat gelap di atas gunung

9
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012

dan petir/kilat sering terjadi. Bagi mereka, Sebenarnya, dalam mengelola


hal tersebut merupakan tanda-tanda bahwa kehidupan mereka, terutama dalam
mereka harus siap untuk mengungsi. menghadapi risiko akibat erupsi merapi,
Pemulihan kehidupan masyarakat Dusun warga mengalami konvergensi dan
Srunen pasca erupsi Merapi sudah dilakukan pada divergensi berkenaan dengan rujukan tata
saat di pengungsian. Seminggu setelah erupsi nilai dan sumber informasi untuk bertindak.
terjadi, anggota keluarga yang laki-laki bersama Hal ini ditunjukkan dalam studi Yusdani
relawan-relawan sudah mulai naik kembali ke (2001) seperti yang dikemukakan dalam
Dusun Srunen. Selama satu bulan mereka Tabel 1. Tabel 1 ini menunjukkan bahwa
bersama para relawan membersihkan bangkai- warga lereng Merapi, berkenaan dengan
bangkai dan reruntuhan rumah dan pohon yang intensitas erupsi Merapi yang mengancam
diterjang awan panas. Selanjutnya, satu bulan kehidupan mereka sehari-hari berada dalam
pasca erupsi penggantian sapi yang mati karena situasi kegamangan (dualistik) untuk dapat
terjangan awan panas sudah diberikan. Bantuan menjamin kelangsungan kehidupan mereka
tersebut berupa uang dan sebagian dimanfaatkan dalam mendapatkan kenyamanan dan
oleh mereka untuk membangun rumah kembali, keamanan melalui pengelolaan informasi
sedangkan sebagian lagi digunakan untuk yang berasal dari pengetahuan lokal dan
membeli sapi. Pembangunan rumah itu sendiri pengetahuan modern dan pengaruh actor
dibantu oleh ribuan “penyumbang”, dan diberikan lokal dan pemerintah dalam mengelola risiko
dalam berbagai bentuk seperti tenaga, alat, hidup mereka di lereng Merapi.
makanan bahkan material.

Tabel 1. Pergeseran Sistem Nilai Masyarakat Dalam Bencana Letusan Gunung Merapi

No. Sebelum Letusan

1. Sumber Informasi BPPTK, pengamatan langsung, mimpi

2. Cara mendapatkan Mengikuti rapat dukuh (perwakilan), menonton televisi


dan media lain, mendengar melalui HP/HT, ritual malam

3. Proses belajar sosial Keluarga dan masyarakat belum belajar mitigasi bencana
secara formal, pertautan sumber dan cara mendapatkan

4. Aktor atau pranata Kepala dukuh, relawan, Tagana, banser NU, FPUB,
sosial Petugas

5. Ingatan tentang letusan Ingatan langsung tak tertulis, belum ada buku sejarah
letusan

Selama Letusan

6. Tindakan penyelamatan Pengecekan ulang kebenaran informasi, kearifan lokal
diri

7. Tindakan penyelamatan Mengikuti instruksi pemerintah dan tokoh informal


keluarga

8. Tindakan penyelamatan Saling mengingatkan dan berbagi informasi


lingkungan sosial

9. Hubungan diri dengan Merapi adalah sumber belajar, menghormati dengan


Sang Khalik mengamalkan keberagaman, sebagai makhluk yang lemah
1010. Ledakan penanda
Pertautan diri dalam kemahakuasaan Gusti Allah; tidak
letusan merusak lingkungan Merapi; pentingnya hubungan sosial

diri

7. Tindakan penyelamatan Mengikuti instruksi pemerintah dan tokoh informal


keluarga
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012
8. Tindakan penyelamatan Saling mengingatkan dan berbagi informasi
lingkungan sosial

9. Hubungan diri dengan Merapi adalah sumber belajar, menghormati dengan


Sang Khalik mengamalkan keberagaman, sebagai makhluk yang lemah

10. Ledakan penanda Pertautan diri dalam kemahakuasaan Gusti Allah; tidak
letusan merusak lingkungan Merapi; pentingnya hubungan sosial

Pasca Letusan

11. Kesan keberagaman Menyebut kebesaran Gusti Allah, berbagi dengan sesama
tentang letusan korban

12. Pengalaman sebagai Tata kelola barak tidak optimal, informasi tidak tertata,
warga yang mengungsi tanpa gugus kendali dari pemerintah; merasakan
kebersamaan sebagai warga

13. Kehadiran aktor atau Pemerintah tidak hadir saat Merapi meletus, pemerintah
pranata sosial hanya menyapa ketika warga di barak pengungsian tanpa
menjawab pokok persoalan yang menyangkut hajat hidup
peran lembaga non pemerintah langsung ke mereka

14. Penataan hidup Ketidakjelasan informasi dan tatakelola pertanian,


peternakan, sarana dan prasarana umum ketika sudah
kembali ke desa, ketidakkepastian jaminan kebutuhan
pemulihan

Sumber: Yusdani (2001).

7. Penutup Pengetahuan lokal yang dipahami dan


dianut oleh sebagian masyarakat di lereng
Mekanisme masyarakat dalam merapi, melihat gunung Merapi bersifat
menghadapi kejadian (coping mechanism) dualistik; pada satu sisi memberikan kehidupan
terbentuk dan lahir dari pengalaman, bagi mereka, namun di sisi lain bisa mengambil
pengetahuan, pemahaman, dan pemaknaan kembali kehidupan yang diberikan pada
terhadap setiap kejadian, fenomena, harapan mereka. Sedangkan pengetahuan modern
dan masalah yang terjadi di sekitarnya. tentang Merapi hanya melihat pada satu sisi,
Mekanisme tersebut diteruskan lewat proses di mana Merapi merupakan ancaman bagi
sosialisasi dari generasi ke generasi dan masyarakat yang tinggal di lereng merapi.
pelaksanaannya tergantung pada kadar Kontestasi pengetahuan dan cara pandang
kualitas pemahaman dan implikasinya dalam ini menghasilkan sikap yang berbeda pada
kehidupan mereka. Dalam kejadian erupsi waktu terjadi erupsi merapi, mbah Maridjan
Gunung Merapi terjadi perjumpaan antara dan pengikutnya lebih memilih untuk tidak
pengetahuan lokal yang dipraktekan oleh mengungsi meskipun dibujuk dan dipaksa untuk
institusi lokal (juru kunci) Merapi dengan mengungsi. Pada saat erupsi Merapi tahun
pemegang mandat mbah Maridjan dan 2010 yang mengakibatkan meninggalnya Mbah
pengetahuan modern yang dijadikan acuan Maridjan sebagai simbol penganut pengetahuan
oleh pemerintah melalui “mbah” Surono selaku lokal, tidak berarti pengetahuan lokal kehilangan
Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana pengaruhnya atas masyarakat yang tinggal
Geologi (KPVMBG) Kementerian ESDM. di lereng Merapi. Hal ini terlihat dari berbagai

11
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012

argumentasi yang digunakan oleh penduduk di www.elsevier.com/locate/geoforum


beberapa dukuh, baik penduduk yang menolak diakses 5 Desember 2011.
untuk direlokasi, maupun yang menerima Dove, Michael R. Research paper;
dengan berbagai persyaratan. Kesamaan Perception of volcanic eruption as agent
argumentasi yang digunakan oleh penduduk of change on Merapi volcano, Central
dengan respon yang berbeda terhadap relokasi Java, pada www.elsevier.com/locate
tersebut adalah bahwa kehidupan mereka tidak jvolgeores diakses 5 Desember 2011
bisa dilepaskan dari gunung Merapi dan merasa Fernando, J. L. (2003): NGOs and production
bisa mengelola ancaman Merapi sebagai risiko of indigenous knowledge under the
kehidupan yang diterima dengan sikap nrimo condition of postmodernity, Annuals of
dan pasrah. the American Academy of Political and
Social Science 590:54–72.
Daftar Pustaka Foucault, Michael, 2000, Power, London:
Penguin Books.
Agrawal, A. (1995): Dismantling the divide Foucault,Michael, 1980, Power and knowledge
between indigenous and scientific : Selected Interviews and Other Writings
knowledge, Development and Change 1972-1977, Sussex: The Harvester
26 (3): 413–439. Press.
Bertens K. (1985), Filsafat Barat Abad XX (Jilid Haba, John, 2009, Bencana Alam dan
II), Jakarta-Gramedia Pustaka Utama. Perspektif Lokal dan Kristiani, Jurnal
Bordieu, Piere, 1991, Languange and Masyarakat Indonesia XXXIV No. 1,
Symbolic Power, Cambridge-Harvard Jakarta : hal 25-48
University Press. Haynes, K. (2005): Exploring the
Bordieu, Piere, 1993, The Field of Cultural Communication of Risk During a
Production, Cambridge:Polity Press. Volcanic Crisis: A Case Study of
Brokwnsha, D. W., Warren, D. M. and Werner, Montserrat, WI. Unpublished Ph.D.
O. (1980): Indigenous Knowledge thesis, University of East Anglia,
Systems and Development. University Norwich.
Press of America, Lanham, MD. Hazard Research Centre, University College
Cronin, S. J., et. al, (2004): Participatory London, London.
methods of incorporating scientific with Howell, P. (2003): Indigenous early warning
traditional knowledge for volcanic indicators of cyclones: potential
hazard management on Ambae Island, application in coastal Bangladesh.
Vanuatu, Bulletin of Volcanology 66 (7): Working Papers in Disaster Studies &
652–668. Management 6, Benfield
Dekens, J. (2007a): Local Knowledge for Jigyasu, R. (2002): Reducing Disaster
Disaster Preparedness: A Literature Vulnerability through Local Knowledge
Review. International Centre for and Capacity: The Case of Earthquake
Integrated Mountain Development, Prone Rural Communities in India and
Kathmandu. Nepal. Doktor ingeniøravhandling
Donovan, Katherine. 2009, Doing social 2002:73, Department of Urban Design
volcanology: exploring volcanic culture and Planning, Faculty of Architecture
in Indonesia. Journal Area Vol. 42 No. and Fine Art, Norwegian University of
1. Pp 117-126. London. The Institute of Science and Technology, Trondheim.
British Geographers. Keller, Suzane. 1984. Penguasa dan
Dove, Michael R. dan Bambang Hudayana. Kelompok Elite: Peranan Elite Penentu
The view from the volcano: an Dalam Masyarakat Modern (trj). Jakarta.
appreciation of the work of Piers Blaikie. Rajawali Press, 1984.

12
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012

Larsen, S. C. (2006): The future’s past: politics Sindunata, 1998, Mata Air Bulan, Kanisius,
of time and territory among Dakelh First Yogyakarta.
Nations in British Columbia, Singgih, Gerrit Emanuel, 2006, Allah dan
Geografiska Annaler: Series B, Human Penderitaan Refleksi Teologis Rakyat
Geography 88 (3): 311–321. Indonesia, teologi Bencana, Pergumulan
Mercer, Jessica, et. al., 2009, Integrating Iman dalam Konteks Bencana Alam dan
indigenous and scientific knowledge Bencana Sosial, Makasar, Yayasan
bases for disaster risk reduction in Oase Intim.
Papua New Guinea, Journal compilation Steven Seidman, 1998, Contested Knowlede :
Swedish Society for Anthropology and Social Theory in the Posmodern
Geography Er, blackwell
Mitchell, T. (2006): Building a Disaster White, G. F., Kates, R. W. and Burton, I.
Resilient Future: Lessons from (2001): Knowing better and losing
Participatory Research on St. Kitts even more: the use of knowledge in
and Montserrat. Unpublished Ph.D. hazards management, Global
Thesis, Department of Geography, Environmental Change Part
University College London, London. B:Environmental Hazards 3 (3–4):
Seidman, Steven, 1998. Contested 81–92.
Knowledge. Social Theory in the Wisner, B. (1995): Bridging “expert” and “local”
Postmodern Era (Second Edition). knowledge for counter-disaster planning
Blackwell Publishers. in urban South Africa, Geo-Journal 37
Shaw, W. S., Herman, R. D. K. and Dobbs, G. (3): 335–348.
R. (2006): Encountering indigeneity: Yusdani, 2011, Studi Konvergensi dan
re-imaging and decolonizing geography, Divergensi Pengetahuan dan Tata Nilai
Geografiska Annaler: Series B, Human Warga Desa Girikerto Kecamatan Turi
Geography 88 (3): 267–276. Sleman terhadap Gunung Merapi Pasca
Sillitoe, P. (2000): Let them eat cake: Letusan 2010.
indigenous knowledge, science and the
“poorest of the poor”, Anthropology
Today 6 (6): 3–7.

13
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012

AMBANG BATAS CURAH HUJAN UNTUK BENCANA SEDIMEN


DI KALDERA BAWAKARAENG, SULAWESI SELATAN

Oleh: Hasnawir

Hasnawir, (2012), Ambang Batas Curah Hujan di Kaldera Bawakaraeng, Sulawesi


Selatan, Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012, hal 14-
24, 10 gambar.

Abstract
A large scale landslide occurred on March 26, 2004 at Bawakaraeng caldera of
South Sulawesi is considered as one of the worst sediment disasters in Indonesia.
The volume of the landslide was about 232 million m3. The landslide was caused
by the collapse of the walls of the caldera leading to a flow of a large amount of
debris with significant damages including 32 people lost their lives and destruction
of properties. Since then the environmental hazard has been threatening till now. In
addition, the unstable deposited sediment and further collapse of the caldera may
lead to a large-scale landslide and debris-flow in the future. The objective of this study
is to determine rainfall thresholds for sediment disaster in the Bawakaraeng caldera.
Thirteen landslides including debris flows occurred after the large scale landslide were
studied to analyze rainfall thresholds. The threshold rainfall for sediment disaster is
very important information for the development of warning systems in the study area.

Keywords: sediment disaster, rainfall threshold, warning system, Bawakaraeng


caldera

1. PENDAHULUAN dihasilkan tersebut menjadikan tanah longsor


kaldera Bawakaraeng tercatat sebagai salah
1.1 Latar Belakang satu kejadian tanah longsor yang paling besar
di dunia di abab 21 ini.
Bencana sedimen seperti aliran debris, Tanah longsor tersebut disebabkan
kegagalan lereng dan tanah longsor adalah oleh runtuhnya dinding kaldera. Bencana ini
salah satu jenis bencana yang dihadapi di mengakibatkan 32 orang meninggal, kerusakan
Indonesia setiap tahunnya. Dalam sepuluh pada berbagai infrastruktur dan dampak buruk
tahun ini, jumlah kejadian dan korban yang pada lingkungan. Dampak lainnya adalah
ditimbulkan cenderung meningkat. Di Provinsi ancaman terhadap kelangsungan fungsi Dam
Sulawesi Selatan, bencana sedimen menjadi Bili-Bili sebagai sumber bahan baku air minum
isu penting untuk mitigasi terutama sejak tahun untuk kota Makassar dan kabupaten Gowa.
2004. Tanah longsor diikuti aliran debris terjadi Pasca tanah longsor tahun 2004, aktivitas
di Kaldera Bawakaraeng yang menghasilkan sedimen cenderung meningkat dan mengarah
volume longsor sekitar 232 juta m3 (Harnawir kepada ancaman bencana terutama pada
and Kubota, 2011). Volume tanah longsor yang musim hujan.
Pengaruh curah hujan dalam
Penulis adalah Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan
menghasilkan longsor adalah suatu yang jelas,
Makassar, Badan Litbang Kehutanan, Kementerian meskipun sangat sulit untuk menjelaskan
Kehutanan secara tepat (Blong and Dunkerley, 1976).

14
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012

Kesulitan ini muncul karena curah hujan Piedmont Italia (Aleotti, 2004), Korea (Kim et
hanya mempengaruhi stabilitas lereng secara al., 1991.), Cina bagian selatan (Li and Wang,
tidak langsung melalui pengaruhnya terhadap 1992), Jepang (Cotecchia, 1978 ; Yatabe et al.,
kondisi air-pori di dalam material lereng. 1986; Yano, 1990; Hiura et al., 2005), Puerto
Kemudian Caine (1980) menggunakan istilah Rico (Larsen and Simon, 1993) dan Himalaya,
“pengaruh pemicu” curah hujan terhadap tanah Nepal (Dahal and Hasegawa, 2008).
longsor atau aliran debris.
Karakterisasi curah hujan yang 1.2 Tujuan
memicu tanah longsor atau aliran debris telah
digunakan untuk membangun hubungan antara Tujuan penelitian ini adalah untuk
curah hujan dan tanah longsor/aliran debris di menentukan ambang batas curah hujan untuk
berbagai belahan dunia. Parameter curah hujan bencana sedimen di Kaldera Bawakaraeng,
paling sering diselidiki dalam kaitannya dengan Sulawesi Selatan. Ambang batas ini didefinisikan
inisiasi longsor meliputi curah hujan kumulatif, sebagai tingkat di mana batas curah hujan
curah hujan terdahulu, intensitas curah hujan, (intensitas-durasi) akan menyebabkan tanah
dan durasi curah hujan. longsor atau aliran debris dapat terjadi.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk
menentukan batasan dengan menggunakan 2. LOKASI PENELITIAN
berbagai kombinasi parameter. Sebagian
besar lereng runtuh/tanah longsor dipicu Lokasi penelitian terletak di kaldera
oleh curah hujan ekstrim, sejumlah peneliti Bawakaraeng, daerah aliran sungai (DAS)
(misalnya, Campbell, 1975; Cotecchia, 1978; Jeneberang, berlokasi 90 km dari kota
Caine, 1980; Cannon and Ellen, 1985; Neary Makassar, Sulawesi Selatan (Gambar 1).
and Swift, 1987; Kim et al., 1991; Wilson et al.,
1992; Larsen and Simon, 1993; Wilson and
Wieczorek, 1995; Terlien, 1998; Crosta, 1998;
Crozier, 1999; Glade et al., 2000; Wieczorek
et al., 2000; Aleotti, 2004; Guzzetti et al.,
2004; Hong et al., 2005) telah mencoba untuk
menetapkan ambang batas intensitas curah
hujan dalam memprediksi lereng runtuh/tanah
longsor secara akurat. Berbagai hasil penelitian
menentukan batas curah hujan dalam hal
intensitas curah hujan, durasi dengan rasio
intensitas curah hujan, curah hujan kumulatif
pada waktu tertentu, rasio curah hujan dengan
curah hujan harian, curah hujan terdahulu
dengan curah hujan rata-rata tahunan, dan
curah hujan harian dengan maksimum rasio
curah hujan terdahulu.
Gambar 1.
Lokasi penelitian di kaldera
Caine (1980) pertama kali menilai
Bawakaraeng, DAS Jeneberang,
ambang batas curah hujan di seluruh dunia
Sulawesi Selatan.
untuk tanah longsor. Nilai ambang batas serupa
telah diusulkan untuk California (Cannon and
Ellen, 1985; Wieczorek, 1987; Wieczorek et al., Kondisi vegetasi di lokasi penelitian
2000), Eropa Selatan Alpen (Cancelli and Nova, terdiri dari hutan alam dan hutan tanaman yang
1985; Ceriani et al., 1992), pra-Alpine bagian didominasi oleh jenis pinus merkusi. Morfologi
utara Italia (Guzzetti et al., 2004.), wilayah Kaldera Bawakaraeng ditandai dengan lereng

15
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012

yang curam, tingkat pelapukan yang tinggi mm/tahun yang terjadi dari bulan Desember
dengan aktivitas erosi seperti gerakan tanah hingga Maret. Kondisi curah hujan rata-rata
dan tanah longsor. Geologi menunjukkan bulanan dapat dilihat pada Gambar 3. Tanah
bahwa kaldera Bawakaraeng dihasilkan dari longsor skala besar tahun 2004 di kaldera
aktivitas gunung berapi pada periode Pleistosen Bawakaraeng dan perkembangan aktivitas
(Gambar 2). Kondisi hujan di daerah penelitian erosi bekas tanah longsoran akibat hujan dapat
dan sekitarnya cukup tinggi mencapai 4.000 dilihat pada Gambar 4 dan 5.

Gambar 2.
Peta geologi kaldera
Bawakaraeng dan sekitarnya
(modifikasi dari Sukamto dan
Supriatna, 1982).

16
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012

800
700
600

Curah hujan (mm)


500
400
300
200
100
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan

Gambar 3. Curah hujan rata-rata bulanan di lokasi penelitian (stasiun Malino, 1975 – 2010).

Gambar 4. Tanah longsor yang disertai aliran debris kaldera


Bawakaraeng, Sulawesi Selatan tahun 2004.
Tanah longsor ini menghasilkan sedimen sebesar
232 juta m3. Hingga saat ini jutaan sedimen
masih tersimpan di sekitar kalder
(foto: Hasnawir, 2006).

17
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012

Gambar 5. Perkembangan aktivitas erosi bekas longsoran kaldera Bawakaraeng


tahun 2004, lokasi sekitar 7 km dari dinding kaldera yang runtuh
(sumber foto: Rampisela, D.A, 2005).

3. METODOLOGI fisik (physical thresholds). Ambang batas


empiris adalah nilai relasional berdasarkan
Secara umum, ada dua jenis ambang analisis statistik hubungan antara kejadian
batas curah hujan yaitu; ambang batas empiris curah hujan dan tanah longsor (Campbell,
(emperical thresholds) dan ambang batas 1975; Caine, 1980; Larsen and Simon, 1993;

18
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012

Crozier, 1999; Guzzetti et al., 2004), sedangkan 4. HASIL DAN PEMBAHASAN


ambang batas fisik biasanya digambarkan
dengan bantuan model hidrologi dan stabilitas 4.1 Ambang batas curah hujan
yang mempertimbangkan parameter seperti
hubungan antara curah hujan dan tekanan air- Pasca kejadian tanah longsor skala besar
pori, infiltrasi, morfologi lereng, dan struktur tahun 2004, tiga belas kasus tanah longsor
batuan dasar (Montgomery and Dietrich, 1994; termasuk aliran debris dengan intensitas-
Crosta, 1998; Terlien, 1998; Crosta and Frattini, durasi curah hujan untuk ambang batas curah
2001; Jakob and Weatherly, 2003). Curah hujan di kaldera Bawakaraeng dianalisis. Nilai
hujan terdahulu (Crozier, 1999; Rahardjo et regresi intensitas-durasi curah hujan adalah
al., 2001) juga memainkan peranan penting I=37.71D-0.90, di mana I adalah intensitas
dalam penentuan ambang batas curah hujan. curah hujan dalam mm/jam dan D adalah
Hubungan parameter curah hujan dengan durasi curah hujan dalam jam (Gambar 7).
tanah longsor atau aliran debris dapat dilihat
pada Gambar 6 di bawah ini. Gambar 6 100
ini menjelaskan secara sederhana proses

Intensitas hujan,I (mm/jam)


terjadinya tanah longsor/aliran debris di I = 37.71D-0.90
mana curah hujan kritis menunjukkan jumlah 10
curah hujan dari waktu (“titik nol”) di mana
peningkatan tajam dalam intensitas curah
hujan yang diamati memicu tanah longsor/
1
aliran debris.
Hujan terdahulu (hari) Durasi kritis (jam)

0
1 10 100 1,000
Durasi hujan,D (jam)
Curah hujan krits (mm)

Tanah longsor/
Gambar 7. Ambang batas curah hujan untuk
(mm) hujan Total

aliran debris bencana sedimen di kaldera


Bawakaraeng. Jika kondisi
intensitas dan durasi hujan
melampaui garis batas, ini
0 Intensitas kritis
menunjukkan kemungkinan
terjadinya tanah longsor atau
Curah hujan terdahulu (mm) Waktu (jam) aliran debris.
Gambar 6. Hubungan parameter curah hujan
Analisis regresi menunjukkan bahwa intensitas
dengan tanah longsor/aliran debris
curah hujan meningkat secara eksponensial
(modifikasi dari Aleotti, 2004).
dengan berkurangnya durasi curah hujan.
Penelitian ini menggunakan ambang Menurut analisis ambang batas empiris, kurva
batas empiris (empirical thresholds). Data curah regresi dapat dianggap sebagai ambang batas
hujan dan tanah longsor atau aliran debris intensitas-durasi untuk daerah penelitian
dikumpulkan dari Dinas Pekerjaan Umum ini. Di atas garis peringatan peristiwa tanah
Provinsi Sulawesi Selatan dan Perusahaan longsor atau aliran debris mungkin terjadi.
Hazama-Brantas, JO (2004–2010). Regresi Dibandingkan dengan global ambang batas
untuk ambang curah hujan diperoleh dari curah hujan (Caine, 1980; Crosta and Frattini,
hubungan antara intensitas curah hujan (I, mm 2001), kaldera Bawakaraeng membutuhkan
/ jam) dan durasi curah hujan (D, jam). intensitas curah hujan yang lebih tinggi

19
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012

untuk terjadinya tanah longsor. Namun jika aliran debris. Sistem peringatan ini pertama kali
durasi hujan melebihi 6 jam maka kaldera dikembangkan oleh USGS di San Francisco
Bawakaraeng membutuhkan intensitas curah (Keefer et al., 1987; Wilson and Wieczorek,
hujan lebih rendah dibanding ambang batas 1995). Sistem peringatan ini didasarkan pada
global (Caine, 1980) untuk tanah longsor terjadi. perkiraan kuantitatif curah hujan (6 jam curah
Demikian pula jika melewati 6 hari durasi hujan, hujan mendatang) dari kantor pelayanan cuaca
maka kaldera Bawakaraeng membutuhkan nasional dalam sebuah sistem jaringan alat
intensitas curah hujan lebih rendah dibanding pengukur curah hujan real-time lebih dari 40
ambang batas global (Crosta and Frattini, buah secara terus menerus dan ambang batas
2001) untuk tanah longsor terjadi. Tapi ketika curah hujan yang menginisiasi tanah longsor
dibandingkan dengan Himalaya ambang batas (Cannon and Ellen, 1985).
curah hujan (Dahal and hasegawa, 2008), Sistem serupa juga dikembangkan
kaldera Bawakaraeng membutuhkan intensitas di Hong Kong (Brand et al., 1984.), Italia
curah hujan yang lebih rendah untuk tanah (Sirangelo and Braca, 2001), Jepang (Onodera
longsor terjadi (Gambar 8). et al., 1974), Selandia Baru (Crozier, 1999),
Afrika Selatan (Gardland and Olivier,
100 Dahal and Hasegawa, 2008 1993) and Virginia (Wieczorek and
(Himalaya, Nepal) Guzzetti, 1999). Di Hong Kong telah
menerapkan sistem komputer secara
Intensitas hujan, I (mm/jam)

Caine, 1980 otomatis untuk sistem peringatan


10 (global) tanah longsor dan ini merupakan
sistem yang pertama kali di dunia
untuk pendugaan tanah longsor
(Premchitt, 1997). Sistem peringatan
1 tanah longsor ini berdasarkan
perkiraan curah hujan jangka
Crosta and pendek dan sistem ini dilengkapi alat
Frattini, 2001 (global) Hasil penelitian pengukur curah hujan sebanyak 86
0 buah. Peringatan akan tanah longsor
umumnya dikeluarkan jika dalam 24
1 10 100 1,000
jam hujan diperkirakan akan melebihi
Durasi hujan, D (jam)
175 mm atau dalam 1 jam curah
hujan diperkirakan akan melebihi
Gambar 8. Membandingkan ambang batas 70 mm. Dalam situasi seperti ini, radio lokal
curah hujan kaldera Bawakareang\ dan stasiun televisi diminta untuk menyiarkan
dengan ambang batas curah hujan peringatan kepada publik secara berkala. Ketika
secara global dan Himala, Nepal. mengidentifikasi ambang batas peringatan,
maka penting untuk mempertimbangkan dua
4.2 Ambang batas untuk sistem hal pokok, yaitu kecenderungan untuk memicu
peringatan ambang batas dan masalah logistik yang bisa
terjadi selama prosedur darurat evakuasi.
Penggunaan sistem peringatan berbasis Sebagai contoh dari hal ini, apabila batasan
ambang batas empiris telah banyak digunakan peringatan dapat didefinisikan sebagai kurva
pada berbagai tipe bencana. Hal penting yang sejajar dengan ambang memicu (kurva A
dari sistem ini adalah tersedianya komponen pada Gambar 9), atau kurva yang ditetapkan
terkait dengan prakiraan curah hujan, real- sebagai waktu kritis “∆tc” (yaitu waktu
time pengamatan curah hujan dan ambang minimum yang diperlukan untuk mengevakuasi
batas curah hujan dengan tanah longsor atau penduduk dari bahaya), bersifat konstan tidak

20
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012

40
Pemilihan dan strategi mitigasi bencana
yang tepat menjadi penting dalam mencegah
ataupun mengurangi tingkat kerusakan
30
KONDISI TIDAK STABIL

20 T
dan korban bencana yang mungkin dapat
ditimbulkan. Pendekatan mitigasi bencana
10 sedimen dapat dilakukan dengan berbagai
TOTAL CURAH HUJAN (mm)

Dtl0 Dtl1 Dtl2


KONDISI STABIL cara. Secara umum, ada dua pendekatan
0
0 40 80 120
WAKTU (Jam) (DURASI HUJAN)
mitigasi bencana yang dapat dilakukan,
Dtc0 Dtc1 Dtc2
yaitu dengan pendekatan stuktur (structural
approach) dan pendekatan bukan struktur (non
Gambar 9.
Kurva peringatan bencana structural approach).
sedimen berdasarkan ambang Pendekatan stuktur dapat dilakukan
batas curah hujan. Kurva dengan konstruksi sabo dam atau kontruksi
peringatan didefinisikan sebagai bangunan sipil. Sedangkan dengan
batas di mana jika terlampaui pendekatan bukan stuktur dapat dilakukan
maka prosedur keadaan darurat dengan pengamatan curah hujan, pengamatan
segera dilakukan (modifikasi dari tanah longsor atau aliran debris, menerapkan
Aleotti, 2004). sistem peringatan pada bencana dan evakuasi
penduduk. Penerapan mitigasi bencana
sedimen baik berupa pendekatan struktur dan
terpengaruh dari jalur hujan dari curah hujan pendekatan bukan struktur telah dilakukan di
kritis, ∆tc1= ∆tc2 (kurva B pada Gambar 9). lokasi penelitian seperti misalnya membangun
Sebagai bahan tambahan, bencana tujuh buah sabo dam untuk mengontrol
tanah longsor tahun 2004 diikuti aliran debris. aliran sedimen, pengamatan curah hujan,
Hal ini mengisyaratkan perlunya tindakan pemantauan tanah longsor atau aliran debris
mitigasi dilakukan dalam rangka meminimalkan serta evakuasi masyarakat yang bermukim di
risiko yang dapat menyebabkan korban jiwa lokasi rawan bencana ke daerah yang lebih
dan kerugian yang sama atau lebih di masa aman. Evakuasi ini ada sebanyak 35 kepala
yang akan datang. keluarga di dusun Lengkese (Gambar 10).

Gambar 10.
a) Sabo Dam No 7.3 di Hulu Sungai
Jeneberang, 7 km dari kaldera yang
runtuh tahun 2004 (foto: Hazama-
Brantas, JO, 2007),
b) Pengamatan curah hujan untuk
informasi kemungkinan terjadinya
bahaya longsor atau aliran debris,
terletak 5 km dari kaldera yang runtuh
tahun 2004 (foto: Hasnawir, 2007),
c) Salah satu titik pengamatan untuk
aliran debris, 8 km dari kaldera yang
runtuh tahun 2004 (foto: Hasnawir,
2007), dan
d) Lokasi evakuasi penduduk korban
bencana tanah longsor tahun 2004
di Kabupaten Gowa, pemerintah
membangun rumah sebanyak 35 buah
pada tahun 2005 (foto: Hasnawir,
2006).

21
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012

5. KESIMPULAN California Geology, Vol. 38, No.12, pp.


267– 272.
Penelitian tentang ambang batas Ceriani, M., Lauzi, S. and Padovan, N., 1992.
curah hujan untuk bencana sedimen di Rainfall and landslides in the Alpine area of
kaldera Bawakaraeng menghasilkan suatu Lombardia Region, central Alps, Italy,
nilai persamaan I=37.71D-0.90, di mana I Proceedings, Interpraevent Int. Symp,
adalah intensitas curah hujan dalam mm/jam Bern, Vol. 2, pp. 9–20.
dan D adalah durasi curah hujan dalam jam. Cotecchia, V., 1978. Systematic reconnaissance
Sistem peringatan berbasis ambang batas mapping and registration of slope
curah hujan menjadi sangat penting dalam movements, Bulletin of the International
rangka pengembangan sistem peringatan Association of Engineering Geology,
dini. Peringatan bencana sedimen di Kaldera Vol. 17, pp.5–37.
Bawakaraeng dapat dikeluarkan jika curah Crosta, G., 1998. Regionalization of rainfall
hujan dalam waktu 1 jam diperkirakan melewati threshold: an aid to landslide hazard
40 mm. evaluation, Environmental Geology, Vol.
35, pp. 13–145.
Crosta, G. and Frattini, P., 2001.
DAFTAR PUSTAKA Rainfall thresholds for triggering
soil slips and debris flow, Proc.
Aleotti, P., 2004. A warning system of rainfall- of EGS 2nd Plinius Conference 2000,
induced shallow failure, Engineering Mediterranean Storms, Siena, pp.
Geology, Vol. 73, pp. 247–265. 463–488.
Blong, R.J. and Dunkerley, D.L., 1976. Landslides Crozier, M., 1999. Prediction of rainfall-triggered
in the Razorback area, New South Wales, landslides: a test of the antecedent
Australia, Geogr.Ann, Vol. 58A, pp. water status model, Earth Surface
139–149. Processes and Landforms, Vol. 24, pp.
Brand, E.W., Premchitt, J. and Phillipson, H.B., 825–833.
1984. Relationship between rainfall and Dahal, R.K. and Hasegawa, S., 2008.
landslides in Hong Kong. Proc. of the IV Representative rainfall thresholds for
International Symposium on Landslides, landslides in the Nepal Himalaya,
Toronto, Vol. 1, pp. 377–384. Geomorphology, Vol. 100, p. 429–443.
Caine, N., 1980. The rainfall intensity–duration Gardland, G.G. and Olivier, M.J., 1993. Predicting
control of shallow landslides and debris landslides from rainfall in a humid,
flows, Geografiska Annaler, Vol. 62A, pp. subtropical region. Geomorphology 8,
23–27. 165– 173.
Campbell, R.H., 1975. Soil slips, debris flows, Glade, T., 2000. Modelling landslide triggering
and rainstorms in the Santa Monica rainfall thresholds at a range of
Mountains and vicinity, Southern complexities. Proc of the VIII
California, U.S. Geological Survey International Symposium on Landslides,
Professional Paper 851, pp. 1–20. Cardiff, vol. 2. Telford, London, pp. 633–
Cancelli, A. and Nova, R., 1985. Landslides in soil 640.
debris cover triggered by rainstorm in Guzzetti, F., Cardinali, M., Reichenbach,
Valtellina (Central Alps, Italy), Proc. Of the P., Cipolla,F., Sebastiani, C., Galli, M. and
IV International Conference on Landslides, Salvati, P., 2004. Landslides triggered by
Tokyo, Vol. 1, pp. 267– 272. the 23 November 2000 rainfall event in
Cannon, S.H. and Ellen, S.D., 1985. Rainfall the Imperia Province, Western Liguria,
conditions for abundant debris avalanches, Italy, Engineering Geology, Vol. 73, pp.
San Francisco Bay region, California, 229–245.

22
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012

Hasnawir and Kubota, T., 2011. Landslide raininduced slope failure. Asian Technical
susceptibility evaluation by 3-D slope Committee on Geotechnology for Natural
stability analysis, International Journal of Hazards in International Society of Soil
Ecology & Development. Pp. 1–14. Mechanics and Foundation Engineering,
Hiura, H., Kaibori, M., Suemine, A., Yokoyama, pp. 72– 81.
S. and Murai, M., 2005. Sediment related Rahardjo, H., Li, X.W., Toll, D.G. and Leong, E.C.,
disasters generated by typhoons in 2004. 2001. The effect of antecedent rainfall
In: Senneset, K., Flaate, K., Larsen, J.O. (Eds.), on slope stability, Geotechnical and
Landslides and Avalanches ICFL 2005 Geological Engineering, Vol. 19, pp.371–
Norway, pp.157–163. 399.
Jakob, M. and Weatherly, H., 2003. A hydroclimatic Sirangelo, B. and Braca, G., 2001.
threshold for landslide initiation on the L’individuazione delle condizioni di
North Shore Mountains of Vancouver, pericolo di innesco delle colate rapide
British Columbia, Geomorphology, Vol. 54, di fango. Applicazione del modello FlaIR
pp. 137–156. al caso di Sarno. Atti del
Kim, S.K., Hong, W.P. and Kim, Y.M., 1991. Convegno: ‘‘Il dissesto idrogeologico:
Prediction of rainfall triggered landslides in inventario e prospettive’’, Roma.
Korea. In: Landslides (Bell, D.H. Ed.), Sukamto, R. dan S. Supriatna (1982): Peta geologi
Rotterdam: A.A, Balkema, Vol. 2, pp. Ujung Pandang, Bantaeng dan Sinjai,
989–994. Sulawesi. Pusat Penelitian dan
Keefer, D.K.,Wilson, R.C., Mark, R.K., Brabb, Pengembangan Geologi, Bandung,
E.E., Brown,W.M., Ellen, S.D., Harp, Indonesia.
E.L., Wieczorek, G.F., Alger, C.S. and Terlien, M.T.J., 1998. The determination of
Zatkin, R.S., 1987. Real time landslide statistical and deterministic hydrological
warning system during heavy rainfall. landslide - triggering thresholds,
Science 238, 921–925. Environmental Geology, Vol. 35, pp.
Larsen, M.C. and Simon, A., 1993. A rainfall 124–130.
intensity–duration threshold for landslides Wieczorek, G.F., 1987. Effect of rainfall intensity
in a humid- tropical environment, Puerto and duration on debris flows in central Santa
Rico, Geografiska Annaler, Vol. 75, pp. Cruz Mountains, California, In:
13–23. Crosta,G.,Wieczorek, G.F. (Eds.), Debris
Li, T. and Wang, S., 1992. Landslide hazards and Flows / Avalanches: Processes,
their mitigation in China, Science Press, Recognition and Mitigation, Geological
Beijing, pp.84. Society of America, Reviews in
Montgomery, D.R. and Dietrich, W.E., 1994. A Engineering Geology, Vol. 7, pp. 93–104.
physically based model for the topographic Wieczorek, G.F., Morgan, B.A. and Campbell,
control on shallow landsliding, Water R.H., 2000. Debris flow hazards in the Blue
Resources Research, Vol. 30, pp. Ridge of Central Virginia, Environmental
1153–1171. and Engineering Geoscience, Vol. 6,
Onodera, T., Yoshinaka, R. and Kazama, H., 1974. pp.3–23.
Slope failures caused by heavy rainfall Wieczorek, G.F., Guzzetti, F., 1999. A review of
in Japan. Proc. of the II International rainfall thresholds for triggering landslides.
Congress International Association of Proc. of the EGS Plinius Conference,
Engineering Geology, Sao Paulo, Brasil, Maratea, Italy October 1999, pp. 407– 414.
vol. 11, pp. 1 – 10. Wilson, R.C. and Wieczorek, G.F., 1995. Rainfall
Premchitt, J., 1997. Warning system based on 24 thresholds for the initiation of debris flow at
hour rainfall in Hong Kong. Manual for La Honda, California. Environmental and
zonation on areas susceptible to Engineering Geoscience 1 (1), 11 – 27.

23
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012

Wilson, R.C., Mark, R.K., Barbato, G.E., 1992. Yano, K., 1990. Studies on deciding rainfall
Operation of realtime warning system threshold from warning and evacuating
for debris flows in the San Francisco Bay from debris flow disaster by improving the
area, California. In: Shen, H.W., Wen, F. decision method of preceding rainfall.
(Eds.), Hydraulic Engineering ’93. Journal of Japan Erosion Control Society,
Proceedings of the 1993 Conference, Hydraulics Vol. 43, No.4, pp. 3–13 (in Japanese).
Division, 1993, vol. 2. American Society Yatabe, R., Yagi, N. and Enoki, M., 1986.
of Civil Engineers, San Francisco, CA, pp. Prediction of slope failure based on the
1908– 1913. amount of rainfall, Japanese Society of Civil
Engineers,Vol. 376, pp. 297–305
(in Japanese).

24
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012

KETANGGUHAN MENTAL ANAK DALAM MENGHADAPI


BENCANA

Oleh: Wiwik Sulistyaningsih

Wiwik Sulityaningsih, (2012) Ketangguhan Mental Anak dalam Menghadapi Bencana,


Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012, hal 25-34, 2 tabel
2 gambar.

Abstract
Disaster is inevitably affecting the mental health of the suffered community.
For the children, it not only damages their mental health but also disrupts their
development. It is therefore discernable that children belong to susceptible group
for they are insufficiently equipped with skill and resources to mitigate disaster and
highly dependent on the significant others during their recovery process. As the other
group age, children community has also natural adaptive-mechanism in overcoming
their trauma from disaster. It means that their reaction to disaster are relatively similar
namely from panic, fear, stress to traumatic stress, but alongside with passing time
they gradually adapt themselves to post-disaster situation. Eventually, it is observable
that the small amount of the victimized children shows the symptoms of psychological
malady while most of them live normal life. In many cases, the adaptive children are
not affected at all with disaster and behave normally as they did before the disaster.
They seem to posses high resiliency. The differences of their reaction to disaster
raises a question “ Why some children remain tough and behave normally in the
aftermath of disaster while the other don’t?” This study is aimed as well to invent the
factors influencing the resilience of children in overcoming the disaster aftermath.

Keywords: resilience, children in the aftermath of disaster

1. PENDAHULUAN Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana


mereka dikategorikan sebagai kelompok
1.1. Latar Belakang rentan. Hal ini berarti bahwa komunitas anak
di dalam masyarakat memerlukan perhatian
Bencana akan menimbulkan dampak khusus ketika terjadi bencana.
yang merugikan di berbagai bidang kehidupan Sesaat setelah terjadinya bencana,
masyarakat. Selain kerugian materiil, kerugian umumnya anak akan menunjukkan gejala-
moril yang timbul adalah kondisi mental gejala fisik, emosi, pikiran, dan perilaku yang
yang menurun atau terganggu karena orang mengganggu. Beberapa hal yang termasuk
kehilangan harta benda dan keluarga akibat dalam gejala fisik, misalnya sulit tidur, tidak
bencana. Pada kelompok usia anak, dampak enak badan, dan mudah terkejut. Gejala emosi
bencana dipandang lebih mengkhawatirkan, tampil dalam bentuk takut atau cemas, sedih,
sehingga dalam Undang-Undang Nomor 24 merasa bersalah. Sebagai contoh gejala
pikiran, misalnya bingung, sulit konsentrasi,
sering teringat kembali pada peristiwa, dan
Penulis adalah Staf Pengajar Fakultas Psikologi mimpi buruk. Sedangkan gejala perilaku adalah
Universitas Sumatera Utara mudah menangis, menarik diri dari pergaulan,

25
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012

takut berpisah dari orangtua, dan mudah marah trauma akibat bencana. Gambaran anak yang
(UNICEF Indonesia, 2008). memiliki ketangguhan mental yang baik ini
Semua gejala ini merupakan reaksi yang terlihat pada sosok anak yang tetap mampu
normal dan wajar. Namun demikian, seiring berprestasi, terampil memecahkan masalah
dengan berjalannya waktu, maka umumnya mereka, mandiri, serta memiliki cita-cita dan
orang akan dapat berfungsi kembali secara tujuan untuk masa depan. Mereka merasa puas
normal karena pada dasarnya setiap manusia dan bahagia meski sebelumnya harus bergulat
memiliki mekanisme adaptasi alamiah untuk dengan banyak masalah dan kesulitan.
menghadapi situasi sulit seperti halnya peristiwa Ketangguhan mental anak dalam
bencana. Kondisi mental, kemampuan, serta menghadapi bencana tidak muncul begitu
dukungan dari lingkungan yang dimiliki oleh saja. Beberapa faktor yang membentuknya
tiap individu yang kemudian akan membedakan adalah kepribadian si anak, faktor lingkungan
bagaimana reaksi penyesuaian selanjutnya seperti keluarga dan pengalaman positif yang
terhadap bencana. dimiliki oleh anak. Semua faktor tersebut saling
Pengamatan di lapangan menunjukkan berinteraksi, sehingga terbangun ketangguhan
kadang justru tidak mudah untuk menemukan mental anak yang pada akhirnya akan
orang-orang yang menunjukkan gangguan menunjukkan variasi antara anak satu dengan
psikologis akibat bencana. Hal ini terjadi, karena yang lainnya. Sehubungan dengan upaya
meskipun mengalami guncangan mental pada penanggulangan bencana bagi komunitas
awalnya, namun kebanyakan orang akan dapat anak, pengaruh faktor lingkungan ini dapat
berfungsi kembali secara normal setelah butuh diberikan dalam bentuk adanya sikap dan
waktu tertentu untuk melakukan penyesuaian. dukungan yang tepat dalam menghadapi
Sementara itu, sebagian kecil orang akan bencana, sehingga akan dapat meminimalisir
mengalami gangguan psikologis dan ada yang dampak merugikan yang timbul akibat
tetap dapat berfungsi secara baik setelah bencana.
terjadinya bencana. Pada komunitas anak, Mengingat wilayah Indonesia yang rawan
gambaran seperti ini juga dapat diamati di bencana, maka mempersiapkan ketangguhan
lapangan, sehingga dapat dikenali adanya mental anak dalam menghadapi bencana
anak yang tetap tampil ceria, mampu berfungsi adalah hal yang perlu mendapat perhatian. Hal
kembali dengan baik setelah mendapatkan ini bukan hanya bertujuan agar mereka tidak
dukungan dan bimbingan, serta anak yang terganggu akibat bencana, namun sebagai
membutuhkan layanan profesional khusus generasi muda dengan masa depan yang
karena masih menunjukkan gejala gangguan lebih panjang, selayaknya mereka memiliki
meski bencana telah cukup lama berlalu. bekal yang cukup, agar nantinya dapat hidup
Anak yang tetap tampil ceria dan nyaman dan produktif di daerah yang berisiko
berfungsi dengan baik dapat disebut sebagai bencana. Untuk itu, perlu dipahami gambaran
anak yang tangguh. Ketangguhan mental ini tentang ketangguhan mental anak dalam
adalah kemampuan seseorang untuk tetap menghadapi bencana dan faktor-faktor yang
dapat bertahan menghadapi penderitaan yang mempengaruhinya.
amat berat, untuk bangkit kembali menghadapi
kesulitan hidup yang besar, dan menjalani 1.2. Tujuan
hidup secara relatif normal (Bautista et all.,
2001). Dalam situasi bencana, ketangguhan Penelitian dengan pendekatan kualitatif
mental anak menggambarkan kemampuannya yang dilakukan pada anak-anak di daerah
untuk tetap berkembang secara positif, mampu bencana ini bertujuan untuk mendapatkan
berfungsi dengan baik meski situasi lingkungan gambaran tentang ketangguhan mental anak
penuh dengan stres dan pulih kembali dari dalam menghadapi bencana.

26
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012

2. METODOLOGI adalah mereka yang menunjukkan gejala-


gejala stres traumatik yang normal sesaat
2.1. Waktu dan Lokasi Penelitian setelah terjadinya bencana, namun dengan
cepat mampu berfungsi kembali seperti
Penelitian dilakukan di wilayah yang semula. Bahkan ketika anak-anak seusianya
terkena bencana gempa bumi Sumatera Barat masih menunjukkan rasa takut dan cemas,
30 September 2009, yakni di Kota Pariaman ia dapat tampil tenang dan tetap beraktivitas
Provinsi Sumatera Barat. Adapun waktu sebagaimana biasanya, sehingga dapat
pengambilan data dilakukan selama sekitar menjadi contoh bagi anak lainnya.
satu bulan, yakni pada bulan Maret 2010. Data Di setiap desa yang dilakukan
dikumpulkan melalui metode wawancara dan pendampingan psikososial, penulis menemukan
observasi untuk memperoleh informasi tentang adanya sosok-sosok anak tangguh ini. Dengan
pengalaman anak ketika bencana terjadi, demikian, lima orang anak sebagai sampel
keadaan anak setelah bencana, serta kondisi ini berasal dari lima desa yang berlainan di
sosial psikologis anak dalam menghadapi Kecamatan Pariaman Utara. Berikut adalah
bencana. Selain langsung kepada anak, gambaran singkat dari subjek penelitian yang
wawancara juga dilakukan terhadap “significant menyampaikan tentang latar belakang anak,
person” di lingkungan anak, seperti orang tua pengalaman menghadapi bencana, dan respon
anak, guru dan pembimbing anak, serta tokoh mereka setelah bencana berlalu.
masyarakat. AS (laki-laki, 13 tahun) anak yang
terampil dan tabah. Ia adalah anak bungsu dari
2.2. Sampel Penelitian tiga bersaudara. Ketika masih bayi, ayahnya
meninggal dunia, sehingga ia tinggal berdua
Sampel penelitian diambil sebanyak lima dengan ibunya di Pariaman. Ibu bekerja
orang anak usia sekolah dasar, dua orang anak menjualkan mukena bordir milik tetangga untuk
perempuan dan tiga orang anak laki-laki. Usia dipasarkan ke kota lain. Oleh karenanya, ia
mereka berkisar antara 10 sampai 13 tahun sering dititipkan tinggal di rumah bibinya karena
yang duduk di kelas lima SD. Mereka adalah ibu pergi selama berhari-hari untuk berdagang
anak-anak yang mengikuti program dukungan ke Sawahlunto. Kedua kakaknya bekerja di
psikososial dalam bentuk pendampingan anak Lubuk Linggau dan sesekali mengirimkan
pasca gempa di komunitas desa. Dukungan gajinya untuk mencukupi kebutuhan hidup di
psikososial ini terselenggara atas kerjasama rumah.
tiga lembaga, yakni Fakultas Psikologi USU Gempa yang terjadi pada 30 September
sebagai penyedia tenaga pelaksana, NGO 2009 membuatnya amat sedih dan ketakutan.
Plan sebagai donor dan LSM PADMA Indonesia Rumahnya hancur rata dengan tanah, sehingga
sebagai mitra lokal. Program kegiatan dilakukan kemudian terpaksa mereka berdua harus tinggal
selama tiga bulan yang berlangsung dari bulan di gubug kecil yang didirikan seadanya di dekat
Januari hingga April 2010. reruntuhan rumah itu. Beberapa saat setelah
gempa, ia sering terbangun di malam hari dan
3. HASIL DAN PEMBAHASAN berlari karena merasa ketakutan seolah-olah
gempa itu terjadi lagi. Namun kesedihan dan
3.1. Laporan Penelitian trauma tersebut lambat laun berkurang dan
menghilang saat ia menyibukkan diri dengan
Hasil penelitian berikut akan kegiatan-kegiatan yang menyenangkan
menyampaikan gambaran lima orang anak bersama teman-temannya.
yang mewakili sosok-sosok anak yang tangguh Prestasinya di sekolah tergolong biasa
(resilien) dalam menghadapi bencana. Anak atau rata-rata, tapi ia memiliki bakat ketrampilan
yang tergolong dalam kelompok anak tangguh seperti senang membuat mainan sendiri

27
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012

berupa mobil truk dari kayu dan kipas yang bisa relawan dan kakak-kakak pendamping yang
digerakkan dengan listrik. Pada waktu dilakukan banyak hadir di desa pasca gempa. Pada
pendampingan psikososial di desanya, ia berbagai kegiatan yang diselenggarakan
dapat mengikuti dan berpartisipasi aktif dalam dalam program pendampingan psikososial, ia
kegiatan-kegiatan yang diberikan untuk anak. biasanya mendapat tugas sebagai pembawa
Salah satu prestasi yang ditampilkan adalah acara dan memimpin rapat dengan teman-
ia berhasil menjadi juara I lomba bulu tangkis teman sebayanya. Penampilannya yang ceria
pada PORSENI yang diselenggarakan saat itu dan penuh rasa percaya diri membuat banyak
di Kecamatan Pariaman Utara. orang di sekelilingnya senang dan merasa
RZ (laki-laki, 11 tahun) anak yang pintar terhibur. Kelak kalau dewasa ia bercita-cita
meski situasinya sulit. Ia adalah anak tunggal ingin menjadi orang yang bisa mengobati orang
yang dibesarkan oleh nenek dan kakeknya. yang menderita stres.
Orangtuanya bercerai ketika ia masih bayi dan EV (perempuan, 11 tahun) anak yang
kemudian ibunya bekerja di Malaysia. Dua optimis dan tangguh. Ia adalah anak ketiga
tahun sebelum terjadi gempa, nenek yang dari lima bersaudara. Ibunya bekerja sebagai
selama ini menyayangi dan membesarkannya pengrajin kain sulaman dan pembuat es lilin,
meninggal dunia, sehingga ia hanya tinggal sedangkan ayah berjualan ikan ke daerah Tiku,
di rumah berdua dengan kakeknya. Gempa sekitar kurang lebih 30 km dari tempat tinggal
yang terjadi ‘hanya’ menyisakan retak-retak mereka di Pariaman. Setiap hari ia membantu
di bangunan rumahnya. Rumah itu masih ibu berjualan es lilin di sekolah, saat pergi
layak huni, padahal rumah tetangga yang ada mengaji atau ke tempat bermain. Ciri khasnya
tepat di depan rumahnya rusak sangat parah. adalah ia selalu membawa termos es ke mana-
Dalam kesehariannya, untuk menepis rasa mana. Jadi meskipun masih kecil, ia sudah bisa
sunyi, ia menghabiskan waktu di luar rumah menghasilkan uang sendiri.
dengan bermain bola bersama teman-teman Selepas sekolah ia mengisi waktu dengan
sebayanya. Meski sejak kecil mengalami membantu ibu membuat sulaman kain untuk
situasi hidup yang sulit, namun ia tetap mampu dijual ke toko. Kain sulaman ini merupakan
berprestasi dengan menjadi juara kelas setiap bahan untuk dibuat pakaian yang biasanya
tahun di sekolahnya. Pada waktu dilakukan digunakan pada acara pesta adat di Pariaman.
pendampingan psikososial di desanya, ia Meskipun sambil membantu orangtua namun
dapat mengikuti dan berpartisipasi aktif dalam prestasi sekolahnya cukup membanggakan.
kegiatan-kegiatan yang diberikan untuk anak. Sejak kelas satu sampai kelas lima, ia selalu
AL (laki-laki, 11 tahun) anak yang ceria mendapat juara satu di kelas. Meskipun
dan penuh percaya diri. Ia adalah anak kedua sebagian besar waktunya dimanfaatkan untuk
dari empat bersaudara. Ayahnya adalah membantu ibu, namun di sela-selanya ia masih
pekerja pabrik di daerah Lubuk Alung, sekitar menyempatkan diri untuk bermain bersama
40 km jaraknya dari Pariaman. Seminggu dengan teman-temannya.
sekali Sang Ayah pulang ke rumah, sedang Mengingat peristiwa gempa yang terjadi
ibu membuka salon di rumah yang membuat pada tanggal 30 September 2009 membuatnya
sibuk hari-harinya. Akibat gempa yang terjadi, merasa sedih. Goncangan gempa telah
rumahnya rusak berat dan tidak layak huni. merobohkan dua sisi dinding rumahnya,
PMI kemudian membuatkan rumah sementara sehingga menjadi kurang layak huni. Mereka
di dekat rumah yang rusak itu. Di rumah kecil lalu tinggal di rumah hunian sementara yang
yang sederhana inilah mereka sekarang tinggal dibangun oleh PMI di sebelah rumah lama,
sambil menunggu rumah yang rusak diperbaiki. meskipun sebagian aktivitas masih dilakukan di
Dalam kesehariannya, ia senang bergaul rumah lama tersebut.
dan punya banyak teman. Ia juga mudah akrab SI (perempuan, 10 tahun) anak yang
dengan orang yang baru dikenal, seperti para penuh dengan prestasi. Ia adalah anak bungsu

28
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012

dari enam bersaudara. Ayahnya seorang petani, Dari uraian kelima sosok anak tangguh
sementara ibu berjualan makanan di rumah. Ia tersebut di atas, berikut dalam Tabel 1
termasuk anak yang mandiri karena setiap pagi dijelaskan rangkuman tentang latar belakang
bisa bangun sendiri di waktu subuh, mandi, anak, dampak yang dialami akibat bencana,
sarapan kemudian berangkat ke sekolah. Sore serta perkembangan yang ditunjukkan setelah
harinya ia pergi ke madrasah tempat mengaji. terjadinya bencana.
Selain selalu menjadi juara kelas, ia juga Berdasarkan data Tabel 1, terlihat bahwa
sering menjuarai berbagai macam lomba yang anak yang mengalami bencana akan bereaksi
diikutinya. Sewaktu duduk di Taman Kanak- dengan rasa takut, cemas, dan stres traumatik
Kanak ia pernah menjadi juara lomba mewarnai pada saat awal bencana. Sekitar kurang lebih
tingkat Kota Pariaman, kemudian ketika duduk sebulan sesudahnya, gejala-gejala tersebut
di SD ia menjuarai lomba membaca puisi, perlahan-lahan berkurang dan hilang dengan
menulis cerita, dan yang terakhir mendapat teralihnya perhatian anak pada aktivitas
juara dua lomba membaca cerita rakyat di Kota normal mereka seperti bersekolah, mengaji di
Pariaman. madrasah dan bermain dengan teman sebaya.
Sebagai anak bungsu, ia beruntung Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
bisa bertanya tentang pelajaran kepada anak-anak tersebut memiliki ketangguhan
kakak-kakaknya. Dua orang kakaknya mental dalam menghadapi bencana karena
sedang sekolah untuk menjadi guru. Hal ini mereka telah mampu bertahan melewati masa-
menjadi motivasi baginya agar kelak ia pun masa sulit akibat bencana, pulih kembali untuk
ingin menjadi guru. Menurutnya, sungguh menghadapi kesulitan hidup yang besar dan
menyenangkan bisa berbagi ilmu pada orang menjalani hidup secara relatif normal (Bautista
lain. Peristiwa gempa yang terjadi membuat et all., 2001).
rumah mereka rusak parah dan dinyatakan
tidak boleh ditinggali. Beruntung mereka hanya 3.2. Pembahasan
sekitar enam bulan tinggal di rumah hunian
sementara, karena ada paman yang tinggal di Reaksi penyesuaian anak terhadap
Malaysia membantu untuk membangun rumah bencana akan bervariasi, sehingga dapat
mereka kembali. dikenali adanya anak yang tangguh, normal, dan

Kelompok anak rapuh

Kelompok anak normal

Kelompok anak tangguh

Gambar 1. Kelompok anak rapuh, normal, dan tangguh yang terdistribusi


dalam kurve normal

29
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012

rapuh selepas bencana. Gambaran distribusi setelah butuh waktu tertentu untuk melakukan
dari ketiga kelompok anak tersebut dijelaskan penyesuaian, serta orang yang tetap dapat
dalam Gambar 1 yang menggambarkan bahwa berfungsi baik sewaktu terjadi bencana dan
jumlah terbesar adalah anak-anak dengan justru semakin lebih baik lagi dibanding
kategori normal, kemudian dalam proporsi sebelum terjadinya bencana. Pada komunitas
yang lebih kecil adalah kelompok anak yang anak, gambaran seperti ini juga dapat diamati
rapuh dan tangguh (Sulistyaningsih, 2011). di lapangan, sehingga dapat dikenali adanya
Kondisi mental, kemampuan, serta anak yang tetap tampil ceria dan berprestasi
dukungan dari lingkungan yang dimiliki oleh (anak tangguh), anak yang mampu berfungsi
tiap individu membedakan bagaimana reaksi kembali dengan baik setelah mendapatkan
penyesuaian selanjutnya terhadap bencana. dukungan dan bimbingan (anak normal), serta
Oleh karena itu, di lapangan akan dapat dikenali anak yang membutuhkan layanan profesional
adanya orang-orang yang menunjukkan khusus karena masih menunjukkan gejala
gangguan psikologis setelah bencana, orang gangguan meski bencana telah cukup lama
yang dapat berfungsi kembali secara normal berlalu (anak rapuh).

Tabel 1. Gambaran latar belakang, dampak bencana, dan perkembangan anak tangguh

Nomor Dampak Bencana Perkembangan Subjek


Latar Belakang Subjek
Subjek Yang Dialami Pasca Bencana
1. - Laki -laki, 13 tahun - Rumah hancur rata dengan - Pada awalnya ia menunjukkan
- Anak ke 3 dari 3 bersaudara tanah gejala-gejala stres traumatik
(AS) - Ayah meninggal ketika ia - Tinggal di gubug seadanya di namun lambat laun pulih
bayi dekat reruntuhan rumah
kembali
- Sering ditinggal ibu kerja - Rumah sementara yg
berjualan ke luar kota dan diberikan PMI disewakan - Bisa bersekolah dan bermain
dititip ke bibinya agar ibu mendapat uang dengan teman kembali secara
normal
- Tekun dengan hobi kreatif
membuat mainan sendiri dan
menjadi juara bulu tangkis
antar desa.
2. - Laki -laki, 11 tahun - Rumah retak-retak namun - Anak pendiam dan tidak
- anak tunggal bisa dihuni berekspresi tentang
(RZ) - Orangtua bercerai, - Setelah mengalami bencana, perasaannya, baik di rumah
kemudian ibu bekerja di famili memberi perhatian
atau di sekolah
Malaysia lebih sehingga setiap liburan
- Diasuh oleh nenek dan ia diajak tinggal dengan - Merasa kesepian
kakeknya mereka di kota lain. - Banyak menghabiskan waktu
- Nenek meninggal 2 tahun di luar rumah dengan bermain
sebelum gempa, lalu sepak bola bersama teman
diasuh oleh kakek saja

3. - Laki -laki, 11 tahun - Rumah rusak parah tidak - Anak senang bergaul dan
- Anak ke 2 dr 4 bersaudara layak huni tetap tampil ceria
(AL) - Ayah bekerja di pabrik, - Tinggal di rumah hunian - Aktif dan proaktif dalam
ibu usaha salon di rumah sementara yg dibuat PMI
mengikuti kegiatan
- Tinggal bersama keluarga
pendampingan psikososial
anak
- Berani tampil dan menjadi
koordinator anak dalam
berbagai kegiatan yang
30 dilakukan
4. - Perempuan, 11 tahun - Rumah rusak kurang layak - Sambil bersekolah anak
- Anak ke 3 dr 5 bersaudara huni membantu orangtua dengan
3. - Laki -laki, 11 tahun - Rumah rusak parah tidak - Anak senang bergaul dan
- Anak ke 2 dr 4 bersaudara layak huni tetap tampil ceria
(AL) - Ayah bekerja di pabrik, - Tinggal di rumah hunian - Aktif dan proaktif dalam
Jurnal Penanggulangan
ibu usaha salonBencana
di rumah Volume 3 Nomor
sementara 1, Tahun
yg dibuat PMI 2012
mengikuti kegiatan
- Tinggal bersama keluarga
pendampingan psikososial
anak
- Berani tampil dan menjadi
koordinator anak dalam
berbagai kegiatan yang
dilakukan
4. - Perempuan, 11 tahun - Rumah rusak kurang layak - Sambil bersekolah anak
- Anak ke 3 dr 5 bersaudara huni membantu orangtua dengan
(EV) - Ayah berjualan ikan, ibu - Tinggal di rumah hunian berjualan es lilin
pengrajin kain sulaman sementara yang dibuat PMI
- Selalu menjadi juara I di kelas
- Tinggal bersama keluarga dengan sebagian aktivitas di
sejak kelas satu sekolah dasar
rumah lama
- Bisa tetap bermain bersama
teman-teman sambil
membantu orangtua dengan
berjualan
5. - Perempuan, 10 tahun - Rumah rusak parah tidak - Anak mandiri dan berprestasi
- Anak ke 6 d ari 6 layak huni - Juara kelas, juara membaca
(SI) bersaudara - Tinggal di rumah hunian puisi dan menulis cerita
- Ayah petani, ibu berjualan sementara dari PMI
- Rajin, tekun dan penuh rasa
di rumah - Kemudian famili membantu
percaya diri
- Tinggal bersama keluarga untuk rumah dibangun
kembali dan sekarang tinggal
di rumah yang nyaman

Untuk memahami bagaimana proses maka hal ini akan mempermudah ia menjadi
yang terjadi sehingga akhirnya dapat anak tangguh.
dikenali munculnya ketiga kelompok anak Menurut Meichenbaum (dalam www.
tersebut, dalam Gambar 2 secara skematis melissainstitute.org) ciri-ciri kepribadian yang
dijelaskan bahwa risiko perkembangan dimiliki oleh anak tangguh ini di antaranya
yang sama, yakni adanya bencana, akan adalah temperamen yang baik, terampil
disikapi dan dipersepsi secara berbeda memecahkan masalah atau cerdas, memiliki
oleh individu sehingga menghasilkan reaksi kompetensi sosial seperti empati, emosi yang
yang berlainan. Perbedaan hasil reaksi ini matang, dan terampil berkomunikasi, serta
terutama dipengaruhi oleh faktor protektif optimis dan berorientasi ke masa depan.
dan faktor risiko yang berproses secara khas
pada tiap diri anak, sehingga membentuk Stressor Moderator Hasil Proses
pola penyesuaiannya.
Semakin banyak dimiliki faktor protektif, Faktor Risiko
Anak Tangguh
-Persepsi Negatif Anak
maka akan berpengaruh positif terhadap -Keluarga Bermasalah
(Well-Adjusted)

ketangguhan anak dan sebaliknya. Sedang


semakin banyak faktor risiko ada pada anak, Anak Normal
BENCANA
maka akan semakin membuatnya menjadi (Reintegrasi)

rapuh. Sebagai contoh, jika anak memiliki


keluarga yang bermasalah dan persepsinya Faktor Protektif
Anak Rapuh
negatif dalam memandang segala sesuatu, -Kepribadian Anak
(Gangguan Psikologis)
-Dukungan Sosial
maka hal ini akan membuatnya menjadi
anak yang rapuh. Sebaliknya, jika anak
memiliki kualitas kepribadian yang baik dan Gambar 2. Reaksi penyesuaian anak terhadap
mendapat dukungan sosial yang cukup, bencana (Sulistyaningsih, 2009)

31
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012

Berdasarkan identifikasi data pada anak- kegiatan anak. Sedangkan I am factor adalah
anak tangguh yang dibahas dalam penelitian kualitas kepribadian anak seperti misalnya
ini, maka dapat dirangkum faktor-faktor risiko, cerdas, sabar dan tabah, kreatif, mandiri, serta
faktor protektif, dan indikator gambaran karakter yang baik dan sehat.
ketangguhan mental anak yang disampaikan
dalam Tabel 2. 4. KESIMPULAN DAN SARAN
Model resiliensi yang dikemukakan
oleh Richardson dkk (dalam Henderson & 4.1. Kesimpulan
Milstein, 2003) menyatakan bahwa kesulitan
hidup tidak secara otomatis mengakibatkan Dalam menghadapi bencana, anak
disfungsi, namun sebaliknya justru dapat memiliki kemampuan mekanisme adaptasi
menghasilkan sejumlah capaian bagi individu alamiah yang membuatnya mampu untuk
yang mengalaminya. Selain itu, reaksi terhadap beradaptasi dengan situasi sulit akibat bencana.
kesulitan hidup yang pada awalnya bahkan Adapun reaksi penyesuaian terhadap bencana
bersifat disfungsional, lama kelamaan dapat akan bervariasi sehingga dapat dikenali adanya
membaik. Hal ini dapat dilihat pada kasus anak anak yang normal, rapuh, dan tangguh dalam
AS, yang pada awalnya menunjukkan gejala menghadapi bencana.
stres traumatik namun lambat laun menghilang Perbedaan reaksi penyesuaian anak
sehingga menjadi normal kembali. terhadap bencana ini dipengaruhi oleh
Lebih lanjut Henderson & Milstein kondisi mental dan kemampuan yang dimiliki
(2003) menjelaskan bahwa resiliensi atau anak serta dukungan dari lingkungan yang
ketangguhan mental menggambarkan tiga diberikan kepada mereka. Pada anak yang
keadaan, yakni hasil perkembangan yang tergolong tangguh, mereka memiliki tiga
positif dalam lingkungan berisiko, kemampuan faktor pembentuknya yaitu dukungan dari luar
yang tetap berfungsi meski situasi penuh dan daya yang memperkuat mental anak,
stres, dan pulih kembali dari trauma. Dengan ketrampilan sosial dan interpersonal, serta
demikian, kelima anak yang menjadi subjek kekuatan pribadi dalam diri anak. Anak yang
dalam penelitian ini memenuhi kriteria sebagai tangguh dalam menghadapi bencana ini
anak yang tangguh karena mereka dapat tetap dapat dikenali dari ciri-cirinya sebagai berikut:
berkembang dengan baik, bahkan berprestasi temperamen yang baik, terampil memecahkan
meski menghadapi situasi hidup yang penuh masalah atau cerdas, memiliki kompetensi
stres akibat bencana gempa bumi yang sosial seperti empati, emosi yang matang
menimpa desa mereka. dan terampil berkomunikasi, serta optimis dan
Adapun ketangguhan mental yang berorientasi ke masa depan.
terbentuk pada anak bersumber dari tiga
faktor, yaitu dukungan dari luar dan daya yang 4.2. Saran
memperkuat mental anak (I Have Factor),
ketrampilan sosial dan interpersonal anak (I Can a. Model resiliensi menyatakan bahwa
Factor), serta kekuatan pribadi dalam diri anak ketangguhan (resiliensi) merupakan
(I Am Factor). Pada subjek penelitian ini, I have suatu proses Hal ini berarti bahwa setiap
factor ditunjukkan dengan adanya dukungan anak dapat berkembang ketangguhan
dan keluarga yang teratur yang dimiliki oleh mentalnya sehingga anak yang belum
anak. Pada sebagian anak yang tidak memiliki tangguh dapat dibina menjadi lebih
figur orangtua, dukungan keluarga ini diberikan meningkat ketangguhannya.
oleh pengganti orangtua atau famili. I can factor b. Ketangguhan mental anak dalam
dapat dikenali dari kemampuan anak dalam menghadapi bencana dapat ditingkatkan
berinteraksi dengan teman sebaya dan orang sejak dini tanpa perlu harus menunggu
lain, serta tampil menonjol dalam kegiatan- terjadinya bencana. Hal ini dapat

32
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012

dilakukan dengan memperhatikan UCAPAN TERIMA KASIH


faktor-faktor pembentuk ketangguhan
mental Dengan demikian, meskipun Penulis menyampaikan ucapan banyak
bencana mengandung risiko untuk terima kasih kepada Tim Psikososial untuk
perkembangan anak, namun anak di Pariaman, khususnya kepada Bapak
dengan adanya sikap dan dukungan Yovianus Toni Sakera (LSM PADMA Indonesia)
yang tepat kepada anak, maka akan selaku manajer proyek kegiatan tersebut.
dapat meminimalisir dampak bencana Terima kasih atas kerjasama dan fasilitasi yang
terhadap anak. telah diberikan sehingga penelitian ini dapat
c. Upaya meningkatkan ketangguhan terlaksana dengan lancar.
mental anak tersebut dapat dilakukan
oleh orangtua atau pengasuh anak,
sekolah, dan pihak-pihak lain yang
ada di lingkungan anak.
Tabel 2. Faktor Risiko, Faktor Protektif, dan Gambaran Ketangguhan Mental Anak

No. Gambaran
Faktor Risiko Faktor Protektif
Ketangguhan Mental
1. a. Mengalami bencana gempa a. Kepribadian anak: sabar dan a. Mampu pulih kembali dari
yang mengakibatkan rumah tabah, kreatif, mampu trauma psikologis akibat
(AS) roboh rata dengan tanah menerima dan menikmati gempa
b. Tinggal di gubug yang amat hidup b. Tabah menghadapi kesulitan
sederhana dengan ibu b. Ibu perhatian dan hidup setelah bencana,
c. Tidak memiliki figur ayah sejak menyayangi anak Meski berkekurangan
ia masih bayi c. Ada bibi sebagai pengganti namun anak tetap
d. Pengasuhan ibu kurang optimal ibu yang mengasuh anak berperilaku baik, patuh p ada
karena anak sering ditinggal ketika ibu pergi bekerja ke orangtua, dan bergaul
pergi kerja ke kota lain kota lain dengan anak-anak yang lain.
e. Kondisi ekonomi orangtua c. Mengisi waktu dengan
berkekurangan keterampilan membuat
mainan kreatif
d. Prestasi sekolah rata-rata
namun menjadi juara olah
raga bulu tangkis dalam
lomba antar desa
2. a. Mengalami bencana gempa a. Kepribadian anak: karakter a. Berprestasi di sekolah
yang mengakibatkan dinding yang baik dan sehat meski dengan selalu menjadi juara
(RZ) rumah retak-retak kesepian sejak kecil, cerdas kelas
b. Tinggal di rumah hanya berdua b. Kakek/nenek yang b. Mengatasi kesepian dengan
dengan kakek mengasuhnya perhatian dan bermain sepak bola dan
c. Pengasuhan anak yang kurang menyayangi anak bermain bersama teman
optimal karena anak ditinggal c. Ada famili (keluarga besar c. Tampil tenang dan tidak
ibu kerja di Malaysia, setelah ibu) yang peduli dan menunjukkan perilaku yang
orangtua bercerai memperhatikan bermasalah meski kurang
perkembangan anak kasih sayang orangtua sejak
ia masih kecil
3. a. Mengalami bencana gempa a. Kepribadian anak: mampu a. Berprestasi cukup baik di
yang mengakibatkan rumah membentuk hubungan yang sekolah
(AL) rusak berat positif, memiliki rasa humor b. Selalu tampil ceria dan
b. Tinggal di rumah hunian yang baik, percaya diri, dan membuat orang lain di
sementara yg dibuat oleh PMI cerdas sekelilingnya merasa
c. Ibu sibuk bekerja, ayah b. Ayah/ibu yang cukup terhibur
seminggu sekali pulang ke perhatian, hangat, dan c. Fleksibel dan pandai
rumah menyayangi anak bergaul dengan siapa saja
c. Orangtua mendukung bakat 33
dan aktivitas anak
4. a. Mengalami bencana gempa a. Kepribadian anak: tekun, a. Berprestasi di sekolah
yang mengakibatkan rumah sabar, karakter yang baik dengan selalu menjadi juara
perkembangan anak kasih sayang orangtua sejak
ia masih kecil
3. a. Mengalami bencana gempa a. Kepribadian anak: mampu a. Berprestasi cukup baik di
yang mengakibatkan rumahJurnal Penanggulangan Bencana
membentuk hubungan yangVolume 3 Nomor 1, Tahun 2012
sekolah
(AL) rusak berat positif, memiliki rasa humor b. Selalu tampil ceria dan
b. Tinggal di rumah hunian yang baik, percaya diri, dan membuat orang lain di
sementara yg dibuat oleh PMI cerdas sekelilingnya merasa
c. Ibu sibuk bekerja, ayah b. Ayah/ibu yang cukup terhibur
seminggu sekali pulang ke perhatian, hangat, dan c. Fleksibel dan pandai
rumah menyayangi anak bergaul dengan siapa saja
c. Orangtua mendukung bakat
dan aktivitas anak
4. a. Mengalami bencana gempa a. Kepribadian anak: tekun, a. Berprestasi di sekolah
yang mengakibatkan rumah sabar, karakter yang baik dengan selalu menjadi juara
(EV) rusak cukup parah dan sehat meski kelas
b. Tinggal di rumah hunian kekurangan, cerdas b. Membantu orang tua dengan
sementara yang dibuat oleh b. Tinggal bersama dengan berjualan makanan sambil
PMI orang tua sekolah
c. Kemampuan ekonomi orangtua c. Hubungan di dalam c. Tampil tenang dan tidak
kurang berkecukupan keluarga yang saling menunjukkan perilaku yang
mendukung bermasalah

5. a. Mengalami bencana gempa a. Kepribadian anak: mandiri, a. Berprestasi di sekolah


yang mengakibatkan rumah optimis, berbakat, dan dengan selalu menjadi juara
(SI) rusak berat cerdas kelas
b. Sementara (6 bulan) tinggal di b. Tinggal bersama dengan b. Menjadi juara dalam lomba
rumah hunian sementara yang orangtua baca puisi, cerita rakyat, dan
dibuat oleh PMI, sebelum c. Pihak sekolah memberi menulis cerita
rumah dibangun kembali oleh bimbingan dan c. Rajin, tekun, dan penuh rasa
famili memfasilitasi percaya diri
c. Kemampuan ekonomi orangtua pengembangan bakat anak d. Tampil tenang dan tidak
kurang berkecukupan menunjukkan perilaku yang
bermasalah

DAFTAR PUSTAKA UNICEF Indonesia. (2008). Perlindungan Anak


dalam Keadaan Darurat. Jakarta:
Bautista, V., Roldan, A., & Bacsal, M.G. (2001). PT Persada Utama Tirta Lestari.
Working with Abused Children’s Work. Sulistyaningsih, W. (2009). Mengatasi Trauma
Quezon City: Save the Children & Psikologis: Upaya Memulihkan Trauma
University of the Philippines. Akibat Konflik dan Kekerasan.
Henderson, N. & Milstein, M.M. (2003). Resiliency Yogyakarta: Paradigma Indonesia.
in Schools. California: Corwin Press, Inc. Sulistyaningsih, W. (2011). Pemulihan Anak
Meichenbaum, D. (tanpa tahun). Pasca Bencana. Dalam Buku Materi
Understanding Resilience in Children and Adults: Konferensi Nasional Pengurangan Risiko
Implications for Prevention and Bencana Berbasis Komunitas VII
Interventions. www.melissainstitute.org. di Yogyakarta.
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 24
Tahun 2007 Tentang Penanggulangan
Bencana. (2007). Jakarta: Masyarakat
Penanggulangan Bencana Indonesia
(MPBI).

34
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012

ANALISIS POTENSI BENCANA ABRASI DAN TSUNAMI


DI PESISIR CILACAP

Oleh: Endang Hilmi1 , Eko Hendarto2 , Riyanti3 dan Asrul Sahri4

Endang Hilmi, et al., (2012), Analisis Potensi Bencana Abrasi dan Tsunami di Pesisir
Cilacap, Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012, hal 34-
42, 6 tabel 3 gambar.

Abstract
Disaster as an event that can threaten and disrupt people’s lives can occur
also in coastal areas, including Cilacap coastal. Cilacap Regency as the coastal
Regency were affected by any stretch of the North Serayu and South Serayu. Both
are separated by a stretch of Serayu Depression. The stretch is also traversed by
Eurasian plate that collided with the Indo Australian plate. Cilacap Regency are an
Estuary from several large rivers. This condition causes the Cilacap Regency at risk
of various kinds of disasters.
This scientific paper aims to build disaster vulnerability maps that could
potentially occur in Cilacap. The research was built using the method of mapping the
vulnerability of coastal erosion, tsunami and mapping the vulnerability of disaster risk
reduction methods.
Potential abrasion occurred in the District of South Cilacap, North Cilacap,
Adipala, Binangun and Nusawungu, while the potential tsunami occurred in the
District of Kesugihan, Adipala, Maos, Kroya, Binangun, Nusawungu, South Cilacap,
Cilacap Cilacap North and Central. To reduce the risk of disaster, the Government
make the evacuation routes, build a 66-396 meter wide greenbelt and build a seawall
and revertment waterbreak.

Keywords: Disaster, Abrasion, Tsunami, Cilacap

1. PENDAHULUAN dan/atau faktor non alam maupun faktor


manusia sehingga mengakibatkan timbulnya
1.1 Latar Belakang korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Menurut UU Nomor 24 Tahun 2007, Bencana terjadi karena adanya ancaman,
bencana adalah peristiwa atau rangkaian dampak dan kerentanan. Bencana dapat
peristiwa yang mengancam dan mengganggu mengancam semua wilayah di Indonesia baik
kehidupan dan penghidupan masyarakat di wilayah daratan, pegunungan maupun di
yang disebabkan, baik oleh faktor alam wilayah pesisir termasuk kabupaten pesisir
Cilacap.
1
Dosen Jurusan Perikanan dan Kelautan Universitas Kabupaten Cilacap dipengaruhi
Jenderal Soedirman
2
Dosen Fakultas Peternakan Universitas Jenderal
bentangan Serayu Utara dan Serayu Selatan
Soedirman yang dipisahkan oleh Depresi Serayu yang
3
Dosen Jurusan Perikanan dan Kelautan Universitas membentang dari Majenang (Kabupaten
Jenderal Soedirman Cilacap), Purwokerto, hingga Wonosobo.
4
Dosen Jurusan Perikanan dan Kelautan Universitas
Jenderal Soedirman
Kabupaten Cilacap juga dilalui oleh lempeng

35
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012

Eurasia yang bertumbukan dengan lempeng kerusakan ekosistem mangrove, (3) penentuan
Indo-Australia. Akibat tumbukan tersebut, abrasi pantai, (4) penentuan kerawanan
lempeng Indo-Australia menunjam di bawah tsunami.
lempeng Eurasia dan terjadi akumulasi energi Setelah diukur potensi kerawanan
yang pada titik jenuhnya akan menyebabkan bencana, kemudian dilakukan analisis data
gempa. Kendati begitu, justru bencana tsunami yang berupa : (1) analisis pemetaan abrasi
dan abrasi yang sangat mengancam kehidupan yang dilakukan melalui tahapan penyusunan
masyarakat di Cilacap. peta perubahan garis pantai, penyusunan
Abrasi atau biasa disebut juga dengan peta garis pantai dan field check, (2) analisis
erosi pantai adalah proses pengikisan pantai pemetaan tsunami yang disusun melalui
oleh tenaga gelombang laut dan arus laut analisis faktor penutupan lahan, faktor kelas
yang sifatnya merusak. Sedangkan tsunami lereng, faktor ketinggian tempat, faktor indeks
adalah gelombang laut besar yang diawali oleh rasio antara kelas lereng dengan ketinggian
gempa yang terjadi di dasar laut, kedalaman tempat, faktor bentuk lahan, dan faktor indeks
pusat gempa kurang dari 60 km, magnitudo jarak wilayah atau objek terhadap tubuh
lebih besar dari 7,0 skala Richter, serta jenis air sebagai media penghantar gelombang
penyesaran gempa tergolong sesar naik atau tsunami., (3) membangun peta jalur evakuasi,
sesar turun yang memberikan dampak yang (4) membangun rencana rehabilitasi dan
sangat hebat bagi kehidupan manusia di rekontruksi dengan membangun jalur hijau
wilayah pesisir. dan pembuatan tanggul-tanggul penahan
Tulisan ini dimaksudkan untuk gempuran ombak (break water).
memberikan gambaran tentang tingkat
kerawanan bencana tsunami dan abrasi di 2. HASIL DAN PEMBAHASAN
wilayah pesisir Cilacap agar ada kesiapsiagaan
untuk mengurangi resiko bencana. 2.1. Kondisi Sosial Masyarakat
Pengurangan resiko bencana dapat dilakukan
melalui membangun jalur evakuasi, greenbelt Kepadatan penduduk di Kabupaten Cilacap
dan waterbreak. berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010 secara
umum adalah 767 jiwa/km2. Apabila diamati
1.2. Tujuan secara seksama terlihat bahwa daerah-daerah
yang memiliki kepadatan penduduk sangat tinggi
Tulisan ini bertujuan untuk (1) berada di wilayah Kota Cilacap yang meliputi 3
membangun peta wilayah rawan bencana kecamatan yaitu Cilacap Selatan, Cilacap Tengah
tsunami dan abrasi, dan (2) membangun model dan Cilacap Utara. Khusus untuk Kecamatan
pengurangan resiko bencana. Cilacap Selatan agar bisa dibandingkan
dengan kecamatan lain, perhitungan kepadatan
1.3. Metode penduduknya tidak memasukkan Luas Pulau
Nusakambangan. Secara umum terlihat bahwa
Tulisan ini dibangun berdasarkan hasil daerah Cilacap bagian timur terlihat memiliki
penelitian di Wilayah Pesisir Cilacap yang kepadatan penduduk yang lebih tinggi dibanding
mengukur variabel : (1) variabel bencana, terdiri daerah Cilacap bagian barat. Daerah-daerah
dari lebar abrasi pantai dan gejala tsunami, di Cilacap bagian barat yang tingkat kepadatan
(2) variabel fisik dan biologi, yaitu jenis tanah, penduduknya cukup tinggi umumnya adalah
tingkat kelerengan, tingkat kerusakan vegetasi, daerah-daerah yang berada di sekitar Kota
tingkat penutupan wilayah, penggunaan wilayah Majenang dan Kota Sidareja.
dan (3) analisis sosial ekonomi masyarakat. Potensi penduduk berdasarkan tingkat
Metode yang digunakan adalah (1) angkatan kerja di Kabupaten Cilacap dapat
analisis pemetaan, (2) analisis penentuan dilihat pada Tabel 1. Dari Tabel 1 dapat

36
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012

disimpulkan, bahwa angka beban 0-10 ppt, zona ini terdapat pada stasiun V.
tanggungan usia produktif adalah sekitar Zona ini didominasi oleh jenis N. fruticans
0.62. Hal ini berarti setiap tenaga kerja (INP= 57,78). Jenis lain yang diketemukan
produktif menanggung < 1 orang. Kondisi di zona ini antara lain S. Alba (INP= 40),
ini disebabkan karena jumlah tenaga kerja A. marina (INP= 35,56) dan R. apiculata
produktif masih lebih tinggi dibandingkan (INP= 31,11). (2) zona II dengan kelas
dengan tenaga kerja non produktif. salinitas 11-20 ppt, zona ini terdapat pada
stasiun I sampai IV. Zona ini didominasi
Tabel 1. Jumlah Penduduk berdasarkan Usia oleh B. gymnorrhiza (INP= 51,85), S. Alba
Kerja (INP= 59,46), R. mucronata (INP= 40) dan
A. marina (INP= 73,33). Jenis lain yang
Potensi penduduk
Kelas usia diketemukan di zona ini antara lain S. Alba,
laki-laki perempuan total R. apiculata, R. mucronata, A. alba dan B.
< 16 tahun 204.029 200.080 404.109 gymnorrhiza.
16 - 55 tahun 538.115 535.141 1.073.256
>55 tahun 128.151 133.087 261.238 2.3. Potensi Tsunami
Total 870.295 868.308 1.738.603
Ancaman tsunami di Kabupaten
Sumber: Sensus Penduduk BPS Tahun 2010 Cilacap jika terjadi gempa bumi 7 – 8 SR
akan tinggi pada kecamatan-kecamatan
2.2. Potensi Fisik dan Vegetasi Pesisir pesisir yang ada di sekitar pusat gempa.
Cilacap Kecamatan yang akan mengalami dampak
yang cukup besar jika terjadi tsunami adalah
Potensi penutupan lahan dan di kecamatan Kesugihan, Adipala, Maos,
penggunaan lahan di Kabupaten Cilacap Kroya, Binangun, Nusawungu, Cilacap
adalah belukar/semak, gedung, tambak, Selatan, Cilacap Utara dan Cilacap Tengah.
hutan, hutan rawa, kebun, permukiman, Sedangkan wilayah yang lain termasuk
tanah kosong, sawah irigasi, sawah tadah memiliki ancaman sedang jika tsunami
hujan, tanah berbatu dan tegalan/ladang. terjadi di Kabupaten Cilacap. Potensi
Potensi vegetasi, kerapatan mangrove Tsunami di Kabupaten Cilacap dapat dilihat
di Plawangan Barat, Segara Anakan Cilacap pada Tabel 2 dan Gambar 1 dan Gambar 2.
rata-rata untuk pohon 6.290±2.175,55
ind/ha. Kerapatan pancang rata-rata 2.4. Potensi Abrasi
77.920±33.721,68 ind/ha dan kerapatan
semai 455.000±174.902 ind/ha (Tabel Ancaman abrasi dan akresi di
15). Sedangkan indek keragaman (H’) Kabupaten Cilacap dapat dilihat pada
yang diperoleh di Plawangan Barat Segara Gambar 3 Ancaman arasi dan akresi
Anakan pada stasiun I sampai V berkisar di Kabupaten Cilacap terjadi di wilayah
1,50-2,07 dengan rataan 1,77±0,22. Nilai Kecamatan Cilacap Selatan, Cilacap
indek keragaman masing-masing stasiun Utara, Adipala, Binangun dan Nusawungu.
sebagai berikut: stasiun I, II, III, IV dan V Terjadinya abrasi di Kabupaten Cilacap
mempunyai nilai sebesar 1,91; 1,69; 2,07; disebabkan karena hilang dan rusaknya
1,50; dan 1,68. ekosistem hutan mangrove. Hal ini dapat
Potensi vegetasi di wilayah tersebut dilihat pada pantai di sekitar kecamatan
berdasarkan kelas salinitas masing-masing pesisir. Ekosistem mangrove yang rusak
stasiun di Plawangan Barat, Segara Anakan menyebakan tidak adanya bufferzone
Cilacap dapat digolongkan menjadi dua yang menahan deburan ombak yang dapat
zona yaitu, (1) zona I dengan kelas salinitas menyebabkan abrasi pantai.

37
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012

108°42'24" 108°53'00" 109°3'36" 109°14'12" PETA DAERAH POTENSI


TSUNAMI
KABUPATEN CILACAP
1:450.000
Dayeuh Luhur N
%
W E
Majenang
S
%
4 0 4 km
7°17'36"

7°17'36"
%
Wanareja
Diagram Lokasi
%
% Cimanggu 105°1' 107°3' 109°5' 111°7' 113°9'

%
Karang Pucung

6°57'

6°57'
Cipari %

8°59'

8°59'
106°2' 108°4' 110°6' 112°8' 114°10'
KABUPATEN BANYUMAS
7°28'12"

7°28'12"
Sidareja Keterangan :
% Badan Air
Gandrung Mangu % Ibu Kota Kecamatan
% Aliran Sungai
Kedungreja
% Bantarsari Level Potensi Dampak Tsunami
Sedang
PROP. JAWA BARAT Tinggi
% Jeruklegi Sampang
Kawunganten % Maos
% %
Patimuan Kesugihan Kroya%
7°38'48"

7°38'48"
% %
Kampung Laut Cilacap Utara %
Adipala Binangun
Cilacap Tengah % Nusawungu
u
% ny
Pe
Cilacap Selatan luk
Te Sumber Data :
Peta Rupa Bumi Bakosurtanal skala 1:250.000
SAMUDERA HINDIA Citra Landsat TM th. 2007

Center for Disaster Management


LPPM UNSOED
108°42'24" 108°53'00" 109°3'36" 109°14'12" 2010

Gambar 1. Peta Ancaman Tsunami di Pesisir Cilacap

108°42'24" 108°53'00" 109°3'36" 109°14'12"


PETA RESIKO TSUNAMI
KABUPATEN CILACAP
1:450.000
Dayeuh Luhur N
%
W E
Majenang S
%
4 0 4 km
7°17'36"

7°17'36"

%
Wanareja Diagram Lokasi
%
% Cimanggu
105°1' 107°3' 109°5' 111°7' 113°9'

%
6°57'

6°57'

Karang Pucung
Cipari %
8°59'

8°59'

106°2' 108°4' 110°6' 112°8' 114°10'

KABUPATEN BANYUMAS
7°28'12"

7°28'12"

Sidareja Keterangan :
% Badan Air
Gandrung Mangu % Ibu Kota Kecamatan
Aliran Sungai
%
Kedungreja
% Bantarsari Level Resiko :
Very High
PROP. JAWA BARAT High
% Jeruklegi Sampang Medium High
Medium
Kawunganten % Maos Low
% %
Patimuan Kesugihan Kroya%
7°38'48"

7°38'48"

% %
Kampung Laut Cilacap Utara %
Adipala Binangun
Cilacap Tengah % Nusawungu
% yu
en
Cilacap Selatan lukP
Te Sumber Data :
Peta Rupa Bumi Bakosurtanal skala 1:250.000
SAMUDERA HINDIA Citra Landsat TM th. 2007

Center for Disaster Management


LPPM UNSOED
108°42'24" 108°53'00" 109°3'36" 109°14'12" 2010

Gambar 2. Peta Risiko Tsunami di Pesisir Cilacap

38
Tabel 2. Potensi Terjadinya Tsunami Di Cilacap Jika Terjadi Gempa Bumi 7 – 8 SR.

rasio kelerangan dan kerawanan


penutupan lahan ketinggian tempat Kelerengan landsystem/bentuk lahan jarak tubuh air gempa bumi
ketinggian tsunami
Kecamatan
skala
land system dampak skor m dpl dampak skor dampak skor rasio dampak skor bentuk dampak skor km Dampak skor richter dampak skor skor Kelas
punggung
Dayeuhluhur kebun-sawah rendah 40 198 Rendah 25 tinggi 30 1,2 Rendah 40 gunung rendah 40 >15 Rendah 5000 7- 8 tinggi 80 1,9 sedang

Wanareja kebun-hutan rendah 40 180 Rendah 25 tinggi 30 1,2 Rendah 40 bukit curam rendah 40 >15 Rendah 5000 7- 8 tinggi 80 1,9 sedang
aliran lava
Majenang kebun-hutan rendah 40 23 Sedang 10 tinggi 30 3 Rendah 40 bukit dan rendah 40 >15 Rendah 5000 7- 8 tinggi 80 1,9 sedang
bukit kecil
dataran
Cimanggu sawah-irigasi tinggi 80 40 Sedang 10 sedang 5 0,5 Rendah 40 sedang 60 >15 Rendah 5000 7- 8 tinggi 80 2,9 sedang
aluvial
belukar- sedang- punggung
Karangpucung 60 50 Sedang 10 tinggi 30 3 Rendah 40 rendah 40 >15 Rendah 5000 7- 8 tinggi 80 2,2 sedang
pemukiman tinggi bukit
dataran
Cipari kebun sedang 60 50 Sedang 10 sedang 5 0,5 Rendah 40 sedang 60 >15 Rendah 5000 7- 8 tinggi 80 2,6 sedang
aluvial
kebun- sedang- punggung
Sidareja 60 26 Sedang 10 tinggi 30 3 Rendah 40 rendah 40 >15 Rendah 5000 7- 8 tinggi 80 2,2 sedang
pemukiman tinggi bukit
dataran
Kedungreja sawah tinggi 80 45 Sedang 10 sedang 5 0,5 Rendah 40 sedang 60 >15 Rendah 5000 7- 8 tinggi 80 2,9 sedang
gabungan

Patimuan sawah tinggi 80 5 tinggi 1 sedang 5 5 Sedang 60 dataran sedang 60 5,2 Sedang 5000 7- 8 tinggi 80 3,2 sedang
gabungan
sawah- dataran
Gandrungmangu tinggi 80 15 Sedang 10 sedang 5 0,5 Rendah 40 sedang 60 >15 Rendah 5000 7- 8 tinggi 80 2,9 sedang
pemukiman gabungan
dataran
Bantarsari rawa sedang 40 8 tinggi 1 sedang 5 5 Sedang 60 sedang 60 >15 rendah 5000 7- 8 tinggi 80 2,6 sedang
gabungan
dataran
Kawunganten rawa sedang 60 56 Rendah 25 sedang 5 0,2 Rendah 40 sedang 60 14,7 rendah 5000 7- 8 tinggi 80 2,6 sedang
gabungan

Kampunglaut rawa sedang 60 1 tinggi 1 rendah 1 1 Rendah 40 rawa tinggi 80 4,2 sedang 3000 7- 8 tinggi 80 4,8 sedang

Jeruklegi kebun sedang 60 9 tinggi 1 sedang 5 5 Sedang 40 dataran sedang 60 10 rendah 4000 7- 8 tinggi 80 3,2 sedang

Kesugihan pemukiman tinggi 80 8 tinggi 1 rendah 1 1 Rendah 40 beting pantai sedang 60 4,7 sedang 2500 7- 8 tinggi 80 5,8 Tinggi

Adipala pemukiman tinggi 80 8 tinggi 1 rendah 1 1 Rendah 40 beting pantai sedang 60 3,8 tinggi 1000 7- 8 tinggi 80 14,4 Tinggi
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012

sawah-
Maos tinggi 80 8 tinggi 1 sedang 5 5 Sedang 60 dataran sedang 60 8,6 sedang 3000 7- 8 tinggi 80 5,3 Tinggi
pemukiman

Sampang pemukiman tinggi 80 8 tinggi 1 sedang 5 5 Sedang 60 dataran sedang 60 >15 rendah 5000 7- 8 tinggi 80 3,2 sedang

Kroya pemukiman tinggi 80 10 tinggi 1 sedang 5 5 Sedang 60 dataran sedang 60 7,5 sedang 3000 7- 8 tinggi 80 5,3 Tinggi

Binangun pemukiman tinggi 80 8 tinggi 1 rendah 1 1 Rendah 40 beting pantai sedang 60 3,5 tinggi 1500 7- 8 tinggi 80 9,6 Tinggi

Nusawungu pemukiman tinggi 80 10 tinggi 1 rendah 1 1 Rendah 40 beting pantai sedang 60 4,1 tinggi 1500 7- 8 tinggi 80 9,6 Tinggi

rawa-
Cilacap Selatan pemukiman tinggi 80 6 tinggi 1 rendah 1 1 Rendah 40 rawa tinggi 80 1,4 tinggi 1500 7- 8 tinggi 80 10,72 Tinggi

rawa-
Cilacap tengah pemukiman tinggi 80 5 tinggi 1 rendah 1 1 Rendah 40 rawa tinggi 80 5 tinggi 1500 7- 8 tinggi 80 10,7 tinggi

Cilacap utara pemukiman tinggi 80 6 tinggi 1 rendah 1 1 Rendah 40 rawa tinggi 80 3,7 tinggi 1000 7- 8 tinggi 80 16,0 tinggi

39
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012

108°42'24" 108°53'00" 109°3'36" 109°14'12" PETA LOKASI


ABRASI DAN AKRESI
KABUPATEN CILACAP
1:450.000
Dayeuh Luhur N
%
W E
Majenang S
%
4 0 4 km
7°17'36"

7°17'36"
%
Wanareja Diagram Lokasi
%
% Cimanggu
105°1' 107°3' 109°5' 111°7' 113°9'

6°57'

6°57'
Karang Pucung
Cipari %

8°59'

8°59'
106°2' 108°4' 110°6' 112°8' 114°10'

KABUPATEN BANYUMAS
7°28'12"

7°28'12"
Sidareja Keterangan :
% Badan Air
Gandrung Mangu % Ibu Kota Kecamatan
% Aliran Sungai
Kedungreja Administrasi
% Bantarsari
Pantai Awal (th. 1999)
PROP. JAWA BARAT Pantai Baru (th. 2007)
% Jeruklegi Sampang
Kawunganten % Maos
% %
Patimuan Kesugihan
Kroya%
7°38'48"

7°38'48"
% %
Kampung Laut Cilacap Utara %
Adipala Binangun
Cilacap Tengah % Nusawungu
% nyu
Pe Sumber Data :
Cilacap Selatan luk Peta Rupa Bumi Bakosurtanal skala 1:250.000
Te Peta RBI Bakosurtanal th. 1999
Citra Landsat TM th. 1999
SAMUDERA HINDIA Citra Landsat TM th. 2007

Center for Disaster Management


LPPM UNSOED
108°42'24" 108°53'00" 109°3'36" 109°14'12" 2010

Gambar 3. Peta Ancaman Abrasi di Pesisir Cilacap

2.5. Penilaian Risiko Bencana Cilacap dapat dilihat pada Tabel. Jika ancaman
Tsunami terjadi, maka wilayah yang perlu
Penilaian risiko bencana yang terjadi di diperhatikan adalah daerah Cilacap Utara dan
wilayah kabupaten Cilacap dapat dilihat pada Adipala. Sedangkan ancaman abrasi terjadi di
Tabel 3. Potensi hazard dan vulnerability serta wilayah Adipala, Nusawungu, Binangun dan
nilai risiko bencana di seluruh Kecamatan di Cilacap Utara.

Tabel. 3 Tingkat Resiko Bencana di Kabupaten Cilacap


Tsunami Aberasi
Kecamatan Vulne- Vulne-
hazard rability resiko level hazard rability resiko Level
Dayeuhluhur 2 2 4 L 1 1 1 VL
Wanareja 2 2 4 L 1 1 1 VL
Majenang 2 2 4 L 1 1 1 VL
Cimanggu 2 2 4 L 1 1 1 VL
Karangpucung 2 2 4 L 1 1 1 VL
Cipari 2 2 4 L 1 1 1 VL
Sidareja 2 2 4 L 1 2 2 VL
Kedungreja 2 2 4 L 1 1 1 VL
Patimuan 4 4 16 H 1 2 2 VL
Gandrungmangu 2 2 4 L 1 1 1 VL
Bantarsari 2 2 4 L 1 1 1 VL
Kawunganten 4 3 12 M-H 2 3 6 L
Kampunglaut 4 4 16 H 2 3 6 L
Jeruklegi 2 2 4 L 1 1 1 VL
Kesugihan 5 5 25 VH 1 1 1 VL
Adipala 5 5 25 VH 5 4 20 H
Maos 2 2 4 L 1 2 2 VL
Sampang 2 2 4 L 1 2 2 VL
Kroya 3 3 9 M 1 2 2 VL
Binangun 5 5 25 VH 5 4 20 H
Nusawungu 5 5 25 VH 5 4 20 H
Cilacap Selatan 5 5 25 VH 3 3 9 M
Cilacap tengah 4 4 16 H 3 3 9 M
Cilacap utara 5 5 25 VH 5 3 15 H

Keterangan : VL (very Low), L (low), M (medium), H (high), VH


(very high)

40
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012

3. Rehabilitasi dan Rekontruksi Tabel 5. Sistem Waterbreak di Kabupaten


Cilacap
3.1. Membangun Greenbelt Kecamatan Pesisir Early Warning System Waterbreak
Kesugihan dibutuhkan untuk tsunami Revetment
Patimuan dibutuhkan untuk tsunami revetment
Jalur hijau pesisir, adalah bagian hutan Kawunganten dibutuhkan untuk tsunami revetment
mangrove yang dipertahankan dan berbatasan Kampunglaut dibutuhkan untuk tsunami revetment

dengan pantai atau tepi sungai yang sifat Adipala


Binangun
sangat dibutuhkan untuk tsunami revetment dan seawall
sangat dibutuhkan untuk tsunami revetment dan seawall
alaminya khas dan mempunyai fungsi hayati, Nus awungu sangat dibutuhkan untuk tsunami revetment dan seawall

fisik dan kimia perairan. Fungsi jalur hijau Cilacap Selatan sangat dibutuhkan untuk tsunami revetment dan seawall
Cilacap tengah
tersebut adalah : (1) sumber produktivitas Cilacap utara
sangat dibutuhkan untuk tsunami
sangat dibutuhkan untuk tsunami
revetment
revetment dan seawall
primer perairan, (2) tempat berlindungnya
organisme, (3) stabilisator proses pengendapan untuk pelaksanaan pekerjaan. Batu adalah
lumpur, (4) penyangga atau buffer terhadap salah satu bahan utama yang digunakan untuk
angin, gelombang, arus serta polutan yang membuat bangunan. Mengingat jumlah yang
berasal dari daratan dan laut. Jalur Hijau di diperlukan sangat besar, maka ketersediaan
pesisir Kabupaten Bengkalis dikembangkan batu di sekitar lokasi pekerjaan harus
melalui rumus penetapan jalur hijau yaitu 132 diperhatikan. Faktor penting lainnya adalah
x rata-rata pasang surut air laut. Di Kabupaten karakteristik dasar laut yang mendukung
Cilacap pasang surut air laut berkisar antara bangunan tersebut. Sistem waterbreak untuk
1.5-3 meter, maka potensi greenbelt adalah wilayah pesisir di Kabupaten Cilacap dan early
antara 66-396 meter. Lebar greenbelt dapat warning system dapat dilihat pada Tabel 5.
dilihat pada Tabel 4.
Tabel 6. Jalur Evakuasi Korban di Kabupaten
Tabel 4. Lebar Greenbelt Wilayah Pesisir Cilacap
Kabupaten Cilacap
Kecamatan Tingkat Tsunami Jalur evakuasi
Kecamatan Pesisir Gelombang (m) Lebar Greenbelt (m)
Kesugihan 1,5 198 Dayeuhluhur sedang jalur evakuasi
Patimuan 1,5 198 Wanareja sedang jalur evakuasi
Kawunganten 0,5 66
Kampunglaut Majenang sedang jalur evakuasi
1,5 198
Adipala 3 396 Cimanggu sedang jalur evakuasi
Binangun 3 396 Karangpucung sedang jalur evakuasi
Nusawungu 3 396
Cilacap Selatan 1,5 198 Cipari sedang jalur evakuasi
Cilacap tengah 1,5 198 Sidareja sedang jalur evakuasi
Cilacap utara 3 396
Kedungreja sedang jalur evakuasi

3.2. Membangun Waterbreak Patimuan sedang jalur evakuasi


Gandrungmangu sedang jalur evakuasi
Bantarsari sedang jalur evakuasi
Usaha penanggulangan bencana yang
Kawunganten sedang jalur evakuasi
lain adalah dengan pemasangan tanggul-
Kampunglaut sedang jalur evakuasi
tanggul pemecah ombak dan ditambah
Jeruklegi sedang jalur evakuasi
dengan penanaman kembali pohon bakau Kesugihan tinggi jalur tsunami
atau sejenisnya. Laju pengendapan yang tinggi Adipala tinggi jalur tsunami
dari sungai menyebabkan pendangkalan yang Maos tinggi jalur tsunami
hebat dan cepat, sehingga perlu dilindungi Sampang sedang jalur evakuasi
oleh tanggul untuk mencegah luapan air pada Kroya tinggi jalur tsunami
musim hujan. Binangun tinggi jalur tsunami
Tipe bangunan pantai yang digunakan Nusawungu tinggi jalur tsunami
biasanya ditentukan oleh ketersediaan material Cilacap Selatan tinggi jalur tsunami
di atau di dekat lokasi pekerjaan, kondisi dasar Cilacap tengah tinggi jalur tsunami
laut, kedalaman air, dan ketersediaan peralatan Cilacap Utara tinggi jalur tsunami

41
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012

3.3. Membangun Jalur Evakuasi CEEDEDS/The Center for Earthquake


Engineering, Dynamic Effect, and
Jalur evakuasi dibangun dengan Disaster Studies (2004). The Manual
memperhatikan kecamatan-kecamatan of Earthquake Resistant Building;
yang dianggap aman jika terjadi tsunami. Project Report Between CEEDEDS
Kecamatan-kecamatan pesisir merupakan and Japan Government, Yogyakarta.
kecamatan yang memiliki ancaman terjadinya CERC, 1984. Shore Protection Manual, US Army
tsunami. Oleh karena itu, jalur evakuasi Coastal Engineering Research Center,
dilakukan pada kecamatan-kecamatan di luar Washington (SPM, 1984). Pp 143.
kecamatan pesisir. Jalur evakuasi dapat dilihat ISDR/International Strategy for Disaster
pada Tabel 6. Reduction (2003). Rationale Paper on
the Framework for Guidance and
Monitoring of Disaster Risk Reduction,
4. KESIMPULAN Inter-Agency Task Force Meeting,
Eighth Meeting, Geneva (available online
Potensi bencana yang terjadi di at www.unisdr.org, accessed on
Kabupaten Cilacap adalah (1) potensi tsunami 12/12/2004).
yang dapat berdampak besar pada Kecamatan IUDMP/Indonesian Urban Disaster Mitigation
Kesugihan, Adipala, Maos, Kroya, Binangun, Project (2000). Report of Visit to Bengkulu
Nusawungu, Cilacap Selatan, Cilacap Utara Earthquake Stricken Area 10 - 13
dan Cilacap Tengah, (2) potensi abrasi June 2000, Institut Teknologi Bandung
berpotensi terjadi di Cilacap Selatan, Cilacap and Asian Disaster Preparedness Center.
Utara, Adipala, Binangun dan Nusawungu IUDMP/Indonesian Urban Disaster Mitigation
Untuk mengurangi risiko bencana Project (2001). Increasing the Safety of
dilakukan dengan cara (1) membangun Indonesian Cities from Earthquake
greenbelt. Di Kabupaten Cilacap pasang surut Disaster Threat, Asian Disaster
air laut berkisar dapat mencapai 1.5-3 meter, Preparedness Center.
maka potensi greenbelt adalah antara 66-396 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 Tentang
meter. (2) membangun waterbreak dengan Penanggulangan bencana
cara membangun seawall dan revertment. Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 Tentang
(3) membangun peta untuk jalur evakuasi jika Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
terjadi tsunami. Pulau Kecil
UNDP/United Nations Development
DAFTAR PUSTAKA Programme (2004). Reducing Disaster
Risk, a Challenge for Development, Bureau
ADPC/Asian Disaster Preparedness Center for Crisis Prevention and Recovery,
(2000). Kathmandu Valley Earthquake New York.
Risk Management Project, ADPC Yuwono, Nur. 1982. Teknik Pantai Perencanaan
Publication, Bangkok Bangunan Pantai. Biro Penerbit Keluarga
Asian Disaster Reduction Center, Mahasiswa Teknik Sipil. Yogyakarta.
Total Disaster Risk Management, Good 150 hlm.
Practises, ADRC, Tokyo, 2004

42
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012

APLIKASI “SSOP BANTAL” BERBASIS DAS


UNTUK PENANGGULANGAN BANJIR DAN TANAH LONGSOR

Oleh: Harry Santoso

Harry Santoso, (2012), Aplikasi “SSOP BANTAL” Berbasis DAS untuk


Penanggulangan Banjir dan Tanah Longsor, Jurnal Penanggulangan Bencana
Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012, hal 43-54, 4 tabel 23 gambar.

Abstract
Flood and landslide are disasters that happen frequently across Indonesia.
Quick and accurate information to a local government to locate prone areas and
direct a function of safe areas that is close to affected neighbourhood areas will mini-
mize the impact of any casualties or material losses.
Good management of drainage basin (DAS) is one of steps to prevent flood
and landslide. In order to overcome the disasters, Ditjen BPDASPS develops an ap-
plication of “SSOP Bantal” (System of Flood and Landslide Standard Operating Pro-
cedure) that is based on analysis unit of drainage basin. Besides for locating prone
areas of flood and landslide, the application also provides guidance on a function
for other areas around the prone areas, so that it will assist the local government for
preparedness to anticipate flood and landslide.

Keywords: disaster, flood, landslide, drainage basin (DAS)

1. PENDAHULUAN kabupaten/kota di Indonesia rawan terhadap


bencana banjir dan sebanyak 154 kabupaten/
1.1. Latar Belakang kota rawan terhadap bencana tanah longsor.
Menurut BNPB, kejadian letusan gunung
Indonesia merupakan negara dengan berapi adalah kejadian bencana yang paling
jumlah dan variasi bencana terbanyak di dunia. banyak menimbulkan korban dan kerugian
Dari mulai gempa bumi, tsunami, gunung berapi, material, tetapi bencana banjir dan tanah
puting beliung, banjir, tanah longsor dan banjir longsor juga menyebabkan kerugian baik jiwa
bandang. Badan Nasional Penanggulangan maupun harta benda yang tidak sedikit. Hal ini,
Bencana (BNPB) dalam laporannya salah satunya disebabkan karena ketidaksiapan
menyebutkan bahwa 644 bencana alam terjadi pemerintah daerah dalam mengantisipasi
di negeri ini pada tahun 2010, dan 81,5 persen kejadian bencana banjir dan tanah longsor.
di antaranya adalah bencana hidrometeorologi Ketidaksiapan tersebut terjadi karena kurang
seperti banjir, tanah longsor dan banjir bandang. atau tidak adanya informasi mengenai lokasi
BNPB juga memprediksi, bahwa sebanyak 176 yang rawan dan waktu perkiraan terjadinya
bencana banjir dan tanah longsor tersebut.
Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan
Penulis adalah Direktur Jenderal Bina Pengelolaan DAS Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial
dan Perhutanan Sosial Kementerian Kehutanan. (Ditjen BPDASPS) Kementerian Kehutanan

43
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012

merupakan salah satu instansi pemerintah yang konservasi yang dilaksanakan di daerah hulu
memiliki kewajiban untuk memberikan informasi dapat memberikan dampak di daerah hilir
mengenai lokasi yang rawan terhadap bencana dalam bentuk perubahan fluktuasi debit air
banjir dan tanah longsor kepada pemerintah dan transport sedimen serta material terlarut
daerah setempat. Hal ini terjadi karena Ditjen lainnya. Adanya bentuk keterkaitan daerah
BPDASPS memiliki Unit Pelaksana Teknis hulu–hilir seperti tersebut di atas, maka kondisi
(UPT) Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai suatu DAS dapat digunakan sebagai satuan
(BPDAS) di seluruh provinsi di Indonesia yang unit perencanaan sumberdaya alam termasuk
memiliki kemampuan untuk menganalisis dan pembangunan yang berkelanjutan.
memprediksi lokasi rawan bencana banjir dan Pentingnya posisi DAS sebagai
tanah longsor. unit perencanaan yang utuh merupakan
Untuk mempercepat kemampuan konsekuensi logis untuk menjaga
BPDAS menganalisa lokasi rawan bencana kesinambungan pemanfaatan sumberdaya
banjir dan tanah longsor, maka Ditjen BPDASPS hutan, tanah dan air. Kurang tepatnya
mengembangkan suatu aplikasi yang disebut perencanaan dapat menimbulkan adanya
Sistem Standar Operasi Prosedur Banjir degradasi DAS yang mengakibatkan bencana
dan Tanah Longsor (SSOP Bantal). Dalam banjir dan tanah longsor seperti yang
prosesnya, aplikasi tersebut melakukan analisa dikemukakan diatas. Dalam upaya menciptakan
dengan satuan unit DAS atau Sub DAS. Hal ini pendekatan pengelolaan DAS secara terpadu,
dilakukan, karena selain dapat menganalisis diperlukan perencanaan secara terpadu,
lokasi rawan bencana banjir dan tanah longsor, menyeluruh, berkelanjutan dan berwawasan
aplikasi ini dilengkapi dengan kemampuan lingkungan dengan mempertimbangkan DAS
untuk memberikan arahan fungsi terhadap DAS sebagai suatu unit pengelolaan. Dengan
atau Sub DAS yang sesuai dengan kondisi fisik demikian, bila ada bencana banjir dan tanah
wilayah dan hidrometeorologinya. Harapannya longsor, penanggulangannya dapat dilakukan
ke depan, pengelolaan DAS yang baik akan secara menyeluruh yang meliputi DAS mulai
terwujud dan meminimalisasi kejadian bencana dari daerah hulu sampai hilir.
banjir dan tanah longsor.
Berdasarkan Undang - Undang 1.2. Maksud dan Tujuan
Sumberdaya Air, Nomor 7 Tahun 2004, maka
yang dimaksud Daerah Aliran Sungai (DAS) Maksud dari penulisan ini adalah untuk
adalah suatu wilayah daratan yang merupakan menginformasikan aplikasi “SSOP Bantal” yang
satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sudah dikembangkan oleh Direktorat Jenderal
sungainya, yang berfungsi menampung, BPDASPS guna penentuan secara cepat dan
menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal tepat lokasi wilayah rawan bencana banjir dan
dari curah hujan ke danau atau ke laut secara tanah longsor.
alami, yang batas di darat merupakan pemisah Tujuannya adalah agar hasil dari
topografi dan batas di laut sampai dengan aplikasi ini dapat menjadi salah satu acuan
daerah perairan yang masih terpengaruh bagi pemerintah daerah setempat dalam
aktifitas daratan. mendapatkan informasi detil mengenai lokasi
DAS merupakan ekosistem, di mana wilayah rawan bencana banjir dan tanah
unsur organisme dan lingkungan biofisik serta longsor, serta penanganannya berdasarkan
unsur kimia berinteraksi secara dinamis dan di arahan fungsi, sehingga penanggulangan
dalamnya terdapat keseimbangan inflow dan kejadian bencana banjir dan tanah longsor
outflow dari material dan energi. Bagian hulu akan semakin baik. Akhirnya, diharapkan
dan hilir DAS mempunyai keterkaitan biofisik akan semakin meminimalkan dampak korban
melalui daur hidrologi. Aktivitas perubahan jiwa dan kerugian material yang diderita oleh
tataguna lahan dan atau pembuatan bangunan masyarakat di sekitar wilayah bencana.

44
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012

2. APLIKASI “SSOP BANTAL” dibagi menjadi tiga bagian, yaitu (1) sebelum
terjadi bencana, (2) pada saat terjadi
2.1. Gambaran Umum Aplikasi bencana, dan (3) pasca terjadi bencana.
Pengembangan aplikasi SSOP Bantal di Balai
Aplikasi ”SSOP Bantal” dikembangkan Pengelolaan DAS ini lebih diutamakan pada
oleh Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan kejadian sebelum terjadi bencana. Dalam
DAS dan Perhutanan Sosial bekerjasama perjalanannya, aplikasi ini terus mengalami
dengan PUSPICS Universitas Gajahmada penyempurnaan. Hal ini disebabkan adanya
sejak tahun 2007. Pada awalnya aplikasi perkembangan teknologi perangkat lunak
ini dibuat untuk mempermudah Balai sistem informasi geografis dan juga adanya
Pengelolaan DAS dalam menjalankan tugas berbagai masalah yang dihadapi terkait
pokok dan fungsinya, yaitu merencanakan proses pengerjaan database, serta kriteria
dan memantau serta mengevaluasi atau pedoman yang digunakan dalam proses
pengelolaan DAS, di mana kerusakan analisa aplikasi tersebut.
ekosistem dalam tatanan DAS di Indonesia
semakin banyak teridentifikasi kritis, seperti 2.2. Parameter Aplikasi
ditunjukkan dengan sering terjadinya banjir,
erosi, sedimentasi dan tanah longsor. Dalam Parameter dan kriteria seluruh analisa
PP Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana yang terdapat dalam aplikasi SSOP Bantal ini
Pembangunan Jangka Menengah Nasional mengacu kepada semua pedoman dan petunjuk
Tahun 2004-2009, disebutkan bahwa DAS teknis yang dihasilkan oleh Direktorat Jenderal
berkondisi kritis semakin meningkat dari 22 Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial
DAS (1984) menjadi 39 DAS (1994), dan dan juga Badan Penelitian dan Pengembangan
kemudian 62 DAS (1999). Kehutanan Kementerian Kehutanan. Beberapa
Proses penanganan bencana banjir contoh parameter yang digunakan adalah
dan tanah longsor pada dasarnya dapat sebagai berikut :

Tabel 1. Penentuan Lahan Kritis Dalam Kawasan Lindung

No. Parameter Besaran Kategori Nilai Skor


Teknik Perolehan Keterangan

1. Penutupan > 80% 1. Sangat baik 5 Pemrosesan Citra Dinilai
lahan 61 - 80% 2. Baik 4 Digital berdasarkan
(50) 41 - 60% 3. Sedang 3 menggunakan berdasarkan
21 - 40% 4. Buruk 2 transformasi penutupan
> 20% 5. Sangat buruk 1 NDVI tajuk pohon
2. Kemiringan < 8% 1. Datar 5 Pemrosesan data
lereng 8 - 15% 2. Landai 4 digital kontur
(20) 16 - 25% 3. Agak curam 3 menggunakan 3D
26 - 40% 4. Curam 2 analyst dalam SIG
> 40% 5. Sangat curam 1
3. Erosi Solum Kelas Erosi 1. Sangat Ringan (SR) 5 Overlay antara
Tanah I II III IV V
(20)
(cm) < 15 15 - 60 60 - 180 180 - 480 > 480 Peta Erosi hasil
Erosi (ton/ha/tahun) 2. Ringan (R) 4 perhitungan

Dalam
SR R S B SB USLE dengan
> 90 3. Sedang (S) 3 Peta Kedalaman
Sedang
R S B SB SB Solum Tanah
60 - 90

Dangkal 4. Berat (B) 2
S B SB SB SB
30 - 60

Sangat 5. Sangat Berat (SB) 1
Dangkal B SB SB SB SB
< 30

4. Manajemen Penerapan teknologi konservasi tanah lengkap dan 1. Baik 5 Survei lapangan *)
(10) sesuai Petunjuk Teknis*) Tata batas ada,
Tidak lengkap atau tidak dipelihara 2. Sedang 3 ada pengawas,
dan dilaksanakan
Tidak ada 3. Buruk 1 penyuluhan

45
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012

Tabel 2. Penentuan Arahan Fungsi


Teknik Perolehan
No. Parameter Besaran Kategori Nilai Skor Data Keterangan

1. JENIS TANAH Aluvial, Gleisol, Planosol, 1. Tidak Peka 15 Penilaian Kriteria Arahan fungsi

Hidromorf kelabu, Laterik berdasarkan Peta Skor Total >175 Kawasan Lindung
Latosol 2. Kurang Peka 30 Tanah
Brown forest soil, non 3. Agak Peka 45 Skor Total 125- Kawasan Penyangga
175
calcic brown, mediteran
Andosol, Laterit, Podsol, 4. Peka 60 Skor Total 0-124, Kawasan Budidaya
Grumusol, Podsolik dan lereng lebih Tanaman Tahunan
besar 8%
Regosol, Litosol, 5. Sangat Peka 75
Organosol, Renzina Skor Total 0-124, Kawasan Budidaya
dan lereng sama Tanaman Semusim dan
2. Kemiringan <8% 1. Datar 20 Pemrosesan data dengan atau lebih Permukiman
lereng 8,01-15% 2. Landai 40 digital kontur kecil dari 8%
15,01-25% 3. Agak curam 60 menggunakan 3D
25,01-40% 4. Curam 80 analyst dalam
>40% 5. Sangat curam 100 SIG
3. Intensitas Hujan s/d-13,60 1. Sangat Rendah 10 Pemrosesan data
(mm/hari) 13,61-20,70 2. Rendah 20 Stasiun Hujan
13,61-20,70 3. Sedang 30
13,61-20,70 4. Tinggi 40
34,81 atau lebih 5. Sangat Tinggi 50

Tabel 3. Karakteristik DAS Penentuan Wilayah Rawan Banjir


Teknik Perolehan
No. Parameter Besaran Kategori Nilai Skor
Data Keterangan
1.
Lereng > 30% curam 40 • secara manual • peta
10 - 30% berbukit 30 dengan peta Topografi/RBI
5 - 10% bergelombang 20 topografi/RBI • otomatis dengan
0 - 5% relatif datar 10 • DEM data RBI &
program Arc
view

2. Tutupan Vegetasi Veg kerptan Rendah 5 Interpretasi citra Citra Satelit


tinggi satelit misal Ikonos atau
Veg kerptan Sedang 10 Aster
sedang
Veg kerptan Tinggi 15
jarang
Permukiman Tinggi 20
permukaan
diperkeras

3. Infiltrasi tanah Teks kasar Ekstrim 20 • Interpretasi • Citra Satelit/foto


(Jenis Tanah) Teks geluh Cepat 15 citra/peta udara
Teks halus Sedang 10 • Lapangan • Ring infiltrometer
Teks liat Lambat 5 • Peta jenis tanah

4. Timbunan di Selalu Tinggi 5 • berdasarkan • Peta


permukaan tergenang klasifikasi bentuk geomorfologi
(pola aliran) Dijumpai Normal 10 lahan di Indonesia • citra satelit/foto
depresi udara
permukaan,
danau & rawa
Sistem Rendah 15
saluran cukup
baik
Pengeringan Diabaikan 20
terlalu cepat

46
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012

Tabel 4. Karakteristik DAS Penentuan Wilayah Rawan Longsor


No. Parameter Besaran Kategori Nilai Skor Teknik Perolehan Keterangan
Data
1. Hujan harian < 50 Rendah 1 - data hujan harian - data 10 terakhir
kumulatif 3 hari 50 - 99 Agak rendah 2 stasiun hujan yang ada - dihitung rata-
berurutan 100 - 199 Sedang 3 di DAS ratanya, jika
(mm/3 hari) 200 - 300 Agak tinggi 4 - dipilih curah hujan > 1 stasiun
> 300 Tinggi 5 berurutan 3 hari hujan
tertinggi

2. Lereng lahan < 15 Rendah 1 - secara manual dg - c = interval


% 15 - 24 Agak rendah 2 peta topografi : S = kontur (m)
25 - 44 Sedang 3 (c x l) / A - l = total
45 - 65 Agak tinggi 4 - secara otomatis dg panj. kontur (m)
> 65 Tinggi 5 peta RBI digital - A = luas DAS
& program ArcView (m2)
3. Geologi (batuan) Dataran aluvial Rendah 1 Jenis bahan/batuan - peta geologi
Perbukitan kapur Agak rendah 2 induk DAS
Perbukitan granit Sedang 3
Perbukitan bat. sedimen Agak tinggi 4
Bukit basal-clay shale Tinggi 5
4. Kedalaman < 1 Rendah 1 - identifikasi kedalaman - peta jenis tanah
tanah regolit 1 - 2 Agak rendah 2 regolit (m) pada jenis - profil tanah
sampai lapisan 2 - 3 Sedang 3 tanah yang ada di DAS - bor tanah
kedap (m) 3 - 5 Agak tinggi 4
> 5 Tinggi 5
5. Pengunaan Hutan alam Rendah 1 Data jenis & luas - peta geologi
lahan Hutan/perkebunan Agak rendah 2 penutupan lahan di DAS Land use/RBI
Semak/belukar/rumput Sedang 3 - Citra satelit/Foto
Tegal/pekarangan Agak tinggi 4 Udara
Sawah/permukiman Tinggi 5

2.3. Manual Penggunaan Aplikasi ketik “1234” untuk password dan selanjutnya
klik “Login”, maka program SSOP akan tampil
Setelah aplikasi ”SSOP Bantal” diinstal, di layar monitor seperti gambar di bawah ini :
maka langkah awal untuk pengoperasiannya
adalah dengan mengakses dari menu All
Programs – SSOP – ExpertSystem_SIMDAS
atau dari All Programs – SSOP&EWS – SSOP
& EWS-Banjir, seperti Gambar 1.

atau

Gambar 1. Tampilan jendela untuk mengakses


aplikasi
Untuk menjalankan aplikasi ini, tidak
membutuhkan dukungan perangkat lunak lain.
Setelah mengakses program seperti pada
gambar di atas, maka pada tampilan awal/ Gambar 2. Tampilan jendela awal aplikasi
pembuka SSOP, pengguna akan dihadapkan
pada suatu jendela password yang berfungsi Jendela utama SSOP terdiri dari 5 (lima)
sebagai pengaman perangkat lunak SSOP. Menu, yaitu: Tipologi, Kekritisan, SIMDAS,
Ketikkan “admin” untuk Nama, dan kemudian Manajemen, dan EWS (Early Warning System).

47
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012

2.3.1. Menu Tipologi

Gambar 3. Tampilan jendela menu isian untuk


Tipologi DAS
Penelusuran tipologi DAS dapat Gambar 5. Form Kesimpulan Kekritisan DAS
dilakukan pada menu Tipologi DAS. Pada menu
tersebut, pengguna diminta untuk memasukkan Suatu DAS dikategorikan sangat kritis
data-data parameter penyusun tipologi DAS, apabila mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
yaitu: Bentuk DAS, Luas DAS, dan Kemiringan 1. Adanya endapan sedimen di lembah sungai,
Lereng DAS yang dapat diperoleh dari data- 2. Tidak adanya aliran air (baseflow) di musim
data statistik yang sudah ada ataupun dengan kemarau,
pengukuran-pengukuran terhadap parameter 3. Sering terjadi luapan air pada sungai di
DAS secara sederhana. Setelah itu menu daerah hilir pada musim penghujan,
di aplikasi ini akan mengkalkulasi secara 4. Banyak kejadian atau kenampakan longsor
otomatis parameter-parameter tersebut untuk di daerah hulu,
menentukan tipologi DAS tersebut yang siap 5. Banyak ditemukan alur alur erosi baru
untuk dianalisis lebih lanjut ataupun dicetak. dan atau “root exposure”,
6. Prosentase lahan terbuka non budidaya
2.3.2. Menu Kekritisan dan rumput/alang-alang besar,
7. Perambahan lereng atas (hulu) dengan
pertanian tanaman semusim intensif
banyak,
8. Ditemukan banyak tanda-tanda torehan
limpasan permukaan,
9. Warna air sungai sangat keruh saat banjir,
10. Indeks koefisien limpasan sesaat tinggi,
11. Indeks Qmax/Qmin tinggi,
12. Indeks Qmin/Q rata-rata Rendah,
13. Indeks Qmaks/Luas DAS besar.

Dalam aplikasi “SSOP Bantal”,
penelusuran kekritisan DAS dapat dilakukan
pada menu Kekritisan. Pada menu tersebut,
pengguna diminta untuk memasukkan data-data
parameter penentu kekritisan DAS yang dapat
diperoleh dari data-data statistik yang sudah
Gambar 4. Tampilan jendela menu isian untuk ada ataupun dengan pengukuran-pengukuran
Kekritisan DAS terhadap parameter DAS secara sederhana.

48
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012

Setelah itu, aplikasi ini akan mengkalkulasi 1. Jendela view yang berfungsi untuk
secara otomatis parameter-parameter tersebut. menampilkan peta/grafis,
Akhirnya parameter itu akan menentukan tingkat 2. Toolbar menu menyediakan perangkat
kekritisan DAS yang siap untuk dianalisis lebih yang berhubungan dengan operasi pada
lanjut ataupun dicetak. jendela view,
3. Button menu menyediakan perintah dalam
2.3.3. Menu SIMDAS bentuk icon,
4. Menu utama yang menyediakan perintah
Identifikasi kerusakan dan perintah dan fasilitas penunjang
pewilayahan DAS secara lebih detil dalam SIMDAS.
bentuk analisis spasial dilakukan melalui
menu SIMDAS. Letak 4 komponen utama SIMDAS
Untuk menjalankan program SIMDAS, tersebut ditunjukkan pada Gambar 7.
diperlukan perangkat lunak ArcView 3.x.
Hal ini disebabkan karena perangkat lunak
SIMDAS dibuat dalam lingkungan ArcView
dan menggunakan bahasa pemrograman
avenue. Aplikasi SIMDAS memiliki empat
kapasitas utama, yaitu:
1. Menampilkan grafis peta
2. Identifikasi dan penelusuran objek pada
peta
3. Pemodelan spasial
4. Operasi pada data atribut (tabel).

Pada tampilan awal/pembuka menu


SIMDAS, pengguna akan dihadapkan pada
suatu jendela password yang berfungsi Gambar 7. Jendela utama SIMDAS dan
sebagai pengaman SIMDAS. Ketikkan bagian-bagiannya
“SIMDAS” pada jendela password, dan
kemudian klik “OK”, maka program SIMDAS Fungsi-fungsi Interaktif Pada SIMDAS
akan tampil di layar monitor (Gambar 6).  Data Grafis, berguna untuk menampilkan
tema peta tertentu.
 Data Attribut, berguna untuk menampilkan
data atribut dari masing-masing data
grafis dalam bentuk tabel.
 Editing Data, terbatas pada editing
data attribut. Ada 2 (dua) fasilitas editing
yang disediakan, yaitu editing data attribut
pada peta yang muncul di jendela view
dan memasukkan data titik dari tabel
format *.dbf menjadi sebuah peta titik.
 Pemodelan, fasilitas yang disediakan
antara lain; pemodelan monitoring
Gambar 6. Jendela Login Aplikasi SIMDAS penggunaan lahan, pemodelan erosi,
longsor, koefisien aliran, arahan fungsi
Jendela utama SIMDAS terdiri dari 4 penggunaan lahan, dan lahan iritis,
(empat) komponen utama, yaitu: seperti terlihat pada Gambar 8.

49
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012

Gambar 8. Jendela Pemodelan,


Monitoring, Penggunaan
Lahan dan lain-lain
 Penelusuran Data, merupakan fasilitas
tambahan pada SIMDAS untuk
mengetahui morfometri DAS, mengetahui
lokasi lahan pada DAS yang kritis,
dan untuk mengetahui lokasi pada
DAS yang ter-erosi, seperti terlihat
pada Gambar 9 berikut:

Gambar 10. Jendela Form Manajemen DAS

langkah pertama, menu manajemen menerima


masukan berupa informasi tentang satuan
lahan dalam DAS yang dipandang bermasalah.
Selanjutnya pada langkah kedua, sistem
memperoleh masukan untuk dapat menentukan
apakah masalah yang muncul pada satuan
lahan tersebut berupa bencana erosi yang
dipercepat dan longsor, atau berupa banjir.
Berdasarkan langkah kedua ini, maka sistem
menawarkan langkah ketiga berupa alternatif
Gambar 9. Contoh Penelusuran Data yang manajemen berbasis satuan lahan dalam
dilakukan pada Aplikasi bentuk opsi-opsi konservasi, baik konservasi
SIMDAS mekanik maupun konservasi vegetatif. Sekali
suatu bentuk praktek konservasi atau dapat
2.3.4. Menu Manajemen juga kombinasi beberapa praktek konservasi
dipilih, maka menú manajemen masuk ke
Manajemen DAS ini pada dasarnya tahap simulasi dan pemodelan berbasis satuan
memanfaatkan input dari hasil identifikasi lahan. Hal ini dilakukan untuk melihat apakah
kekritisan DAS dan satuan-satuan lahan pada manajemen yang diterapkan mampu menekan
SIMDAS yang mengkombinasikan metode laju erosi, mencegah longsor, atau menurunkan
analisis pohon keputusan (decision tree) efek banjir. Apabila belum, maka proses akan
dengan prosedur simulasi dan pemodelan kembali ke pemilihan satu atau beberapa opsi
berbasis satuan lahan untuk melihat efek praktek konservasi, sampai dicapai suatu
manajemen yang diberikan. kondisi yang diinginkan.
Manajemen diterapkan pada tingkat Perlu juga ditegaskan di sini, bahwa sekali
satuan lahan, yaitu dengan menerapkan teknik- simulasi dijalankan maka menu manajemen juga
teknik konservasi yang dipandang sesuai. Pada memberikan rekomendasi tentang lembaga-

50
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012

lembaga terkait yang semestinya terlibat dan


bertindak sebagai aktor utama dalam proses
pengendalian bencana longsor dan banjir ini.

2.3.5. Menu EWS (Early Warning System)


Banjir

Perangkat lunak ini berjalan pada Sistem


Operasi Microsoft Windows (200X/XP/Vista).
Menu EWS-Banjir dapat digunakan dengan
syarat sudah tersedia file database Microsoft Gambar 13. Tampilan database yang dibuka
Access dari database telemetri. Database menggunakan Microsoft Access
telemetri diambil dengan menggunakan Database dari Gambar 12 merupakan
program TableGrabber, seperti terlihat di input untuk EWS-Banjir (Sistem Peringatan
Gambar 11. Dini Banjir), sehingga sistem EWS-Banjir akan
sangat bergantung hasilnya dari database ini.
EWS-Banjir akan mengambil data CH (Curah
Hujan dalam mm) dan TMA (Tinggi Muka Air
dalam cm) yang digunakan untuk menentukan
status dari banjir.
Penentuan status banjir dapat
didasarkan pada penelitian sebelumnya, yaitu
mengenai batas (threshold) TMA dan CH yang
Gambar 11. Tampilan Program Table Grabber mengakibatkan banjir. Misalnya pada stasiun
pengamatan TMA menunjukkan 176 cm dan CH
Kemudian database disusun dalam 23,5 mm, bila threshold banjir diset pada TMA
format data mdb Microsoft Access menggunakan 175 dan CH 23 mm maka statusnya adalah
program Promis (Projex Measurement Information BANJIR, seperti terlihat pada Gambar 14.
System), seperti terlihat di Gambar 12.

Gambar 12. Tampilan Program Promis


Kedua program tersebut merupakan
bagian program telemetri yang sudah ada
sebelum program EWS-Banjir. Perangkat lunak
Promis menghasilkan database mdb Microsoft
Access yang yang telah diambil dari perangkat Gambar 14. Tampilan setting
lunak Table Grabber melalui proses telemetri EWS-Banjir pada
SMS Gateway, seperti terlihat di Gambar 13. saat status BANJIR

51
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012

Contoh lain stasiun pengamatan TMA


menunjukkan 75 cm dan CH 5 mm, bila
threshold banjir diset pada TMA 175 dan CH
23 mm maka statusnya adalah TIDAK BANJIR,
seperti terlihat pada Gambar 15.

Gambar 17. Peta Rawan Longsor Wilayah


Kerja BPDAS Sampean

Gambar 15.
Tampilan setting EWS-Banjir
pada saat status TIDAK BANJIR
3. HASIL APLIKASI “SSOP BANTAL” Gambar 18. Peta Lahan Kritis Wilayah Kerja
BPDAS Sampean
Beberapa hasil analisa yang dilakukan
oleh Balai Pengelolaan DAS dengan
menggunakan aplikasi ”SSOP Bantal” ini dapat
dilihat pada Gambar 16 sampai dengan 23.

Gambar 16. Peta Rawan Banjir Wilayah Kerja Gambar 19. Peta Arahan Fungsi Wilayah
BPDAS Sampean Kerja BPDAS Sampean

52
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012

Gambar 20. Peta Rawan Banjir Wilayah Kerja Gambar 23. Peta Arahan Fungsi Wilayah
BPDAS Barito Kerja BPDAS Barito

4. PENUTUP

“SSOP Bantal” merupakan aplikasi yang


sangat berguna dalam penentuan secara cepat
dan tepat lokasi rawan bencana banjir dan tanah
longsor. Aplikasi ini juga dapat memberikan
solusi arahan fungsi berupa manajemen
pengelolaan wilayah rawan bencana tersebut,
sehingga pemerintah daerah setempat dapat
melakukan tindakan penanggulangan bencana
banjir dan tanah longsor. Harapannya, dengan
menggunakan aplikasi ini dapat meminimalisasi
dampak korban jiwa maupun kerugian material
Gambar 21. Peta Rawan Longsor Wilayah yang diakibatkan oleh bencana tersebut.
Kerja BPDAS Barito Agar didapatkan hasil analisa yang
akurat, maka diperlukan penyempurnaan yang
terus menerus terhadap aplikasi “SSOP Bantal”
ini. Penyempurnaan kajian atau exercise dan
tinjauan ke lapangan perlu untuk memperbaiki
kriteria atau pedoman yang digunakan dalam
proses analisa.
Sosialisasi yang terus menerus oleh
Balai Pengelolaan DAS terhadap aplikasi
“SSOP Bantal” dan hasil analisanya perlu
terus-menerus dilakukan kepada pemerintah
daerah setempat. Diharapkan aplikasi dan
hasil analisa tersebut dapat bermanfaat bagi
penanggulangan bencana banjir dan tanah
longsor.
Diperlukan suatu payung hukum, baik
Gambar 22. Peta Lahan Kritis Wilayah Kerja melalui peraturan Dirjen BPDASPS ataupun
BPDAS Barito peraturan Menteri Kehutanan, sehingga

53
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012

keberadaan aplikasi “SSOP Bantal” ini semakin Gunawan Totok, Pengantar Sistim
kuat dalam mendukung tugas pokok dan fungsi Standar Operasi Prosedur Banjir dan
dari Balai Pengelolaan DAS. Tanah Longsor, Yogyakarta 2010
Direktorat Kehutanan dan Konservasi
DAFTAR PUSTAKA Sumberdaya Air Bappenas, Kajian
Model Pengelolaan Daerah Aliran
Direktorat Rehabilitasi dan Konservasi Tanah, Sungai (DAS) Terpadu, Jakarta 2010
Direktorat Jenderal Reboisasi dan Nur. M. Farda dan Bayu Prayudha, Manual SSOP
Rehabilitasi Lahan Departemen Pengendalian Banjir dan Longsor,
Kehutanan, Pedoman Identifikasi Yogyakarta 2010
Karakteristik DAS, Jakarta 1996 UN Office for the Coordination of Humanitarian
Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Affairs (OCHA) Indonesia, Monthly
Perhutanan Sosial Departemen Humanitarian Update, Jakarta,
Kehutanan, Petunjuk Teknis Januari 2011 www.seputar-indonesia
Penyusunan Data Spasial Lahan Kritis, .com, Bencana Banjir dan Tanah
Jakarta 2004 Longsor Mengancam, 7 Januari 2011
Paimin, Sukresno, Purwanto, Sidik Cepat
Degradasi Sub DAS Pusat Penelitian
dan Pengembangan Hutan dan
Konservasi Alam, Badan Penelitian
dan Pengembangan Kehutanan,
Bogor 2006

54
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012

55
Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 3 Nomor 1, Tahun 2012

56
ISSN 2087636X
JURNAL

JURNAL PENANGGULANGAN BENCANA


PENANGGULANGAN
BENCANA
Volume 3, Nomor 1, Tahun 2012

Volume 3, Nomor 1, Tahun 2012

Diterbitkan oleh:
BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA
Jl. Ir. H. Juanda No. 36 Jakarta Pusat 10120
Telp. 021-3458400 Fax. 021-3458500
BNPB www.bnpb.go.id

Email : contact@bnpb.go.id
Facebook : www.facebook.com/infobnpb
Twitter : @BNPB_Indonesia
http://twitter.com/BNPB_Indonesia
Youtube : BNPBIndonesia
http://www.youtube.com/user/BNPBIndonesia
TERBITAN
TERBITANBERKALA
BERKALABADAN
BADANNASIONAL
NASIONALPENANGGULANGAN
PENANGGULANGANBENCANA
BENCANA

Anda mungkin juga menyukai