Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Keluhan nyeri merupakan keluhan yang paling umum kita temukan atau dapatkan
ketika kita sedang melakukan tugas sebagai bagian dari tim kesehatan, baik di pelayanan
rawat jalan maupun rawat inap, oleh karena seringnya keluhan nyeri kita temukan kadang
kala kita sering menganggap hal itu sebagai hal yang biasa sehingga perhatian yang kita
berikan tidak cukup memberikan hasil yang memuaskan bagi pasien.
Nyeri sesunggguhnya tidak hanya melibatkan persepsi dari suatu sensasi, tetapi
berkaitan juga dengan respon fisiologis, psikologis, sosial, kognitif, emosi dan perilaku,
sehingga dalam penanganannyapun memerlukan perhatian yang serius dari semua unsur
yang terlibat di dalam pelayanan kesehatan, untuk itu pemahaman tentang nyeri dan
penanganannya sudah menjadi keharusan bagi setiap tenaga kesehatan, terutama perawat
yang dalam rentang waktu 24 jam sehari berinteraksi dengan pasien.
Pengetahuan yang tidak adekuat atau tidak memadai tentang manajemen nyeri
merupakan alasan paling umum yang memicu terjadinya kesalahan dalam manajemen
nyeri, untuk itu perbaikan kualitas pendidikan sangat diperlukan sehingga tercipta tenaga
kesehatan yang profesional, salah satu terobosan yang sudah dilakukan adalah dengan
masuknya topik nyeri dalam modul PBL dalam pendidikan keperawatan, hal ini
diharapkan dapat membantu Institusi atau pendidikan profesi keperawatan yang
menghasilkan perawat-perawat yang profesional. Tindakan-tindakan ini membutuhkan
Manajemen pasien yang lengkap dan komprehensif,perencanaan asuhan yang terintegrasi,
monitoring pasien yang berkesinambungan dan kriteria transfer untuk pelayanan
berkelanjutan, rehabilitasi sampai pemulangan pasien (discharge).
Dalam penanganan nyeri, pengkajian merupakan hal yang mendasar yang
menentukan dalam kualitas penanganan nyeri, pengkajian yang terus menerus harus
dilakukan baik pada saat awal pasien masuk rumah sakit atau mulai teridentifikasi nyeri
sampai saat setelah intervensi. Mengingat nyeri adalah suatu proses yang bersifat dinamik,
sehingga perlu dinilai secara berulang dan berkesinambungan. Ada beberapa alat yang
dapat digunakan untuk menilai nyeri yaitu secara “ Neonatal Infant Pain Scale (NIPS
untuk usia < 1 tahun),(F) Face; (L) Legs; (A) Activity; (C) Cry; (C) Consolability (FLACC
untuk usia 1 – 3 tahun), Wong Baker Faces Rating Scale/ Numeric Scale/ Simple
Descriptive Pain Distress Scale/ Visual Analog Scale (VAS)/ Pain Relief Visual Analog
1
Scale/ Percent Relief Scale untuk usia > 3 tahun , untuk penilaian usiaa > 3 tahun yang
sering digunakan adalah 0 – 10 Numeric Pain Distress Scale/ Wong Baker, dimana pasien
diminta untuk “merating” rasa nyeri tersebut berdasarkan skala penilaian numerik mulai
angka 0 yang berarti tidak ada nyeri sampai angka 10 yang berarti puncak dari rasa nyeri.
2. Tujuan
2.1 Memberi rasa aman dan nyaman bagi pasien.
2.2 Mengurangi perasaan cemas dan gelisah bagi pasien
2.3 Mengurangi trauma terkait nyeri (pengalaman yang tidak menyenangkan)
2.4 Mempermudah proses tindakan operasi atau tindakan yang lain.
2.5 Mencegah terjadinya kesalahan dalam pemilihan obat analgesik dan anestesi.
2.6 Pemberian analgesik dan anestesi yang tidak berlebihan.
3. Pengertian
Definisi nyeri menurut International Association for the Study of Pain adalah suatu
pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang diakibatkan adanya
kerusakan jaringan, baik yang sedang ataupun yang akan terjadi.
A. Berdasarkan saat terjadinya, dapat dibedakan menjadi :
1. Nyeri akut adalah nyeri dengan onset segera dan durasi yang terbatas, biasanya
bersifat sementara serta berhubungan dengan cedera yang dialami atau penyakitnya.
2. Nyeri kronik adalahnyeri yang berdurasi lama. Nyeri kronik adalah nyeri yang
terus ada meskipun telah terjadi proses penyembuhan dan sering sekali
penyebabnya tidak jelas.
B. Berdasarkan asalnya, dapat dibagi menjadi :
1. Nyeri nosiseptif, nyeri perifer, berasal dari kulit, otot, tulang, jaringan ikat.
Letaknya terlokalisir.
Nyeri visceral, asalnya lebih dalam, terasa tumpul, kram atau kolik serta lebih sulit
dilokalisir.
2. Nyeri neuropatik, pada keadaan atau prosedur dimana terjadi kerusakan saraf
seperti pada thorakotomy, herniotomy, amputasi.
Terasa panas seperti terbakar, timbulnya mendadak tanpa faktor pencetus yang jelas.
Terdapat dysaesthesia (rasa tidak nyaman), hyperalgesia (rasa nyeri yang berlebihan
dengan rangsang nyeri yang normal), allodynia (timbul rasa nyeri hanya dengan
rangsangan yang normalnya tidak menimbulkan nyeri seperti sentuhan ringan,
adanya area hypoesthesia, adanya phantom fenomena.

2
BAB II
TATALAKSANA

Untuk dapat mengelola manajemen nyeri yang efektif sesuai kebutuhan masing-
masing pasien, diperlukan penilaian nyeri yang akurat serta mudah diterapkan. Penilaian serta
pengukuran terhadap nyeri juga memberikan kontribusi terhadap penegakan diagnosis
penyebab pasien merasa nyeri, serta diperlukan untuk menentukan terapi yang dibutuhkan,
baik secara farmakologis ataupun non farmakologis.
Penilaian terhadap nyeri meliputi riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, serta sifat nyeri yang
spesifik. Penilaian sebaiknya berulang, selain sebagai evaluasi terapi juga untuk mengenali
adanya efek terhadap fungsi tubuh serta efek samping yang terjadi.
I. PENGKAJIAN NYERI
1. Riwayat penyakit sekarang
a. Onset nyeri: akut atau kronik, traumatik atau non-traumatik.
b. Karakter dan derajat keparahan nyeri: nyeri tumpul, nyeri tajam, rasa terbakar,
tidak nyaman, kesemutan, neuralgia.
c. Pola penjalaran atau penyebaran nyeri, primer di lokasi nyeri ataukah menjalar
d. Durasi dan lokasi nyeri
e. Intensitas nyeri :
1. Saat istirahat
2. Dengan gerakan
3. Faktor pencetus
4. Durasi
5. Terus menerus atau kadang-kadang
f. Gejala lain yang menyertai misalnya kelemahan, baal, kesemutan, mual atau
muntah, atau gangguan keseimbangan atau kontrol motorik.
g. Faktor yang memperberat dan memperingan
h. Kronisitas
i. Faktor yang berhubungan dengan onset nyeri termasuk detail traumanya atau
prosedur operasi yang dialami
j. Riwayat pengobatan yang sedang dijalani maupun riwayat pengobatan
sebelumnya, meliputi : dosis, frekuensi, efektivitas, efek samping pengobatan nyeri
dengan menggunakan metode lain konsultasi dengan tenaga konsultan.

3
k. Hasil pemeriksaan dan penanganan nyeri sebelumnya, termasuk respon terapi
l. Gangguan atau kehilangan fungsi akibat nyeri atau luka
m. Penggunaan alat bantu
n. Perubahan fungsi mobilitas, kognitif, irama tidur, dan aktivitas hidup dasar
o. Pengetahuan tentang penyebab nyerinya serta harapan dan penanganan nyeri yang
diinginkan
p. Hilangkan kemungkinan potensi emergensi pembedahan, seperti adanya fraktur
yang tidak stabil, gejala neurologis progresif cepat yang berhubungan dengan
sindrom kauda ekuina.
2. Riwayat pembedahan atau penyakit dahulu : Jenis dan lokasi operasi yang
dialami.
a. Riwayat psiko-sosial
1. Riwayat konsumsi alkohol, merokok, atau narkotika
2. Identifikasi pengasuh atau perawat utama (primer) pasien
3. Identifikasi kondisi tempat tinggal pasien yang berpotensi menimbulkan
eksaserbasi nyeri
4. Pembatasan atau restriksi partisipasi pasien dalam aktivitas sosial yang
berpotensi menimbulkan stres. Pertimbangkan juga aktivitas penggantinya.
5. Masalah psikiatri (misalnya depresi, cemas, ide ingin bunuh diri) dapat
menimbulkan pengaruh negatif terhadap motivasi dan kooperasi pasien dengan
program penanganan atau manajemen nyeri ke depannya. Pada pasien dengan
masalah psikiatri, diperlukan dukungan psikoterapi atau psikofarmaka.
6. Tidak dapat bekerjanya pasien akibat nyeri dapat menimbulkan stres bagi
pasien atau keluarga
a. Riwayat pekerjaan
Pekerjaan yang melibatkan gerakan berulang dan rutin, seperti mengangkat
benda berat, membungkuk atau memutar; merupakan pekerjaan tersering
yang berhubungan dengan nyeri punggung.
b. Obat-obatan dan alergi
1. Daftar obat-obatan yang dikonsumsi pasien untuk mengurangi nyeri
(suatu studi menunjukkan bahwa 14% populasi di Amerika Serikat
mengkonsumsi suplemen atau herbal, dan 36% mengkonsumsi vitamin)

4
2. Cantumkan juga mengenai dosis, tujuan minum obat, durasi, efektifitas,
dan efek samping.
3. Direkomendasikan untuk mengurangi atau memberhentikan obat-obatan
dengan efek samping kognitif dan fisik.
c. Riwayat keluarga
Evaluasi riwayat medis keluarga terutama penyakit genetik.
d. Penilaian fungsi sistem organ yang komprehensif
1. Evaluasi gejala kardiovaskular, psikiatri, pulmoner, gastrointestinal,
neurologi, reumatologi, genitourinaria, endokrin, dan muskuloskeletal.
2. Gejala konstitusional: penurunan berat badan, nyeri malam hari, keringat
malam, dan sebagainya.
3. Skor atau Skala nyeri
Penilaian atau skala nyeri dapat menggunakan berbagai macam alat sesuai dengan
usia pasien, antara lain :
a. Neonatal Infants Pain Scale/ NIPS
i. Digunakan untuk usia < 1 tahun
ii. Penilaian ini dipersepsikan atau dinilai langsung oleh tenaga medis sesuai
dengan kondisi pasien saat itu, penilaian ini dilambangkan dengan angka atau
skor, yaitu :
a. Skor 0 = tidak nyeri
b. Skor 1-2= nyeri ringan
c. Skor 3-4= nyeri sedang
d. Skor > 4= nyeri hebat
b. FLACC Scale , yaitu dengan 5 kategori : (F) Face; (L) Legs; (A) Activity; (C)
Cry; (C) Consolability
i. Digunakan untuk usia 1-3 tahun
ii. Penilaian ini dipersepsikan atau dinilai langsung oleh tenaga medis sesuai
dengan kondisi pasien saat itu, penilaian ini dilambangkan dengan angka atau
skor 0 – 10, yaitu :
a. Skor 0 = tidak nyeri
b. Skor 1-3 = nyeri ringan
c. Skor 4-6 = nyeri sedang
d. Skor 7-10 = nyeri hebat

5
c. Numeric Rating Scale
i. Indikasi: digunakan pada pasien dewasa dan anak berusia > 9 tahun yang dapat
menggunakan angka untuk melambangkan intensitas nyeri yang dirasakannya.
ii. Instruksi: pasien akan ditanya mengenai intensitas nyeri yang dirasakan dan
dilambangkan dengan angka antara 0-10.
1. 0 = tidak nyeri
2. 1 – 3 = nyeri ringan (sedikit mengganggu aktivitas sehari-hari)
3. 4 – 6 = nyeri sedang (gangguan nyata terhadap aktivitas sehari-hari)
4. 7 – 10 = nyeri berat (tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari)

Numeric Rating Scale3

d. Wong Baker FACES Pain Scale


i. Indikasi: Pada pasien (dewasa dan anak > 3 tahun) yang tidak dapat
menggambarkan intensitas nyerinya dengan angka, gunakan asesmen
ii. Instruksi: pasien diminta untuk menunjuk atau memilih gambar mana yang
paling sesuai dengan yang dirasakan. Tanyakan juga lokasi dan durasi nyeri.
1. 0–1 = sangat bahagia karena tidak merasa nyeri sama sekali
2. 2–3 = sedikit nyeri
3. 4–5 = cukup nyeri
4. 6–7 = lumayan nyeri
5. 8–9 = sangat nyeri
6. 10 = amat sangat nyeri (tak tertahankan)

Wong Baker FACES Pain Scale

6
e. Pada pasien dalam pengaruh obat anestesi atau dalam kondisi sedasi sedang,
asesmen dan penanganan nyeri dilakukan saat pasien menunjukkan respon berupa
ekspresi tubuh atau verbal akan rasa nyeri.
f. Penilaian ulang nyeri: dilakukan pada pasien yang dirawat lebih dari beberapa jam
dan menunjukkan adanya rasa nyeri, sebagai berikut:
i. Lakukan asesmen nyeri yang komprensif setiap kali melakukan pemeriksaan
fisik pada pasien
ii. Dilakukan pada: pasien yang mengeluh nyeri, 1 jam setelah tatalaksana nyeri,
setiap empat jam (pada pasien yang sadar atau bangun), pasien yang menjalani
prosedur menyakitkan, sebelum transfer pasien, dan sebelum pasien pulang dari
rumah sakit.
iii. Pada pasien yang mengalami nyeri kardiak (jantung), lakukan asesmen ulang
setiap 5 menit setelah pemberian nitrat atau obat-obat intravena
iv. Pada nyeri akut atau kronik, lakukan asesmen ulang tiap 30 menit – 1 jam
setelah pemberian obat nyeri.
g. Derajat nyeri yang meningkat hebat secara tiba-tiba, terutama bila sampai
menimbulkan perubahan tanda vital, merupakan tanda adanya diagnosis medis atau
bedah yang baru (misalnya komplikasi pasca-pembedahan, nyeri neuropatik).
4. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan umum
i. Tanda vital: tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu tubuh
ii. Ukurlah berat badan dan tinggi badan pasien
iii. Periksa apakah terdapat lesi atau luka di kulit seperti jaringan parut akibat
operasi, hiperpigmentasi, ulserasi, tanda bekas jarum suntik
iv. Perhatikan juga adanya ketidaksegarisan tulang (malalignment), atrofi otot,
fasikulasi, diskolorasi, dan edema.
b. Status mental
i. Nilai orientasi pasien
ii. Nilai kemampuan mengingat jangka panjang, pendek, dan segera.
iii. Nilai kemampuan kognitif
iv. Nilai kondisi emosional pasien, termasuk gejala-gejala depresi, tidak ada harapan,
atau cemas.

7
c. Pemeriksaan sendi
i. Selalu periksa kedua sisi untuk menilai kesimetrisan
ii. Nilai dan catat pergerakan aktif semua sendi, perhatikan adanya keterbatasan
gerak, diskinesis, raut wajah meringis, atau asimetris.
iii. Nilai dan catat pergerakan pasif dari sendi yang terlihat abnormal atau dikeluhkan
oleh pasien (saat menilai pergerakan aktif). Perhatikan adanya limitasi gerak, raut
wajah meringis, atau asimetris.
iv. Palpasi setiap sendi untuk menilai adanya nyeri
v. Pemeriksaan stabilitas sendi untuk mengidentifikasi adanya cedera ligamen.
d. Pemeriksaan motorik
Nilai dan catat kekuatan motorik pasien dengan menggunakan kriteria di bawah ini.
Derajat Definisi
5 Tidak terdapat keterbatasan gerak, mampu melawan tahanan kuat

4 Mampu melawan tahanan ringan


3 Mampu bergerak melawan gravitasi
2 Mampu bergerak / bergeser ke kiri dan kanan tetapi tidak mampu
melawan gravitasi
1 Terdapat kontraksi otot (inspeksi / palpasi), tidak menghasilkan
pergerakan
0 Tidak terdapat kontraksi otot

e. Pemeriksaan sensorik
Lakukan pemeriksaan: sentuhan ringan, nyeri (tusukan jarum-pin prick), getaran, dan
suhu.
5. Pemeriksaan radiologi
a. Indikasi:
i. pasien nyeri dengan kecurigaan penyakit degeneratif tulang belakang
ii. pasien dengan kecurigaan adanya neoplasma, infeksi tulang belakang, penyakit
inflamatorik, dan penyakit vascular.
iii. Pasien dengan defisit neurologis motorik, kolon, kandung kemih, atau ereksi.
iv. Pasien dengan riwayat pembedahan tulang belakang
v. Gejala nyeri yang menetap > 4 minggu

8
b. Pemilihan pemeriksaan radiologi: bergantung pada lokasi dan karakteristik nyeri.
i. Foto polos: untuk skrining inisial pada tulang belakang (fraktur, ketidaksegarisan
vertebra, spondilolistesis, spondilolisis, neoplasma)
ii. MRI: gold standard dalam mengevaluasi tulang belakang (herniasi diskus, stenosis
spinal, osteomyelitis, infeksi ruang diskus, keganasan, kompresi tulang belakang,
infeksi)
iii. CT-scan: evaluasi trauma tulang belakang, herniasi diskus, stenosis spinal.
6. Pemeriksaan atau Penilaian psikologis
a. Nilai mood pasien, apakah dalam kondisi cemas, ketakutan, depresi.
b. Nilai adanya gangguan tidur, masalah terkait pekerjaan.
c. Nilai adanya dukungan sosial, interaksi sosial.
7. Asesmen nyeri
a. Pasien non bedah
Asesmen (pengkajian atau penilaian) nyeri dilakukan saat awal pasien masuk Rumah
Sakit sebelum pelayanan diberikan karena sangat penting untuk menentukan tindakan
yang akan diberikan kepada pasien. Perawat maupun dokter yang menerima pasien
awal, baik di Rawat jalan ataupun di Rawat Inap harus melakukan penilaian nyeri
terhadap semua pasien yang datang berobat dan dilaporkan sebagai tanda-tanda vital
kepada dokter yang merawat untuk mendapatkan penanganan, hasil asesmen nyeri
dilaporkan mulai dari nyeri sedang dengan skor minimal 4 (empat). Khusus untuk
pasien rawat inap dilakukan juga asesmen ulang terhadap penilaian nyeri, asesmen
ulang ini dilakukan dengan interval tertentu yang teratur, yaitu :
1. Pemberian parenteral: 30 menit berikutnya
2. Pemberian oral: 60 menit berikutnya
3. Intervensi non-farmakologi: 30-60 menit berikutnya
b. Pasien post operasi (bedah).
Untuk anamnese pasien sama dengan asesmen pasien non bedah, pengkajian
dilakukan setelah pasien berada di ruangan. Perawat ruangan harus berkolaborasi
dengan dokter anestesi yang merawat. Dalam hal ini instruksi dokter anestesi harus
dimengerti. Perawat harus melaporkan pengkajian nyeri kepada dokter anestesi
setelah 6 jam post operasi atau bila pasien mengeluh nyeri ringan dengan skor
minimal 1. Dokter anestesi akan memberikan instruksi yang harus dilakukan oleh

9
perawat. Pengkajian nyeri pasien post operasi ini dilakukan setiap pemeriksaan tanda
tanda vital dilakukan.
Dilakukan secara berkala diruangan pada masa pasca operasi, asesmen diruangan
dilakukan oleh perawat ruangan menggunakan Numeric Rating scale.
Asesmen ulang dilakukan pada saat:
a. 6 jam pasca operasi.
b. Setiap kali pemeriksaan tanda-tanda vital dilakukan.
c. Setiap saat pasien mengeluh sakit nyeri timbul.
Asesmen segera dilaporkan ke dokter anestesi untuk segera mendapatkan instruksi.
Evaluasi ulang setelah instruksi dokter dilaksanakan, bisa dilaporkan 2 jam
berikutnya.

II. Manajemen Nyeri


A Manajemen Nyeri Dengan Farmakologi
1. Manajemen Nyeri Akut
a. Nyeri akut merupakan nyeri yang terjadi < 6 minggu.
b. Lakukan asesmen nyeri: mulai dari anamnesis hingga pemeriksaan penunjang.
c. Tentukan mekanisme nyeri:
I. Nyeri somatik:
1. Diakibatkan adanya kerusakan jaringan yang menyebabkan pelepasan zat
kimia dari sel yang cedera dan memediasi inflamasi dan nyeri melalui
nosiseptor kulit.
2. Karakteristik: onset cepat, terlokalisasi dengan baik, dan nyeri bersifat
tajam, menusuk, atau seperti ditikam.
3. Contoh: nyeri akibat laserasi, sprain, fraktur, dislokasi.
II. Nyeri visceral:
1 Nosiseptor visceral lebih setikit dibandingkan somatic, sehingga jika
terstimulasi akan menimbulkan nyeri yang kurang bisa dilokalisasi,
bersifat difus, tumpul, seperti ditekan benda berat.
2 Penyebab: iskemi atau nekrosis, inflamasi, peregangan ligament, spasme
otot polos, distensi organ berongga atau lumen.
3 Biasanya disertai dengan gejala otonom, seperti mual, muntah, hipotensi,
bradikardia, berkeringat.

10
III. Nyeri neuropatik:
1 Berasal dari cedera jaringan saraf
2 Sifat nyeri: rasa terbakar, nyeri menjalar, kesemutan, alodinia (nyeri saat
disentuh), hiperalgesia.
3 Gejala nyeri biasanya dialami pada bagian distal dari tempat cedera
(sementara pada nyeri nosiseptif, nyeri dialami pada tempat cederanya)
4 Biasanya diderita oleh pasien dengan diabetes, multiple sclerosis, herniasi
diskus, AIDS, pasien yang menjalani kemoterapi atau radioterapi.
a. Tatalaksana sesuai mekanisme nyerinya.
b. Farmakologi: gunakanStep-Ladder WHO
5 OAINS efektif untuk nyeri ringan-sedang, opioid efektif untuk nyeri
sedang-berat.
6 Mulailah dengan pemberian OAINS atau opioid lemah (langkah 1 dan 2)
dnegan pemberian intermiten (prore nata-prn) opioid kuat yang
disesuaikan dengan kebutuhan pasien.
7 Jika langkah 1 dan 2 kurang efektif atau nyeri menjadi sedang-berat, dapat
ditingkatkan menjadi langkah 3 (ganti dengan opioid kuat dan prn
analgesik dalam kurun waktu 24 jam setelah langkah 1).
8 Penggunaan opioid harus dititrasi. Opioid standar yang sering digunakan
adalah morfin, kodein.
9 Jika pasien memiliki kontraindikasi absolut OAINS, dapat diberikan
opioid ringan.
10 Jika fase nyeri akut pasien telah terlewati, lakukan pengurangan dosis
secara bertahap :
1. Intravena: antikonvulsan, ketamine, OAINS, opioid
2. Oral: antikonvulsan, antidepresan, antihistamin, anxiolytic,
kortikosteroid, anestesi lokal, OAINS, opioid, tramadol.
3. Rektal (supositoria): parasetamol, aspirin, opioid, fenotiazin
4. Topical: lidokain patch, EMLA
5. Subkutan: opioid, anestesi lokal7

11
3-Step WHO Analgesic Ladder8

Keterangan:
a. Patch fentanyl tidak boleh digunakan untuk nyeri akut karena tidak sesuai indikasi dan
onset kerjanya lama.
b. Untuk nyeri kronik: pertimbangkan pemberian terapi analgesik adjuvant (misalnya
amitriptilin, gabapentin).
Istilah:
a. NSAID: non-steroidal anti-inflammatory drug
b. S/R: slow release
c. PRN: when required
Berikut adalah algoritma pemberian opioid intermiten (prn) intravena untuk nyeri akut,
dengan syarat:
a. Hanya digunakan oleh staf yang telah mendapat instruksi
b. Tidak sesuai untuk pemberian analgesik secara rutin di ruang rawat inap biasa
c. Efek puncak dari dosis intravena dapat terjadi selama 15 menit sehingga semua pasien
harus diobservasi dengan ketat selama fase ini.

12
Algoritma Pemberian Opioid Intermiten Intravena untuk Nyeri Akut

Apakah pasien nyeri sedang/berat? tidak Observasi rutin

ya
tidak
1. Saat dosis telah diberikan, lakukan Apakah diresepkan opioid IV? Minta untuk diresepkan
monitor setiap 5 menit selama
minimal 20 menit.
2. Tunggu hingga 30 menit dari 1. Gunakan spuit 10ml
pemberian dosis terakhir sebelum 2. Ambil 10mg morfin sulfat dan
mengulangi siklus. campur dengan NaCl 0,9%
ya hingga 10ml (1mg/ml)
3. Dokter mungkin perlu untuk
3. Berikan label pada spuit
meresepkan dosis ulangan

Siapkan NaCl ATAU


Ya, tetapi 1. Gunakan spuit 10ml
telah 2. Ambil 100mg petidin dan
diberikan campur dengan NaCl 0,9%
dosis
total Observasi rutin hingga 10ml (10mg/ml)
ya 3. Berikan label pada spuit

tidak

ya
Nyeri Skor sedasi 0 atau 1? 1. Minta saran ke dokter senior
2. Tunda dosis hingga skor sedasi <2 dan
kecepatan pernapasan > 8 kali/menit.
ya tidak 3. Pertimbangkan nalokson IV (100ug)

Kecepatan pernapasan >


8 kali/menit?

ya

Tekanan darah sistolik tidak


Tunggu selama Minta saran
5 menit ≥ 100 mmHg?*

ya
tidak 1. Jika skor nyeri 7-10: berikan 2ml
Usia pasien < 70 tahun? 2. Jika skor nyeri 4-6: berikan 1 ml

ya

1. Jika skor nyeri 7-10: berikan 3ml


2. Jika skor nyeri 4-6: berikan 2 ml

Keterangan:
Skor nyeri: Skor sedasi: *Catatan:
0 = tidak nyeri 0 = sadar penuh  Jika tekanan darah sistolik <
1-3 = nyeri ringan 1 = sedasi ringan, kadang mengantuk, mudah dibangunkan 100mmHg: haruslah dalam
4-6 = nyeri sedang 2 = sedasi sedang, sering secara konstan mengantuk, mudah rentang 30% tekanan darah
7-10 = nyeri berat dibangunkan sistolik normal pasien (jika
3 = sedasi berat, somnolen, sukar dibangunkan diketahui), atau carilah
S = tidur normal saran/bantuan.

Gunakan tabel obat-obatan antiemetic (jika diperlukan)


Teruskan penggunaan OAINS IV jika diresepkan bersama dengan opioid.

13
1. Follow-up atau asesmen ulang
a. Asesmen ulang sebaiknya dilakukan dengan interval yang teratur.
b. Panduan umum:
i. Pemberian parenteral: 30 menit
ii. Pemberian oral: 60 menit
iii. Intervensi non-farmakologi: 30-60 menit.
2. Pencegahan
a. Edukasi pasien:
1. Berikan informasi mengenai kondisi dan penyakit pasien, serta tatalaksananya.
2. Diskusikan tujuan dari manajemen nyeri dan manfaatnya untuk pasien
3. Beritahukan bahwa pasien dapat mengubungi timmedis jika memiliki pertanyaan
atau ingin berkonsultasi mengenai kondisinya.
4. Pasien dan keluarga ikut dilibatkan dalam menyusun manajemen nyeri (termasuk
penjadwalan medikasi, pemilihan analgesik, dan jadwal kontrol).
b. Kepatuhan pasien dalam menjalani manajemen nyeri dengan baik
3. Medikasi saat pasien pulang
a. Pasien dipulangkan segera setelah nyeri dapat teratasi dan dapat beraktivitas seperti
biasa atau normal.
a. Pemilihan medikasi analgesik bergantung pada kondisi pasien.

14
Algoritma Asesmen Nyeri Akut

Pasien mengeluh nyeri

Anamnesis dan
pemeriksaan fisik

Asesmen nyeri

ya
Apakah etiologi nyeri Prioritas utama: identifikasi
bersifat reversibel? dan atasi etiologi nyeri

tidak

1. Lihat manajemen nyeri


ya kronik.
Apakah nyeri berlangsung >
2. Pertimbangkan untuk
6 minggu?
merujuk ke spesialis yang
sesuai
tidak

Tentukan mekanisme nyeri (pasien


dapat mengalami > 1 jenis nyeri)

Nyeri somatic Nyeri viseral Nyeri neuropatik

Nyeri bersifat tajam, menusuk, Nyeri bersifat difus, seperti Nyeri bersifat menjalar, rasa
terlokalisir, seperti ditikam ditekan benda berat, nyeri terbakar, kesemutan, tidak
tumpul spesifik.

15
Algoritma Manajemen Nyeri Akut

Nyeri somatic Nyeri visceral Nyeri neuropatik


c.
1. Parasetamol 1. Kortikosteroid 1. Antikonvulsan
2. Cold packs 2. Anestesi lokal 2. Kortikosteroid
3. Kortikosteroid intraspinal 3. Blok neuron
4. Anestesi lokal (topical / 3. OAINS 4. OAINS
infiltrasi)
5. OAINS
4. Opioid 5. Opioid
6. Opioid 6. Antidepresan
7. Stimulasi taktil trisiklik (amitriptilin)

Pilih alternatif terapi


yang lainnya
Pencegahan

1. Lihat tidak 1. Edukasi pasien


manajemen 2. Terapi farmakologi
nyeri ya 3. Konsultasi (jika perlu)
kronik. 4. Prosedur pembedahan
2. Pertimbang Apakah nyeri >
5. Non-farmakologi
kan untuk 6 minggu?
merujuk ke
spesialis
yang sesuai
ya

Kembali ke tidak
kotak Mekanisme
‘tentukan Analgesik adekuat?
nyeri sesuai?
mekanisme tidak
nyeri’ ya

ya
Efek samping Manajemen
pengobatan? efek samping

tidak

Follow-up /
nilai ulang

16
2. Manajemen Nyeri Kronik
1. Lakukan penilaian nyeri:
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik (karakteristik nyeri, riwayat manajemen nyeri
sebelumnya)
b. Pemeriksaan penunjang : radiologi
c. Penilaian fungsional:
1. Nilai aktivitas hidup dasar (ADL), identifikasi kecacatan atau disabilitas.
2. Buatlah tujuan fungsional spesifik dan rencana perawatan pasien.
3. Nilai efektifitas rencana perawatan dan manajemen pengobatan.
2. Tentukan mekanisme nyeri:
a. Manajemen bergantung pada jenis atau klasifikasi nyerinya.
b. Pasien sering mengalami > 1 jenis nyeri.
c. Terbagi menjadi 4 jenis:
1. Nyeri neuropatik:
a. Disebabkan oleh kerusakan atau disfungsi sistem somatosensorik.
b. Contoh: neuropati DM, neuralgia trigeminal, neuralgia pasca-herpetik.
c. Karakteristik: nyeri persisten, rasa terbakar, terdapat penjalaran nyeri sesuai
dengan persarafannya, baal, kesemutan, alodinia.
d. Fibromyalgia: gatal, kaku, dan nyeri yang difus pada musculoskeletal
(bahu, ekstremitas), nyeri berlangsung selama > 3 bulan.
2.Nyeri otot: tersering adalah nyeri miofasial
a. mengenai otot leher, bahu, lengan, punggung bawah, panggul, dan
ekstremitas bawah.
b. Nyeri dirasakan akibat disfungsi pada 1/lebih jenis otot, berakibat
kelemahan, keterbatasan gerak.
c. Biasanya muncul akibat aktivitas pekerjaan yang repetitive.
d. Tatalaksana: mengembalikan fungsi otot dengan fisioterapi, identifikasi dan
manajemen faktor yang memperberat (postur, gerakan repetitive, faktor
pekerjaan)
3. Nyeri inflamasi(dikenal juga dengan istilah nyeri nosiseptif):
a. Contoh: artritis, infeksi, cedera jaringan (luka), nyeri pasca-operasi
b. Karakteristik: pembengkakan, kemerahan, panas pada tempat nyeri.
Terdapat riwayat cedera atau luka.

17
c. Tatalaksana: manajemen proses inflamasi dengan antibiotik
atauantirematik, OAINS, kortikosteroid.
4. Nyeri mekanis atau kompresi:
a. Diperberat dengan aktivitas, dan nyeri berkurang dengan istirahat.
b. Contoh: nyeri punggung dan leher (berkaitan dengan strain atau sprain
ligament atau otot), degenerasi diskus, osteoporosis dengan fraktur
kompresi, fraktur.
c. Merupakan nyeri nosiseptif
d. Tatalaksana: beberapa memerlukan dekompresi atau stabilisasi.
5. Nyeri kronik: nyeri yang persisten atau berlangsung > 6 minggu
6. Penilaian lainnya:
a. Penilaian psikologi: nilai apakah pasien mempunyai masalah psikiatri
(depresi, cemas, riwayat penyalahgunaan obat-obatan, riwayat
penganiayaan secara seksual/fisik.verbal, gangguan tidur)
b. Masalah pekerjaan dan disabilitas
c. Faktor yang mempengaruhi:
1. Kebiasaan akan postur leher dan kepala yang buruk.
2. Penyakit lain yang memperburuk atau memicu nyeri kronik pasien.
d. Hambatan terhadap tatalaksana:
1. Hambatan komunikasi atau bahasa.
2. Faktor financial.
3. Rendahnya motivasi dan jarak yang jauh terhadap fasilitas
kesehatan.
4. Kepatuhan pasien yang buruk.
5. Kurangnya dukungan dari keluarga dan teman.
7. Manajemen nyeri kronik
a. Prinsip level 1:
1. Buatlah rencana perawatan tertulis secara komprehensif (buat tujuan,
perbaiki tidur, tingkatkan aktivitas fisik, manajemen stress, kurangi
nyeri).
2. Pasien harus berpartisipasi dalam program latihan untuk meningkatkan
fungsi

18
3. Dokter dapat mempertimbangkan pendekatan perilaku kognitif dengan
restorasi fungsi untuk membantu mengurangi nyeri dan meningkatkan
fungsi :
a. Beritahukan kepada pasien bahwa nyeri kronik adalah masalah
yang rumit dan kompleks. Tatalaksana sering mencakup
manajemen stress, latihan fisik, terapi relaksasi, dan sebagainya
b. Beritahukan pasien bahwa focus dokter adalah manajemen
nyerinya
c. Ajaklah pasien untuk berpartisipasi aktif dalam manajemen nyeri
d. Berikan medikasi nyeri yang teratur dan terkontrol
e. Jadwalkan control pasien secara rutin, jangan biarkan penjadwalan
untuk control dipengaruhi oleh peningkatan level nyeri pasien.
f. Bekerjasama dengan keluarga untuk memberikan dukungan
kepada pasien
g. Bantulah pasien agar dapat kembali bekerja secara bertahap
h. Atasi keengganan pasien untuk bergerak karena takut nyeri.
4. Manajemen psikososial (atasi depresi, kecemasan, ketakutan pasien)
a. Manajemen level 1: menggunakan pendekatan standar dalam
penatalaksanaan nyeri kronik termasuk farmakologi, intervensi,
non-farmakologi, dan tetapi pelengkap atau tambahan.
1. Nyeri Neuropatik
a. Atasi penyebab yang mendasari timbulnya nyeri:
1. Kontrol gula darah pada pasien DM.
2. Pembedahan, kemoterapi, radioterapi untuk pasien
tumor dengan kompresi saraf.
3. Kontrol infeksi (antibiotik)
b. Terapi simptomatik:
1. Antidepresan trisiklik (amitriptilin).
2. Antikonvulsan: gabapentin, karbamazepin.
3. Obat topical (lidocaine patch 5%, krim anestesi).
4. OAINS, kortikosteroid, opioid.
5. Anestesi regional: blok simpatik, blok epidural atau
intratekal, infus epidural atau intratekal.

19
6. Terapi berbasis-stimulasi: akupuntur, stimulasi spinal,
pijat.
7. Rehabilitasi fisik: bidai, manipulasi, alat bantu, latihan
mobilisasi, metode ergonomik.
8. Terapi lainnya: hypnosis, terapi relaksasi (mengurangi
tegangan otot dan toleransi terhadap nyeri), terapi
perilaku kognitif (mengurangi perasaan terancam atau
tidak nyaman karena nyeri kronis).
2. Nyeri otot
1. Lakukan skrining terhadap patologi medis yang serius,
faktor psikososial yang dapat menghambat pemulihan
2. Berikan program latihan secara bertahap, dimulai dari
latihan dasar / awal dan ditingkatkan secara bertahap.
3. Rehabilitasi fisik:
a. Fitness: angkat beban bertahap, kardiovaskular,
fleksibilitas, keseimbangan
b. Mekanik
c. Pijat, terapi akuatik
4. Manajemen perilaku:
a. Stress atau depresi
b. Teknik relaksasi
c. Perilaku kognitif
d. Ketergantungan obat
e. Manajemen amarah
5. Terapi obat:
a. Analgesik dan sedasi
b. Antidepressant
c. Opioid jarang dibutuhkan
3. Nyeri inflamasi
1. Kontrol inflamasi dan atasi penyebabnya
2. Obat anti-inflamasi utama: OAINS, kortikosteroid

20
4. Nyeri mekanis atau kompresi
1. Penyebab yang sering: tumor atau kista yang menimbulkan
kompresi pada struktur yang sensitif dengan nyeri,
dislokasi, fraktur.
2. Penanganan efektif: dekompresi dengan pembedahan atau
stabilisasi, bidai, alat bantu.
3. Medikamentosa kurang efektif. Opioid dapat digunakan
untuk mengatasi nyeri saat terapi lain diaplikasikan.
b. Manajemen level 1 lainnya
i. OAINS dapat digunakan untuk nyeri ringan-sedang atau nyeri
non-neuropati.
ii. Intervensi: injeksi spinal, blok saraf, stimulator spinal, infus
intratekal, injeksi intra-sendi, injeksi epidural
c. Manajemen level 2
i. Meliputi rujukan ke tim multidisiplin dalam manajemen nyeri
dan rehabilitasinya atau pembedahan (sebagai ganti stimulator
spinal atau infus intratekal).
ii. Indikasi: pasien nyeri kronik yang gagal terapi konservatif atau
manajemen level 1.
iii. Biasanya rujukan dilakukan setelah 4-8 minggu tidak ada
perbaikan dengan manajemen level 1.

21
Algoritma Asesmen Nyeri Kronik

Pasien mengeluh nyeri

Asesmen nyeri
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan fungsi
Pasien dapat mengalami
jenis nyeri dan faktor
yang mempengaruhi
Tentukan mekanisme nyeri yang beragam

Nyeri neuropatik Nyeri otot Nyeri inflamasi Nyeri mekanis/kompresi


1. Perifer (sindrom nyeri 1. Artropati inflamasi
regional kompleks, Nyeri miofasial (rematoid artritis) 1. Nyeri punggung bawah
neuropati HIV, 2. Infeksi 2. Nyeri leher
3. Nyeri pasca-oparasi
gangguan metabolik) 3. Nyeri musculoskeletal
4. Cedera jaringan
2. Sentral (Parkinson, (bahu, siku)
multiple sclerosis, 4. Nyeri viseral
mielopati, nyeri pasca-
stroke, sindrom
fibromyalgia)

tidak
Apakah nyeri kronik? Pantau dan observasi

ya
ya
Apakah etiologinya dapat Atasi etiologi nyeri sesuai
dikoreksi atau diatasi? indikasi
tidak

Asesmen lainnya
1. Masalah pekerjaan dan disabilitas
2. Asesmen psikologi dan spiritual
3. Faktor yang mempengaruhi dan
hambatan

Algoritma Manajemen Nyeri


Kronik

22
Algoritma Manajemen Nyeri Kronik

Prinsip level 1

1. Buatlah rencana dan tetapkan tujuan


2. Rehabilitasi fisik dengan tujuan fungsional
3. Manajemen psikososial dengan tujuan fungsional

Manajemen level 1: Manajemen level 1: Manajemen level 1: Manajemen level 1: Nyeri


Nyeri neuropatik Nyeri otot Nyeri inflamasi mekanis/kompresi

Manajemen level 1 lainnya


1. Intervensi
2. Pelengkap atau tambahan

Layanan primer untuk mengukur


pencapaian tujuan dan meninjau ulang
rencana perawatan

Tujuan terpenuhi? tidak Telah melakukan ya Manajemen level 2


1. Fungsi manajemen level 1 1. Rujuk ke tim
2. Kenyamanan dengan adekuat? interdisiplin, atau
3. hambatan 2. Rujuk ke klinik khusus
manajemen nyeri

ya

tidak
Rencana perawatan selanjutnya oleh
pasien

Asesmen hasil

23
3. Manajemen Nyeri Pada Pediatrik
a. Prevalensi nyeri yang sering dialami oleh anak adalah: sakit kepala kronik, trauma,
sakit perut dan faktor psikologi
b. Sistem nosiseptif pada anak dapat memberikan respons yang berbeda terhadap
kerusakan jaringan yang sama atau sederajat.
c. Neonatus lebih sensitif terhadap stimulus nyeri
d. Penilaian nyeri menggunakan Neonatal Infant Pain Scale (NIPS untuk usia < 1
tahun) dan (F) Face; (L) Legs; (A) Activity; (C) Cry; (C) Consolability (FLACC
untuk usia 1 – 3 tahun)
e. Berikut adalah algoritma manajemen nyeri mendasar pada pediatrik:

Algoritma Manajemen Nyeri Mendasar Pada Pediatrik


1. Penilaian nyeri pada anak
1. Nilai karakteristik nyeri
2. Lakukan pemeriksaan medis dan penunjang yang sesuai
3. Evaluasi kemungkinan adanya keterlibatan mekanisme
nosiseptif dan neuropatik
4. Kajilah faktor yang mempengaruhi nyeri pada anak

2. Diagnosis penyebab primer dan sekunder

1. Komponen nosiseptif dan neuropatik yang ada saat ini


2. Kumpulkan gejala-gejala fisik yang ada
3. Pikirkan faktor emosional, kognitif, dan perilaku

3. Pilih terapi yang sesuai

Obat Non-obat
1. Analgesik 1. Kognitif
2. Analgesik adjuvant 2. Fisik
3. anestesi 3. perilaku

4. Implementasi rencana manajemen nyeri


1. Berikan umpan balik mengenai penyebab dan faktor yang
mempengaruhi nyeri kepada orang tua (dan anak)
2. Berikan rencana manajemen yang rasional dan terintegrasi
3. Asesmen ulang nyeri pada anak secara rutin
4. Evaluasi efektifitas rencana manajemen nyeri
5. Revisi rencana jika diperlukan

24
5. Pemberian analgesik:
a. ‘By the ladder’: pemberian analgesik secara bertahap sesuai dengan level
nyeri anak (ringan, sedang, berat).
1. Awalnya, berikan analgesik ringan-sedang (level 1).
2. Jika nyeri menetap dengan pemberian analgesik level 1, naiklah ke level 2
(pemberian analgesik yang lebih poten).
3. Pada pasien yang mendapat terapi opioid, pemberian parasetamol tetap
diaplikasikan sebagai analgesik adjuvant.
4. Analgesik adjuvant
Merupakan obat yang memiliki indikasi primer bukan untuk nyeri tetapi
dapat berefek analgesik dalam kondisi tertentu.
1. Pada anak dengan nyeri neuropatik, dapat diberikan analgesik adjuvant
sebagai level 1.
2. Analgesik adjuvant ini lebih spesifik dan efektif untuk mengatasi nyeri
neuropatik.
3. Kategori:
a. Analgesik multi-tujuan: antidepressant, agonis adrenergic alfa-2,
kortikosteroid, anestesi topical.
b. Analgesik untuk nyeri neuropatik: antidepressant, antikonvulsan,
agonis GABA, anestesi oral-lokal
c. Analgesik untuk nyeri musculoskeletal: relaksan otot,
benzodiazepine, inhibitor osteoklas, radiofarmaka.
b. ‘By the clock’: mengacu pada waktu pemberian analgesik.
Pemberian haruslah teratur, misalnya: setiap 4-6 jam (disesuaikan dengan
masa kerja obat dan derajat keparahan nyeri pasien), tidak boleh prn (jika
perlu) kecuali episode nyeri pasien benar-benar intermiten dan tidak dapat
diprediksi.
c. ‘By the child’: mengacu pada peemberian analgesik yang sesuai dengan
kondisi masing-masing individu.
a. Lakukan monitor dan asesmen nyeri secara teratur
b. Sesuaikan dosis analgesik jika perlu

25
d. ‘By the mouth’: mengacu pada jalur pemberian oral.
1. Obat harus diberikan melalui jalur yang paling sederhana, tidak invasive,
dan efektif; biasanya per oral.
2. Karena pasien takut dengan jarum suntik, pasien dapat menyangkal bahwa
mereka mengalami nyeri atau tidak memerlukan pengobatan.
3. Untuk mendapatkan efek analgesik yang cepat dan langsung, pemberian
parenteral terkadang merupakan jalur yang paling efisien.
4. Opioid kurang poten jika diberikan per oral.
5. Sebisa mungkin jangan memberikan obat via intramuscular karena nyeri
dan absorbsi obat tidak dapat diandalkan.
6. Infus kontinu memiliki keuntungan yang lebih dibandingkan IM, IV, dan
subkutan intermiten, yaitu: tidak nyeri, mencegah terjadinya
penundaarlambatan pemberian obat, memberikan control nyeri yang
kontinu pada anak.
7. Indikasi: pasien nyeri di mana pemberian per oral dan opioid parenteral
intermiten tidak memberikan hasil yang memuaskan, adanya muntah hebat
(tidak dapat memberikan obat per oral).
e. Analgesik dan anestesi regional: epidural atau spinal
1. Sangat berguna untuk anak dengan nyeri kanker stadium lanjut yang sulit
diatasi dengan terapi konservatif.
2. Harus dipantau dengan baik
3. Berikan edukasi dan pelatihan kepada staf, ketersediaan segera obat-obatan
dan peralatan resusitasi, dan pencatatan akurat mengenai tanda vital atau
skor nyeri.
f. Manajemen nyeri kronik: biasanya memiliki penyebab multipel, dapat
melibatkan komponen nosiseptif dan neuropatik
1. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik menyeluruh
2. Pemeriksaan penunjang yang sesuai.
3. Evaluasi faktor yang mempengaruhi.
4. Program terapi: kombinasi terapi obat dan non-obat (kognitif, fisik,
dan perilaku).
5. Lakukan pendekatan multidisiplin.

26
6. Berikut adalah tabel obat-obatan non-opioid yang sering
digunakan untuk anak:
Obat-obatan non-opioid
Obat Dosis Keterangan
Parasetamol 10-15mg/kgBB oral, setiap Efek antiinflamasi kecil, efek gastrointestinal
4-6 jam dan hematologi minimal
Ibuprofen 5-10mg/kgBB oral, setiap Efek antiinflamasi. Hati-hati pada pasien
6-8 jam dengan gangguan hepar/renal, riwayat
perdarahan gastrointestinal atau hipertensi.
Naproksen 10-20mg/kgBB/hari oral, Efek antiinflamasi. Hati-hati pada pasien
terbagi dalam 2 dosis dengan disfungsi renal. Dosis maksimal
1g/hari.
Diklofenak 1mg/kgBB oral, setiap 8- Efek antiinflamasi. Efek samping sama
12 jam dengan ibuprofen dan naproksen. Dosis
maksimal 50mg/kali.

f. Panduan penggunaan opioid pada anak:


1. Pilih rute yang paling sesuai. Untuk pemberian jangka panjang, pilihlah
jalur oral.
2. Pada penggunaan infus kontinu IV, sediakan obat opioid kerja singkat
dengan dosis 50%-200% dari dosis infus perjam kontinu prn.
3. Jika diperlukan >6 kali opioid kerja singkat prn dalam 24 jam, naikkan
dosis infus IV per-jam kontinu sejumlah: total dosis opioid prn yang
diberikan dalam 24 jam dibagi 24. Alternatif lainnya adalah dengan
menaikkan kecepatan infus sebesar 50%.
4. Pilih opioid yang sesuai dan dosisnya.
5. Jika efek analgesik tidak adekuat dan tidak ada toksisitas , tingkatkan
dosis sebesar 50%.
6. Saat tapering-off atau penghentian obat: pada semua pasien yang
menerima opioid >1 minggu, harus dilakukan tapering-off (untuk
menghindari gejala withdrawal). Kurangi dosis 50% selama 2 hari, lalu
kurangi sebesar 25% setiap 2 hari. Jika dosis ekuivalen dengan dosis
morfin oral (0,6 mg/kgBB/hari), opioid dapat dihentikan.

27
7. Meperidin tidak boleh digunakan untuk jangka lama karena dapat
terakumulasi dan menimbulkan mioklonus, hiperrefleks, dan kejang.
g. Terapi alternatif tambahan:
1. Konseling
2. Manipulasi chiropractic
3. Herbal
4. Manajemen Nyeri Pada Kelompok Usia Lanjut (Geriatri)
a. Lanjut usia (lansia) didefinisikan sebagai orang – orang yang berusia ≥ 65 tahun.
b. Pada lansia, prevalensi nyeri dapat meningkat hingga dua kali lipatnya
dibandingkan dewasa muda.
c. Penyakit yang sering menyebabkan nyeri pada lansia adalah artritis, kanker,
neuralgia trigeminal, neuralgia pasca-herpetik, reumatika polimialgia, dan penyakit
degenerative.
d. Lokasi yang sering mengalami nyeri: sendi utama atau penyangga tubuh,
punggung, tungkai bawah, dan kaki.
e. Alasan seringnya terjadi manajemen nyeri yang buruk adalah:
f. Kurangnya pelatihan untuk dokter mengenai manajemen nyeri pada geriatric.
g. Asesmen nyeri yang tidak adekuat
h. Keengganan dokter untuk meresepkan opioid
5. Intervensi farmakologi (tekankan pada keamanan pasien)
1) Non-opioid: OAINS, parasetamol, COX-2 inhibitor, antidepressant trisiklik,
amitriptilin, ansiolitik.
2) Opioid:
i. risiko adiksi rendah jika digunakan untuk nyeri akut (jangka pendek).
ii. Hidrasi yang cukup dan konsumsi serat ataubulking agent untuk mencegah
konstipasi (preparat senna, sorbitol).
iii. Berikan opioid jangka pendek
iv. Dosis rutin dan teratur memberikan efek analgesik yang lebih baik daripada
pemberian intermiten.
v. Mulailah dengan dosis rendah, lalu naikkan perlahan.
vi. Jika efek analgesik masih kurang adekuat, dapat menaikkan opioid sebesar 50-
100% dari dosis semula.

28
3) Analgesik adjuvant
i. OAINS dan amfetamin: meningkatkan toleransi opioid dan resolusi nyeri
ii. Nortriptilin, klonazepam, karbamazepin, fenitoin, gabapentin, tramadol,
mexiletine: efektif untuk nyeri neuropatik
iii. Antikonvulsan: untuk neuralgia trigeminal.
Gabapentin: neuralgia pasca-herpetik 1-3 x 100 mg sehari dan dapat
ditingkatkan menjadi 300 mg/hari
6. Risiko efek samping OAINS meningkat pada lansia. Insidens perdarahan
gastrointestinal meningkat hampir dua kali lipat pada pasien > 65 tahun.
7. Semua fase farmakokinetik dipengaruhi oleh penuaan, termasuk absorbsi, distribusi,
metabolisme, dan eliminasi.
8. Pasien lansia cenderung memerlukan pengurangan dosis analgesik. Absorbs sering
tidak teratur karena adanya penundaan waktu transit atau sindrom malabsorbsi.
9. Ambang batas nyeri sedikit meningkat pada lansia.
10. Lebih disarankan menggunakan obat dengan waktu paruh yang lebih singkat.
11. Lakukan monitor ketat jika mengubah atau meningkatkan dosis pengobatan.
12. Efek samping penggunaan opioid yang paling sering dialami: konstipasi.
13. Penyebab tersering timbulnya efek samping obat: polifarmasi (misalnya pasien
mengkonsumsi analgesik, antidepressant, dan sedasi secara rutin harian.)
14. Prinsip dasar terapi farmakologi: mulailah dengan dosis rendah, lalu naikkan perlahan
hingga tercapai dosis yang diinginkan.
15. Nyeri yang tidak dikontrol dengan baik dapat mengakibatkan:
a. Penurunan atau keterbatasan mobilitas. Pada akhirnya dapat mengarah ke depresi
karena pasien frustasi dengan keterbatasan mobilitasnya dan menurunnya
kemampuan fungsional.
b. Dapat menurunkan sosialisasi, gangguan tidur, bahkan dapat menurunkan
imunitas tubuh
c. Kontrol nyeri yang tidak adekuat dapat menjadi penyebab munculnya agitasi dan
gelisah.
d. Dokter cenderung untuk meresepkan obat-obatan yang lebih banyak. Polifarmasi
dapat meningkatkan risiko jatuh dan delirium.

29
16. Beberapa obat yang sebaiknya tidak digunakan (dihindari) pada lansia:
a. OAINS: indometasin dan piroksikam (waktu paruh yang panjang dan efek
samping gastrointestinal lebih besar)
b. Opioid: pentazocine, butorphanol (merupakan campuran antagonis dan agonis,
cenderung memproduksi efek psikotomimetik pada lansia); metadon, levorphanol
(waktu paruh panjang)
c. Propoxyphene: neurotoksik
d. Antidepresan: tertiary amine tricyclics (efek samping antikolinergik)
17. Semua pasien yang mengkonsumsi opioid, sebelumnya harus diberikan kombinasi
preparat senna dan obat pelunak feses (bulking agents).
18. Pemilihan analgesik: menggunakan 3-step ladder WHO (sama dengan manajemen
pada nyeri akut).
a. Nyeri ringan-sedang: analgesik non-opioid
b. Nyeri sedang: opioid minor, dapat dikombinasikan dnegan OAINS dan analgesik
adjuvant
c. Nyeri berat: opioid poten
19. Satu-satunya perbedaan dalam terapi analgesik ini adalah penyesuaian dosis dan
hati-hati dalam memberikan obat kombinasi.
B.Manajemen Nyeri Non Farmakologi
Manajemen nyeri non farmakologi merupakan tindakan mandiri perawat, hal ini
dilakukan sebelum intervensi farmakologi dilakukan. Adapun langkah – langkah yang harus
dilakukan adalah :
1. Pengkajian atau asesmen nyeri sama dengan pengkajian nyeri diatas.
2. Tindakan yang dilakukan :
a. Terapi kognitif: merupakan terapi yang paling bermanfaat dan memiliki efek yang
besar dalam manajemen nyeri non-obat untuk anak
b. Distraksi terhadap nyeri dengan mengalihkan atensi ke hal lain seperti musik,
cahaya, warna, mainan, permen, computer, permainan, film, dan sebagainya.
c. Terapi perilaku bertujuan untuk mengurangi perilaku yang dapat meningkatkan
nyeri dan meningkatkan perilaku yang dapat menurunkan nyeri.
d. Terapi relaksasi: dapat berupa mengepalkan dan mengendurkan jari tangan,
menggerakkan kaki sesuai irama, menarik napas dalam.

30
Terapi non-obat
Kognitif Perilaku Fisik
1. Informasi 1. Latihan 1. Pijat
2. Pilihan dan control 2. Terapi relaksasi 2. Fisioterapi
3. Distraksi dan 3. Umpan balik positif 3. Stimulasi termal
atensi 4. Modifikasi gaya hidup atau 4. Stimulasi sensorik
4. Hypnosis perilaku 5. Akupuntur
5. Psikoterapi 6. TENS (transcutaneous
electrical nerve
stimulation)

3. Intervensi non-farmakologi (Geriatri)


a. Terapi termal: pemberian pendinginan atau pemanasan di area nosiseptif untuk
menginduksi pelepasan opioid endogen.
b. Stimulasi listrik pada saraf transkutan atau perkutan, dan akupuntur
c. Blok saraf dan radiasi area tumor
d. Intervensi medis pelengkap atau tambahan atau alternatif: terapi relaksasi, umpan
balik positif, hypnosis.
e. Fisioterapi dan terapi okupasi.

III. Manajemen Efek Samping


1. Opioid
a. Mual dan muntah: antiemetic
b. Konstipasi: berikan stimulant buang air besar, hindari laksatif yang mengandung
serat karena dapat menyebabkan produksi gas-kembung-kram perut.
c. Gatal: pertimbangkan untuk mengganti opioid jenis lain, dapat juga
menggunakan antihistamin.
d. Mioklonus: pertimbangkan untuk mengganti opioid, atau berikan benzodiazepine
untuk mengatasi mioklonus.
e. Depresi pernapasan akibat opioid: berikan nalokson (campur 0,4mg nalokson
dengan NaCl 0,9% sehingga total volume mencapai 10ml). Berikan 0,02 mg
(0,5ml) bolus setiap menit hingga kecepatan pernapasan meningkat. Dapat
diulang jika pasien mendapat terapi opioid jangka panjang.

31
2. OAINS (Obat Anti Inflamasi Non Steroid)
a. Gangguan gastrointestinal: berikan PPI (proton pump inhibitor)
b. Perdarahan akibat disfungsi platelet: pertimbangkan untuk mengganti OAINS
yang tidak memiliki efek terhadap agregasi platelet.
c. Pembedahan: injeksi epidural, supraspinal, infiltrasi anestesi lokal
IV. Macam –Macam Obat Analgesik
1. Parasetamol
a. Efek analgesik untuk nyeri ringan-sedang dan anti-piretik. Dapat dikombinasikan
dengan opioid untuk memperoleh efek anelgesik yang lebih besar.
b. Dosis: 10 mg/kgBB/kali dengan pemberian 3-4 kali sehari. Untuk dewasa dapat
diberikan dosis 3-4 kali 500 mg perhari.
2. Obat Anti-Inflamasi Non-Steroid (OAINS)
a. Efek analgesik pada nyeri akut dan kronik dengan intensitas ringan-sedang, anti-
piretik
b. Kontraindikasi: pasien dengan Triad Franklin (polip hidung, angioedema, dan
urtikaria) karena sering terjadi reaksi anafilaktoid.
c. Efek samping: gastrointestinal (erosi atau ulkus gaster), disfungsi renal,
peningkatan enzim hati.
d. Ketorolak:
1. Merupakan satu-satunya OAINS yang tersedia untuk parenteral. Efektif untuk
nyeri sedang-berat
2. Bermanfaat jika terdapat kontraindikasi opioid atau dikombinasikan dengan
opioid untuk mendapat efek sinergistik dan meminimalisasi efek samping
opioid (depresi pernapasan, sedasi, stasis gastrointestinal). Sangat baik untuk
terapi multi-analgesik.
3. Efek analgesik pada Antidepresan
a. Mekanisme kerja: memblok pengambilan kembali norepinefrin dan serotonin
sehingga meningkatkan efek neurotransmitter tersebut dan meningkatkan aktivasi
neuron inhibisi nosiseptif.
b. Indikasi: nyeri neuropatik (neuropati DM, neuralgia pasca-herpetik, cedera saraf
perifer, nyeri sentral)
c. Contoh obat yang sering dipakai: amitriptilin, imipramine, despiramin: efek
antinosiseptif perifer. Dosis: 50 – 300 mg, sekali sehari.

32
4. Anti-konvulsan
a. Carbamazepine: efektif untuk nyeri neuropatik. Efek samping: somnolen,
gangguan berjalan, pusing. Dosis: 400 – 1800 mg/hari (2-3 kali perhari). Mulai
dengan dosis kecil (2 x 100 mg), ditingkatkan perminggu hingga dosis efektif.
b. Gabapentin: Merupakan obat pilihan utama dalam mengobati nyeri neuropatik.
Efek samping minimal dan ditoleransi dengan baik. Dosis: 100-4800 mg/hari (3-4
kali sehari).
5. Tramadol
a. Merupakan analgesik yang lebih poten daripada OAINS oral, dengan efek samping
yang lebih sedikit atau ringan. Berefek sinergistik dengan medikasi OAINS.
b. Indikasi: Efektif untuk nyeri akut dan kronik intensitas sedang (nyeri kanker,
osteoarthritis, nyeri punggung bawahm neuropati DM, fibromyalgia, neuralgia
pasca-herpetik, nyeri pasca-operasi.
c. Efek samping: pusing, mual, muntah, letargi, konstipasi.
d. Jalur pemberian: intravena, epidural, rektal, dan oral.
e. Dosis tramadol oral: 3-4 kali 50-100 mg (perhari). Dosis maksimal: 400mg dalam
24 jam.
f. Titrasi: terbukti meningkatkan toleransi pasien terhadap medikasi, terutama
digunakan pada pasien nyeri kronik dengan riwayat toleransi yang buruk terhadap
pengobatan atau memiliki risiko tinggi jatuh.
6. Opioid
a. Merupakan analgesik poten (tergantung-dosis) dan efeknya dapat ditiadakan oleh
nalokson.
b. Contoh opioid yang sering digunakan: morfin, sufentanil, meperidin.
c. Dosis opioid disesuaikan pada setiap individu, gunakanlah titrasi.
d. Adiksi terhadap opioid sangat jarang terjadi bila digunakan untuk penatalaksanaan
nyeri akut.
e. Efek samping:
1. Depresi pernapasan, dapat terjadi pada:
a. Overdosis : pemberian dosis besar, akumulasi akibat pemberian secara infus,
opioid long acting
b. Pemberian sedasi bersamaan (benzodiazepin, antihistamin, antiemetik
tertentu)

33
c. Adanya kondisi tertentu: gangguan elektrolit, hipovolemia, uremia, gangguan
respirasi dan peningkatan tekanan intrakranial.
d. Obstructive sleep apnoes atau obstruksi jalan nafas intermiten
2. Sedasi: adalah indikator yang baik untuk dan dipantau dengan menggunakan
skor sedasi, yaitu:
0= sadar penuh
1= sedasi ringan, kadang mengantuk, mudah dibangunkan
2 = sedasi sedang, sering secara konstan mengantuk, mudah dibangunkan
3 = sedasi berat, somnolen, sukar dibangunkan
S = tidur normal
3. Sistem Saraf Pusat:Euforia, halusinasi, miosis, kekakukan otot.
4. Pemakai MAOI : Pemberian petidin dapat menimbulkan koma.
5. Toksisitas metabolit
6. Petidin (norpetidin) menimbulkan tremor, twitching, mioklonus multifokal,
kejang.
7. Petidin tidak boleh digunakan lebih dari 72 jam untuk penatalaksanaan nyeri
pasca-bedah.
8. Pemberian morfin kronik: menimbulkan gangguan fungsi ginjal, terutama
pada pasien usia> 70 tahun.
9. Efek kardiovaskular :Tergantung jenis, dosis, dan cara pemberian; status
volume intravascular; serta level aktivitas simpatetik.
10. Morfin menimbulkan vasodilatasi.
11. Petidin menimbulkan takikardi.
12. Gastrointestinal: Mual, muntah. Terapi untuk mual dan muntah: hidrasi dan
pantau tekanan darah dengan adekuat, hindari pergerakan berlebihan pasca-
bedah, atasi kecemasan pasien, obat antiemetik.
13. Pemberian Oral:
a. Sama efektifnya dnegan pemberian parenteral pada dosis yang sesuai.
b. Digunakan segera setelah pasien dapat mentoleransi medikasi oral.
14. Injeksi intramuscular:
a. merupakan rute parenteral standar yang sering digunakan.
b. Namun, injeksi menimbulkan nyeri dan efektifitas penyerapannya tidak
dapat diandalkan.

34
c. Hindari pemberian via intramuscular sebisa mungkin.
15. Injeksi subkutan
16. Injeksi intravena:
a. Pilihan perenteral utama setelah pembedahan major.
b. Dapat digunakan sebagai bolus atau pemberian terus-menerus (melalui
infus).
c. Terdapat risiko depresi pernapasan pada pemberian yang tidak sesuai
dosis.
17. Injeksi supraspinal:
a. Lokasi mikroinjeksi terbaik: mesencephalic periaqueductal gray (PAG).
b. Mekanisme kerja: memblok respons nosiseptif di otak.
c. Opioid intraserebroventrikular digunakan sebagai pereda nyeri pada
pasien kanker.
18. Injeksi spinal (epidural, intratekal):
a. Secara selektif mengurangi keluarnya neurotransmitter di neuron kornu
dorsalis spinal.
b. Sangat efektif sebagai analgesik.
c. Harus dipantau dengan ketat.
19. Injeksi Perifer
a. Pemberian opioid secara langsung ke saraf perifer menimbulkan efek
anestesi lokal (pada konsentrasi tinggi).
b. Sering digunakan pada: sendi lutut yang mengalami inflamasi.

35
BAB III
DOKUMENTASI

1. Format Pengkajian atau Penilaian nyeri dengan skala sesuai usia) “Neonatal Infant Pain
Scale (NIPS), FLACC Scale, Wong Beker atau Numeric Scale atau Visual Analogue Scale
(VAS)”
2. Status rawat jalan (Poliklinik dan Instalasi Gawat Darurat)
3. Status Radiologi (saat pasien dilakukan pemeriksaan radiologi ada keluhan nyeri).
4. Status Rawat Inap bila pasien dirawat inapkan, antara lain :
Bila perlu konsultasi bidang lain (anastesi untuk mengatasi nyeri yang lebih lanjut),
Perencanaan pasien pulang
5. Khusus pasien operasi
6. Khusus pasien Instalasi Pelayanan Intensif untuk pencatatan intervensi, implementasi dan
evaluasi tentang nyeri.

36
BAB IV
PENUTUP

Manajemen nyeri harus menggunakan pendekatan yang holistik atau menyeluruh, hal
ini karena nyeri mempengaruhi keseluruhan aspek kehidupan manusia, oleh karena itu kita
sebagai tenagan kesehatan tidak boleh hanya terpaku hanya pada satu pendekatan saja tetapi
juga menggunakan pendekatan-pendekatan yang lain yang mengacu kepada aspek kehidupan
manusia yaitu biopsikososialkultural dan spiritual, pendekatan non farmakologik dan
pendekatan farmakologik tidak akan berjalan efektif bila digunakan sendiri-sendiri, keduanya
harus dipadukan dan saling mengisi dalam rangka mengatasi atau penanganan nyeri pasien.
Pasien adalah individu-individu yang berbeda yang berrespon secara berbeda terhadap nyeri,
sehingga penangananyapun tidak bisa disamakan antar individu yang satu dengan yang
lainnya.
Pengkajian yang tepat, akurat tentang nyeri sangat diperlukan sebagai upaya untuk
mencari solusi yang tepat untuk menanganinya, untuk itu pengkajian harus selalu dilakukan
secara berkesinambungan, sebagai upaya mencari gambaran yang terbaru dari nyeri yang
dirasakan oleh pasien.
Dalam menyongsong era globalisasi dan menghadapi persaingan bebas di bidang
kesehatan, maka pelayanan kepada pasien juga harus disiapkan secara benar.
Panduan Manajemen Nyeri ini disusun untuk menjadi acuan pelaksanaan pelayanan
di Rumah SakitHarapan Bersama dan tetap terbuka untuk dievaluasi dan disempurnakan dari
waktu ke waktu.

Direktur RSU Harapan Bersama

dr. Veridiana, SP.OG.,Acp

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Joint Commission on accreditation of Healthcare Organizations. Pain: current


understanding of assessment, management, and treatments. National Pharmaceutical
Council, Inc; 2001.
2. Wallace MS, Staats PS. Pain medicine and management: just the facts. McGraw-Hill;
2005.
3. National Institute of Health Warren Grant Magnuson Clinical Center. Pain intensity
instruments: numeric rating scale; 2003.
3. Wong D, Whaley L. Clinical handbook of pediatric nursing. Edisi ke-2. St. Louis:
C.V. Mosby Company; 1986. h. 373.
4. Ambuel, Hamlett KW, Marx CM, Blumer JL. Assessing distress in pediatric intensive
care environments: the COMFORT Scale. J Paed Psych. 1992;17:95-109.
5. Pain management. [diakses tanggal 23 Februari 2012]. Diunduh dari:
www.hospitalsoup.com
6. Institute for Clinical Systems Improvement (ICSI). Health care guideline: assessment
and management of acute pain. Edisi ke-6. ICSI; 2008.
7. Pain Management Task Group of the Hull & East Riding Clinical Policy Forum.
Adult pain management guidelines. NHS; 2006.
8. Institute for Clinical Systems Improvement (ICSI). Health care guideline: assessment
and management of chronic pain. Edisi ke-5. ICSI; 2011.
9. Argoff CE, McCleane G. Pain management secrets: questions you will be asked. Edisi
ke-3. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2000

38

Anda mungkin juga menyukai